Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

ANESTESI COMBINED SPINAL EPIDURAL PADA


TINDAKAN TOTAL KNEE REPLACEMENT ATAS
INDIKASI OSTEOARTHRITIS GENU

PEMBIMBING :
dr. Nurul Ulfah Hayatunnisa, Sp.An

DISUSUN OLEH:
Cindy Leona Wangsa 20210601001

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
PERIODE 14 MARET – 15 APRIL 2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

ANESTESI COMBINED SPINAL EPIDURAL PADA TINDAKAN


TOTAL KNEE REPLACEMENT ATAS INDIKASI OSTEOARTHRITIS GENU

DISUSUN OLEH:
Cindy Leona Wangsa 202106010001

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Di Departemen


Anestesi RSPAD Gatot Soebroto

Telah disetujui dan dipresentasikan pada

Jakarta, 2 April 2022

Pembimbing,

dr. Nurul Ulfah Hayatunnisa, Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas anugerah-Nya, penulis
mampu menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Anestesi Combined Spinal Epidural
pada Tindakan Total Knee Replacement atas indikasi Osteoarthritis Genu”. Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik di Departemen Anestesi dan
Reanimasi RSPAD Gatot Soebroto.
Penyusunan laporan kasus ini tidak lain juga bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman dan pengaplikasian teori-teori yang dipelajari selama menjalani Kepaniteraan
Klinik di Departemen Anestesi dan Reanimasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Nurul Ulfah Hayatunnisa, Sp.An selaku pembimbing penulisan laporan kasus
ini.
2. Dokter-dokter spesialis anestesi di Departemen Anestesi dan Reanimasi RSPAD
Gatot Soebroto atas bimbingan, arahan, dan masukan bagi penulis.
3. Perawat dan Staf Departemen Anestesi dan Reanimasi RSPAD Gatot Soebroto,
teman-teman, serta seluruh pihak yang turut terlibat serta mendukung penulisan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih belum dapat dikatakan sempurna
sehingga penulis juga membutuhkan masukan dan saran untuk pembelajaran bersama.

Jakarta, 2 April 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
4.1. Definisi ............................................................................................... 3
4.2. Anatomi .............................................................................................. 3
4.3. Indikasi dan Kontraindikasi................................................................ 6
4.4. Peralatan dan Persiapan ...................................................................... 7
4.5. Teknik Anestesi .................................................................................. 10
4.6. Faktor yang Memengaruhi ................................................................. 15
4.7. Agen Anestesi..................................................................................... 19
4.8. Mekanisme Aksi dan Efek pada Sistem Organ .................................. 21
4.9. Komplikasi ......................................................................................... 23
BAB III STATUS PASIEN ...................................................................................... 28
2.1. Identitas .............................................................................................. 28
2.2. Anamnesis .......................................................................................... 28
2.3. Pemeriksaan Fisik............................................................................... 30
2.4. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 32
2.5. Diangosis Bedah ................................................................................. 33
2.6. Status Fisik ASA ................................................................................ 33
2.7. Rencana Pembedahan ......................................................................... 33
2.8. Rencana Teknik Anestesi ................................................................... 33
2.9. Kesimpulan ......................................................................................... 34
BAB IV LAPORAN ANESTESI ............................................................................ 35
3.1. Persiapan Pra-Anestesia ..................................................................... 35
3.2. Persiapan Alat..................................................................................... 36
3.3. Persiapan Obat .................................................................................... 37

iv
3.4. Persiapan Cairan ................................................................................. 37
3.5. Pelaksanaan Operasi ........................................................................... 38
3.6. Post Operasi ........................................................................................ 42
BAB V PEMBAHASAN .......................................................................................... 43
BAB VI KESIMPULAN ........................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 48

v
BAB I
PENDAHULUAN

Pengertian anestesi menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi dan Terapi Intensif adalah suatu tindakan medis yang dilakukan secara
sengaja demi mencapai tujuan pembedahan, pengelolaan nyeri, dan dukungan hidup pada
pasien sehat maupun disertai penyakit mulai dari derajat ringan sampai berat dengan
berlandaskan keselamatan pasien. Sedangkan anestesi regional atau dapat disebut blok
saraf merupakan jenis anestesi yang membius sebagian dari tubuh tanpa memengaruhi
kesadaran pasien.1
Anestesi regional dibagi menjadi subarachnoid block / anestesi spinal, anestesi
epidural, dan Combined Spinal Epidural (CSE). Anestesi spinal dilakukan dengan
menyuntikkan agen anestesi ke dalam rongga subarachnoid yang berisi saraf-saraf
spinalis, sedangkan anestesi epidural dilakukan dengan meninjeksikan agen anestesi ke
rongga epidural, yaitu rongga di antara duramater dan ligamentum flavum. CSE dilakukan
untuk mendapatkan efek onset cepat dari blok spinal dengan dosis awal yang kecil, namun
kemudian dapat di-maintenance dengan bolus epidural tambahan.1
Teknik anestesi epidural sampai saat ini merupakan anestesi regional yang paling
banyak digunakan untuk blokade saraf dan1 sudah banyak yang menyatakan keuntungan
dari penggunaan anestesi epidural berupa supresi stres pembedahan yang lebih baik,
keseimbangan nitrogen post-operasi yang positif, hemodinamik kardiovaskular yang lebih
stabil, berkurangnya perdarahan, sirkulasi perifer yang lebih baik, serta kontrol nyeri post-
operasi yang lebih baik.2 Walaupun begitu, CSE menampilkan keuntungan lebih
dibandingkan teknik epidural, dimana ahli anestesi dapat mengurangi dosis inisial dari
agen anestesi tanpa perlu cemas pengaruhnya hilang lebih cepat. Dikuranginya dosis inisial
berhubungan dengan berkurangnya efek samping seperti mual, muntah, hipotensi, dan
bradikardi. Selain itu, CSE memiliki waktu pelaksanaan lebih cepat, onset lebih cepat, blok
lebih berkualitas, dan tingkat kegagalan yang lebih rendah dibandingkan anestesi epidural.3
Prosedur Total Knee Replacement atau Total Knee Arthroplasty (TKA) dapat
dilakukan dengan anestesi umum ataupun regional. Penggunaan anestesi neuroaxial, yaitu

1
injeksi anestesi lokal ke dalam atau di sekitar susunan saraf pusat (spinal, epidural, dan
CSE), dikatakan dapat menurunkan angka mortalitas sebanyak sepertiga pasien,
mengurangi komplikasi seperti morbiditas jantung, infeksi paru, emboli paru, gagal ginjal
akut, dan perdarahan dibandingkan dengan anestesi umum. Jika dibandingkan dengan
pemberian opioid parenteral, CSE mengendalikan nyeri post-operasi dan memperbaiki
mobilitas sendi lebih baik karena respon stres endokrin yang lebih minimal . Dengan
adanya kateter epidural, pemberian anestesi dan analgesik dapat diberikan rutin, sehingga
rehabilitasinya lebih cepat, mengurangi lamanya perawatan di rumah sakit, dan
mengurangi risiko deep vein thrombosis.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Anestesi spinal merupakan anestesi neuraxial yang menginjeksikan
anestesi lokal secara langsung ke dalam rongga intratekal / subarachnoid.5 Anestesi
epidural kontinu merupakan salah satu teknik anestesi neuraxial perioperatif yang
memiliki aplikasi lebih luas dibandingkan dengan anestesi spinal dosis tunggal,
yaitu dengan menyuntikkan agen anestesi ke dalam rongga epidural di antara
duramater dan ligamentum flavum, dapat dilakukan pada level lumbal, torakal, atau
servikal, namun yang tersering adalah level lumbal dengan pendekatan midline atau
paramedian. Teknik anestesi epidural digunakan untuk pembiusan pembedahan
secara luas, obstetri, kontrol nyeri post operasi, serta pengelolaan nyeri kronis,
dapat diberikan dalam dosis tunggal ataupun menggunakan kateter untuk bolus
intermiten dan atau kontinu, dengan onset sekitar 10-20 menit. Blok simpatetik,
sensorik, dan motoriknya tergantung pada dosis, konsentrasi, volume anestesi
lokal, dan level injeksi dari agen anestesi yang digunakan.6–8

2.2. ANATOMI
Punggung manusia terdiri dari tulang vertebra dan diskus intervertebralis,
terdapat 7 tulang servikal, 12 tulang torakal, 5 tulang lumbar, 5 sacrum yang
berfusi, serta coccygeus. Tulang belakang secara keseluruhan menjadi penopang
struktural dari tubuh dan memproteksi medulla spinalis, serta memfasilitasi
berbagai derajat mobilitas. Pada setiap level vertebra, saraf-saraf spinalis keluar
dari sistem saraf pusat. Badan setiap tulang belakang saling menyambung satu sama
lain karena diskus intervertebralis. Pada sisi ventral, corpus vertebralis dan diskus
intervertebralis disokong oleh ligamentum longitudinalis anterior dan posterior,
sedangkan pada sisi dorsal, strukur ligamentum flavum, ligamen interspinosus, dan
ligamen supraspinosus memberikan stabilitas tambahan. Dengan menggunakan
pendekatan midline, jarum akan menembus ketiga ligamen dorsalis ini, melalui
bukaan oval di antara lamina dan prosesus spinosus.6,8

3
Gambar 2.1. Anatomi vertebra manusia6

Kanalis spinalis berisi medulla spinalis dengan selaputnya (meninges),


jaringan lemak, dan pleksus venosus. Meninges terdiri dari 3 lapisan, yaitu
piamater, arachnoid mater, dan duramater. Piamater menempel dekat dengan
medulla spinalis, sedangkan arachnoid mater menempel dekat dengan duramater
yang lebih tebal dan kaku. Cairan serebrospinalis mengisi rongga di antara piamater
dan arachnoid mater, yang disebut dengan rongga subarachnoid. Rongga subdural
adalah rongga diantara duramater dan arachnoid mater, sedangkan rongga epidural
adalah rongga di dalam kanalis spinalis, di antara duramater dan ligamentum
flavum. 6,8

4
Gambar 2.2. Potongan sagital vertebra lumbar6

Normalnya Medulla spinalis keluar melalui foramen magnum sampai level


L1 pada 50% orang dewasa, dan 40% pada level L2. Pada neonatus, Medulla
spinalis berhenti pada level L3 dan semakin naik seiring bertambahnya usia. Radiks
anterior dan posterior pada setiap level menyatu satu sama lain dan keluar melalui
foramina intervertebralis, membentuk saraf spinalis dari C1 sampai S5. Pada batas
servikal, saraf-saraf keluar di atas vertebra, namun mulai batas T1, saraf-saraf
keluar di bawah vertebra. Radiks di bawah level L1 akan membentuk struktur
bernama cauda equina dengan serabut-serabut saraf yang relatif lebih halus dan
akan tergeser jika jarum melewatinya. Karena itu, melakukan pungsi lumbal pada
di bawah tingkat L1 (atau L3 pada anak-anak) akan mencegah trauma pada medulla
spinalis. 6,8
Rongga epidural berisi jaringan lemak, jaringan penyokong, pembuluh
darah, dan juga kanal limfatik. Jarak antara kulit dengan rongga epidural bervariasi,
tergantung pada beberapa faktor seperti usia atau berat badan, yaitu sekitar 4 cm
pada orang dewasa dengan berat badan normal, dan 8 cm atau lebih pada pasien
obesitas.6,8

5
2.3. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Anestesi regional dapat digunakan sendiri maupun kombinasi dengan
anestesi umum pada mayoritas pembedahan di bawah leher. Sebagai anestesi
primer, anestesi regional sangat bermanfaat untuk pembedahan abdominal bawah,
inguinal, urogenital, rektal, dan ekstremitas bawah. Pembedahan pada bagian
abdomen atas dapat juga dilakukan di bawah anestesi epidural ataupun spinal,
namun akan menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien, karena itu teknik ini
tidak begitu banyak digunakan. Prosedur yang akan menganggu fungsi respirasi
biasanya dilakukan di bawah anestesi umum, dengan atau tanpa blokade neuraxial.6
Kontraindikasi absolut anestesi spinal dan epidural adalah penolakan
pasien, gangguan perdarahan, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial
(khususnya dengan adanya massa intrakranial), infeksi pada daerah injeksi, stenosis
aorta dan mitral berat.6
Kontraindikasi relatifnya meliputi sepsis atau bakteremia (berisiko
menimbulkan penyebaran agen infeksius secara hematogen ke rongga epidural atau
subarachnoid), pasien yang tidak kooperatif (contohnya pada pasien demensia,
psikosis, emosi tidak stabil, dan anak-anak), adanya defisit neurologis fokal dan
penyakit demielinisasi (berisiko memperburuk atau menimbulkan kerusakan saraf
baru), lesi katup jantung stenotik, kardiomiopati obstruktif hipertrofik (obstruksi
aliran darah dari ventrikel kiri), dan deformitas spinal berat. Anestesi epidural pada
pasien dengan gangguan katup jantung dapat dilakukan dengan aman jika
monitoring dan kontrol level anestesi secara ketat.6
Anestesi regional bersifat kontroversial pada pasien yang mempunyai bekas
luka pembedahan sebelumnya, pembedahan yang kompleks, lama, dan
menimbulkan perdarahan masif.6

6
2.4. PERALATAN DAN PERSIAPAN
Sebelum dilakukan tindakan anestesi epidural, perlu dilakukan persiapan sebagai
berikut6:
1. Mempersiapkan peralatan anestesi spinal dan epidural, yaitu
- Jarum spinal
Jarum spinal tersedia dengan berbagai jenis, jarum Quincke dengan ujung
tumpul sehingga mengurangi insidensi postdural puncture headache,
Whitacre dengan ujung tajam namun membulat, dan Sprotte dengan lubang
yang memanjang. Penggunaan jarum kecil mengurangi insidensi postdural
puncture headache, sedangkan jarum yang lebih besar memperbaiki sensasi
taktil saat meletakkan jarum.6,7

Gambar 2.3. Jarum spinal6

- Jarum epidural
Jarum epidural yang biasa digunakan adalah Tuohy needle dengan ukuran
17–18 gauge, sepanjang 3–3,5 inci (6 inci pada pasien obesitas), dan
memiliki bevel tumpul dengan lekukan 15-30° pada ujungnya. Lekukan ini
berfungsi untuk mencegah penetrasi ke dalam duramater, namun hanya
mendorongnya, serta berfungsi agar kateter naik ke atas dan tidak
menyebabkan dural puncture.

7
Gambar 2.4. Jarum epidural6

- Spuit “loss of resistance”


Dapat menggunakan bahan kaca ataupun plastik berisi udara, saline,
ataupun keduanya, yang berfungsi untuk mengindentifikasi perubahan
resistensi pada rongga epidural.

- Kateter epidural
Kateter epidural digunakan untuk infus kontinu ataupun bolus intermiten
intraoperatif dan atau post-operatif. Biasanya kateter berukuran 19–20
gauge dimasukkan ke dalam rongga epidural melalui jarum epidural 17–18
gauge sebanyak 2–6 cm ke arah cephal ataupun kaudal. Semakin pendek,
semakin rentan kateter tersebut untuk lepas, sedangkan semakin jauh,
semakin rentan untuk blok unilateral (karena ujungnya masuk ke dalam
rongga epidural melalui foramina intervertebralis atau menembus ke
anterolateral recesses dari rongga epidural). Jika sudah memasukkan
kateter dengan kedalaman yang diinginkan, lepaskan jarum epidural,
kemudian fiksasi pada bagian punggung.

8
Gambar 2.5. Kateter epidural9

2. Mempersiapkan peralatan dan medikasi emergensi.


3. Memastikan IV line tersedia dan dapat berjalan lancar.
4. Memasang alat monitoring.
5. Memposisikan pasien pada posisi lateral dekubitus atau duduk agak menunduk
ke depan. Posisi lateral dekubitus dicapai dengan pasien berbaring pada satu
sisi dengan lutut difleksikan sampai abdomen ataupun dada. Namun posisi
anatomis midline lebih mudah dicapai pada posisi duduk dibandingkan dengan
lateral dekubitus, yaitu dengan posisi duduk agak condong ke depan sambil
memeluk bantal atau meringkuk. Hal ini dilakukan dalam upaya membuka
prosesus spinosus atas dan bawah, serta mendekatkannya ke kulit, sehingga
memungkinkan jarum masuk menembus ligamentum tanpa menabrak tulang.

Gambar 2.6. Posisi pasien dan tulang belakang untuk blok spinal dan epidural6

9
6. Managemen aseptik dari combined spinal epidural kit.

Gambar 2.7. Combined spinal and epidural kit10

2.5. TEKNIK ANESTESI


Dalam melakukan teknik anestesi spinal dan epidural, terdapat 2
pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu pendekatan midline dan paramedian.6,8
Pendekatan midline dimulai dengan meraba tulang belakang pasien dan
memastikan bahwa bidang punggung sudah tegak lurus dengan lantai. Hal ini
memastikan jarum akan tetap berada dalam posisi midline selama ditusukkan lebih
dalam. Perlu diperhatikan bahwa anatomi natural dari prosesus spinalis agak
condong ke arah kaudal, maka jarum harus diarahkan ke cephalad. Jarum akan
melalui jaringan subkutan, ligamen supraspinosum dan interspinosum, serta
ligamentum flavum yang ditandai dengan peningkatan resistensi yang jelas. Jika
jarum menyentuh tulang di superfisial, hal ini menandakan jarum menyentuh
prosesus spinalis bagian bawah, sedangkan pada jarak yang lebih dalam, jarum
kemungkinan menyentuh prosesus spinalis bagian atas.6,8

10
Gambar 2.8. Pendekatan midline6

Pendekatan paramedian biasanya dipilih bila blok epidural ataupun spinal


sulit dilakukan, misalnya pada artritis berat, kifoskoliosis, atau pembedahan tulang
belakang sebelumnya. Biasanya dilakukan pada blok epidural bagian torakal.
Jarum akan dinaikkan 2 cm di lateral dari prosesus spinalis superior bagian inferior,
kemudian diarahkan 10-25° ke arah midline. 6,8

Gambar 2.9. Pendekatan paramedian6

Pada umumnya, anestesi spinal dan epidural dilakukan dengan pendekatan


midline terlebih dahulu, namun pada pendekatan ini, komplikasi parestesianya
lebih tinggi dibandingkan pendekatan paramedian. Pada beberapa kondisi,
pendekatan paramedian lebih dipilih seperti pada obesitas, deformitas atau fraktur

11
spinal yang menyulitkan penusukan jarum pada pendekatan midline. Insersi jarum
juga lebih mudah dan tidak banyak masalah teknis, namun kekurangannya adalah
pendekatan ini lebih berisiko menyebabkan trauma vaskular karena vena-vena
epidural terletak pada lateral garis tengah. Manifestasi klinisnya berupa bloody
tap.11

a. Teknik anestesi epidural6,7


Setelah mempalpasi dan menentukan level yang diinginkan, dilakukan
disinfeksi pada kulit dengan betadine dan alkohol, dipasangkan duk steril,
kemudian disuntikkan anestesi lokal lidokain 2% dengan jarum 25 gauge untuk
mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan oleh jarum epidural nantinya.
Menggunakan pendekatan midline atau paramedian, jarum diinsersikan melalui
kulit sampai ke ligamentum flavum. Jarum epidural harus berhenti tepat
sebelum menembus duramater. Hal ini ditandai dengan “loss of resistance” dan
“hanging drop”.6,8
Berikut adalah langkah-langkah dalam melakukan teknik “loss of
resistance” 6,8 :
1. Jarum epidural dengan stilet ditusukkan melalui kulit dan jaringan subkutan
sampai terdapat peningkatan resistensi atau tahanan.
2. Stilet atau introducer dilepaskan, kemudian jarum epidural disambungkan
ke spuit berisikan 2 mL saline atau udara. Jika ujung jarum masih berada
pada ligamentum flavum, saline atau udara tersebut tidak dapat
diinjeksikan.
3. Jarum perlahan-lahan ditusukkan lebih dalam sambil terus dilakukan injeksi
saline atau udara. Jika ujung jarum sudah berada dalam rongga epidural,
maka terdapat loss of resistance secara tiba-tiba dan saline atau udara yang
berada dalam spuit dapat dengan mudah diinjeksikan.

Teknik “hanging drop” dilakukan dengan langkah-langkah berikut :


1. Jarum epidural dengan stilet ditusukkan melalui kulit dan jaringan
subkutan, serta melewati ligamentum supraspinosum dan interspinosum.

12
2. Jika jarum sudah memasuki ligamen interspinosum, stilet dilepaskan
kemudian diberikan setetes larutan yang menggantung di ujung bukaan
jarum. Jarum ditusukkan lebih dalam dan larutan itu akan tetap
menggantung jika ujung jarum masih berada dalam struktur ligamen.
3. Ketika ujung jarum sudah mencapai rongga epidural, maka tetesan larutan
yang menggantung tersebut akan terhisap secara tiba-tiba karena adanya
tekanan negatif.
4. Beberapa klinisi lebih memilih teknik ini pada pendekatan paramedian dan
anestesi epidural pada level servikal.

Gambar 2.10. Loss of resistance dan hanging drop technique12

Setelah dipastikan jarum berada pada rongga epidural, langkah


selanjutnya adalah memasukkan kateter epidural ke dalam jarum epidural
sampai batas 20 cm. Setelah itu, jarum epidural dilepaskan sambil tetap
mempertahankan posisi kateter epidural tetap pada batas yang ditentukan, yaitu
sekitar 5-6 cm yang berada di dalam rongga epidural. Langkah terakhir adalah
pengecekan. Dilakukan 2 tahap pengecekan, yaitu untuk memastikan kateter

13
tidak masuk ke intratekal dan pembuluh darah. Pengecekan pertama dilakukan
dengan mengaspirasi perlahan menggunakan spuit 3 mL dan dilihat apakah
terdapat cairan serebrospinal. Jika cairan serebrospinal teraspirasi, hal ini
menindikasikan posisi kateter epidural berada di rongga subarachnoid dan
harus direlokasi. Pengecekan kedua dilakukan dengan “test dose”, yaitu dengan
menginjeksikan lidokain 1,5% dengan epinefrin (1 : 200000) sebanyak 3 mL
dan dimonitor apakah terdapat peningkatan frekuensi nadi sebanyak 20-30 kali
per menit atau tekanan darah sistolik sebanyak 15-20 mmHg. Jika terdapat
peningkatan baik frekuensi nadi maupun tekanan darah sistolik, hal ini
menandakan bahwa kateter epidural berada di dalam pembuluh darah dan harus
prosedur harus diulangi.

b. Teknik anestesi spinal6,7


Setelah mempersiapkan peralatan dan memposisikan pasien, anestesi
spinal dimulai dengan mengidentifikasi area interspinosus menggunakan jari
telunjuk atau jari tengah dan ditandai menggunakan kuku, kemudian dilakukan
disinfeksi menggunakan betadine dan alkohol, dipasangkan duk steril,
kemudian dilakukan penusukan introducer pada bagian yang sudah ditandai.
Dalam melakukan penusukan, jari yang melakukan palpasi berfungsi
memegang introducer, tangan lainnya digunakan untuk memegang jarum
spinal seperti dart, sedangkan jari kelima berfungsi sebagai tripod untuk
mencegah pergerakan pasien dan insersi yang terlalu dalam.

Gambar 2.11. Insersi jarum spinal7

14
Jarum spinal kemudian diinsersikan lebih dalam secara perlahan dengan
bevel sejajar midline sampai melewati dua kali resistensi, yaitu ligamentum
flavum dan membran dura-arachnoid. Stilet atau introducernya kemudian
dilepaskan dan perhatikan adanya aliran cairan serebrospinal. Jika belum ada
aliran cairan serebrospinal, dilakukan insersi beberapa milimeter dan dicek
pada seluruh kuadran. Jika masih belum ada, maka lepaskan jarum spinal dan
seluruh proses harus diulangi dari awal.
Jika cairan serebrospinal sudah didapati mengalir, sambungkan spuit
yang berisi agen anestesi spinal dengan dosis terapeutik, aspirasi, dan
injeksikan dengan kecepatan ± 0,2 mL/detik. Setelah injeksi sudah tuntas,
aspirasi 0,2 mL cairan serebrospinal kembali untuk konfirmasi ulang lokasi dan
injeksi agen anestesi yang tersisa di spuit.
Dapat pula diinsersikan kateter spinal ke dalam rongga subarachnoid
sebagai anestesi spinal kontinu bila diindikasikan.

2.6. FAKTOR YANG MEMENGARUHI


Level blok spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut6 :
1. Barisitas agen anestesi.
Berat jenis cairan serebrospinal adalah 1,003 – 1,008 pada suhu 37°C. Barisitas
merupakan berat jenis anestesi lokal jika dibandingkan dengan cairan
serebropsinal. Agen anestesi yang hiperbarik adalah agen anestesi yang lebih
berat, sedangkan hipobarik lebih ringan, dibandingkan cairan serebrospinal.
Larutan anestesi lokal dapat dijadikan hiperbarik dengan menambah glukosa
atau hipobarik dengan menambah air steril atau fentanyl. Larutan isobarik akan
tetap berada pada level injeksi.

15
Tabel 2.1. Barisitas agen anestesi spinal6

2. Posisi pasien.
Jika pasien dalam keadaan head up, larutan hiperbarik akan bergerak ke arah
kaudal dan larutan hipobarik ke arah cephalad. Sedangkan pada posisi head
down, larutan hiperbarik akan menyebar ke arah cephalad dan sebaliknya, ke
arah kaudal pada larutan hipobarik. Pada posisi lateral, larutan hiperbarik akan
berefek lebih tinggi pada bagian dependen / bawah, sedangkan larutan
hipobarik akan berefek lebih tinggi pada bagian independen / atas. Larutan
isobarik akan tetap berada pada level injeksi.

3. Dosis agen anestesi.


Semakin tinggi dosisnya, semakin cephalad level anestesi yang akan tercapai.

4. Lokasi injeksi.
Semakin cephalad lokasi injeksinya, semakin cephalad level anestesi yang
akan tercapai.

16
5. Usia.
Pada geriatri didapati adanya penurunan volume cairan serebrospinal sehingga
efek anestesinya akan lebih tinggi dengan dosis yang sama dengan yang
diberikan pada orang dewasa.

6. Cairan serebrospinal.

7. Sudut lengkungan tulang belakang.


Larutan hiperbarik cenderung bergerak ke area tulang belakang paling
dependen yaitu T4–T8 pada posisi terlentang. Hal ini akan menghambat larutan
hiperbarik untuk memberikan efek anestesi di dan di bawah T4.
Melakukan anestesi pada skoliosis dan kifoskoliosis akan menjadi sulit
karena rotasi dan sudut tulang belakang dan prosesus spinosus, serta kesulitan
mencari midline dan ruang interlaminar. Pendekatan paramedian pada pungsi
lumbal lebih dipilih pada pasien skoliosis dan kifoskoliosis, yaitu dengan
memasukkan jarum 1 cm medial dan 1 cm inferior ke iliaca posterior superior,
diarahkan ke cephalad dan midline. Penyakit ini juga berkaitan dengan
penurunan volume cairan serebrospinal, dapat menyebabkan efek anestesi yang
lebih tinggi terutama pada hipobarik atau injeksi cepat.

8. Volume obat-obatan.
Volume cairan serebrospinal berbanding terbalik dengan penyebaran
dermatomal anestesi spinal.

9. Tekanan intraabdomen.
Peningkatan tekanan intraabdomen atau kondisi yang menyebabkan
pembengkakan vena epidural, dapat menurunkan volume cairan serebrospinal,
sehingga penyebaran dermatomalnya juga lebih luas. Contohnya adalah pada
kehamilan, asites, dan tumor abdominal yang besar. Dosis anestesi spinal pada
pasien hamil akan dikurangi sebanyak sepertiga, khususnya pada blok yang
dimulai dari posisi lateral.

17
10. Arah jarum.
Level yang lebih tinggi akan dicapai bila injeksi diarahkan lebih ke arah
cephalad dibandinkan kaudal atau lateral.

11. Tinggi pasien.

12. Riwayat operasi tulang belakang sebelumnya.


Riwayat laminektomi atau fusi spinal akan mempersulit dalam proses mencari
ruang interspinosus dan interlaminar pada batas yang dilakukan operasi.
Pendekatan paramedian atau 1 level diatas lokasi operasi dapat dilakukan.

Level blok epidural dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut6 :


1. Dosis agen anestesi.
Menurut guideline, dosis yang diberikan adalah 1-2 mL per segmen yang ingin
di blok.
2. Usia.
Semakin bertambahnya usia, semakin sempit juga rongga epidural, sehingga
dosis yang dibutuhkan relatif lebih sedikit.
3. Tinggi badan.
Tinggi badan memengaruhi sebaran agen anestesi ke arah cephalic, sehingga
pasien yang lebih pendek mungkin hanya membutuhkan 1 mL per segmen,
sedangkan pasien yang tinggi membutuhkan 2 mL per segmen.
4. Gravitasi.
Penyebaran agen anestesi melalui epidural dipengaruhi secara parsial oleh
gravitasi. Posisi seperti lateral dekubitus, Trendelenburg, dan reverse
Trendelenburg dapat membantu mencapai blok pada dermatom yang
diinginkan.
5. Adjuvan.
Penambahan opioid cenderung meningkatkan kualitas anestesi epidural.
Pemberian epinefrin sebanyak 5 µg/mL memperpanjang efek lidokain,

18
mepivakain, dan kloroprokain lebih daripada pada bupivakain, levobupivakain,
etidokain, dan ropivakain. Selain itu, epinefrin mampu melambatkan absorpsi
vaskular dan menurunkan level agen anestesi dalam darah.

2.7. AGEN ANESTESI


Anestesi lokal dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok berdasarkan
struktur kimianya, yakni ester dan amida. Anestesi dengan bahan dasar ester
(kokain, prokain, kloroprokain, dan tetrakain) dimetabolisme menggunakan enzim
plasma pseudokolinesterase, namun dapat menimbulkan reaksi alergi pada
beberapa orang, sehingga harus dihindari. Anestesi dengan bahan dasar amida
(lidokain, mepivakain, bupivakain, etidokain, prilokain, dan ropivakain)
dimetabolisme dengan enzim mikrosomal di hati, sehingga harus digunakan hati-
hati pada pasien dengan penyakit hati berat.13
Agen anestesi spinal yang sering digunakan adalah bupivakain dan tetrakain
hiperbarik, dengan onset lambat 5-10 menit) dan durasi lama (90-120 menit).
Ropivakain dapat digunakan juga pada anestesi spinal, namun penelitiannya
terbatas. Lidokain dan prokain memiliki onset cepat (3-5 menit) dan durasi kerja
pendek (60-90 menit). Penambahan vasokonstriktor (agonis α-adrenergik, epinefrin
0,1–0,2 mg. Memperlambat penyerapan anestesi lokal dari cairan serebrospinal)
dan opioid dapat memperkuat kualitas dan atau memperpanjang durasi kerja
anestesi spinal.7
Tabel 2.2. Agen anestesi spinal6

Untuk teknik anestesi epidural, agen yang digunakan dipilih berdasarkan


efek klinis yang diinginkan, yaitu antara sebagai anestesi primer, digunakan
bersama dengan anestesi umum, ataupun sebagai analgesik. Durasinya dapat

19
berupa short-, intermediate- atau long- acting, dosis tunggal ataupun menggunakan
kateter. Obat-obatan dengan onset singkat-sedang yang sering digunakan untuk
pembedahan adalah kloroprokain, lidokain, dan mepivakain, sedangkan untuk
onset lambat, terdapat bupivakain, levobupivakain, dan ropivakain. Obat-obatan
yang diinjeksikan hanya boleh yang tanpa pengawet, ataupun yang sudah diberi
label khusus. Jika ditambah dengan adjuvan seperti epinefrin, anestesi regional
untuk pembedahan dapat berdurasi 45 – 240 menit.6
Pemberian awal 1-2 mL bolus, kemudian diulangi melalui kateter pada
interval waktu yang tetap, atau jika bloknya mulai berkurang. Jika blok sudah mulai
berkurang, reinjeksikan agen anestesi sebanyak satu pertiga atau setengah dari
dosis awal.6
Kloroprokain, agen anestesi dengan bahan dasar ester, onset cepat, durasi
singkat, dan toksisitasnya rendah, dapat menganggu efek analgesik dari opoid,
berisiko menyebabkan cauda equina syndrome jika diinjeksikan intratekal, diduga
berhubungan dengan neurotoksisitas, serta menyebabkan nyeri punggung hebat
(karena hipokalsemia lokal).6,7
Lidokain yang berbahan dasar ester, digunakan sebagai agen anestesi
epidural pada konsentrasi 1,5% dan 2%. Mepivakain serupa dengan lidokain namun
memiliki durasi 15 sampai 30 menit lebih panjang. Epinefrin memperpanjang efek
lidokain dan mepivakain sebanyak 50%.
Bupivakain masih merupakan anestesi long-acting yang paling banyak
digunakan. Anestesi pembedahan dapat dicapai dengan bupivakain berkonsentrasi
0,5%, sedangkan untuk analgesik persalinan dan nyeri post-operasi dapat dicapai
dengan konsentrasi rendah (0,0625%). Dosis 0,75% tidak lagi digunakan untuk
sectio cesarea karena berkaitan dengan cardiac arrest pada injeksi intravena.6,7
Pemberian epinefrin dapat memperpanjang durasi kerja bupivakain sampai 240
menit.7
Penggunaan ropivakain mulai meningkat belakangan ini sebagai agen
anestesi epidural. Ropivakain digunakan dengan konsentrasi 0,5% –1% untuk
pembedahan dan 0,1–0,3% untuk analgesik. Pengaruh ropivakain terhadap
konduksi jantung dan frekuensi aritmia lebih rendah dibandingkan anestesi lokal

20
lain pada kadar toksisitas sistemik. Dibandingkan dengan bupivakain, ropivakain
dapat menyebabkan blok motorik yang minimal, namun memiliki blok sensorik
yang setara.6 Walaupun memang blok motoriknya lebih rendah dan durasi kerjanya
sedikit lebih pendek dibandingkan bupivakain.7

Tabel 2.3. Agen anestesi blok epidural6

2.8. MEKANISME AKSI DAN EFEK PADA SISTEM ORGAN6


Anestesi epidural bekerja dengan memblok transmisi neural, baik pada
serabut posterior (fungsi somatik dan viseral), maupun serabut anterior (fungsi
motorik dan otonom). Berbeda dengan anestesi spinal yang hanya membutuhkan
dosis kecil, anestesi epidural membutuhkan kuantitas yang lebih tinggi untuk
mencapai efek yang sama dengan blok spinal.
Blok somatik dicapai dengan menghambat transmisi stimulus nyeri pada
saraf aferen dan menghilangkan respon tonus otot skelet pada saraf eferen,
sedangkan blok otonom dicapai dengan mengurangi fungsi simpatis dan atau
mempertahankan fungsi parasimpatis.
Efek agen anestesi epidural terhadap sistem kardiovaskular adalah
menurunkan tekanan darah dan frekuensi nadi. Blok pada saraf-saraf simpatis T5-
L1 yang mempersarafi otot polos vena dan arteri (vasomotor) akan menghasilkan

21
vasodilatasi dan pooling of blood di organ dalam dan ekstremitas bawah, sehingga
terjadi penurunan volume darah dan venous return ke jantung. Vasodilatasi arteri
menyebabkan berkurangnya resistensi vaskular sistemik. Vasodilatasi arteri, bila
disertai dengan venous pooling dan bradikardia dapat menyebabkan hipotensi. Hal
ini dapat diatasi dengan mengubah posisi pasien menjadi head-down, memberikan
cairan intravena bolus sebanyak 5-10mL/kg, atropin untuk mengatasi bradikarida,
vasopresor untuk mengatasi hipotensi, efedrin untuk meningkatkan frekuensi
denyut dan kontraktilitas jantung serta vasokonstriksi. Dapat juga diberikan
epinefrin 2-5 µg bolus untuk mengatasi hipotensi.
Efek terhadap paru biasanya minimal karena diafragma dipersarafi oleh
nervus phrenicus, yang berasal dari C3-C5. Walaupun dilakukan blok pada level
torakal yang tinggi, volume tidal tidak berubah. Hanya ada sedikit penurunan
kapasitas vital karena tidak lagi ada kontribusi otot-otot abdomen dalam forced
expiration.
Blok simpatis dan dominansi dari tonus vagal menghasilkan lambung yang
berkontraksi dengan peristaltik yang aktif. Hal ini dapat meningkatkan kondisi
operatif saat laparoskopi (sebagai adjuvan pada anestesi umum).
Fungsi dan peredaran darah ginjal tidak begitu berubah sedangkan blok
otonom dapat menyebabkan retensi urin.
Trauma pembedahan dapat menyebabkan aktivasi serabut-serabut saraf
aferen viseral dan somatik, yang kemudian meningkatkan hormon
adrenokortikotropik, kortisol, epinefirn, norepinefrin, vasopressin, serta aktivasi
renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS). Hal ini bermanifestasi sebagai
hipertensi, takikardi, hiperglikemia, katabolisme protein, supresi respon imun, dan
terganggunya fungsi ginjal. Blok epidural bermanfaat untuk mengurangi atau
memblok sama sekali respon stress akibat pembedahan ini.

22
2.9. KOMPLIKASI
Tabel 2.4. Komplikasi anestesi neuroaxial6

Komplikasi yang ditimbulkan anestesi epidural dapat terjadi karena reaksi


berelebihan terhadap obat-obatan yang diinjeksikan dengan benar, pemasangan
jarum atau kateter epidural, dan toksisitas sistemik.

1. Komplikasi berkaitan dengan respon berlebihan terhadap agen anestesi :


a. High Neural Blockade
Penyebaran dermatomal yang berlebihan karena pemberian dosis yang
berlebihan, ketidakmampuan untuk mengurangi dosis pada kelompok
khusus (geriatri, kehamilan, obesitas, atau sangat pendek), atau karena

23
sensitivitas yang tidak biasa. Keluhan berupa dyspnea, mati rasa atau
kelemahan pada ekstremitas atas, nausea, hipotensi, bradikardi, dan
insufisiensi repiratori. Hal ini terjadi karena high spinal, dimana blok
menyebar sampai batas yang lebih tinggi dan dapat disebut total spinal jika
memengaruhi saraf-saraf kranialis. Anestesi epidural juga dapat
menyebabkan komplikasi ini jika tidak sengaja memasukkan obat secara
intratekal. Tatalaksana dengan mempertahankan airway, ventilasi, dan
sirkulasi, dapat dilakukan intubasi bila diperlukan. Berikan cairan
intravena, head-down, dan vasopresor bila terjadi hipotensi, atropin untuk
bradikardi, efedrin atau epinefrin untuk meningkatkan frekuensi nadi dan
tekanan darah arteri.

b. Cardiac Arrest
Dapat terjadi karena hipoksia dan hipoventilasi yang tidak disadari, respon
vagal yang tidak teridentifikasi, serta berkurangnya preload.

c. Retensi Urin
Anestesi lokal pada serabur-serabut saraf S2-S4 dapat menurunkan tonus
kantung kemih dan menghambat refleks berkemih. Opioid epidural juga
dapat mengganggu berkemih yang normal.

2. Komplikasi berkaitan dengan insersi jarum atau kateter


a. Anestesi atau analgesi inadekuat
Jarum yang bergerak saat meninjeksikan agen anestesi, tidak sepenuhnya
masuk ke rongga epidural, injeksi subdural, atau hilangnya potensi dari
agen anestesi.

b. Injeksi intravaskular
Tingginya kadar agen anestesi dalam darah dapat berefek pada sistem saraf
pusat (kejang dan ketidaksadaran) dan kardiovaskular (hipotensi, aritmia,
depresi kontraktilitas). Komplikasi ini lebih terlihat pada anestesi epidural

24
atau kaudal dibandingkan spinal, karena pada spinal obat yang diinjeksikan
lebih sedikit. Hal ini dapat dicegah dengan mengaspirasi jarum atau kateter
sebelum injeksi, melakukan test dose, dan monitoring ketat tanda-tanda
awal injeksi intravaskular (tinnitus, sensasi lingual). Tatalaksana dengan
resusitasi dan pemberian lipid.

c. Total spinal anesthesia


Jika tidak sengaja melakukan injeksi intratekal dan terjadi dengan onset
cepat.

d. Injeksi subdural
Rongga subdural adalah ruang kecil di antara duramater dan arachnoid,
berisi cairan serosa, dan secara anatomis meluas sampai intrakranial. Pada
epidural, injeksi subdural ditandai dengan gejala-gejala yang mirip dengan
high spinal anesthesia, onset melambat 15-30 menit, dan bloknya bisa
menjadi “patchy”. Efek berlangsung selama satu sampai beberapa jam.

e. Nyeri punggung
Trauma jaringan, memar, dan inflamasi lokal dengan atau tanpa spasme otot
karena penusukan jarum melalui kulit, jaringan subkutan, otot, dan ligamen.
Tatalaksana dengan memberikan acetaminophen, NSAID, dan kompres
panas atau dingin.

f. Postdural puncture headache (PDPH)


Segala sesuatu yang menembus atau merusak duramater (pungsi
lumbal, myelogram, anestesi spinal dan epidural) dapat menyebabkan
PDPH. Onset biasanya 12-72 jam setelah prosedur. PDPH diduga terjadi
karena bocornya cairan serebrospinal dan hipotensi intrakranial, yang akan
menarik struktur yang menopang otak seperti meninges, duramater, dan
tentorium.

25
Nyeri kepala dapat dialami bilateral, frontal atau retroorbital, atau
oksipital, dan meluas sampai leher. Dapat berdenyut atau konstan, terdapat
fotofobia dan nausea.
Posisi duduk atau berdiri dapat memperburuk PDPH, sedangkan
berbaring memperingan PDPH.
Faktor risiko PDPH adalah usia lebih muda, jenis kelamin
perempuan, dan kehamilan.
Tatalaksana dengan posisi recumbent/supine sehingga tekanan
hidrostatik turun, menarik cairan keluar, dan mengurangi nyeri kepala;
pemberian analgesik mulai dari acetaminophen, NSAID, dan opioid; hidrasi
dan kafein dapat membantu menstimulasi produksi cairan serebrospinal;
pelunak kotoran dan soft diet untuk mengurangi mengejan. Dapat pula
dilakukan epidural blood patch dengan menginjeksikan 15-20 mL darah
autologus ke dalam rongga epidural, pada satu atau dua interspace dibawah
lokasi dural puncture, diduga dapat menghambat bocornya cairan
serebrospinal.

g. Trauma neurologis
Parestesi atau keluhan nyeri saat jarum atau kateter dimasukkan,
percobaan berkali-kali merupakan faktor risiko trauma neurologis.
Injeksi langsung ke medulla spinalis dapat menyebabkan
paraplegia, pada conus medullaris dapat menyebabkan disfungsi saraf
sakralis terisolasi (paralisis otot bisep femoralis, anestesi di paha bagian
belakang, saddle area, jari-jari kaki, hilangnya fungsi berkemih atau buang
air besar).

h. Hematoma spinal atau epidural


Trauma pada vena epidural yang biasanya menyebabkan perdarahan
minor di kanalis spinalis. Dapat menjadi bermakna secara klinis jika pasien
memiliki koagulasi abnormal atau kelainan pembekuan darah. Faktor
risikonya adalah insersi atau pelepasan dari kateter epidural.

26
i. Meningitis dan arachnoditis
Kontaminasi peralatan atau obat-obatan yang diinjeksikan, atau infeksi oleh
organisme di kulit.

j. Abses epidural
Biasanya terjadi karena kateter epidural, dengan rata-rata 5 hari dari insersi
kateter sampai munculnya gejala dengan 4 tahap, yaitu 1) nyeri punggung
atau vertebra yang diperberat dengan perkusi, 2) nyeri menjalar/radikular,
3) defisit motorik dan atau sensorik, atau disfungsi sphincter, 4) paraplegia
atau paralisis. Tatalaksana dengan segera mencabut kateter, kultur pus
untuk identifikasi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis,
memberikan antibiotik, dan dekompresi (laminektomi).

k. Perubahan posisi atau putusnya kateter

3. Komplikasi berkaitan dengan toksisitas obat


a. Toksisitas sistemik karena injeksi intravaskular.
b. Gejala neurologis fokal sementara
Gejala dapat berupa nyeri punggung yang menjalar sampai kaki tanpa
defisit sensorik maupun motorik. Berkaitan dengan lidokain hiperbarik,
tetrakain, bupivakain, mepivakain, prilokain, prokain, dan ropivakain
subarachnoid.
c. Neurotoksisitas lidokain
Ditandai dengan disfungsi berkemih dan trauma radiks saraf multipel.

27
BAB III
STATUS PASIEN

3.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. TKH (Ny. R)
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 21 Juni 1964
Usia : 58 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Kristen Katolik
Status Pernikahan : Menikah
Alamat : Bulak Kapal Permai Blok FF No 42 RT 06 RW 014
Tanggal Masuk RS : 24 Maret 2022
Tanggal Operasi : 25 Maret 2022 Pukul 13:00

3.2. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 24 Maret 2022 di Paviliun Eri Soedewo Lantai 5
Kamar 152 RSPAD Gatot Soebroto.

Keluhan Utama
Nyeri pada lutut kanan sejak sekitar 3 bulan sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Nyeri pada lutut kanan jika dipakai beraktivitas atau berjalan sejak sekitar 3 bulan
yang lalu. Nyeri tidak dirasakan jika pasien duduk ataupun berbaring.

Pasien menyangkal adanya sesak napas, pusing, dan mual muntah. Pasien juga
menyangkal adanya demam, sakit tenggorok, dan nyeri menelan. Tidak ada gigi
goyang dan gigi palsu.

28
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien memiliki riwayat hipertensi.
- Pasien memiliki riwayat diabetes.
- Pasien menyangkal adanya riwayat asma, gangguan perdarahan, penyakit
jantung, paru, ginjal, dan hati.

Riwayat Konsumsi Obat


- Pasien mengonsumsi Amlodipine 1 x 10 mg dan Candesartan 1 x 8 mg
secara rutin.
- Pasien mengonsumsi rutin Metformin HCl 500 mg.

Riwayat Alergi
Pasien memiliki riwayat alergi ikan dan udang, namun tidak kepada obat-obatan
ataupun kontak.

Riwayat Operasi Sebelumnya


Hysteroscopy Diagnostic Laparoscopy Operative atas indikasi mioma uteri dan
kista endometrium, dilakukan dengan anestesi umum. Tidak ada komplikasi
ataupun keluhan pasca operasi.

Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok dan tidak meminum alkohol.

Riwayat Keluarga
Kakak pasien menderita Osteoarthritis Genu dan pernah dilakukan Total Knee
Replacement.

29
3.3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 24 Maret 2022 di Paviliun Eri Soedewo
Lantai 5 Kamar 152 RSPAD Gatot Soebroto.

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan (BB) : 64 kg
Tinggi Badan (TB) : 156 cm
Indeks Massa Tubuh (IMT) : 26,3 kg/m²
Predicted body weight : 45,5 + 0,91 (TB - 152,4) = 48,78 kg

Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 150/90 mmHg
b. Frekuensi Nadi : 80 kali per menit
c. Frekuensi Napas : 20 kali per menit
d. Suhu Tubuh : 36°C
e. Skala Nyeri : Visual analogue scale (VAS) 2/10

Status Generalis
a. Kepala
Normocephali, pupil isokor, konjungtiva tidak anemis, dan sklera tidak
ikterik.

b. Mulut, Tenggorok
Pembukaan mulut 3 jari, tidak ada nyeri saat membuka mulut, palatum
molle tidak terlihat (Mallampati score 4).

c. Leher
Jarak hyomental 3 jari, jarak thyrohyoid 2 jari, tidak ada perbesaran kelenjar
getah bening, tidak teraba massa, tidak ada retraksi otot pernapasan
aksesori. Mobilitas leher (+) kuat.

30
d. Toraks
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding toraks simetris kanan dan kiri, tidak ada
retraksi otot pernapasan aksesorius.
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri simetris.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : Vesicular breathing sound pada kedua lapang paru, tidak
ada ronkhi, tidak ada wheezing, tidak ada suara napas tambahan lainnya.

Cor
Inspeksi : Tidak tampak punctum maximum.
Palpasi : Tidak teraba punctum maximum.
Perkusi : Kesan tidak ada pembesaran jantung.
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan bunyi jantung 2 regular, tidak ada
murmur, tidak ada gallop.

e. Abdomen
Inspeksi : Terdapat bekas luka operasi.
Auskultasi : Bising usus (+).
Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa, tidak ada
hepatosplenomegali.
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen.

f. Ekstremitas
Akral hangat, tidak ada edema, capillary refill time kurang dari 2 detik.

g. Punggung
Tidak ditemui adanya kelainan postur, tanda-tanda abnormalitas tulang
punggung seperti kifosis dan skoliosis, hambatan pergerakan, tanda-tanda
trauma, jaringan parut, perubahan warna, serta infeksi pada daerah kulit.

31
3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 14,1 12,0 – 16,0 g/dL

Hematokrit 42 37 – 47%

Eritrosit 5.0 4.3 - 6.0 juta/uL

Leukosit 9850 4,800 – 10,800/uL

Trombosit 242000 150,000 – 440,000 /uL

MCV 83 80 - 96 fL

MCH 28 27 - 32 pg

MCHC 34 32 - 36 g/dL

KIMIA KLINIK

SGOT 19 < 35 U/L

SGPT 26 < 40 U/L

Ureum 36 20 -50 mg/dL

Kreatinin 0,72 0.5 - 1.5 mg/dL

eGFR 93,26 >= 90 : Normal atau tinggi


60-89 : Penurungan ringan
45-59 : Penurungan ringan sampai
sedang
30-44 : Penurunan sedang sampai berat
15-29 : Penurunan berat
<15 : gagal ginjal

mL/menit/1.73 m²

Glukosa Darah 89 70 - 140 mg/dL


(Sewaktu)

Natrium (Na) 141 135- 145 mmol/L

Kalium (K) 4.6 3.5 - 5.0 mmol/L

Klorida (Cl) 100 95 - 105 mmol/L

32
Analisa Gas Darah :
- pH 7.530* 7.37 - 7.45
- pCO2 31.1* 33 - 44 mmHg
- pO2 96.5 71 - 104 mmHg
- Bikarbonat 26.2 22 - 29 mmol/L
(HCO3) 4.6 (-2) - 3 mmol/L
- Kelebihan Basa 98.0 94 - 98%
(BE)
- Saturasi O2

KOAGULASI

PT (Pasien/Kontrol) 9,8’’/11,0” 9.3 - 11.8 detik

APTT (Pasien/Kontrol) 25,7”/24,4” 23.4 - 31.5 detik

Radiologi Toraks
- Jantung tidak membesar.
- Aorta dan Mediastinum superior tidak melebar.
- Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal.
- Corakan bronkovaskular kedua paru baik.
- Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapangan paru.
- Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip.
- Tulang-tulang kesan intak.

3.5. DIAGNOSIS BEDAH


Osteoarthritis Genu Dextra Grade IV.

3.6. STATUS FISIK ASA


ASA II.

3.7. RENCANA PEMBEDAHAN


Total Knee Replacement.

3.8. RENCANA TEKNIK ANESTESI


Anestesi CSE.

33
3.9. KESIMPULAN
Pasien Ny. TKH / Ny. R, berusia 58 tahun, datang dengan keluhan nyeri lutut kanan
jika dipakai berjalan atau beraktivitas sejak sekitar 3 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Pasien memiliki diagnosis bedah Osteoarthritis Genu Dextra grade IV
dengan rencana pembedahan Total Knee Replacement. Status fisik ASA II dengan
rencana teknik anestesi regional dengan anestesi CSE.

34
BAB IV
LAPORAN ANESTESI

4.1. PERSIAPAN PRA-ANESTESI


1. Kunjungan Pra-Anestesi
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
d. Penilaian Status Fisik ASA
e. Melakukan informed consent mengenai tindakan pembedahan dan teknik
pembiusan yang akan dilakukan. Informasi yang diberikan mencakup
diagnosis, rencana tindakan, tujuan tindakan, tata cara tindakan, komplikasi
dan risiko, prognosis, serta alternatif tindakan.
f. Rencana perawatan pasca operasi di ruang rawat inap.
g. Mendapatkan surat persetujuan tindakan.
h. Konsultasi antar departemen
- Konsultasi jantung : Toleransi operasi dengan risiko ringan.
- Konsultasi paru : Toleransi operasi dengan risiko ringan.
- Konsultasi IPD : Toleransi operasi dengan risiko ringan.
i. Konsultasi anestesi : Persetujuan operasi dengan anestesi regional.
j. Edukasi mengenai puasa makanan padat dan susu setidaknya 6 jam sebelum
operasi, sementara air putih/air larut (150-200 mL) maksimal 2 jam sebelum
operasi.

2. Ruang Persiapan Operasi


a. Identifikasi pasien mencakup nama, nomor rekam medis, dan tanggal lahir.
b. Mengganti pakaian pasien dengan pakaian kamar operasi yang telah
disediakan. Pemasangan jalur intravena pada tangan kiri pasien dengan
ukuran 20 G.
c. Jalur intravena dipastikan lancar.

35
3. Ruang Operasi
a. Pasien memasuki kamar operasi, lalu diposisikan supine di meja operasi
untuk pemasangan alat-alat monitoring. Setelah terpasang, pasien
diposisikan lateral dekubitus untuk tindakan CSE.
b. Pemasangan alat-alat monitoring berupa manset tensimeter, pulse oxymeter,
dan EKG.
c. Penilaian tanda-tanda vital pra-operatif.

4.2. PERSIAPAN ALAT


1. Mesin Anestesi
2. Tensimeter
3. Pulse oximetry
4. Monitor EKG
5. Hanschoen
6. Infus set
7. Abocath 20G
8. Plester
9. Alcohol swab
10. Nasal cannule
11. Betadine
12. Alcohol
13. Spuit 3 cc (2 buah)
14. Spuit 10 cc
15. Spuit 20 cc (1 buah)
16. Spinal needle
17. Epidural needle
18. Spuit “loss of resistance”
19. Epidural catheter

36
4.3. PERSIAPAN OBAT
Persiapan obat meliputi obat-obatan koinduksi, induksi, dan obat-obatan lainnya.
1. Ropivacaine HCl 0,75%, sebanyak 15 mL (112,5 mg) sebagai agen anestesi
epidural.
2. Morfin 1 mg/mL sebanyak 2 mL sebagai agen anestesi bersama dengan
ropivacaine.
3. Lidocaine 2% sebanyak 2 mL sebagai anestesi lokal.
4. Marcain Spinal 0,5% (5 mg/mL) sebanyak 2,5 mL dan fentanyl 50 µg/mL
sebanyak 25 µg sebagai agen anestesi spinal.
5. Epinephrine 1 mg/mL sebanyak 0,1 mg dilarutkan dalam 20 mL NaCl, diambil
2 mL digunakan untuk test dose.
6. Ondansetron, merupakan antagonis reseptor 5HT3 pada chemoreceptor
triggering zone (CTZ) dan nervus vagus. Dosis ondansetron yaitu 4 – 8 mg.
Pasien diberikan ondansetron 4 mg intravena.
7. Midazolam sebanyak 2 mg sebagai anti ansiolitik.
8. Ephedrine 5 mg/mL sebanyak 10 mL untuk mengatasi hipotensi.
9. Ceftriaxone 2 gram intravena sebagai antibiotik profilaksis.
10. Ranitidin sebanyak 50 gram untuk mengurangi produksi asam lambung.
11. Ketolorac sebanyak 30 gram sebagai pereda nyeri dan inflamasi.

4.4. PERSIAPAN CAIRAN


Diketahui :
Berat badan : 64 kg
Tinggi badan : 156 cm
Lama puasa : 6 jam
Hemoglobin pre-op : 14,1 gram/dL
Hematokrit pre-op : 42%

37
1. Kebutuhan Cairan Rumatan Kebutuhan cairan rumatan (M) dihitung dengan
Holliday–Segar 4 : 2 : 1 rule =

Pada 10 kg pertama = 4 mL/kg/jam = 40 mL/jam


10 kilogram selanjutnya = Tambah 2 mL/kg/jam = 20 mL/jam
Tiap kilogram di atas 20 kg = Tambah 1 mL/kg/jam = 44 mL/jam
Total = 104 mL/jam

2. Defisit Puasa
Defisit puasa (F) = kebutuhan cairan rumatan x lama puasa dalam jam = 104
ml/jam x 6 jam = 624 mL

3. Allowable Blood Loss


𝐻𝑐𝑡(𝑖)– 𝐻𝑐𝑡(𝑓)
𝐴𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑏𝑙𝑒 𝑏𝑙𝑜𝑜𝑑 𝑙𝑜𝑠𝑠 = 𝐸𝑠𝑡𝑖𝑚𝑎𝑡𝑒𝑑 𝐵𝑙𝑜𝑜𝑑 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒(𝐵𝑉)𝑥
𝐻𝑐𝑡(𝑖)
42% − 24%
= 65 𝑚𝐿/𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑥 64 𝑘𝑔 𝑥
42%
= 1782,86 mL ≈ 1783 mL

Penggantian Cairan Perioperatif


Total kebutuhan cairan = M + F + Allowable blood loss = 104 mL + 624 mL +
1783 mL = 2511 mL

4.5. PELAKSANAAN OPERASI


Pukul 13.00
Pasien memasuki kamar operasi. Persiapan alat, persiapan pasien, dan persiapan
diri dilakukan. Memastikan kembali identitas pasien, konfirmasi bahwa sudah ada
persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan, riwayat alergi, hipertensi, diabetes
mellitus, dan gangguan pernapasan pada pasien. Kemudian, memastikan jalur
intravena lancar dan monitor terpasang dengan benar. Penilaian keadaan umum,
kesadaran, dan tanda-tanda vital pra-operatif :

38
1. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda Vital :
a. Tekanan darah : 172/80 mmHg
b. Frekuensi nadi : 74 kali per menit
c. Frekuensi napas : 18 kali per menit
d. Suhu tubuh : 36°C
e. Saturasi O2 : 100%

Pukul 13.15
1. Pasien diposisikan dalam keadaan tidur, miring ke kanan, badan meringkuk,
kemudian dibuat garis imajiner antara krista iliaka kanan dan kiri setinggi L3-
L4 dan diberi tanda menggunakan kuku. Daerah yang telah diberi tanda di-
disinfeksi menggunakan betadine dan alkohol.
2. Dilakukan anestesi lokal pada daerah yang telah ditandai menggunakan
lidokain 2% sebanyak 2 mL atau 40 mg.
3. Dilakukan penusukan jarum epidural di median setinggi L3-L4 secara perlahan-
lahan hingga terasa resistensi ligamentum flavum, lepaskan stilet, pasangkan ke
spuit 20 mL dan dilakukan tes “loss of resistance” dengan mendorong udara
terus-menerus sambil jarum epidural dimasukkan sedikit demi sedikit. Hasil
positif (udara masuk) menandakan posisi jarum sudah berada di rongga
epidural.
4. Langkah selanjutnya adalah memasukkan jarum spinal melalui jarum epidural
yang sudah terpasang, kemudian diamati apakah terdapat cairan serebrospinal
yang menetes keluar dari jarum spinal. Hal ini menandakan bahwa posisi jarum
spinal sudah benar berada di rongga subarachnoid. Namun, pada pasien ini,
tidak didapati adanya penetesan cairan serebrospinal. Karena itu diputuskan
dilakukan anestesi epidural murni untuk tindakan TKA pada pasien ini.
5. Diinjeksikan Epinephrine yang dilarutkan dalam NaCl untuk mengecek apakah
jarum epidural memasuki pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan
frekuensi nadi.

39
6. Diinjeksikan Marcain spinal 0,5% dicampur dengan fentanyl sebanyak 3 mL
untuk mengecek apakah jarum epidural memasuki rongga subarachnoid yang
ditandai dengan terjadinya blok simpatik, sensorik, dan motorik pada separuh
badan kanan.
7. Kateter epidural dipasang melalui jarum epidural ke dalam rongga epidural,
diinsersikan sepanjang ± 10 cm.
8. Kateter epidural kemudian dihubungkan dengan spuit dan dilakukan aspirasi
untuk memastikan tidak ada darah ataupun cairan serebrospinal.
9. Jika sudah yakin bahwa jarum epidural tidak memasuki pembuluh darah
ataupun rongga subarachnoid, maka obat injeksi epidural Ropivacaine 0,75%
sebanyak 15 mL dan Morfin 2 mg dapat dimasukkan secara perlahan melalui
kateter epidural.

Pukul 13.25
1. Menyuntikkan Ropivacaine 0,75% sebanyak 15 mL dan Morfin 2 mg ke dalam
melalui kateter epidural.
2. Menunggu onset of action obat selama 20-30 menit.

Pukul 13.30
1. Pemberian Ondansetron sebanyak 4 mg melalui intravena sebagai anti mual dan
muntah
2. Pemberian Midazolam sebanyak 2 mg melaui intravena sebagai anti ansiolitik
3. Pemberian Efedrin sebanyak 5 mg, kemudian diulangi 5 menit kemudian
sebanyak 5 mg melalui intravena untuk mencegah terjadinya hipotensi.

Pukul 13.45
1. Tindakan Total Knee Replacement dimulai.
2. Monitor : (1) tekanan darah 110/70 mmHg, (2) frekuensi nadi 97 kali per menit,
(3) saturasi O2 100%.

40
Tabel 4.1. Monitoring tanda-tanda vital durante operasi
Pukul Monitor
Tekanan Darah Frekuensi Nadi Saturasi O2 (%)
(mmHg) (kali per menit)
13.50 120/70 90 100
13.55 118/72 98 100
14.00 120/70 98 100
14.05 120/70 99 100
14.10 120/70 98 100
14.15 120/70 99 100
14.20 120/70 98 100
14.25 120/70 99 100
14.30 120/70 99 100
14.35 130/90 108 100
14.40 128/82 100 100
14.45 130/83 98 100
14.50 127/83 95 100
14.55 130/83 100 100
15.00 130/82 98 100
15.05 128/82 100 100
15.10 127/83 97 100
15.15 128/82 98 100
15.25 128/83 96 100
15.30 129/82 98 100
15.35 130/82 97 100
15.40 128/83 98 100

Pukul 15.20
1. Pemberian Ranitidin sebanyak 50 mg melalui intravena untuk mengurangi
produksi asam lambung.
2. Pemberian Ketolorac sebanyak 30 mg melalui intravena sebagai pereda nyeri
dan inflamasi.
3. Monitor : (1) tekanan darah 130/82 mmHg, (2) frekuensi nadi 98 kali per menit,
(3) saturasi O2 100%.

Pukul 15.45
1. Pembedahan selesai.
2. Lama pembedahan : 2 jam

41
3. Monitor : (1) tekanan darah 128/82 mmHg, (2) frekuensi nadi 95 kali per menit,
(3) saturasi O2 100%.

Pukul 15.50
1. Lama pembiusan : Diatas 2 jam 25 menit
2. Jumlah cairan masuk : 1000 mL
3. Jumlah perdarahan : ± 500 mL
4. Jumlah urine : ± 100 mL
5. Melepas alat-alat monitor.
6. Memindahkan pasien ke ruang pemulihan.

4.6. POST OPERASI


1. Di Ruang Pemulihan
a. Mengelola nyeri : Fentanyl 50 µg IV
b. Mengelola mual/muntah : Primperan 7,5 mg IV

2. Instruksi Pasca Anestesi untuk di ruangan


a. Cairan : Ringer Dextrose 15 tetes/menit
b. Obat-obatan :
- Epidural : Morfin 2 mg / 10 mL NaCl diberikan tiap 12 jam (Pukul
12:00 dan 00:00) selama 3 hari
- Ketolorac 3 x 30 mg IV
- Ranitidine 3 x 50 mg IV
c. Monitoring tiap 15 menit

42
BAB V
PEMBAHASAN

Pasien Ny. TKH, perempuan, berusia 58 tahun dengan diagnosis Osteoarthritis


Genu Dextra Grade IV telah dilakukan tindakan Total Knee Replacement / TKA.
Tindakan pembedahan berlangsung selama 2 jam dengan durasi anestesi 2 jam 25 menit.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan saat kunjungan pra
anestesi, serta pemeriksaan penunjang, pasien tersebut memiliki status fisik pasien ASA
II. Menurut American Society of Anesthesiologists, klasifikasi ASA II merupakan pasien
dengan penyakit sistemik ringan tanpa adanya limitasi fungsional. Hal tersebut sesuai
dengan pasien pada kasus ini yaitu memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus,
namun obat-obatan dikonsumsi rutin, terkontrol dengan baik, dan tidak ditemukan adanya
keterbatasan terhadap aktivitas sehari-hari yang timbul akibat keduanya.
Pasien direncanakan dianestesi menggunakan teknik CSE, namun karena cairan
serebrospinal pasien tidak menetes saat jarum spinal dimasukkan melalui jarum epidural,
pada akhirnya diputuskan untuk dilakukan teknik anestesi epidural. CSE merupakan
teknik anestesi neuroaxial yang populer digunakan untuk pembedahan ortopedi atau
obstetri dan sudah banyak dilaporkan keunggulannya dalam pemulihan fungsi motorik
pasien yang relatif lebih cepat. Needle-through-needle lebih banyak digunakan untuk
CSE, namun kegagalan pungsi dural pada teknik ini dapat mencapai 5-29%. Sebuah
laporan kasus oleh Doo AR, et al meneliti alasan mengapa dapat terjadi kegagalan pungsi
dural menggunakan temuan radiologis. Alasan pertama adalah jarum spinal yang salah
masuk yaitu melalui lekukan Touhy needle dan bukan melalui back hole, yang berfungsi
untuk memberikan ruang bagi jarum spinal untuk lewat dan mempenetrasi duramater.
Alasan lainnya adalah deviasi eksesif jarum epidural sehingga jaraknya jauh daripada
midline dan memperpanjang jarak ujung jarum epidural dengan duramater (unintentional
paramedian placement). Selain itu, memang sulit mempertahankan jarum spinal 27 gauge
yang panjang, tipis, dan juga fleksibel untuk tetap lurus, sehingga jarum spinal tidak dapat
menembus duramater dengan sudut yang tepat.14

43
Gambar 5.1. Posisi insersi jarum spinal melalui jarum epidural15,16

Anestesi epidural diindikasikan sebagai anestesi primer pada pembedahan


abdominal bawah, inguinal, urogenital, rektal, dan ekstremitas bawah, termasuk pada
tindakan TKA, dengan komplikasi yang lebih minimal dibandingkan anestesi umum.4
Pada pasien Ny. TKH, didapati adanya indikasi berupa dan tidak ditemui adanya
kontraindikasi seperti penolakan, infeksi kulit diatas daerah yang mau diinjeksi,
hipovolemia berat, gangguan perdarahan, serta peningkatan tekanan intrakranial yang
menghambat pasien untuk mendapatkan anestesi epidural. 6 Oleh karena itu, penggunaan
anestesi epidural untuk tindakan TKA pada pasien ini sudah sesuai dengan teori.
Lokasi pelaksanaan anestesi epidural lazimnya dilakukan pada L3–L4, yang
berada di tengah-tengah garis imajiner yang sejajar dengan crista iliaca bagian superior
(Tuffier’s line). Hal ini dilakukan karena cornu medullaris dari medulla spinalis pada
orang dewasa berjalan mulai dari foramen magnum sampai batas L1. Jika dilakukan
anestesi regional pada lokasi diatas L1, risiko terjadinya trauma medulla spinalis lebih
tinggi. Pada pasien yang sudah diposisikan lateral decubitus, pertama-tama diidentifikasi
crista iliaca kanan dan kiri, kemudian ditarik garis imajiner diantaranya. Pada bagian
tengah garis dimana prosesus spinosus dapat diraba, dilakukan penadaan menggunakan
ujung kuku sebelum dibersihkan menggunakan betadine dan alkohol. Pada lokasi yang
ditandai itulah dilakukan anestesi epidural, yang menandakan posisi pelakasanaan sesuai
dengan tinjauan pustaka, yaitu pada batas L4–L5.6

44
Gambar 5.2. Garis imajiner untuk menentukan level anestesi6

Agen anestesi epidural yang paling baik digunakan untuk saat ini adalah
ropivakain. Walaupun ropivakain memiliki efek blok motorik yang lebih rendah, onset
lebih lambat, dan durasi kerja lebih pendek, namun toksisitas sistem saraf pusat dan
kardiotoksisitasnya lebih rendah dibandingkan bupivakain. Durasi blok motorik yang
lebih pendek dari ropivakain memiliki keuntungan tersendiri, yaitu mobilisasi pasien
setelah operasi ortopedik menjadi lebih cepat pula. Ropivakain 0,5% memiliki kualitas
17–19
dan durasi efek sensorik yang setara dengan bupivakain 0,5%. Pada pasien,
digunakan ropivakain 0,75% yang sudah sesuai dengan teori.
Dosis ropivakain yang lazim digunakan untuk tindakan pembedahan adalah
sediaan dengan konsentrasi di antara 0,5%–1%. Agen anestesi Ropivacaine 0,75%
sebanyak 15 mL dan Morfin 2 mg diinjeksikan pada pasienini dan dalam waktu 20 menit,
pasien sudah tidak dapat menggerakkan ataupun merasakan nyeri di kakinya sehingga
pembedahan dapat dimulai. Efek ropivakain masih ada sampai setelah pasien memasuki
ruang pemulihan, yaitu melebihi 2 jam 25 menit yang merupakan lamanya pembedahan.
Dosis ropivakain yang digunakan pada pasien ini sudah sesuai dan tepat dengan hasil

45
yang dapat diprediksi oleh tinjauan pustaka, yaitu onset yang lambat, serta blok sensorik
dan motorik yang baik pada konsentrasi tersebut.6
Komplikasi yang mungkin terjadi pada CSE dapat berkaitan dengan efek
berlebihan terhadap obat-obatan anestesi, insersi jarum spinal dan epidural, ataupun
toksisitas obat. Sebagian besar komplikasi terjadi karena injeksi intravaskular, barisitas
dan dosis pemberian yang tidak sesuai, kontaminasi peralatan, obat-obatan, atau infeksi
kulit, serta pelaksanaan teknik yang tidak benar. Pada pasien ini tidak ditemui ada
komplikasi apapun, karena telah dilakukan pengecekan berkali-kali terkait kemungkinan
adanya injeksi intravaskular, namun pada pasien tidak terjadi. Selain itu, barisitas dan
dosis diperhitungkan dengan baik, sterilitas dipertahankan, serta teknik yang digunakan
sudah sesuai dengan pedoman pelaksanaan.6
Jumlah allowable blood loss yang diperkirakan terjadi adalah 1783 mL,
sedangkan pada pelaksanaannya, jumlah perdarahan yang keluar hanya sekitar 500 mL,
sehingga pemberian transfusi darah tidak diperlukan. Cairan koloid atau kristaloid terus
diberikan untuk mempertahankan volume intravaskular tetap normal sampai jumlah
perdarahan melebihi dari allowable blood loss, yang mengindikasikan kebutuhan
transfusi darah. Selain itu, kehilangan darah pada pasien tidak mencapai 20% estimated
blood volume, yaitu 832 mL, yang mendukung keputusan bahwa transfusi darah belum
dibutuhkan. Jika kehilangan darah sudah sampai 20% estimated blood volume dengan
gejala hipotensi, takikardi, dan penurunan tekanan vena sentral, pemberian transfusi darah
dapat dipertimbangkan dengan memperhatikan keadaan umum, kadar hemoglobin dan
hematokrit, usia, jumlah cairan yang sudah diberikan, dan keadaan hemodinamik.
Pemberian cairan isotonis Ringer lactate perioperatif sebanyak 1000 mL sebagai
kebutuhan cairan rumatan, penggantian defisit puasa, perdarahan, dan urin yang keluar
pada pasien merupakan pilihan yang tepat dan aman. Adapun kelebihan cairan dapat
menyebabkan edema jaringan yang dapat menganggu transpor oksigen, penyembuhan
luka, dan fungsi bowel. 6,20

46
BAB VI
KESIMPULAN

Pemilihan teknik anestesi pada pembedahan seperti Total Knee Replacement


perlu dipertimbangkan secara matang mulai dari indikasi, kontraindikasi, keuntungan,
dan juga komplikasi pada masing-masing teknik anestesi. Teknik anestesi yang
direncanakan adalah CSE, namun pada akhirnya teknik epidural yang berhasil
dilaksanakan karena kemungkinan jarum epidural dan spinal berada pada posisi yang
salah. Indikasi berupa pembedahan di bawah leher, tidak ditemui adanya kontraindikasi
absolut maupun relatif anestesi epidural, lokasi tindakan pada L3–L4, agen anestesi yang
digunakan adalah ropivakain 0,75%. Selain itu pada pasien Ny. TKH, tidak terjadi
komplikasi yang diprediksi oleh tinjauan pustaka, sehingga teknik anestesi epidural tetap
merupakan pilihan tepat dan aman untuk tindakan pembedahan Total Knee Replacement
atas indikasi Osteoarthritis Genu.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR


HK.02.02/MENKES/251/2015. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA. 2015 Jul 6;

2. Young Park W, Thompson JS, Lee KK. Effect of Epidural Anesthesia and Analgesia
on Perioperative Outcome. Ann Surg. 2001 Oct;234(4):560–71.

3. Urmey WF. Combined spinal-epidural anesthesia for orthopedic surgery. Techniques


in Regional Anesthesia and Pain Management. 1997 Jul 1;1(3):123–30.

4. Corbett KL, Reichmann WM, Katz JN, Beagan C, Corsello P, Ghazinouri R, et al. One-
Day vs Two-Day Epidural Analgesia for Total Knee Arthroplasty (TKA): A
Retrospective Cohort Study. Open Orthop J. 2010 Jan 19;4:31–8.

5. Olawin AM, Das JM. Spinal Anesthesia. StatPearls Publishing; 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537299/

6. Butterworth JF, Wasnick JD, Mackey DC. Morgan and Mikhail’s Clinical
Anesthesiology, 6th edition. McGraw-Hill Education; 2018. 1408 p.

7. Gropper MA, Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, Cohen NH, et
al. Miller’s Anesthesia, 2-Volume Set E-Book. Elsevier Health Sciences; 2019. 3490
p.

8. Hernandez ANA, Singh P. Epidural Anesthesia. StatPearls Publishing; 2021. Available


from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542219/

9. O’Donohoe PB, Pandit JJ. Physiology and pharmacology of spinal and epidural
anaesthesia. Surgery - Oxford International Edition. 2012 Jul 1;30(7):317–9.

10. Espocan®. Available from: https://www.bbraun.co.id/en/products/b/espocan.html

11. Sohail B, Haq I ul, Ameer K, Iqbal R, Adnan A. COMPARISON OF MEDIAN AND
PARAMEDIAN TECHNIQUES OF SPINAL ANAESTHESIA. PAFMJ. 2011 Jun
30;61(2):199–203.

12. Field RS, Segal BS. Epiduralanesthesia. In: Vacanti C, Sikka P, Urman R, Segal S,
editors. Essential Clinical Anesthesia. Cambridge: Cambridge University Press; 2011.
p. 349–55. Available from: https://www.cambridge.org/core/books/essential-clinical-
anesthesia/epiduralanesthesia/CB6400CFAFBF5074610B2FE5178641F1

13. Local and Regional Anesthesia: Overview, Indications, Contraindications. 2022 Mar
15; Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1831870-overview#a1

48
14. Doo AR, Shin YS, Choi J, Yoo S, Kang S, Son J. Failed dural puncture during needle-
through-needle combined spinal–epidural anesthesia: a case series. J Pain Res. 2019
May 17;12:1615–9.

15. Combined Spinal-Epidural Anesthesia - NYSORA. Available from:


https://www.nysora.com/topics/regional-anesthesia-for-specific-surgical-
procedures/abdomen/combined-spinal-epidural-anesthesia/

16. Combined Spinal-Epidural Anesthesia. Available from:


http://www.csen.com/anesthesia/CSEA.htm

17. Riaz A, Khan RAS, Salim F, Saeed M, Khan RA. COMPARISON OF


ROPIVACAINE AND BUPIVACAINE AS SINGLE-SHOT EPIDURAL
ANAESTHESIA FOR ORTHOPAEDIC SURGERY. :5.

18. McGlade DP, Kalpokas MV, Mooney PH, Buckland MR, Vallipuram SK, Hendrata
MV, et al. Comparison of 0.5% ropivacaine and 0.5% bupivacaine in lumbar epidural
anaesthesia for lower limb orthopaedic surgery. Anaesth Intensive Care. 1997
Jun;25(3):262–6.

19. Merson N. A comparison of motor block between ropivacaine and bupivacaine for
continuous labor epidural analgesia. AANA J. 2001 Feb;69(1):54–8.

20. dr. I Gede Budiarta SA. MANAJEMEN CAIRAN PERIOPERATIF DAN


HIPOTENSI TERKENDALI. 2019 Mar; Available from:
https://erepo.unud.ac.id/id/eprint/28666/

49

Anda mungkin juga menyukai