Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

”ÁSUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST


CRANIOTOMY”

Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Kritis
Program Study S1 Keperawatan
Dosen Pengampu : Andri Nugraha, M.Kep

Disusun oleh: Kelompok 2

Alfina Liani Suryadi KHGC19049

Azzura Salsabila Ukraina KHGC19056

Neng Ayu Yuliandri KHGC19072

Rahma Cintia Nadila KHGC19078

Suci Badriyah KHGC19086

3B S1-Keperawatan
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI
KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT Tahun Ajaran 2021-2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum
Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah memberi
rahmatnya sehingga kami mampu menyelesaikan tugas Makalah ini dengan judul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Post Craniotomy” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Meskipun kami menyadari masih banyak terdapat
kesalahan didalamnya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak
Andri Nugraha, M.Kep. Yang telah membingbing dan memberikan dan
memberikan tugas ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian , dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

4.1 Latar Belakang..........................................................................................1

4.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1

4.3 Tujuan........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................3

4.1 Definisi......................................................................................................3

4.2 Anatomi dan Fisiologi...............................................................................3

4.3 Etiologi......................................................................................................4

4.4 Klasifikasi..................................................................................................5

4.5 Patofisiologi...............................................................................................6

4.6 Manifestasi Klinis......................................................................................7

4.7 Komplikasi................................................................................................8

4.8 Pemeriksaan Diagnostik............................................................................8

4.9 Penatalaksanaan Medis..............................................................................9

4.10 Dampak Post Cranial Terhadap Tubuh yang lain...................................11

4.11 Indikasi Kraniotomy................................................................................13

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS...........................................15

4.1 PENGKAJIAN........................................................................................15

4.2 Aplikasi NANDA, NOC, dan NIC..........................................................26

BAB IV PENUTUP..............................................................................................31

4.1 Kesimpulan..............................................................................................31

4.2 Saran........................................................................................................31

ii
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32

iii
BAB I
PENDAHULUAN
4.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal penting pada diri manusia, dimana setiap
orang pasti menginginkan hidupnya sehat daripada sakit.
Kraniotomi adalah operasi pembukaan tulang tengkorak. Pada pasien
hidrosepalus, tumor otak, cedera kepala, dan berbagai penyakit yang
mengenai bagian dalam tengkorak sangat membutuhkan tindakan ini tapi
tindakan ini masih jarang dipilih masyarakat karena dampak yang
ditimbulkannya.
Kecemasan sebelum operasi merupakan hal yang lumrah karena
dalam operasi ini tulang tengkorak akan dibuka dan umumnya masyarakat
awam membayangkan hal ini merupakan hal yang sangat mengerikan. Dalam
makalah ini akan memperjelas tentang kraniotomi sehingga dapat meluruskan
pandangan yang salah tentang kraniotomi selama ini.

4.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari craniotomy ?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari otak ?
3. Bagaimana etiologi dari craniotomy ?
4. Apa saja klasifikasi dari craniotomy ?
5. Bagaimana patofisiologi dari craniotomy ?
6. Apa saja manifestasi dari craniotomy ?
7. Apa saja komplikasi yang bisa terjadi pada craniotomy ?
8. Bagaiamana pemeriksaan diagnostik dari craniotomy ?
9. Bagaimana penatalaksanaan medis dari craniotomy ?
10. Bagaimana dampak kraniotomy bagi tubuh yang lain ?
11. Bagaimana indikasi dari kraniotomy ?

4.3 Tujuan
1. Agar pembaca mengetahui definisi dari craniotomy.

1
2

2. Mengetahui dan memahami klasifikasi serta patofisiologi dari


craniotomy.
3. Mengetahui komplikasi, pemeriksaan diagnostic, serta penatalaksanaan
medis dari craniotomy.
BAB II
TINJAUAN TEORI
4.1 Definisi
Cedera kepala adalah benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran. ( Susan M, Tucker, Dkk. 1998).
Cedera kepala adalah gangguan traumatic yang menyebabkan
gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan intertial dan
tidak mengganggu jaringan (kontinuitas jaringan otak baik). (Brunner dan
Suddart. 2000).
Epidural hematoma adalah perdarahan dalam ruang epidural diantara
tulang tengkorak dan duramater, biasanya : melibatkan fraktur
temporoparietal yang mengakibatkan laserasi arteri meningeal medialis.
(Susan M, Tucker, Dkk. 1998).
Craniotomy adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan
pertumbuhan atau abnormalitas di dalam kranium, terdiri atas pengangkatan
dan penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada
struktur intracranial. (Susan M, Tucker, Dkk. 1998).
4.2 Anatomi dan Fisiologi
Otak adalah suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan
pusat computer dari semua alat tubuh, jaringan otak dibungkus oleh selaput
otak dan tulang tengkorak yang kuat dan terletak dalam cavum cranii. Otak
terdiri dari tiga selaput otak (meningen).
Otak terdiri dari tiga selaput otak (meningiens) :
a. Duramater (lapisan sebelah luar). Selaput keras pembungkus otak yang
berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat.
b. Arakhnoida (lapisan tengah).Selaput tipis yang memisahkan duramater
dengan piamater membentuk sebuah balon berisi cairan otak yang
meliputi seluruh sistem syaraf sentral.
c. Piamater (lapisan dalam). Selaput tipis yang terdapat pada permukaan
jaringan otak, piamater berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-
struktur jaringan ikat disebut tuberkel.
Bagian-bagian Otak :

3
4

a. Serebrum (otak besar). Merupakan bagian terluas dan terbesar dari otak,
berbentuk telur mengisi peuh depan ats rongga pada otak besar ditemukan
lobus-lobus yaitu :
1) Lobus Frontalis adalah bagian depan dari serebrum yang terletak di
depan sulkus sentralis. Lobus Frontalis pada korteks serebri terutama
mengendalikan keahlian motorik ( misalnya menulis, memainkan alat
musik atau mengikat tali sepatu) lobus frontalis juga mengatur ekspresi
wajah dan isyarat tangan.
2) Lobus Parietalis, terdapat dibawah lateral dari fisura serebralis dan di
depan lobus oksipitalis. Lobus paretalis pada korteks serebri
menggabungkan kesan dari bentuk tekstur dan berat badan ke dalam
persepsi umum, kemampuan matematika dan bahasa berasal dari daerah
ini, juga membantu mengarhkan posisi pada ruang sekitarnya dan
mersakan posisi dari bagian tubuhnya.
3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di
depan lobus oksipitalis. Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru
saja terjadi menjadi mengingatnya sebagai memori jangka panjang, juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional.
4) Lobus Oksipitalis, yang mengisi bagian belakang dari cerebrum.
b. Batang Otak (trunkus serebri). Disensepalon ke ats berhubungan dengan
serebrum dan medula oblongata ke bawah dengan medula spinalis.
Serebrum melukat pada batang otak di bagian medula oblongata, pons
varoli dan mensesepalon.
c. Serebrum (otak kecil). Terletak pada bagian bawah dan belakang
tengkorak dipisahkan dengan serebrum oleh fisura transversalis
dibelakang oleh pons varoli dan di atas medula oblongata. Oragn ini
banyak menerima serabut aferent sensoris merupakan pusat koordinasi dan
intelegensi. (Hudak dan Gallo.1996)
4.3 Etiologi
Penyebabnya belum diketahui pasti, tapi dapat diperkirakan karena :
5

1. Genetik
Tumor susunan saraf pusat primer nerupakan komponen besar dari
beberapa gangguan yang diturunkan sebagi kondisi autosomal, dominant
termasuk sklerasis tuberose, neurofibromatosis.
2. Kimia dan Virus
Pada binatang telah ditemukan bahwa karsinogen kimia dan virus
menyebabkan terbentuknya neoplasma primer susunan saraf pusat tetapi
hubungannya dengan tumor pada manusia masih belum jelas.
3. Radiasi
Pada manusia susunan saraf pusat pada masa kanak-kanak menyebablkan
terbentuknya neoplasma setelah dewasa.
4. Trauma
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma
selaput otak). Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan
saraf pusat belum diketahui.
4.4 Klasifikasi
1. Glioma
Jumlah ½ tumor otak. Tumbuh pada tiap jaringan dari otak. Infiltrasi dari
terutama ke jaringan hemisfer cerebral. Tumbuh sangat cepat, sebagian
orang bias hidup beberapa bulan sampai tahun.
2. Meningoma
Dari 13 % sampai 18 % merupakan tumor primer intracranial. Tumbuh
dari selaput meningeal otak. Biasanya jinak tapi bisa berubah menjadi
maligna. Biasanya berkapsul dan penyembuhan melaui bedah sangat
mungkin. Pertumbuhan kembali mungkin
3. Tumor Pituitari
Tumor pada semua kelompok umur, tapi lebih sering pada wanita.
Tumbuh dari berbagai jenis jaringan. Pendekatan pembedahan biasanya
berhasil. Kekembuhan kembali mungkin.
4. Neuroma (Schwannoma, neuro)
Neuroma akustik sangat sering. Tumbuh dari sel-sel Schwann di dalam
meatus auditori pada bagian vestibular saraf cranial III. Biasanya jinak
6

bisa berubah menjadi maligna. Akan tmbuh kembali bila tidak terangkat
lengkap. Reseksi bedah sukar karena lokasinya.
5. Tumor Metastase
Dari 2 % sampai 20 % penderita kanker terjadi metastase ke otak Sel
kanker menjangkau otak lewat sistem sirkulasi. Reaksi bedah sangat
sukar, pemgobatan kurang berhasil. Pemulihan dibawah satu tahun atau
dua tahun tidak biasa.
4.5 Patofisiologi
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologik progresif. Gangguan
neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua faktor
yaitu gangguan fokal disebabkan oleh tumor dan kenaikan tekanan
intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan
otak, dan infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan
jaringan neuron.
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang
bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri
pada umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan
mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer.
Serangan kejang sebagai gejala perunahan kepekaan neuron
dihubungkan dengan kompesi invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan
otak. Bebrapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak
sekitarnya sehingga memperberat ganggguan neurologist fokal.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat diakibatkan oleh beberapa
faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema
sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal.
Beberapa tumor dapat menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan
edema yang disebabkan oleh kerusakan sawar darah otak. Semuanya
menimbulkan kenaikan volume intracranial dan meningkatkan tekanan
intracranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateral ke
ruangan subaraknoid menimbulkan hidrosefalus.
7

Peningkatan tekanan intrakranial akan membahayakan jiwa.


Mekanisme kompensasi memerlukan waktu lama untuk menjadi efektif dan
oleh karena itu tak berguna apabila tekanan intrakranial timbul cepat.
Mekanisme kompensasi ini antara lain bekerja menurunkan volume
darah intracranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel dan
mengurangi sel-sel parenkim, kenaikan tekanan yang tidak diobati
mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum yang timbul bilagirus medialis
lobus temporalis bergeser ke inferior melalui insisura tentorial oleh massa
dalam hemisfer otak. Herniasi menekan mesensenfalon, menyebabkan
hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak ketiga. Kompresi medula
oblogata dan henti pernafasan terjadi dengan cepat.
Perubahan fisiologi lain terjadi akibat peningkatan intracranial yang
cepat adalah bradikardia progresif, hipertensi sistemik (pelebaran tekanan
nadi), dan gangguan pernafasan.
4.6 Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari
CSF).
 Sakit kepala
 Nausea atau muntah proyektil
 Pusing
 Perubahan mental
 Kejang
2. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang
spesifik dari otak) :
1. Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus,
diplopia, kebutaan, tanda-tanda papil edema.
2. Perubahan bicara, msalnya: aphasia
3. Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi
sensorik.
4. Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan
paralisis.
8

5. Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia


urin, dan konstipasi.
6. Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness.
7. Perubahan dalam seksual
4.7 Komplikasi
1. Edema cerebral.
2. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
3. Hypovolemik syok.
4. Hydrocephalus.
5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes
Insipidus).
6. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru,
hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,
ambulatif dini.
7. Infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens,
organisme; gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk
menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka
dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
4.8 Pemeriksaan Diagnostik
a. CT-Scan (Ceputeraise Tomografi Scanning). Untuk mengindentifikasi
luasnya lesi, perdarahan, determinasi ventikuler dan perubahan jaringan
otak.
b. MRI (Magnetik Resonan Imaging). Digunakan untuk mengidentifikasi
luas dan letak cedera.
c. Cerebral Angiography. Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedema, trauma dan
perdarahan.
9

d. EEG (Elektro Ensefalo Graphy). Untuk melihat perkembangan gelombang


yang patologis.
e. X-Ray. Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan stuktur
garis (perdarahan/oedema).
f. BAER (Brain Evoked Respone). Mengoreksi batas fungsi kortek dan otak
kecil.
g. PET (Positron Emission Tomography). Mendeteksi perubahan aktifitas
metabolisme otak.
h. Lumbal Pungsi. Dapat dikatakan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
i. Kadar elektrolit. Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial).
j. Screen Toxicologi. Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
k. GDA (Gas Darah Analisa). Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi
atau oksigen yang dapat meningkatkan TIK (Tekanan Intra Kranial).
l. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography). Untuk
mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak.
m. Mielografi. Untuk mengganbarkan ruang sub arachnoid sepinal dan
menunjukkan adanya penyimpangan medulla spinalis.
n. Ekoensephalografi. Untuk menentukan posisi stuktur otak dibagian garis
tengah dan jarak dari garis tengah ke dinding ventikuler atau dinding
ventikuler ke – 3.
o. EMG (Elektromiografi). Digunakan untuk menentukan ada tidaknya
gangguan neuromuskuler dan miopatis. (Doengoes Marillyn.2000)
4.9 Penatalaksanaan Medis
1. Pembedahan dengan craniotomy
2. Radiotherapi
Biasanya merupakan kombinasi dari terapi lainnya tapi tidak jarang pula
merupakan therapi tunggal. Adapun efek samping : kerusakan kulit di
sekitarnya, kelelahan, nyeri karena inflamasi pada nervus atau otot
pectoralis, radang tenggorkan.
10

3. Kemoterapi
Pemberian obat-obatan anti tumor yang sudah menyebar dalam aliran
darah.
Efek samping : lelah, mual, muntah, hilang nafsu makan, kerontokan
membuat, mudah terserang penyakit.
4. Manipulasi hormonal.
Biasanya dengan obat golongan tamoxifen untuk tumor yang sudah
bermetastase.
5. Psikologi
Tujuan penatalaksanaan unit gawat darurat pada injury kepala pasien
yang post-operative adalah sama sepeti pre-operativ, yakni: optimisasi
physiologic. Prinsip kontrol tekanan intracranial dan optimisasi perfusi
tekanan cerebral seperti halnya pemeliharaan oxygenation yang cukup
dari perfusi darah :
a. Ventilasi
Hyperventilation bukanlah suatu therapy yang tidak
berbahaya ( disebabkan alkalosis, hypokalemia, vasoconstricsi
dengan ischemia) dan bagaimanapun secara relatif tidak efektif
dalam pengerutan pembuluh darah cerebral setelah beberapa jam.
Normocapnia harus dirawat sedapat mungkin. Drainase CSF dari
suatu kateter/pipa ventricular dalam saluran tubuh lebih disukai
untuk mereduksi/mengurangi ICP ( dan optimisasi pada tekanan
perfusion cerebral) untuk metabolically deranging therapies seperti
hyperventilation dan diuresis.
b. Fluids/cairan
Walaupun penggantian cairan bukan sebagian besar
diantaranya intracranial sebagai intra-abdominal atau perawatan
intrathoracic post operasi trauma kepala penatalaksanaan cairan
adalah komplikasi perawatan pada kontrol hipertensi intracranial
seperti diuresis dan hyperventilation kedua-duanya yang mana
cenderung menyebabkan berkurangnya volume dan metabolisme
alkalosis. Solusinya Isotonik IV harus digunakan dalam semua
11

kasus. Jumlah volume Darah yang bagus tidak hanya meningkatkan


kapasitas oksigen tetapi juga menyebabkan unsur selularnya tidak
pecah ( seperti albumin) ke dalam molekul lebih kecil yang berdifusi
ke membran alveolar dalam paru-paru dan dari intravascular ke
ruang extravascular yang membawa cairan pada paru-paru dan
edema cerebral.
Pasien dengan berbagai trauma, laserasi kulit kepala,
perdarahan subdural, dan injury sering kehilangan sejumlah darah
dalam jumblah yang besar pada saat itu mereka tiba di ruang op di
ICU. Transfusi diberikan kepada pasien dengan hematocrit yang
rendah pada level kritis (pada umumnya di bawah 25%) terutama
ketika disertai dengan hypotension, tachycardia, dan berkurangnya
urin output.
c. Nutrisi
Dukungan nuitrisi harus segera setelah trauma kepala
craniotomy ketika pasien bowel sounds. Pemberian makanan Enteral
itu baik tidak hanya untuk mencegah perdarahan tetapi juga nutrisi
diatur melalui rute ini jadi lebih siap diserap dan metabolisme tanpa
resiko dari hepatitis, sepsis, dan komplikasi lain yang berhubungan
dengan total parenteral nutrition ( TPN)., seandainya bowel berbunyi
adalah suatu pngembalian lambat, TPN yang pertama dapat dimulai
dalam duapuluh empat jam setelah suatu operasi trauma kepala
4.10 Dampak Post Cranial Terhadap Tubuh yang lain
a. Sistem Kardiovaskuler
Craniotomy bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung
mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler
dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi
tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh
darah arteriol berkontraksi. Tidak adanya stimulus endogen saraf
simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel.
Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung
dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi
12

dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya


peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
b. Sistem Pernafasan
Adanya edema paru dan vasokonstriksi paru atau hipertensi
paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Konsentrasi
oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran
darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena
terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida
akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan
penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid).
Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan
sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal
tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi
peningkatan tingginya TIK.Tingginya TIK dapat menyebabkan
terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata.
Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan pernafasan
ataksia (kurangnya koordinasi dalam gerakan bernafas).
c. Sistem Eliminasi
Pada pasien dengan post craniotomy terjadi perubahan
metabolisme yaitu kecenderungan retensi natrium dan air serta
hilangnya sejumlah nitrogen. Setelah tiga sampai 4 hari retensi cairan
dan natrium mulai berkurang dan dapat timbul hiponatremia.
d. Sistem Pencernaan
Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk
menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung
adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung yang
menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena
adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress
yang mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini
tidak segera ditangani, akan menyebabkan perdarah lambung.
13

e. Sistem Muskuloskeletal
Akibat dari post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan
tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari
kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai
control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan
perawatan diri dan kehidupan sehari – hari yang berhubungan dengan
postur, spastisitas atau kontraktur.
Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis
dari 2 kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama
muncul pada bagian posterior lobus frontalis yang disebut girus
presentral atau “strip motorik “. Di sini kedua bagian saraf itu
bersinaps dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah yang
berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot-otot tertentu.
Masing-masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi
tertentu pada gerakan. Sehingga, pasien akan menunjukan gejala
khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini cidera.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat
batang otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan
involunter. Terdapat gangguan tonus otot dan penampilan postur
abnormal, yang pada saatnya dapat membuat komplikasi seperti
peningkatan saptisitas dan kontraktur.
4.11 Indikasi Kraniotomy
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah
sebagai berikut :
a. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
b. Mengurangi tekanan intrakranial.
c. Mengevakuasi bekuan darah .
d. Mengontrol bekuan darah,
e. Pembenahan organ-organ intrakranial,
f. Tumor otak,
g. Perdarahan (hemorrage),
h. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
14

i. Peradangan dalam otak


j. Trauma pada tengkorak.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
4.1 PENGKAJIAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sistematika dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
status kesehatan klien (Nursalam, 2001 : 17).
Tahap proses keperawatan dimulai dengan pengkajian,
menentukan diagnosa, membuat perencanaan, melakukan tindakan atau
implementasi dan evaluasi.
a. Pengumpulan Data
1). Identitas Klien
Dikaji tentang identitas klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, pendidikan terakhir, status perkawinan, alamat, diagnosa medis,
nomor medrek, tanggal masuk Rumah Sakit dan tanggal pengkajian. Juga
identitas penanggung jawab klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan terakhir dan hubungan dengan klien.
2). Riwayat Kesehatan
a). Alasan Masuk
Merupakan alasan yang mendasari klien dibawa ke Rumah Sakit
atau kronologis yang menggambarkan perilaku klien dalam mencari
pertolongan.
b). Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang dirasakan klien saat dilakukan
pengkajian, nyeri biasanya menjadi keluhan yang paling utama terutama
pada pasien post op kraniotommy (Muttaqin, 2008 : 154).
c). Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien
melalui metode PQRST dalam bentuk narasi:

15
16

P: (Provokatif/Pariatif) : Hal yang memperberat atau


memperingan, nyeri yang dirasakan biasanya bertambah
bila klien berjalan, bersin, batuk atau napas dalam.
Klien dengan post craniotomy biasanya merasakan nyeri
semakin berat saat digerakan, dan nyeri dirasakan
berkurang saat didiamkan.
Q: (Quality/Quantity) : Kualitas dari suatu keluhan atau
penyakit yang dirasakan.
Biasanya nyeri yang dirasakan klien seperti ditusuk-
tusuk.
R: (Region/Redition) : adalah daerah atau tempat dimana
keluhan dirasakan, apakah keluhan itu menyebar atau
mempengaruhi ke area lain.
Biasanya lokasi nyeri dirasakan sekitar kepala yang telah
dilakukan pembedahan.
S: (Saverity/Scale) : adalah keganasan atau intensitas (skala)
dari keluhan tersebut. Skala nyeri antara 0-5.
Nyeri yang dirasakan tergantung dari individu biasanya
diukur menggunakan skala nyeri 0-5
T: (Time) : adalah waktu dimana keluhan dirasakan pada
klien yang mengeluh nyeri tanyakan apakah nyeri
berlangsung terus menerus atau tidak.
Biasanya klien merasakan nyeri terus-menerus.

d). Riwayat Kesehatan Masa lalu


Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator,
obat-obat adiktif dan konsumsi alkohol berlebihan (Muttaqin, 2008 : 154).
e). Riwayat Kesehatan keluarga
17

Dikaji apakah anggota generasi terdahulu ada yang menderita


hipertensi dan diabetes melitus, penyakit menular seperti tuberkulosis dan
penyakit yang sama seperti klien.

3). Data Biologis


Data ini dapat diperoleh dari anamnesa baik dari klien atau dari
keluarga yaitu menyangkut pola kebiasaan, meliputi:
a). Pola Nutrisi
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan, riwayat
alergi terhadap suatu jenis makanan tertentu.
Pada klien post craniotomy biasanya terjadi penurunan nafsu
makan akibat mual dan muntah (Brunner dan Suddarth, 2008).
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Minuman
yang harus dihindari pasien post craniotomy akibat cedera kepala yaitu
minuman beralkohol dan yang mengandung kafein karena dapat
meningkatkan derajat dehidrasi dan dapat menimbulkan rasa pusing pada
kepala.
b). Pola Eliminasi
Dikaji frekuensi BAB, warna, bau, konsistensi feses dan keluhan
klien yang berkaitan dengan BAB. Pada klien post craniotomy pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus
(Muttaqin, 2008 : 160).
Setelah pembedahan klien mungkin mengalami inkontinensia
urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan
ketidakmampuan mempergunakan sistem perkemihan karena kerusakan
kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol spingter urinarius
hilang atau berkurang (Muttaqin, 2008 : 160).
c). Pola Istirahat dan Tidur
Dikaji mengenai kebutuhan istirahat dan tidur, waktu tidur,
lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam tidur. Pada klien
post craniotomy sering terjadi pusing dan sakit kepala dan hal ini mungkin
akan mengganggu istirahat tidur klien.
18

d). Pola Personal Hygiene


Dikaji mengenai frekuensi dan kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi
dan menggunting kuku. Pada klien post craniotomy kemungkinan dalam
perawatan dirinya tersebut memerlukan bantuan baik sebagian maupun
total.
e). Pola Aktivitas sehari-hari
Dalam aktivitas sehari-hari dikaji pada pola aktivitas sebelum sakit dan
setelah sakit.
f). Pola Mobilisasi Fisik
Dikaji dalam kegiatan yang meliputi pekerjaan, olah raga, kegiatan
diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan mengganggu aktivitas
klien tersebut (Brunner dan Suddarth, 2001).
4). Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaikanya dilakukan secara
persistem dengan fokus pada pemeriksaan fisik pada pemeriksaan sistem
persyarafan yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien.
Teknik yang digunakan ada 4, yaitu inspeksi, palpasi, auskultasi, dan
perkusi.
Pada klien dengan post craniotomy akan ditemukan kelainan pada
beberapa sistem tubuh, diantaranya :
a) Sistem pernafasan
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan serebral. Pada keadaan hasil dari pemeriksaan fisik
sistem ini akan didapatkan hasil :
1) Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan alat bantu napas dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Ekspansi dada : dinilai penuh atau tidak penuh dan
kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai :
retraksi dari otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen dan
respirasi paradoks (retraksi abdomen pada saat inspirasi). Pola napas
19

paradoksal dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu


menggerakkan dinding dada.
2) Pada palpasi frenitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
3) Pada perkusi adanya suara redup sampai pekak.
4) Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan
batuk yang menurun sehingga didapatkan pada klien dengan
penurunan tingkat kesadaran.
5) Pada klien dengan post craniotomy dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan
biasanya klien dirawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi
klien menjadi stabil. Pengkajian klien dengan pemasangan ventilator
secara komprehensif merupakan jalur keperawatan kritis.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian
pada inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi
napas tambahan.
b) Sistem Kardiovaskuler
Pengkajian ini pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien post craniotomy
akibat cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan
darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia dan aritmia.
Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh
dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi
bradikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit
kelihatan pucat menunjukkan adanya perubahan perfusi jaringan atau
tanda-tanda awal dari syok.
c) Sistem Persyarafan
Post craniotomy akibat cedera kepala menyebabkan berbagai defisit
neurologis terutama akibat pengaruh peningkatan tekanan intrakranial
yang disebabkan adanya perdarahan baik bersifat hematom intraserebral,
subdural dan epidural. Pengkajian sistem persyarafan merupakan
20

pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada


sistem lainnya.
Pengkajian tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarapan.
Pengkajian fungsi serebral. Pengkajian ini meliputi statusmental ,
fungsi intelektual (biasanya pada beberapa keadaan klien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam memori jangka panjang dan pendek), lobus
frontal (biasanya pada klien dengan cedera kepala kerusakan fungsi
kognitif dan efek psikologis terjadi jika trauma kepala yang
mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal, kapasitas, memori
atau kerusakan fungsi intelektual yang lebih tinggi), hemisfer (pada klien
dengan cedera kepala biasanya mempunyai kerentanan terhadap sisi
kolateral sehinga kemungkinan terjatuh ke sisi berlawanan tersebut).
Pengkajian saraf kranial yang meliputi : Saraf I (pada keadaan post
craniotomy klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman
unilateral atau bilateral), Saraf II (hematom palpebra pada klien cedera
kepala akan menurunkan lapang pandang dan menggangu fungsi saraf
optikus), Saraf III, IV dan VI (terjadinya gangguan mengangkat kelopak
mata terutama pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbita),
Saraf V (pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis
saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerak
mengunyah), Saraf VII (persepsi pengecapan mengalami perubahan,
Saraf VIII (perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan saraf vestibulokoklearis), Saraf IX dan X (kemampuan
menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut, Saraf XI (bila tidak
melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik serta tidak ada
artrofi otot), saraf XII (indera pengecapan mengalami perubahan).
Pengkajian sistem motorik, pada saat inspeksi umum didapatkan
hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda lain dari tonus otot, kekuatan
otot dan keseimbangan dan koordinasi.
21

Pengkajian refleks dilakukan pemeriksaan refleks profunda,


pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada
respon normal. Permeriksaan refleks patologis pada fase akut refleks sisi
yang lumpuh akan menghilang.
Pengkajian sistem sensorik kehilangan karena cedera kepala dapat
berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan
kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta
kesulitan dalam stimulus visual, taktil dan auditorius.
d) Sistem Perkemihan
Setelah post craniotomy klien mungkin mengalami inkontinesia urine,
dapat terlihat dari produksi urine pada urine bag atau bllader,
ketidakseimbangan mengkomunikasi kebutuhan dan ketidak mampuan
untuk m
enggunaan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan
postural.
e) Sistem Pencernaan
Klien dengan post craniotomy didapatkan adanya keluhan kesulitan
menelan, nafsu makan menurun, mual dan muntah pada fase akut. Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
f) Sistem muskuloskeletal
Akibat dari post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan tubuh.
Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada
area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control vaolunter
terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan
kehidupan sehari – hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau
kontraktur.
g) Sistem Integumen
Adanya perubahan warna kulit, pucat dan sianosis pada klien
menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Warna
kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya demam dan infeksi.
Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus..
(Muttaqin, 2008 : 155-161).
22

5). Data Psikologis


Data psikologis yang perlu dikaji adalah status emosional, konsep diri,
mekanisme koping klien dan harapan serta pemahaman klien tentang
kondisi kesehatan sekarang.
Menurut Kelliat (2005 : 77), yang perlu dikaji pada aspek psikologis
yaitu konsep diri. Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran,
keyakinan dan kepercayaan yang membuat orang mengetahui tentang
dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri
terdiri dari :
a). Citra Tubuh (Body Image)
Kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap
tubuhnya. Termasuk persepsi masa lalu dan sekarang serta perasaan tentang
ukuran, fungsi, penampilan dan potensi. Biasanya klien dengan post
craniotomy merasa ada yang berubah pada kepalanya.
b). Ideal Diri
Persepsi individu tentang bagaimana dia seharusnya berperilaku berdasarkan
standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu. Biasanya klien dengan
post craniotomy berharap cepat sembuh dan fungsi sarafnya kembali seperti
semula.
c). Harga Diri
Penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa
seberapa baik prilaku seseorang sesuai ideal diri. Biasanya klien dengan post
craniotomy mengalami penurunan harga diri.
d). Identitas
Serangkaian pola perilaku yang dihadapkan oleh lingkungan sosial
berhubungan dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial. Biasanya
klien dengan post craniotomy merasa terganggu dengan keadaannya karena
fungsinya tidak bisa berjalan dengan baik.
e). Peran
Pengorganisasian perinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab terhadap
kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu. Biasanya klien
dengan post craniotomy klien merasa terganggu dalam melaksanaan tugas dan
23

peran tersebut karena penyakitnya sekarang.


6). Data sosial dan budaya
Perlu diamati penampilan klien secara umum, bagaimana hubungan
interpersonal klien dan keluarga, sesama klien yag dirawat dalam satu ruangan
serta tim kesehatan. Kaji kemampuan berkomunikasi dan peran klien dalam
keluarga, gaya hidup, faktor sosial serta support sistem yang ada pada klien
dengan post craniotomy.
7). Data Spiritual
Ada beberapa hal yang perlu dikaji untuk mendapatkan data spiritual,
yaitu nilai-nilai atau norma-norma kegiatan keagamaan dan moral, serta
menyangkut masalah keyakinan dan penerimaan diri terhadap penyakit dan
keyakinan akan kesembuhan penyakitnya.
8). Data Penunjang
Meliputi farmakoterapi dan prosedur diagnostik medik seperti
pemeriksaan darah, urine, radiologi dan cystos copy.
9). Data Pengobatan
a). Obat-obat Analgetik (obat anti nyeri)
b). Obat-obat Antibiotik (anti mikrobal)
c). Obat antiemetik (anti mual)
b. Analisa Data
Proses analisa adalah menghubungkan data yang diperoleh dengan
konsep, teori, prinsip asuhan keperawatan yang relevan dengan kondisi
klien (Hidayat, 2004:104).
a. Primary Survey
1) Airway
- Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah dilakukan
pembedahan akibat pemberian anestesi.
- Potency jalan nafas, à meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
- Auscultasi paru à keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.
2) Breathing
- Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
24

iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
- Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X / menit à
depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal à gangguan cardiovasculair atau rata-rata
metabolisme yang meningkat.
- Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan
diafragma, retraksi sternal à efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
3) Circulating:
- Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
- Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
4) Disability : berfokus pada status neurologi
- Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon motorik dan
tanda-tanda vital.
- Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan,
kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah.
5) Exposure
- Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan
b. Secondary Survey : Pemeriksaan fisik
Pasien nampak tegang, wajah menahan sakit, lemah. Kesadaran somnolent,
apatis, GCS : 4-5-6, T 120/80 mmHg, N 98 x/menit, S 374 0C, RR 20 X/menit.
1) Abdomen.
Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah iga,dan limpa tidak
membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit.
Distensi abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus dilakukan
pada gastrointestinal.
2) Ekstremitas
25

Mampu mengangkat tangan dan kaki.Kekuatan otot ekstremitas atas 4-4 dan
ekstremitas bawah 4-4., akral dingin dan pucat.
3) Integumen.
Kulit keriput, pucat. Turgor sedang
4) Pemeriksaan neurologis
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
- Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
- Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
- Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
- Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
- Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
- Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
c. Tersiery Survey
1) Kardiovaskuler
Klien nampak lemah, kulit dan kunjungtiva pucat dan akral hangat. Tekanan
darah 120/70 mmhg, nadi 120x/menit, kapiler refill 2 detik. Pemeriksaan
laboratorium: HB = 9,9 gr%, HCT= 32 dan PLT = 235.
2) Brain
Klien dalam keadaan sadar, GCS: 4-5-6 (total = 15), klien nampak lemah, refleks
dalam batas normal.
3) Blader
Klien terpasang doewer chateter urine tertampung 200 cc, warna kuning
kecoklatan.
26

4.2 Aplikasi NANDA, NOC, dan NIC


No. NANDA NOC NIC
1. Ganggguan rasa Tujuan: 1.Kaji nyeri, catat lokasi,
nyaman nyeri karakteristik, skala (0-10).
 Setelah dilakukan
berhubungan dengan Selidiki dan laporkan
tindakan keperawatan
luka insisi. perubahan nyeri dengan
rasa nyeri dapat teratasi
tepat.
atau tertangani dengan
baik. 2.Pertahankan posisi
istirahat semi fowler.
Kriteria hasil:
3.Dorong ambulasi dini.
 Melaporkan rasa nyeri
hilang atau terkontrol. 4.Berikan kantong es pada
 Mengungkapkan abdomen.
metode pemberian
5.Berikan analesik sesuai
menghilang rasa nyeri.
indikasi.
 Mendemonstrasikan
penggunaan teknik
relaksasi dan aktivitas
hiburan sebagi
penghilang rasa nyeri.
27

2. Kerusakan integritas Tujuan: 1.Kaji dan catat ukuran,


kulit berhubungan warna, keadaan luka, dan
Setelah diberikan tindakan
dengan luka insisi. kondisi sekitar luka.
pasien tidak mengalami
gangguan integritas kulit. 2.lakukan kompres basah
dan sejuk atau terapi
Kriteria hasil:
rendaman.

 Menunjukkan
3.lakukan perawatan luka
penyembuhan luka tepat
dan hygiene sesudah
waktu. pasien
mandi, lalu keringkan kulit
menukjukkan
dengan hati hati.
 Pasien menunjukkan
perilaku untuk 4.berikan priopritas untuk
meningkatkan meningkatkan
penyembuhan dan kenyamanan dan kehilanan
mencegah komplikasi. pasien.

3. Resiko tinggi Tujuan: 1.awasi tanda-tanda vital,


infeksi perhatikan demam,
Setelah dilakukan tindakan
berhubungan dengan menggigil, berkeringat dan
keperawatan pasien diharapkan
higiene luka yang perubahan mental dan
tidak mengalami infeksi.
buruk. peningkatan nyeri
abdomen.
Kriteria hasil:

2.Lihat lika insisi dan


 Tidak menunjukkan
balutan. catat karakteristik,
adanya tanda infeksi.
drainase luka.
 Tidak terjadi infeksi.

3.Lakukan cuci tangan


yang baik dan lakukan
perawatan luka aseptik.
28

4.Berikan antibiotik sesuai


indikasi.
4. Gangguan perfusi Tujuan: 1.Observasi ekstermitas
jaringan terhadap pembengkakan,
 Setelah dilakukan
berhubungan dengan dan eritema.
perawatan tidak terjadi
pendarahan.
gangguan perfusi 2.Evaluasi status mental.
jaringan. perhatikan terjadinya
hemaparalis, afasia,
Kriteria hasil:
kejang, muntah dan
peningkatan TD.
 Tanda-tanda vital stabil.
 Kulit klien hangat dan
kering
 Nadi perifer ada dan
kuat.
 Masukan atau haluaran
seimbang.

5. Kekurangan volume Tujuan: 1.awasi intake dan out put


cairan berhubungan cairan.
 setelah dilakukan
dengan perdarahan
tindakan keperawatan 2.Awasi TTV, kaji
post operasi.
pasien menunjukkan membrane mukosa, turgor
keseimbangan cairan kulit, membrane mukosa,
yang adekuat. nadi perifer dan pengisian
 Tanda-tanda vital stabil. kapiler.
 Mukosa lembab
3.Awasi pemeriksaan
 Turgor kulit/ pengisian
laboratorium.
kapiler baik.
 Haluaran urine baik.
4.Berikan cairan IV atau
produk darah sesuai
29

indikasi
6. Pola nafas inefektif Tujuan: 1.Evaluasi frekuensi
berhubungan dengan pernafasan dan kedalaman.
setelah dilakukan tindakan
efek anastesi.
perawatan pasien menunjukkan 2.Auskultasi bunyi nafas.
pola nafas yang efektif.
3.Lihat kulit dan membran
Kriteria hasil: mukosa untuk melihat
adanya sianosis.
 volume nafas adekuat.
 klien dapat 4.Berikan tambahan
mempertahankan pola oksigen sesuai kebutuhan.
nafas normal dan efektif
dan tidak ada tanda
hipoksia.

7. Bersihan jalan napas Tujuan: 1.Awasi frekuensi, irama,


inefektif kedalaman pernafasan.
setelah dilakukan tindakan
berhubungan dengan
keperawatan pasien 2.Auskultasi paru,
penumpukan secret.
menunjukkan bunyi nafas yang perhatikan stridordan
jelas. penurunan bunyi nafas.

Kriteria hasil: 3.Dorong batuk atau


latihan pernafasan.
 frekuensi nafas dalam
rentang normal. 4.Perhatikan adanya warna
 bebas dipsnea. pucat atau merah pada
luka.

8. Perubahan pola Tujuan: 1.Catat keluaran urine,


eliminasi urin selidiki penurunan aliran
setelah dilakukan tindakan
berhubungan dengan urine secara tiba-tiba.
keperawatan pasien
efek anastesi.
30

menunjukkan aliran urine yang 2.Awasi TTV, kaji nadi


lancar. perifer, turgor kulit,
pengisian kapiler.
Kriteria hasil:
3.Dorong peningkatan
 Haluaran urine adekuat.
cairan dan pertahankan
pemasukan akurat.
9. Perubahan nutrisi Tujuan: 1.Timbang BB secara
kurang dari teratur.
Setelah dilakukan tindakan
kebutuhan
keperawatan pasien 2.Auskultasi bising usus,
berhubungan dengan
menunjukkan keseimbangan catat bunyi tak ada atau
mual muntah.
berat badan. hiperaktif.

Kriteria hasil: 3.Tambahkan diet sesuai


toleransi.
 Berat badan klien tetap
seimbang.
31
32

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Craniotomy adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan
pertumbuhan atau abnormalitas di dalam kranium, terdiri atas pengangkatan
dan penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada
struktur intracranial. Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak
(tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki
kerusakan otak.
Penyebab craniotomy akibat cedera kepala antara lain : kecelakaan lalu
lintas, perkelahian, jatuh, cedera saat berolahraga dan cedera kepala terbuka
atau yang sering disebabkan oleh peluru atau pisau.
4.2 Saran
Agar pembaca memahami dari penjelasan craniotomy, mulai dari
klasifikasi, etiologi, patofiologi, manifestasi klinik, komplikasi, dampak bagi
tubuh yang lain, serta penatalaksanaan medis dari kraniotomy.
33

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddart. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC


Corwin, Elizabeth. 2000. Buku Saku Pathofisiologi. Jakarta : EGC
Doenges, E Marylin. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC
Price, Sylvia A. 2005. Pathofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda Juall RN.1999. Diagnosa dan Rencana Keperawatan Ed 3.
Jakarta : Media Aesculappius.
Purnawan Ajunadi, Atiek S.seomasto, Husna Ametz,(1982). Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Anda mungkin juga menyukai