Oleh:
Aldo Victoria*
G1A219082
Pembimbing:
dr. Andi Hasyim, Sp.An **
Disusun Oleh:
Aldo Victoria
G1A219082
Tahun 2021
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session ini sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti
Pendidikan Profesi Dokter Bagian Anestesiologi di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Andi Hasyim, Sp.An yang
telah meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “Komplikasi Anestesi Post Operasi”.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.
Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah
ilmu bagi para pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi secara umum berarti membantu pasien menghilangkan rasa nyeri
pada saat pembedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan
diagnostikterapeutik. Selama proses pembiusan dan setelah pembiusan dapat terjadi
komplikasi-komplikasi. Selain itu teknik dari pembiusan baik regional maupun
umum juga berpotensi mengakibatkan komplikasi. 1
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi anestesi, yaitu
usia, jenis kelamin, obesitas, faktor individual, premedikasi, teknik dan obat
anestesi serta jenis dari operasinya.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi
dapat dilakukan dengan General Anesthesia, Regional anesthesia, Local
Anesthesia.2 General Anesthesia atau anestesi umum adalah keadaan tidak sadar
tanpa nyeri yang reversibel akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan
rasa sakit seluruh tubuh secara sentral, bekerja untuk menekan aksis
hipotalamus pituitari adrenal.2 Obat anestesi umum terdiri atas golongan
senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan
spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anestesi umum dapat
diberikan secara inhalasi dan secara intravena.3
2.2 Epidemiologi
Mortalitas perioperatif biasanya didefinisikan sebagai kematian dalam waktu
48 jam operasi. Jelas bahwa kematian perioperatif paling sering diakibatkan oleh
penyakit pasien itu sendiri atau prosedur pembedahan. Angka kematian yang
disebabkan oleh prosedur anestesi tampaknya telah menurun selama 30 tahun terakhir
dari satu atau dua kematian per 3000 pengalaman anestesi, ke tingkat satu atau dua
kematian per 20.000 pengalaman. Namun, statistik ini harus dipandang dengan
skeptisisme yang cukup, karena mereka berasal dari negara yang berbeda dan
menggunakan metodologi yang berbeda. Studi terbaru menunjukkan bahwa angka
2
kematian oleh prosedur anestesi di beberapa institusi mungkin atau bahkan
kurang dari 1:20.000. Penurunan ini mungkin disebabkan oleh ketersediaan dan
penggunaan peralatan monitoring yang baru, pengetahuan yang lebih baik mengenai
anestesi fisiologi dan farmakologi, dan perawatan bedah dan medis yang sudah
ditingkatkan. Memang, dalam suatu studi besar, tingkat kematian yang dikaitkan
dengan anestesia adalah 1 dalam 185.000.
3
mengidentifikasi faktor risiko dan membuat stratifikasi pasien sehingga
optimalisasi dan perencanaan dapat terjadi sebelum operasi. 6
A. Komplikasi Kardiovaskuler
Komplikasi jantung perioperatif mencakup iskemia atau infark miokard
(MI), Heart Failure (HF), aritmia dan henti jantung (cardiac arrest).
1. Infark Miokard (MI)
Studi terbaru menunjukkan hingga 5% pasien yang menjalani
operasi nonkardiak elektif memiliki MI. Dengan adanya satu faktor risiko
jantung, insidensinya 4,4%, dengan risiko kematian akibat
kardiovaskular sekitar 1,6%. Kebanyakan kejadian iskemik perioperatif
tidak disadari dan mungkin tidak memiliki tanda atau gejala yang secara
klinis berarti.6
4
2. Heart Failure (HF)
HF terjadi pada 1% sampai 6% pasien setelah operasi besar. Hal ini
paling sering terjadi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang
mendasari. Edema paru tekanan negatif terjadi akibat upaya pernapasan
tekanan tinggi dalam pengaturan jalan napas yang terhambat. Ini terjadi
pada sekitar 0,1% pasien yang menjalani anestesi umum dan pemulihan
total terjadi pada kebanyakan pasien.6
3. Aritmia
Bradyarrythmia dan ventricular arrhythmias jarang terjadi pada
periode perioperatif. Kurang dari 1% dari semua pasien bedah (termasuk
bedah jantung) mengalami bradiaritmia atau aritmia ventrikel yang
cukup parah sehingga memerlukan pengobatan. Atrium fibrilasi adalah
aritmia perioperatif yang paling umum dengan kejadian 0,37% sampai
20% pada pasien bedah nonkardiak. Insiden tertinggi terjadi pada pasien
yang menjalani operasi vaskular mayor dan abdomen terbuka dan paling
sedikit pada pasien yang menjalani operasi mata atau superfisial minor.
Faktor risiko pra operasi untuk perkembangan atrium fibrilasi termasuk
bertambahnya usia, jenis kelamin pria, dan penyakit jantung yang sudah
ada sebelumnya.6
4. Thromboembolism
Venous thromboembolism (VTE) mencakup trombosis vena dalam
(DVT) dan embolisme paru (PE) dan merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas yang signifikan pada periode perioperatif. Pada pasien
yang menjalani operasi plastik, kejadian VTE secara keseluruhan adalah
1,69%, namun hal ini bervariasi sesuai dengan adanya faktor risiko.
Beberapa alat tersedia untuk membantu menilai dan mengelompokkan
risiko VTE untuk setiap pasien. Carprini Risk Assessment Model telah
divalidasi untuk digunakan pada pasien bedah plastik dan didukung oleh
American Society of Plastic Surgeons.6
5
5. Cardiac Arrest
Risiko henti jantung terkait anestesi adalah 1,86: 10.000. Ini lebih
mungkin terjadi pada pasien dengan usia ekstrim (neonatus, lanjut usia),
pasien dengan fungsi fisik yang buruk, dan pembedahan darurat. Lebih
dari 90% henti jantung terkait anestesi terkait dengan manajemen jalan
napas atau pemberian obat. Penyebab pernafasan lebih sering terjadi pada
populasi anak, sedangkan henti jantung setelah pemberian obatobatan
yang menyebabkan depresi kardiovaskular terjadi lebih sering pada
orang dewasa.6
B. Komplikasi Pernapasan
6
baru ini telah terbukti berkaitan dengan peningkatan mortalitas 30 hari
dan komplikasi pernapasan perioperatif.6
2. Aspirasi
Aspirasi isi lambung ke dalam jalan nafas adalah penyebab paling
umum dari kematian yang berhubungan dengan jalan nafas selama
anestesi. Hal ini terjadi pada 1: 4000 pasien yang menjalani anestesi
umum, meningkat menjadi 1: 900 pada operasi darurat. Risiko tertinggi
ada pada intubasi dan ekstubasi. Mengidentifikasi pasien berisiko
aspirasi adalah kunci pencegahannya.
3. Bronkospasme
Bronkospasme disebabkan oleh penyempitan otot polos bronkus dan
edema, jika tidak diobati dapat menyebabkan hipoksia, hipotensi, atau
kematian. Ini terjadi pada 0,2% pasien yang menjalani anestesi umum.
Penyakit saluran napas yang sudah ada sebelumnya, infeksi saluran
pernapasan atas yang baru atau aktif, riwayat merokok, dan atopi
semuanya meningkatkan risiko. Pemicu utamanya adalah instrumentasi
jalan nafas atau agen anestesi inhalasi. Stimulasi pembedahan dini tanpa
anestesi yang cukup dalam, airway soiling, dan obat-obatan (misalnya,
β-blocker, neostigmin, morfin, atrakurium) juga dapat menyebabkan
bronkospasme. Pencegahan bergantung pada optimalisasi penyakit
saluran napas yang mendasari, kewaspadaan terhadap kepekaan obat,
mendorong penghentian merokok, menunda operasi jika ada riwayat
infeksi saluran pernapasan atas baru-baru ini, dan menghindari
manipulasi saluran napas yang tidak perlu.6
4. Apnea
Dapat berkembang karena obstruksi pada jalan napas, depresi
respirasi perifer atau pusat. Terapi seharusnya dilakukam segera dengan
ventilasi buatan, dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke
sungkup, mulut ke jalan napas atau mulut ke ETT. Pemompaan bag mask
atau bagging dari mesin anestesi. Trakeotomi dapat dibutuhkan sewaktu-
waktu.1,2
7
5. Hipoventilasi
Hipoventilasi didefinisikan sebagai PaCO2 > 45 mmHg, sering
terjadi setelah anestesi umum. Kebanyakan hipoventilasi adalah ringan
dan pada beberapa kasus dapat diabaikan. Hipoventilasi yang bemakna
secara klinis akan tampak bila PaCO2 > 60 mmHg atau pH darah arteri
< 7,25. Tanda-tandanya bervariasi misalnya mengantuk yang berlebihan
atau lama, sumbatan jalan nafas, laju nafas pelan, takipnea dengan nafas
dangkal, atau sulit bernafas. Asidosis ringan sampai sedang dapat
menyebabkan takikardi dan hipertensi, jantung iritabel (lewat stimulasi
simpatis), tetapi asidosis yang lebih berat menyebabkan depresi sirkulasi.
Jika curiga hipoventilasi yang bermakna, harus dilakukan analisa gas
darah arteri untuk menilai keparahan dan pemandu tata laksana
selanjutnya. 1,2
8
tubuh (biasanya pada bayi). Nyeri dari insisi di dada atau perut ditandai
dengan menurunnya kapasitas maksimal bernapas, derajat dari hasil
hipoksia dan hiperkapnia. 1,2
C. Komplikasi Neurologi
1. Disfungsi Kognitif Pasca Operasi
Disfungsi kognitif pasca operasi didefinisikan sebagai penurunan
tingkat kognitif dari fungsi pra operasi yang dideteksi oleh perubahan
pada pengujian neuropsikologis. Ini terjadi pada sekitar 9,9% pasien.
Delirium pasca operasi didefinisikan sebagai perubahan akut dalam
kognisi dan perhatian, yang mungkin termasuk perubahan dalam
kesadaran dan pemikiran yang tidak teratur. Insidensi bervariasi menurut
jenis pembedahan dan tertinggi (35% -65%) pada pasien yang menjalani
pembedahan patah tulang pinggul. Usia lanjut merupakan faktor risiko
independen baik akut maupun dalam jangka panjang.6
2. Kesadaran
Kesadaran didefinisikan sebagai kesadaran di bawah anestesi umum
dengan mengingat kembali kejadian yang dialami. Telah dilaporkan
terjadi pada 0,03% pasien. Hingga 26% pasien memiliki gejala sisa
jangka panjang yang signifikan setelah episode kesadaran.
Gejala sisa termasuk kecemasan, depresi, dan, dalam kasus yang parah,
gangguan stres pasca trauma.6
D. Komplikasi Ginjal
Disfungsi ginjal perioperatif terjadi pada 1% sampai 5% pasien yang
dirawat di rumah sakit. Anestesi umum berkontribusi terhadap disfungsi ginjal
9
dalam beberapa cara; gangguan fisiologis yang paling umum adalah hipoperfusi.
Penipisan cairan akibat puasa sebelum operasi, hipotensi yang diinduksi oleh
agen anestesi, dan ventilasi tekanan positif semuanya mengganggu aliran darah
ginjal. Gangguan hemodinamik ini diperburuk oleh respon stres fisiologis
terhadap pembedahan dengan pelepasan katekolamin dan aktivasi sistem renin-
angiotensin aldosteron.6
Pemeliharaan perfusi ginjal yang adekuat oksigen delivery adalah cara
mencegah cedera ginjal perioperatif. Hal ini dicapai dengan mempertahankan
normovolemia, normotensi, dan cardiac output. Kesadaran akan faktor risiko
pasien dan menghindari nefrotoksin sangat penting. Saat ini, tidak ada bukti kuat
bahwa strategi lain efektif dalam pencegahan disfungsi ginjal terkait anestesi.6
Mual dan muntah pasca operasi atau post operative nausea and vomiting
(PONV) dialami oleh 20% sampai 30% pasien. Insiden bisa setinggi 70% hingga
80% pada individu berisiko tinggi. Anestesi umum merupakan faktor risiko yang
signifikan, menghasilkan peningkatan risiko PONV 11 kali lipat dibandingkan
dengan mereka yang menerima anestesi regional. 6 Faktor-faktor risiko PONV
antara lain:
10
Gambar 2.1 Risk Factor PONV
F. Sore Throat
Sakit tenggorokan adalah keluhan umum pasca operasi dan
mempengaruhi hingga 12,1% pasien pada 24 jam setelah operasi. Hal ini
berhubungan langsung dengan tingkat instrumentasi jalan napas dengan hingga
50% pasien yang diintubasi dengan pipa endotrakeal mengalami gejala sakit
tenggorokan. Penggunaan laryngeal mask airway (LMA) mengurangi insiden
antara 17,5% dan 34%. Mekanisme utama dari cedera yang berhubungan dengan
intubasi adalah trauma mekanis seperti kehilangan epitel, hematoma glotis,
edema glotis, robekan submukosa, dan granuloma ulkus kontak.6
Steroid inhalasi, NSAID topikal, atau premedikasi dengan tablet hisap
antibakteri mungkin memiliki peran dalam mengurangi kejadian sakit
tenggorokan. Dalam kebanyakan kasus, sakit tenggorokan adalah komplikasi
yang sembuh sendiri yang tidak memerlukan pengobatan khusus dan merespon
dengan baik terhadap analgesia sederhana.6
11
G. Kerusakan Gigi
Trauma gigi terjadi pada 0,04% sampai 0,05% pasien yang menjalani
anestesi umum. Fraktur enamel adalah cedera yang paling umum diikuti dengan
pelonggaran atau subluksasi gigi, avulsi, dan fraktur mahkota. Kerusakan gigi
dapat terjadi karena trauma langsung atau gigitan. Teknik laringoskopi yang
buruk adalah penyebab iatrogenik yang umum. Hampir setengah dari semua
cedera gigi terkait anestesi terjadi selama laringoskopi untuk intubasi trakea. 6
Ada juga beberapa faktor pasien yang membuat gigi lebih rentan
terhadap trauma gigi, antara lain karies gigi, penyakit periodontal atau gusi, gigi
seri atas yang menonjol (buck gigi), veneer, crown, bridgework dan implant, gigi
terisolasi, dan gigi yang sebelumnya mengalami trauma. Jika terjadi kerusakan
gigi, semua fragmen yang hilang perlu dipertanggungjawabkan; pasien harus
diberikan penjelasan lengkap dan rujukan harus dilakukan untuk penilaian gigi.6
H. Cedera Mata
Abrasi kornea sejauh ini merupakan cedera mata yang paling umum dan
sementara. ASA mengidentifikasi bahwa untuk abrasi kornea, di mana penyebabnya
jarang teridentifikasi (20%) dan insiden cedera permanen rendah (16%). Kasus ini
terjadi pada pasien yang menerima anestesi umum atau perawatan anestesi yang
dipantau. Meskipun penyebab abrasi kornea mungkin tidak jelas, tutuplah kelopak
mata dengan aman setelah kehilangan kesadaran (tetapi sebelum intubasi) dan hindari
kontak langsung antara mata dan masker oksigen, tirai, garis, dan bantal (terutama
selama perawatan anestesi yang dipantau, dalam transportasi, dan dalam posisi
nonsupine) dapat membantu meminimalkan kemungkinan cedera. Kedalaman
anestesi yang memadai harus dipertahankan untuk mencegah pergerakan selama
operasi oftalmologi dengan anestesi umum. 9
12
berkontribusi. Banyak dari laporan kasus yang melibatkan hipertensi yang sudah ada
sebelumnya, diabetes, penyakit arteri koroner, dan merokok, menunjukkan bahwa
kelainan vaskular sebelum operasi mungkin berperan. Hipotensi dan anemia yang
disengaja intraoperatif juga telah terlibat (operasi inspirasi), mungkin karena
potensinya untuk mengurangi pengiriman oksigen. Gejala biasanya muncul segera
setelah bangun dari anestesi, tetapi telah dilaporkan hingga 12 hari pasca operasi.
9
Gejala tersebut berkisar dari penurunan ketajaman visual hingga kebutaan total.
I. Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran perioperatif biasanya bersifat sementara dan sering
tidak dikenali. Insiden gangguan pendengaran frekuensi rendah setelah tusukan
13
dural dapat mencapai 50%. Tampaknya ini disebabkan oleh kebocoran cairan
serebrospinal dan, jika terus-menerus, dapat dihilangkan dengan patch darah
epidural. Kehilangan pendengaran setelah anestesi umum dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab dan jauh lebih sulit diprediksi. Mekanisme termasuk
barotrauma telinga tengah, cedera vaskular, dan ototoksisitas obat
(aminoglikosida, loop diuretik, obat antiinflamasi nonsteroid, dan agen
antineoplastik).
14
A. Central Neuraxial Blockade
Hipotensi berat dapat terjadi sebagai akibat dari blokade simpatis. Hal ini
lebih mungkin terjadi pada pasien yang mengalami deplesi intravaskuler,
pasien dengan fixed cardiac output, menerima anestesi lokal yang berat
daripada isobarik, atau mengalami high spinal block. Insidensi yang tepat
tidak diketahui karena didefinisikan secara bervariasi dalam
literatur.7
Komplikasi infeksi
Abses epidural adalah keadaan darurat medis yang jarang tetapi serius,
membutuhkan diagnosis dan pengobatan segera. Keterlambatan pengobatan
dapat mengakibatkan cedera neurologis permanen dan bahkan kematian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan epidural abses setelah
CNB meliputi: gangguan kekebalan, obat kortikosteroid sistemik, diabetes
dan sepsis sistemik. Diperlukan kepatuhan terhadap teknik aseptik untuk
meminimalkan risiko adalah wajib. Ini termasuk memakai masker, cap,
15
gown dan sarung tangan steril, dan cuci tangan dengan benar. Adanya
kateter epidural yang terpasang dan lamanya meningkatkan risiko.
Meningitis, dan komplikasi utama CNB lainnya, lebih sering menyertai
spinal blok. Faktor risiko yang sama untuk abses epidural berlaku untuk
risiko meningitis. Komplikasi ini jarang terjadi (insiden di Inggris kurang
dari 1 per 200.000).7
16
saja T12 sampai L4, dan ketiga ligamentum flavum mungkin tidak berfusi
di garis tengah. Cedera saraf permanen jarang terjadi setelah
CNB.7
Adhesive arachnoiditis
Kondisi inflamasi parah ini ditandai dengan pembentukan pita kolagen
yang merusak jaringan, mengganggu sirkulasi darah dan CSF, serta merusak
saraf. Darah, anestesi lokal dan klorheksidin merupakan penyebab, baik di
ruang epidural dan subarachnoid. Insidennya sangat rendah.7
17
Postoperative care
Blok saraf perifer dapat berlangsung selama beberapa jam hingga periode
pasca operasi. Komunikasi yang sesuai, khususnya mengenai blok
ekstremitas, harus diberikan kepada pasien dan staf bangsal yang
bertanggung jawab atas perawatan yang berkelanjutan. Blok ekstremitas
bawah dapat meningkatkan risiko jatuh karena motorik sisa atau blok
proprioseptif. Area tekanan harus dipantau, terutama tumit setelah blok saraf
skiatik untuk menghindari luka tekan. Pasien juga harus disarankan untuk
merawat anggota tubuh yang tidak sensitif atau area anatomis untuk
menghindari trauma yang tidak disengaja sebelum sensasi penuh kembali. 7
C. Cardiopulmonary Arrest
Henti jantung mendadak selama pemberian anestesi spinal secara rutin
merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Laporan awal yang dipublikasikan
adalah analisis dari 14 pasien yang mengalami serangan jantung selama
anestesi spinal. Kasus-kasus tersebut terutama melibatkan pasien muda (usia
rata-rata 36 tahun), relatif sehat (status fisik ASA I-II) yang diberi anestesi
lokal dengan dosis yang tepat yang menghasilkan blok dermatom yang tinggi
sebelum henti jantung (level T4). Insufisiensi pernapasan dengan hiperkarbia
akibat sedatif dianggap sebagai faktor penyebab potensial. Waktu rata-rata
dari induksi anestesi spinal hingga henti adalah 36 menit, dan dalam semua
kasus, henti jantung didahului oleh penurunan detak jantung dan tekanan darah
secara bertahap. Tepat sebelum penangkapan, tanda yang paling umum adalah
bradikardia, hipotensi, dan sianosis. Pengobatan terdiri dari dukungan
ventilasi, efedrin, atropin, resusitasi kardiopulmoner (durasi rata-rata 10,9
menit), dan epinefrin.9
Sebuah studi selanjutnya menyimpulkan bahwa memiliki sedikit
hubungan dengan sedasi, tetapi terkait dengan derajat blokade simpatis yang
luas, dengan tonus vagal yang tidak dilawan dan bradikardia yang berat.
Pengobatan bradikardia dan hipotensi yang cepat dan tepat sangat penting
untuk meminimalkan risiko bradikardia berat, blok jantung total, atau henti
jantung. Pengobatan dini bradikardia dengan atropin atau glikopirolat dapat
18
mencegah spiral ke bawah. Dosis efedrin, epinefrin, dan obat vasoaktif lain
harus diberikan untuk mengobati hipotensi. Jika terjadi henti jantung paru,
dukungan ventilasi, resusitasi kardiopulmoner, dan atropin dan epinefrin dosis
resusitasi penuh harus diberikan tanpa penundaan.9
2.5 Komplikasi Yang Umum Terjadi Pada Central & Peripheral Nerve
Blockade
A. Toksisitas anestesi lokal
Termasuk efek lokal dan sistemik dari anestesi lokal. Penerapan langsung
anestesi lokal pada akson yang gundul dapat menyebabkan reaksi inflamasi
akut dan neurotoksisitas. Diperberat dengan eksposur yang lama,
konsentrasi anestesi lokal yang tinggi, dan perineurium yang terganggu.
Toksisitas sistemik terjadi akibat injeksi intravaskular yang tidak disengaja
atau absorpsi sistemik dari dosis toksik anestesi lokal. Ini ditandai dengan
gejala neurologis termasuk kesemutan perioral, tinnitus, bicara cadel, agitasi
kebingungan, kejang dan koma. Ini juga terkait dengan kolaps
kardiovaskular dan kematian7
B. Reaksi vasovagal
Lebih sering terjadi pada pasien muda dengan high resting vagal tone.
Insiden yang dilaporkan antara 13 dan 28%. RA yang dilakukan pada pasien
yang sadar, duduk, dan berpuasa dapat mengurangi pengisian ventrikel. Hal
ini, disertai dengan kecemasan dan adrenalin eksogen yang diabsorbsi
secara sistemik, menghasilkan kontraksi ventrikel yang kuat. Hal ini dapat
merangsang reseptor tekanan dinding ventrikel dan hasil aliran keluar vagal
yang masif, menyebabkan bradikardia berat atau bahkan asistol (refleks
Bezold Jarisch).7
C. Komplikasi pernapasan
Paresis hemidiaphragmatic secara historis dilaporkan terjadi pada hampir
100% pasien yang menerima blok interscalene, dan pada 50% pasien yang
menerima blok supraclavicular. Komplikasi ini merupakan pertimbangan
19
utama pada pasien dengan patologi pernapasan konkuren (terutama
kontralateral). Peningkatan presisi dengan ultrasound, memungkinkan
volume lokal yang lebih kecil anestesi, telah menurunkan
risiko ini.7
D. Pneumotoraks: ini adalah komplikasi potensial dari blok supra klavikula dan
paravertebral, sebagai akibat dari dekatnya pleura ke saraf. Panduan
ultrasonografi memberikan tingkat keamanan, dan sekarang dianggap
terjadi pada tingkat yang tidak signifikan secara klinis. Adapun paresis
hemidiafragma, risiko rendah ini menjadi penting pada pasien dengan
patologi pernapasan yang terjadi bersamaan.7
E. High spinal block: ini dapat terjadi setelah penempatan anestesi lokal
subaraknoid yang disengaja atau tidak disengaja. Wanita hamil sangat
rentan, karena kompresi kantung thecal oleh vena epidural yang membesar.
Hipotensi juga sering terjadi karena simpatolisis. Pengobatan simtomatik,
oksigen tambahan, posisi optimal diperlukan untuk sebagian besar kasus.
Karena relatif jarang, dengan definisi variabel, angka kejadian yang akurat
tidak diketahui.7
F. Total spinal block
Anestesi pada batang otak, mengakibatkan hilangnya kesadaran, henti
napas, dan hipotensi berat. Hal ini dapat terjadi selama blok subarachnoid
yang disengaja dengan penyebaran anestesi lokal yang berlebihan. Blok
tulang belakang total juga dapat terjadi jika sejumlah besar anestesi lokal
yang ditujukan untuk blok epidural atau pleksus, secara tidak sengaja
ditempatkan di subarachnoid. Hal ini terutama berhubungan dengan pleksus
lumbal, pleksus brakialis interskalena, dan blok paravertebral. Mengenai
blok interscalene, penempatan jarum epidural dan subarachnoid telah
dilaporkan menggunakan pendekatan lateral atau Winnie serta pendekatan
pos terior. Akar saraf mungkin memiliki manset dura selama beberapa
sentimeter dari neuraksis, sehingga memungkinkan injeksi anestesi lokal
20
langsung ke intratekal. Meskipun jarang, kateter epidural juga dapat
bermigrasi ke ruang subarachnoid.7
G. Failure of block
Alasan kegagalan blok neuraksial sentral multifaktorial, termasuk
masalah dengan pungsi lumbal, kesalahan dalam persiapan dan injeksi
larutan, penyebaran yang tidak memadai, dan kesulitan yang lebih terkait
dengan manajemen pasien dari pada blok itu sendiri. Blok saraf tepi
memiliki tingkat kegagalan yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor termasuk
saraf target, keahlian operator dan peralatan yang digunakan. 7
I. Drug error
Kemungkinan kesalahan obat katastropik berlaku untuk CNB dan PNB,
dan insidennya tampaknya meningkat. Kerusakan yang disebabkan oleh
pemberian obat neurotoksik yang tidak disengaja jelas lebih besar jika obat
ini diberikan secara terpusat. . Kesalahan sederhana dalam menyuntikkan ke
kateter epidural daripada ke jalur IV adalah risiko yang nyata. Meskipun
tidak ada data yang ditemukan tentang prevalensi, laporan kasus
menggambarkan dampak yang fatal.7
J. Reaksi Alergi9
Reaksi hipersensitivitas (atau alergi) adalah respon imunologi yang
berlebihan terhadap stimulasi antigenik pada orang yang sebelumnya peka.
Antigen, atau alergen, bisa berupa protein, polipeptida, atau molekul yang
lebih kecil. Bahkan, alergen dapat berupa zat itu sendiri, metabolit, atau
produk pemecahan. Pasien mungkin terpajan antigen melalui saluran
pernapasan, saluran pencernaan, mata, kulit dan dari paparan intravena,
intramuskular, atau peritoneal sebelumnya. Anafilaksis terjadi ketika agen
21
inflamasi dilepaskan dari basofil dan sel mast sebagai akibat dari antigen
yang berinteraksi dengan imunoglobulin (Ig) E.
Reaksi anafilaktoid memanifestasikan dirinya dengan cara yang
sama seperti reaksi anafilaksis, tetapi bukan merupakan hasil interaksi
dengan IgE. Aktivasi langsung komplemen dan aktivasi komplemen yang
dimediasi IgG dapat menghasilkan pelepasan dan aktivitas mediator
inflamasi yang serupa. Bergantung pada antigen dan komponen sistem
kekebalan yang terlibat, reaksi hipersensitivitas secara klasik dibagi menjadi
empat jenis (Tabel 54-5). Dalam banyak kasus, alergen (misalnya lateks)
dapat menyebabkan lebih dari satu jenis reaksi hipersensitivitas. Reaksi tipe
I melibatkan antigen yang menghubungkan antibodi IgE, memicu pelepasan
mediator inflamasi dari sel mast. Dalam reaksi tipe II, antibodi IgG pengikat
komplemen (pengikatan C1) mengikat antigen pada permukaan sel,
mengaktifkan jalur komplemen klasik dan melisiskan sel. Contoh reaksi tipe
II termasuk reaksi transfusi hemolitik dan trombositopenia yang diinduksi
heparin. Reaksi tipe III terjadi ketika kompleks imun antigen-antibodi (IgG
atau IgM) disimpan dalam jaringan, mengaktifkan komplemen dan
menghasilkan faktor kemotaktik yang menarik neutrofil ke area tersebut.
Neutrofil yang diaktifkan menyebabkan kerusakan jaringan dengan
melepaskan enzim lisosom dan produk beracun. Reaksi tipe III termasuk
reaksi sakit serum dan pneumonitis hipersensitivitas akut. Reaksi tipe IV,
sering disebut sebagai reaksi hipersensitivitas tertunda, dimediasi oleh
limfosit CD4 + T yang telah peka terhadap antigen tertentu oleh paparan
sebelumnya. Contoh reaksi tipe IV adalah yang berhubungan dengan
tuberkulosis, histoplasmosis, schistosomiasis, pneumonitis
hipersensitivitas, dan beberapa gangguan autoimun.
22
Reaksi Hipersensitivitas
23
darurat medis yang mengancam jiwa (anafilaksis). Lesi urtikaria memiliki ciri
khas berupa bintil-bintil kulit yang tersunat dengan baik dengan batas
eritematosa yang menonjol dan pusat yang pucat serta sangat pruritik.
Angioedema muncul sebagai edema kutan yang dalam dan tidak
muncul akibat vasodilatasi yang ditandai dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah subkutan. Jika angioedema meluas, dapat dikaitkan dengan
perpindahan cairan yang besar, bila melibatkan mukosa faring atau laring,
maka dapat dengan cepat mengganggu jalan napas. Angioedema dapat
menyebabkan gangguan jalan nafas dan sering menjadi penyebab untuk
anestesiologi konsultasi manajemen jalan nafas di unit gawat darurat.
Angioedema terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler sekunder baik
untuk aktivasi sel mast atau melalui mediasi kinin. Pasien yang memakai
inhibitor angiotensinconverting enzyme (ACE) mungkin mengalami
angioedema yang dimediasi kinin. Bradikinin dinonaktifkan oleh ACE dan
akibatnya dapat terakumulasi saat ACE dihambat. Angioedema herediter dapat
terjadi pada pasien dengan jumlah inhibitor komplemen (C1-INH) yang tidak
efektif.
Perawatan untuk angioedema pertama kali berfokus pada manajemen
jalan napas sesuai kebutuhan. Plasma beku segar dapat diberikan untuk
meningkatkan ACE jika penghambatan ACE dianggap berkontribusi pada
angioedema. Icatibant antagonis reseptor bradikinin juga dapat diberikan jika
tersedia. Protein pengganti C1-INH juga tersedia untuk menghambat sintesis
kinin. Ecallantide inhibitor kallikrein juga dapat digunakan untuk menurunkan
produksi bradykinin.
2. Reaksi Anafilaksis9
Anafilaksis adalah respons berlebihan terhadap alergen (misalnya
antibiotik) yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Sindrom ini
muncul dalam beberapa menit setelah terpapar antigen tertentu pada orang
yang peka dan secara khas muncul sebagai gangguan pernapasan akut, syok
24
peredaran darah, atau keduanya. Kematian dapat terjadi karena sesak napas
atau syok peredaran darah ireversibel. Insiden reaksi anafilaksis selama
anestesi diperkirakan pada tingkat 1: 3500 sampai 1: 20.000 anestesi. Sebuah
penelitian terhadap 789 reaksi anafilaksis dan anafilaktoid melaporkan bahwa
sumber antigen yang paling umum adalah penghambat neuromuskuler (58%),
lateks (17%), dan antibiotik (15%). Mediator terpenting dari anafilaksis adalah
histamin, leukotrien, basofil kallikrein (BK-A), dan faktor pengaktif
trombosit.
Aktivasi reseptor H1 mengkontraksikan otot polos bronkus, sedangkan
aktivasi reseptor H2 menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, takikardia, dan
peningkatan kontraktilitas miokard. BK-A membelah bradikinin dari
kininogen; bradikinin meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi
serta mengontrak otot polos. Aktivasi faktor Hageman dapat memulai
koagulasi intravaskular. Faktor kemotaktik eosinofil dari anafilaksis, faktor
kemotaktik neutrofil, dan leukotrien B4 menarik sel inflamasi yang memediasi
cedera jaringan tambahan. Angioedema pada faring, laring, dan trakea
menyebabkan obstruksi jalan nafas bagian atas, sedangkan bronkospasme dan
edema mukosa menyebabkan obstruksi jalan nafas bagian bawah. Transudasi
cairan ke dalam kulit (angioedema) dan visera menghasilkan hipovolemia,
sedangkan vasodilatasi arteriol menurunkan resistensi vaskular sistemik.
Hipoperfusi koroner dan hipoksemia arteri menyebabkan aritmia dan iskemia
miokard. Mediator leukotrien dan prostaglandin juga dapat menyebabkan
vasospasme koroner. Syok peredaran darah yang berkepanjangan
menyebabkan asidosis laktat progresif dan kerusakan iskemik pada organ
vital.
Reaksi anafilaktoid menyerupai anafilaksis tetapi tidak bergantung
pada interaksi antibodi IgE dengan antigen. Obat dapat langsung melepaskan
histamin dari sel mast (misalnya urtikaria setelah morfin sulfat dosis tinggi)
atau mengaktifkan komplemen. Meskipun mekanisme berbeda, reaksi
anafilaksis dan anafilaktoid biasanya tidak dapat dibedakan secara klinis dan
sama-sama mengancam nyawa.
25
Manifestasi klinis Anafilaxis
26
4. Alergi Lateks9
Tingkat keparahan reaksi alergi terhadap produk yang mengandung
lateks berkisar dari dermatitis kontak ringan hingga anafilaksis yang
mengancam jiwa. Alergi lateks yang terkait dengan anafilaksis selama anestesi
sekarang jauh lebih jarang karena dikeluarkannya produk yang mengandung
lateks dari lingkungan medis. Reaksi yang paling serius tampaknya melibatkan
respon imun langsung yang dimediasi IgE terhadap polipeptida dalam lateks
alami, meskipun beberapa kasus dermatitis kontak mungkin disebabkan oleh
reaksi sensitivitas tipe IV terhadap bahan kimia yang dimasukkan dalam
proses pembuatan. Meskipun demikian, hubungan antara terjadinya dermatitis
kontak dan kemungkinan anafilaksis di masa depan telah disarankan. Paparan
kronis terhadap lateks dan riwayat atopi meningkatkan risiko sensitisasi.
Petugas kesehatan dan pasien yang sering menjalani prosedur dengan barang
lateks (mis., kateterisasi kandung kemih berulang, pemeriksaan barium
enema) karena itu harus dipertimbangkan pada peningkatan risiko. Pasien
dengan spina bifida, cedera medulla spinalis, dan kelainan kongenital pada
saluran genitourinari memiliki peningkatan kejadian alergi lateks yang nyata.
Insiden anafilaksis lateks pada anak-anak diperkirakan 1 dari 10.000.
Riwayat gejala alergi terhadap lateks harus dicari pada semua pasien selama
wawancara pra-anestesi. Makanan yang bereaksi silang dengan lateks
termasuk mangga, kiwi, kastanye, alpukat, markisa, dan pisang. Polimorfisme
nukleotida tunggal interleukin (IL) -18 dan IL-13 dapat mempengaruhi
sensitivitas individu terhadap lateks dan meningkatkan respons alergi. Reaksi
anafilaksis terhadap lateks dapat disalahartikan dengan reaksi terhadap zat lain
(mis., Obat-obatan, produk darah) karena timbulnya gejala bisa tertunda
selama lebih dari 1 jam setelah paparan awal. Perawatannya sama dengan
bentuk reaksi anafilaksis lainnya. Mencegah reaksi pada pasien yang peka
termasuk profilaksis farmakologis dan penghindaran lateks mutlak. Pemberian
antagonis histamin H1 dan H2 sebelum operasi dan steroid dapat memberikan
perlindungan, meskipun penggunaannya masih kontroversial. Meskipun
27
sebagian besar peralatan anestesi sekarang bebas lateks, beberapa mungkin
masih mengandung lateks.
5. Alergi terhadap Antibiotik9
Banyak alergi obat yang sebenarnya pada pasien bedah disebabkan
oleh antibiotik, terutama antibiotik βlaktam, seperti penisilin dan sefalosporin.
Meskipun 1% sampai 4% dari administrasi β-laktam menghasilkan reaksi
alergi, hanya 0,004% sampai 0,015% dari reaksi ini yang mengakibatkan
anafilaksis. Hingga 2% dari populasi umum adalah alergi terhadap penisilin,
tetapi hanya 0,01% dari administrasi penisilin menyebabkan anafilaksis.
Sensitivitas silang sefalosporin pada pasien dengan alergi penisilin
diperkirakan 2% hingga 7%, tetapi riwayat reaksi anafilaksis terhadap
penisilin meningkatkan tingkat reaktivitas silang hingga 50%. Oleh karena itu,
pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis terhadap penisilin sebaiknya tidak
menerima sefalosporin. Meskipun imipenem menunjukkan sensitivitas silang
yang serupa, aztreonam tampaknya berbeda secara antigen dan dilaporkan
tidak bereaksi silang dengan β-laktam lainnya.
Alergi sulfonamida juga relatif umum pada pasien bedah. Obat sulfa
termasuk antibiotik sulfonamida, furosemid, hidroklorotiazid, dan kaptopril.
Untungnya, frekuensi reaktivitas silang di antara agen-agen ini rendah. Seperti
sefalosporin, vankomisin umumnya digunakan untuk profilaksis antibiotik
pada pasien bedah. Vankomisin dikaitkan dengan reaksi (sindrom "orang
merah" atau "leher merah") yang terdiri dari pruritus hebat, kemerahan, dan
eritema kepala dan batang tubuh bagian atas selain hipotensi arteri. Hipotensi
sistemik terisolasi tampaknya terutama dimediasi oleh pelepasan histamin,
karena pra-pengobatan dengan antihistamin H1 dan H2 dapat mencegah
hipotensi, bahkan dengan tingkat pemberian vankomisin yang cepat.
Vankomisin juga dapat menghasilkan reaksi anafilaksis atau anafilaktoid yang
sebenarnya. Protamin umumnya menyebabkan hipotensi vasodilatasi dan
lebih jarang muncul sebagai reaksi anafilaktoid dengan hipertensi paru dan
hipotensi sistemik. Mekanisme imunologi berhubungan dengan patologi
perioperatif lainnya. Cedera paru terkait transfusi mungkin sekunder akibat
28
aktivitas antibodi dalam plasma donor, menghasilkan reaksi hipersensitivitas
yang mengarah ke infiltrat paru dan hipoksemia (lihat Bab 51). Pembentukan
antibodi IgG yang diarahkan pada kompleks heparin-PF4 menghasilkan
aktivasi trombosit, trombosis, dan trombositopenia yang diinduksi heparin.
Protamin umumnya menyebabkan hipotensi vasodilatasi dan lebih jarang
muncul sebagai reaksi anafilaktoid dengan hipertensi paru dan hipotensi
sistemik. Mekanisme imunologi berhubungan dengan patologi perioperatif
lainnya. Cedera paru terkait transfusi mungkin terjadi akibat aktivitas antibodi
dalam plasma donor, menghasilkan reaksi hipersensitivitas yang mengarah ke
infiltrat paru dan hipoksemia.
Pembentukan antibodi IgG yang diarahkan pada kompleks heparin-
PF4 menghasilkan aktivasi trombosit, trombosis, dan trombositopenia yang
diinduksi heparin. Protamin umumnya menyebabkan hipotensi vasodilatasi
dan lebih jarang muncul sebagai reaksi anafilaktoid dengan hipertensi paru dan
hipotensi sistemik. Mekanisme imunologi berhubungan dengan patologi
perioperatif lainnya. Cedera paru terkait transfusi mungkin sekunder akibat
aktivitas antibodi dalam plasma donor, menghasilkan reaksi hipersensitivitas
yang mengarah ke infiltrat paru dan hipoksemia (lihat Bab 51). Pembentukan
antibodi IgG yang diarahkan pada kompleks heparin-PF4 menghasilkan
aktivasi trombosit, trombosis, dan trombositopenia yang diinduksi heparin.
menghasilkan reaksi hipersensitivitas yang mengarah ke infiltrat paru dan
hipoksemia (lihat Bab 51). Pembentukan antibodi IgG yang diarahkan pada
kompleks heparin-PF4 menghasilkan aktivasi trombosit, trombosis, dan
trombositopenia yang diinduksi heparin. menghasilkan reaksi hipersensitivitas
yang mengarah ke infiltrat paru dan hipoksemia (lihat Bab 51). Pembentukan
antibodi IgG yang diarahkan pada kompleks heparin-PF4 menghasilkan
aktivasi trombosit, trombosis, dan trombositopenia yang diinduksi heparin.
29
K. Komplikasi yang Berhubungan dengan Posisi
Table 2.1 Efek Fisiologis Yang Biasa Terjadi Pada Berbagai Posisi Pasien
30
Respiratory Compression of abdomen and thorax decreases total lung
compliance and increases work of breathing.
Other Extreme head rotation may decrease cerebral venous
drainage and cerebral blood flow.
Lateral Cardiac Cardiac output unchanged unless venous return obstructed
decubitus (eg, kidney rest). Arterial blood pressure may fall as a result
of decreased vascular resistance (right side > left side).
Respiratory Decreased volume of dependent lung; increased perfusion of
dependent lung. Increased ventilation of dependent lung in
awake patients (no / mismatch); decreased ventilation of
dependent lung in anesthetized patients / mismatch). Further
decreases in dependent lung ventilation with paralysis and an
open chest (see Chapter 24).
Sitting Cardiac Pooling blood in lower body decreases central blood volume.
Cardiac output and arterial blood pressure fall despite rise in
heart rate and systemic vascular resistance.
Respiratory Lung volumes and functional residual capacity increase; work
of breathing increases.
31
Ulnar Any Padding at elbow, forearm supination.
32
BAB III
KESIMPULAN
Semua komplikasi memiliki biaya yang terkait dengan pasien dan sistem
kesehatan. Banyak komplikasi yang dapat ditentukan sebelumnya dan dicegah.
Asesmen sebelum operasi secara menyeluruh adalah kunci untuk mengidentifikasi
faktor risiko dan membuat stratifikasi pasien sehingga optimalisasi dan
perencanaan dapat terjadi sebelum operasi.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Miller, RD. Anesthesia, 5 th. Ed. Churchill Livingston. New York. USA; 2000.
2. Morgan GE., Michail MS., Muray MJ. Clinical anesthesiology. 5th ed. New
York: Lange; 2013.
3. Soenarto, R.F. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta; 2012. Hal : 197-205.
4. Pramono, Ardi. (2017). Buku Kulliah Anestesi, Ed 1. Jakarta: EGC.
5. Jaan, A. Munshi, R. Sareen, K. Parmar, E, Thakur, P. & Anindita, A. (2020).
Local Anesthesia - Solution to Pain : An Overview. Journal of Current Medical
Research and Opinion, 3(07), 537-548.
https://doi.org/10.15520/jcmro.v3i07.317
6. Harris, Michelle & Chung, Frances. Complications of General Anesthesia.
Clinics in plastic surgery.2013. 40. 503-513. 10.1016/j.cps.2013.07.001.
7. Taylor A, Grant CRK, Complications of regional anaesthesia, Anaesthesia and
intensive care medicine, https://doi.org/ 10.1016/j.mpaic.2019.01.017
8. Folino TB, Mahboobi SK. Regional Anesthetic Blocks.. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563238/
9. Morgan GE., Michail MS., Muray MJ. Clinical anesthesiology. 5th ed. New
York: Lange; 2018.
34