Anda di halaman 1dari 40

PENURUNAN KESADARAN (KOMA)

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Kritis

Dosen Pengampu : Ns. Diah Tika Anggraeni, M.Kep

Disusun Oleh :
Anggryta Putry Lestari 1610711082
Hanifah Eka C 1610711087

S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga akhirnya kami dapat
membuat makalah Keperawatan Gawat Darurat

Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Kritis dengan Koma” ditulis


untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Keperawatan Kritis.

Pada kesempatan yang baik ini, kami menyampaikan rasa hormat dan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan
dan dorongan kepada kami dalam pembuatan makalah ini terutama kepada :

a. Ibu Ns. Diah Tika Anggraeni, M.Kep selaku dosen pada mata kuliah
Keperawatan Kritis.
b. Orang tua kami yang telah memberikan semangat, dukungan serta doa untuk
menyelesaikan makalah ini
c. Rekan satu kelompok yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini

Jakarta, 10 Oktober 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................. 1


Daftar Isi......................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 3


I.1 Latar Belakang .................................................................................................. 3
I.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 3
I.3 Tujuan Penulisan............................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 4


II.1 Anatomi dan fisiologi otak ............................................................................. 5
II.2 Definisi kesadaran dan koma .......................................................................... 6
II.3 Tingkatan kesadaran ........................................................................................ 7
II.4 Klasifikasi dari koma ....................................................................................... 9
II.5 Etiologi dari koma .......................................................................................... 10
II.6 Manifestasi klinis dari koma. ......................................................................... 11
II.7 Patofisiologi koma .......................................................................................... 11
II. 8 Komplikasi dari koma. .................................................................................. 12
II.9 Penilaian skala FOUR ( Full Outline Of Responsiveness). ............................ 12
II.10 Pemeriksaan diagnostik dari koma.. ............................................................. 12
II.11 Prinsip penanganan darurat pada pasien koma ............................................. 12
II.12 Asuhan keperawatan tentang koma. ...............................................................

BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 20


III.1 Kesimpulan .................................................................................................. 20
III.2 Saran ............................................................................................................. 20

Daftar Pustaka ............................................................................................................. 21


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Koma dan gangguan penurunan kesadaran merupakan gambaran dari adanya


gangguan atau kerusakan fungsi otak yang menyeluruh. Penanganan medis dan intervensi
di dalam koma dan gangguan penurunan kesadaran harus dilakukan secara tepat dan
sesegera mungkin untuk meminimalisir kerusakan dan memperbesar kemungkinan
pemulihan pasien. Kedua hal tersebut di atas perlu dilakukan oleh karena otak manusia
mempunyai cadangan fungsi yang terbatas, sehingga apabila penanganan tidak dilakukan
segera tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengembalikan atau mencegah kerusakan
fungsi lebih lanjut.

Koma merupakan permasalahan medis yang terus menjadi perhatian bagi


banyak kalangan, baik dari jaman para klinisi Yunani kuno sampai masa sekarang.
Gangguan kesadaran sebagai bagian yang lebih luas dari koma telah menjadi pusat
penelitian dari banyak ilmuwan, namun hingga kini masih banyak aspek dari koma dan
gangguan kesadaran yang masih menjadi misteri. Meskipun demikian banyak kemajuan
yang telah mampu dicapai oleh dunia medis dalam penelusuran sebab, diagnosis dan
tatalaksana dari koma.

Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak,


termasuk fungsi batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi kematian
batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea.

Seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian batang otak berarti
secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini seperti dituangkan dalam
pernyataan IDI tentang mati, yaitu dalam Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4
tertanggal 15 Maret 1988 yang disusulkan dengan Surat Keputusan PB IDI
No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan
mati,bila fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau
terbukti telah terjadi kematian batang otak.

Dengan adanya kriteria kematian otak, seseorang dapat ditetapkan meninggal


secara sah atau legal, bahkan jika jantung masih terus berdenyut oleh bantuan alat
pendukung kehidupan.adapun negara pertama di dunia yang mengadopsi istilah mati otak
sebagai defenisi mati yang sah adalah finlandia pada tahun 1971. Di amerika serikat,
kansas kemudian membuat hukum yang serupa.

Permasalahan mendiagnosis kematian otak menjadi semakin penting akhir-


akhir ini karena semakin sulitnya menentukan pada pasien dengan kerusakan otak apakah
kerusakan tersebut memungkinkan untuk dapat bertahan hidup secara layak dengan
bantuan alat pernapasan dan dengan peralatan pendukung lainnya, dan yang kedua karena
sulitnya menjawab pertanyaan untuk menentukan kapan dapat disimpulkan bahwa lesi
serebral tersebut ireversibel sehingga kematian dapat dipastikan segera dan berbagai
persiapan dapat dilakukan untuk memindahkan organ-organ yang masih bermanfaat,
khususnya ginjal untuk transplantasi pada pasien yang lain.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi dan fisiologi otak?
2. Apa definisi kesadaran dan koma?
3. Apa saja tingkatan kesadaran?
4. Bagaimana klasifikasi dari koma?
5. Bagaimana etiologi dari koma?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari koma ?
7. Bagaimana patofisiologi koma?
8. Bagaimana komplikasi dari koma?
9. Bagaimana penilaian skala FOUR ( Full Outline Of Responsiveness)?
10. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari koma?
11. Apa saja prinsip penanganan darurat pada pasien koma?
12. Bagaimana asuhan keperawatan tentang koma?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui anatomi fisiologi otak.
2. Mengetahui definisi kesadaran dan koma.
3. Mengetahui tingkatan kesadaran.
4. Mengetahui klasifikasi dari koma.
5. Mengetahui etiologi dari koma .
6. Mengetahui manifestasi klinis dari koma.
7. Mengetahui patofisiologi koma.
8. Mengetahui komplikasi dari koma.
9. Mengetahui penilaian skala FOUR ( Full Outline Of Responsiveness).
10. Mengetahui pemeriksaan diagnostik dari koma dan mati batang otak.
11. Mengetahui prinsip penanganan darurat pada pasien koma.
12. Mengetahui asuhan keperawatan tentang koma.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Anatomi dan fisiologi otak.

Susunan saraf pusat terdiri dari otak, sumsum tulang belakang dan urat-urat saraf
atau cabang saraf (saraf perifer). Otak terletak didalam rongga cranium tengkorak. Otak
terdiri dari beberapa bagian.

1) Cerebrum (Otak Besar)


Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama cerebral cortex, forebrain atau otak depan. Cerebrum membuat manusia memiliki
kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan
kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas
bagian ini.
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut lobus. Bagian
lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulcus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah :
a) Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari otak besar.
Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi,
perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan,
kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
b) Lobus parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan
seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c) Lobus temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d) Lobus occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan
visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang
ditangkap oleh retina mata.

Selain dibagi menjadi 4 lobus, cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi
dua belahan, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung
oleh kabel-kabel saraf di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol
sisi kiri tubuh, dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh.
2) Cerebellum (Otak Kecil)
Otak kecil atau cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan
gerakan tubuh. Otak kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan
otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis,
gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap
dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi.

3) Brainstem (Batang Otak)


Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang.
Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung,
mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar
manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya. Batang otak terdiri
dari empat bagian, yaitu:
a) Diensepalon adalah bagian batang otak paling atas, terdapat diantara serebellum dengan
mesensepalon.
b) Mesensepalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan otak besar dan otak kecil. Otak tengah berfungsi dalam
hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur
gerakan tubuh dan pendengaran.
c) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan
menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis
otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
d) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama
dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.

4) Limbic System (Sistem Limbik)


Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat
kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Komponen limbik antara
lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik
berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis,
rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori
jangka panjang (Pearce, 2016).

II.2 Definisi kesadaran dan koma.

Kesadaran normal membutuhkan kesadaran dan gairah. Kesadaran adalah


kombinasi dari kognisi (mental dan intelektual) dan mempengaruhi (suasana hati) yang
dapat ditafsirkan berdasarkan interaksi pasien dengan lingkungan.(Urden, Stacy, & Lough,
2018)
Koma adalah suatu keadaan unarousable psychologic unresponsiveness dimana
penderita biasanya berbaring dengan mata tertutup. Penderita koma tidak dapat
menunjukan respons fisiologis yang dapat dimengerti terhadap stimulus eksternal maupun
internal.(Satyanegara, 2010)
Koma merupakan suatu keadaan tidak sadar menetap pada pasien yang tidak
berespons pada stimulus verbal, dapat memiliki berbagai respons terhadap stimulus nyeri,
tidak bergerak secara volunter, dapat memiliki respon pupil terhada cahaya yang terganggu
dan tidak berkedip, dapat memiliki pola pernafasan yang terganggu.(Morton & Fontaine,
2018)
Dapat disimpulkan, bahwa koma merupakan suatu keadaan di mana pasien
dalam keadaan tidur dalam dan tidak dapat dibangunkan secara adekuat dengan stimulus
kuat yang sesuai. Pasien mungkin masih dapat meringis atau melakukan gerakan
stereotipik, namun tidak dapat melakukan lokalisasi nyeri dan gerakan defensif yang
sesuai. Seiring dengan semakin dalamnya koma, pada akhirnya pasien tidak merespons
terhadap rangsangan sekuat apapun.

II.3 Tingkatan Kesadaran


Tingkat kesadaran klien adalah pengukuran dari kesadaran dan respon klien
terhadap rangsangan dari lingkungan eksternal. Pengukuran kesadaran terbagi atas 2
macam, pengukuran kesadaran kuaitatif dan kuantitatif yang menggunakan Glasgow
Coma Scale.(Mutaqin, 2013)
a. Penilaian kesadaran secara kualitatif
1. Kompos mentis
Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca
indra dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar
maupun dalam. GCS Skor 14-15
2. Apatis yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya. GCS Skor 13-12
3. Delirium yaitu tingkat kesadaran yang paling bawah ditandai dengan dicorientasi yang sangat
iriatif, kacau dan salah persepsi terhadap rangsangan sensorik. GCS Skor 11-10
4. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness
Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan
perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak
gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya menurun. GCS Skor 9-7 : somnolent
5. Stupor / Sopor
Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau
bersuara satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap
rangsang nyeri.GCS Skor 6-5 : stupor
6. Soporokoma / Semikoma
Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat
mengerang tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.. GCS skor : 4
7. Koma
Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka
mata, bicara maupun reaksi motorik. GCS Skor : 3 : koma.

b. Penilaian kesadaran secara kualitatif


Penilaian kesadaran secara kuantitaif terdiri dari respon motorik, respon bicara,
pembukaan mata. (Satyanegara, 2010)
a. Glasgow Coma Scale pada orang dewasa.
b. Glasgow Coma Scale pada anak.

II.4 Etiologi Dari Koma.


Penyebab koma dapat dibagi menjadi dua kategori umum: (Urden et al., 2018)
1) Lesi struktural atau bedah
Lesi struktural pada otak yang menempatkan tekanan pada batang otak atau
struktur di dalam fosa kranial posterior, termasuk serebelum, otak terngah, pons, dan
medulla. Tipe ini mempengaruhi ARAS (Ascending Reticular Activating System).
Penyebab struktural koma dapat berupa trauma kepala, stroke iskemik atau
hemoragik dan tumor otak. Kecelakaan kendaraan bermotor, serangan fisik, luka
tembak, dan jatuh merupakan penyebab trauma kepala yang sering

2) Gangguan metabolik atau medis.


Gangguan metabolik dan lesi difus yang menganggu kesiagaan dan kesadaran
dengan mengurangi suplai oksigen dan glukosa; dengan meningkatkan akumulasi
sampah metabolik di otak; atau dengan menganggu proses metabolik serebral lain.
Penyebab gangguan metabolik koma termasuk overdosis obat, penyakit
menular, gangguan endokrin, dan keracunan.

II.5 Klasifikasi Dari Koma.


Menurut Linda D Urden, dkk (2018) klasifikasi koma dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Koma Supra-tentorial Diensefalik
Semua proses supratentorial yang dapat mengakibatkan destruksi dan
kompresi pada substansia retikularis diensefalon (nuklei intralaminares) akan
menimbulkan koma. Destruksi morfologik, dapat terjadi akibat perdarahan atau
infiltrasi dan metastasis tumor ganas. Destruksi biokimia, dijumpai pada meningitis.
Sedangkan, kompresi tersebut disebabkan oleh proses desak ruang, baik yang berupa
hematoma atau neoplasma.

Proses-proses desak ruang supratentorial yang bisa menimbulkan koma


supratentorial dapat dibagi dalam 3 golongan:

1. Proses desak ruang yang meninggikan tekanan di dalam ruang intrakranial


supratentorial secara akut.
Proses desak ruang itu berupa hematoma atau abses, progresi yang lazimnya
bertahap sesuai dengan urutan rostro-kaudal batang otak itu, bisa mendadak berakhir
pada kematian karena ruptur abses ke dalam ventrikel ketiga.

2. Lesi yang menimbulkan sindrom unkus.


Sindrom unkus dikenal juga sebagai sindrom kompresi diensefalon ke
lateral. Proses desak ruang di bagian lateral dari fosa krani media biasanya mendesak
tepi medial unkus dan girus hipokampalis dan ke bawah tepi bebas daun tentorium.
Karena desakan itu, bukannya diensefalon yang pertama-tama mengalami gangguan,
melainkan bagian ventral nervus okulomotorius. Maka dari itu gejala yang pertama
akan dijumpai bukannya gangguan kesadaran akan tetapi dilatasi pupil kontralateral.
Anisokori ini merupakan suatu tanda bahwa herniasi tentorial kelak terjadi. Yang
dimaksud dengan hernia tentorial itu ialah terjepitnya diensefalon oleh tentorium.
Pupil yang melebar itu mencerminkan penekanan terhadap nervus okulomotorius
dari bawah oleh arteria serebeli superior karena penggeseran diensefalon ke arah
garis tengah dan bawah.

Tahap yang segera menyusulnya ialah tahap kelumpuhan nervus


okulomotorius totalis. Progresi dari kelumpuhan nervus okulomotorius internus
(pupil dilatasi maksimal) ke kelumpuhan okulomotorius totalis bisa cepat sekali.
Lagi pula, pedunkulus serebri kontralateral mengalami iskemia pada tahap ini.
Sehingga hemiparesis timbul pada sisi proses desak ruang supratentorial yang
bersangkutan. Pada tahap-tahap berkembangnya paralisis nervus okulomotorius
internus ke totalis, derajat kesadaran menurun secara progresif. Bila pertolongan
(operatif) tidak segera diberikan, penjiratan terhadap seluruh bagian rostral dari
batang otak akan terjadi. Sindrom kompresi rostrokaudal terhadap batang otak.

3. Lesi supratentorial yang menimbulkan sindrom kompresi rostrokaudal terhadap


batang otak.

Proses desak ruang supratentorial yang secara berangsur-angsur dapat


menimbulkan kompresi terhadap bagian rostral batang otak, anatara lain.
1. Herniasi girus singuli di bawah falks serebri.
2. Herniasi lobus temporalis di kolong tentorium.
3. Penjiratan diensefalon dan bagian rostral mesensefalon oleh tepi bebas daun
tentorium secara bilateral.

Manifestasi yang terjadi berupa, penurunan kesadaran pada waktu gejala-


gejala diensefalon muncul. Tanda bahwa suatu tumor supratentorial mulai
mengganggu diensefalon biasanya berupa gangguan perangai. Keluhan-keluhan
awal yaitu, mudah lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa mengingat. Selain
itu, Pada tahap dini dari kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak dapat ditemui:

1. Respirasi yang kurang teratur, yang sering mendahului respirasi jenis cheyne-
stokes.
2. Pupil kedua sisi sempit sekali
3. Kedua bola mata bergerak pelahan-lahan secara konyugat ke samping kiri dan
kanan bahkan dapat bergerak juga secara divergen. Dengan memutarkan kepala,
gerakan bola mata yang tidak bertujuan itu bisa dihentikan
4. Kesadaran menurun sampai derajat yang paling rendah
5. Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak terus
6. Respirasi menjadi cepat dan mendengkur
7. Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur menjadi lebar dan tidak bereaksi lagi
terhadap sinar cahaya. Itulah manifestasi tahap mesensefalon.
8. Tahap selanjutnya ialah tahap pontin, dimana hiperventilasi berselingan dengan
apnea dan rigiditas deserebrasi akan dijumpai. Tahap terminalnya dinamakan
tahap medula oblongata. Pernafasan menjadi lambat namun dalam dan tidak
teratur. Nadi menjadi lambat pula atau justru menjadi cepat lagi dan tekanan darah
menurun secara progresif.

2. Koma Infra-tentorial Diensefalik


Koma Infratentorial Diensefalik dapat disebabkan oleh lesi vaskular yang
merusak substansia retikularis mesensefali dan mengakibatkan penyumbatan arteria
serebeli superior. Penyumbatan arteri-arteri perforantes yang berinduk pada arteria
basilaris. Di samping lesi vaskular, perdarahan karena trauma kapitis dapat merusak
tegmentum batang otak berikut substansia retikularis. Neoplasma, granuloma, abses
dan perdarahan di dalam serebelum mendesak batang otak dari luar.
Gejala-gejala yang terjadi berupa gangguan pupil, pernafasan, okular dan
tekanan darah berikut nadi yang menandakan terlibatnya tegmentum mesensefalon,
pons dan medula oblongata akan dijumpai juga pada pemburukan koma subtentorial.

3. Koma Bihemisferik Difus


Proses metabolisme neuronal otak ialah metabolisme oksidatif yang bertugas
untuk:
1. Menyediakan dan mengatur keseimbangan natrium dan kalium di dalam dan di luar
sel.
2. Membuat zat-zat yang diperlukan unluk memungkinkan serah terima potensial aksi
antar neuron, yang dinamakan neurotransmitter.
3. Mengolah katabolit-katabolit yang akan dimanfaatkan untuk resintesis enzim dan
unsur-unsur sel.
Koma bihemisferik difus dapat terjadi akibat metabolisme neuronal hemisfer
otak bilateral, ekstensif, dan difus. Maka otak tidak mendapat bahan energi dari luar,
maka metabolisme oksidatif serebral akan berjalan dengan enersi intrinsik. Maka bahan
enersi diri-sendiri tidak lagi mencukupi kebutuhan, maka otak akan tetap memakai
enersi yang terkandung oleh neuron-neuronnya untuk masih bisa berfungsi
sebagaimana mestinya. Maka keadaan ini berlangsung cukup lama, neuron-neuron akan
menghancurkan diri sendiri. Bahan yang diperlukan untuk metabolisme oksidatif
serebral ialah glukose dan oksigen, yang mengangkut glukose dan oksigen ke otak ialah
aliran darah serebral. Semua proses yang menghalang-halangi transportasi itu dapat
mengganggu dan akhirnya memusnahkan neuron-neuron otak.
II.6 Manifestasi Klinis Dari Koma.
Menurut Corwin Elizabeth (2009), manifestasi klinis koma adalah :
1. Perubahan respons pupil
Gangguan hipotalamus yang melibatkan diensenfalon bilateral atau lesi-lesi
pada pons biasanya menunjukan pupil yang kecil namun masih reaktif. Perubahan pupil
penting yang dijumpai pada kerusakan otak adalah pupil pin-point yang tampak pada
overdosis opiat ( heroin ) serta dilatasi dan fiksasi pupil bilateral yang biasanya
dijumpai pada overdosis barbiturat.

2. Refleks sefalik batang otak (Satyanegara, 2010)


a. Refleks pupil (mesensefalon)
1) Refleks cahaya, refleks konsensual dan refleks konvergensi

2) Pada pasien koma hanya dapat diperiksa refleks cahaya dan konvergensi
3) Bila refleks cahaya terganggu berarti ada gangguan di mesensefalon
(bagian atas batang otak)
b. Doll’s eye manoever
1) Bila kepala pasien digerakkan ke samping maka bola mata akan bergerak
ke arah yang berlawanan
2) Refleks negatif bila ada gangguan di pons
c. Refleks okulo-auditorik
Bila telinga pasien dirangsang dengan suara yang keras maka pasien akan
menutup matanya (auditory blink reflex)
d. Refleks okulovestibular (pons)
1) Bila meatus akustikus eksternus dirangang dengan air panas (440 C) maka
akan terjadi gerakan bola mata cepat ke arah telinga yang dirangsang
2) Bila tes kalori ini negatif berarti ada gangguan di pons

e. Refleks kornea

Bila kornea digores dengan kapas halus maka akan terjadi penutupan kelopak
mata

f. Refleks muntah (medula oblongata)


Dinding belakang faring dirangsang dengan spatel maka akan terjadi refleks
muntah

3. Perubahan pola respirasi (pernafasan)


a. Kerusakan pada batang otak
Pusat pernafasan di batang otak bagian bawah mengontrol pernafasan
berdasarkan konsentrasi ion hidrogen dalam CSS yang mengelilinginya. Kerusakan
batang otak menyebabkan pola nafas yang tidak teratur (Ataksik). (Morton &
Fontaine, 2018)

b. Kerusakan serebral
Pernafasan chynes-stokes yang dijumpai pada kerusakan hemisfer serebri,
dan sering berkaitan dengan koma metabolik. Pernafasan cheynes-stokes juga
merupakan pernafasan yang didasarkan pada kadar karbondioksida. Pada kasus ini
pusat pernafasan berespons berelebihan terhadap karbondioksida yang
menyebabkan pola nafas meningkat dan kedalaman pernafasan kemudian turun
dengan mudah sampai terjadi apnea (decrescendo breathing). (Morton & Fontaine,
2018)

4. Perubahan respons motorik dan gerakan


Respons motorik abnormal meliputi tidak sesuainya atau tidak adanya
gerakan sebagai respons terhadap stimulus nyeri, refleks batang otak seperti respons
mengisap dan menggengam terjadi apabila pusat otak yang lebih tinggi rusak.

5. Disfasia
Disfasia adalah gangguan pemahamaan atau pembentukan bahasa. Afasia
adalah kehilangan total pemahaman atau pembenyukaan bahasa. Disfasia biasanya
disebabkan oleh hipoksia serebral yang sering berkaitan dengan stroke, tetapi dapat
juga disebabkan oleh trauma atau infeksi. Kerusakan otak yang menyebabkan disfasia
biasanya mengenai hemisfer serebri kiri.

6. Disfasia broca
Disfasia broca terjadi akibat kerusakan area broca di lobus frontalis. Individu
yang mengalami disfasia broca memahami bahasa, tetapi kemampuanya untuk
mengekspresikan kata secara bermakna dalam bentuk tulisan atau lisan terganggu. Hal
ini disebut disfasia ekspresif.
7. Disfasia wernicke
Disfasia wernicke terjadi akibat kerusakan area wernicke di lobus temporalis
kiri. Pada disfasia wernicke, ekspresi bahasa secara verbal utuh, tetapi pemahaman
bermakna terhadap kata yang diucapkan atau tertulis terganggu. Hal ini disebut disfasia
reseptif.
8. Agnosia
Agnosia adalah kegagalan mengenali obyek karena ketidaknyamanan
memahami stimulus sensorik yang datang.agnosia dapat berupa visual, pendengaran,
taktil, atau berkaitan dengan pengucapan atau penciuman.agnosia terjadi akibat
kerusakan pada area sensorik primer atau asosiatif tertentu di korteks serebri

II.7 Patofisiologi koma.

Kesadaran merupakan suatu fungsi kompleks yang dikontrol oleh reticular


activation system (RAS) dan komponen RAS yang terintegrasi. RAS mulai pada medulla
sebagai formasio retikularis (FR). Formasio retikularis menghubungkan RAS yang
terletak di otak tengah kemudian ke hipotalamus dan talamus. Jaras terintegrasi
menghubungkan ke korteks melalui talamus dan sistem limbik melalui hipotalamus.
Sistem umpan balik juga menghubungkan pada tingkat batang otak. FR menghasilkan
kondisi siaga sedangkan RAS dan koneksi yang lebih tinggi bertanggung jawab pada
kesadaran diri dan lingkungan. Koneksi kortikal difus memungkinkan integrasi maksimal
dari seluruh aktivitas terkait kondisi sadar. (Satyanegara, 2010)
Gangguan yang mempengaruhi bagian RAS dapat menyebabkan koma. Untuk
menyebabkan koma, suatu gangguan harus memengaruhi kedua hemisfer serebri atau
batang otak itu sendiri. Gangguan akan memengaruhi area ini pada satu dari tiga cara:
a. Kompresi langsung atau merusak struktur yang bertanggung jawab pada kesadaran.
Suatu tumor atau perdarahan pada batang otak atau pembengkakan hemisfer serebri
dapat menyebabkan koma dengan cara ini.
b. Menurunkan ketersediaan oksigen atau glukosa, yang sangat dibutuhkan untuk
metabolisme serebral. Hipoksia dan iskemia merupakan penyebab yang paling
sering, tanpa oksigen dan glukosa, otak tidak dapat membentuk zat kimia yang
dibutuhkan untuk melaksanakan fungsinya.
PATHWAY

Edema serebral, Tumor Abses serebral, Pendarahan Hipoksia, Iskemia,


otak, Abses otak, batang otak atau serebelum, Hipoglikemia, kejang, infeksi
Infark batang otak atau
Pendarahan serebral, (Ensefalitis, Meningitis), ggn
serebelum, Tumor otak atau
Infark serebral, Hematoma serebelum elektrolit & asam basa,
epidural, Hematoma Intoksikasi obat
subdural

Adanya peningkatan massa


pada kranium
Ggn. Metabolik & lesi difus
Lesi Supratentorial

Mendesak Hemisferium ke Peningkatan TIK


arah foramen magnum

Penurunan Blood Flow ke Otak (ADO)


Terjadi penekanan pada
batang otak bagian depan

Hipoksia Jaringan Otak


Saraf- saraf otak
mengalami distorsi

KOMA
Kelumpuhan saraf otak

Sistem Pernafasan Sistem Pencernaan

Penurunan fungsi Penurunan fungsi


Terjadi akumulasi
otot-otot pernafasan pencernaan
sekret pada saluran
pernafasan

Ekspansi paru tidak Kebutuhan nutrisi


optimal MK: Kebersihan tidak adekuat
Jalan Nafas Tidak
Efektif
MK: Pola Nafas
Tidak Efektif MK: Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh
II.8 Komplikasi koma.

Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien tidak sadar meliputi gangguan
pernapasan, pneumonia, dekubitus dan aspirasi.(Satyanegara, 2010)
a. Gagal pernafasan dapat terjadi dengan cepat setelah pasien tidak sadar. Pneumonia
umumnya terlihat pada pasien yang menggunakan ventilator atau mereka yang tidak
dapat untuk mempertahankan bersihan jalan napas.
b. Dekubitus, pasien tidak sadar tidak mampu untuk bergerak atau membalikkan tubuh,
hal ini menyebabkan dalam tetap pada posisi yang terbatas. Keadaan ini akan
mengalami infeksi dan merupakan sumber sepsis.
c. Aspirasi isi lambung atau makanan dapat terjadi, yang mencetuskan terjadinya
pneumonia atau sumbatan jalan nafas.

II. 9 Penilaian Skala FOUR ( Full Outline Of Responsiveness).

a. Perkembangan FOUR Score

FOUR Score dikembangkan untuk mengatasi berbagai keterbatasan yang


dimiliki GCS. Skala ini memberikan lebih banyak informasi dengan adanya empat
komponen penilaian: refleks batang otak, penilaian mata, respon motorik dengan
spektrum luas, pola napas abnormal serta usaha napas pada pasien yang memakai
ventilator, dengan skala penilaian 0-4 untuk masing-masing komponen. FOUR score
dianggap lebih baik dibandingkan dengan skala-skala yang telah ada sebelumnya
dalam mengklasifikasikan penurunan kesadaran. FOUR score lebih sederhana dan
memberikan informasi yang lebih baik, terutama pada pasien-pasien yang terintubasi.
Skala ini dapat membantu klinisi untuk bertindak lebih cepat atas perubahan klinis
pasien dan memudahkan dalam pertukaran informasi yang lebih akurat dengan klinisi
lain.(Rismala, 2016)

b. Komponen penilaian pada FOUR score


Penilaian motor dan respons mata pada FOUR score mirip dengan GCS,
meskipun dengan beberapa pengecualian Pada FOUR score, respon motorik didapat
terutama dari ekstremitas atas. Komponen motorik juga mengkombinasikan respons
dekortikasi dan withdrawal. Pemeriksaan terhadap posisi tangan telah divalidasi
sebelumnya dan dianggap reliabel untuk mendeteksi perubahan kesadaran sangat
minimal. Pemeriksaan refleks batang otak dapat membantu dalam penilaian kedalaman
koma yang lebih lengkap dan akurat. Pemeriksaan fungsi batang otak, seperti refleks
cahaya pupil, refleks kornea, dan refleks batuk dapat menilai fungsi mesensefalon,
pons, medula oblongata, dan saraf okulomotor. Refleks batuk hampir selalu
menghilang bila refleks pupil dan kornea telah menghilang.

Pola napas Cheyne-Stokes dan ireguler dapat mencerminkan adanya


disfungsi bihemisfer atau batang otak bagian bawah yang mengendalikan pernapasan,
dan berhubungan dengan prognosis buruk. Pada pasien yang terintubasi, jumlah
frekuensi napas yang melebihi frekuensi yang diberikan oleh mesin menggambarkan
masih adanya fungsi pusat pernapasan atau usaha napas. Bila semua komponen
menghasilkan nilai 0, dapat disimpulkan telah terjadi mati batang otak. (Rismala, 2016)

Tabel Skala FOUR ( Full Outline Of Responsiveness).

Kategori Rincian Nilai


Respons mata Kelopak mata terbuka atau pernah terbuka dan 4
mengikuti arah atau berkedip oleh perintah
Kelopak mata terbuka namun tidak mengikuti arah 3

Kelopak mata tertutup namun terbuka jika mendengar 2


suara keras
Kelopak mata tertutup namun terbuka oleh rangsang 1
nyeri
Jika kelopak tetap tertutup dengan rangsang nyeri 0

Respons Ibu jari terangkat atau mengepal, atau membentuk tanda 4


motoric ’damai’ (peace sign)
Melokalisir nyeri 3

Memberi respons fleksi pada rangsang nyeri 2

Respons ekstensi 1

Tidak ada respons terhadap nyeri atau status mioklonus 0


umum
Respons Terdapat refleks pupil dan kornea 4
batang otak
Salah satu pupil melebar terus menerus 3

Tidak ada refleks pupil atau kornea 2

Tidak ada refleks pupil dan kornea 1

Tidak ada refleks pupil, kornea, atau batuk 0

Respirasi Pola napas reguler, tidak terintubasi 4


Pola Cheyne-Stokes, tidak terintubasi 3

Pola napas iregular, tidak terintubasi 2

Napas dengan kecepatan di atas ventilator, terintubasi 1

Apnea atau pernapasan dengan kecepatan ventilator, 0


terintubasi
c. Kelebihan dari FOUR score
Kelebihan dari FOUR score adalah tetap dapat digunakan pada pasien-pasien
dengan gangguan kesadaran lebih dini. Dengan rentang skala penilaian metabolik akut,
syok, atau kerusakan otak nonstruktu- yang sama di tiap-tiap komponen yakni 0-4,
maka ral lain karena skala ini dapat mendeteksi perubahan menjadi lebih mudah
diingat.(Rismala, 2016)

II.10 Pemeriksaan diagnostik dari koma.

a. Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin, fungsi ginjal (bun, serum kreatinin), fungsi hati (lft, sgot, sgpt),
elektrolit, glukosa darah. Liquor serebrospinalis harus diperiksa bila diduga ada infeksi
intarakranial (meningitis, meningoensefalitis). Kontraindikasi adalah peningkatan
tekanan intracranial. Pada pemeriksaan liquor serebrospinalis harus diperhatikan:
(Morton & Fontaine, 2018)

1. Warna ; normalnya jernih. Bila ada perdarahan, dihitung jumlah eritrosit.


a) < 50/mm kemungkinan suatu emboli
b) 1000/mm kemungkinan perdarahan intraserebral
c) 10.000/mm kemungkinan infark haemorage
d) 25.000/mm kemungkinan perdarahan subarakhnoid

2. Jumlah sel ; normal < 5/m


a) Bila meningkat: meningitis/meningoesefalitis
b) Peningkatan mononuclear :menunjukkan adanya meningitis serosa yang dapat
disebabkan oleh tb, virus, atau jamur
c) Peningkatan sel polimorfonuklear : meningitis purulenta
3. Protein : kadar protein liquor normalnya 0.15-0.45 g/l.
4. Glukosa : kadar glukosa liquor normalnya 2/3 kadar glukosa darah. Kadar glukosa
yang menurun menunjukkan ada infeksi (TBC, bacterial).
5. Bakteriologi : pemeriksaan pengecatan gram dan kultur bila dicurigai adanya
infeksi intracranial.

b. Pemeriksaan penunjang dengan alat


1. CT Scan
CT Scan tanpa kontras biasa dipergunakan untuk identifikasi awal
penyebab koma dan pada keadaan darurat. Lesi hipodens fokal menandakan
adanya kemungkinan infark serebral, perdarahan intrakranial, massa intrakranial,
edema otak, dan hidrosefalus akut. Jika dicurigai ada infeksi sistem saraf pusat,
khususnya meningitis bakterial akut, antibiotik dan deksametason diberikan
sebelum CT Scan kepala dan pungsi lumbal. CT Scan kepala dengan atau tanpa
kontras juga dilakukan untuk evaluasi adanya massa intrakranial sebelum pungsi
lumbal. Pungsi lumbal dilakukan jika curiga infeksi sistem saraf pusat, infl amasi,
dan komplikasi limfoma atau kanker lainnya. Pungsi lumbal harus dilakukan jika
klinis dicurigai adanya perdarahan subaraknoid, tetapi tidak terlihatpada CT Scan
otak.
2. Oftalmoskop
Pada setiap penderita koma, fundus okuli harus diperiksa untuk melihat
adanya papiledema, tanda-tanda arteriosclerosis pembuluh darah di retina dan
tuberkel di koroidea.
3. Elektroensefalografi (EEG)
Untuk melihat kelainan difus atau fokal. Harus dibandinngkan antara
hemisfer kiri dan kanan. Serial EEG diperlukan untuk evaluasi penderita koma.
4. Eko-ensefalografi
Menggunakan gelombang ultrasound. Midline echo pada orang normal
menandakan posisi ventrikel III. Yang perlu diperhatikan adalah dorongan dari
midline echo untuk menentukan lateralisasi.
5. Doppler (b-scan)
Alat untuk mengukur kecepatan aliran darah di arteria karotis dan
pembuluh darah kolateral (temporalis, orbita). Pemeriksaan ini penting untuk
mengetahui adanya stenosis pada arteri.
6. Arteriografi
Pemeriksaan invasive dengan memasukkan kontras ke dalam
pembuluh darah. Hanya dilakukan pada pasien dengan dugaan kelainan pembuluh
darah.
7. MRI
Memberikan visualisasi jaringan lunak lebih baik seperti batang otak
dan struktur serebelum. Jika pasien dicurigai menderita stroke iskemik atau
penyebab koma masih belum diketahui dengan pemeriksaan lain, dapat dilakukan
MRI otak.

II.11 Prinsip-Prinsip Penangan Darurat Pada Koma

Prinsip penanganan secara umum harus segera dilakukan walaupun diagnosis


penyebab belum ditegakan. Perama yang perlu dilakukan adalah pembebasan dan
pemeliharan jalan nafas penderita, misalnya pengaturan posisi kepala, pemasangan
endotraceal tube, dan lain sebagainya. Disamping itu juga perlu pemberian oksigen
yang adekuat. Syok diatasi dengan pemberian cairan yang tepat, obat-obatan serta
koreksi elektrolit dan keseimbangan asam basa. Langkah berikut adalah usaha-usaha
untuk mencari penyebab serta mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi lebih
lanjut. (Satyanegara, 2010)

a. Oksigenisasi
Dalam penanganan disini perlu diperhatikan mengenai keadaan jalan
napas dan paru-paru penderita. Pemeriksaan dan pemeliharaan jalan napas
mencakup pembersihan obstruksi saluran napas de4ngan suction, ekstensi kepala,
pemasangan endotraceal tube, seta ventilasi oksigen yang baik, evaluasi oksigen
yang baik dapat dilihat melalui auskultasi suara napas pada bagian basal paru-paru
dan pemeriksaan gas darah.
b. Pemeliharaan sirkulasi
Pemantauan sirkulasi darah dan nadi adalah salah satu tindakan
pemeliharaan sirukulasi. Cairan darah yang hilang perlu diganti dan bila
dibutuhkan dapat memberikan tambahan obat-obatan vasokontriksi.
c. Pemberian oksigen
Homeostatis otak bukan hanya tergantung dari oksigen dan aliran darah
saja, melainkan juga membutuhkan glukosa yang adekuat. Mengingat
keterlambatan akan hasil pemeriksaan gula darah sering kali berakibat fatal,
disamping juga bahwa kerusakan otak akibat ipoglikemia lebih berat darpada
akibat hiperglikemia, maka sebaiknya segera setelah pengambilan sempel darah
diberikan glukosa sebanyak 25 gram (50cc glukosa 50%) pada penderita koma.
d. Menurunkan TIK
Mencakup pemberian obat-obatan steroid,diuretik, dn osmotik seperti
manitol. Bahkan bila diperlukan juga melibatkan tindakan operatif dekompresi.
e. Penghentian kejang
Kejang yang berulang dapat merusak otak, oleh karena itu perlu segera
dihentikan misalnya dengan pemberian suntikan bolus diazepam (dosis antara 3-
10 mg) yang dilanjutkan dengan infus fentonin 500-1000mg (dosis < 50mg/menit).
f. Pengobatan infeksi
Berbagai infeksi dapat menyebabkan delirium dan koma, disamping itu
infeksi dapat juga menimpulkan eksaserbasi koma. Demikian perlu dilakukan
kultur dan pemberian anti-biotika pada pasien.
g. Regulasi suhu tubuh
Berbagai abnoralitas metabolik dan struktural dapat menimbulkan
hipertemia atau hipotermia yang selanjutnya menambah gangguan metabolisme
serebral. Dengan demikian oerubahan suhu tubuh perlu dipantau.

II.12 Asuhan Keperawatan Tentang Koma.

2 hari SMRS, Keluarga mengatakan pasien mengeluh demam. Pasien juga mengeluh sesak
napas hilang-timbul. Sesak napas dirasakan bertambah saat beraktivitas, tidak bertambah baik
dengan istirahat. Sesak napas disertai batuk tidak berdahak.

24 jam SMRS, keluarga mengatakan pasien mengeluhkan nyeri kepala terus-menerus dan
dirasa semakin memberat walaupun pasien sudah meminum obat warung. Nyeri kepala
dirasakan seperti ditusuk-tusuk . Nyeri kepala menyebabkan pasien tidak dapat beraktivitas.
Sesak napas dan batuk masih dirasakan. Keluarga mengatakan pasien berjalan sendiri ke kamar
mandi, namun tiba-tiba ia terjatuh karena lemas. Beberapa saat kemudian pasien tidak sadar
dan tidak bisa dibangunkan. Oleh keluarga, pasien dibawa ke RS. Kelemahan anggota gerak (-
), kejang (-), muntah (-).

Di UGD, pasien langsung diperiksa oleh petugas dan diberi O2, obat hipertensi, serta infus.
Pasien masih dalam keadaan tidak sadar dan tidak bisa dibangunkan. Kejang (-), muntah (-).
Kemudian pasien pindah ruang dan mendapat perawatan intensif di ICU.

A. Pengkajian
1. Identitas

a. Identitas Pasien

Nama : Tn.T
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam
Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Buruh
Alamat : Jl. Kenari, Bandung

Suku/ Bangsa : Jawa


Tanggal Masuk : 13-11-19
RS
: 13-11-19
Tanggal
:
Pengkajian
: Meningoencephalitis
No Rekam Medis

Diagnosa Medis
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny.N

Umur : 40 tahun
Hub. Dengan Pasien : Istri

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Keluarga pasien mengatakan pasien demam sejak 2 hari yang lalu sesak nafas
disertai batuk tidak berdahak, Keluarga mengatakan pasien jatuh dari kamar
mandi dan tidak sadarkan diri.

b. Keluhan Penyakit dahulu : Hipertensi


c. Riwayat Penyakit Keluarga : Ayah pasien menderita hipertensi
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : E1M1V0 (koma)
b. Tanda-tanda Vital
1) Tekanan Darah
Sistolik : 170-180
Diastolik : 90-110
MAP : 116-133
Heart Rate : 95-104
Respirasi : 30-33
2) Suhu : 36,8-37,4
3) Nilai CPOT: (diisi jika ada keluhan nyeri dengan pasien terintubasi)

c. Pemeriksaan Sistem Tubuh


1. Sistem Serebrospinal : nyeri kepala (+), muntah menyembur tiba-tiba (-),
penurunan kesadaran (+), kelemahan anggota gerak (-), perubahan tingkah
laku (+), wajah merot (-), bicara pelo (-), kesemutan/baal (-), BAB, BAK (+)

2. Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (+), riwayat sakit jantung (-),


nyeri dada (-)

3. Sistem Respirasi : Sesak napas (+), batuk (+), riwayat sesak napas (+)

4. Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), makan-minum (+), BAB (+)

5. Sistem Muskuloskeletal : Kelemahan anggota gerak (-)


6. Sistem Integumen : Ruam merah (-)

7. Sistem Urogenital : BAK (+)

d. Aspek Psikologis :
e. Aspek Sosial : Pasien ditemani istri dan anak di RS
f. Asek Spiritual :
4. Data Penunjang
a. Data Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan

Hemoglobin 14,4 13,2 – 17,3 g/dl

Leukosit 12,0 3,8-10,5 ribu

Eritrosit 4,28 4,5-5,8 juta

Hematokrit 42,5 37-47 %

Trombosit 187 150-400 ribu

MCV 99,1 82-95 fL

MCH 33,6 >27 pg

MCHC 33,8 32-37 g/dl

RDW 13,0 10-15 %

MPV 7,4 7-11 mikro m3

Limfosit 0,5 1,0-4,5 103/mikro m3


Monosit 0,1 0,2-1,0 103/mikro m3

Eusinofil 0,0 0,04-0,8 103/mikro m3

Basofil 0,0 0,02 103/mikro m3

Neutrofil 11,3 1,8-7,5 103/mikro m3

Limfosit% 5,3 25 – 40 %

Monosit% 0,5 2–8 %

Eusinofil% 0,1 2–4 %

Basofil% 0,2 0–1 %

Neutrofil% 93,9 50- 70 %

PCT 0,136 0,2 – 0,5 %

PDW 11,1 10 – 18 %

GDS 182 74 – 106 mg/dL

SGOT 25 0 – 50 U/L

SGPT 15 0 – 50 IU/L

Ureum 33,1 10 – 50 mg/dL


Kreatinin 1,22 0,62 – 1,1 mg/dL

Asam Urat 6.89 2–7 mg/dL

< 200 dianjurkan,


200 – 239
Cholesterol 224 mg/dL
res sedang,
> 240 resti

HDL 18 28 – 63 mg/dL

LDL 195,2 < 150 mg/dL

Trigliserida 54 70 – 140 mg/dL


b. Pemeriksaan risiko jatuh dengan Morse scale (sesuai Usia)
c. Pemeriksaan CT-scan, tanggal (________________)
d. Pemeriksaan Foto Thorax, tanggal (________________)

e. APACHE II SCOR (1x24 jam)


Nilai APACHE II :

f. Score SOFA
5. PenatalaksanaanMedis
a. Ventilator
Mode :
Triger :
Pressure control :
FiO2 :
PEEP :
RR :

I:E Rasio :
b. Obat-Obatan
c. Nutrisi
1) Oral
2) Enteral

No. Tanggal Data Etiologi Masalah


Keperawatan
1. 13-11-2019 Ds : Proses penyakit Ketidakefektifan
Keluarga perfusi jaringan
mengatakan serebral
pasien
mengeluh
nyeri kepala
Do :
TD : 170/100
mmHg
N : 100 x/mnt
GCS :
E1M1V0
GDS : 182
LDL : 195,2
Leukosit :
12,0
Kreatinin :
1,22
2. 13-11-2019 Ds : - Fisiologis Ketidakefektifan
Do : (disfungsi bersihan jalan
Sekret (+) neuromuskuler) nafas
Snoring (+)
3. 13-11-2019 Ds : Fisiologis Ketidakefektifan
Keluarga (disfungsi pola nafas
mengatakan neuromuskuler)
pasien
mengeluh
sesak
Do :
RR : 33 x/mnt

3) Parenteral

6. Analisa Data
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidskefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses penyakit
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan fisiologis
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan fisiologis

C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi


Dx.
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor TIK
perfusi jaringan keperawatan ..x 24 jam, a. Monitor
serebral diharapkan klien perfusi tekanan serebral
jaringan serebral efektif. b. Catat respon
pasien terhadap
1. Status sirkulasi stimulasi
perfusi jaringan : c. Monitor TIK
serebral dan respon
a. tekanan sistol dan neurologi
diastole dalam d. Monitor intake
rentang yang dan output
diharapkan e. Monitor Suhu
b. TIK : tidak lebih f. Kolaborasi
dari 15 mmHg pemberian
c. Tingkat kesadaran antibiotok
membaik g. Posisikan pada
posisi
semifowler
2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. Manajemen jalan nafas
Bersihan Jalan keperawatan selama ..x24 a. Buka jalan
Nafas jam, diharapkan klien nafas, gunakan
menunjukan jalan nafas teknik chin lift
yang paten. dan jam trust
b. Posisikan untuk
1. Status Respirasi : memaksimalkan
kepatenan jalan ventilasi
nafas c. Identifikasi
a. RR : 16-24 x/mnt perlunya
b. Irama nafas teratur pemasangan
c. Sputum dapat jalan nafas
dikeluarkan buatan
d. Tidak ada suara d. Keluarkan
nafas tambahan sekrek dengan
suction
e. Auskultasi
suara nafas,

0
catat adanya
perubahan
f. Monitor
respirasi dan
okseigenasi
2. Suction jalan nafas
a. Pastikan
kebutuhan oral
suction
b. Auskultasi
suara nafas
sebelum dan
sesudah suction
c. Gunakan alat
yang steril
setiap
melakukan
tindakan
3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. Terapi oksigen
Pola Nafas keperawatan selama …x 24 a. Bersihkan jalan
jam klien mencapai nafas dari secret
b. Pertahankan
1. Status respirasi : jalan nafas tetap
Ventilasi efektif
a. Pergerakan c. Berikan oksigen
udara sesuai intruksi
intpirasi dan d. Monitor aliran
ekspirasi oksigen
b. Kedalaman e. Observasi tanda
inpirasi dan tanda
kemudahan hipoventilasi
bernafas f. Monitor respon
c. Ekspansi klien
dada 2. Monitoring respirasi
simetris a. Monitor RR
d. Nafas b. Monitor
pendek tidak kedalaman,
ada kedalaman,
2. Vital sign irama dan usaha
a. RR : 16-24 bernafas
x/menit c. Catat
b. TD : 120- pergerakan
140/70-90 dada
mmHg d. Monitor suara
nafas
e. Monitor pola
nafas
f. Monitor hasil
ventilasi
mekanik dan

1
catat tidal
volum (jika
menggunakan
ventilator)
g. Buka jalan
nafas dengan
chin lift atau
jaw trust
h. Posisikan klien
untuk
mencegah
aspirasi
i. Lakukan
resusitasi

2
BAB III

PENUTUP

III.1 KESIMPULAN

Kesadaran normal membutuhkan kesadaran dan gairah. Kesadaran adalah


kombinasi dari kognisi (mental dan intelektual) dan mempengaruhi (suasana hati)
yang dapat ditafsirkan berdasarkan interaksi pasien dengan lingkungan.
Koma adalah suatu keadaan unarousable psychologic unresponsiveness
dimana penderita biasanya berbaring dengan mata tertutup. Penderita koma tidak
dapat menunjukan respons fisiologis yang dapat dimengerti terhadap stimulus
eksternal maupun internal.
Dua tipe gangguan yang menyebabkan koma : (1) Lesi struktural pada otak
yang menempatkan tekanan pada batang otak atau struktur di dalam fosa kranial
posterior, termasuk serebelum, otak terngah, pons, dan medulla. Tipe ini
mempengaruhi ARAS (Ascending Reticular Activating System). (2) Gangguan
metabolik dan lesi difus yang menganggu kesiagaan dan kesadaran dengan
mengurangi suplai oksigen dan glukosa; dengan meningkatkan akumulasi sampah
metabolik di otak; atau dengan menganggu proses metabolik serebral lain. Penyebab
struktural koma dapat berupa trauma kepala, stroke iskemik atau hemoragik dan tumor
otak. Kecelakaan kendaraan bermotor, serangan fisik, luka tembak, dan jatuh
merupakan penyebab trauma kepala yang sering.
Terdapat banyak manifestasi dari klien yang mengalami koma seperti
perubahan respons pupil, perubahan gerakan mata, perubahan pola nafas, perubahan
respons motorik dan gerakan, disfasia, disfasia broca, disfasia wernicke dan agnosia.
Penilaian skala FOUR score dapat digunakan pada pasien-pasien dengan
gangguan kesadaran lebih dini. Dengan rentang skala penilaian metabolik akut, syok,
atau kerusakan otak nonstruktu- yang sama di tiap-tiap komponen yakni 0-4, maka ral
lain karena skala ini dapat mendeteksi perubahan menjadi lebih mudah.

3
III.2 SARAN

Sebagai mahasiswa keperawatan yang akan menjadi seorang perawat


terutama saat mengahadapi pasien dengan keadaan koma, diperlukan penanganan
yang menyeluruh dan sistematis pada pasien agar kondisi pasien dapat dikomunikasi
dan dicatat secara baik untuk menunjang pemberian asuan keperawatan serta
peningkatan kesadaran pasien.

4
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth Corwin J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. EGC.

Morton, P. G., & Fontaine, D. K. (2018). Critical Care Nursing A Holistic Apporoach (11th
ed.). China: Wolters Kluwer.

Mutaqin, A. (2013). Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:


Salemba Medika.

Pearce, E. C. (2016). Anatomi Fisiologi Untuk Paramedis (1st ed.). Jakrta: Gramedia Pustaka
Utama.

Rismala, D. (2016). Assessment of Consciousness in Critically : Glasgow Coma Scale or Full


Outline of UnResponsiveness Score. FKUI, 16.

Satyanegara. (2010). Ilmu Bedah Saraf (IV; S. Prof DR. Dr. Satyanegara, ed.). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Urden, linda D., Stacy, kathleen M., & Lough, mary E. (2018). Priorities in critical care
Nursing (Seventh Ed). Canada: ELSEIVER.

Anda mungkin juga menyukai