Disusun oleh :
Retno Ayustira (71170891214) FK UISU
Risa Tri Andari (71170891254) FK UISU
Maria Bunga Astaria Br Sitepu (18010025) FK NOMMENSEN
Fajar Bagus Prakoso (71170891424) FK UISU
Emir Baskara Nasution (71180891062) FK UISU
Yan Rusdiansyah Dongoran (0410070100070) FK UNBRAH
Dokter Pembimbing:
SMF ANESTESI
RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini guna memenuhi persyaratan
Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Anestesi Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi
Medan dengan judul “Anestesi Umum Pada Kista Ovarium suspek ganas dan effusi
pleura dan trombositosis (Meigs Syndrome)”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ade Winata,
Sp.An, KIC yang telah memberikan bimbingan dan arahannya dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Anestesi Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi
Medan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini memiliki banyak
kekurangan baik dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat dan menambah pengetahuan
serta berguna di masa depan dalam mengimplementasikan ilmu kedokteran dalam praktek
di masyarakat.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun
1846 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.
Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu: Hipnotik
(hilang kesadaran), Analgetik (hilang perasaan sakit), Relaksan (relaksasi otot-otot).
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana
hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh akibat
pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum dapat diberikan
secara intravena, inhalasi dan intramuskular.
Kista ovarium merupakan salah satu bentuk penyakit repoduksi yang banyak
menyerang wanita. Kista atau tumor merupakan bentuk gangguan yang bisa dikatakan
adanya pertumbuhan sel-sel otot polos pada ovarium yang jinak.Walaupun demikian
tidak menutup kemungkinan untuk menjadi tumor ganas atau kanker. Perjalanan penyakit
ini sering disebut sillent killer atau secara diam diam menyebabkan banyak wanita yang
tidak menyadari bahwa dirinya sudah terserang kista ovarium dan hanya mengetahui pada
saat kista sudah dapat teraba dari luar atau membesar.
Efusi pleura merupakan salah satu kelainan paru restriktif yang disebabkan oleh
kelainan pada pleura dan mediastinum. Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan
pada kavum pleura. Macam cairan pada efusi pleura dapat berupa darah (hemothoraks),
nanah/pus (empyema), lemak (chylothoraks) dan cairan serosa (hydrothoraks).
. Trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit diatas 350000/ mm3 atau
400000/mm. Terdapat 3 kelainan utama penyebab trombositosis, yaitu : kelainan primer
(Trombositosis esensial/primer dan kelainan mieloproliferatif lain), familial (mutasi
trombopoietin) dan trombositosis reaktif terhadap berbagai penyebab akut dan kronis.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi
2.1.1 Definisi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun
1846 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.
Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu: 1
a. Hipnotik, hilang kesadaran
b. Analgetik, hilang perasaan sakit
c. Relaksan, relaksasi otot-otot
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana
hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh akibat
pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum dapat diberikan
secara intravena, inhalasi dan intramuskular.1
Pada pemberian anestesi umum dikenal istilah The Ten Goldens Rules Of
Anesthesia atau “10 Peraturan dalam Pembiusan Umum” yaitu:
1. Do an adequate Preoperative Assesement atau penilaian pasien sebelum
dilakukan pembedahan dan pembiusan. Penilaian ini kemudian dinyatakan
status ASA (American Society of Anesthesiologist).
2. Starve Him. Pasien yang mendapatkan pembiusan, sedapat mungkin
dilakukan dalam keadaan lambung kosong. Hal ini bertujuan meminimalisasi
kejadian aspirasi lambung atau regurgitasi.
3. Put him on Tiping Table. Pasien yang akan dilakukan pembedahan
selanjutnya dibaringkan pada meja operasi yang datar dan cukup keras
2
sehingga mudah dalam pemantauan, walaupun kadang terdapat beberapa
posisi tertentu yang memudahkan operator bekerja.
4. Check your Machine and Cylinder Before You Start. Ahli anestesi harus
selalu mengecek mesin anestesi, apakah ada kebocoran gas-gas, apakah
ukuran pipa sesuai untuk anak atau dewasa, dan apakah tabung gas terisi
penuh atau kurang sehingga tidak membahayakan pasien yang dianestesi.
5. Keep An Instantly suction. Sediakan selalu mesin pengisap lendir dan cairan
untuk berjaga-jaga apabila terjadi aspirasi atau muntah.
6. Keep His Airway Clearly. Saluran napas bersih dan tidak terhalang akan
memudahkan untuk dilakukan tindakan pemberian bantuan pernapasan.
7. Be Ready to Control His Ventilation. Petugas harus selalu siap memberikan
bantuan pernapasan apabila terjadi henti napas atau napas tidak adekuat.
8. Have Open Veins. Akses vena harus selalu tersedia karena banyak obat atau
anestetik diberikan lewat jalur vena.
9. Check His Pulse and Blood Pressure. Denyut nadi dan tekanan darah harus
selalu dimonitor, dapat secara palpasi manual, atau dengan mesin monitor
tanda vital.
10. Always Have Someone Who Can Apply Cricoid Pressure.Petugas harus selalu
didampingi petugas lainnya untuk membantu menekan tulang krikoid
sehingga memudahkan untuk intubasi.3
3
2.1.3 Kontra Indikasi Anestesi Umum2
2. Hepar : Hindarkan obat yang toksis terhadap hepar atau dosis obat diturunkan.
4
2.1.5 Stadium Anestesi4
Semua zat anastetik menghambar SSP secara bertahap, yang mula-mula dihambat
adalah fungsi yang kompleks,dan yang paling akhir di hambat adalah medula
oblongata tempat pusat vasomotor dan pernapasan. Guedel (1920) membagi anastesi
umum dalam 4 stadium, sedangkan stadium ke-3 dibedakan lagi atas 4 tingkat.
1. Stadium I (Analgesia)
2. Stadium II ( Eksitasi)
Stadium III dimulai dengan teibulnya kembali pernapasan yang teratur dan
berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Keempat tingkat dalam stadium
pembedahan ini dibedakan dari perubahan pada gerakan bola mata, refleks bulu mata,
dan konjungtiva, tonus otot, dan lebar pupil yang menggambarkan semakin dalam
pembiusan.
-Tingkat 1: Pernapasan teratur, spontan dan seimbang antara pernapasan dada dan
perut, gerakan bola mata terjadi diluar kehendak, miosis, sedangkan tonus otot rangka
masih ada.
-Tingkat 2: Pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola mata tidak
bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai melemas, dan refleks laring hilang
sehingga pada tingkat ini dapat dilakukan intubasi.
5
-Tingkat 3: Pernapasan perut lebih nyata dari pernapasan dada karena otot interkostal
lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal.
-Tingkat 4: Pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh total, tekanan
darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang. Pembiusan
hendaknya jangan sampai ke tingkat 4 ini sebab pasien akan mudah sekali masuk
dalam stadium IV yaitu ketika pernapasan spontan melemah. Untuk mecegah ini,
harus diperhatikan benar sifat pupil dibandingkan dengan keadaan normal, dan
turunnya tekanan darah.
Stadium ini dimulai dengan melemahnya pernapsan perut dibanding stadium III
tingkat 4, tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan
jantung berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul kematian, kelumpuhan
napas di sini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan, bila tidak didukun oleh
alat bantu napas dan sirkulasi.
Selain dari derajat kesadaran,relaksasi otot dan tanda-tanda di atas, ahli anastesia
menilai dalamnya anastesia dari respons terhadap rangsangan nyeri yang ringan
sampai yang kuat. Rangsangan yang kuat terjadi sewaktu pemotongan kulit,
manipulasi peritoneum, kornea, mukosa uretra terutama bila ada peradangan. Nyeri
sedang terasa ketika terjadi manipulasi pada fasia, otot, dan jaringan lemak,
sedangkan nyeri ringan terasa ketika terjadi pemotongan dan penjahitan usus, atau
pemotongan jaringan otak.
1) Anamnesis
• Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan pekerjaan
• Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesia seperti penyakit alergi, diabetes mellitus,
penyakit paru kronik, penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan
penyakit ginjal.
6
• Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin dapat
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi.
• Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa kali dan selang
waktunya, serta apakah pasien mengalami komplikasi saat itu.
• Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya anestesi
misalnya merokok, alkohool, obat-obat penenang atau narkotik.
2) Pemeriksaan fisik
• Tinggi dan berat badan untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
• Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi
nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
• Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas, tanda-
tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus, persendian temporo
mandibula.
• Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau ortopnu,
sianosis, hipertensi
• Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat membuat
tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan regurgitasi.
3) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium antara lain berupa pemeriksaan darah lengkap urine
rutin, foto thoraks, EKG terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan
adanya iskemia miokard, spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru,
fungsi hati, fungsi ginjal, analisa gas darah dan elektrolit
➢ Perencanaan anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari. Perencanaan anestesi disesuaikan dengan keadaan pasien dan tindakan
operasi yang akan dilakukan.4
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari The
American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut:5
7
• ASA 1 merupakan pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik
selain penyakit yang akan dioperasi.
• ASA 2 merupakan pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai
dengan sedang selain penyakit yang akan di operasi. Misalnya perokok aktif,
peminum alkohol, pasien hamil, obesitas (30<BMI<40), DM dan hipertensi
terkontrol.
• ASA 3 merupakan pasien yang memiliki kelainan sistemik yang berat selain
penyakit yang akan di operasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya
diabetes melitus yang tak terkontrol dan hipertensi tak terkontrol, pasien ESRD
dengan dialisis reguler.
• ASA 4 merupakan pasien yang memiliki kelainan sistemik berat yang
mengancam jiwa selain penyakit yang akan di operasi. Misalnya riwayat
miokard infark, CAD kurang dari 3 bulan, sepsis, DIC, ESRD yang tidak
reguler dialisis.
• ASA 5 merupakan pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan
anestesi mungkin saja dapat menyelamatkan tapi resiko kematian tetap jauh
lebih besar. Misalnya operasi pada pasien koma berat.
• ASA 6 merupakan pasien yang telah dinyatakan telah mati batang otaknya
yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ
donor bagi yang membutuhkan. Pada bedah cito atau emergency biasanya
dicantumkan huruf E.
2.1.7 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Tujuan
premedikasi:2
➢ Meredakan kecemasan dan ketakutan
➢ Memperlancar induksi anestesi
➢ Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
➢ Mengurangi refleks yang tidak diharapkan
➢ Mengurangi isi cairan lambung
➢ Mengurangi rasa sakit
➢ Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi
➢ Menurunkan basal metabolisme tubuh
8
Obat-obat premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan keadaan
umum pasien. Biasanya premedikasi diberikan intramuskuler 1 jam sebelumnya atau per
oral 2 jam sebelum anestesi.
Beberapa ahli anestesi menghindari penggunaan opium untuk premedikasi jika
anestesinya mencakup pernapasan spontan dengan campuran eter/udara. Obat yang
banyak digunakan:
Analgetik opium : - Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler
9
Pemeriksaan Alat
Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi, karena
keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar hal-hal yang
harus diperiksadan gantungkan pada alat anastesi yang sering digunakan.
Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan baik. Jika
kita menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang digunakan dan
silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung dengan tepat tanpa ada
yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan aliran gas ke pasien berjalan
dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan sistem pernapasan, cobalah pada diri
kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah fungsi alat resusitasi (harus selalu ada untuk
persiapan bila terjadi kesalahan aliran gas), laringoskop, pipa dan alat penghisap. Kita
juga harus yakin bahwa pasien berbaring pada meja atau kereta dorong yang dapat diatur
dengan cepat ke dalam posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi mendadak atau
muntah. Persiapkan obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi label, dan
yakinkan bahwa obat itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan induksi anastesi,
yakinkan aliran infus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling atau kanula dalam
vena besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat harus segera dimulai.
10
▪ T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
▪ I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan
untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
▪ C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
▪ S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan
dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5%
dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula
digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis
2-3 mg/kgBB.
Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin
sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedative
seperti midazolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi
(tekanan darah >160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan
mata terbuka.
Induksi Intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuskular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga obat
anestesi dapat masuk. Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak dapat masuk
11
dan anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan dangkal. Jika hal ini
terjadi, bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga digunakan untuk anak-anak yang
takut pada jarum.
12
▪ Posisi kepala dan leher yang tepat
▪ Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut
Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :2
a. Pipa endotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam
milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang
melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir bulat sedangkan
dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil digunakan tanpa cuff dan untuk
anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak bocor. Pipa endotrakea dapat
dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung.
13
b. Laringoskop
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa
trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop :
▪ Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)
▪ Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)
Penilaian Mallampati
Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi kemudahan
intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut, khusus, itu didasarkan
pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut
terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4
grade: 6
• Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas
• Grade II :Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak
terlihat
• Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
• Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.
14
Kesulitan dalam teknik intubasi:1
➢ Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap
➢ Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
➢ Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
➢ Kesulitan membuka mulut
➢ Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
➢ Abnormalitas pada daerah servikal
➢ Kontraktur jaringan leher
15
Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir anestesi setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran
oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi,
berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.
2. Halotan
Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan napas, maka
sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan merupakan
anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi dan tahapan anestesi dilalui
dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik dihentikan. Pada
napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1
vol% yang tentunya disesuaikan dengan klinis pasien.
3. Isofluran
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai
dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk
mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi adalah penurunan
tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut jantung.
Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap oksigen, tetapi meningkatkan aliran
darah otak dan tekanan intrakranial.
4. Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser
khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah singkat atau
bedah rawat jalan.Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme laring,
sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat ¼ kali lebih
poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding N2O.
5. Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk
induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi
inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam 1-
3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari
untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Setelah pemberian dihentikan,
sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh.
16
II. Obat-obat Anestesi Intravena
Yang dimaksud dengan intravenous anestesi adalah anestesi yang diberikan
dengan cara suntikan zat (obat) anestesi melalui vena2.
A. Hipnosis2
1. Golongan barbiturat (pentotal)
➢ Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan induksinya cepat
(30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam waktu singkat kerjanya
habis, seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat ini menyebabkan kehilangan
kesadaran dengan jalan memblok kontrol brainstem.
➢ Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian sebagai
induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang waktu pemberian
15-20 detik (untuk orang dewasa).
2. Benzodiazepin
Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi
obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, dan
tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah banyak
digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan
sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi. Efek farmakologi benzodiazepine
merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid (GABA) sebagai
neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan
reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap
neurotransmitter penghambat. Dosis : Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV,
Midazolam : induksi : 0,15 – 0,45 mg/kg IV.
3. Propofol
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna putih
susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya diberikan
lidokain 1-2 mg/kgBB intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi intravena
total 4-12 mg/kgBB/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kgBB.
Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus
dikurangi, pada anak < 3 thn dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.
17
4. Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan kerja
singkat. Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran dan
neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-aspartat. Sifat
analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viseral.
Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya
sedikit meninggi. Dosis ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-10 mg/kgBB IM.
Anestesi dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik
pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi
disosiatif. Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil,
salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan tonus otot.
Kesadaran segera pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahan sampai 40 menit,
sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam.
B. Analgetik2
1. Morfin
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni
tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar
(vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan
ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin
dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri
diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan
pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-
0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat
diulang sesuai yamg diperlukan.
2. Fentanil
Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid sintetik dari
kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor μ. Fentanyl banyak
digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih
singkat, efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang diberikan secara bolus,
dan relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular.
18
3. Meridipin
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia
obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi
nafas pada janin.
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml,
50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien
tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8
mg/kg BB.
C. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)2
Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien secara
intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari otot-otot
rangka dan memudahkan dilakukannya operasi.
a. Pelumpuh otot depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf otot tidak
dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sipnatik, sehingga
terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik.Yang
termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan dosis 1-2 mg/kgBB IV.
b. Pelumpuh otot non-depolarisasi
Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi
tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
19
Intermediate Acting
1. Gallamin 4-6 30-60
2. Atrakurium 0,5-0,6 20-45
3. Vekuronium 0,1-0,2 25-45
4. Rokuronium 0,6-1,2 30-60
5. Cistacuronium 0,15-0,2 30-45
Short Acting
1. Mivakurium 0,2-0,25 10-15
2. Ropacuronium 1,5-2 15-30
2.1.11 Postoperatif
Nilai Warna
• Merah muda, 2
• Pucat, 1
• Sianosis, 0
Pernapasan
• Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
• Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
• Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
• Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
• Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
• Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
• Sadar, siaga dan orientasi, 2
• Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
• Tidak berespons, 0
20
Aktivitas
• Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
• Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
• Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.4
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain:
a. Pembuluh Darah
b. Intubasi
Kerusakan pada bibir, gusi, dan gigi geligi dapat terjadi pada intubasi trakea.
Selama intubasi :
• Trauma gigi geligi
• Laserasi bibir, gusi dan laring
• Aspirasi
• Spasme bronkus
• Intubasi bronkus
• Intubasi esofagus
• Merangsang saraf simpatis
Setelah ekstubasi
• Spasme laring
• Aspirasi
• Gangguan fonasi
• Edema glotis subglotis
• Infeksi laring, faring, trakea
Ektubasi
21
• Pasca ekstubasi ada risiko ekspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anastesia sudah ringan dengan catatan
tak akan terjadi spasme laring
Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut faring dari sekret dan cairan
lainnya.
2. Pernapasan
Yang paling ditakuti adalah obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera
setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit dibedakan
serta dapat timbul sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika saluran
pernapasan dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup
sekresi dan kandungan asam lambung.
3. Kardiovaskular
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Zat anestesi
mengurangi susunan kekebalan tubuh dan membuat pasien lebih mudah terkena
infeksi yang mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6
minggu mungkin harus dihalangi.
5. Suhu tubuh
22
yang parah, yang menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan
perfusi perifer tidak adekuat.
23
2.2. Kista Ovarium
2.2.1. Definisi
Kista ovarium adalah suatu kantong berisi cairan seperti balon berisi air yang
terdapat di ovarium. Kista ovarium adalah tumor ovarium yang bersifat neoplastik
dan non neoplastik.Dalam kehamilan tumor ovarium yang paling sering dijumpai
ialah kista dermoid, kista coklat atau kista lutein. Kista ovarium adalah tumor jinak
yang diduga timbul dari bagian ovum yang normalnya menghilang saat menstruasi,
asalnya tidak teridentifikasi dan terdiri atas sel-sel embrional yang tidak
berdierensiasi, kista ini tumbuh lambat dan ditemukan selama pembedahan yang
mengandung material sebasea kental berwarna kuning yang timbul dari lapisan kulit.
2.2.2. Jenis dan Karakter Kista
Berdasarkan tingkat keganasannya, kista terbagi dua, yaitu nonneoplastik dan
neoplastik. Kista nonneoplastik sifatnya jinak dan biasanya akan mengempis sendiri
setelah 2 hingga 3 bulan. Sementara kista neoplastik umumnya harus dioperasi,
namun hal itu pun tergantung pada ukuran dan sifatnya.
Kista ovarium neoplastik jinak diantaranya:
• Kistoma Ovarii Simpleks
Kistoma ovarii simpleks merupakan kista yang permukaannya rata dan halus,
biasanya bertangkai, seringkali bilateral, dan dapat menjadi besar. Dinding kista tipis
berisi cairan jernih yang serosa dan berwarna kuning. Penatalaksanaan dengan
pengangkatan kista dengan reseksi ovarium.
• Kistadenoma Ovarii Musinosum
Bentuk kista multilokular dan biasanya unilateral, dapat tumbuh menjadi sangat
besar. Gambaran klinis terdapat perdarahan dalam kista dan perubahan degeneratif
sehingga timbul perleketan kista denganomentum, usus-usus, dan peritoneum
parietale.Selain itu, bisa terjadi ileus karena perleketan dan produksi musin yang
terus bertambah akibat pseudomiksoma peritonei. Penatalaksanaan dengan
pengangkatan kista in tito tanpa pungsi terlebih dulu dengan atau tanpa salpingo-
ooforektomi tergantung besarnya kista.
• Kistadenoma Ovarii Serosum
Kista ini berasal dari epitel germinativum. Bentuk kista umumnya unilokular, tapi
jika multilokular perlu dicurigai adanya keganasan.Kista ini dapat membesar, tetapi
tidak sebesar kista musinosum. Selain teraba massaintraabdominal juga dapat timbul
asites. Penatalaksanaan umumnya sama dengan kistadenoma ovarii musinosum.
24
• Kista Dermoid
Kista dermoid adalah teratoma kistik jinak dengan struktur ektodermal
berdiferensiasi sempurna dan lebih menonjol dari pada mesoderm dan entoderm.
Bentuk cairan kista ini seperti mentega. Kandungannya tidak hanya berupa cairan
tapi juga ada partikel lain seperti rambut, gigi, tulang, atau sisa-sisa kulit. Dinding
kista keabu-abuan dan agak tipis, konsistensi sebagian kistik kenyaldan sebagian lagi
padat. Dapat menjadi ganas, seperti karsinoma epidermoid. Kista ini diduga berasal
dari sel telur melalui proses parthenogenesis. Gambaran klinis adalah nyeri
mendadak di perut bagian bawah karena torsi tangkai kista dermoid. Dinding kista
dapat ruptur sehingga isi kista keluar di rongga peritoneum.Penatalaksanaan dengan
pengangkatan kista dermoid bersama seluruh ovarium.
Kista nonneoplastik terdiri dari:
• Kista Folikel
Kista ini berasal dari Folikel de Graaf yang tidak sampai berovulasi, namun
tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari beberapa folikel primer yang setelah
tumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak mengalami proses atresia yang lazim,
melainkan membesar menjadi kista. Bisa didapati satu kista atau lebih, dan besarnya
biasanya dengan diameter 1 – 1,5 cm. Kista folikel ini bisa menjadi sebesar jeruk
nipis. Bagian dalam dinding kista yang tipis yang terdiri atas beberapa lapisan sel
granulosa, akan tetapi karena tekanan di dalam kista, maka terjadilah atrofi pada
lapisan ini. Cairan dalam kista berwarna jernih dan sering kali mengandung
estrogen.Oleh sebab itu, kista kadang-kadang dapat menyebabkan gangguan
haid.Kista folikel lambat laun dapat mengecil dan menghilang spontan, atau bisa
terjadi ruptur dan kista pun menghilang. Umumnya, jika diameter kista tidak lebih
dari 5 cm, maka dapat ditunggu dahulu karena kista folikel biasanya dalam waktu 2
bulan akan menghilang sendiri.
• Kista Korpus Luteum
Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil dan menjadi korpus
albikans.Kadang-kadang korpus luteum mempertahankan diri (korpus luteum
persistens), perdarahan yang sering terjadi di dalamnya menyebabkan terjadinya
kista, berisi cairan yang berwarna merah coklat karena darah tua.Frekuensi kista
korpus luteum lebih jarang dari pada kista folikel.Dinding kista terdiri atas lapisan
berwarna kuning, terdiri atas sel-sel luteum yang berasal dari sel-sel teka.Kista
korpus luteum dapat menimbulkan gangguan haid, berupa amenorea diikuti oleh
25
perdarahan tidak teratur.Adanya kista dapat pula menyebabkan rasa berat di perut
bagian bawah dan perdarahan yang berulang dalam kista dapat menyebabkan
ruptur.Rasa nyeri di dalam perut yang mendadak dengan adanya amenorea sering
menimbulkan kesulitan dalam diagnosis diferensial dengan kehamilan ektopik yang
terganggu.Jika dilakukan operasi, gambaran yang khas kista korpus luteum
memudahkan pembuatan diagnosis. Penanganan kista korpus luteum ialah
menunggu sampai kista hilang sendiri. Dalam hal dilakukan operasi atas dugaan
kehamilan ektopik terganggu, kista korpus luteum diangkat tanpa mengorbankan
ovarium.
• Kista Lutein
Pada mola hidatidosa, koriokarsinoma, dan kadang-kadang tanpa adanya kelainan
tersebut, ovarium dapat membesar dan menjadi kistik. Kista biasanya bilateral dan
bisa menjadi sebesar ukuran tinju.Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat luteinisasi
sel-sel teka. Sel-sel granulosa dapat pula menunjukkan luteinisasi, akan tetapi
seringkali sel-sel menghilang karena atresia. Tumbuhnya kista ini ialah akibat
pengaruh hormon koriogonadotropin yang berlebihan, dan dengan hilangnya mola
atau koriokarsinoma, ovarium mengecil spontan.
• Kista Inklusi Germinal
Kista ini terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian kecil dari epitel
germinativum pada permukaan ovarium.Kista ini lebih banyak terdapat pada wanita
yang lanjut umurnya, dan besarnya jarang melebihi diameter 1 cm. Kista ini biasanya
secara kebetulan ditemukan pada pemeriksaan histologik ovarium yang diangkat
waktu operasi.Kista terletak di bawah permukaan ovarium, dindingnya terdiri atas
satu lapisan epitel kubik atau torak rendah, dan isinya cairan jernih dan serus.
• Kista Endometriosis
Kista yang terbentuk dari jaringan endometriosis (jaringan mirip dengan selaput
dinding rahim yang tumbuh di luar rahim) menempel di ovarium dan berkembang
menjadi kista.Kista ini sering disebut juga sebagai kista coklat endometriosis karena
berisi darah coklat-kemerahan.Kista ini berhubungan dengan penyakit endometriosis
yang menimbulkan nyeri haid dan nyeri senggama.Kista ini berasal dari sel-sel
selaput perut yang disebut peritoneum.Penyebabnya bisa karena infeksi kandungan
menahun, misalnya keputihan yang tidak ditangani sehingga kuman-kumannya
masuk kedalam selaput perut melalui saluran indung telur.Infeksi tersebut
melemahkan daya tahan selaput perut, sehingga mudah terserang penyakit.Gejala
26
kista ini sangat khas karena berkaitan dengan haid. Seperti diketahui, saat haid tidak
semua darah akan tumpah dari rongga rahim ke liang vagina, tapi ada yang memercik
ke rongga perut. Kondisi ini merangsang sel-sel rusak yang ada di selaput perut
mengidap penyakit baru yang dikenal dengan endometriosis.Karena sifat
penyusupannya yang perlahan, endometriosis sering disebut kanker jinak.
• Kista Stein-Leventhal
Ovarium tampak pucat, membesar 2 sampai 3 kali, polikistik, dan permukaannya
licin.Kapsul ovarium menebal. Kelainan ini terkenal dengan nama sindrom Stein-
Leventhal dan kiranya disebabkan oleh gangguan keseimbangan hormonal.
Umumnya pada penderita terhadap gangguan ovulasi, oleh karena endometrium
hanya dipengaruhi oleh estrogen, hiperplasia endometrii sering ditemukan.
2.2.3. Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit kista Ovarium belum diketahui secara pasti.
Akan tetapi salah satu pemicunya adalah faktor hormonal.Penyebab terjadinya kista
ovarium ini dipengaruhi oleh banyak factor yang saling berhubungan. Beberapa
faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya kista ovarium adalah:
• Gangguan pembentukan hormone
Kista ovarium disebabkan oleh 2 gangguan (pembentukan) hormon yaitu pada
mekanisme umpanbalik ovarium dan hipotalamus. Estrogen merupakan sekresi yang
berperan sebagai respon hipersekresi folikel stimulasi hormon. Dalam menggunakan
obat- obatan yang merangsang pada ovulasi atau misalkan pola hidup yang tidak
sehat itu bisa menyebabkan suatu hormone yang pada akhirnya dapat menyebabkan
ketidakseimbangan hormone. Gangguan keseimbangan hormon dapat berupa
peningkatan hormon Luteinizing Hormon (LH) yang menetap sehingga dapat
menyebabkan ganguan ovulasi.
• Memiliki Riwayat kista ovarium atau keluarga memiliki riwayat kista ovarium.
• Penderita kanker payudara yang pernah menjalani kemoterapi (tamoxifen)
Tamoxifen dapat menyebabkan kista ovarium fungsional jinak yang biasanya
menyelesaikan penghentian pengobatan tersebut.
• Pada pengobatan infertilitas
Pasien dirawat karena infertilitas dengan induksi ovulasi dengan gonadotropin atau
agen lainnya , seperti clomiphene citrate atau letrozole , dapat mengembangkan kista
sebagai bagian dari sindrom hiperstimulasi ovarium.
27
• Gaya hidup yang tidak sehat
Gaya hidup yang tidak sehat dapat memicu terjadinya penyakit kista ovarium.Risiko
kista ovarium fungsional meningkat dengan merokok ,risiko dari merokok mungkin
meningkat lebih lanjut dengan indeks massa tubuh menurun.Selain dikarenakan
merokok pola makan yang tidak sehat seperti konsumsi tinggi lemak, rendah serat,
konsumsi zat tambahan pada makanan, konsumsi alcohol dapat juga meningkatka
risiko penderita kista ovarium.Pada wanita yang sudah menopause kista fungsional
tidak terbentuk karena menurunnya aktivitas indung telur.
• Gangguan siklus Haid
Gangguan siklus haid yang sangat pendek atau lebih panjang harus diwaspadai.
Menstuasi di usia dini yaitu 11 tahun atau lebih muda merupakan faktor resiko
berkembangnya kista ovarium, wanita dengan siklus haid tidak teratur juga
merupakan faktor resiko kista ovarium.
• Pemakaian alat kontrasepsi hormonal
Wanita yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal juga merupakan faktor resiko
kista ovarium, yaitu pada wanita yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal
berupa implant, akan tetapi pada wanita yang menggunakan alat kontrasepsi
hormonal berupa pil cenderung mengurangi resiko untuk terkena kista ovarium.
2.2.4. Gejala Kista Ovarium
Gejala yang sering timbul pada kista ovarium adalah perut terasa penuh, berat
dan kembung, tekanan pada dubur dan kandung kemih (sulit buang air kecil), siklus
menstruasi tidak teratur dan sering nyeri, nyeri panggul yang menetap atau kambuhan
yang dapat menyebar ke punggung bawah dan paha, nyeri senggama, mual, ingin
muntah, atau pengerasan payudara mirip seperti pada saat hamil, luas permukaan
dinding endometrium menebal,dan pembengkakan tungkai bawah yang tidak disertai
rasa sakit. Kadang-kadang kista dapat memutar pada pangkalnya, mengalami infark
dan robek, sehingga menyebabkan nyeri tekan perut bagian bawah yang akut sehingga
memerlukan penanganan kesehatan segera.
2.2.5. Diagnosa
Penegakan diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan dibantu dengan
pemeriksaan lanjutan yang berguna untuk mengetahui apakah sebuah kista berasal dari
ovarium atau tidak, serta untuk menentukan sifat-sifat kista. Pemeriksaannya berupa
pemeriksaan gnekologis, ultrasonografi yaitu dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan
28
letak dan batas kista, apakah kista berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing,
apakah kista kistik atau solid, dan dapat pula dibedakan antara cairan dalam rongga
perut yang bebas dan yang tidak. Foto Rontgen yaitu pemeriksaan ini berguna untuk
menentukan adanya hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang
dapat dilihat adanya gigi dalam kista. Parasentesis yaitu pungsi asites berguna untuk
menentukan sebab asites. Perlu diperhatikan bahwa tindakan tersebut dapat
mencemarkan kavum peritonei dengan isi kista bila dinding kista tertusuk.
2.2.6. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, tumor ovarium memerlukan pembedahan, tetapi ada
beberapa kista benigna yang pada umumnya tidak memerlukan pembedahan seperti
kista folikel de graf, kista korpus luteum dan kista endometrium. Penatalaksanaan pada
tumor berbeda – beda tergantung jenis tumor neoplastik ganas atau tidak.
1. Tumor ovarium nonneoplastic
Tumor ovarium yang tidak memberikan gejala / keluhan pada penderita dan yang
besarnya tidak melebihi jeruk nipis dengan diameter kurang dari 5 cm termasuk tumor
nonneoplastik. Tidak jarang tumor – tumor tersebut mengalami pengecilan secara
spontan menghilang. Maka tindakan yang dilakukan ialah:
a. Menunggu selama 2 sampai 3 bulan.
b. Mengadakan pemeriksaan ginekologik berulang.
c. Mengamati peningkatan pertumbuhan tumor.
d. Mempertimbangkan tindakan operatif, apabila kesimpulan dari hasil
observasi tumor tersebut bersifat neoplastik.
2. Tumor ovarium neoplastik tidak ganas
Tindakan yang dilakukan pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas
ialah :
a. Pengangkatan tumor ini adalah dengan pengangkatan reseksi pada bagian
ovarium yang mengandung tumor.
b. Jika tumornya besar atau ada komplikasi perlu dilakukan pengangkatan
ovarium disertai dengan pengangkatan tuba (salpingo-ooforektomi).
c. Operasi kedua dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah ditemukan
tumor pada satu atau dua ovarium.
d. Operasi tumor ovarium yang diangkat harus terbuka, untuk mengetahui
apakah ada keganasan atau tidak. Jika keadaan meragukan, perlu pada saat
29
operasi dilakukan pemeriksaan sediaan yang dibekukan (frozen section) oleh
seorang ahli patologi anatomik untuk mendapatkan kepastian apakah tumor
tersebut ganas atau tidak.
3. Histerektomi dan salpingo-ooforektomi bilateral
Operasi yang tepat jika terdapat keganasan adalah dengan histerektomi dan
salpingo-ooforektomi bilateral (pengangkatan kedua tuba). Pada wanita muda
yang masih ingin mempunyai keturunan dan dengan tingkat keganasan tumor
yang rendah (misalnya tumor sel granulosa), dapat dipertanggungjawabkan
untuk mengambil risiko dengn melakukan operasi yang tidak bersifat
radikal.(Sjamjuhidajat, 2004 ; Wiknjosastro, 2005 )
2.3. Trombositosis
2.3.1. Definisi
Jumlah trombosit normal berkisar antara 150000-450000 x 106 cell/mm3. Bila
jumlah platelet lebih besar dari 2 SD diatas rata-rata disebut trombositosis. Beberapa
kepustakaan menyebutkan trombositosis dengan jumlah yang bervariasi antara 400-
1000 x109/L. Angka kejadian pasti dari trombositosis tidak diketahui, Sutor dalam
beberapa penelitian menjumpai trombositosis pada anak 3-13% yang dirawat di rumah
sakit dan pada anak 1,5% yang berobat jalan.
Jumlah trombosit yang berlebihan dapat disebabkan oleh banyak faktor, tetapi
dapat dikelompokkan dalam 3 keadaan, yaitu :
- Gangguan primer, seperti mieloproliferatif atau sindroma dysplasia
- Peningkatan produksi yang disebabkan oleh rangsangan (usia trombosit
yang memanjang yang menyebabkan trombositosis tidak dapat dijelaskan)
- Pergeseran trombosit dari splenic pool ke dalam sirkulasi perifer.
Klasifikasi tombositosis berdasarkan jumlah trombosit adalah3 :
1. Trombositosis ringan : 500-700 x 105/l
2. Trombositosis sedang : 700-900 x 105/l
3. Trombositosis berat : > 900 x 105/l
4. Trombositosis ekstrem : > 1000 x 105/l
2.3.2 Etiologi
Trombosistosis dapat terbagi menjadi trombositosis reaktif dan primer. Pada
trombositosis primer, terdapat gangguan pengikatan trombopoetin terhadap
30
trombosit dan megakariosit abnormal sehingga terdapat peningkatan kadar
trombopoetin bebas dalam plasma. Megakariosit menjadi hipersensitif terhadap
aksi trombopoetin yang akhirnya menyebabkan peningkatan produksi trombosit.
Trombositosis reaktif terjadi karena produksi berlebih dari sitokin proinflamasi
seperti (IL)-1, IL-6, dan IL-11 yang muncul pada inflamasi kronik, infektif, dan
keganasan. terdapat suatu penyakit dasar yang akan merangsang peningkatan
sintesis trombopoetin dengan mediator berbagi sitokin diantaranya IL-6 yang
selanjutnya akan meningkatkan aktivitas megakariosit memproduksi trombosit.
Walau sama-sama terjadi peningkatan produksi trombosit, terdapat perbedaan
diantara keduanya.
Pada trombositosis primer tidak terdapat suatu penyakit dasar, umumnya
ditemukan splenomegali, gambaran darah tepi pasien berupa trombosit raksasa,
dengan fungsi trombosit yang mungkin abnormal. Selain itu pada sumsum tulang
dapat terlihat hiperplasia megakariositik. Pada trombositosis reaktif penyakit dasar
sering kali muncul, tidak terdapat splenomegali, gambaran darah tepi menunjukan
trombosit yang normal dan fungsi yang normal.
Trombositosis disebabkan karena sumsum tulang belakang mengalami
kelainan sehingga menghasilkan begitu besar sel yang membentuk trombosit dan
melepaskan banyak trombosit dalam darah. Trombosit memegang peranan penting
dalam pembekuan darah pada saat terjadi perdarahan atau luka. Dalam batas
normal sumsum tulang belakang memproduksi trombosit 150.000 hingga 450.000
per mikroL. Bila trombosit berlebihan lama kelamaan berpeluang menimbulkan
kanker, kehilangan darah akut, kekurangan zat besi atau anemia4.
Berdasarkan etiologi, trombositosis dibagi dalam 2 kelompok, yaitu :
1. Trombositosis Primer/autonom (Esential)
2. Trombositosis Sekunder (Reaktif)3
31
dengan Myeloproliferative Disorder seperti Idiopatic Trombosithemia,
Policytemia Vera (PCV), Chromic Myeloid Leukemia (CML) dan Megalofibrosis
Idiopatic3.
2.3.3 Patofisiologi
Trombopoetin merupakan hormon kunci dalam pengaturan diferensiasi
dan proliferasi megakariosit. Walaupun demikian beberapa sitokin seperti
Interleukin1, interleukin 6 dan interleukin 11 juga berperan dalam proses ini yang
bekerja sinergi dengan trombopoetin. Trombopoetin mempengaruhi pertumbuhan
megakariosit mulai dari sel induk sampai produksi trombosit.
Trombosit matur berperan penting dalam regulasi kadar trombopoietin
plasma. Trombosit mempunyai reseptor terhadap trombopoietin (c-mpl) dan
memobilisasi trombopoietin dari plasma. Pada keadaan trombositopeni, terjadi
peningkatan kadar trombopoietin plasma karena berkurangnya pengikatan
trombopoietin oleh trombosit. Peningkatan kadar trombopoietin plasma ini akan
merangsang megakariopoiesis. Sebaliknya pada keadaan tombositosis, deplesi
plasma trombopoietin akan menurunkan megakariopoiesis. Mekanisme regulasi
ini mengatur produksi trombosit. Pada Trombositosis esensial, kadar
trombopoietin normal atau bahkan meningkat meskipun terjadi peningkatan massa
32
trombosit dan megakariosit.
Terjadinya disregulasi kadar trombopoietin plasma pada trombositosis
esensial diduga disebabkan karena :
a. Produksi trombopoieitin yang berlebihan dan/atau
b. Abnormalitas pengikatan dan pemakainan trombopoietin oleh
trombosit dan megakariosit. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya ekspresi c-
mpl pada trombosit penderita trombositosis esensial .
Pada trombositosis primer, terdapat gangguan pengikatan trombopetin
terhadap trombosit dan megakariosit abnormal, sehingga terhadap peningkatan
kadar trombopoetin bebas di plasma. Walaupun reseptor trombopoetin (c-MPL)
berkurang, tetapi kadar megakariosit menjadi hipersensitif terhadap aksi
trombopoetin, yang akhirnya peningkatan megakariositopoetik dan trombosit.
Mutasi somatic tunggal protein tirosin kinase Janus kinase (JAK 2) terlihat
bertanggung jawab terhadap berbagai gambaran trombositosis primer termasuk
trombositosis esensial. Data terakhir memperlihatkan bahwa JAK 2 ini berperan
terhadap berkurangnya c-MPL5.
33
Berbeda dengan kelainan mieloproliferatif yang lain, pada trombositemi esensial
jarang ditemukan gejala konstitusional atau metabolik seperti demam, berkeringat
dan penurunan berat badan.
Kelainan fisik yang dapat ditemukan :
• Manifestasi perdarahan (13-37 % penderita) : epistaksis, easy
bruising, petekie,
• perdarahan traktus gastrointestinal berulang
• Manifestasi trombosis (18-84 % penderita)
o banyak ditemukan pada orang tua
o trombosis vena : vena hepatica (sindroma Budd-Chiari), mesenterika,
lienalis, priapism (trombosis vena penis), emboli paru
o trombosis arteri : transient cerebral ischemia, eritromelalgia (obstruksi
mikrosirkulasi jari-jari kaki/tangan), dapat berlanjut menjadi akrosianois
• Spenonegali ringan dapat ditemukan pada 40 %
penderita, splenonegali moderate ditemukan pada 20-50 % penderita
• Hepatomegali
• Limfadenopati (jarang)
• Ulkus peptikum, varises gaster dan esophagus
• Gout
• Abortus berulang dan gangguan pertumbuhan fetus , karena adanya
infark multipel di plasenta yang disebabkan thrombus trombosit yang
mengakibatkan insufisiensi plasenta6.
34
5. Fibrosis kolagen pada sumsum tulang :
• tidak ada atau
• kurang < 1/3 area biopsi, tanpa disertai splenomegali yang menonjol
dan reaksi lekoeritroblastik Tidak didapatkan kelainan morfologi atau sitogenetik
sindroma mielodisplasi
6. Tidak didapatkan penyebab reaktif trombositosis
Pada pasien dengan gejala/tanda adanyat rombositosis perlu dilakukan
pemeriksaan darah dan untuk memastikan diagnosis, aspirasi sumsum tulang juga
dapat dilakukan3.
2.3.6 Pengobatan
Pada tahun 2002, Gale merekomendasikan pengelolaan Trombositosis
esensial sebagai berikut:
1. Resiko rendah :
a. hindari obat-obatan sitoreduktif (dapat dipertimbangkan bila ada
komplikasi)
b. aspirin dosis rendah (100-300 mg/hari) untuk gejala-gejala
mikrovaskuler (misalnya eritromelalgia)
2. Resiko tinggi :
a. Sitoreduksi
b. hidroksiurea sebagai pilihan pertama
c. pertimbangkan interferon atau Anagrelide pada penderita berusia
muda ( < 40 tahun) pertimbangkan Busulfan pada penderita usia tua ( > 70 tahun)
Aspirin dosis rendah bila ada riwayat trombosis
a. Obat-Obat Sitoreduksi
o Hidroksiurea
Hidroksiurea menjadi pilihan terapi Trombositosis esensial karena
efektivitasnya dan efek toksik yang rendah. Dosis awal pemberian dalah 15-20
mg/kg/hari, kemudian disesuaikan untuk mempertahankan jumlah trombosit
kurang dari 400000/mm3 tanpa disertai penurunan netrofil. Pemberian
hidroksiurea menurunkan jumlah trombosit di bawah 500000/mm3 dalam waktu
8 minggu pad 80 % penderita. Penurunan jumlah trombosit dengan pemberian
hidroksiurea berhubungan secara bermakna dengan perbaikan gejala iskemi dan
perdarahan.9 Efek samping yang sering ditemukan adalah netropeni, anemi
35
makrositik. Netropeni berhubungan dengan dosis dan reversibel dengan
penghentian obat selama beberapa hari. Efek samping yang jarang terjadi adalah
demam, gejala kutaneus, ulkus tungkai. Penghentian hidroksiurea akan diikuti
rebound jumlah tormbosit. Kegagalan hidroksiurea dalam menurunkan jumlah
trombosit dilaporkan antara 11-21 %.9 Peningkatan resiko terjadinya leukemia
pada pemberian hidroksiurea merupakan hal yang sering dibicarakan akhir-akhir
ini dan menjadi suatu pertanyaan dalam penggunaannya pada terapi Trombositosis
esensial. Hidroksiurea merupakan obat non-alkilating, pada awalnya dianggap
tidak bersifat mutagenik. Meskipun demikian pada pemantauan jangka panjang,
didapatkan kejadian leukemia akut antara 3,5-10 % setelah 4-10 tahun penggunaan
hidroksiurea pada penderita Trombositosis esensial dan Polisitemi vera.9 Faktor-
faktor yang diduga berperan dalam transformasi menjadi leukemia akut adalah :
1. Kelainan sitogenetik: Kira-kira 5 % penderita Trombositosis esensial
mempunyai kelainan.
2. Sitogenetik, terbanyak ditemukan pada kromosom 1,2,5,17,20,21.
Delesi 17p merupakan kelainan yang ditemukan pada sebagian besar kasus
Trombositosis esensial yang mengalami transformasi menjadi leukemia
mieloblastik akut dan sindroma mielodisplasi setelah terapi hidroksiurea.9
3. Adanya mielofibrosis.9
4. Penggunaan obat-obat sitotoksik lain.9
o Busulfan
Busulfan merupakan obat alkilating dengan kerja spesifik terhadap
proliferasi megakariosit. Dosis yang dipergunakan antara 2-4 mg/hari, disesuaikan
dengan respon hematologis dan pemeriksaan trombosit setiap minggu. Setelah
jumlah trombosit normal, kontrol jangka panjang dapat dicapai dengan pemberian
intermiten. Dengan cara pemberian ini dapat dihindari efek samping obat yang
biasa terjadi pada pemberian dosis tinggi seperti aplasi sumsum tulang, pigmentasi
kulit, amenore dan fibrosis paru.Meskipun tidak ditemukan adanya transformasi
menjadi leukemia akut pada pemberian busulfan pada Trombositosis esensial,
pertimbangan adanya kemungkinan efek lekemogenik membatasi penggunaannya
hanya pada orang tua.9
b. Interferon
Rekombinan interferon α (IFN) mempunyai efek sitoreduktif tanpa efek
samping mutagenik. Dasar pertimbangan penggunaan IFN adalah efek
36
mielosupresif dan efek antagonis PDGF (platelet-derified growth-factor). PDGF
merupakan produk megakariopoiesis yang merangsang proliferasi fibroblas.9
Dosis interferon yang digunakan berkisar antara 21- 35 juta unit/ minggu pada fase
induksi , biasanya berlangsung 4-6 minggu. Repon komplit dan parsial biasanya
di atas 80 %. Dosis pemeliharaan adalah dosis minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan respon komplit ( trombosit < 450000/mm3) atau parsial (
trombosit < 600000/mm3), biasanya 3 juta unit 3 kali seminggu sampai 3 juta
unit/hari.9 Efek samping yang sering terjadi adalah demam, flu like symptoms,
kelemahan , mialgia, penurunan berat badan, rambut rontok, depresi berat, gejala
gastrointestinal dan kardiovaskuler, tiroiditis atau terbentuknya antibody tiroid.
Efek-efek samping ini menyebabkan penghentian pemakaian IFN pada 25 %
kasus. Tidak ditemukan efek lekemogenik pada pemberian IFN.9 Meskipun
adanya efek samping dan harga yang mahal, IFN merupakan pilihan terapi
terutama pada penderita Trombositosis esensial usia muda.9
c. Anagrelide
Anagrelide merupakan senyawa imidazo (2,1-b) quinazolin-2-one dengan
efek inhibisi agregasi trombosit melalui penghambatan cyclic nucleotide
phosphodiesterase dan phospholipase A9. Pada dosis yang lebih rendah ,
anagrelide mempunyai efek menurunkan jumlah trombosit. Mekanisme kerja
anagrelide dalam menurunkan jumlah trombosit tanpa mempengaruhi leukosit dan
eritrosit belum sepenuhnya diketahui. Data-data menunjukkan, kerja utama
anagrelide adalah inhibisi maturasi megakariosit.9 Dosis awal anagrelide yang
direkomendasikan adalah 4 x 0,5 mg, kemudian dosis disesuaikan untuk
mempertahankan trombosit < 600000/mm3. Peningkatan dosis tidak boleh
melebihi 0,5 mg/hari dalam waktu 1 minggu. Dosis tidak boleh melebihi 10
mg/hari atau 2,5 mg dalam 1 kali pemberian. Efek samping yang paling serius
adalah efek kardiak , termasuk palpitasi (27 %), takikardi atau aritmia lain (< 10%)
dan gagal jantung kongestif (2%). Efek vasodilatasi anagrelide menimbulkan sakit
kepala (> 1/3 penderita), retensi cairan dan edema (24 %), dizziness (15 %),
hipotensi postural. Efek samping yang lebih jarang adalah efek gastrointestinal
(nausea, nyeri abdomen, diare), rash Sekitar 16 % dari 424 penderita penyakit
mieloproliferatif, termasuk 262 penderita Trombositosis esensial menghentikan
anagrelide karena efek sampingnya.
37
d. Obat antitrombosit
Aspirin merupakan obat antitrombosit yang sangat efektif pada penderita
Trombositosis esensial dengan komplikasi trombosis rekuren, terutama iskemi
digital atau serebrovaskuler. Aspirin memperbaiki peningkatan turnover trombosit
dan gejala klinik eritromelalgia. Meskipun demikian , aspirin juga dapat
menyebabkan pemanjangan waktu perdarahan dan perdarahan serius pada
penderita Trombositosis esensial. Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai
penggunaan aspirin pada Trombositosis esensial, beberapa peneliti menganjurkan
digunakan dengan hati-hati, peneliti yang lain merekomendasikan penggunaan
rutin untuk mencegah trombosis kecuali bila terdapt kontraindikasi (adanya
riwayat perdarahan).
Pengobatan utama pada TR adalah mengobati penyakit primernya. Pada
pasien muda yang tanpa gejala, perlu monitoring dengan atau tanpa
medikamentosa. Tidak ada terapi spesifik untuk anak. Obat-obat alkylating agent
dan radioterapi dapat meningkatkan kejadian leukemia tranformasi. Pemakaian
hydroxiurea dapat dipertimbangkan pada anak dengan episode trombotik atau
perdarahan. Pemakaian aspirin dan dypiridamole sebagai penghambat agregasi
trombosit dapat dipertimbangkan pada pasien TE. Pada keadaan kegawatan seperti
kondisi dengan perdarahan hebat dengan jumlah trombosit > 1000 x 109 / L dapat
dipertimbangkan tindakan plateletpheresis3.
Medikamentosa, dapat berupa :
1. Anti platelet agent
- Asam asetil salisilat : 80-160 mg/po, dosis tunggal, atau
- Dypiridamol : 3-6 mg/kgbb/hari, po, dosis terbagi
2. Obat penurun trombosit :
- Hidroksiurea : 20-30 mg/kgbb, po, dosis tunggal
- Anagrelide (dalam penelitian) : 0,5-1 mg/hari, po, atau
- Interferon α 2a
2.3.7 Prognosis
Penyebab utama mobiditas dan mortalitas penderita Trombositosis
esensial adalah trombositosis dan perdarahan (kira-kira terjadi pada 40 %
penderita). Pada beberapa kasus, trombositosis esensial mengalami transformasi
menjadi penyakit mieloproliferatif yang lain. Penggunaan fosfor radioaktif atau
38
obat-obat alkilating dan kemungkinan juga hidroksiurea dalam terapi
Trombisitemi esensial tampaknya meningkatkan kemungkinan konversi menjadi
leukemi akut. Kelangsungan hidup penderita trombositosis esensial tidak berbeda
dengan populasi normal pada usia yang sama.
2.4.2 Etiologi
Penyebab efusi pleura dapat digolongkan berdasarkan cairan efusinya
yaitu cairan transudat dan eksudat. Efusi transudatif biasanya disebabkan oleh
ketidak seimbangan gaya Starling pada membran pleura normal, memiliki cairan
yang kurang protein, bersifat bilateral, dan tidak disertai demam, nyeri pleuritik
39
atau nyeri tekan jika dipalpasi. Penyebab efusi transudatif yang paling sering
adalah gagal jantung kongestif. Penyebab lain meliputi sirosis dengan ascites,
sindrom nefrotik, penyakit perikardial atau dialisis peritoneal.
Efusi eksudatif menunjukan secara tidak langsung penyakit pleura atau
paru yang berdekatan, yang ditandai dengan peningkatan protein, laktat
dehidrogenase (LDH), kolesterol, atau jumlah sel darah putih. Diagnosis banding
efusi eksudatif sangat luas, termasuk infeksi, keganasan, penyakit autoimun,
perforasi esofagus dan pankreatitis.
2.4.4 Diagnosis.
Diagnosis pasti dapat ditegakan dengan pemeriksaan penunjang rontgen
thoraks dan pemeriksaan penunjang yang lainnya. Efusi pleura dapat dideteksi
dengan foto thoraks bila ada cairan lebih dari 300 mL (Hartanto, 2008). Referensi
lain menyebutkan dengan 5 mL cairan efusi pleura masih dapat terdeteksi dengan
foto thoraks dengan posisi lateral dekubitus. Posisi lateral sekitar 50 – 75 mL
cairan dapat terlihat, sedangkan 175 – 200 mL terlihat pada posisi posteroanterior
(PA).
Pemeriksaan radologis lainnya dapat dilakukan dengan pemeriksaan
Ultrasonografi, CT scan dan MRI. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
menganalisa cairan pleura (transudat atau eksudat), yang diambil dengan cara
melakukan thoracentesis.
40
Evaluasi diagnostik efusi pleura harus meliputi pengukuran jumlah sel
aspirat pleura dengan hitung diferensial, pH, protein LDH, kolesterol dan glukosa.
Pemeriksaan tersebut biasanya membedakan transudat dan eksudat dan akan
sering menunjukan suatu diagnosis yang spesifik, misalnya glukosa yang sangat
rendah bersifat khas untuk empyema, keganasan, tuberkulosa, artritis rematoid,
lupus eritromatosus sistemik (SLE) dan perforasi esofagus. Jika secara klinis
diindikasikan, suatu diagnosis spesifik dapat diperoleh dari pewarnaan
mikrobiologis dan kultur, sitopatologi, amilase, trigliserida, dan pengukuran titer
antibodi antinuklear (ANA). Pasien dengan SLE memiliki ANA positif dalam
cairan efusi pleura namun ANA juga terdapat pada proporsi signifikan (15%)
untuk efusi yang lain, hal tersebut terkait dengan keganasan.
41
BAB III
LAPORAN ANESTESI
3.1 Laporan Kasus
Laporan kasus ini membahas pasien perempuan, usia 59 tahun dengan diagnosis
Kista Ovarium sugg. Malignant+efusi pleura masive + trombositosis dengan rencana
anestesi umum dengan endotrakeal tube.
• Identitas Pasien
Nama An. RL
Umur 59 Tahun
Agama Islam
Status
No. RM 01.08.96.80
B1 (Breath)
Airway : Clear
Mallampati :I
43
Maxillofacial injury :-
B2 (Blood)
Akral : Hangat
T/V : Cukup
Temperatur : 36,6oC
B3 (Brain)
GCS : 15
RC : +/+
B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning
44
Kateter :-
B5 (Bowel)
Abdomen : Membesar asimetris ascites (+), teraba massa sebesar kepala bayi
dengan batas pole atas 2 jari dibawah umbilikus dan pole bawah
setentang simfisis pubis, immobile, nyeri tekan (+)
Mual/Muntah : +/-
BAB/Flatus :+/+
NGT/warna :-
B6 (Bone)
Fraktur :-
Luka bakar :-
Oedem :-
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium
Hematologi (19 September 2019)
Ht : 34,1 % (N : 33-39 %)
45
Kimia Klinik (19 September 2019)
• Punksi pleura
Telah dilakukan aspirasi cairan pleura di LMAS ICS IV-V dikeluarkan cairan
sebanyak +/- 1500 cc warna serous hemorragic
Telah dilakukan aspirasi cairan pleura di LMAS ICS IV-V dikeluarkan cairan
sebanyak 300 cc warna serous hemorragic
46
• USG Upper Lower Abdomen (03 September 2019):
Kesan : Tumor Ovarium suspek maligna disertai ascites masif dan metastase
kelenjar getah bening inguinal kiri
Diagnosa Kerja
Kista Ovarium suggest malignant + efusi pleura masif kanan + trombositosis (Meigs
Syndrome)
Rencana Tindakan
Laparotomi biopsi + Omentektomi
Rencana Anestesi
Relaksan : Roculac 30 mg
Kesimpulan
Pasien perempuan, usia 59 tahun dengan diagnosis Kista ovarium suggest malignant +
Efusi pleura sinistra + Trombositosis (Meig’s Syndrome) akan direncanakan tindakan
Laparotomi biopsi + Omentektomi rencana anestesi umum dengan endotrakeal tube.
47
PERSIAPAN PASIEN
48
7. Spuit 3cc, 5cc dan 10cc
8. Gel lubricating
9. Handscoen
10. Face mask
11. Ventilator
13. Oxymetry
19. Tapes
20. Alcohol
49
Persiapan Obat-Obatan Anestesi
Premedikasi Midazolam 5 mg/5 cc
Pemberian : 2,5 – 5 mg
Pemberian : 30 - 60 mg
VT = 300 – 400
Neostigmine 1,5 mg
50
Di Ruang Operasi
JAM (WIB)
51
• TD: 100/60 mmHg, Nadi: 86x/i, SpO2: 99%
09.45 Operasi dimulai
• Operasi selesai
• Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2
dipertahankan
Monitoring perdarahan
Perdarahan
Suction : 400 cc
Total : 900 cc
Keterangan Tambahan
- EBV : 50 x 65 = 3250 cc
- EBL : 10% = 325 cc
20% = 650 cc
30% = 975 cc
Post Operasi
Di Ruang Pemulihan
Setelah operasi selesai pukul 11.10, sekitar pukul 11.15 pasien dibawa ke ICU, kemudian
dilakukan penilaian terhadap tingkat kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos
mentis. Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan TD: 120/60 mmHg, nadi
86x/menit, respirasi 19x/menit dan saturasi O2 98%.
53
Instruksi Pasca Bedah :
• Bed rest
• IVFD RL 20 gtt/i
• Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
• Drip Ketamin dalam 200 mg dalam 50 cc NaCl 0,9% ➔ 2cc/jam
• Inj. Ondansentron 4mg/12jam
• Pantau vital sign per 15 menit selama 24 jam
• Cek Darah rutin 6 jam post operasi
3.2 Pembahasan
TEORI KASUS
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai Pasien ini digolongkan dalam ASA
kebugaran fisik seseorang berasal dari The 3.
54
American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
Premedikasi
Pemberian: 3 mg
55
Pemberian: 100 mcg
Induksi
56
BAB IV
KESIMPULAN
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Siahaan O. Dr. Prof. 2015. Anestesi Umum dan Anestesi Lokal. Medan : Fakultas
Kedokteran UMI / UNPRI ; Hal: 1-38.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Hal: 29-90
3. Chan J, Edman JC, Koltai PJ. Obstructive Sleep Apnea in Children. [Cited on1 March
2004]. Available from :http://www.aafp.org/afp/2004/0301/p1147.html. [Accessed
on 10 October 2019].
4. Samodro, Ratno dkk. 2011. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal. Dalam Jurnal
Anestesiologi Indonesia. Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
UNDIP RSUP Kariadi.
5. ASA. 2014. ASA Physical Status Classification System: Last Approved by ASA House
of Delegates on October, 2014. Available from
http://www.asahq.org>public>resource [Accessed on 10 October 2019].
6. Dobson, BM. Dharma A. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. World Health
Organization. EGC. Hal 47-110
7. Torpy J M, Lynm C. 2011. General Anesthesia. Vol 305. No 10. JAMA (The Journal
of the American Medical Association). (http: jama.jamanetwork.com) [Accessed on
10 October 2019]
8. Latief, Said A dkk. 2001. Petunjuk praktis anestesiologi. Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Siahaan, Oloan SM. 2012. Anastesi umum dan anastesi lokal. Medan : Dosen
Anestesiologi Fakultas Kedokteran UMI / UNPRI.Fadhilah E. 2015. Karakteristik
penderita kista ovarium. Medan : Universitas Sumatra Utara.
10. Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta : P.T. Bina
Pustaka Sarwono Prawiroardjo
11. Safitri Y. 2011. Pengalaman wanita usia subur dengan kista ovarium. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
12. Sitepu, JF. 2011. Perbandingan efektivits dexamethason 0,2mg/kgBB IV dengan
lidokain2% 1,5mg/kgBB IV untuk mencegah nyeri tenggorokan setelah anestesi GA-
ETT. Medan: Universitas Sumatra Utara.
58
13. Pane, JA. 2015. Perbandingan respon hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan
intubasi pada pemberian intravena fentanyl 2µg/kgBB + Magnesium sulfat. Medan:
Universitas Sumatra Utara.
14. Fadhilah E. 2015. Karakteristik wanita penderita kista ovarium RS Vita Insani
Pematang Siantar. Medan: Universitas Sumatera Utara.
59