Anda di halaman 1dari 59

ANESTESI UMUM PADA BREAST CA

Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam


menjalani kepaniteraan klinik senior di SMF Anestesi
RSUD Dr. Pirngadi Medan

Disusun Oleh :

Adlin Firdaus (71170891111) FK UISU


Cici Afriani (71170891133) FK UISU
Dinda Syafnizar (71170891142) FK UISU
Safridawati Matondang (71170891225) FK UISU
Tina Syahfitri (71170891431) FK UISU
Vony Safitri (71170891243) FK UISU

Dokter Pembimbing:

dr. Ade Winata, Sp. An

SMF ANESTESI
RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini guna
memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Anestesi
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dengan judul “Anestesi Umum Pada
Breast Ca”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ade
Winata, Sp. An yang telah memberikan bimbingan dan arahannya dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Anestesi Rumah Sakit
Umum Dr. Pirngadi Medan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus
ini memiliki banyak kekurangan baik dari kelengkapan teori maupun penuturan
bahasa, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat memberi
manfaat dan menambah pengetahuan serta berguna di masa depan dalam
mengimplementasikan ilmu kedokteran dalam praktek di masyarakat.

Medan, 06 April 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 2
ANESTESI
2.1 Definisi Anestesi .......................................................................................... 2
2.2 Klasifikasi Anestesi ..................................................................................... 2
2.3 Anastesi Umum ........................................................................................... 4
2.4 Stadium Anestesia ....................................................................................... 7
2.5 Klasifikasi Status Fisik ............................................................................... 7
2.6 Persiapan Anestesi dan Premedikasi......................................................... 7
2.6.1 Preoperatif ......................................................................................... 8
2.6.2 Intraoperatif ...................................................................................... 14
2.6.3 Postoperatif ....................................................................................... 22
2.7 Intubasi Endotrakeal .................................................................................. 23
BREAST CA
2.8 Payudara .................................................................................................... 28
2.8.1 Anatomi Payudara… ...................................................................... 28
2.8.2 Fisiologi Payudara…....................................................................... 29
2.9 Definisi Breast Ca ...................................................................................... 30
2.10 Faktor Risiko ............................................................................................. 30
2.11 Klasifikasi Kanker Payudara ................................................................... 31
2.12 Derajat dan Stadium ................................................................................ 33
2.13 Pemeriksaan Payudara… ......................................................................... 37
2.14 Penatalaksanaan….................................................................................... 38
BAB III LAPORAN ANESTESI ..................................................................... 42
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 56

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker payudara merupakan kanker tersering pada perempuan (22% dari


semua kasus baru kanker padaa perempuan) dan menjadi penyebab utama
kematian akibat kanker di dunia (14% dari semua kematian kanker perempuan).

Anastesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara
yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat
anastesia. Tonsilektomi merupakan salah satu prosedur pembedahan. Setiap pasien
yang akan dilakukan untuk tindakan pembedahan maupun tindakan diagnostik pasti
akan mengalami stres psikologis dan nyeri akibat penyakit yang dideritanya, kecuali
pasien tidak sadar. Disamping itu, tidak jarang pasien tersebut juga menderita
penyakit sistemik lain. Oleh karena itu dokter anestesiologi dituntut untuk dapat
menanggulangi hal tersebut.7

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi


Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible).Pada tindakan anastesi umum
terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah anastesi umum dengan
teknik intervenaanastesi dan anastesi umum dengan inhalasi yaitu dengan
face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan
endotracheal tube atau dengan teknik gabungan keduanya yaitu inhalasi dan
intravena.6

2.2 Klasifikasi Anestesi


A. Anestesi Lokal
Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi
atau blokade lorong natrium pada dinding saraf, jika digunakan pada
saraf sentral atau perifer.6
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan
besar, yaitu golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini
direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan
ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudokolinesterase di
plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi
enzimatis di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya
kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan dari p-
amino-benzoic acid memiliki frekuensi kecenderungan alergi lebih
besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk
golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah
lidokain dan bupivakain11.

2
Prokain Lidokain Bupivikain
Golongan Ester Amide Amide
Mula Kerja 2 menit 5 menit 15 menit
Lama Kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 menit
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis Maksimal (mg/kgBB) 12 6 2
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10
Tabel 2.2.1 Obat Anestesi Lokal
Sumber: Jurnal Anestesi Indonesia ( Samodro dkk, 2011)

B. Anestesi Regional
Anestesia atau analgesia regional adalah tindakan analgesia yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal pada lokasi
serat saraf yang menginervasi region tertentu, yang menyebabkan
hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.7
Berdasarkan pembagian regionya, anestesia regional terbagi
menjadi 2, yaitu:6
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal,
epidural, dan kaudal.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler,
analgesia regional intravena, dan lain-lainnya.

C. Anestesi Umum
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu
keadaan dimana hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya
perasaan sakit di seluruh tubuh akibat pemberian obat-obatan anestesi
dan bersifat reversible. Anestesi umum juga menyebabkan amnesia
yang bersifat anterogard, yaitu hilangnya ingatan saat dilakukan
pembiusan dan operasi sehingga saat pasien sudah sadar ,pasien tidak

3
mengingat peristiwa pembedahan atau pembiusan yang baru saja
dilakukan.
Anestesia umum mempunyai tiga pilar yang disebut “trias
anestesi” meliputi: hipnotik atau sedatif, yaitu membuat pasien
tertidur atau mengantuk/tenang, analgesia atau tidak merasakan sakit,
dan relaksasi otot, yaitu kelumpuhan otot skelet. Anestesia umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.10

2.3 Anestesi Umum


Pada pemberian anestesi umum dikenal istilah The Ten Goldens Rules
Of Anesthesia atau “10 Peraturan dalam Pembiusan Umum” yaitu:
1. Do an adequate Preoperative Assesement atau penilaian pasien
sebelum dilakukan pembedahan dan pembiusan. Penilaian ini
kemudian dinyatakan status ASA (American Society of
Anesthesiologist).
2. Strave Him. Pasien yang mendapatkan pembiusan, sedapat mungkin
dilakukan dalam keadaan lambung kosong. Hal ini bertujuan
meminimalisasi kejadian aspirasi lambung atau regurgitasi.
3. Put him on Tiping Table. Pasien yang akan dilakukan pembedahan
selanjutnya dibaringkan pada meja operasi yang datar dan cukup keras
sehingga mudah dalam pemantauan, walaupun kadang terdapat
beberapa posisi tertentu yang memudahkan operator bekerja.
4. Check your Machine and Cylinder Before You Start. Ahli anestesi
harus selalu mengecek mesin anestesi, apakah ada kebocoran gas-gas,
apakah ukuran pipa sesuai untuk anak atau dewasa, dan apakah tabung
gas terisi penuh atau kurang sehingga tidak membahayakan pasien
yang dianestesi.
5. Keep An Instantly suction. Sediakan selalu mesin pengisap lendir dan
cairan untuk berjaga-jaga apabila terjadi aspirasi atau muntah.

4
6. Keep His Airway Clearly. Saluran napas bersih dan tidak terhalang
akan memudahkan untuk dilakukan tindakan pemberian bantuan
pernapasan.
7. Be Ready to Control His Ventilation. Petugas harus selalu siap
memberikan bantuan pernapasan apabila terjadi henti napas atau napas
tidak adekuat.
8. Have Open Veins. Akses vena harus selalu tersedia karena banyak
obat atau anestetik diberikan lewat jalur vena.
9. Check His Pulse and Blood Pressure. Denyut nadi dan tekanan darah
harus selalu dimonitor, dapat secara palpasi manual, atau dengan
mesin monitor tanda vital.
10. Always Have Someone Who Can Apply Cricoid Pressure.Petugas
harus selalu didampingi petugas lainnya untuk membantu menekan
tulang krikoid sehingga memudahkan untuk intubasi.10

2.4 Stadium Anestesi


Guedel (1920) membagi anastesi umum dengan eter dalam 4 stadium,
sedangkan stadium ke-3 dibedakan lagi atas 4 plana.10
1. Stadium I (Analgesia).
Stadium analgesi di mulai sejak pemberian anastetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri
(analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti perintah.
Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan pembedahan ringan seperti
mencabut gigi dan biopsi kelenjar. Stadium berakhir ditandai oleh
adanya reflek bulu mata.
2. Stadium II ( Eksitasi)
Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai munculnya
pernapasan yang ireguler, pupil melebar dengan reflek cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi,
serta diakhiri dengan menghilangnya reflex menelan dan kelopak
mata.

5
3. Stadium III (Pembedahan)
Stadium III dimulai dengan teibulnya kembali pernapasan yang teratur
dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang.
 Plana 1: Pernapasan teratur, spontan dan seimbang antara
pernapasan dada dan perut, gerakan bola mata terjadi diluar
kehendak, miosis, reflek cahaya ada, lakrimasi meningkat, reflek
faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot
sempurna
 Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, pupil
mata melebar, reflek cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang, dan refleks laring hilang sehingga pada tingkat ini dapat
dilakukan intubasi.
 Plana 3: Pernapasan perut lebih nyata dari pernapasan dada
karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada,
relaksasi otot rangka hampir sempurna, pupil lebih lebar tetapi
belum maksimal, reflek laring dan peritoneum tidak ada.
 Plana 4: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostal lumpuh total, pupil sangat lebar dan refleks cahaya
hilang, reflek sfingter ani dan kelenjar lakrimasi tidak ada, serta
relaksasi otot lurik sempurna
4. Stadium IV (Paralisis Medula Oblongata)Stadium ini dimulai
dengan melemahnya pernapsan perut dibanding stadium III plana 4,
tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan
jantung berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul
kematian, kelumpuhan napas di sini tidak dapat diatasi dengan
pernapasan buatan, bila tidak didukun oleh alat bantu napas dan
sirkulasi.

6
2.5 Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal
dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai
berikut :
ASA 1 : Pasien tanpa disertai penyakit sistemik
ASA 2 : Pasien dengan penyakit sistemik ringan
ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik yang berat selain penyakit
yang akan di operasi, tetapi belum mengancam jiwa.
ASA 4 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa
selain penyakit yang akan di operasi. Misalnya asma bronkial yang berat,
gagal jantung kongestif.
ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi
mungkin saja dapat menyelamatkan tapi resiko kematian tetap jauh lebih
besar.
ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati batang otaknya yang mana
organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi
yang membutuhkan.8

2.6 Persiapan Anestesi dan Premedikasi


Perawatan perioperatif anestesi pada pasien pembedahan mencakup9:
1. Preoperatif (persiapan anestesi)
a. Evaluasi preoperatif
b. Pemilihan tindakan
c. Premedikasi
2. Intraoperatif (masa pembedahan)
a. Monitoring keadaan umum dan akses vascular
b. Anestesi umum: induksi, rumatan, dan tindakan emergensi
c. Anestesi regional: pemilihan jenis tindakan (blok, saraf, atau
lokal)

7
3. Postoperatif (masa paska pembedahan)
a. Perawatan nyeri paska pembedahan
b. Monitoring dan perawatan paska bedah
c. Pemilihan ruang rawat lanjutan

2.6.1. Pre Operatif


Evaluasi Pre Operatif
Anamnesis
1. Identitas pasien, misalnya: nama, umur, alamat
2. Anamnesis umum:
a. Riwayat penyakit sistemik yang sedang atau pernah
diderita,selain penyakit bedah, yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesia seperti penyakit
alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronik, penyakit
jantung dan hipertensi, penyakit hati dan penyakit
ginjal.
b. Riwayat pemakaian obat-obat yang sedang atau telah
digunakan dan mungkin dapat menimbulkan interaksi
dengan obat-obat anestesi.
c. Riwayat operasi dan anestesia terdahulu, berapa kali
dan selang waktunya, serta apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu.
d. Kebiasaan seperti merokok, minum minuman keras
atau alkohol, pemakaian obat-obatan terlarang.
3. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah
yang mungkin menimbulkan gangguan fungsi sistem organ
dan/atau memerlukan tindakan khusus dari anestesi.6,7,9

8
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan/pengukuran status presen: kesadaran, frekuensi
nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat, dan tinggi
badan untuk menilai status gizi/BMI.
2. Pemeriksaan fisik umum, meliputi:
a. Psikis
b. Saluran pernafasan : keadaan jalan napas, frekuensi
jalan napas, tidak adanya suara napas atau adanya suara
napas tambahan
c. Tanda-tanda penyakit jantung dann kardiovaskuler;
dispnu atau ortopnu, sianosis
d. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah
relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah
akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
e. Gastrointestinal: mual, muntah, pemeriksaan abdomen
untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat
membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga
dapat menyebabkan regurgitasi.
f. Sistem saraf: gangguan sensorik atau motorik
g. Sistem musculoskeletal: keterbatasan gerakan dan
deformitas.2,6,7

Pemeriksaan Jalan Napas


Digunakan untuk memprediksi apakah pasien akan sulit diintubasi.
1. Observasi anatomi pasien
a. Keterbatasan membuka mulut
b. Keadaan mandibula yang mundur (receding mandible)
c. Posisi, jumlah, dan kesehatan gigi
d. Ukuran lidah
e. Pembengkakan jaringan lunak di depan leher
f. Deviasi laring atau trakea

9
g. Keterbatasan fleksi dan ekstensi vertebra servikalis
Temuan salah satu dari hal tersebut mengindikasikan
intubasi akan lebih sulit. Namun, harus diingat bahwa semua
ini bersifat subjektif.2
2. Penilaian Mallampati
Digunakan untuk memprediksi kemudahan intubasi,
dengan cara menilai ukuran lidah dalam kaitannya dengan
rongga mulut. Semakin lidah menutupi pandangan struktur
faring, maka kemungkinan untuk dilakukan intubasi semakin
sulit.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati
dibagi menjadi 4 grade:
 Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole
terlihat jelas
 Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan
pilar faring tidak terlihat
 Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
 Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak
terlihat.2,4

Gambar 2.2 Grade Mallampati


Sumber: Butterworth, 2018
10
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan rutin
a. Darah : Hemoglobin, hematokrit, leukosit, golongan
darah, HST (Hemorrhagic Screening Test).
2. Pemeriksaan khusus
a. Pemeriksaan laboratorium lengkap, meliputi: fungsi
hati, fungsi ginjal, analisis gas darah, elektrolit,
hematologi, dan faal hemostasis lengkap, sesuai dengan
indikasi.
b. Pemeriksaan radiologi: Foto thoraks, IVP, dan yang
lain sesuai indikasi
c. Evaluasi kardiologi (EKG) terutama pada pasien diatas
35 tahun

Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital


1. Konsultasi
Konsultasi dilakukan apabila dijumpai gangguan fungsi
organ, baik akut maupun kronis yang dapat mengganggu
kelancaran anestesia dan pembedahan atau kemungkinan
gangguan tersebut dapat diperberat oleh anestesia dan
pembedahan. Dalam keadaan demikian, tanggapan dan saran
terapi dari konsulen terkait sangat diperlukan.
2. Koreksi terhadap gangguan fungsi organ prabedah apabila
dianggap perlu dan rencana operasi dapat ditunda menunggu
perbaikan/pemulihan fungsi organ yang bermasalah.7

Pemilihan Tindakan dan Informed Consent


Tindakan pada anestesi mencakup teknik anestesi umum dan
manajemen saluran napas. Pada penatalaksanaan anestesi umum yang
membuat pasien terhipnosis, ahli anestesi, harus siap menjaga saluran
napas agar selalu mendapatkan ventilasi dan oksigenasi serta jika

11
sewaktu-waktu memerlukan manajemen saluran napas. Pemilihan
tindakan pada anestesia bergantung pada kondisi dan hasil evaluasi
preoperatif pasien7.
Consent merupakan suatu persetujuan oleh pasien untuk
menjalani suatu prosedur spesifik. Walaupun dokter akan
menyarankan apa yang diperlukan, hanya pasien yang dapat membuat
keputusan untuk menjalani prosedur yang dimaksud. Informed consent
dilakukan setelah pasien atau wali pasien telah diberitahu dan paham
mengenai jenis tindakan, tata cara, indikasi, efek samping, dan
komplikasi dari tindakan yang akan dilakukan.2
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia.
Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari
masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam.6

Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan pemberian obat-obatan
pendahuluan dalam rangka pelaksanaan anastesia, dengan tujuan:7
a. Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu
menghilangkan rasa cemas, memberi ketenangan, membuat
amnesia,bebas nyeri dan mencegah mual/ muntah
b. Memudahkan dan mempelancar induksi
c. Mengurangi dosis obat anastesia
d. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
e. Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
Obat-obat premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat
badan dan keadaan umum pasien. Biasanya premedikasi diberikan

12
intramuskuler 1 jam sebelumnya atau per oral 2 jam sebelum
anestesi.Beberapa ahli anestesi menghindari penggunaan opium untuk
premedikasi jika anestesinya mencakup pernapasan spontan dengan
campuran eter/udara. Yang banyak digunakan:4
1. Analgetik opium :
- Morfin 0.03-0,15 mg/kgbb, intravena
- Morfin 0.05-0.2 mg/kgbb intramuskular
- Meperidine (Petidin) 1,0 mg/kgbb intramuskuler
Anak-anak : 0.5-2 mg/kgbb intramuskular
- Fentanyl 2-50 mcg/kg intravena
2. Sedatif :
- Diazepam 5-10 mg, oral/intramuskuler
- Midazolam 0.07-0.15 mg/kgbb intramuskular
- Lorazepam 0.05 mg oral
3. Antikolinergik :
- Atropin 0.01-0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau
intravena pada saat induksi maksimal 0,5 mg
4. Antasida :
- Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan 2 jam
sebelum operasi
- Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi
- Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi

Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti.


Tanggung jawab untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah
dan ahli anatesi. Periksalah apakah pasien sudah dipersiapkan untuk
operasi dan tidak makan/minum sekurang-kurangnya 6 jam
sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui hanya dipuasakan 3
jam.

13
2.6.2. Intraoperatif
Induksi Anestesi
Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya
disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga
seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan
lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata
STATICS:
S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-
Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang
T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
> 5 tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan
nafas
T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut
I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan
C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.6

14
A. Anestesia Umum
Untuk melakukan anastesi umum, digunakan beberapa
anastetik, dapat dikelompokkan menjadi hipnotik, sedatif,
analgetik, dan pelumpuh otot.10Rees dan Grey membagi
anestesia menjadi tiga komponen, yaitu
1. Hipnotika : pasien kehilangan kesadaran
2. Anastesia : pasien bebas nyeri
3. Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot rangka
Ketiga komponen anestesia yang populer disebut trias
anestesia dapat diwujudkan dengan obat anastetik tunggal,
misalnya eter atau dengan kombinasi beberapa obat untuk
mencapai masing-masing komponen trias anastesia tersebut
diatas.7

Teknik anestesi umum


1. Anestesi umum intravena
2. Anestesi umum inhalasi
3. Anestesi imbang

Anestesi Umum Intravena


Obat- obat anastesia intravena adalah obat anastesia yang
diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat
hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot.
Hipnotik
a. Tiopenton (golongan barbiturat).
Pada pemberian intravena, obat ini sangat cepat berdifusi
ke jaringan otak dan efeknya akan segera tampak dalam
30 detik. Karena efknya sangat cepat, disebut sebagai
“ultra short acting barbiturate. Setelah pemberian
intravena , akan berdar di seluruh jaringan tubuh dan
bekerja di pusat kesadaran pada semua level. Pentotal

15
tidak memiliki efek analgesia. Pada pemberian intravena
secara cepat, menimbulkan depresi pusat nafas
menyebabkan pasien henti nafas, penurunan tekanan darah
tergantung yang sangat tergantung dari konsentrasi obat
dalam plasma. Untuk induksi, dibuat larutan dalam
akuades atau NaCl 0,9% dengan konsentrasi 2,5% atau
5.0%. dosis untuk induksi adalah 4-5 ml/kgbb, diberikan
IV pelan-pelan.7
b. Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzodiazepine, sering
digunakan untuk obat sedasi dengan dosis 0,01-0,1
mg/kgbb. Dosis untuk induksi sebesar 0,1-0,4 mg/kgbb.
Onset midazolam untuk dosis induksi relative lebih lama
dibandingkan propofol. Sediaan yang tersedia berupa
sublingual, inranasal, dan buccal. Midazolam sangat kecil
mempengaruhi system kardiovaskular, dan memiliki sifat
amnesia antegrad yang kuat.10
c. Propofol
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi
lemak bewarna putih susu bersifat isotonic dengan
kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
diberikan lidokain 2% intravena. Dosis bolus untuk
induksi 1-2.5 mg/kgBB.10 Khasiat farmakologinya adalah
hipnotik murni, tidak mempunyai efek analgetik maupun
relaksasi otot, walaupun terjadi penurunan tonus otot
rangka, hal ini disebabkan karena efek sentralnya,
menimbulkan depresi respirasi yang beratnya sesuai
dengan dosis yang diberikan. Terhadap system
kardiovaskular tekanan darah turun yang segera diikuti
dengan kompensasi peningkatan denyut nadi.7

16
d. Ketamin.
Ketamin memiliki efek ganda terhadap seluruh system
saraf pusat termasuk memblokir reflex polisinaptik di
sumsum tulang belakang dan menghambat efek
neurotransmiter di area tertentu di otak. Berbeda dengan
efek induksi yang lain, efek ketamin meningatkan respons
kardiovaskular, berupa peningkatan teanan darah arteri ,
cardiac output, dan takikardi. Efek samping yang sering
terjadi adalah halusinasi dan delirium. Dosis ketamin
adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-5 mg/kgBB IM. Anestesi
dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental
pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan
ini dikenal sebagai anestesi disosiatif.10

Agent Use Route Concentration (%) Dose (mg/kg)


Thiopental Induction IV 2.5 3-6
Methohexital Induction IV 1 1-2
Sedation IV 1 0.2-0.4
Induction Rectal (Children) 10 25
Pentobarbital Premedication Oral 5 2-4
IM 2-4
Rectal 3
Tabel Dosis dan Penggunaan Obat Golongan Barbiturat
Sumber: Butterwarth dkk, 2018

17
Agent Use Route Dose
Ketamin Induction IV 2 mg/kg
IM 3-5 mg/kg
Maintenance IV 10-20 mcg/kg/min
Analgesia dan IV 25-15 mcg/kg/min
sedation
Etomidate Induction IV 0,2-0,5 mg/kg
Propovol Induction IV 1-2,5 mg/kg
Maintenance infusion IV 50-200 mcg/kg/min
Sedation infusion IV 25-100 mcg
Dexmedetomidine Induction IV 1 mcg/kg over 10 min
Nasal 1-2 mcg/kg
Maintenance IV 0,2-1,4 mcg/kg/h

Tabel Dosis dan Penggunaan Obat Ketamin, Propofol, dan Etomidate


Sumber: Butterwarth dkk, 2018

Agent Use Route Dose (mg/kg)

Diazepam Premedication Oral 0,2-0,5


Sedation IV 0,004-0,2
Midazolam Premedication IM 0,07-0,15
Sedation IV 0,001-0,1
Induction IV 0,1-0,4
Lorazepam Premedication Oral 0,05

Tabel Dosis dan Penggunaan Obat Golongan Benzodiazepine


Sumber: Butterwarth dkk, 2018

Analgetik
Ada dua jenis analgetik yang dipakai, yaitu golongan
NSAID dan opioid. Golongan NSAID biasanya dipakai untuk
mengatasi nyeri pasca operasi. Cara kerja golongan NSAID
adalah dengan mencegah pembentukan prostaglandin. Obat-
obatan yang termasuk golongan ini adalah paracetamol,
ketorolac, dan natrium diclofenac.
18
Analgesik opioid, karena sifat analgesiknya sangat kuat,
sering dipaki untuk menghilangkan nyeri selama operasi atau
untuk melumpuhkan respons terhadap tindakan manipulasi
saluran napas seperti intubasi. Contoh obat-obatan golongan
opioid adalah morfin, petidin, tramadol, fentanyl, dan sufenta.10
Fentanil merupakan obat narkotik sintetik yang aling
banyak digunakan. Mula kerjanya sangat cepat dan masa
kerjanya pendek. Fentanil bersifat depresan terhadap susunan
saraf pusat sehingga menurunkan kesadaran pasien.7

Pelumpuh Otot (Relaksan)


Pelumpuh otot digunakan untuk membantu proses
pemasangan ET atau intubasi. Ada dua jenis pelumpuh otot :
 Pelumpuh Otot Depolarisasi
Golongan depolarisasi membuat pasien mengalami
fasikulasi atau gerakan seperti kejang, beronset cepat (30-
60 detik) dan berdurasi pendek. Fasikulasi ini membuat
pasien mengeluh myalgia pascaoperasi. Contoh : suksinil
colin.
 Pelumpuh Otot Non-Depolarisasi
Pelumpuh otot non-depolarisasi relatif banyak jenisnya.
Ada yang beronset cepat, yaitu sekitar 1,5 menit
(rekuronium) sampai 5 menit (doxacurium). Durasi
pelumpuh otot non depolarisasi juga bervariasi antara 15
menit (mivacurium) sampai 150 menit (doxacurium)

19
Drug Intubation Onset of Action Duration of Maintenance Maintenance
Dose (mg/kg) for Intubating Intubating Dosing by Dosing by Infusion
Dose (min) Dose (min) Boluses (mg/kg) (mcg/kg/min)
Succinylcholine 1.0 0.5 5-10 0.15 2-15 mg/min
Gantacurium 0.2 1-2 4-10 N/A -
Rocuronium 0.8 1.5 35-75 0.15 9-12
Mivacurium 0.2 2.5-3.0 15-20 0.05 4-15
Atracurium 0.5 2.5-3.0 30-45 0.1 5-12
Cistacurium 0.2 2.0-3.0 40-75 0.02 1-2
Vecuronium 0.12 2.0-3.0 45-90 0.01 1-2
Pancuronium 0.12 2.0-3.0 60-120 0.01 -

Tabel Dosis dan Penggunaan Obat Muscle Relaxan


Sumber: Butterwarth dkk, 2018

Anastesi Umum Inhalasi


Obat-obat anestesi inhalasi adalah obat-obat anesthesia
yang berupa gas atau cairan mudah menguap yang diberkan
melalui pernapasan pasien.
Campuran gas atau uap obat anesthesia dan oksigen masuk
mengikuti aliran udara inspirasi, mengisi seluruh rongga paru,
selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler paru sesuai
dengan sifat masing-masing gas.
a. N2O
N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak
berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan
pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi
analgesinya kuat. Pada akhir anestesi setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah

20
hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia
difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.
b. Halotan
Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak
merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai
induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan
merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah,
dimana induksi dan tahapan anestesi dilalui dengan mulus,
bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik
dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-
2 vol% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang
tentunya disesuaikan dengan klinis pasien.
c. Isofluran
Merupakan halogenasi eter, dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak ekspolsif tidak mengandung zat pengawet.
Efek depresinya terhadap system saraf pusat tergantung
dosis yang diberikan. Isofluran dapat menimbulkan
depresi pernapasan, menurunkan tonus otot. Untuk
induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi
adalah 2,0-3,0 % bersama-sama dengan N2O
d. Desfluran
Desfluran merupakan cairan yang mudah terbakar tapi
tidak mudah meledak, bersifat absorben dan tidak korosif
untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser
khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk
prosedur bedah singkat atau bedah rawat jalan.Desfluran
bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme
laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk
induksi. Desfluran bersifat ¼ kali lebih poten dibanding
agen anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten
dibanding N2O.

21
e. Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi
dengan fluorin. Peningkatan kadar alveolar yang cepat
membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk induksi
inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun
dewasa. Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50%
kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping
halotan. Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat
dieliminasi dari tubuh.

2.6.3. Postoperatif
Pemulihan Pasca Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan
operasi terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu
melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien
sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di
ruang Recovery room (RR).

Nilai Warna
 Merah muda, 2
 Pucat, 1
 Sianosis, 0

Pernapasan
 Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
 Apnoea atau obstruksi, 0

22
Sirkulasi
 Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
 Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
 Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0

Kesadaran
 Sadar, siaga dan orientasi, 2
 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
 Tidak berespons, 0

Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
 Tidak bergerak, 0

Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.6

2.7 Intubasi Endotrakeal


Intubasi dengan nafas spontan
Intubasi endotrakea adalah prosedur memasukkan pipa (tube)
endotrakea (ET : endotrakea tube) ke dalam trakea melalui mulut atau nasal.
Alat bantu yang digunakan laringoskop. Indikasinya adalah pasien yang
sulit mempertahankan saluran napas dan kelancaran pernapasan, misalnya
pasien dengan penurunan kesadaran, atau trauma daerah muka dan leher.
Intubasi juga diindikasikan untuk mencegah aspirasi atau masuknya cairan
lambung ke saluran napas, membantu menghisap sekret, ventilasi mekanis
jangka lama, mengatasi obstruksi laring, anastesi umum pada operasi
dengan napas terkontrol, operasi posisi miring atau tengkurap, operasi yang
lama, dan atau sulit untuk mempertahankan saluran nafas, misalnya operasi
di bagian leher dan kepala, dan mempermudah anastesi umum.

23
Prosedur pemasangan ET diawali dengan oksigenasi seperti pada
prosedur sungkup muka, tetapi diperlukan tambahan obat pelumpuh otot
durasi singkat untuk membantu intubasi atau memasukkan ET,dapat juga
dilakukan tanpa pelumpuh otot yaitu dengan menggunakan lidokain spray
untuk memberikan anastesi lokal di daerah hipofaring dalam tempo
singkat.10

Gambar 2.7 Intubasi Endotrakeal

Teknik Intubasi
a. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
b. Jika GCS pasien 11, dengan mudah dapat dilakukan intubasi tanpa
anestetik
c. Berikan ventilasi dengan oksigen 100% selama kira-kira 1-2 menit
atau saturasi oksigen mencapai maksimal 100%
d. Batang laringoskop di pegang dengan tangan kiri (jika kidal,
menggunakan tangan kanan, tangan kanan mendorong kepala hingga
sedikit ekstensi, dan mulut terbuka
e. Masukkan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit
demi sedikit, menyelusuri lidah kanan, dan menggeser lidah ke kiri
menuju epiglotis atau pangkal lidah
f. Cari epiglotis terlebih dahulu, setelah terlihat, tempatkanlah bilah
didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglotis (pada
bilah lurus.

24
g. Cari rima glotis (kadang-kadang perlu bantuan asisten untuk menekan
trakea dari luar sehingga rima glotis terlihat)
h. Temukan pita suara berwarna putih dan daerah di sekitarnya yang
berwarna merah
i. Masukkan ET dengan tangan kanan. Untuk memasang ET, harus
diperhatikan dalam mengangkat gagang laringoskop, dangan
mengungkit ke arah gigi atas karena dapat menyebabkan gigi patah.
j. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi atau alat bantu napas
(alat resusitasi)
k. Jika pasien masih sadar, dapat diberikan obat induksi seperti propofol,
atau ketamin sebelum melakukan tindakan.10

Intubasi dengan nafas kendali


Teknik ini sama dengan intubasi dengan napas spontan, tetapi
menggunakan pelumpuh otot berdurasi menengah atau panjang. Apabila
menghendaki kelumpuhan otot yang lebih lama lagi, dapat dipakai
pelumpuh otot yang diberikan secara berulang.10

Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut mallampati dibagi menjadi 4 grade

Penilaian Mallampati
Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi
kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga
mulut, khusus, itu didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade:9
 Grade I : palatum mole, fauces, uvula, dan pilar terlihat jelas
 Grade II : palatum mole, fauces, uvula, dan uvula terlihat
 Grade III : palatum mole dan dasar uvula yang terlihat
 Grade IV : palatum mole tidak terlihat.

25
Gambar : Grade Mallampati

Pasien yang memerlukan intubasi memiliki setidaknya satu dari lima


indikasi berikut:2
 Ketidakmampuan untuk mempertahankan patensi jalan nafas
 Ketidakmampuan untuk melindungi jalan nafas terhadap aspirasi
 Gagal ventilasi
 Gagal teroksigenasi
 Antisipasi dari yang akan menyebabkan kegagalan pernafasan

Kesulitan dalam teknik intubasi:


 Otot-otot leher yang pendek dan berotot
 Mandibula menonjol
 Maksila/gigi depan menonjol
 Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
 Gerak vertebra servikal terbatas
 Gerak sendi temporomandibular terbatas

26
Komplikasi pada intubasi endotrakeal :
Selama intubasi :
 Trauma gigi geligi
 Laserasi bibir, gusi dan laring
 Aspirasi
 Spasme bronkus
 Intubasi bronkus
 Intubasi esofagus
 Merangsang saraf simpatis

Setelah ekstubasi

 Spasme laring
 Aspirasi
 Gangguan fonasi
 Edema glotis subglotis
 Infeksi laring, faring, trakea

Ektubasi

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :


 Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
 Pasca ekstubasi ada risiko ekspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anastesia sudah ringan dengan
catatan tak akan terjadi spasme laring
Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut faring dari sekret dan
cairan lainnya.

27
2.8. Breast Ca
2.8.1. Anatomi Payudara
Secara umum, payudara terdiri atas dua jenis jaringan yaitu jaringan
kelenjar dan jaringan stromal. Jaringan kelenjar meliputi lobus dan duktus.
Sedangkan jaringan stromal meliputi jaringan lemak dan jaringan ikat. Payudara
terdapat dalam fasia superfisialis dinding torak ventral yang berkembang
menonjol tegak dari subklavikula sampai dengan costae atau intercostae kelima
sampai keenam.9

Gambar 1. Anatomi mammae anterior (Sumber: http://www.cancer.gov).

Perdarahan jaringan payudara berasal dari arteri perforantes anterior yang


merupakan cabang dari arteri mammaria interna, arteri torakalis lateralis, dan
arteri interkostalis posterior. Sedangkan, sistem limfatik payudara terdiri dari
pleksus subareola dan pleksus profunda. Pleksus subareola mencakup bagian
tengah payudara, kulit, areola dan puting yang akan mengalir kearah kelenjar
getah bening pektoralis anterior dan sebagian besar ke kelenjar getah bening
aksila. Pleksus profunda mencakup daerah muskulus pektoralis menuju kelenjar
getah bening rotter, kemudian ke kelenjar getah bening subklavikula atau route of
Grouzsman, dan 25% sisanya menuju kelenjar getah bening mammaria interna.

28
Gambar 2. Sistem limfatik mammae (Sumber: http://www.edoctoronline.com)

Persarafan sensorik payudara diurus oleh cabang pleksus servikalis dan


cabang saraf interkostalis kedua sampai keenam sehingga dapat menyebabkan
penyebaran rasa nyeri terutama pada punggung, skapula, lengan bagian tengah,
dan leher. 9

2.8.2. Fisiologi

Secara fisiologi, unit fungsional terkecil jaringan payudara adalah asinus.


Sel epitel asinus memproduksi air susu dengan komposisi dari unsur protein yang
disekresi apparatus golgi bersama faktor imun IgA dan IgG, unsur lipid dalam
bentuk droplet yang diliputi sitoplasma sel. Dalam perkembangannya, kelenjar
payudara dipengaruhi oleh hormon dari berbagai kelenjar endokrin seperti
hipofisis anterior, adrenal, dan ovarium. Kelenjar hipofisis anterior memiliki
pengaruh terhadap hormonal siklik follicle stimulating hormone (FSH) dan
luteinizing hormone (LH). Sedangkan ovarium menghasilkan estrogen dan
progesteron yang merupakan hormon siklus haid. Pengaruh hormon siklus haid
yang paling sering menimbulkan dampak yang nyata adalah payudara terasa
tegang, membesar atau kadang disertai rasa nyeri. Sedangkan pada masa
pramenopause dan perimenopause sistem keseimbangan hormonal siklus haid
terganggu sehingga beresiko terhadap perkembangan dan involusi siklik
fisiologis, seperti jaringan parenkim atrofi diganti jaringan stroma payudara, dapat

29
timbul fenomena kista kecil dalam susunan lobular atau cystic change yang
merupakan proses aging. 10

2.9. Defenisi Breast Ca

Kanker payudara merupakan kanker tersering pada perempuan (22% dari


semua kasus baru kanker padaa perempuan) dan menjadi penyebab utama
kematian akibat kanker di dunia (14% dari semua kematian kanker perempuan).

2.10. Faktor Risiko


 Riwayat keluarga dan gen terkait karsinoma mame: penelitian
menemukan pada wanita dengan saudara primer menderita karsinoma
mamae, probabilitas terkena karsinoma mamae lebih tinggi 2-3 kali
disbanding wanita tanpa riwayat keluarga. Penelitian dewasa ini
menunjukkan gen utama yang terkait dengan timbulnya karsinoma
mamae adalah BRCA-1 dan BRCA-2.
 Reproduksi: usia menarka kecil, henti haid lanjut dan siklus haid
pendek merupakan faktor resiko tinggi karsinoma mamae. Selain itu,
yang seumur hidup tidak menikah atau belum menikah, partus pertama
berusia lebih dari 30 tahun dan setelah partus belum menyusui,
berinsiden relative tinggi.
 Kelainan kelenjar mamae: penderita kistadenoma mamae hiperplastik
berat berinsiden lebih tinggi. Jika satu mamae sudah terkena kanker,
mamae kontralateral risikonya meningkat.
 Penggunaan obat di masa lalu: penggunaan jangka panjang hormone
insidennya lebih tinggi. Terdapat laporan penggunaan jangka panjang
reserpin, metildopa, analgesic trisiklik dll. Dapat menyebabkan kadar
prolaktin meninggi, beresiko karsinogenik bagi mamae.
 Radiasi pengion: kelenjar mamae relative peka terhadap radiasi pengion
, paparan berlebih menyebabkan peluang kanker lebih tinggi.
 Diet dan Gizi : berbagai studi kasusbkelola menunjukan diet tinggi lemak
kalori berkaitan langsung dengan timbulnya karsinoma mamae.

30
Terdapat data menunjukan orang yang gemuk sesudah usia 50 tahun berpeluang
lebih besar terkena kanker mamae. Terdapat laporan bahwa minum bir dapat
meningkatkan kadar estrogen dalam tubuh, wanita yang setiap hari minum bir 3
kali keatas beresiko karsinoma mamae meningkatkan 50-70%. Penelitian lain
menunjukkan diet tinggi selulosa, vitamin A dan protein kedelai dapat
menurunkan insiden karsinoma mamae.11

2.11. Klasifikasi Kanker Payudara


Kanker payudara dibagi menjadi kanker yang belum menembus membran
basal (noninvasif) dan kanker yang sudah menembus membran basal (invasif).
Bentuk utama karsinoma payudara dapat diklasifikasikan sebagai berikut:9
a. Noninvasif
 Karsinoma Duktus In Situ (DCIS; Karsinoma Intraduktus)
Memperlihatkan gambaran histologik yang beragam. Pola
arsitekturnya, antara lain tipe solid, kribriformis, papilaris,
mikropapilaris, dan clinging. Di setiap tipe mungkin ditemukan
nekrosis. Gambaran nukleus bervariasi dari derajat rendah dan
monomorfik hingga derajat tinggi dan heterogen. Subtipe komedo
ditandai dengan sel dengan nukleus derajat tinggi dan nekrosis sentral
yang luas. Nama berasal dari jaringan nekrotik mirip pasta gigi yang
dapat dikeluarkan dari duktus yang terpotong dengan tekanan lembut.
DCIS sering disertai kalsifikasi karena bahan sekretorik atau debris
nekrotik yang mengalami kalsifikasi.
Penyakit Paget pada puting payudara disebabkan oleh perluasan DCIS
ke duktus laktiferosa dan ke dalam kulit puting susu di dekatnya. Sel
ganas merusak sawar epidermis normal, sehingga carian ekstrasel
dapat dikeluarkan ke permukaan. Gambaran klinis biasanya berupa
eksudat berkopeng unilateral di atas puting di bawah areola.
 Karsinoma Lobulus In Situ (LCIS)
Tidak seperti DCIS, memperlihatkan gambaran uniform. Sel bersifat
monomorf dengan nukleus polos budar dan terdapat dalam kelompok

31
kohesif di duktus dan lobulus. Vakuol musin intrasel sering
ditemukan. LCIS hampir selalu ditemukan secara tidak sengaja dan
tidak seperti DCIS, tumor ini jarang membentuk metastasis serta,
tidak seperti DCIS, jarang membentuk massa sehingga jarang
mengalami kalfikasi. Oleh karena itu, insidensi LCIS hampir tidak
berubah pada populasi yang menjalani pemeriksaan penyaring
mamografi. Sekitar sepertiga perempuan dengan LCIS akhirnya
menderita karsinoma invasif. Tidak seperti DCIS, karsinoma invasif
sama seringnya muncul di kedua payudara.
b. Invasif (Infiltratif)
 Karsinoma Duktus Invasif
Adalah istilah yang digunakan untuk semua karsinoma yang tidak
dapat disubklasifikasikan ke dalam salah satu tipe khusus dan tidak
menunjukan bahwa tumor ini secara spesifik berasal dari sistem
duktus.
 Karsinoma Lobulus Invasif
Terdiri atas sel yang secara morfologis identik dengan sel pada LCIS.
Pada dua pertiga kasus ditemukan LCIS di sekitar tumor. Sel-sel
secara sendiri-sendiri menginvasi stroma dan sering tersususn
membentuk rangkaian. Kadang-kadang sel tersebut mengelilingi
asinus atau duktus yang tampak normal atau karinomatosa,
menciptakan apa yang disebut sebagai mata sapi (bull’s eye).
Meskipun sebagian besar tumor bermanifestasi sebagai massa yang
dapat diraba atau densitas pada mamografi, sebagian mungkin
memiliki pola invasi difus tanpa repon desmoplastik serta secara klinis
tersamar. Karsinoma lobulus lebih sering bermetastasis ke cairan
serebrospinal, permukaan serosa, ovarium dan uterus, serta sumsum
tulang dibandingkan dengan karsinoma duktus.
 Karsinoma Medularis
Merupakan subtipe karsinoma yang jarang. Kanker ini terdiri atas
lembaran sel besar anaplastik dengan tepi berbatas tegas. Secara klinis

32
tumor ini mungkin disangka fibroadenoma. Selalu terdapat infiltrat
limfoplasmasitik yang mencolok. Karsinoma ini tidak memiliki
reseptor hormon dan tidak mengekspresikan ERBB2 secara
berlebihan.
 Karsinoma Koloid (Karsinoma Musinosa)
Juga merupakan subtipe yang jarang. Sel tumor menghasilkan banyak
musin ekstrasel yang merembes ke dalam stroma di sekitarnya. Seperti
karsinoma medularis, tumor ini sering bermanifestasi sebagai massa
sirkumskripta dan mungkin disangka fibroadenoma. Secara
makroskopis, tumor biasanya lunak dan gelatinosa. Sebagian besar
mengekspresikan reseptor hormon, dan beberapa mungkin
mengekspresikan ERBB2 secara berlebihan.
 Karsinoma Tubulus
Jarang bermanifestasi sebagai massa yang dapat diraba tetapi
merupakan penyebab 10% karsinoma invasif yang berukuran kurang
dari 1 cm yang ditemukan pada pemeriksaan mamografik. Pada
mamografi, tumor biasanya tampak sebagai densitas iregular. Secara
mikroskopis, karsinoma terdiri atas tubulus yang berdiferensiasi baik
dengan nukleus derajat-rendah. Jarang terjadi metastasis ke kelenjar
getah bening dan prognosis baik. Hampir semua karsinoma tubulus
mengekspresikan reseptor hormon, dan sangat jarang
mengekspresikan ERBB2 secara berlebihan.
Dari tumor-tumor tersebut, karsinoma duktus invasif merupakan jenis
tersering. Karena biasanya memiliki banyak stroma, karsinoma ini juga disebut
sebagai scirrhous carcinoma.

2.12. Derajat dan Stadium


Maksud dari derajat kanker adalah bagaimana sel kanker tersebut terlihat
di bawah mikroskop dibandingkan dengan sel payudara yang normal. Atau dapat
disebut juga sebagai derajat anaplasinya (Derajat I sampai III), yaitu :

a. Derajat 1 (Derajat rendah) – sel kanker terlihat mirip dengan sel normal

33
dan tumbuh dengan sangat lambat
b. Derajat 2 (Derajat sedang) – sel kanker terlihat lebih abnormal dan tumbuh
sedikit lebih cepat
c. Derajat 3 (Derajat tinggi) – sel kanker terlihat sangat berbeda dari sel
normal dan tumbuh sangat cepat

Selain itu, derajat juga dibagi berdasarkan agresivitas biologiknya sebagai


berikut:

a. Tidak bermetastasis, contohnya karsinoma intraduktus tanpa invasi


stromadan karsinoma lobular in situ

b. Jarang bermetastasis, contohnya karsinoma koloid, karsinoma medular


dengan infiltrasi limfositik, dan infiltrasi papiler.

c. Metastasis sedang sampai hebat untuk semua bentuk lain

Secara garis besar, terdapat dua cara penentuan stadium :


1. Sistem stadium dengan angka

Stadium kanker payudara dapat dibagi ke dalam 4 stadium yang ditentukan

34
berdasarkan ukuran kanker dan apakah kanker tersebut telah menyebar ke kelenjar
getah bening atau bagian tubuh lain.

2. Sistem stadium TNM


The American Joint Committee on Cancer (AJCC) dan the International
Union for Cancer Control (UICC) menggunakan sistem klasifikasi TNM
sebagai standar klasifikasi stadium.Sistem ini dievaluasi setiap 6-8 tahun.Pada
sistem TNM, setiap kanker diberi angka dan huruf untuk menjelaskan tumor,
kelenjar getah bening(node), dan metastasis (penyebaran).9,12
1. T (tumor) Berdasarkan ukuran dari tumor primer dan apakah tumor telah
menyebar ke jaringan sekitar. Ukuran tumor biasanya dinyatakan dalam
sentimeter (cm) atau milimeter (mm).

2. N (node)
Apakah kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening sekitar
3. M (metastasis)
Apakah kanker telah menyebar ke bagian tubuh lain yang jauh
dari tumor asal berada.

35
Gambar. Stadium Kanker Payudara system TNM

36
2.13. Pemeriksaan Payudara
American cancer society merekomendasikan pemeriksaan-pemeriksaan
berikut untuk mendeteksi kanker payudara pada wanita tanpa gejala:
a. Mammogram
Wanita usia 40 tahun atau lebih sebaiknya melakukan screening
mammogram setiap tahun dan terus melakukannya selama sehat.
Wanita usia 20-30an sebaiknya melakukan pemeriksaan klinis
payudara sebagai
b. Pemeriksaan klinis payudara
pemeriksaan rutin oleh petugas kesehatan paling tidak sekali dalam 3
tahun. Setelah usia 40 tahun, sebaiknya diperiksa setiap tahun sekali.
Pemeriksaan klinis payudara ini juga dianjurkan dilakukan sebelum
mammogram.
37
c. Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI)
Merupakan pemeriksaan yang dianjurkan bagi wanita yang baru
memasuki usia 20 tahun. Wanita tersebut harus langsung melaporkan
kelainan yang ia temukan kepada petugas kesehatan
d. Magnetic resonance imaging (MRI)
Wanita dengan risiko tinggi sebaiknya melakukan MRI dan
mammogram setiap tahun (wanita dengan risiko tinggi memiliki risiko
paling tidak 25% terkena kanker).
2.14. Penatalaksanaan
Tata laksana kanker payudara meliputi tindakan operasi, kemoterapi,
radioterapi, terapi hormon, targeting therapy, terapi rehabilitasi medik, serta
terapi paliatif.9
Keputusan pengobatan dibuat berdasarkan pasien dan dokter terhadap
pegobatan optimal yang tersedia, usia pasien, risiko, dan manfaat pengobatan
itu sendiri.Kemoterapi, terapi sistemik,dan targeting theraphy merupakan
terapi sistemik.12
a. Operasi
Target utama operasi kanker payudara adalah untuk mengangkat
kanker dari payudara dan untuk menentukan stadium kanker.12
Pembedahan dapat bersifat kuratif maupun paliatif. Indikasi
pembedahan yaitu tumor stage Tis, N0, dan M0. Jenis pembedahan
kuratif yang dapat dilakukan adalah breast conserving treatment (BCT),
mastektomi radikal klasik, mastektomi radikal dimodifikasi, arreola-
skin-sparing-mastectomy, mastektomi radikal extended, mastektomi
simpel atau lumpektomi. Pembedahan kanker payudara kini makin lama
makin minimal dan peran kombinasi/adjuvan makin meningkat.9
Mastektomi radikal klasik. Pembedahan radikal klasik menurut
Halsted* ini meliputi pengangkatan seluruh kelenjar payudara dengan
sebagian besar kulitnya, otot pektoralis mayor dan minor, dan seluruh
kelenjar limf level I, II, dan III. Pembedahan ini merupakan prosedur
baku hingga tahun lima puluhan.9

38
Mastektomi radikal dimodifikasi. Sejak tahun enam puluhan,
mastektomi radikal mulai dimodifikasi oleh Patey* dan Madden, yaitu
dengan mempertahankan otot pektoralis mayor dan minor seandainya
jelas otot-otot tersebut bebas dari tumor, sehingga hanya kelenjar limf
level I dan II yang terangkat.9
Mastektomi simpel. Seluruh kelenjar payudara diangkat termasuk
puting, namun tidak menyertakan kelenjar limf aksila dan otot
pektoralis. Mastektomi simpel atau mastektomi total hanya dilakukan
bila dipastikan tidak ada penyebaran ke kelenjar aksila.9
Breast Conserving Treatment bertujuan untuk membuang massa dan
aringan payudara yang mungkin terkena tumor namun dengan
semaksimal mungkin menjaga tampilan kosmetik payudara. BCT
paling sering dilakukan pada tumor stage Tis, T1, dan T2 yang
penampangnya ≤3cm.9
b. Radiation therapy
Radiasi berguna untuk menghancurkan sel kanker yang masih
tertinggal di payudara, dinding dada, dan area aksila setelah operasi
pengangkatan jaringan payudara. Radiasi juga diperlukan setelah
mastektomi pada pasien dengan kanker yang berukuran lebih dari 5 cm
atau yang telah ditemukan penyebaran sel kanker ke nodus
limfatikusnya.12
Ada 2 tipe terapi radiasi. External beam radiation merupakan tipe
radiasi umum untuk kanker payudara wanita. Radiasi bersumber dari
mesin di luar tubuh pada area yang terkena kanker. External beam
radiation therapy dilakukan dalam 5-6 minggu. Internal radiation
therapy, dikenal sebagai brachytherapy, menggunakan substansi kimia
dalam jarum dan alat lainnya untuk kemudian dimasukan ke dalam
jaringan kanker.12
c. Terapi Sistemik
Terapi sistemik menggunakan obat anti kanker yang diinjeksikan
lewat vena atau lewat mulut. Terapi sistemik meliputi targeted therapy,

39
chemotherapy, dan hormone therapy, yang semuanya bekerja melalui
mekanisme yang berbeda. Contohnya, obat kemoterapi bekerja dengan
menyerang sel yang bertumbuh dengan cepat. Obat target yang lebih
baru menyerang sel kanker yang lebih spesifik. Terapi hormon bekerja
dengan memblok hormon alami yang kadang kala dapat mempercepat
pertumbuhan sel kanker itu sendiri.12
Regimen kemoterapi yang paling sering digunakan yaitu CMF
(siklofosfamid, metroteksat, dan 5-fluorourasil), FAC (siklofosfamid,
adriamisin, 5-fluorourasil), AC (Adriamisin dan siklofosfamid), CEF
(siklofosfamid, epirubisin, dan 5-fluorourasil).9
Siklofosfamid bersifat paliatif terhadap karsinoma mama,
ovarium, dan paru, serta meghasilkan remisi pada mieloma multipel.
Siklofosfamid merupakan pro drug yang dalam tubuh mengalami
konversi oleh enzim sitokrom P-450 menjadi 4-hidroksisiklofosfamid
dan aldofosfamid yang merupakan obat aktif.
Metroteksat bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat
reduktase, sehingga menghambat sintesis timidilat dan purin. Obat ini
menunjukan hambatan replikasi dan fungsi sel T dan mungkin juga sel
B karena adanya hambatan sintesis DNA. Obat ini bekerja spesifik pada
siklus sel.
Pada saat ini, fluorourasil dan derivat deoksiribosanya yaitu
floksuridin banyak digun akan sebagai terapi paliatif untuk karsinoma
kolorektal diseminata dan karsinoma mama (Nafrialdi, 2009).
Fluorourasil (5-fluorourasil, 5-fluorourasil, Efudex, Adrucil) adalah
analogpirimidin terhalogenisasi yang harus diaktifkan secara
metabolisme. Metabolit aktif yang menginhibisi sintesis DNA adalah
deoxyribonucleotide5-fluoro-2_deoxyuridine-S_-phosphate (FdUMP).
5- Fluorourasil bersifat toksik secara selektif terhadap sel-sel yang
berproliferasi dibandingkan dengan sel yang tidak berproliferasi dan
aktif pada fase G1 dan S. Enzim target yang diinhibisi 5-fluorourasil

40
adalah thymidylate synthetase, yang mengkaltalisasi proses-proses
proliferas.
Terapi sistemik yang dilakukan setelah operasi disebut terapi
adjuvan. Hal ini dilakukan untuk membunuh sel-sel kanker yang
mungkin tertinggal setelah pengangkatan jaringan kanker dalam
operasi.Terapi sistemik merupakan pilihan utama bagi wanita yang
tidak dapat dioperasi karena penyebaran yang sudah sangat luas.12

41
BAB III
LAPORAN ANESTESI

Ilustrasi Kasus
Laporan kasus ini membahas seorang perempuan, usia 39 tahun dengan
diagnosis Breast Ca (L), jenis tindakan MRM (Modified Radical Mastectomy)
dengan rencana anastesi umum.

Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Menikah
Tinggi / Berat badan : 150 cm / 45 kg
No. RM : 00.83.62.30
Alamat : Dusun I Telaga Sari Sunggal, Kecamatan
Sunggal Kabupaten : Deli Serdang
MRS : 18 Maret 2019
Tanggal Operasi : 19 Maret 2019

Anamnesis (Autoanamnesis) (17 Februari 2019)


Keluhan utama : Benjolan pada payudara

Riwayat penyakit sekarang :


Hal ini dialami os sejak 4 tahun yang lalu sampai sekarang, awalnya benjolan
kecil seperti kelereng dan os mengira itu bisul tapi lama-kelaman tidak pecah dan
os membiarkan begitu saja karena tidak sakit, lama- kelamaan os merasa benjolan
semakin membesar tapi tidak nyeri dan 1 tahun terakhir os mengeluhkan gatal
pada payudaranya, karena gatal tak kunjung hilang os panik dan pergi ke dokter
dan dokter mengatakan ada Tumor di payudara os.
42
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat dirawat : disangkal
 Hipertensi : disangkal
 Asma : disangkal
 Alergi obat-obatan : disangkal
 Alergi makanan : disangkal
 Alergi udara dingin : disangkal
 Diabetes : disangkal
 Penyakit Jantung : disangkal
 Penyakit Paru : disangkal
 Kejang : dijumpai
 Penyakit Hati : disangkal
 Penyakit Ginjal : disangkal
 Riwayat Operasi dan Anestesi : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat Kebiasaan
 Merokok : disangkal
 Minum alkohol : disangkal
 Narkotik : disangkal
 Olahraga :-

43
Keadaan Pra Bedah (Follow Up Anestesi 16 Februari 2019)
B1 (Breath)
Airway : Clear
Frekuensi pernafasan : 19x/i
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : Wheezing (-) Ronkhi (-)
Riwayat asma : disangkal
Sesak : disangkal
Batuk : disangkal
Alergi : disangkal
Pernapasan cuping hidung : tidak dijumpai
JMH : 3 jari
Malampati :1
Buka mulut : 3 jari
Gerak leher :bebas
Gerakan Dada :simetris
Maxillofacial injury : tidak dijumpai

B2 (Blood)
Akral : hangat/merah/kering
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/i
T/V : cukup
Temperatur : 36,7 oC
Konj. palpebra inferior
Pucat : tidak dijumpai
Hiperemis : tidak dijumpai
Ikterik : tidak dijumpai

B3 (Brain)

44
Sensorium : compos mentis
GCS : 15
Refleks cahaya : +/+
Pupil : isokor
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Riwayat kejang : dijumpai
Muntah proyektil : tidak dijumpai
Nyeri kepala : tidak dijumpai
Pandangan kabur : tidak dijumpai

B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : cukup
Warna : kuning
Kateter : tidak terpasang

B5 (Bowel)
Abdomen : soepel (+), distensi (-), nyeri tekan (-), massa (-)
Peristaltik : (+) normal
Mual/Muntah : tidak dijumpai/tidak dijumpai
BAB/Flatus : +/+
NGT : tidak terpasang

B6 (Bone)
Fraktur : tidak dijumpai
Luka bakar : tidak dijumpai
Oedem : tidak dijumpai

45
Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Hematologi
Hb : 11,4 gr/dl (N: 12-16 gr/dl)
Ht : 33,7 % (N : 36-48 %)
Eritrosit : 3.96 juta/ul (N: 4.00-5,40 juta/ul)
Leukosit : 5.570 /ul (N: 4800-11000/ul)
Trombosit : 362.000/ul (N: 150000-400000/ul)

Kimia klinik
SGOT (AST) : 25.85 U/dl (N: 0-40 U/dl)
SGPT (ALT) : 21.51 U/dl (N: 0-40 U/dl)
Ureum : 20,57 mg/dl (N: 10-50 mg/dl)
Creatinin : 0,70 mg/dl (N: 0,6-1,2 mg/dl)
Natrium : 139.90 mmol/dl (N : 136-155 mmol/dl)
Kalium : 4.21 mmol/dl (N:3,5-5,5 mmol/dl)
Chlorida : 107.60 mmol/dl (N: 95-103 mmol/dl)
KGD : 91.68 mg/dl (N: <140 mg/dl)
Waktu Protrombin
PT : 8.7 (N: 9- 12.2 detik)
INR : 0.82 (N: 1 – 1.3 detik)
APTT : 25.7 (N: 20.8-28.2 detik)
 Rontgen Thorax : tidak dijumpai kelainan pada cor dan pulmo (11
Februari 2019)

Diagnosa Kerja

Breast Ca (L)

Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA


PS ASA II

46
Rencana Tindakan
MRM

Rencana Anestesi
Anestesi Umum dengan Endotrakeal Tube Nafas Terkendali
Premedikasi : Inj. Midazolam 3 mg/IV, Inj. Sulfas Atropin 1 mg/IV,
Inj.Fentanyl 100 µg/IV
Induksi : Inj. Propofol 100 mg/IV
Relaksan : Inj. Roculac 50 mg/IV

Kesimpulan
Pasien perempuan, usia 39 tahun dengan berat badan 45 kg, status fisik PS ASA II
diagnosis Breast Ca (L), jenis tindakan MRM (Modified Radical Mastectomy)
diagnosis rencana anastesi umum dengan endotrakeal tube napas terkendali.

Persiapan Pasien
Sebelum Operasi (18 maret 2019)
 Pasien di konsultasikan ke spesialis anestesi untuk menilai kondisi fisik
pasien, apakah pasien dalam kondisi fisik yang layak untuk dilakukan
tindakan operasi.
 Setelah mendapatkan persetujuan dari spesialis anestesi, pasien di periksa 1
hari sebelum operasi (kunjungan pre-operatif), hasil dari kunjungan pre-
operatif ini telah dijabarkan sebelumnya.

Diruang perawatan (18 maret 2019)


 Informed consent : Bertujuan untuk memberitahukan kepada pasien dan
keluarga pasien tindakan medis apa yang akan dilakukan kepada pasien
bagaimana pelaksanaannya, kemungkinan hasilnya, resiko tindakan yang
akan dilakukan.
 Surat persetujuan operasi : merupakan bukti tertulis dari pasien atau
keluarga pasien yang menunjukkan persetujuan tindakan medis yang akan

47
dilakukan sehingga bilaterjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien
tidak akan mengajukan tuntutan.
 Pasien dipuasakan sejak pukul 00.00 WIB tanggal 19 Februari 2019,
tujuannya untuk memastikan bahwa lambung pasien telah kosong sebelum
pembedahan untuk menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan
aspirasi isi lambung yang akan membahayakan pasien.
 Pengosongan kandung kemih pada pagi harinya pada pukul 06.00 WIB.
 Pembersihan wajah dan kuku pasien dari kosmetik agar tidak mengganggu
pemeriksaan selama anastesi, misalnya bila ada sianosis. Gigi palsu
dilepaskan agar tidak mengganggu kelancaran proses intubasi dan bila ada
perhiasan sebaiknya diberikan kepada keluarga pasien.

Di Ruang OK (19 maret 2019)


 Identifikasi Pasien
 Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan.
 Pemeriksaan fisik pasien di ruang persiapan : TD=130/80 mmHg, nadi =
80x/menit, suhu=36.70C, RR = 19 x/menit
 Pendataan kembali identitas pasien di ruang operasi. Anamnesa singkat
kepada keluarga yang meliputi BB, umur, riwayat penyakit, riwayat alergi,
riwayat kebiasaan, dan lainnya.
 Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi kemudian
dilakukan pemasangan EKG, manset, infus, dan oksimeter.
 Pemeriksaan tanda tanda vital.

Persiapan Alat
 Laringoskop
 Stetoskop
 ETT no. 6,5
 Guedel (Oropharyngeal airway)
 Plester/Tape : Hypafix

48
 Mandrin
 Bougi
 Suction
 Ambu bag
 Spuit 3 cc, 5 cc dan 10 cc
 Gel lubricating
 Sarung tangan
 Face mask adult
 Pack
 Forcep Magill
 Mesin anestesi
 EKG monitor
 Spigmomanometer digital
 Oksimeter/saturasi
 Infuse set
 Infuse set dan cairan infus – Ringer Laktat
 Abocath no.18 G
 Plester
 Alcohol
 Tourniquet

Persiapan Obat-Obatan Anestesi


1. Premedikasi Fentanyl 100 µg/2cc
Dosis : 2-5 µg/kgBB 96 - 240µg
Pemberian : Inj. Fentanyl 100 µg/IV

Midazolam 5 mg/5cc
Dosis : 0,05-0,1 mg/kgBB 2,4 - 4,8 mg
Pemberian : Inj. Midazolam 3 mg/IV

Sulfas Atropin 0,25 mg/ml

49
Dosis : 0.01 mg/kgBB
Pemberian :Inj SA 1 mg/IV (4 ampul)
2. Induksi Propofol 200 mg/20cc
Dosis : 2-2,5 mg/kgBB 36 – 45 mg
Pemberian : Inj. Propofol 100 mg/IV

4. Relaksan Atrakurium 10 mg/5cc


Dosis : 0,6-1,2 mg/kgBB
Pemberian : Inj. Atracurium 25 mg/IV
5. Maintenance (rumatan) -

Antibiotik -
Steroid Inj. Dexametasone 4 mg/IV
Anti emetic selama op Inj. Ondansetron 4 mg/IV
Antifibrinolitik -
Anti emetic post op Inj. Ondansetron 4 mg/12 jam/IV
Analgetik post op Inj.Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
Obat emergency Inj. Sulfas Atropin 1mg/IV

Pelaksanaan Anestesi
Di Ruang Operasi
JAM (WIB)
09. 30  Pasien dari ruang tunggu masuk ke ruang operasi
 Pindahkan pasien ke meja operasi dengan posisi
supinasi
 Memasang monitor EKG dan oksimeter pulse
 Mengukur tekanan darah, nadi, saturasi prainduksi (TD:
140/80 mmHg, Nadi : 100x/m, SPO2 : 99%)
 Pemberian obat analgetik injeksi fentanyl 100 mcg/IV,
injeksi midazolam 2,5 mg/IV, injeksi sulfas atropine 1
mg/IV (premedikasi).

50
 TD: 140/80 mmHg, Nadi : 90x/m, SPO2 : 99%.
09.35  Induksi dengan injeksi propofol 80 mg/IV.
 Memastikan pasien sudah tidak sadar dengan cara
memeriksa refleks bulu mata, kemudian diberikan
muscle relaksan yaitu injeksi Roculax 5mg/IV.
 Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup muka
menggunakan O2 sebanyak 4 liter/menit, kalau perlu
nafas dibantu dengan menekan balon nafas secara
periodik ± 3 menit.
 Setelah relaksasi pasien diintubasi dengan ETT no.6
cuff (+), pack (+), guedel (-), untuk memastikan ETT
terpasang dengan benar dengarkan suara nafas dengan
stetoskop bahwa paru kanan dan kiri sama dan dinding
dada kanan dan kiri bergerak simetris pada setiap
inspirasi buatan.
 TD: 130/80 mmHg, Nadi : 105 x/m, SPO2 : 99%.
09.40  ETT dihubungkan dengan konektor ke sirkuit nafas alat
anestesi, kemudian N2O dibuka 2 liter/menit dan O2 4
liter/menit
 Nafas pasien dikendalikan dengan respirator. Inspirasi
400 ml dengan frekuensi 14 kali per menit. (Bila
menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal)
diusahakan kurang lebih 6-8 ml/kg BB dengan
frekuensi 12-20x/menit).
 Perhatikan apakah gerakan nafas pasien simetris antara
yang kanan dan kiri.
 130/80 mmHg, Nadi : 105 x/m, SPO2 : 99%.
09.45 Operasi dimulai
TD : 130/ 80mmHg, nadi : 105x/menit SPO2 : 99%
10.00 TD : 150/ 80mmHg, nadi : 106x/menit SPO2 : 99%

51
10.15 TD : 120/80 mmHg, nadi : 85x/menit SPO2 : 99%
10.30 TD : 130/90 mmHg, nadi : 100x/menit SPO2 : 99%
10:45 TD : 120/70 mmHg, nadi : 98x/menit SPO2 : 99%
11:00 TD : 140/80 mmHg, nadi : 98x/menit SPO2 : 99%
 Operasi selesai
 Pemberian obat anastesi dihentikan, pemberian O2
dipertahankan
 TD 140/80 mmHg, Nadi 98x/menit, SPO299%, ETT
dicabut setelah pasien dapat dibangunkan. Lendir
dikeluarkan dengan suction lalu pasien diberi
oksigen murni selama 5 menit.
Setelah semua peralatan dilepaskan (EKG, manset tensimeter,
oksimeter) pasien dibawa ke ruang Recovery Room.

Monitoring perdarahan
Kassa basah : 4 x 10 cc = 40 cc
Kassa ½ basah : 2 x 5 cc = 10 cc
Suction : 100 cc
Total : 150 cc
Urine output : Tidak terpasang kateter

Infus RL o/t regio dorsum manus dextra


Pre-Operasi:
Defisit cairan puasa selama 6 jam : 2 x BB x lama puasa
= 540 cc
Durante Operasi
Maintanance cairan : (4:2:1) cc/kgBB/jam → BB= 45kg
(4 x 10kg) + (2 x 10kg) + (1 x 25kg)
= 85 cc/jam
IWL selama cairan selama operasi : 3 cc/kgBB/jam x 45 kg
52
= 135cc/jam

Selanjutnya diberikan cairan pemeliharaan/jam ditambah cairan koreksi akibat


translokasi luka operasi dan koreksi akibat perdarahan (lama operasi:1 jam).
90 cc/jam + 150 cc/jam + 80 cc/jam = 320 cc/jam

Post Operasi:
Maintenance cairan : 90cc/jam (30gtt/menit)

Keterangan Tambahan
EBV : 65 x 45 kg = 2925 cc
EBL : 10% = 292,5 cc
20% = 585 cc
30% = 877,5 cc

Post Operasi
Di Ruang Pemulihan
Setelah operasi selesai pukul 11:00, sekitar pukul 11: 05 pasien dibawa ke
recovery room, lalu diberikan oksigen via nasal canul sebesar 2 liter/menit,
kemudian dilakukan penilaian terhadap tingkat kesadaran, pada pasien
kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan pemeriksaan tanda- -tanda vital
ditemukan tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 102 x/menit, respirasi 17x/menit
dan saturasi O2 100%.

Pasien di observasi di recovery room

Instruksi Pasca Bedah :


 Bed rest
 O2 2 l/i via nasal kanul
 IVFD RL 20 gtt/i
 Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam/IV

53
 Injeksi Ondansentron 4 mg/12 jam/IV
 Injeksi Cefepime 2g / 8 jam/IV
Pantau vital sign per 15 menit selama 2 jam

54
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien perempuan usia 39 tahun, berat badan 45 kg, status fisik ASA II
dengan alergi antibiotik Ceftriaxone diagnosis Breast Ca, jenis tindakan MRM
dengan diagnosis rencana anastesi umum dengan endotrakeal tube napas
terkendali.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Gwinnut, Carl. 2012. Anestesi Klinis Edisi 3. Jakarta: EGC


2. Butterworth, John F, David C. Mackey, dan John D. Wasnick. 2018.
Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 6th Edition. US: Lange
Medical Book
3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Mangku Gde, senapathi Tjokorda Gde Agung. 2009. Buku Ajar Ilmu
Anestesia Dan Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta
5. ASA. 2014. ASA Physical Status Classification System: Last Approved by
ASA House of Delegates on October, 2014. Available
fromhttp://www.asahq.org>public>resource[Accessed on 9 March 2019].
6. Miller, Ronal D dan Manuel C. Pardo. 2011. Basics of Anesthesia 6th
Edition. Philadelphia: Elsevier
7. Pramono, Ardi. 2015. Buku Kuliah Anestesi. Yogyakarta : EGC
8. Samodro, Ratno dkk. 2011. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal. Dalam
Jurnal Anestesiologi Indonesia. Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UNDIP RSUP Kariadi.
9. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke-3.
Jakarta: EGC
10. Sabiston, David C. 2005. Buku Ajar Bedah Bagian 1. Jakarta: EGC
11. Desen, W. 2008. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit
FKUI
12. American Cancer Society. 2011. Breast Cancer Facts & Figures 2011-
1012. Atlanta: American Cancer Society

56

Anda mungkin juga menyukai