Anda di halaman 1dari 28

HALAMAN SAMPUL

SKRINING DAN TATALAKSANA PASIEN AMBULATORY


ANESTHESIA

TINJAUAN PUSTAKA

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Program Pendidikan Dokter


Spesialis-1 (PPDS-1) Anestesiologi dan Terapi Intensif

Disusun oleh :
dr. Danang Kayun Malana SOCA
dr. Nur Muhamad Arjanardi

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2023

i
LEMBAR PENGESAHAN

SKRINING DAN TATALAKSANA PASIEN AMBULATORY


ANESTHESIA

Disusun Oleh
dr. Danang Kayun Malana SOCA
dr. Nur Muhamad Arjanardi

Telah Disetujui
Semarang, 2023
Pembimbing

dr. x
NIP.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................2
2.1 One-Day Surgery .......................................................... Error! Bookmark not defined.
2.1.1 Definisi One-Day Surgery ......................................................................................2
2.1.2 Syarat One-Day Surgery ........................................................................................2
2.1.3 Evaluasi Praoperatif ...............................................................................................3
2.1.4 Jenis Tindakan One-Day Surgery ...........................................................................5
2.1.5 Pemilihan Teknik Anestesi One-Day Surgery ........................................................6
2.1.6 Manajemen Pascaoperasi .......................................................................................7
2.2 Obstructive Sleep Apnea ............................................... Error! Bookmark not defined.
2.2.1 Definisi Obstructive Sleep Apnea ...........................................................................9
2.2.2 Faktor Risiko Obstructive Sleep Apnea ..................................................................9
2.2.3 Patofisiologi Obstructive Sleep Apnea .................................................................. 10
2.2.4 Diagnosis dan Klasifikasi Obstructive Sleep Apnea .............................................. 11
2.3 One-Day Surgery pada Pasien Obstructive Sleep Apnea .............................................. 11
2.3.1 Metode Skrining Praoperatif untuk Pasien Obstructive Sleep Apnea..................... 11
2.3.2 Pemilihan Pasien Obstructive Sleep Apnea untuk One-Day Surgery ..................... 13
2.3.3 Luaran Pasien Obstructive Sleep Apnea yang Menjalani One-Day Surgery .......... 14
2.3.4 Manajemen Perioperatif Pasien Obstructive Sleep Apnea pada One-Day Surgery . 15
2.3.5 Perawatan Pasien Obstructive Sleep Apnea Pasca One-Day Surgery .................... 20
BAB III PENUTUP.................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Jenis gangguan pernapasan saat tidur yang paling umum, Obstructive Sleep Apnea (OSA),

ditandai dengan peningkatan tonus otot faring selama tidur dan anestesi, yang menyebabkan pola

berulang obstruksi jalan napas atas sebagian atau lengkap dengan gangguan respirasi.1 Satu dari

empat laki-laki dan satu dari sepuluh perempuan mengalami OSA ringan, dan satu dari sembilan

laki-laki dan satu dari dua puluh perempuan mengalami OSA sedang. Operasi elektif dilakukan

pada banyak pasien OSA yang tidak terdiagnosis. Sebagai hasil dari skrining pra operasi,

ditemukan bahwa sekitar 10% hingga 20% dari pasien bedah memiliki risiko OSA yang tinggi.

Bersamaan dengan peningkatan prevalensi OSA, ahli anestesi menghadapi banyak tantangan.2

OSA dikaitkan dengan beberapa komorbiditas, dan operasi rawat jalan pada pasien OSA

masih kontroversial, karena kekhawatiran peningkatan komplikasi perioperatif, termasuk

kematian pasca pulang. Saat ini, bukti terkait keamanan pasien OSA untuk operasi rawat jalan

masih terbatas. American Society of Anesthesiologists (ASA) dan Society for Ambulatory

Anesthesia (SAMBA) telah menerbitkan pedoman untuk menekankan pentingnya pemilihan

pasien yang tepat dan manajemen pasien OSA untuk operasi rawat jalan. Ahli anestesi memainkan

peran penting dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengoptimalkan pasien OSA. Skrining

pra operasi dan pemilihan pasien yang cermat untuk operasi rawat jalan adalah langkah kunci

selama manajemen perioperatif pasien OSA. Dengan skrining yang tepat dan manajemen berbasis

algoritma klinis, pasien dengan OSA dapat dirawat dengan aman sebagai pasien bedah rawat

jalan.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 One-Day Surgery

2.1.1 Definisi One-Day Surgery

Pelayanan rawat sehari (one-day care/ ODC) merupakan pelayanan pasien dalam

rangka observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik, dan/atau upaya pelayanan

kesehatan lain yang memerlukan perawatan kurang dari 24 jam. ODC surgery atau One-

Day Surgery (ODS) atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan operasi rawat jalan

merupakan layanan tindakan operasi dengan lama perawatan 24 jam, kemudian pasien

dapat dipulangkan setelah kondisi stabil.4,5

2.1.2 Syarat One-Day Surgery

Tidak semua tindakan atau penderita dapat ditangani dengan rawat jalan, demikian

pula tidak semua teknik anestesi dapat diterapkan pada pasien ambulatory. Ada beberapa

persyaratan operasi rawat jalan, yaitu:6

a. Kriteria pasien

1) Pasien merupakan ASA 1 atau ASA 2 dengan penyakit atau kelainan sistemik yang

terkendali.

2) Tidak ada riwayat pascabedah atau anestesia yang kurang baik.

3) Walaupun umur tidak merupakan factor seleksi mutlak tetapi pasien dewasa muda

dan anak (kecuali bayi prematur di bawah 6 bulan) lebih dapat diterima.

4) Pasien mengerti dan memahami instruksi prabedah dan pascabedah atau anestesia.

5) Keinginan pasien sendiri.

2
6) Pasien harus dapat melanjutkan fungsi normal sesegera mungkin.

b. Kriteria pembedahan

1) Lama pembedahan tidak melebihi 60 menit, karena dengan pembedahan yang

terlalu lama akan menimbulkan efek akumulasi anestetik sehingga masa pulih

sadar pasien juga berlangsung lama.

2) Operasi yang dilakukan sebaiknya yang superfisial, bukan tindakan bedah di dalam

kranium, toraks, atau abdomen (kecuali laparoskopi).

3) Tidak memerlukan pelemas otot yang sempurna.

4) Tidak banyak menimbulkan perubahan fisiologis.

5) Diduga tidak menyebabkan banyak perdarahan.

6) Kemungkinan komplikasi paska bedah rendah

2.1.3 Evaluasi Praoperatif

Sebelum pembedahan, persiapan idealnya dilakukan selama 1-2 hari untuk

mengetahui apakah ada kondisi yang dapat mengganggu proses operasi atau

penyembuhan pasien. Persiapan tersebut meliputi:7

a. Keadaan umum pasien

Keadaan umum pasien harus sebaik atau seoptimal mungkin untuk mengurangi

komplikasi. Untuk pemeriksaan penunjang yang umumnya dilakukan adalah

laboratorium darah dan urin rutin; jika meragukan, dilakukan pemeriksan khusus lain

seperti foto toraks, Elektrokardiografi (EKG), dan lain-lain.

b. Kondisi sistem pernapasan

Kondisi pasien yang umumnya berkaitan dengan sistem pernapasan adalah penyakit

bronkhitis kronik, Obstructive Sleep Apnea (OSA), asma bronkhial, sesak napas,

3
kebiasaan merokok. Untuk pasien dengan masalah difficult airway, maka pembiusan

regional atau blok saraf tepi lebih diutamakan.

c. Kondisi sistem kardiovaskuler

Pada pasien ODC jarang ditemukan komplikasi kardiovaskular peri-operatif, namun

perlu evaluasi untuk pencegahan. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain kejadian

kardiovaskular sebelumnya, nilai metabolic equivalent (MET) ≥ 4, EKG 12 lead

untuk evaluasi kelainan jantung. Hipertensi adalah penyakit kardiovaskular yang

paling umum dan sering menjadi penyebab penundaan dan pembatalan operasi rawat

jalan. Tekanan darah arteri yang lebih tinggi dapat menjadi predisposisi perioperatif

iskemia, aritmia, dan ketidakstabilan kardiovaskular, tetapi belum ada bukti yang jelas

yang menunjukkan bahwa menunda operasi dapat mengurangi risiko perioperatif.8

d. Penyakit ginjal, hepar, dan kelainan endokrin (diabetes melitus)

Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: penilaian fungsi organ, penilaian status

nutrisi, penilaian status kognitif, penilaian status fungsional, penilaian risiko anestesi,

penilaian risiko komorbiditas.9

e. Obat-obat yang sedang diminum, antara lain obat anti hipertensi, MAO inhibitor,

insulin, antibiotik tertentu, kortikosteroid.

f. Obesitas

Obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes,

OSA, dan sindrom hipoventilasi.10 Meskipun demikian, obesitas dan OSA adalah

faktor risiko untuk komplikasi perioperatif, pasien obesitas perlu dioptimalkan untuk

memenuhi syarat operasi rawat jalan.11

4
2.1.4 Jenis Tindakan One-Day Surgery

Operasi rawat jalan biasanya melakukan jenis operasi berikut: 8

a. Mata: reseksi otot-otot ekstraokular, bedah katarak, eksisi khalazion, reparasi ptosis,

koreksi strabismus, pemeriksaan mata yang memerlukan anestesi, sumbatan ductus

nasolakrimalis.

b. Telinga hidung tenggorokan: tonsilektomi, adenoidektomi, antrostomi,

mikrolaringoskopi, miringotomi, polipektomi, nasales, rinoplasti, bronkoskopi,

timpanoplasti, rhinoplasty, prosedur pada hidung septum dan turbinat, polipektomi,

adenotonsilektomi, laringoskopi, dan operasi sinus endoskopi

c. Bedah umum: biopsi, ekstirpasi tumor superfisial, mammoplasti, fisurektomi,

hemoroidektomi, herniorafi, insisi dan drainase abses, stripping vena varises,

sigmoidoskopi, endoskopi.

d. Kebidanan: biopsi, dilatasi dan kuretase, marsupialisasi, kista Bartholini, laparoskopi,

Bedah serviks, ligasi tuba laparoskopi, ooforektomi, histerektomi, operasi

inkontinensia.

e. Ortopedi: reposisi tertutup, eksotektomi, ganglionektomi, bedah minor di lengan dan

kaki, dekompresi tunnel karpal, bedah artroskopi untuk diagnostik dan terapeutik,

perbaikan ligamen anterior, operasi bunion, pengurangan, pengangkatan fraktur

logam, mikrodisektomi lumbal, operasi pinggul invasif minimal, dan operasi lutut

unicompartmental

f. Urologi: sirkumsisi, sistokopi, frenulektomi, meatotomi, orkhidopeksi, vasektomi,

Bedah kandung kemih dan ureter secara endoskopi, prostatektomi laser transurethral,

orkidektomi, laparoskopi nefrektomi, pieloplasti, dan prostatektomi

5
g. Bedah Plastik: prosedur kosmetika, pengangkatan keloid, blefaroplasti, otoplasti

h. Operasi payudara: operasi payudara seperti eksisi atau biopsi, termasuk eksisi lokal

yang luas, biopsi nodus sentinel, simple mastektomi, mikrodoktomi, dan operasi pada

puting susu

i. Kepala Leher: prosedur gigi, eksisi kelenjar ludah, tiroidektomi, dan paratiroidektomi

j. Vaskuler: operasi varises, pembuatan fistula dialisis, dan operasi arteri transluminal

2.1.5 Pemilihan Teknik Anestesi One-Day Surgery

Pemilihan suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien, prosedur

pembedahan serta keinginan dan permintaan pasien bila memungkinkan. Dalam bedah

rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang dapat dipilih yaitu:

a. Sedasi atau Monitored Anesthesia Care (MAC) sering menjadi pilihan apabila

anestesi umum atau anestesi regional dianggap berlebihan untuk jenis pembedahan

yang akan dilakukan, misalnya pada pembedahan minor. Namun teknik ini memiliki

risiko hipoventilasi dan hipoksemia sehingga dibutuhkan suplementasi oksigen

selama sedasi.27 Riwayat OSA, Gastroesophageal reflux disease (GERD), atau

intubasi sulit menjadi tantangan dan persoalan pada teknik ini.8

b. Anestesi regional dapat mempersingkat proses pembiusan dan pemulihan, pemberian

kateter pada anestesi regional meningkatkan efektivitas pemberian anti-nyeri dan

mempercepat waktu rehabilitasi pasien.12 Dengan teknik anestesi regional dapat

menurunkan konsumsi opioid, sehingga dapat menurunkan postoperative nausea and

vomiting (PONV) dan efek samping opioid lainnya.8

c. Anestesi umum menjadi pilihan untuk berbagai jenis operasi terutama pembedahan

di area jalan napas. Anestesi umum meningkatkan risiko PONV, post discharge

6
nausea and vomiting (PDNV) perlukaan jalan napas, gangguan kognitif post-operatif.

Observasi pasca-anestesi umum akan lebih lama dibandingkan pada sedasi berat dan

anestesi regional.8 Penggunaan analgetik multimodal dan antiemetik dapat

mengurangi risiko PONV.

d. Durasi singkat pada anestesi spinal menguntungkan operasi pasien rawat jalan.8

Tindakan ini sangat efektif pada operasi di area abdomen bagian bawah, inguinal,

rektal, ektremitas bawah, dan menjadi pilihan pada pasien dengan penyakit respirasi

kronik.8,12 Kontraindikasi tindakan ini apabila pasien menolak tindakan, terdapat

koagulopati, peningkatan tekanan intrakranial, dan infeksi area insersi jarum spinal.

Edukasi mengenai prosedur ini penting untuk dilakukan kepada pasien agar tidak

panik karena bagian bawah tubuh pasien tidak dapat digerakkan selama beberapa

saat.12

2.1.6 Manajemen Pascaoperasi

Untuk pemulihan akan dilanjutkan di rumah dan salah satu kriteria yang telah dibuat

untuk menentukan kesiapan pasien untuk dipulangkan seperti Modified PADSS (Post

Anesthesia Disharge Scoring System). Skor ini merupakan suatu sistem skoring yang

secara objektif menilai kesiapan kondisi pasien untuk dipulangkan.13 Apabila pasien tidak

dapat dipulangkan, pasien harus ditransfer ke rawat inap atau tinggal di ruangan untuk

pemantauan dan penanganan lebih lanjut. Jika perlu transfer, harus dikerjakan segera,

karena keterlambatan transfer dapat meningkatkan morbiditas. Jika pasien memenuhi

kriteria untuk dipulangkan, pasien dan keluarga atau orang yang menemani pasien harus

mendapatkan penjelasan mengenai hal yang tidak boleh atau boleh dilakukan oleh pasien.

Hal yang tidak boleh dilakukan pasien antara lain mengendarai kendaraan bermotor atau

7
mengoperasikan alat berat 24 - 48 jam setelah pembedahan. Sedangkan pada pasien

operasi rawat jalan dengan pembiusan blok regional ataupun spinal harus dipastikan

bahwa efek blok neurologis sudah selesai di hari setelah pembedahan. Adanya defisit

neurologi baik motorik maupun sensorik harus diberitahukan agar dapat diberi

assessment dan terapi. Skor 9 atau lebih pasien boleh pindah dari PACU, dengan syarat

skor tanda vital harus 2 dan skor lain tidak boleh ada yang bernilai 0.8

Tabel 1. Skor Modified Post Anaesthetic Discharge Scoring System (PADSS)

KRITERIA SKOR
Tanda vital
Tekanan darah <20% dari sebelum operasi 2
Tekanan darah 20% - 40% dari sebelum operasi 1
Tekanan darah > 40% dari sebelum operasi 0
Ambulasi
Berjalan yang stabil, tidak ada pusing 2
Butuh bantuan 1
Tidak dapat berjalan atau lemas; pusing 0
Mual muntah
Ringan 2
Sedang 1
Berat 0
Nyeri
Ringan 2
Sedang 1
Berat 0
Perdaharan
Ringan 2
Sedang 1
Berat 0

8
2.2 Obstructive Sleep Apnea

2.2.1 Definisi Obstructive Sleep Apnea

Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan tidur yang disebabkan karena

adanya penyempitan pada saluran napas bagian atas saat keadaan tidur yang

menyebabkan apnea atau hipopnea berulang. Periode apnea adalah terjadinya henti napas

selama 10 detik atau lebih. Periode hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran

udara sebanyak lebih-kurang 30% selama 10 detik yang berhubungan dengan penurunan

saturasi oksigen darah sebesar 4%. Apnea terjadi karena kolapsnya saluran napas atas

secara total, sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian, namun jika terjadi secara terus

menerus dapat menyebabkan apnea.1

2.2.2 Faktor Risiko Obstructive Sleep Apnea

OSA dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor patofisiologis, demografi, dan gaya

hidup. Faktor-faktor ini meliputi kelainan anatomis yang dapat menyebabkan perubahan

mekanis pada lumen jalan napas (misalnya, deformitas kraniofasial, retrognathia,

makroglosia), kelainan pada jaringan ikat (misalnya, sindrom Marfan), penyakit endokrin

(misalnya, hipotiroidisme, penyakit Cushing), jenis kelamin pria, lingkar leher >40 cm,

usia di atas 50 tahun, dan faktor gaya hidup, termasuk konsumsi alkohol dan merokok.

Prevalensi OSA lebih tinggi hingga mencapai 78% pada pasien obesitas yang dijadwalkan

untuk operasi bariatrik. Obesitas menyebabkan pembesaran jaringan lunak struktural di

sekitar saluran napas yang menyebabkan penyempitan pada faring. Volume paru-paru

sangat berkurang dengan peningkatan massa lemak perut. Pengurangan volume paru-paru

dapat menurunkan gaya traksi trakea longitudinal dan ketegangan dinding faring, yang

9
menyebabkan penyempitan jalan napas. Obesitas viseral sering terjadi pada subjek

dengan OSA.1

2.2.3 Patofisiologi Obstructive Sleep Apnea

Pada OSA, seseorang akan berhenti bernapas pada saat tidurnya akibat tertutupnya

saluran napas atas yang disebabkan oleh tidak adekuatnya tonus otot pada lidah dan/atau

otot dilator faring. OSA dikaitkan dengan berbagai komorbiditas, seperti iskemia

miokard, gagal jantung, hipertensi, aritmia, sindrom metabolik, penyakit serebrovaskular,

resistensi insulin, refluks gastroesofagus, dan obesitas. Aktivasi simpatis meningkat pada

episode apnea, yang mencegah penurunan normal tekanan darah pada malam hari. Sleep

apnea yang berhubungan dengan obesitas menyebabkan peningkatan tonus simpatis,

hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, hipoksemia kronis, dan perubahan tekanan intratoraks

yang berlebihan selama episode obstruktif. OSA juga menyebabkan peningkatan ukuran

dan ketebalan dinding ventrikel kanan.

Gambar 1. Perbedaan Pernapasan Normal, Mengorok, dan OSA

10
2.2.4 Diagnosis dan Klasifikasi Obstructive Sleep Apnea

Gold standard dalam mendiagnosis OSA adalah polisomnografi (PSG) atau studi

tidur. Modalitas ini merupakan pilihan jika pasien memiliki kondisi medis komorbiditas

yang signifikan, atau jika waktu operasi bukan merupakan faktor penting. Namun, alat ini

memiliki kelemahan biaya yang mahal dan mungkin tidak selalu tersedia. Oleh karena

itu, home sleeping test (HST) dengan saluran tunggal atau ganda telah diterima secara

luas, mudah digunakan dan memungkinkan penghematan biaya yang signifikan. Namun,

kegunaannya pada pasien dengan risiko tinggi apnea tidur sentral dan/atau kondisi

jantung, paru, atau neurologis yang signifikan masih kontroversial. 15

Apnea-Hypopnea Index (AHI), yang didefinisikan sebagai episode rata-rata

kejadian pernapasan abnormal per jam tidur, digunakan untuk mendiagnosis dan menilai

tingkat keparahan OSA. Kriteria diagnostik untuk OSA oleh American Academy of Sleep

Medicine memerlukan AHI 15 atau AHI 5 dengan gejala, seperti mengantuk di siang hari,

mendengkur keras, atau obstruksi yang diamati selama tidur. Tingkat keparahan OSA

dibagi sebagai berikut:15

Tabel 2. Apnea-Hypopnea Index (AHI)

Episode Apnea/Hipopnea (kali/jam) Klasifikasi OSA


<5 Normal
5-15 OSA ringan
15-30 OSA sedang
>30 OSA berat

2.3 One-Day Surgery pada Pasien Obstructive Sleep Apnea

2.3.1 Metode Skrining Praoperatif untuk Pasien Obstructive Sleep Apnea

Pedoman SAMBA merekomendasikan penggunaan kuesioner STOP-Bang sebagai

langkah pertama, karena mudah dilakukan. Kuesioner STOP-Bang awalnya

11
dikembangkan pada pasien bedah, tetapi telah divalidasi di berbagai populasi pasien.

Pasien dengan skor STOP-Bang 0-2 dianggap risiko rendah, 3-4 risiko menengah, dan 5-

8 risiko tinggi OSA. Kuesioner STOP-Bang memiliki validitas dan akurasi metodologis

tertinggi dalam memprediksi diagnosis OSA. Skor STOP-Bang 5-8 mengidentifikasi

pasien dengan kemungkinan tinggi OSA sedang hingga berat. Kadar bikarbonat serum 28

mmol/L hingga skor STOP-Bang ≥ 3 meningkatkan spesifisitas untuk diagnosis

praoperasi OSA. Untuk pasien obesitas derajat I atau obesitas derajat II, skor STOP-Bang

4 atau lebih dapat digunakan sebagai batas. Pasien dengan skor STOP-Bang yang lebih

tinggi lebih mungkin mengalami peningkatan komplikasi pasca operasi.16

Gambar 2. Kuesioner STOP-Bang

Indeks Desaturasi Oksigen (ODI) dari oksimeter resolusi tinggi cukup sensitif dan

spesifik untuk mengidentifikasi gangguan pernapasan saat tidur yang tidak terdiagnosis

12
pada pasien bedah. ODI adalah prediktor yang baik untuk AHI. ODI 10 menunjukkan

sensitivitas tinggi (93%) dan spesifisitas yang wajar (75%) untuk mendeteksi OSA sedang

dan berat. Pasien dengan SpO2 semalam rata-rata pra operasi <93%, atau ODI> 29

kejadian/jam baru-baru ini terbukti berisiko lebih tinggi untuk komplikasi pasca operasi.

Kelemahan tes skrining ini adalah tidak memadai untuk membedakan OSA dari gangguan

tidur lainnya, seperti OHS dan apnea tidur sentral. Jika dicurigai, gas darah arteri dan

polisomnografi semalaman diindikasikan untuk mendiagnosis hiperkarbia dan apnea.15

2.3.2 Pemilihan Pasien Obstructive Sleep Apnea untuk One-Day Surgery

Pada tahun 2006 dan 2014, ASA menerbitkan pedoman tentang manajemen

perioperatif pasien OSA berdasarkan tingkat keparahan sleep apnea, invasif operasi, jenis

anestesi, dan kebutuhan opioid pasca operasi. Berdasarkan tinjauan sistematis, SAMBA

telah merekomendasikan pernyataan konsensus pada pemilihan praoperasi pasien dengan

OSA untuk operasi rawat jalan. SAMBA merekomendasikan kuesioner STOP-Bang

sebagai alat skrining. Menurut pedoman SAMBA, pasien dengan diagnosis OSA dan

patuh dengan continuous PAP (CPAP), dengan kondisi komorbiditas yang dioptimalkan

dan kebutuhan opioid pascaoperasi yang minimal, dapat dipertimbangkan untuk operasi

rawat jalan. Namun, pasien yang tidak patuh dengan CPAP mungkin tidak sesuai untuk

operasi rawat jalan. Pada saat yang sama, pasien dengan dugaan diagnosis OSA

berdasarkan alat skrining dan kondisi komorbiditas yang dioptimalkan dapat

dipertimbangkan untuk operasi rawat jalan, jika nyeri pasca operasi dapat dikelola

terutama dengan teknik analgesik nonopioid. Berbeda dengan pedoman ASA OSA,

operasi abdomen bagian atas laparoskopi seperti gastric banding dapat dilakukan dengan

13
aman pada hari operasi asalkan diikuti dengan tindakan pencegahan perioperatif. Sebuah

tinjauan sistematis baru-baru ini pada pemilihan pasien obesitas untuk operasi rawat jalan

menunjukkan bahwa literatur tidak memiliki informasi yang cukup untuk membuat

rekomendasi mengenai pemilihan pasien obesitas untuk operasi rawat jalan. Pasien

superobesitas dengan indeks massa tubuh (BMI) >50 kg/m2 berada pada peningkatan

risiko untuk komplikasi perioperatif, sementara pasien dengan BMI rendah tidak

menunjukkan peningkatan risiko selama komorbiditas dioptimalkan sebelum operasi.17

Gambar 3. Algoritma Pemilihan Pasien OSA untuk Operasi Rawat Jalan

2.3.3 Luaran Pasien Obstructive Sleep Apnea yang Menjalani One-Day Surgery

Hasil studi pada operasi rawat inap telah jelas menunjukkan komplikasi jantung dan

paru yang serius pada pasien OSA, namun bukti mengenai hasil pasca operasi pada pasien

OSA yang menjalani operasi rawat jalan masih terbatas. Sebuah tinjauan sistematis oleh

SAMBA mengevaluasi lima studi prospektif dan dua retrospektif. Tinjauan sistematis ini

membandingkan hasil pascaoperasi dari 1.491 pasien OSA dan 2.036 pasien OSA risiko

rendah dengan 2.095 pasien non-OSA. Tak satu pun dari studi ini melaporkan hasil

merugikan yang signifikan secara klinis, seperti kebutuhan untuk pembedahan jalan

14
napas, cedera otak hipoksia, waktu keluar yang lebih lama, masuk rumah sakit yang tidak

terduga, atau kematian. Tinjauan sistematis ini juga menunjukkan bahwa pasien OSA

memiliki insiden hipoksemia pascaoperasi yang lebih tinggi, tetapi tidak ada perbedaan

dalam kebutuhan bantuan ventilasi atau reintubasi. 3

Dalam studi kohort prospektif, pasien dengan kemungkinan lebih besar untuk OSA

memiliki lebih banyak upaya laringoskopi, tingkat kesulitan laringoskopi, dan intubasi

serat optik. Penggunaan efedrin, metoprolol, dan labetalol intraoperatif juga lebih besar

pada pasien OSA, tetapi tidak ada perbedaan dalam insiden masuk rumah sakit yang tidak

terduga. Sebuah studi pada 404 prosedur rawat jalan kepala dan leher pada pasien OSA

tidak menunjukkan komplikasi atau rawat inap kembali. Sebuah studi kohort pada 77.809

prosedur bedah rawat jalan tidak mengidentifikasi peningkatan signifikan secara klinis

untuk rawat inap yang tidak direncanakan terkait dengan diagnosis sebelumnya dari 674

pasien OSA. Kurangnya peningkatan komplikasi pasca operasi dalam studi ini mungkin

karena pemilihan pasien OSA yang cermat untuk operasi rawat jalan, penggunaan CPAP,

dan opioid minimal.18,19

2.3.4 Manajemen Perioperatif Pasien Obstructive Sleep Apnea pada One-Day Surgery

Anestesi umum pada pasien dengan OSA merupakan tantangan, karena pemberian

anestesi, obat penenang, dan analgesik lebih lanjut dapat memperburuk obstruksi faring

pada disfungsi saluran napas yang sudah ada sebelumnya. Berbagai pendekatan

perioperatif dapat digunakan untuk mengurangi risiko dan hasil yang merugikan pada

pasien OSA. Karena obesitas merupakan faktor risiko utama OSA, manajemen anestesi

perlu mengatasi masalah yang berkaitan dengan obesitas serta OSA. Insiden intubasi yang

sulit dan ventilasi masker yang sulit tinggi pada pasien obesitas dibandingkan dengan

15
populasi nonobesitas. Kehadiran OSA dikaitkan dengan ventilasi masker yang sulit, serta

delapan kali lebih banyak kemungkinan intubasi yang sulit. Lingkar leher lebih dari 43

cm telah terbukti memiliki peningkatan risiko intubasi yang sulit. Namun, ada bukti yang

bertentangan mengenai prediktor kesulitan intubasi, seperti keparahan OSA, lingkar

leher, ketebalan jaringan lunak pretrakeal, dan BMI. Skor Mallampati 3 atau 4 dan jenis

kelamin laki-laki dapat dikaitkan dengan intubasi yang sulit. Rasio lingkar leher terhadap

jarak tiromental dapat memprediksi sulitnya intubasi pada pasien obesitas. Sebuah

penelitian menunjukkan bahwa skor STOP-Bang ≥ 3 memprediksi sulitnya intubasi.

Obesitas diidentifikasi sebagai prediktor independen dari kegagalan penggunaan

laryngeal mask airway yang membutuhkan intubasi endotrakeal.20

Bantuan dan peralatan yang cukup terampil, termasuk pilihan alat bantu jalan napas,

harus tersedia sebelum induksi anestesi. Anggota tim anestesi harus terbiasa dengan

algoritma jalan napas sulit tertentu, seperti ASA Difficult Airway Guideline. Posisi

laringoskopi kepala yang ditinggikan menggunakan bantal posisi tertentu dapat

memfasilitasi laringoskopi langsung. Preoksigenasi dengan PAP 10cm H2O secara terus

menerus selama 3-5 menit dengan head-up 25 ° telah terbukti meningkatkan konsentrasi

tidal akhir oksigen. Pada pasien obesitas derajat II dengan jalan napas yang sulit, intubasi

laringoskopi video dengan GlideScope, Storz V-Mac, atau McGrath memiliki tingkat

keberhasilan yang lebih baik. Penggunaan intubasi trakea dengan bantuan laringoskopi

video telah ditunjukkan sebagai metode alternatif untuk intubasi bronkoskopi fleksibel.

Teknik yang digunakan untuk menghindari hipoksemia pasca induksi termasuk

preoksigenasi dengan pasien dalam posisi head-up dan penggunaan CPAP, jika dapat

ditoleransi. Selain itu, posisi head elevated laryngoscopy position (HELP) secara

16
struktural meningkatkan pemeliharaan jalan napas faring pasif dan mungkin bermanfaat

untuk ventilasi mask serta meningkatkan keberhasilan intubasi trakea.21

Teknik anestesi umum yang optimal akan secara konsisten mencapai pemulihan

yang cepat dan mendorong kembalinya refleks jalan napas pasien dan pemeliharaan

oksigenasi. Untuk mencapai pemulihan yang cepat, perlu menggunakan agen anestesi,

analgesik, dan relaksan otot secara bijaksana. Bukti mengenai keunggulan teknik anestesi

umum tertentu pada pasien dengan OSA masih terbatas. Meski demikian, nitrous oxide

(N2O) bermanfaat karena dapat mengurangi kebutuhan anestesi inhalasi dan opioid. Hal

ini memungkinkan untuk memunculkan efek anestesi dengan cepat dan menghindari

komplikasi pernapasan yang diinduksi opioid. Meskipun banyak yang menghindari N2O

karena kekhawatiran peningkatan insiden mual dan muntah pasca operasi (PONV) dan

efek tekanan melalui perluasan ruang tertutup, signifikansi klinis dari efek samping ini

dalam praktik anestesi modern telah dipertanyakan. Sedikit sisa blokade neuromuskular

(biasanya tidak dihargai secara klinis) dapat meningkatkan morbiditas pasca operasi

termasuk ventilasi yang tidak memadai, hipoksia, dan kebutuhan untuk reintubasi. Oleh

karena itu, relaksan otot harus digunakan dengan hemat dan obat reversal harus digunakan

dalam dosis yang tepat. Strategi pernapasan untuk ventilasi intraoperatif yang optimal

akan mencakup penggunaan ventilasi pelindung paru-paru. Penting untuk menghindari

hiperventilasi karena alkalosis metabolik dapat menyebabkan hipoventilasi pascaoperasi,

yang tidak diinginkan pada pasien OSA.17

Penyakit refluks gastroesofageal karena hipotonia sfingter esofagus bagian bawah

sering terjadi pada pasien dengan OSA. Tindakan harus diambil untuk mengurangi risiko

aspirasi asam lambung dengan menggunakan penghambat pompa proton pra operasi,

17
antasida, dan induksi cepat dengan tekanan krikoid. Pasien dengan OSA memiliki

kepekaan yang meningkat terhadap efek depresan pernapasan dari agen anestesi umum,

karena kerentanan mereka yang meningkat terhadap kolaps jalan napas, kurang tidur

kronis, dan respons tumpul terhadap hipoksia dan hiperkarbia. Hipoksemia nokturnal

pada pasien OSA dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas terhadap analgesia opioid.

Pada saat yang sama, desaturasi nokturnal dapat dikaitkan dengan peningkatan nyeri pada

pasien dengan gangguan pernapasan saat tidur. Hipertensi pulmonal merupakan

komplikasi yang diketahui dari OSA yang sudah berlangsung lama. Pemicu intraoperatif

untuk peningkatan tekanan arteri pulmonalis, yaitu hipoksemia, hiperkarbia, hipotermia,

dan asidosis, harus dihindari.15

Induksi anestesi meningkatkan atelektasis dari 1% menjadi 11% dari total volume

paru pada pasien dengan obesitas morbid. Manuver rekrutmen seperti positive end-

expiratory pressure (PEEP) dan Valsava dapat mengurangi efek ini. Preoksigenasi dengan

ventilasi tekanan noninvasif dan PEEP dengan manuver rekrutmen intraoperatif (40 cm

H2O selama 40 detik) meningkatkan oksigenasi arteri dan volume paru akhir ekspirasi.

Sebuah meta-analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa manuver rekrutmen yang

ditambahkan ke PEEP dibandingkan dengan menggunakan PEEP saja dapat

meningkatkan oksigenasi intraoperatif dan komplians paru-paru.15

Agen anestesi kerja pendek seperti propofol, desfluran, dan remifentanil lebih

disukai daripada agen kerja panjang. Anestesi umum dengan agen penghambat

neuromuskular kerja menengah dikaitkan dengan lebih banyak risiko efek samping

pernapasan. Bahkan tingkat minimal blokade neuromuskular residual dapat

menyebabkan peningkatan morbiditas pasca operasi karena aspirasi, obstruksi jalan

18
napas, hipoksia, hipoventilasi, dan reintubasi. Pasien OSA harus diekstubasi hanya ketika

bangun, mematuhi perintah, dan setelah memastikan patensi jalan napas yang memadai.

Difficult Airway Society telah menerbitkan pedoman untuk pengelolaan ekstubasi trakea

menggunakan pendekatan sistematis. Pasien dengan obesitas dan OSA diklasifikasikan

ke dalam kategori ekstubasi berisiko komplikasi.22

Penggunaan obat opioid-sparing intraoperatif seperti parasetamol, obat

antiinflamasi nonsteroid, inhibitor COX-2, tramadol, pregabalin, dan gabapentin dapat

menurunkan kebutuhan opioid pascaoperasi. Sedasi untuk prosedur bedah di bawah

anestesi harus dipantau dengan kapnografi untuk memastikan kecukupan ventilasi. Pasien

yang menggunakan terapi PAP untuk OSA di rumah dapat menggunakan perangkat PAP

mereka selama operasi di bawah sedasi ringan hingga sedang. Untuk prosedur yang

membutuhkan sedasi dalam, jalan napas yang aman lebih disukai daripada yang tidak

terlindungi. Berkenaan dengan OSA masa kanak- kanak dan indikasi untuk

polisomnografi sebelum tonsilektomi, pedoman praktik klinis telah diterbitkan. Telah

tersedia kit alat keselamatan pasien yang dirancang khusus untuk pasien OSA yang

menjalani operasi rawat jalan.23

Profilaksis mual dan muntah pascaoperasi dapat menggunakan terapi antiemetik

multimodal profilaksis yang terdiri dari deksametason 4-8 mg IV dan ondansetron 4 mg.

Pasien dengan risiko PONV tinggi dapat menerima antiemetik tambahan seperti patch

skopolamin transdermal dan/atau anestesi intravena total. Promethazine 6,25 mg, IV atau

dimenhydrinate 1 mg/kg dapat digunakan untuk pengobatan PONV di ruang pemulihan.

Pasien dengan OSA mendapat manfaat dari teknik analgesia multimodal menggunakan

analgesik non-opioid termasuk analgesia regional/lokal, asetaminofen, obat antiinflamasi

19
nonsteroid atau inhibitor spesifik siklooksigenase-2, dan deksametason. Karena opioid

dapat dikaitkan dengan peningkatan komplikasi pasca operasi pada pasien OSA, obat

tersebut harus digunakan dengan hati-hati. Penggunaan strategi manajemen nyeri spesifik

harus memungkinkan peningkatan kontrol nyeri dengan penggunaan minimal opioid dan

komplikasi pernapasan yang diinduksi opioid.17

2.3.5 Perawatan Pasien Obstructive Sleep Apnea Pasca One-Day Surgery

Pada periode pasca operasi, pasien OSA sangat rentan terhadap obstruksi jalan

napas atas dan kebutuhan untuk reintubasi serta hipertensi sistemik dan disritmia jantung.

Tingkat keparahan OSA, adanya kondisi komorbiditas, dan penggunaan opioid

merupakan prediktor komplikasi perioperatif. Setelah berada di ruang pemulihan, pasien

harus dipertahankan dalam posisi semi-tegak (30 derajat) jika memungkinkan. Pasien

harus diobservasi untuk episode desaturasi dan apnea berulang dan peningkatan

kebutuhan oksigen tambahan. Pasien yang mudah menyumbat jalan napas saat

mengantuk harus mendapat kewaspadaan ekstra. Selain itu, ketidakcocokan sedasi-

analgesik dengan opioid merupakan prediktor yang baik untuk komplikasi potensial.

Hindari opioid sistemik jika mungkin dan jika perlu titrasi sejumlah kecil obat short-

acting.17

Meskipun oksigen tambahan bermanfaat bagi sebagian besar pasien, oksigen

tambahan harus diberikan dengan hati-hati karena dapat mengurangi dorongan

pernapasan dan meningkatkan insiden dan durasi episode apnea. Sebuah studi baru-baru

ini melaporkan bahwa meskipun saturasi oksigen arteri dapat dipertahankan selama

pemberian oksigen tambahan, ventilasi menit berkurang secara signifikan. Oksigen

tambahan dapat menutupi perkembangan hiperkarbia, yang dapat menyebabkan

20
komplikasi pernapasan yang mengancam jiwa, terutama pada pasien dengan OSA. Oleh

karena itu, hipoksemia berulang mungkin lebih baik diobati dengan PAP bersama dengan

oksigen daripada oksigen saja.17

Penggunaan PAP dapat mengurangi risiko obstruksi jalan napas dan komplikasi

pernapasan. Ahli anestesi perlu membiasakan diri dengan perangkat PAP. Pasien dengan

OSA yang diketahui pada terapi harus ditempatkan pada terapi PAP pada periode pasca

operasi sesegera mungkin. CPAP profilaksis selama 24-48 jam setelah ekstubasi telah

dilaporkan meningkatkan fungsi paru dan mengurangi komplikasi utama meskipun

penggunaan opioid tidak dibatasi. Namun, penentuan pengaturan PAP yang optimal dan

waktu memulai terapi PAP mungkin sulit dilakukan pada pasien yang sebelumnya tidak

pernah menggunakan alat tersebut. Sebuah studi baru-baru ini melaporkan bahwa

penggunaan empiris CPAP pada periode pasca operasi tidak meningkatkan hasil. Dalam

penelitian lain, pengobatan APAP perioperatif menurunkan keparahan OSA (berdasarkan

AHI) dan meningkatkan saturasi oksigen pascaoperasi. Tidak ada perbedaan dalam

tingkat komplikasi yang diamati. Ada kemungkinan bahwa penggunaan perangkat

penyesuaian diri atau APAP mungkin lebih efektif pada periode pasca operasi.17

Pasien OSA yang menerima anestesi umum harus memperpanjang pemantauan

selama 60 menit tambahan setelah mereka memenuhi kriteria Aldrete yang dimodifikasi

untuk dipulangkan. Insiden kejadian pernapasan berulang di PACU merupakan indikasi

untuk pemantauan pasca operasi berkelanjutan. Peristiwa pernapasan ini adalah episode

apnea 10 detik, bradipnea <8 napas/menit, ketidaksesuaian sedasi nyeri, atau desaturasi

O2 berulang <90%. Kejadian berulang dari salah satu peristiwa ini dianggap sebagai

kejadian pernapasan PACU berulang. Pasien OSA dengan kejadian pernapasan berulang

21
memiliki peningkatan risiko komplikasi pernapasan pasca operasi. Pasien ini mungkin

memerlukan terapi PAP pasca operasi dengan pemantauan.15

Pada periode pasca operasi, gangguan tidur paling besar terjadi pada malam

pertama pasca operasi, malam operasi, dan gangguan pernapasan saat tidur tertinggi pada

malam pasca operasi. Peningkatan AHI pasca operasi berhubungan positif dengan AHI

pra operasi, jenis kelamin laki-laki, dan dosis opioid 72 jam. Hal ini diperlukan untuk

mengedukasi ahli bedah, pasien, dan keluarga mereka mengenai perlunya peningkatan

kewaspadaan setelah pulang. Instruksi pasca-pemulangan kepada pasien dan keluarga

mereka (pengasuh) sangat penting dalam meningkatkan hasil. Pasien yang menjalani

terapi PAP sebelum operasi harus menggunakan terapi PAP mereka setiap kali tidur.

Pasien harus diminta untuk menghindari opioid.24

Gambar 4. Algoritma Pemulangan Pasien OSA

22
BAB III

PENUTUP

Pasien dengan OSA memiliki risiko tinggi dalam mengalami komplikasi perioperatif dan

selama beberapa hari setelah operasi rawat jalan. Karena mayoritas pasien OSA tidak terdiagnosis

secara klinis, skrining OSA idealnya dijadikan sebagai bagian dari evaluasi praoperasi standar.

Skrining dapat dilakukan dengan kuisioner STOP- Bang. Seleksi pasien OSA untuk ODS harus

dilakukan dengan cermat dan teliti, di mana pasien dengan kondisi komorbid non-optimal tidak

sesuai untuk ODS. Indeks kecurigaan yang tinggi memungkinkan perencanaan perioperatif

termasuk penggunaan teknik anestesi yang akan memungkinkan pemulihan yang cepat dan

mendorong kembalinya refleks jalan napas pasien, pemeliharaan oksigenasi, serta meminimalisasi

ketergantungan pada opioid. Pasien OSA yang mengalami ketidaksesuaian sedasi-analgesik

dengan opioid, desaturasi oksigen, dan episode apnea harus dipantau secara ketat. Manajemen

pasca-operasi meliputi pemantauan pasien secara cermat dan lebih lama dari pasien non-OSA,

menggunakan terapi PAP, menghindari opioid, dan edukasi ahli bedah, pasien, serta keluarga

mengenai perlunya peningkatan kewaspadaan setelah pulang.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Isono S. Obstructive sleep apnea of obese adults: pathophysiology and perioperative

airway management. Anesthesiology. 2009 Apr;110(4):908–21.

2. Peppard PE, Young T, Barnet JH, Palta M, Hagen EW, Hla KM. Increased prevalence of

sleep-disordered breathing in adults. Am J Epidemiol. 2013 May;177(9):1006–14.

3. Joshi GP, Ankichetty SP, Gan TJ, Chung F. Society for Ambulatory Anesthesia consensus

statement on preoperative selection of adult patients with obstructive sleep apnea

scheduled for ambulatory surgery. Anesth Analg. 2012 Nov;115(5):1060–8.

4. Miller R, Pardo M. Basics of anesthesia. In: Basics of Anesthesia. 7th ed. Elsevier Health

Sciences; 2018.

5. White P. Anesthesia for ambulatory surgery. In: Ambulatory Anesthesia & Surgery. 2004.

6. Lee JH. Anesthesia for ambulatory surgery. Korean J Anesthesiol. 2017 Aug;70(4):398–

406.

7. Chandee T, Sriparkdee C. Anesthesia for Ambulatory Surgery. Thammasat Med J.

2019;19(August):197–208.

8. Thiele E, Nemergut E. Miller’s Anesthesia. 9th ed. Gropper M, Eriksson L, editors.

Elsevier; 2020.

9. Mauliana Prabiwi D, Wahyuni A. Manajemen Preoperatif dan Anestesia Pasien Geriatri.

Anest Pasien Geriatr Medula. 2021;10(4):633–4.

10. Gangadhar S, Gopal T, Sathyabhama, Paramesh K. Rapid emergence of day-care

anaesthesia: A review. Indian J Anaesth. 2012 Jul;56(4):336–41.

11. Prabhakar A, Helander E, Chopra N, Kaye AJ, Urman RD, Kaye AD. Preoperative

24
Assessment for Ambulatory Surgery. Curr Pain Headache Rep. 2017 Aug;21(10):43.

12. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 7th

ed. McGraw-Hill; 2022.

13. White PF. Ambulatory anesthesia advances into the new millennium. Anesth Analg. 2000

May;90(5):1234–5.

14. Chau EHL, Lam D, Wong J, Mokhlesi B, Chung F, Warner DS. Obesity Hypoventilation

Syndrome: A Review of Epidemiology, Pathophysiology, and Perioperative

Considerations. Anesthesiology [Internet]. 2012 Jul 1;117(1):188–205. Available from:

https://doi.org/10.1097/ALN.0b013e31825add60

15. Raveendran R, Chung F. Ambulatory anesthesia for patients with sleep apnea. Ambul

Anesth. 2015;143.

25

Anda mungkin juga menyukai