Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

Multiple Closed Fracture Discontinue Cruris Dextra

Disusun Sebagai Bagian dari Persyaratan Menyelesaikan

Program Internship Dokter Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat

Disusun Oleh:

dr. DAA. Adlina Febry Maharani Putri

Pembimbing:

dr. Mike Wijayanti

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

DINAS KESEHATAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

DINAS KESEHATAN KOTA MATARAM

RUMAH SAKIT BHAYANGKARANUSA TENGGARA BARAT

PERIODE FEBRUARI 2022-PEBRUARI 2023

1
BERITA ACARA PRESENTASI DISKUSI KASUS

Pada hari ini tanggal Februari 2022, telah dipresentasikan Laporan Kasus oleh:

Nama peserta : dr. DAA. Adlina Febry Maharani Putri

Dengan judul/topik : Multiple closed fracture discontinue cruris dextra

Nama pendamping : dr. Mike Wijayanti

Nama wahana : Rumah Sakit Bhayangkara, Kota Mataram, NTB.

No Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan

1 dr. Ahmad Sandy Sauqy 1.

2 dr. Ketut Angga Aditya P.P 2.

3 dr. Noviyanti 3.

4 dr. Nurrahmi Ilmi 4.

5 dr. Heny Fransisca BR Sitohang 5.

6 dr. Maryam Bagis 6.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

(dr.Mike Wijayanti)

NIP: 197512192005012005

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Multiple Closed Fracture Discontinue Cruris Dextra”
dengan baik dan tepat waktu.

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas program


internship dokter Indonesia. Di samping itu, laporan kasus ini ditujukan untuk
menambah pengetahuan tentang Multiple Closed Fracture Discontinue Cruris
Dextra.

Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.


Mike Wijayanti selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada rekan–rekan anggota kelompok
internship.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya
masukan, kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan
terimakasih yang sebesar–besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan
tambahan informasi yang bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, Maret 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………....................... 3

DAFTAR ISI…………………………………………………………………. 4

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………......... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………... 7

2.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks……………………………………… 7

2.2 Definisi………………………………………………………………... 9

2.3 Epidemiologi………………………………………………………….. 9

2.4 Etiologi………………………………………………………………... 10

2.5 Klasifikasi……………………………………………………………... 10

2.6 Patofisiologi…………………………………………………………… 11

2.7 Diagnosis……………………………………………………………… 11

2.7.1 Anamnesis………………………………………………………... 11

2.7.2 Pemeriksaan Fisik………………………………………………... 12

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang………………………………………….. 14

2.7.4 Skor Alvarado……………………………………………………. 16

2.8 Tatalaksana……………………………………………………………. 17

2.9 Komplikasi…………………………………………………………….. 19

2.10 Prognosis…………………………………………………………….. 19

BAB III LAPORAN KASUS………………………………………………… 20

3.1 Identitas Pasien………………………………………………………... 20

3.2 Anamnesis…………………………………………………………….. 21

3.3 Pemeriksaan Fisik……………………………………………………... 27

4
3.4 Pemeriksaan penunjang ……………………………………………..... 30

3.5 Diagnosis……………..……………………………………………….. 30

3.6 Resume ……………………………………………………….. 31

3.7 Terapi………………………………………………………………….. 31

3.8 Prognosis……………………………………………………………… 31

BAB IV PEMBAHASAN……………………………………………………. 32

BAB V PENUTUP............................................................................................ 34

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 35

5
BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur adalah cedera traumatis yang umum terjadi pada seluruh golongan
umur. Cedera energi tinggi termasuk kecelakaan kendaraan bermotor, pejalan
kaki, kegiatan industri dan jatuh dari ketinggian merupakan beberapa penyebab
fraktur. Fraktur dengan energi tinggi lebih banyak disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas.1 Penelitian Riandini pada tahun 2015 menunjukan bahwa lokasi patah
tulang terbanyak pada korban kecelakaan lalu lintas adalah tulang ekstremitas
bawah. Fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan lalu lintas memiliki
prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Salah
satu jenis fraktur yang paling sering terjadi pada ekstremitas bawah adalah fraktur
kruris.2 Fraktur cruris adalah terputusnya hubungan tibia dan fibula disertai
kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, pembuluh darah).3

Menurut data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 dari


45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 14.027
orang mengalami fraktur kruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang
mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami
fraktur fibula.4 Cedera energi tinggi pada fraktur cruris memiliki pola patahan
patah tulang yang lebih rumit. Selain itu komplikasi patah tulang dengan energi
tinggi sering terjadi dan mempengaruhi kesembuhan pasien. Hal ini mendasari
perlunya penanganan tepat dan komperhensif pada pasien dengan fraktur
termasuk fraktur cruris.1

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Cruris


2.1.1 Tibia

Gambar 1. Bagian Os.Tibia6

Tibia proksimal berbentuk segitiga dengan daerah metafisis yang


luas dan menyempit di bagian distal. Tibia shaft adalah tulang panjang
yang berartikulasi dengan talus, fibula dan femur distal. Vakularisasi tibia
tersebar sangat luas dan bergantung pada kompartemen otot yang
disuplainya. Arteri tibialis anterior adalah cabang pertama dari arteri
poplitea, melewati antara 2 kepala tibialis anterior dan Extensor hallucis
longus (EHL) berakhir sebagai dorsalis pedis. Arteri tibialis posterior
merupakan kelanjutan dari arteri poplitea yang mengalir di kompartemen

7
dalam kaki yang berakhir sebagai arteri plantar medial dan lateral. Arteri
peroneal berakhir sebagai arteri kalkaneus. Sementara itu inersasi nervus
juga berjalan sesuai dengan arterinya. Nervus tibialis berjalan jauh ke
dalam soleus, berjalan turun ke aspek posterior malleolus medialis.
Cabang-cabang otot saraf ini mempersarafi otot-otot di kompartemen
posterior superfisial dan profunda. Nervus peroneus komunis terbagi
menjadi nervus peroneus superfisialis dan profunda. Nervus peroneus
superfisialis terlihat di sepanjang perbatasan antara kompartemen lateral
dan anterior dan mempersarafi peroneus longus dan brevis. Nervus
peroneus profunda juga mempersarafi otot-otot kompartemen anterior dan
merupakan sensorik ke ruang web pertama. Nervus saphena mempersarafi
aspek medial kaki dan tungkai. Otot-otot kompartemen dalam termasuk
popliteus, tibialis posterior, fleksor digitorum longus, dan fleksor hallucis
longus. Otot-otot kompartemen posterior superfisial termasuk
gastrocnemius, soleus, dan plantaris. Kompartemen lateral terdiri dari
peroneus longus dan brevis. Kompartemen anterior terdiri dari tibialis
anterior, ekstensor digitorum longus, ekstensor hallucis longus, dan
peroneus tertius.6.7

8
Gambar 2. Vaskularisasi dan Inervasi Cruris6

2.1.2 Fibula

Gambar 3. Bagian Os. Fibula6

9
Fibula adalah salah satu dari dua tulang panjang di kaki. Fibula
terletak posterolateral ke tibia, jauh lebih kecil dan lebih tipis disbanding
tibia. Di bagian paling proksimalnya, terletak di lutut tepat di belakang
tibia proksimal, berjalan distal di sisi lateral kaki terdapat malleolus lateral
setinggi pergelangan kaki. Fibula dan tibia terhubung melalui membran
interoseus, yang menempel pada punggungan di permukaan medial fibula.
Ada mobilitas yang sangat terbatas antara syndesmosis ini. Ada beberapa
bagian yang berbeda dari fibula dalam hal struktur, termasuk kepala, leher,
batang, dan ujung distal disebut malleolus lateral. Malleolus posterior dan
medial keduanya merupakan bagian dari ujung distal tibia. Poros fibula
adalah asal untuk beberapa otot kaki, termasuk otot-otot kompartemen
anterior (ekstensor digitorum longus, extensor hallucis longus, peroneus
tertius), kompartemen lateral (peroneus longus, peroneus brevis),
kompartemen posterior superfisial (soleus) dan kompartemen posterior
dalam (tibialis posterior dan fleksor hallucis longus). Bentuk segitiga
fibula ditentukan oleh titik-titik penyisipan otot-otot pada poros.
Nervus peroneus superfisial mempersarafi otot-otot kompartemen
lateral dan bertanggung jawab untuk eversi dan plantarfleksi kaki.
Kerusakan saraf ini dapat mengakibatkan defisit dalam gerakan tersebut.
Nervus peroneus superfisialis juga memberikan sensasi pada dorsum kaki.
Nervus peroneus profunda mempersarafi otot-otot kompartemen
anterior dan bertanggung jawab atas dorsofleksi kaki dan jari kaki. Akibat
umum dari kerusakan saraf peroneus profunda adalah droop foot, di mana
ketidakmampuan untuk dorsofleksi kaki.6,7

2.2 Definisi
Fraktur secara umum didefinisikan sebagai kondisi diskontinuitas pada
tulang, kartilago sendi, atau epifisis Fraktur dapat bersifat komplit atau
inkomplit. Berdasarkan hubungannya dengan lingkungan luar, fraktur dibagi
menjadi dua yaitu fraktur terbuka dan tertutup. Fraktur terbuka adalah fraktur
yang berhubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga dapat terjadi

10
kontaminasi bakteri meningkatkan resiko infeksi. Sedangkan fraktur tertutup
adalah fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.5
Fraktur pada shaft (batang) tibia dan fibula yang sering disebut fraktur
kruris merupakan fraktur yang sering terjadi dibandingkan dengan fraktur
pada tulang panjang lainnya. Periosteum yang melapisi tibia agak tipis
terutama pada bagian daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang
ini mudah patah dan fragmen fraktur sehingga ditemukan fraktur terbuka.5

2.3 Epidemiologi

Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2018),


Proporsi jenis cedera di Indonesia didominasi oleh luka lecet/memar sebesar
70,9%, terbanyak terdapat di Banten (76,2%) dan yang terendah di Papua yaitu
59,4%. Jenis cedera terbanyak ke dua adalah terkilir, rata-rata di Indonesia 27,5%.
Ditemukan terkilir terbanyak di Kalimantan Selatan sebesar 39,3%. Luka robek
menduduki urutan ketiga jenis cedera terbanyak, jenis luka ini tertinggi ditemukan
di Papua sekitar 48,5% jauh di atas Indonesia yaitu 23,2% dan terendah di DI
Yogyakarta (14,6%). Jenis cedera lainnya proporsinya kecil, patah tulang 5,5%,
anggota tubuh terputus, cedera mata dan gegar otak masing-masing proporsinya di
Indonesia 0,3 %, 0,6 % dan 0,4 %.8

Angka kejadian fraktur di Nusa Tenggara Barat pada tahun 2018 dilaporkan
sebanyak 7.2%. Proporsi ini tidak mengalami perubahan dari tahun 2013 dimana
tahun tersebut memiliki persentase fraktur dengan angka yang sama yakni 7.2%.
Hal ini menandakan adanya stagnansi pada angka kejadian fraktur.8

2.4 Etiologi

Tulang mampu menahan tekanan, namun bila tekanan atau benturan yang
diterima lebih kuat dan melebihi kemampuan tulang tersebut untuk bertahan,
maka akan terjadi fraktur. Fraktur dapat terjadi akibat suatu trauma direct/
langsung seperti benturan langsung. Fraktur juga dapat disebabkan oleh trauma
tidak langsung, contohnya seperti jatuh tertumpu pada bagian tubuh tertentu

11
sehingga mengalami fraktur. Selain akibat trauma dengan gaya yang melebihi
batas kemampuan tulang tersebut, tulang juga dapat kehilangan kontinuitasnya
akibat proses patologis dan stres kronis. Fraktur patologis adalah fraktur yang
terjadi akibat kelainan lain yang mendasarinya, seringkali berkaitan dengan
penyakit Paget, osteoporosis atau tumor pada tulang. Fraktur stress adalah fraktur
yang disebabkan oleh trauma minor repetitif kronis. Daerah yang berresiko antara
lain adalah metatarsal kedua atau ketiga, diafisis tibia proksimal, fibula, dan
diafisis femoral, umumnya didapatkan pada pelari maraton, tentara, dan penari
balet.9

2.5 Klasifikasi

a. Berdasarkan etiologinya, fraktur dibedakan menjadi:


 Fraktur traumatik akibat suatu kejadian trauma muskuloskeletal
 Fraktur patologis akibat suatu kondisi patologis (osteoporosis, tumor)
 Fraktur stres terjadi karena adanya stres terus menerus di suatu lokasi
b. Berdasarkan bentuk klinisnya, fraktur dibedakan menjadi:
 Fraktur terbuka. Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat berdasarka
Gustilo :
Derajat I :
1. Fraktur terbuka dengan luka kulit <1 cm dan bersih/ kontaminasi minimal
2. Kerusakan jaringan lunak minimal, fraktur sederhana atau oblique serta
sedikit kominutif
Derajat II :
1. Fraktur terbuka dengan luka terbuka >1 cm, kerusakan jaringan lunak
sedang
2. Kontusio avulsi yang luas dengan fraktur kominutif sedang dan kontaminasi
sedang.
Derajat III :

12
Luka > 10 cm dengan fraktur terbuka segmental atau kerusakan jaringan lunak
yang luas atau amputasi traumatik, derajat kontaminasi yang berat, dan trauma
dengan kecepatan tinggi.
Fraktur derajat III dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Derajat IIIa : Fraktur segmental atau sangat kominutif, penutupan tulang
dengan jaringan lunak adekuat.
2. Derajat IIIb : Periosteal stripping/ terkelupasnya periosteum yang luas
disertai kehilangan jaringan lunak yang luas dan membutuhkan flap.
3. Derajat IIIc : Fraktur dengan kerusakan pembuluh darah yang
membutuhkan repair.

Gambar 5. Klasifikasi Fraktur Terbuka menurut teori Gustilo dan


Anderson.

 Fraktur tertutup

Fraktur tertutup diklasifikasikan berdasarkan kondisi jaringan lunak sekitarnya


berdasarkan Tscherne yaitu :
Tingkat 0 : Fraktur simple dengan cedera jaringan lunak sekitar yang sangat
minimal. Trauma/ cedera indirect.
Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi atau kontusio superfisial/ kulit dan jaringan
subkutan.

13
Tingkat 2 : Fraktur dengan abrasi dan kontusio jaringan lunak lebih dalam.
Trauma/ cedera direct
Tingkat 3 : Kontusio berat pada kulit/ crush injury disertai dengan kerusakan
jaringan lunak yang berat, resiko terjadinya sindroma kompartemen. Avulsi
subkutan.
c. Berdasarkan gambaran radiologinya, fraktur dibedakan menjadi:
 Greenstick : fraktur sepanjang garis tengah tulang.
 Oblique : fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
 Spiral : fraktur memuntir di sekitar tulang.
 Kominutif : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
 Depressed : fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam, sering
terjadi pada tulang tengkorak dan wajah.
 Kompresi : fraktur dengan tulang yang mengalami kompresi, biasanya
sering terjadi pada tulang belakang.
 Avulsi : tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada
perlekatannya.
 Epifisial : fraktur yang melibatkan epifisis.
 Impaksi : fraktur dengan fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya.10

2.6 Patofisiologi

Proses regenerasi tulang yang mengalami fraktur bervariasi tergantung beberapa


faktor antara lain faktor pasien (usia, diet, penyakit DM, merokok), faktor fraktur
(lokasi, stabilitas, vaskularisasi, dsb). Proses penyembuhan fraktur dapat dibagi
menjadi beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Proses hematom dan inflamasi
Proses terjadinya pembentukan hematom pada area fraktur dan
mengelilingi bagian dasar fragmen. Hematom ini kemudian akan menjadi
medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskular. Terjadi 1-7 hari
pasca fraktur

14
2. Proses proliferasi
Terjadi transformasi pertumbuhan vaskular menjadi lebih padat dan terjadi
perbaikan aliran pembuluh darah.
3. Proses pembentukan callus (soft callus dan hard callus)
Tahap ini mulai berlangsung dari minggu ke 2. Berlangsung antara 6-8
minggu pada pasien dewasa, sedangkan pada anak-anak sekitar 2 minggu.
Tahap ini merupakan proses pembentukan tulang baru yang disebut callus,
dimana callus bisa terbentuk di luar tulang (subperiosteal callus) dan di
dalam tulang (endosteal callus).
4. Proses konsolidasi
Perkembangan callus secara terus-menerus, dan terjadi pemadatan tulang
seperti sebelum terjadi fraktur. Konsolidasi terjadi antara 6-12 minggu
(osifikasi) dan antara 12-26 minggu (matur).
5. Proses remodeling
Proses remodeling adalah tahapan akhir dalam penyembuhan fraktur, dan
proses pengembalian ke bentuk semula. Proses ini berlangsung antara 1-2
tahun setelah terbentuknya callus dan konsolidasi.10

Gambar 6. Proses penyembuhan tulang.11

Fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung, trauma tidak langsung, dan
keadaan patologis. Hal ini merupakan etiologi yang menimbulkan tekanan pada
tulang melebihi kapasitasnya. Tekanan tersebut dapat menyebabkan fraktur

15
sempurna maupun tidak sempurna. Adanya kerusakan struktur tulang ini
kemudian dapat merusak jaringan pembuluh darah dan mengakibatkan
perdarahan. Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh,
sebagai contoh vasokonstriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi viseral.
Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut
adalah peningkatan detak jantung, pelepasan katekolamin endogen, yang akan
meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan pembuluh
darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya
sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon lain yang bersifat
vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi saat terjadi syok, yaitu histamine,
bradikinin beta-endorphin, dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin.
Selanjutnya perdarahan dan rusaknya jaringan lunak akan mengakibatkan
reaksi peradangan disertai akumulasi leukosit dan sel mast berakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patahan
terbentuk fibrin (hematoma fraktur) yang berfungsi sebagai jalajala untuk
melakukan aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Fraktur tulang dengan
cara tertentu secara maksimal mengaktifkan semua osteoblas periosteal dan
intraosseous yang terlibat dalam patahan. Juga, sebagian besar osteoblas baru,
terbentuk dari sel osteoprogenitor, yang merupakan sel-sel induk tulang di
tulang jaringan lapisan permukaan, yang disebut "membran tulang." Oleh
karena itu, dalam waktu singkat, tonjolan besar jaringan osteoblastik dan
organik baru matriks tulang, diikuti segera oleh pengendapan garam kalsium,
berkembang di antara dua ujung tulang yang patah. Ini disebut kalus / callus.11

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis ditemukan beberapa keluhan seperti:
 Nyeri setelah terjadinya trauma

16
Nyeri dapat terjadi secara terus menerus dan bertambah berat sampai
fragmen tulang dimobilisasi.
 Deformitas
Pergeseran fragmen pada fraktur menyebabkan deformitas yang dapat
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Pada
fraktur tulang Panjang dapat terjadi pemendekan tulang akibat kontraksi
otot yang melekat diatas daan bawah tempat fraktur.
 Edema dan perubahan warna kulit
Edema dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang menyertai fraktur. Edema dan perubahan warna biasanya
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera terjadi.
Pembengkakan sering menekan pembuluh darah dan dapat terjadi sindrom
kompartment
 Keterbatasan gerak
Keterbatasan gerak diakibatkan oleh kelainan struktur tulang sehingga
membatasi ruang gerak tulang. Selain itu fragmen fraktur dapat
menghalangi gerakan sendi.
 Gangguan sensibilitas
Gangguan sensibilitas dapat terjadi akibat terkenanya nervus oleh tulang
yang fraktur sehingga mempengaruhi hantaran saraf.
 Kondisi patologis lain (tumor, osteoporosis, dsb)10

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


a) Inspeksi (look)
Adanya deformitas pada daerah tulang yang mengalami fraktur.
Deformitas dapat berupa angulasi, shorthening/pemendekan, atau rotasi.
Pada kasus fraktur tertutup tidak terdapat luka akibat segmen . Luka dapat
berupa luka ekskoriasi. Sedangkan pada fraktur terbuka ditemukan luka
terbuka pada kulit yang dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar
menembus kulit atau objeka dari luar menembus kulit, misalnya oleh
peluru atau trauma langsung. Hal ini menyebabkan fraktur terpapar dengan

17
dunia luar. Selain itu dapat ditemukan bengkak dan perubahan warna kulit,
eritema, dll
b) Palpasi (feel)
Pada palpasi dapat ditemukan nyeri tekan, derik tulang (krepitasi), teraba
deformitas tulang jika dibandingkan dengan sisi yang sehat, robekan kulit
yang terpapar dunia luar (fraktur terbuka), terabanya jaringan tulang yang
menonjol keluar (fraktur terbuka), edema, serta pada evaluasi inervasi dan
vaskularisasi sisi distal dapat ditemukan kelainan sensorik mapun
pemanjangan CRT. Pada palpasi dapat dilakukan pengukuran panjang
anggota gerak lalu dibandingkan dengan sisi yang sehat.
c) Gerak (move)
Umumnya gerakan sendi yang terkait tulang yang fraktur sangat terbatas
dikarenakan nyeri maupun teralangnya grakan sendi oleh edema jaringan
sekitar ataupun fragmen tulang.12,13

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada fraktur utamanya adalah pencitraan. Namun,
beberapa pemeriksaan penunjang lainnya dapat disarankan sebagai alat
diagnostik tambahan
a) Foto polos : dilakukan dengan prinsip "dua" (dua proyeksi yaitu AP dan
lateral, memuat dua persendian, dan khusus kasus fraktur anak jika
meragukan dapat dimintakan foto ekstremitas kontralateral yang cedera.
b) Pemeriksaan radiologi lainnya sesuai indikasi dapat dilakukan
pemeriksaan berikut, antara lain: CT-scan, MRI, radioisotope scanning
tulang/ bone scan, dll
c) Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah, untuk menilai kebutuhan
transfusi darah. Pemeriksaan parameter infeksi dapat ditambahkan pada
kasus fraktur dengan komplikasi infeksi.12,13

2.8 Tatalaksana
Prinsip awal tatalaksana pada pasien dengan fraktur yaitu:

18
a) Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat mengancam
jiwa.
b) Pasang jalur intravena untuk mengantisipasi kehilangan darah yang tidak
terlihat, misalnya pada fraktur pelvis atau fraktur tulang panjang (femur
bilateral).
c) Lakukan imobilisasi fraktur dengan bidai, waspadai adanya tanda-tanda
sindroma kompartemen seperti nyeri hebat, pucat, kulit yang mengkilat,
hingga kelainan neurovaskular (parestesi, paralisis, pulselessness).
d) Rujuk segera ke layanan sekunder.14

Setelah penilaian awal terhadap kondisi pasien dan mengatasikondisi


kegawatdaruratan, tatalaksana pada fraktur tertutup mencakup reduksi,
mempertahankan kembali, dan latihan untuk mempertahankan.

a. Reduksi
Reduksi bertujuan untuk mengembalikan posisi tulang ke posisi
anatomisnya. Metode reduksi terdiri atas dua cara yaitu reduksi tertutup
dan reduksi terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya. Reduksi terbuka biasanya membutuhkan
sedasi sehingga dilakukan di ruang operasi
b. Mempertahankan reduksi
Mempertahankan reduksi bertujuan agar memberi waktu pada fragmen
tulang yang patah untuk menyatu dengan metode traksi terus menerus,
pembatasan gerak dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi
internal maupun fiksasi eksternal.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan casting & splinting
1. Prosedur dan persiapan cast dan plat yang diperlukan
- Siapkan pembalut gips dalam jumlah yang cukup, biasanya
menggunakan POP (Plaster Of Paris)
2. Posisi pasien

19
- Sesuaikan posisi dengan bantal dan sediakan bantal jika
diperlukan.
- Pemasangan dibantu lebih dari satu orang untuk memabantu
menopang anggota tubuh yang patah.
- Profesional medis harus berada dalam posisi yang sesuai untuk
bekerja tanpa halangan atau kesulitan.
3. Perlindungan area sensitive
- Bersihkan dan keringkan kulit dengan sebaik-baiknya untuk
menghindari bau dan rasa tidak nyaman di dalam gips.
- Oleskan stockinet ke seluruh area yang akan ditutup dengan
POP dengan Panjang cast ekstra untuk melipat kedua
ekstremitas.
- Gunakan padding tambahan (cotton wol atau soft band) di area
sensitif
4. Area yang tidak boleh dipadatkan dan harus dilapisi dengan baik:
- Lokasi fraktur
- Penonjolan tulang
- Saraf
- Pembuluh darah
- Luka
5. Durasi imobilisasi
- Lokasi fraktur memerlukan periode imobilisasi yang bervariasi
untuk mencapai penyatuan tulang

20
Gambar 8. Periode imobilisasi.15

Pembidaian
Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anayamn kawat, atau bahan lain
yang kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga
agar bagian tulang yang patah tidak bergerak. Syarat-syarat
pembidaian yaitu:
1. Alat-alat dipersiapkan terlebih dahulu
2. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang patah. Sebelum dipasang
diukur lebih dahulu pada anggota badan korban yang tidak sakit.
3. Ikatan tidak boleh terlalu keras dan tidak boleh terlalu kendor
4. Bidai dibalut dengan pembalut terlebih dahulu sebelum digunakan
5. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari distal ke proksimal
6. Buat simpul ikatan pada sisi lateral agar mudah dibuka kembali
7. Periksalah denyit nadi distal dan fungsi saraf sebelum dan sesudah
pembidaian dan perhatikan warna kulit distalnya

21
8. Periksa dengen interval 15 menit untuk menjamin bahwa pembalut
tidak terlalu kencang

Pemasangan plat belakang


1. Posisikan pasien dengan tepat dan siapkan bahan.
2. Stockinet dipasang pada ekstremitas untuk menutupi semua sendi
di sekitar fraktur.
3. Padding diterapkan di atas stockinet untuk melapisi titik-titik
dengan tekanan.
4. Lempengan plester basah pertama diaplikasikan sepanjang aspek
posterior anggota tubuh yang cedera.
5. Plat kedua diterapkan dengan cara yang sama seperti yang pertama
menggunakan angka delapan atau persilangan X dari dua pelat
untuk memberikan kekuatan posterior yang ringan.
6. Setiap kelebihan plester dipangkas untuk kenyamanan pasien dan
untuk mencegah iritasi kulit.
7. Kasa atau perban elastis diterapkan dengan lembut tapi kuat untuk
menjaga posisi plat
8. Plat belakang ditahan sampai plester terpasang dengan posisi
sambungan yang sesuai untuk memfasilitasi penyembuhan patah
tulang.

Gambar 9. Pemasangan plat posterior pada lengan tangan.15

Pemasangan cast circular


1. Kulit dicuci bersih dan dikeringkan
2. Pasang stockinet dipasang dan bantalan untuk melindungi tonjolan
tulang

22
3. Pemasangan perban plester dilakukan dengan cara menggulung
tanpa ketegangan. Setiap perban menutupi setengah dari perban
sebelumnya.
4. Telapak tangan digunakan untuk membentuk perban basah untuk
menghindari luka tekan melalui gips.
5. Tungkai ditahan pada posisi sendi yang sesuai sampai gips
dipasang.
6. Saat kering, waktu pemasangan, lokasi fraktur, dan dokumentasi
lainnya tertulis di gips.

Gambar 10. Pemasangan cast.15

Traksi rangka
1. Traksi rangka dapat digunakan sebagai manajemen definitif untuk
orang dewasa dengan fraktur tulang panjang terbuka, meskipun
fiksasi eksternal memberikan stabilisasi yang lebih baik dan
mengoptimalkan manajemen cedera jaringan lunak
2. Penempatan pin traksi harus memiliki bagian berulir di tengah,
karena ini akan mencegah tulang tergelincir.
3. Pin traksi dimasukkan dengan anestesi lokal dengan bor tangan

23
4. Traksi tidak boleh diterapkan pada sambungan yang tidak stabil
5. Pin traksi tidak boleh melewati celah sendi sinovial atau physical
plate yang terbuka.
6. Periksa stabilitas lutut sebelum memasukkan pin traksi untuk
fraktur poros femoralis.
7. Jika lutut tidak stabil, masukkan pin pada metafisis femoralis
distal.
8. Selama penyisipan, mulailah dari sisi yang aman di mana
pembuluh darah dan saraf yang berisiko dapat dilokalisasi dan
dihindari dengan pemilihan titik penyisipan yang cermat.
9. Pin traksi femoralis distal harus dimasukkan dari medial ke lateral
untuk menghindari kanal adduktor dan arteri femoralis.
10. Pin tibialis proksimal harus dimasukkan dari lateral ke medial
untuk menghindari nervus peroneus komunis saat melewati leher
fibula.
11. Pin kalkaneus harus dimasukkan dari medial ke lateral untuk
menghindari neurovaskular tibialis posterior.
12. Thomassplint dapat digunakan untuk stabilisasi sementara, atau
untuk perawatan definitif untuk pasien dengan fraktur femur.

Gambar 11. Pemasangan traksi.15

24
Fiksasi internal
1. Hanya diindikasikan jika situasi telah stabil
2. Pertimbangkan untuk merujuk pasien ke fasilitas yang memadai jika
fiksasi internal diperlukan.

c) Latihan gerak untuk memulihkan fungsi, gerakan sendi, mengurangi edema,


memulihkan tenaga otot agar pasien dapat kembali ke aktivitas normal.

2.9 Komplikasi
Komplikasi fraktur dapat dibagi menjadi komplikasi immediate/dini,
early/awal, dan late/lanjut. Komplikasi dini pada fraktur yaitu syok
hipovolemik (bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera).
Komplikasi awal yaitu emboli lemak (dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih),
dan sindrom kompartemen (berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen
jika tidak ditangani segera). Komplikasi awal lain adalah infeksi,
tromboemboli, emboli paru, yang dapat menyebabkan kematian beberapa
minggu setelah cedera dan koagulopati intravaskuler diseminata.
Komplikasi lanjut fraktur diantaranya adalah non-union, mal-union, nekrosis
avascular, osteomyelitis, osteoarthritis, dan osteoporosis. Non-union
disebabkan oleh imobilisasi yang tidak adekuat atau adanya fraktur patologis,
sehingga terbentuk pseudoarthrosis (sendi palsu). Mal-union adalah
penyembuhan dengan angulasi yang buruk, keadaan ini dikatakan buruk
karena fraktur sembuh sesuai waktunya, tetapi terdapat deformitas seperti
angulasi, varus/valgus, rotasi, kependekan atau union secara menyilang
misalnya pada fraktur radius dan ulna. Nekrosis avaskular adalah gangguan
vaskularisasi yang mengakibatkan nekrosis pada tulang, lokasi yang paling
sering terkena adalah kaput femur dan kaput talus.

25
2.10 Edukasi
Saran dan instruksi untuk pasien
1. Cast dan splint tidak boleh ditutup dengan kain, pernis, atau selimut
sampai kering.
2. Cast dan splint tidak boleh terkena air atau cairan lainnya.
3. Angkat atau tinggikan kaki yang fraktur di atas bantal untuk mengurangi
pembengkakan.
4. Lakukan kontraksi isometrik di bawah Cast dan splint untuk mencegah
atrofi otot dan flebitis.
5. Jangan pernah berjalan di atas gips
6. Beritahu tanda bahaya pemasangan casting
o Meningkatnya rasa sakit
o Meningkatnya pembengkakan
o Perubahan sensasi motorik atau sensorik
o Rembesan melalui atau di sekitar gips

2.11 Prognosis
Prognosis dari fraktur sangat bergantung dengan etiologi, klinis, lokasi, radiologi,
dan derajatnya.

26
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. S
Usia : 49 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Senggigi, Lombok Barat
Suku : Sasak
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Status : -
No. RM : 124373
MRS : 18 Februari 2022
Tanggal pemeriksaan : 18 Februari 2022

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri kaki kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Mataram post KLL dengan
keluhan nyeri kaki kanan sejak 30 menit SMRS. Nyeri kaki kanan dirasakan
sangat tajam dan disertai bengkak serta kaki sulit digerakkan. Pasien juga
mengeluh bentuk kaki kanannya tidak sama dengan kaki kirinya. Pasien
diketahui telah mengalami kecelakaan tertabrak motor. Pasien mengalami
patah tulang di kaki kanan dan luka-luka di dahi kanan. Perdarahan aktif dari
dahi kanan (+), bone exposed (-), penurunan kesadaran (-), mual (-), muntah
(+) 1x. BAB/BAK normal.
Waktu Kejadian : malam hari pukul 21.30 wita 17/02/22

Mekanisme kejadian: Pasien sedang menyebrang di jalan raya daerah


senggigi dan ditabrak oleh pengendara bermotor dari arah kanan, pasien jatuh

27
ke kanan, badan sebelah kanan berkontak dengan aspal terlebih dahulu, kaki
kanan patah.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Tidak dapat dievaluasi

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak dapat dievaluasi

Riwayat Pengobatan :

Tidak dapat dievaluasi

Riwayat Alergi

Tidak dapat dievaluasi

Riwayat Pribadi dan Sosial :

Tidak dapat dievaluasi

3.3 PEMERIKSAAN FISIK (18 Februari 2022)


Primary Survey

A: gargling (-), snoring (-), stridor (-), cedera servikal (-)

B: pergerakan dinding dada simetris (+), retraksi (-), vesikuler (+/+), rho (-/-),
whe (-/-)

C: akral hangat (+/+), edema ekstremitas atas (-/-) perdarahan aktif (+) os
frontal dextra

D: AVPU: Alert

E: edema dan hematom pada cruris dextra os tibia et fibula

Vulnus laceratum di os frontal dextra ukuran 2x5 cm

Vulnus laceratum di patella dextra ukuran 3x5 cm

28
Secondary Survey

A: Makanan (tidak diketahui), Obat (tidak diketahui)

M: tidak diketahui

P: tidak diketahui

L: tidak diketahui

E: Penurunan kesadaran (-), mual muntah (+) 1x +- 200cc berisi darah hitam
dan makanan, keluar darah dari telinga dan hidung (-) racoon eyes (-), kejang
(-)

Status Generalis
1. Keadaan umum : Tampak kesakitan
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. GCS : E4V4M6 (GCS: 14, Compos mentis)
4. Tanda Vital
- Tekanan Darah : 175/120 mmHg
- Nadi : 54 x/menit
- Frekuensi Nafas : 20 x/menit
- Suhu : 36 oC
- SpO2 : 97% room air

Status Lokalis :
1. Kepala :
- Ekspresi wajah : tampak kesakitan
- Bentuk dan ukuran : normal
- Rambut : berwarna hitam, distribusi merata
- Edema : (-)
- Massa : (-)
- Perdarahan : (+) pada frontal sinistra
- Jejas : Vulnus laceratum ukuran ±5 cm regio
frontal sinistra

29
2. Mata :
- Simetris
- Alis normal
- Konjungtiva : anemis (-/-), hiperemia (-/-)
- Sclera : ikterus (-/-), hiperemia (-/-),
- Pupil : refleks pupil (+/+), isokor Ø3mm/3mm,
bentuk dalam batas normal
- Kornea : normal
- Lensa : keruh (-/-)
- Pergerakan bola mata : normal ke segala arah
3. Telinga :
- Bentuk : normal, simetris
- Nyeri tekan tragus : (-/-)
- Pendengaran : kesan normal
4. Hidung :
- Simetris
- Deviasi septum : (-/-)
- Perdarahan : (-/-)
- Sekret : (-/-)
5. Mulut :
- Simetris
- Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-)
- Gusi : hiperemis (-), perdarahan (-)
- Lidah: glotitis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), lidah kotor (-)
6. Leher :
- Simetris
- Kaku kuduk (-)
- Pembesaran KGB (-)
- Trakea : ditengah
- Peningkatan JVP (-)

30
- Otot sternocleidomastoideus aktif (-), hipertrofi (-)
- Pembesaran nodul thyroid (-)
7. Thorax
Inspeksi :
1) Bentuk dan ukuran dada normal
2) Pergerakan dinding dada: simetris
3) Permukaan dinding dada: scar (-), massa (-)
4) Penggunaan otot bantu napas: SCM aktif (-), hipertrofi SCM (-),
otot bantu napas abdomen aktif (-).
5) Tulang iga dan sela iga: simetris, pelebaran sela iga kanan dan kiri
(-)
6) Fossa supraklavikula dan infraklavikula: simetris; Fossa jugularis:
trakea ditengah
7) Tipe pernapasan torakoabdominal dengan frekuensi napas 20
kali/menit.

Palpasi:
1) Posisi mediastinum: normal, trakea ditengah
2) Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-).
3) Pergerakan dinding dada: simetris
4) Ictus cordis teraba di ICS V midclavicula sinistra, thrill (-)
5) Vocal fremitus
Depan :
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal

Belakang :
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal

31
Perkusi:
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

1) Batas jantung
- Batas atas : ICS II linea parastenal sinistra
- Batas kanan : Linea parasternal dextra
- Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
2) Batas paru-jantung :
- Dextra : ICS II parasternalis line dekstra
- Sinistra : ICS V linea midclavicula sinistra
3) Batas paru-hepar :
- Inspirasi : ICS VI
- Ekspirasi : ICS IV

Auskultasi:
1) Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
2) Pulmo :
- Suara napas:

vesikuler Vesikuler
vesikuler vesikuler
vesikuler vesikuler
- Rhonki :
- -
- -
- -

- Wheezing :

32
- -
8. Abdomen :
- -
Inspeksi:
- -
- Kulit : sikatriks (-), striae (-), vena yang berdilatasi (-),
ruam (-), luka bekas operasi (-), hematom (-)
- Umbilikus : inflamasi (-), hernia (-)
- Kontur Abdomen : distensi (-), darm contour (-), darm steifung (-),
massa (-)
- Peristalsis (-), pulsasi aorta (-)

Auskultasi:
- Bising usus (+) normal, metallic sound (-).

Perkusi :
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani
Redup Timpani Timpani
Palpasi :
- Nyeri tekan kanan bawah (+), massa (-), defans muscular (+) lokal
pada perut kanan bawah

9. Ekstremitas :
Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
 Akral dingin : -/-  Akral dingin : -/-
 Deformitas : -/-  Deformitas : -/-
 Edema : -/-  Edema : -/-
 Sianosis : -/-  Sianosis : -/-
 CRT : < 2 detik  CRT : < 2 detik

10. Status lokalis cruris dextra


Look : deformitas (+), angulasi (+), edema (+), bone exposed (-),
perdarahan aktif (-)

Feel : hangat (+), krepitasi (+), nyeri (+),


Movement : keterbatasan ROM (+), nyeri (+)

33
Interpretasi : tampak cruris dextra deformitas, dengan angulasi, terba
krepitasi dan nyeri saat digerakkan dengan keterbatasan ROM.
Curiga fraktur multiple os tibia et fibula cruris dextra

Refleks fisiologis ekstremitas atas dan bawah normal


Refeleks patologis ekstremitas atas dan bawah : -

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Darah Lengkap

Parameter 18/02/2022 Nilai Rujukan


DARAH LENGKAP
HGB 11,9 11,4-17,7
WBC 21.240 4300-11300
RBC 4.09 4,0-5,5
PLT 236000 150000-450000
HCT 33.5 38 - 47
MCV 81.9 80,0-100,0
MCH 29,1 26,0-32,0
MCHC 35,5 32,0-36,0
BT 2 menit 32 detik 1-3 detik
CT 6 menit 50 detik 6-12 menit

34
 Rontgen thorax (17/02/2022)

Simetrisitas Simetris (+)


Inspirasi, rotasi Costa 9-10 posterior memotong diafragma, simetris
Soft Tissue Emfisema subkutis (-)
Bone, ICS Intak, fraktur (-), pelebaran ICS (-)
Trakea Ditengah,
Pleura Opasitas (-), meniscus sign (-)
Jantung Batas jantung kiri dan kanan tampak jelas, aortic
notch (+)
Hilus Normal
Diafragma Dome shaped (+/+)
CPA Lancip (+/+)
Paru Tidak tampak kelainan pada parenkim paru

35
Foto polos cruris dextra

Identitas Tn S.
Tempat RS Bhayangkara Mataram
Waktu 17-02-2022; 23.04
Jenis Foto Foto Polos cruris dextra
Marker R
Proyeksi AP dan L
Posisi supine

• Kualitas baik,dapat dibedakan udara, soft tissue dan bone


• Tampak garis patahan transvers pada 1/3 media os tibia dextra
• Tampak fraktur kominutif 1/3 proksimal os tibia dextra
• Tampak garis patahan transvers pada 1/3 proksimal os fibula dextra
• Soft tissue sekitar mengalami swelling
Kesan : multiple fracture os tibia dextra dan fraktur transversa os fibula
dextra

36
 Foto rontgen skull

• Kualitas baik, dapat dibedakan udara, soft tissue dan bone


• Tidak tampak fraktur maupun angulasi skull
Kesan : skull normal

3.5 DIAGNOSIS KERJA

Multiple closed fracture discontinue cruris dextra

3.6 RESUME

Pasien datang ke Rumah sakit Bhayangkara Kota Mataram dengan


keluhan nyeri kaki kanan sejak 30 menit SMRS. Pasien kecelakaan tertabrak
motor. Pasien mengalami patah tulang di kaki kanan dan luka-luka di dahi
kanan. Perdarahan aktif dari dahi kanan (+), bone exposed (-), penurunan
kesadaran (-), mual (-), muntah (+) 1x. BAB/BAK normal. Mekanisme
kejadian: Pasien sedang menyebrang di jalan raya daerah senggigi dan
ditabrak oleh pengendara bermotor dari arah kanan, pasien jatuh ke kanan,
badan sebelah kanan berkontak dengan aspal terlebih dahulu, kaki kanan
patah.

37
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak
kesakitan, tekanan darah 175/120 mmHg, nadi 54x/menit, frekuensi napas
20x/menit, suhu 36.0oC dan SpO2 99% udara ruangan. Pada tanda vital
ditemukan peningkatan tekanan darah. Pada pemeriksaan status lokalis cruris
dextra ditemukan Look tampak deformitas (+), angulasi (+), edema (+), bone
exposed (-), perdarahan aktif (-). Feel didapatkan hangat (+), krepitasi (+),
nyeri (+). Movement didapatkan keterbatasan ROM (+), nyeri (+).
Interpretasi status lokalis yaitu tampak cruris dextra deformitas, dengan
angulasi, terba krepitasi dan nyeri saat digerakkan dengan keterbatasan ROM.
Curiga fraktur multiple os tibia et fibula cruris dextra. Pada os frontal dextra
ditemukan vulnus laceratum ukuran 5 cm yang sudah dijahit, vulnus
laceratum di patella dextra ukuran 3x5 cm.

3.8 TERAPI
Non farmakologi

 Head up 30 derajat
 Balut bidai cruris dextra (splint)
 Rawat luka dan kontrol perdarahan
 IVFD RL 30 tpm
 Pasang monitor TTV

Farmakologi

 Ceftriaxon IV 1gr/24 jam


 Ondancentron 8 mg IV 1x1 amp
 Ketorolac drip 30 mg 2x1 amp
 Ketorolac bolus 30 mg 1x1 amp
 Citicolin 500mg/24 jam IV
 Piracetam 3 gram IV

Konsul Sp.OT pro ORIF

MONITORING

38
 Tanda-tanda vital
 GCS
 Balance cairan

EDUKASI
 Edukasi terkait penyakit yang dialami oleh pasien
 Edukasi gizi dan pola makan
 Edukasi obat-obatan

3.9 PROGNOSIS
 Ad vitam : ad bonam
 Ad sanationam : ad bonam
 Ad fungsionam : ad bonam

3.10 Laporan Operasi


Sebelum operasi

39
Laporan operasi

40
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Aspek Diagnostik


Aspek diagnosis pasien ini yaitu pasien terdiagnosa dengan multiple
close fracture discontinue cruris dextra. Berdasarkan anamnesis pasien
seorang laki-laki usia 49 tahun dengan keluhan utama nyeri kaki kanan
sejak 30 menit SMRS. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas setelah
ditabrak oleh pengendara motor dari arah kanan. Kaki kanan dirasakan
nyeri hebat disertai bengkak dan sulit digerakkan. Selain itu pasien
mengeluh bentuk kaki kanan berbeda dengan kaki kirinya. Nyeri pada kaki
kanan setelah kecelakaan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti
gangguan pada kulit, otot, tulang, saraf, maupun pembuluh darah. Nyeri
pada pasien diketahui melibatkan tulang karena adanya keluhan deformitas
yang jelas pada pasien. Kehilangan integritas tulang menyebakan
ketidakstabilan posisi fraktur dan fragmen tulang dapat menusuk organ
sekitar sehingga menimbulan gangguan rasa nyaman berupa nyeri. Selain
itu keluhan bengkak serta sulit digerakkan pada pasien diakibatkan
terbentuknya perdarahan lokal atau hematoma pada lokasi fraktur, hal ini
akan menyebabkan aliran darah ke daerah distal berkurang atau terhambar
sehingga lama kelamaan menyebakan kerusakan neuromuskular. Sesaat
setelah dirawat, pasien mengalami muntah sebanyak 1 kali. Muntah pada
pasien dapat disebabkan oleh peningkatan asam lambung yang dipicu oleh
stress berupa nyeri hebat. Selain itu berdasarkan teori, muntah dapat
mengindikasikan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan
tekanan intrakranial dapat diketahui apabila memenuhi cushing triad yaitu
peningkatan tekanan sistolik dan pelebaran rentang sistolik-diastolik,
bradikardia, pernapasan chyene-stokes. Pada pasien tidak ditemukan tanda-
tanda tersebut. Namun hal ini tetap dimonitor dan evaluasi selanjutnya.

Pada pemeriksaan fisik secara keseluruhan ditemukan adanya


peningkatan tekanan darah, vulnus laceratum di patella dextra ukuran 3x5

41
cm, vulnus laceratum di os frontal dextra ukuran 2x5 cm, kelainan pada
ektremitas inferior dextra. Peningkatan tekanan darah pada pasien dapat
dipengaruhi oleh rasa nyeri yang hebat maupun adanya riwayat tekanan
darah tinggi. Namun riwayat penyakit dahulu pada pasien tidak dapat
dievaluasi karena pasien kesakitan. Pada cruris dextra didapatkan adanya
Look tampak deformitas (+), angulasi (+), edema (+), bone exposed (-),
perdarahan aktif (-). Feel didapatkan hangat (+), krepitasi (+), nyeri (+).
Movement didapatkan keterbatasan ROM (+), nyeri (+). Interpretasi status
lokalis yaitu tampak cruris dextra deformitas, dengan angulasi, teraba
krepitasi dan nyeri saat digerakkan dengan keterbatasan ROM. Curiga
fraktur multiple os tibia et fibula cruris dextra. Fraktur dapat terjadi akibat
suatu trauma direct/langsung seperti benturan langsung. Pada pasien ini
trauma langsung disebabkan oleh benturan motor yang mengenai kaki
pasien. Pada tampakan kaki pasien, terdapat deformitas yang jelas berupa
betis kanan pasien tidak dapat lurus sempurna. Selain itu krepitasi atau
derik tulang mendukung adanya fraktur.

Pada pemeriksaan penunjang rontgen cruris dextra didapatkan


tampak garis patahan transvers pada 1/3 media os tibia dextra, tampak
fraktur kominutif 1/3 proksimal os tibia dextra, Tampak garis patahan
transvers pada 1/3 proksimal os fibula dextra, soft tissue sekitar
mengalami swelling. Kesan multiple fracture os tibia dextra dan fraktur
transversa of fibula dextra. Fraktur tertutup diklasifikasikan berdasarkan
kondisi jaringan lunak sekitarnya berdasarkan Tscherne yaitu :
- Tingkat 0 : Fraktur simple dengan cedera jaringan lunak sekitar yang
sangat minimal. Trauma/cedera indirect.
- Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi atau kontusio superfisial/ kulit dan
jaringan subkutan.
- Tingkat 2 : Fraktur dengan abrasi dan kontusio jaringan lunak lebih dalam.
Trauma/cedera direct

42
- Tingkat 3 : Kontusio berat pada kulit/ crush injury disertai dengan
kerusakan jaringan lunak yang berat, resiko terjadinya sindroma
kompartemen. Avulsi subkutan.
Pada pasien tidak didapatkan tanda-tanda sindorma kompartemen seperti nyeri,
kesemutan, pucat, paralisis, poikilotermia, maupun nadi tak teraba. Sehingga pada
klasifikasinya pasien mengalami close fracture tingkat 2.
Selain itu, untuk menyingkirkan adanya gangguan di kepala, apsien dilakukan
rontgen skull dan tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan darah lengkap,
ditemukan peningkatan leukosit. Hal ini disebabkan oleh adanya kerusakan
jaringan dan pembuluh darah akibat fragmen tulang dapat menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke daerah cedera. Pada daerah ini,
leukosit dan sel mast akan terakumulasi dan terjadi fagositosis fragmen sel mati
maupun bakteri.

4.2 Aspek tatalaksana


Penatalaksanaan pada pasien ini dengan terapi konservatif yaitu
imobilisasi berupa terapi injeksi, pemasangan balut bidai, dan terapi ORIF.
Terapi injeksi yang pasien dapatkan yaitu

1. Ceftriaxon IV 1gr/24 jam


Pemberian antibiotik dengan indikasi leukositosis pada pasien dan
bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekaligus sebagai
premedikasi dalam tindakan pembedahan
2. Ondancentron 8 mg IV 1x1 amp
Pemberian anti muntah dan mual dengan indikasi keluhan muntah pasien
dan sebagai profilaksis muntah yang diinduksi stress
3. Ketorolac drip 30 mg 2x1 amp dan ketorolac bolus 30 mg 1x1 amp
Pemberian analgesic dengan indikasi nyeri kaki kanan akibat fraktur.
4. Citicolin 500mg/24 jam IV
Pemberian obat golongan neurotrofik bertujuan sebagai vitamin saraf
dengan indikasi adanya kecurigaan peningkatan tekanan intrakranial
5. Piracetam 3 gram IV

43
Pemberian obat golongan analog GABA bertujuan untuk mencegah
kondisi iskemia lebih lanjut atas indikasi kecurigaan peningkatan tekanan
intrakranial

Pada pasien awalnya dilakukan reduksi tertutup dan dilanjutkan


imobilisasi dengan balut bidai. Intervensi bedah berupa ORIF (Open Reduction
Internal Fixation) bertujuan untuk memfiksasi kembali jaringan tulang yang
terputus akibat trauma yang dialami pasien. Prognosis pada pasien ini dubia ad
bonam karena pasien secara fisik fungsi vital dan fungsi organ dapat kearah baik
dan aktivitas pasien dapat kembali sebagaimana biasanya jika pasien memilih
untuk dilakukan operasi.

44
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan seorang laki-laki usia 49 tahun dengan multiple
close fracture discontinue cruris dextra. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala dan tanda klinis dimana ditemukan keluhan nyeri pada
kaki kanan bawah post kecelakaan disertai pembengkakan dan kesulitan
untuk digerakkan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan deformitas,
krepitasi, edema, dan nyeri ROM. Pada hasil pemeriksaan laboratorium
ditemukan leukositosis. Pemeriksaan rontgen cruris dextra ditemukan
multiple fracture os tibia dextra dan fraktur transversa os fibula dextra.
Berdasarkan keluhan, pemeriksaan fisik dan penunjang dapat
ditegakkan multiple close fracture discontinue cruris dextra.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah pemeberian obat-
obatan injeksi dengan tujuan meredakan gejala dan premedikasi tindakan
operatif. Selain itu dilakukan tindakan definitif berupa ORIF .
Penatalaksanan pada pasien ini sesuai dengan teori. Kondisi pasien saat
pulang telah dalam keadaan stabil. Prognosis pada pasien ini adalah ad
bonam.

5.2 Saran
Dengan adanya laporan kasus ini, diharapkan kepada para dokter, dan
tenaga medis lainnya untuk lebih mengetahui serta memahami tentang multiple
close fracture discontinue cruris dextra sehingga lebih dapat mengetahui gejala
dan penanganan yang tepat dan cepat dalam kegawatdaruratan.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Reider, et al., 2021. National trends in extremity fracture hospitalizations


among older adults between 2003 and 2017. Journal of American Geriatric
Society 69(9):2556-2565.
2. Riandini IL, Susanti R, Yanis A. Gambaran Luka Korban Kecelakaan Lalu
Lintas yang dilakukan Pemeriksaan di RSUP dr. M. Djamil Padang. J Kesehat
Andalas. 2015;4(2):502–8.
3. Walters BB., Constant D. & Anand P., 2021. Fibula Fracture. National Center
for Biotechnology Information StatPearls.
4. Ewari, G.A. & Premana, Y., 2021. Karakteristik pasien fraktur kruris di RSUD
Sanjiwani Gianyar tahun 2020. Intisari Sains Medis 2021, Volume 12(3): 689-
693.
5. Principles of Fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S.
Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition. London:
Hodder Education. 2010. p687-732
6. Paulsen F & Waschke J, 2010; Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 1, Edisi
23, EGC, Jakarta
7. Netter, Frank H. Atlas Of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC, 2014
8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 2018. Riset Kesehatan Dasar 2018 Nasional. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta
9. Helmi ZN. Buku Ajar gangguan muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
Medika. 2011. p411-55

46
10. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC, 1022
11. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. Jakarta, Indonesia:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010. 619 p.
12. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014.
13. American College of Surgeons. (2018). Advanced Trauma Life Support
(ATLS) 10th Edition. Chicago: American College of Surgeons
14. Egol KA, Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of Fractures. Fifth Ed. New
York: Wolters Kluwer; 2015.
15. Jensen, et al., 2019. Chapter 7: Closed fractur. Management Of Limb Injuries
During Disasters And Conflicts 34(3):330-334

47

Anda mungkin juga menyukai