PEMBIMBING :
dr. Nurul Ulfah Hayatunnisa, Sp.An
DISUSUN OLEH:
Cindy Leona Wangsa 20210601001
i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
DISUSUN OLEH:
Cindy Leona Wangsa 202106010001
Pembimbing,
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas anugerah-Nya, penulis
mampu menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Anestesi Combined Spinal Epidural
pada Tindakan Total Knee Replacement atas indikasi Osteoarthritis Genu”. Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik di Departemen Anestesi dan
Reanimasi RSPAD Gatot Soebroto.
Penyusunan laporan kasus ini tidak lain juga bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman dan pengaplikasian teori-teori yang dipelajari selama menjalani Kepaniteraan
Klinik di Departemen Anestesi dan Reanimasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Nurul Ulfah Hayatunnisa, Sp.An selaku pembimbing penulisan laporan kasus
ini.
2. Dokter-dokter spesialis anestesi di Departemen Anestesi dan Reanimasi RSPAD
Gatot Soebroto atas bimbingan, arahan, dan masukan bagi penulis.
3. Perawat dan Staf Departemen Anestesi dan Reanimasi RSPAD Gatot Soebroto,
teman-teman, serta seluruh pihak yang turut terlibat serta mendukung penulisan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih belum dapat dikatakan sempurna
sehingga penulis juga membutuhkan masukan dan saran untuk pembelajaran bersama.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
3.4. Persiapan Cairan ................................................................................. 37
3.5. Pelaksanaan Operasi ........................................................................... 38
3.6. Post Operasi ........................................................................................ 42
BAB V PEMBAHASAN .......................................................................................... 43
BAB VI KESIMPULAN ........................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 48
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
injeksi anestesi lokal ke dalam atau di sekitar susunan saraf pusat (spinal, epidural, dan
CSE), dikatakan dapat menurunkan angka mortalitas sebanyak sepertiga pasien,
mengurangi komplikasi seperti morbiditas jantung, infeksi paru, emboli paru, gagal ginjal
akut, dan perdarahan dibandingkan dengan anestesi umum. Jika dibandingkan dengan
pemberian opioid parenteral, CSE mengendalikan nyeri post-operasi dan memperbaiki
mobilitas sendi lebih baik karena respon stres endokrin yang lebih minimal . Dengan
adanya kateter epidural, pemberian anestesi dan analgesik dapat diberikan rutin, sehingga
rehabilitasinya lebih cepat, mengurangi lamanya perawatan di rumah sakit, dan
mengurangi risiko deep vein thrombosis.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Anestesi spinal merupakan anestesi neuraxial yang menginjeksikan
anestesi lokal secara langsung ke dalam rongga intratekal / subarachnoid.5 Anestesi
epidural kontinu merupakan salah satu teknik anestesi neuraxial perioperatif yang
memiliki aplikasi lebih luas dibandingkan dengan anestesi spinal dosis tunggal,
yaitu dengan menyuntikkan agen anestesi ke dalam rongga epidural di antara
duramater dan ligamentum flavum, dapat dilakukan pada level lumbal, torakal, atau
servikal, namun yang tersering adalah level lumbal dengan pendekatan midline atau
paramedian. Teknik anestesi epidural digunakan untuk pembiusan pembedahan
secara luas, obstetri, kontrol nyeri post operasi, serta pengelolaan nyeri kronis,
dapat diberikan dalam dosis tunggal ataupun menggunakan kateter untuk bolus
intermiten dan atau kontinu, dengan onset sekitar 10-20 menit. Blok simpatetik,
sensorik, dan motoriknya tergantung pada dosis, konsentrasi, volume anestesi
lokal, dan level injeksi dari agen anestesi yang digunakan.6–8
2.2. ANATOMI
Punggung manusia terdiri dari tulang vertebra dan diskus intervertebralis,
terdapat 7 tulang servikal, 12 tulang torakal, 5 tulang lumbar, 5 sacrum yang
berfusi, serta coccygeus. Tulang belakang secara keseluruhan menjadi penopang
struktural dari tubuh dan memproteksi medulla spinalis, serta memfasilitasi
berbagai derajat mobilitas. Pada setiap level vertebra, saraf-saraf spinalis keluar
dari sistem saraf pusat. Badan setiap tulang belakang saling menyambung satu sama
lain karena diskus intervertebralis. Pada sisi ventral, corpus vertebralis dan diskus
intervertebralis disokong oleh ligamentum longitudinalis anterior dan posterior,
sedangkan pada sisi dorsal, strukur ligamentum flavum, ligamen interspinosus, dan
ligamen supraspinosus memberikan stabilitas tambahan. Dengan menggunakan
pendekatan midline, jarum akan menembus ketiga ligamen dorsalis ini, melalui
bukaan oval di antara lamina dan prosesus spinosus.6,8
3
Gambar 2.1. Anatomi vertebra manusia6
4
Gambar 2.2. Potongan sagital vertebra lumbar6
5
2.3. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Anestesi regional dapat digunakan sendiri maupun kombinasi dengan
anestesi umum pada mayoritas pembedahan di bawah leher. Sebagai anestesi
primer, anestesi regional sangat bermanfaat untuk pembedahan abdominal bawah,
inguinal, urogenital, rektal, dan ekstremitas bawah. Pembedahan pada bagian
abdomen atas dapat juga dilakukan di bawah anestesi epidural ataupun spinal,
namun akan menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien, karena itu teknik ini
tidak begitu banyak digunakan. Prosedur yang akan menganggu fungsi respirasi
biasanya dilakukan di bawah anestesi umum, dengan atau tanpa blokade neuraxial.6
Kontraindikasi absolut anestesi spinal dan epidural adalah penolakan
pasien, gangguan perdarahan, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial
(khususnya dengan adanya massa intrakranial), infeksi pada daerah injeksi, stenosis
aorta dan mitral berat.6
Kontraindikasi relatifnya meliputi sepsis atau bakteremia (berisiko
menimbulkan penyebaran agen infeksius secara hematogen ke rongga epidural atau
subarachnoid), pasien yang tidak kooperatif (contohnya pada pasien demensia,
psikosis, emosi tidak stabil, dan anak-anak), adanya defisit neurologis fokal dan
penyakit demielinisasi (berisiko memperburuk atau menimbulkan kerusakan saraf
baru), lesi katup jantung stenotik, kardiomiopati obstruktif hipertrofik (obstruksi
aliran darah dari ventrikel kiri), dan deformitas spinal berat. Anestesi epidural pada
pasien dengan gangguan katup jantung dapat dilakukan dengan aman jika
monitoring dan kontrol level anestesi secara ketat.6
Anestesi regional bersifat kontroversial pada pasien yang mempunyai bekas
luka pembedahan sebelumnya, pembedahan yang kompleks, lama, dan
menimbulkan perdarahan masif.6
6
2.4. PERALATAN DAN PERSIAPAN
Sebelum dilakukan tindakan anestesi epidural, perlu dilakukan persiapan sebagai
berikut6:
1. Mempersiapkan peralatan anestesi spinal dan epidural, yaitu
- Jarum spinal
Jarum spinal tersedia dengan berbagai jenis, jarum Quincke dengan ujung
tumpul sehingga mengurangi insidensi postdural puncture headache,
Whitacre dengan ujung tajam namun membulat, dan Sprotte dengan lubang
yang memanjang. Penggunaan jarum kecil mengurangi insidensi postdural
puncture headache, sedangkan jarum yang lebih besar memperbaiki sensasi
taktil saat meletakkan jarum.6,7
- Jarum epidural
Jarum epidural yang biasa digunakan adalah Tuohy needle dengan ukuran
17–18 gauge, sepanjang 3–3,5 inci (6 inci pada pasien obesitas), dan
memiliki bevel tumpul dengan lekukan 15-30° pada ujungnya. Lekukan ini
berfungsi untuk mencegah penetrasi ke dalam duramater, namun hanya
mendorongnya, serta berfungsi agar kateter naik ke atas dan tidak
menyebabkan dural puncture.
7
Gambar 2.4. Jarum epidural6
- Kateter epidural
Kateter epidural digunakan untuk infus kontinu ataupun bolus intermiten
intraoperatif dan atau post-operatif. Biasanya kateter berukuran 19–20
gauge dimasukkan ke dalam rongga epidural melalui jarum epidural 17–18
gauge sebanyak 2–6 cm ke arah cephal ataupun kaudal. Semakin pendek,
semakin rentan kateter tersebut untuk lepas, sedangkan semakin jauh,
semakin rentan untuk blok unilateral (karena ujungnya masuk ke dalam
rongga epidural melalui foramina intervertebralis atau menembus ke
anterolateral recesses dari rongga epidural). Jika sudah memasukkan
kateter dengan kedalaman yang diinginkan, lepaskan jarum epidural,
kemudian fiksasi pada bagian punggung.
8
Gambar 2.5. Kateter epidural9
Gambar 2.6. Posisi pasien dan tulang belakang untuk blok spinal dan epidural6
9
6. Managemen aseptik dari combined spinal epidural kit.
10
Gambar 2.8. Pendekatan midline6
11
spinal yang menyulitkan penusukan jarum pada pendekatan midline. Insersi jarum
juga lebih mudah dan tidak banyak masalah teknis, namun kekurangannya adalah
pendekatan ini lebih berisiko menyebabkan trauma vaskular karena vena-vena
epidural terletak pada lateral garis tengah. Manifestasi klinisnya berupa bloody
tap.11
12
2. Jika jarum sudah memasuki ligamen interspinosum, stilet dilepaskan
kemudian diberikan setetes larutan yang menggantung di ujung bukaan
jarum. Jarum ditusukkan lebih dalam dan larutan itu akan tetap
menggantung jika ujung jarum masih berada dalam struktur ligamen.
3. Ketika ujung jarum sudah mencapai rongga epidural, maka tetesan larutan
yang menggantung tersebut akan terhisap secara tiba-tiba karena adanya
tekanan negatif.
4. Beberapa klinisi lebih memilih teknik ini pada pendekatan paramedian dan
anestesi epidural pada level servikal.
13
tidak masuk ke intratekal dan pembuluh darah. Pengecekan pertama dilakukan
dengan mengaspirasi perlahan menggunakan spuit 3 mL dan dilihat apakah
terdapat cairan serebrospinal. Jika cairan serebrospinal teraspirasi, hal ini
menindikasikan posisi kateter epidural berada di rongga subarachnoid dan
harus direlokasi. Pengecekan kedua dilakukan dengan “test dose”, yaitu dengan
menginjeksikan lidokain 1,5% dengan epinefrin (1 : 200000) sebanyak 3 mL
dan dimonitor apakah terdapat peningkatan frekuensi nadi sebanyak 20-30 kali
per menit atau tekanan darah sistolik sebanyak 15-20 mmHg. Jika terdapat
peningkatan baik frekuensi nadi maupun tekanan darah sistolik, hal ini
menandakan bahwa kateter epidural berada di dalam pembuluh darah dan harus
prosedur harus diulangi.
14
Jarum spinal kemudian diinsersikan lebih dalam secara perlahan dengan
bevel sejajar midline sampai melewati dua kali resistensi, yaitu ligamentum
flavum dan membran dura-arachnoid. Stilet atau introducernya kemudian
dilepaskan dan perhatikan adanya aliran cairan serebrospinal. Jika belum ada
aliran cairan serebrospinal, dilakukan insersi beberapa milimeter dan dicek
pada seluruh kuadran. Jika masih belum ada, maka lepaskan jarum spinal dan
seluruh proses harus diulangi dari awal.
Jika cairan serebrospinal sudah didapati mengalir, sambungkan spuit
yang berisi agen anestesi spinal dengan dosis terapeutik, aspirasi, dan
injeksikan dengan kecepatan ± 0,2 mL/detik. Setelah injeksi sudah tuntas,
aspirasi 0,2 mL cairan serebrospinal kembali untuk konfirmasi ulang lokasi dan
injeksi agen anestesi yang tersisa di spuit.
Dapat pula diinsersikan kateter spinal ke dalam rongga subarachnoid
sebagai anestesi spinal kontinu bila diindikasikan.
15
Tabel 2.1. Barisitas agen anestesi spinal6
2. Posisi pasien.
Jika pasien dalam keadaan head up, larutan hiperbarik akan bergerak ke arah
kaudal dan larutan hipobarik ke arah cephalad. Sedangkan pada posisi head
down, larutan hiperbarik akan menyebar ke arah cephalad dan sebaliknya, ke
arah kaudal pada larutan hipobarik. Pada posisi lateral, larutan hiperbarik akan
berefek lebih tinggi pada bagian dependen / bawah, sedangkan larutan
hipobarik akan berefek lebih tinggi pada bagian independen / atas. Larutan
isobarik akan tetap berada pada level injeksi.
4. Lokasi injeksi.
Semakin cephalad lokasi injeksinya, semakin cephalad level anestesi yang
akan tercapai.
16
5. Usia.
Pada geriatri didapati adanya penurunan volume cairan serebrospinal sehingga
efek anestesinya akan lebih tinggi dengan dosis yang sama dengan yang
diberikan pada orang dewasa.
6. Cairan serebrospinal.
8. Volume obat-obatan.
Volume cairan serebrospinal berbanding terbalik dengan penyebaran
dermatomal anestesi spinal.
9. Tekanan intraabdomen.
Peningkatan tekanan intraabdomen atau kondisi yang menyebabkan
pembengkakan vena epidural, dapat menurunkan volume cairan serebrospinal,
sehingga penyebaran dermatomalnya juga lebih luas. Contohnya adalah pada
kehamilan, asites, dan tumor abdominal yang besar. Dosis anestesi spinal pada
pasien hamil akan dikurangi sebanyak sepertiga, khususnya pada blok yang
dimulai dari posisi lateral.
17
10. Arah jarum.
Level yang lebih tinggi akan dicapai bila injeksi diarahkan lebih ke arah
cephalad dibandinkan kaudal atau lateral.
18
mepivakain, dan kloroprokain lebih daripada pada bupivakain, levobupivakain,
etidokain, dan ropivakain. Selain itu, epinefrin mampu melambatkan absorpsi
vaskular dan menurunkan level agen anestesi dalam darah.
19
berupa short-, intermediate- atau long- acting, dosis tunggal ataupun menggunakan
kateter. Obat-obatan dengan onset singkat-sedang yang sering digunakan untuk
pembedahan adalah kloroprokain, lidokain, dan mepivakain, sedangkan untuk
onset lambat, terdapat bupivakain, levobupivakain, dan ropivakain. Obat-obatan
yang diinjeksikan hanya boleh yang tanpa pengawet, ataupun yang sudah diberi
label khusus. Jika ditambah dengan adjuvan seperti epinefrin, anestesi regional
untuk pembedahan dapat berdurasi 45 – 240 menit.6
Pemberian awal 1-2 mL bolus, kemudian diulangi melalui kateter pada
interval waktu yang tetap, atau jika bloknya mulai berkurang. Jika blok sudah mulai
berkurang, reinjeksikan agen anestesi sebanyak satu pertiga atau setengah dari
dosis awal.6
Kloroprokain, agen anestesi dengan bahan dasar ester, onset cepat, durasi
singkat, dan toksisitasnya rendah, dapat menganggu efek analgesik dari opoid,
berisiko menyebabkan cauda equina syndrome jika diinjeksikan intratekal, diduga
berhubungan dengan neurotoksisitas, serta menyebabkan nyeri punggung hebat
(karena hipokalsemia lokal).6,7
Lidokain yang berbahan dasar ester, digunakan sebagai agen anestesi
epidural pada konsentrasi 1,5% dan 2%. Mepivakain serupa dengan lidokain namun
memiliki durasi 15 sampai 30 menit lebih panjang. Epinefrin memperpanjang efek
lidokain dan mepivakain sebanyak 50%.
Bupivakain masih merupakan anestesi long-acting yang paling banyak
digunakan. Anestesi pembedahan dapat dicapai dengan bupivakain berkonsentrasi
0,5%, sedangkan untuk analgesik persalinan dan nyeri post-operasi dapat dicapai
dengan konsentrasi rendah (0,0625%). Dosis 0,75% tidak lagi digunakan untuk
sectio cesarea karena berkaitan dengan cardiac arrest pada injeksi intravena.6,7
Pemberian epinefrin dapat memperpanjang durasi kerja bupivakain sampai 240
menit.7
Penggunaan ropivakain mulai meningkat belakangan ini sebagai agen
anestesi epidural. Ropivakain digunakan dengan konsentrasi 0,5% –1% untuk
pembedahan dan 0,1–0,3% untuk analgesik. Pengaruh ropivakain terhadap
konduksi jantung dan frekuensi aritmia lebih rendah dibandingkan anestesi lokal
20
lain pada kadar toksisitas sistemik. Dibandingkan dengan bupivakain, ropivakain
dapat menyebabkan blok motorik yang minimal, namun memiliki blok sensorik
yang setara.6 Walaupun memang blok motoriknya lebih rendah dan durasi kerjanya
sedikit lebih pendek dibandingkan bupivakain.7
21
vasodilatasi dan pooling of blood di organ dalam dan ekstremitas bawah, sehingga
terjadi penurunan volume darah dan venous return ke jantung. Vasodilatasi arteri
menyebabkan berkurangnya resistensi vaskular sistemik. Vasodilatasi arteri, bila
disertai dengan venous pooling dan bradikardia dapat menyebabkan hipotensi. Hal
ini dapat diatasi dengan mengubah posisi pasien menjadi head-down, memberikan
cairan intravena bolus sebanyak 5-10mL/kg, atropin untuk mengatasi bradikarida,
vasopresor untuk mengatasi hipotensi, efedrin untuk meningkatkan frekuensi
denyut dan kontraktilitas jantung serta vasokonstriksi. Dapat juga diberikan
epinefrin 2-5 µg bolus untuk mengatasi hipotensi.
Efek terhadap paru biasanya minimal karena diafragma dipersarafi oleh
nervus phrenicus, yang berasal dari C3-C5. Walaupun dilakukan blok pada level
torakal yang tinggi, volume tidal tidak berubah. Hanya ada sedikit penurunan
kapasitas vital karena tidak lagi ada kontribusi otot-otot abdomen dalam forced
expiration.
Blok simpatis dan dominansi dari tonus vagal menghasilkan lambung yang
berkontraksi dengan peristaltik yang aktif. Hal ini dapat meningkatkan kondisi
operatif saat laparoskopi (sebagai adjuvan pada anestesi umum).
Fungsi dan peredaran darah ginjal tidak begitu berubah sedangkan blok
otonom dapat menyebabkan retensi urin.
Trauma pembedahan dapat menyebabkan aktivasi serabut-serabut saraf
aferen viseral dan somatik, yang kemudian meningkatkan hormon
adrenokortikotropik, kortisol, epinefirn, norepinefrin, vasopressin, serta aktivasi
renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS). Hal ini bermanifestasi sebagai
hipertensi, takikardi, hiperglikemia, katabolisme protein, supresi respon imun, dan
terganggunya fungsi ginjal. Blok epidural bermanfaat untuk mengurangi atau
memblok sama sekali respon stress akibat pembedahan ini.
22
2.9. KOMPLIKASI
Tabel 2.4. Komplikasi anestesi neuroaxial6
23
sensitivitas yang tidak biasa. Keluhan berupa dyspnea, mati rasa atau
kelemahan pada ekstremitas atas, nausea, hipotensi, bradikardi, dan
insufisiensi repiratori. Hal ini terjadi karena high spinal, dimana blok
menyebar sampai batas yang lebih tinggi dan dapat disebut total spinal jika
memengaruhi saraf-saraf kranialis. Anestesi epidural juga dapat
menyebabkan komplikasi ini jika tidak sengaja memasukkan obat secara
intratekal. Tatalaksana dengan mempertahankan airway, ventilasi, dan
sirkulasi, dapat dilakukan intubasi bila diperlukan. Berikan cairan
intravena, head-down, dan vasopresor bila terjadi hipotensi, atropin untuk
bradikardi, efedrin atau epinefrin untuk meningkatkan frekuensi nadi dan
tekanan darah arteri.
b. Cardiac Arrest
Dapat terjadi karena hipoksia dan hipoventilasi yang tidak disadari, respon
vagal yang tidak teridentifikasi, serta berkurangnya preload.
c. Retensi Urin
Anestesi lokal pada serabur-serabut saraf S2-S4 dapat menurunkan tonus
kantung kemih dan menghambat refleks berkemih. Opioid epidural juga
dapat mengganggu berkemih yang normal.
b. Injeksi intravaskular
Tingginya kadar agen anestesi dalam darah dapat berefek pada sistem saraf
pusat (kejang dan ketidaksadaran) dan kardiovaskular (hipotensi, aritmia,
depresi kontraktilitas). Komplikasi ini lebih terlihat pada anestesi epidural
24
atau kaudal dibandingkan spinal, karena pada spinal obat yang diinjeksikan
lebih sedikit. Hal ini dapat dicegah dengan mengaspirasi jarum atau kateter
sebelum injeksi, melakukan test dose, dan monitoring ketat tanda-tanda
awal injeksi intravaskular (tinnitus, sensasi lingual). Tatalaksana dengan
resusitasi dan pemberian lipid.
d. Injeksi subdural
Rongga subdural adalah ruang kecil di antara duramater dan arachnoid,
berisi cairan serosa, dan secara anatomis meluas sampai intrakranial. Pada
epidural, injeksi subdural ditandai dengan gejala-gejala yang mirip dengan
high spinal anesthesia, onset melambat 15-30 menit, dan bloknya bisa
menjadi “patchy”. Efek berlangsung selama satu sampai beberapa jam.
e. Nyeri punggung
Trauma jaringan, memar, dan inflamasi lokal dengan atau tanpa spasme otot
karena penusukan jarum melalui kulit, jaringan subkutan, otot, dan ligamen.
Tatalaksana dengan memberikan acetaminophen, NSAID, dan kompres
panas atau dingin.
25
Nyeri kepala dapat dialami bilateral, frontal atau retroorbital, atau
oksipital, dan meluas sampai leher. Dapat berdenyut atau konstan, terdapat
fotofobia dan nausea.
Posisi duduk atau berdiri dapat memperburuk PDPH, sedangkan
berbaring memperingan PDPH.
Faktor risiko PDPH adalah usia lebih muda, jenis kelamin
perempuan, dan kehamilan.
Tatalaksana dengan posisi recumbent/supine sehingga tekanan
hidrostatik turun, menarik cairan keluar, dan mengurangi nyeri kepala;
pemberian analgesik mulai dari acetaminophen, NSAID, dan opioid; hidrasi
dan kafein dapat membantu menstimulasi produksi cairan serebrospinal;
pelunak kotoran dan soft diet untuk mengurangi mengejan. Dapat pula
dilakukan epidural blood patch dengan menginjeksikan 15-20 mL darah
autologus ke dalam rongga epidural, pada satu atau dua interspace dibawah
lokasi dural puncture, diduga dapat menghambat bocornya cairan
serebrospinal.
g. Trauma neurologis
Parestesi atau keluhan nyeri saat jarum atau kateter dimasukkan,
percobaan berkali-kali merupakan faktor risiko trauma neurologis.
Injeksi langsung ke medulla spinalis dapat menyebabkan
paraplegia, pada conus medullaris dapat menyebabkan disfungsi saraf
sakralis terisolasi (paralisis otot bisep femoralis, anestesi di paha bagian
belakang, saddle area, jari-jari kaki, hilangnya fungsi berkemih atau buang
air besar).
26
i. Meningitis dan arachnoditis
Kontaminasi peralatan atau obat-obatan yang diinjeksikan, atau infeksi oleh
organisme di kulit.
j. Abses epidural
Biasanya terjadi karena kateter epidural, dengan rata-rata 5 hari dari insersi
kateter sampai munculnya gejala dengan 4 tahap, yaitu 1) nyeri punggung
atau vertebra yang diperberat dengan perkusi, 2) nyeri menjalar/radikular,
3) defisit motorik dan atau sensorik, atau disfungsi sphincter, 4) paraplegia
atau paralisis. Tatalaksana dengan segera mencabut kateter, kultur pus
untuk identifikasi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis,
memberikan antibiotik, dan dekompresi (laminektomi).
27
BAB III
STATUS PASIEN
3.2. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 24 Maret 2022 di Paviliun Eri Soedewo Lantai 5
Kamar 152 RSPAD Gatot Soebroto.
Keluhan Utama
Nyeri pada lutut kanan sejak sekitar 3 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Pasien menyangkal adanya sesak napas, pusing, dan mual muntah. Pasien juga
menyangkal adanya demam, sakit tenggorok, dan nyeri menelan. Tidak ada gigi
goyang dan gigi palsu.
28
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien memiliki riwayat hipertensi.
- Pasien memiliki riwayat diabetes.
- Pasien menyangkal adanya riwayat asma, gangguan perdarahan, penyakit
jantung, paru, ginjal, dan hati.
Riwayat Alergi
Pasien memiliki riwayat alergi ikan dan udang, namun tidak kepada obat-obatan
ataupun kontak.
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok dan tidak meminum alkohol.
Riwayat Keluarga
Kakak pasien menderita Osteoarthritis Genu dan pernah dilakukan Total Knee
Replacement.
29
3.3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 24 Maret 2022 di Paviliun Eri Soedewo
Lantai 5 Kamar 152 RSPAD Gatot Soebroto.
Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 150/90 mmHg
b. Frekuensi Nadi : 80 kali per menit
c. Frekuensi Napas : 20 kali per menit
d. Suhu Tubuh : 36°C
e. Skala Nyeri : Visual analogue scale (VAS) 2/10
Status Generalis
a. Kepala
Normocephali, pupil isokor, konjungtiva tidak anemis, dan sklera tidak
ikterik.
b. Mulut, Tenggorok
Pembukaan mulut 3 jari, tidak ada nyeri saat membuka mulut, palatum
molle tidak terlihat (Mallampati score 4).
c. Leher
Jarak hyomental 3 jari, jarak thyrohyoid 2 jari, tidak ada perbesaran kelenjar
getah bening, tidak teraba massa, tidak ada retraksi otot pernapasan
aksesori. Mobilitas leher (+) kuat.
30
d. Toraks
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding toraks simetris kanan dan kiri, tidak ada
retraksi otot pernapasan aksesorius.
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri simetris.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : Vesicular breathing sound pada kedua lapang paru, tidak
ada ronkhi, tidak ada wheezing, tidak ada suara napas tambahan lainnya.
Cor
Inspeksi : Tidak tampak punctum maximum.
Palpasi : Tidak teraba punctum maximum.
Perkusi : Kesan tidak ada pembesaran jantung.
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan bunyi jantung 2 regular, tidak ada
murmur, tidak ada gallop.
e. Abdomen
Inspeksi : Terdapat bekas luka operasi.
Auskultasi : Bising usus (+).
Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa, tidak ada
hepatosplenomegali.
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen.
f. Ekstremitas
Akral hangat, tidak ada edema, capillary refill time kurang dari 2 detik.
g. Punggung
Tidak ditemui adanya kelainan postur, tanda-tanda abnormalitas tulang
punggung seperti kifosis dan skoliosis, hambatan pergerakan, tanda-tanda
trauma, jaringan parut, perubahan warna, serta infeksi pada daerah kulit.
31
3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
HEMATOLOGI
Hematokrit 42 37 – 47%
MCV 83 80 - 96 fL
MCH 28 27 - 32 pg
MCHC 34 32 - 36 g/dL
KIMIA KLINIK
mL/menit/1.73 m²
32
Analisa Gas Darah :
- pH 7.530* 7.37 - 7.45
- pCO2 31.1* 33 - 44 mmHg
- pO2 96.5 71 - 104 mmHg
- Bikarbonat 26.2 22 - 29 mmol/L
(HCO3) 4.6 (-2) - 3 mmol/L
- Kelebihan Basa 98.0 94 - 98%
(BE)
- Saturasi O2
KOAGULASI
Radiologi Toraks
- Jantung tidak membesar.
- Aorta dan Mediastinum superior tidak melebar.
- Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal.
- Corakan bronkovaskular kedua paru baik.
- Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapangan paru.
- Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip.
- Tulang-tulang kesan intak.
33
3.9. KESIMPULAN
Pasien Ny. TKH / Ny. R, berusia 58 tahun, datang dengan keluhan nyeri lutut kanan
jika dipakai berjalan atau beraktivitas sejak sekitar 3 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Pasien memiliki diagnosis bedah Osteoarthritis Genu Dextra grade IV
dengan rencana pembedahan Total Knee Replacement. Status fisik ASA II dengan
rencana teknik anestesi regional dengan anestesi CSE.
34
BAB IV
LAPORAN ANESTESI
35
3. Ruang Operasi
a. Pasien memasuki kamar operasi, lalu diposisikan supine di meja operasi
untuk pemasangan alat-alat monitoring. Setelah terpasang, pasien
diposisikan lateral dekubitus untuk tindakan CSE.
b. Pemasangan alat-alat monitoring berupa manset tensimeter, pulse oxymeter,
dan EKG.
c. Penilaian tanda-tanda vital pra-operatif.
36
4.3. PERSIAPAN OBAT
Persiapan obat meliputi obat-obatan koinduksi, induksi, dan obat-obatan lainnya.
1. Ropivacaine HCl 0,75%, sebanyak 15 mL (112,5 mg) sebagai agen anestesi
epidural.
2. Morfin 1 mg/mL sebanyak 2 mL sebagai agen anestesi bersama dengan
ropivacaine.
3. Lidocaine 2% sebanyak 2 mL sebagai anestesi lokal.
4. Marcain Spinal 0,5% (5 mg/mL) sebanyak 2,5 mL dan fentanyl 50 µg/mL
sebanyak 25 µg sebagai agen anestesi spinal.
5. Epinephrine 1 mg/mL sebanyak 0,1 mg dilarutkan dalam 20 mL NaCl, diambil
2 mL digunakan untuk test dose.
6. Ondansetron, merupakan antagonis reseptor 5HT3 pada chemoreceptor
triggering zone (CTZ) dan nervus vagus. Dosis ondansetron yaitu 4 – 8 mg.
Pasien diberikan ondansetron 4 mg intravena.
7. Midazolam sebanyak 2 mg sebagai anti ansiolitik.
8. Ephedrine 5 mg/mL sebanyak 10 mL untuk mengatasi hipotensi.
9. Ceftriaxone 2 gram intravena sebagai antibiotik profilaksis.
10. Ranitidin sebanyak 50 gram untuk mengurangi produksi asam lambung.
11. Ketolorac sebanyak 30 gram sebagai pereda nyeri dan inflamasi.
37
1. Kebutuhan Cairan Rumatan Kebutuhan cairan rumatan (M) dihitung dengan
Holliday–Segar 4 : 2 : 1 rule =
2. Defisit Puasa
Defisit puasa (F) = kebutuhan cairan rumatan x lama puasa dalam jam = 104
ml/jam x 6 jam = 624 mL
38
1. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda Vital :
a. Tekanan darah : 172/80 mmHg
b. Frekuensi nadi : 74 kali per menit
c. Frekuensi napas : 18 kali per menit
d. Suhu tubuh : 36°C
e. Saturasi O2 : 100%
Pukul 13.15
1. Pasien diposisikan dalam keadaan tidur, miring ke kanan, badan meringkuk,
kemudian dibuat garis imajiner antara krista iliaka kanan dan kiri setinggi L3-
L4 dan diberi tanda menggunakan kuku. Daerah yang telah diberi tanda di-
disinfeksi menggunakan betadine dan alkohol.
2. Dilakukan anestesi lokal pada daerah yang telah ditandai menggunakan
lidokain 2% sebanyak 2 mL atau 40 mg.
3. Dilakukan penusukan jarum epidural di median setinggi L3-L4 secara perlahan-
lahan hingga terasa resistensi ligamentum flavum, lepaskan stilet, pasangkan ke
spuit 20 mL dan dilakukan tes “loss of resistance” dengan mendorong udara
terus-menerus sambil jarum epidural dimasukkan sedikit demi sedikit. Hasil
positif (udara masuk) menandakan posisi jarum sudah berada di rongga
epidural.
4. Langkah selanjutnya adalah memasukkan jarum spinal melalui jarum epidural
yang sudah terpasang, kemudian diamati apakah terdapat cairan serebrospinal
yang menetes keluar dari jarum spinal. Hal ini menandakan bahwa posisi jarum
spinal sudah benar berada di rongga subarachnoid. Namun, pada pasien ini,
tidak didapati adanya penetesan cairan serebrospinal. Karena itu diputuskan
dilakukan anestesi epidural murni untuk tindakan TKA pada pasien ini.
5. Diinjeksikan Epinephrine yang dilarutkan dalam NaCl untuk mengecek apakah
jarum epidural memasuki pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan
frekuensi nadi.
39
6. Diinjeksikan Marcain spinal 0,5% dicampur dengan fentanyl sebanyak 3 mL
untuk mengecek apakah jarum epidural memasuki rongga subarachnoid yang
ditandai dengan terjadinya blok simpatik, sensorik, dan motorik pada separuh
badan kanan.
7. Kateter epidural dipasang melalui jarum epidural ke dalam rongga epidural,
diinsersikan sepanjang ± 10 cm.
8. Kateter epidural kemudian dihubungkan dengan spuit dan dilakukan aspirasi
untuk memastikan tidak ada darah ataupun cairan serebrospinal.
9. Jika sudah yakin bahwa jarum epidural tidak memasuki pembuluh darah
ataupun rongga subarachnoid, maka obat injeksi epidural Ropivacaine 0,75%
sebanyak 15 mL dan Morfin 2 mg dapat dimasukkan secara perlahan melalui
kateter epidural.
Pukul 13.25
1. Menyuntikkan Ropivacaine 0,75% sebanyak 15 mL dan Morfin 2 mg ke dalam
melalui kateter epidural.
2. Menunggu onset of action obat selama 20-30 menit.
Pukul 13.30
1. Pemberian Ondansetron sebanyak 4 mg melalui intravena sebagai anti mual dan
muntah
2. Pemberian Midazolam sebanyak 2 mg melaui intravena sebagai anti ansiolitik
3. Pemberian Efedrin sebanyak 5 mg, kemudian diulangi 5 menit kemudian
sebanyak 5 mg melalui intravena untuk mencegah terjadinya hipotensi.
Pukul 13.45
1. Tindakan Total Knee Replacement dimulai.
2. Monitor : (1) tekanan darah 110/70 mmHg, (2) frekuensi nadi 97 kali per menit,
(3) saturasi O2 100%.
40
Tabel 4.1. Monitoring tanda-tanda vital durante operasi
Pukul Monitor
Tekanan Darah Frekuensi Nadi Saturasi O2 (%)
(mmHg) (kali per menit)
13.50 120/70 90 100
13.55 118/72 98 100
14.00 120/70 98 100
14.05 120/70 99 100
14.10 120/70 98 100
14.15 120/70 99 100
14.20 120/70 98 100
14.25 120/70 99 100
14.30 120/70 99 100
14.35 130/90 108 100
14.40 128/82 100 100
14.45 130/83 98 100
14.50 127/83 95 100
14.55 130/83 100 100
15.00 130/82 98 100
15.05 128/82 100 100
15.10 127/83 97 100
15.15 128/82 98 100
15.25 128/83 96 100
15.30 129/82 98 100
15.35 130/82 97 100
15.40 128/83 98 100
Pukul 15.20
1. Pemberian Ranitidin sebanyak 50 mg melalui intravena untuk mengurangi
produksi asam lambung.
2. Pemberian Ketolorac sebanyak 30 mg melalui intravena sebagai pereda nyeri
dan inflamasi.
3. Monitor : (1) tekanan darah 130/82 mmHg, (2) frekuensi nadi 98 kali per menit,
(3) saturasi O2 100%.
Pukul 15.45
1. Pembedahan selesai.
2. Lama pembedahan : 2 jam
41
3. Monitor : (1) tekanan darah 128/82 mmHg, (2) frekuensi nadi 95 kali per menit,
(3) saturasi O2 100%.
Pukul 15.50
1. Lama pembiusan : Diatas 2 jam 25 menit
2. Jumlah cairan masuk : 1000 mL
3. Jumlah perdarahan : ± 500 mL
4. Jumlah urine : ± 100 mL
5. Melepas alat-alat monitor.
6. Memindahkan pasien ke ruang pemulihan.
42
BAB V
PEMBAHASAN
43
Gambar 5.1. Posisi insersi jarum spinal melalui jarum epidural15,16
44
Gambar 5.2. Garis imajiner untuk menentukan level anestesi6
Agen anestesi epidural yang paling baik digunakan untuk saat ini adalah
ropivakain. Walaupun ropivakain memiliki efek blok motorik yang lebih rendah, onset
lebih lambat, dan durasi kerja lebih pendek, namun toksisitas sistem saraf pusat dan
kardiotoksisitasnya lebih rendah dibandingkan bupivakain. Durasi blok motorik yang
lebih pendek dari ropivakain memiliki keuntungan tersendiri, yaitu mobilisasi pasien
setelah operasi ortopedik menjadi lebih cepat pula. Ropivakain 0,5% memiliki kualitas
17–19
dan durasi efek sensorik yang setara dengan bupivakain 0,5%. Pada pasien,
digunakan ropivakain 0,75% yang sudah sesuai dengan teori.
Dosis ropivakain yang lazim digunakan untuk tindakan pembedahan adalah
sediaan dengan konsentrasi di antara 0,5%–1%. Agen anestesi Ropivacaine 0,75%
sebanyak 15 mL dan Morfin 2 mg diinjeksikan pada pasienini dan dalam waktu 20 menit,
pasien sudah tidak dapat menggerakkan ataupun merasakan nyeri di kakinya sehingga
pembedahan dapat dimulai. Efek ropivakain masih ada sampai setelah pasien memasuki
ruang pemulihan, yaitu melebihi 2 jam 25 menit yang merupakan lamanya pembedahan.
Dosis ropivakain yang digunakan pada pasien ini sudah sesuai dan tepat dengan hasil
45
yang dapat diprediksi oleh tinjauan pustaka, yaitu onset yang lambat, serta blok sensorik
dan motorik yang baik pada konsentrasi tersebut.6
Komplikasi yang mungkin terjadi pada CSE dapat berkaitan dengan efek
berlebihan terhadap obat-obatan anestesi, insersi jarum spinal dan epidural, ataupun
toksisitas obat. Sebagian besar komplikasi terjadi karena injeksi intravaskular, barisitas
dan dosis pemberian yang tidak sesuai, kontaminasi peralatan, obat-obatan, atau infeksi
kulit, serta pelaksanaan teknik yang tidak benar. Pada pasien ini tidak ditemui ada
komplikasi apapun, karena telah dilakukan pengecekan berkali-kali terkait kemungkinan
adanya injeksi intravaskular, namun pada pasien tidak terjadi. Selain itu, barisitas dan
dosis diperhitungkan dengan baik, sterilitas dipertahankan, serta teknik yang digunakan
sudah sesuai dengan pedoman pelaksanaan.6
Jumlah allowable blood loss yang diperkirakan terjadi adalah 1783 mL,
sedangkan pada pelaksanaannya, jumlah perdarahan yang keluar hanya sekitar 500 mL,
sehingga pemberian transfusi darah tidak diperlukan. Cairan koloid atau kristaloid terus
diberikan untuk mempertahankan volume intravaskular tetap normal sampai jumlah
perdarahan melebihi dari allowable blood loss, yang mengindikasikan kebutuhan
transfusi darah. Selain itu, kehilangan darah pada pasien tidak mencapai 20% estimated
blood volume, yaitu 832 mL, yang mendukung keputusan bahwa transfusi darah belum
dibutuhkan. Jika kehilangan darah sudah sampai 20% estimated blood volume dengan
gejala hipotensi, takikardi, dan penurunan tekanan vena sentral, pemberian transfusi darah
dapat dipertimbangkan dengan memperhatikan keadaan umum, kadar hemoglobin dan
hematokrit, usia, jumlah cairan yang sudah diberikan, dan keadaan hemodinamik.
Pemberian cairan isotonis Ringer lactate perioperatif sebanyak 1000 mL sebagai
kebutuhan cairan rumatan, penggantian defisit puasa, perdarahan, dan urin yang keluar
pada pasien merupakan pilihan yang tepat dan aman. Adapun kelebihan cairan dapat
menyebabkan edema jaringan yang dapat menganggu transpor oksigen, penyembuhan
luka, dan fungsi bowel. 6,20
46
BAB VI
KESIMPULAN
47
DAFTAR PUSTAKA
2. Young Park W, Thompson JS, Lee KK. Effect of Epidural Anesthesia and Analgesia
on Perioperative Outcome. Ann Surg. 2001 Oct;234(4):560–71.
4. Corbett KL, Reichmann WM, Katz JN, Beagan C, Corsello P, Ghazinouri R, et al. One-
Day vs Two-Day Epidural Analgesia for Total Knee Arthroplasty (TKA): A
Retrospective Cohort Study. Open Orthop J. 2010 Jan 19;4:31–8.
5. Olawin AM, Das JM. Spinal Anesthesia. StatPearls Publishing; 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537299/
6. Butterworth JF, Wasnick JD, Mackey DC. Morgan and Mikhail’s Clinical
Anesthesiology, 6th edition. McGraw-Hill Education; 2018. 1408 p.
7. Gropper MA, Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, Cohen NH, et
al. Miller’s Anesthesia, 2-Volume Set E-Book. Elsevier Health Sciences; 2019. 3490
p.
9. O’Donohoe PB, Pandit JJ. Physiology and pharmacology of spinal and epidural
anaesthesia. Surgery - Oxford International Edition. 2012 Jul 1;30(7):317–9.
11. Sohail B, Haq I ul, Ameer K, Iqbal R, Adnan A. COMPARISON OF MEDIAN AND
PARAMEDIAN TECHNIQUES OF SPINAL ANAESTHESIA. PAFMJ. 2011 Jun
30;61(2):199–203.
12. Field RS, Segal BS. Epiduralanesthesia. In: Vacanti C, Sikka P, Urman R, Segal S,
editors. Essential Clinical Anesthesia. Cambridge: Cambridge University Press; 2011.
p. 349–55. Available from: https://www.cambridge.org/core/books/essential-clinical-
anesthesia/epiduralanesthesia/CB6400CFAFBF5074610B2FE5178641F1
13. Local and Regional Anesthesia: Overview, Indications, Contraindications. 2022 Mar
15; Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1831870-overview#a1
48
14. Doo AR, Shin YS, Choi J, Yoo S, Kang S, Son J. Failed dural puncture during needle-
through-needle combined spinal–epidural anesthesia: a case series. J Pain Res. 2019
May 17;12:1615–9.
18. McGlade DP, Kalpokas MV, Mooney PH, Buckland MR, Vallipuram SK, Hendrata
MV, et al. Comparison of 0.5% ropivacaine and 0.5% bupivacaine in lumbar epidural
anaesthesia for lower limb orthopaedic surgery. Anaesth Intensive Care. 1997
Jun;25(3):262–6.
19. Merson N. A comparison of motor block between ropivacaine and bupivacaine for
continuous labor epidural analgesia. AANA J. 2001 Feb;69(1):54–8.
49