Disusun Oleh :
Anggryta Putry Lestari 1610711082
Hanifah Eka C 1610711087
S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Pada kesempatan yang baik ini, kami menyampaikan rasa hormat dan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan
dan dorongan kepada kami dalam pembuatan makalah ini terutama kepada :
a. Ibu Ns. Diah Tika Anggraeni, M.Kep selaku dosen pada mata kuliah
Keperawatan Kritis.
b. Orang tua kami yang telah memberikan semangat, dukungan serta doa untuk
menyelesaikan makalah ini
c. Rekan satu kelompok yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian batang otak berarti
secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini seperti dituangkan dalam
pernyataan IDI tentang mati, yaitu dalam Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4
tertanggal 15 Maret 1988 yang disusulkan dengan Surat Keputusan PB IDI
No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan
mati,bila fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau
terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Susunan saraf pusat terdiri dari otak, sumsum tulang belakang dan urat-urat saraf
atau cabang saraf (saraf perifer). Otak terletak didalam rongga cranium tengkorak. Otak
terdiri dari beberapa bagian.
Selain dibagi menjadi 4 lobus, cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi
dua belahan, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung
oleh kabel-kabel saraf di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol
sisi kiri tubuh, dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh.
2) Cerebellum (Otak Kecil)
Otak kecil atau cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan
gerakan tubuh. Otak kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan
otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis,
gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap
dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi.
1. Respirasi yang kurang teratur, yang sering mendahului respirasi jenis cheyne-
stokes.
2. Pupil kedua sisi sempit sekali
3. Kedua bola mata bergerak pelahan-lahan secara konyugat ke samping kiri dan
kanan bahkan dapat bergerak juga secara divergen. Dengan memutarkan kepala,
gerakan bola mata yang tidak bertujuan itu bisa dihentikan
4. Kesadaran menurun sampai derajat yang paling rendah
5. Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak terus
6. Respirasi menjadi cepat dan mendengkur
7. Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur menjadi lebar dan tidak bereaksi lagi
terhadap sinar cahaya. Itulah manifestasi tahap mesensefalon.
8. Tahap selanjutnya ialah tahap pontin, dimana hiperventilasi berselingan dengan
apnea dan rigiditas deserebrasi akan dijumpai. Tahap terminalnya dinamakan
tahap medula oblongata. Pernafasan menjadi lambat namun dalam dan tidak
teratur. Nadi menjadi lambat pula atau justru menjadi cepat lagi dan tekanan darah
menurun secara progresif.
2) Pada pasien koma hanya dapat diperiksa refleks cahaya dan konvergensi
3) Bila refleks cahaya terganggu berarti ada gangguan di mesensefalon
(bagian atas batang otak)
b. Doll’s eye manoever
1) Bila kepala pasien digerakkan ke samping maka bola mata akan bergerak
ke arah yang berlawanan
2) Refleks negatif bila ada gangguan di pons
c. Refleks okulo-auditorik
Bila telinga pasien dirangsang dengan suara yang keras maka pasien akan
menutup matanya (auditory blink reflex)
d. Refleks okulovestibular (pons)
1) Bila meatus akustikus eksternus dirangang dengan air panas (440 C) maka
akan terjadi gerakan bola mata cepat ke arah telinga yang dirangsang
2) Bila tes kalori ini negatif berarti ada gangguan di pons
e. Refleks kornea
Bila kornea digores dengan kapas halus maka akan terjadi penutupan kelopak
mata
b. Kerusakan serebral
Pernafasan chynes-stokes yang dijumpai pada kerusakan hemisfer serebri,
dan sering berkaitan dengan koma metabolik. Pernafasan cheynes-stokes juga
merupakan pernafasan yang didasarkan pada kadar karbondioksida. Pada kasus ini
pusat pernafasan berespons berelebihan terhadap karbondioksida yang
menyebabkan pola nafas meningkat dan kedalaman pernafasan kemudian turun
dengan mudah sampai terjadi apnea (decrescendo breathing). (Morton & Fontaine,
2018)
5. Disfasia
Disfasia adalah gangguan pemahamaan atau pembentukan bahasa. Afasia
adalah kehilangan total pemahaman atau pembenyukaan bahasa. Disfasia biasanya
disebabkan oleh hipoksia serebral yang sering berkaitan dengan stroke, tetapi dapat
juga disebabkan oleh trauma atau infeksi. Kerusakan otak yang menyebabkan disfasia
biasanya mengenai hemisfer serebri kiri.
6. Disfasia broca
Disfasia broca terjadi akibat kerusakan area broca di lobus frontalis. Individu
yang mengalami disfasia broca memahami bahasa, tetapi kemampuanya untuk
mengekspresikan kata secara bermakna dalam bentuk tulisan atau lisan terganggu. Hal
ini disebut disfasia ekspresif.
7. Disfasia wernicke
Disfasia wernicke terjadi akibat kerusakan area wernicke di lobus temporalis
kiri. Pada disfasia wernicke, ekspresi bahasa secara verbal utuh, tetapi pemahaman
bermakna terhadap kata yang diucapkan atau tertulis terganggu. Hal ini disebut disfasia
reseptif.
8. Agnosia
Agnosia adalah kegagalan mengenali obyek karena ketidaknyamanan
memahami stimulus sensorik yang datang.agnosia dapat berupa visual, pendengaran,
taktil, atau berkaitan dengan pengucapan atau penciuman.agnosia terjadi akibat
kerusakan pada area sensorik primer atau asosiatif tertentu di korteks serebri
KOMA
Kelumpuhan saraf otak
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien tidak sadar meliputi gangguan
pernapasan, pneumonia, dekubitus dan aspirasi.(Satyanegara, 2010)
a. Gagal pernafasan dapat terjadi dengan cepat setelah pasien tidak sadar. Pneumonia
umumnya terlihat pada pasien yang menggunakan ventilator atau mereka yang tidak
dapat untuk mempertahankan bersihan jalan napas.
b. Dekubitus, pasien tidak sadar tidak mampu untuk bergerak atau membalikkan tubuh,
hal ini menyebabkan dalam tetap pada posisi yang terbatas. Keadaan ini akan
mengalami infeksi dan merupakan sumber sepsis.
c. Aspirasi isi lambung atau makanan dapat terjadi, yang mencetuskan terjadinya
pneumonia atau sumbatan jalan nafas.
Respons ekstensi 1
a. Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin, fungsi ginjal (bun, serum kreatinin), fungsi hati (lft, sgot, sgpt),
elektrolit, glukosa darah. Liquor serebrospinalis harus diperiksa bila diduga ada infeksi
intarakranial (meningitis, meningoensefalitis). Kontraindikasi adalah peningkatan
tekanan intracranial. Pada pemeriksaan liquor serebrospinalis harus diperhatikan:
(Morton & Fontaine, 2018)
a. Oksigenisasi
Dalam penanganan disini perlu diperhatikan mengenai keadaan jalan
napas dan paru-paru penderita. Pemeriksaan dan pemeliharaan jalan napas
mencakup pembersihan obstruksi saluran napas de4ngan suction, ekstensi kepala,
pemasangan endotraceal tube, seta ventilasi oksigen yang baik, evaluasi oksigen
yang baik dapat dilihat melalui auskultasi suara napas pada bagian basal paru-paru
dan pemeriksaan gas darah.
b. Pemeliharaan sirkulasi
Pemantauan sirkulasi darah dan nadi adalah salah satu tindakan
pemeliharaan sirukulasi. Cairan darah yang hilang perlu diganti dan bila
dibutuhkan dapat memberikan tambahan obat-obatan vasokontriksi.
c. Pemberian oksigen
Homeostatis otak bukan hanya tergantung dari oksigen dan aliran darah
saja, melainkan juga membutuhkan glukosa yang adekuat. Mengingat
keterlambatan akan hasil pemeriksaan gula darah sering kali berakibat fatal,
disamping juga bahwa kerusakan otak akibat ipoglikemia lebih berat darpada
akibat hiperglikemia, maka sebaiknya segera setelah pengambilan sempel darah
diberikan glukosa sebanyak 25 gram (50cc glukosa 50%) pada penderita koma.
d. Menurunkan TIK
Mencakup pemberian obat-obatan steroid,diuretik, dn osmotik seperti
manitol. Bahkan bila diperlukan juga melibatkan tindakan operatif dekompresi.
e. Penghentian kejang
Kejang yang berulang dapat merusak otak, oleh karena itu perlu segera
dihentikan misalnya dengan pemberian suntikan bolus diazepam (dosis antara 3-
10 mg) yang dilanjutkan dengan infus fentonin 500-1000mg (dosis < 50mg/menit).
f. Pengobatan infeksi
Berbagai infeksi dapat menyebabkan delirium dan koma, disamping itu
infeksi dapat juga menimpulkan eksaserbasi koma. Demikian perlu dilakukan
kultur dan pemberian anti-biotika pada pasien.
g. Regulasi suhu tubuh
Berbagai abnoralitas metabolik dan struktural dapat menimbulkan
hipertemia atau hipotermia yang selanjutnya menambah gangguan metabolisme
serebral. Dengan demikian oerubahan suhu tubuh perlu dipantau.
2 hari SMRS, Keluarga mengatakan pasien mengeluh demam. Pasien juga mengeluh sesak
napas hilang-timbul. Sesak napas dirasakan bertambah saat beraktivitas, tidak bertambah baik
dengan istirahat. Sesak napas disertai batuk tidak berdahak.
24 jam SMRS, keluarga mengatakan pasien mengeluhkan nyeri kepala terus-menerus dan
dirasa semakin memberat walaupun pasien sudah meminum obat warung. Nyeri kepala
dirasakan seperti ditusuk-tusuk . Nyeri kepala menyebabkan pasien tidak dapat beraktivitas.
Sesak napas dan batuk masih dirasakan. Keluarga mengatakan pasien berjalan sendiri ke kamar
mandi, namun tiba-tiba ia terjatuh karena lemas. Beberapa saat kemudian pasien tidak sadar
dan tidak bisa dibangunkan. Oleh keluarga, pasien dibawa ke RS. Kelemahan anggota gerak (-
), kejang (-), muntah (-).
Di UGD, pasien langsung diperiksa oleh petugas dan diberi O2, obat hipertensi, serta infus.
Pasien masih dalam keadaan tidak sadar dan tidak bisa dibangunkan. Kejang (-), muntah (-).
Kemudian pasien pindah ruang dan mendapat perawatan intensif di ICU.
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Tn.T
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Jl. Kenari, Bandung
Diagnosa Medis
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny.N
Umur : 40 tahun
Hub. Dengan Pasien : Istri
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Keluarga pasien mengatakan pasien demam sejak 2 hari yang lalu sesak nafas
disertai batuk tidak berdahak, Keluarga mengatakan pasien jatuh dari kamar
mandi dan tidak sadarkan diri.
3. Sistem Respirasi : Sesak napas (+), batuk (+), riwayat sesak napas (+)
4. Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), makan-minum (+), BAB (+)
d. Aspek Psikologis :
e. Aspek Sosial : Pasien ditemani istri dan anak di RS
f. Asek Spiritual :
4. Data Penunjang
a. Data Laboratorium
Limfosit% 5,3 25 – 40 %
PDW 11,1 10 – 18 %
SGOT 25 0 – 50 U/L
SGPT 15 0 – 50 IU/L
HDL 18 28 – 63 mg/dL
f. Score SOFA
5. PenatalaksanaanMedis
a. Ventilator
Mode :
Triger :
Pressure control :
FiO2 :
PEEP :
RR :
I:E Rasio :
b. Obat-Obatan
c. Nutrisi
1) Oral
2) Enteral
3) Parenteral
6. Analisa Data
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidskefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses penyakit
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan fisiologis
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan fisiologis
C. Intervensi Keperawatan
0
catat adanya
perubahan
f. Monitor
respirasi dan
okseigenasi
2. Suction jalan nafas
a. Pastikan
kebutuhan oral
suction
b. Auskultasi
suara nafas
sebelum dan
sesudah suction
c. Gunakan alat
yang steril
setiap
melakukan
tindakan
3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. Terapi oksigen
Pola Nafas keperawatan selama …x 24 a. Bersihkan jalan
jam klien mencapai nafas dari secret
b. Pertahankan
1. Status respirasi : jalan nafas tetap
Ventilasi efektif
a. Pergerakan c. Berikan oksigen
udara sesuai intruksi
intpirasi dan d. Monitor aliran
ekspirasi oksigen
b. Kedalaman e. Observasi tanda
inpirasi dan tanda
kemudahan hipoventilasi
bernafas f. Monitor respon
c. Ekspansi klien
dada 2. Monitoring respirasi
simetris a. Monitor RR
d. Nafas b. Monitor
pendek tidak kedalaman,
ada kedalaman,
2. Vital sign irama dan usaha
a. RR : 16-24 bernafas
x/menit c. Catat
b. TD : 120- pergerakan
140/70-90 dada
mmHg d. Monitor suara
nafas
e. Monitor pola
nafas
f. Monitor hasil
ventilasi
mekanik dan
1
catat tidal
volum (jika
menggunakan
ventilator)
g. Buka jalan
nafas dengan
chin lift atau
jaw trust
h. Posisikan klien
untuk
mencegah
aspirasi
i. Lakukan
resusitasi
2
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
3
III.2 SARAN
4
DAFTAR PUSTAKA
Morton, P. G., & Fontaine, D. K. (2018). Critical Care Nursing A Holistic Apporoach (11th
ed.). China: Wolters Kluwer.
Pearce, E. C. (2016). Anatomi Fisiologi Untuk Paramedis (1st ed.). Jakrta: Gramedia Pustaka
Utama.
Satyanegara. (2010). Ilmu Bedah Saraf (IV; S. Prof DR. Dr. Satyanegara, ed.). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Urden, linda D., Stacy, kathleen M., & Lough, mary E. (2018). Priorities in critical care
Nursing (Seventh Ed). Canada: ELSEIVER.