TINJAUAN PUSTAKA
Disusun oleh :
dr. Danang Kayun Malana SOCA
dr. Nur Muhamad Arjanardi
i
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh
dr. Danang Kayun Malana SOCA
dr. Nur Muhamad Arjanardi
Telah Disetujui
Semarang, 2023
Pembimbing
dr. x
NIP.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Jenis gangguan pernapasan saat tidur yang paling umum, Obstructive Sleep Apnea (OSA),
ditandai dengan peningkatan tonus otot faring selama tidur dan anestesi, yang menyebabkan pola
berulang obstruksi jalan napas atas sebagian atau lengkap dengan gangguan respirasi.1 Satu dari
empat laki-laki dan satu dari sepuluh perempuan mengalami OSA ringan, dan satu dari sembilan
laki-laki dan satu dari dua puluh perempuan mengalami OSA sedang. Operasi elektif dilakukan
pada banyak pasien OSA yang tidak terdiagnosis. Sebagai hasil dari skrining pra operasi,
ditemukan bahwa sekitar 10% hingga 20% dari pasien bedah memiliki risiko OSA yang tinggi.
Bersamaan dengan peningkatan prevalensi OSA, ahli anestesi menghadapi banyak tantangan.2
OSA dikaitkan dengan beberapa komorbiditas, dan operasi rawat jalan pada pasien OSA
kematian pasca pulang. Saat ini, bukti terkait keamanan pasien OSA untuk operasi rawat jalan
masih terbatas. American Society of Anesthesiologists (ASA) dan Society for Ambulatory
pasien yang tepat dan manajemen pasien OSA untuk operasi rawat jalan. Ahli anestesi memainkan
peran penting dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengoptimalkan pasien OSA. Skrining
pra operasi dan pemilihan pasien yang cermat untuk operasi rawat jalan adalah langkah kunci
selama manajemen perioperatif pasien OSA. Dengan skrining yang tepat dan manajemen berbasis
algoritma klinis, pasien dengan OSA dapat dirawat dengan aman sebagai pasien bedah rawat
jalan.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pelayanan rawat sehari (one-day care/ ODC) merupakan pelayanan pasien dalam
kesehatan lain yang memerlukan perawatan kurang dari 24 jam. ODC surgery atau One-
Day Surgery (ODS) atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan operasi rawat jalan
merupakan layanan tindakan operasi dengan lama perawatan 24 jam, kemudian pasien
Tidak semua tindakan atau penderita dapat ditangani dengan rawat jalan, demikian
pula tidak semua teknik anestesi dapat diterapkan pada pasien ambulatory. Ada beberapa
a. Kriteria pasien
1) Pasien merupakan ASA 1 atau ASA 2 dengan penyakit atau kelainan sistemik yang
terkendali.
3) Walaupun umur tidak merupakan factor seleksi mutlak tetapi pasien dewasa muda
dan anak (kecuali bayi prematur di bawah 6 bulan) lebih dapat diterima.
4) Pasien mengerti dan memahami instruksi prabedah dan pascabedah atau anestesia.
2
6) Pasien harus dapat melanjutkan fungsi normal sesegera mungkin.
b. Kriteria pembedahan
terlalu lama akan menimbulkan efek akumulasi anestetik sehingga masa pulih
2) Operasi yang dilakukan sebaiknya yang superfisial, bukan tindakan bedah di dalam
mengetahui apakah ada kondisi yang dapat mengganggu proses operasi atau
Keadaan umum pasien harus sebaik atau seoptimal mungkin untuk mengurangi
laboratorium darah dan urin rutin; jika meragukan, dilakukan pemeriksan khusus lain
Kondisi pasien yang umumnya berkaitan dengan sistem pernapasan adalah penyakit
bronkhitis kronik, Obstructive Sleep Apnea (OSA), asma bronkhial, sesak napas,
3
kebiasaan merokok. Untuk pasien dengan masalah difficult airway, maka pembiusan
perlu evaluasi untuk pencegahan. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain kejadian
paling umum dan sering menjadi penyebab penundaan dan pembatalan operasi rawat
jalan. Tekanan darah arteri yang lebih tinggi dapat menjadi predisposisi perioperatif
iskemia, aritmia, dan ketidakstabilan kardiovaskular, tetapi belum ada bukti yang jelas
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: penilaian fungsi organ, penilaian status
nutrisi, penilaian status kognitif, penilaian status fungsional, penilaian risiko anestesi,
e. Obat-obat yang sedang diminum, antara lain obat anti hipertensi, MAO inhibitor,
f. Obesitas
OSA, dan sindrom hipoventilasi.10 Meskipun demikian, obesitas dan OSA adalah
faktor risiko untuk komplikasi perioperatif, pasien obesitas perlu dioptimalkan untuk
4
2.1.4 Jenis Tindakan One-Day Surgery
a. Mata: reseksi otot-otot ekstraokular, bedah katarak, eksisi khalazion, reparasi ptosis,
nasolakrimalis.
sigmoidoskopi, endoskopi.
inkontinensia.
kaki, dekompresi tunnel karpal, bedah artroskopi untuk diagnostik dan terapeutik,
logam, mikrodisektomi lumbal, operasi pinggul invasif minimal, dan operasi lutut
unicompartmental
Bedah kandung kemih dan ureter secara endoskopi, prostatektomi laser transurethral,
5
g. Bedah Plastik: prosedur kosmetika, pengangkatan keloid, blefaroplasti, otoplasti
h. Operasi payudara: operasi payudara seperti eksisi atau biopsi, termasuk eksisi lokal
yang luas, biopsi nodus sentinel, simple mastektomi, mikrodoktomi, dan operasi pada
puting susu
i. Kepala Leher: prosedur gigi, eksisi kelenjar ludah, tiroidektomi, dan paratiroidektomi
j. Vaskuler: operasi varises, pembuatan fistula dialisis, dan operasi arteri transluminal
Pemilihan suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien, prosedur
pembedahan serta keinginan dan permintaan pasien bila memungkinkan. Dalam bedah
rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang dapat dipilih yaitu:
a. Sedasi atau Monitored Anesthesia Care (MAC) sering menjadi pilihan apabila
anestesi umum atau anestesi regional dianggap berlebihan untuk jenis pembedahan
yang akan dilakukan, misalnya pada pembedahan minor. Namun teknik ini memiliki
c. Anestesi umum menjadi pilihan untuk berbagai jenis operasi terutama pembedahan
di area jalan napas. Anestesi umum meningkatkan risiko PONV, post discharge
6
nausea and vomiting (PDNV) perlukaan jalan napas, gangguan kognitif post-operatif.
Observasi pasca-anestesi umum akan lebih lama dibandingkan pada sedasi berat dan
d. Durasi singkat pada anestesi spinal menguntungkan operasi pasien rawat jalan.8
Tindakan ini sangat efektif pada operasi di area abdomen bagian bawah, inguinal,
rektal, ektremitas bawah, dan menjadi pilihan pada pasien dengan penyakit respirasi
koagulopati, peningkatan tekanan intrakranial, dan infeksi area insersi jarum spinal.
Edukasi mengenai prosedur ini penting untuk dilakukan kepada pasien agar tidak
panik karena bagian bawah tubuh pasien tidak dapat digerakkan selama beberapa
saat.12
Untuk pemulihan akan dilanjutkan di rumah dan salah satu kriteria yang telah dibuat
untuk menentukan kesiapan pasien untuk dipulangkan seperti Modified PADSS (Post
Anesthesia Disharge Scoring System). Skor ini merupakan suatu sistem skoring yang
secara objektif menilai kesiapan kondisi pasien untuk dipulangkan.13 Apabila pasien tidak
dapat dipulangkan, pasien harus ditransfer ke rawat inap atau tinggal di ruangan untuk
pemantauan dan penanganan lebih lanjut. Jika perlu transfer, harus dikerjakan segera,
kriteria untuk dipulangkan, pasien dan keluarga atau orang yang menemani pasien harus
mendapatkan penjelasan mengenai hal yang tidak boleh atau boleh dilakukan oleh pasien.
Hal yang tidak boleh dilakukan pasien antara lain mengendarai kendaraan bermotor atau
7
mengoperasikan alat berat 24 - 48 jam setelah pembedahan. Sedangkan pada pasien
operasi rawat jalan dengan pembiusan blok regional ataupun spinal harus dipastikan
bahwa efek blok neurologis sudah selesai di hari setelah pembedahan. Adanya defisit
neurologi baik motorik maupun sensorik harus diberitahukan agar dapat diberi
assessment dan terapi. Skor 9 atau lebih pasien boleh pindah dari PACU, dengan syarat
skor tanda vital harus 2 dan skor lain tidak boleh ada yang bernilai 0.8
KRITERIA SKOR
Tanda vital
Tekanan darah <20% dari sebelum operasi 2
Tekanan darah 20% - 40% dari sebelum operasi 1
Tekanan darah > 40% dari sebelum operasi 0
Ambulasi
Berjalan yang stabil, tidak ada pusing 2
Butuh bantuan 1
Tidak dapat berjalan atau lemas; pusing 0
Mual muntah
Ringan 2
Sedang 1
Berat 0
Nyeri
Ringan 2
Sedang 1
Berat 0
Perdaharan
Ringan 2
Sedang 1
Berat 0
8
2.2 Obstructive Sleep Apnea
Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan tidur yang disebabkan karena
adanya penyempitan pada saluran napas bagian atas saat keadaan tidur yang
menyebabkan apnea atau hipopnea berulang. Periode apnea adalah terjadinya henti napas
selama 10 detik atau lebih. Periode hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran
udara sebanyak lebih-kurang 30% selama 10 detik yang berhubungan dengan penurunan
saturasi oksigen darah sebesar 4%. Apnea terjadi karena kolapsnya saluran napas atas
secara total, sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian, namun jika terjadi secara terus
OSA dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor patofisiologis, demografi, dan gaya
hidup. Faktor-faktor ini meliputi kelainan anatomis yang dapat menyebabkan perubahan
makroglosia), kelainan pada jaringan ikat (misalnya, sindrom Marfan), penyakit endokrin
(misalnya, hipotiroidisme, penyakit Cushing), jenis kelamin pria, lingkar leher >40 cm,
usia di atas 50 tahun, dan faktor gaya hidup, termasuk konsumsi alkohol dan merokok.
Prevalensi OSA lebih tinggi hingga mencapai 78% pada pasien obesitas yang dijadwalkan
sekitar saluran napas yang menyebabkan penyempitan pada faring. Volume paru-paru
sangat berkurang dengan peningkatan massa lemak perut. Pengurangan volume paru-paru
dapat menurunkan gaya traksi trakea longitudinal dan ketegangan dinding faring, yang
9
menyebabkan penyempitan jalan napas. Obesitas viseral sering terjadi pada subjek
dengan OSA.1
Pada OSA, seseorang akan berhenti bernapas pada saat tidurnya akibat tertutupnya
saluran napas atas yang disebabkan oleh tidak adekuatnya tonus otot pada lidah dan/atau
otot dilator faring. OSA dikaitkan dengan berbagai komorbiditas, seperti iskemia
resistensi insulin, refluks gastroesofagus, dan obesitas. Aktivasi simpatis meningkat pada
episode apnea, yang mencegah penurunan normal tekanan darah pada malam hari. Sleep
hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, hipoksemia kronis, dan perubahan tekanan intratoraks
yang berlebihan selama episode obstruktif. OSA juga menyebabkan peningkatan ukuran
10
2.2.4 Diagnosis dan Klasifikasi Obstructive Sleep Apnea
Gold standard dalam mendiagnosis OSA adalah polisomnografi (PSG) atau studi
tidur. Modalitas ini merupakan pilihan jika pasien memiliki kondisi medis komorbiditas
yang signifikan, atau jika waktu operasi bukan merupakan faktor penting. Namun, alat ini
memiliki kelemahan biaya yang mahal dan mungkin tidak selalu tersedia. Oleh karena
itu, home sleeping test (HST) dengan saluran tunggal atau ganda telah diterima secara
luas, mudah digunakan dan memungkinkan penghematan biaya yang signifikan. Namun,
kegunaannya pada pasien dengan risiko tinggi apnea tidur sentral dan/atau kondisi
kejadian pernapasan abnormal per jam tidur, digunakan untuk mendiagnosis dan menilai
tingkat keparahan OSA. Kriteria diagnostik untuk OSA oleh American Academy of Sleep
Medicine memerlukan AHI 15 atau AHI 5 dengan gejala, seperti mengantuk di siang hari,
mendengkur keras, atau obstruksi yang diamati selama tidur. Tingkat keparahan OSA
11
dikembangkan pada pasien bedah, tetapi telah divalidasi di berbagai populasi pasien.
Pasien dengan skor STOP-Bang 0-2 dianggap risiko rendah, 3-4 risiko menengah, dan 5-
8 risiko tinggi OSA. Kuesioner STOP-Bang memiliki validitas dan akurasi metodologis
pasien dengan kemungkinan tinggi OSA sedang hingga berat. Kadar bikarbonat serum 28
praoperasi OSA. Untuk pasien obesitas derajat I atau obesitas derajat II, skor STOP-Bang
4 atau lebih dapat digunakan sebagai batas. Pasien dengan skor STOP-Bang yang lebih
Indeks Desaturasi Oksigen (ODI) dari oksimeter resolusi tinggi cukup sensitif dan
spesifik untuk mengidentifikasi gangguan pernapasan saat tidur yang tidak terdiagnosis
12
pada pasien bedah. ODI adalah prediktor yang baik untuk AHI. ODI 10 menunjukkan
sensitivitas tinggi (93%) dan spesifisitas yang wajar (75%) untuk mendeteksi OSA sedang
dan berat. Pasien dengan SpO2 semalam rata-rata pra operasi <93%, atau ODI> 29
kejadian/jam baru-baru ini terbukti berisiko lebih tinggi untuk komplikasi pasca operasi.
Kelemahan tes skrining ini adalah tidak memadai untuk membedakan OSA dari gangguan
tidur lainnya, seperti OHS dan apnea tidur sentral. Jika dicurigai, gas darah arteri dan
Pada tahun 2006 dan 2014, ASA menerbitkan pedoman tentang manajemen
perioperatif pasien OSA berdasarkan tingkat keparahan sleep apnea, invasif operasi, jenis
anestesi, dan kebutuhan opioid pasca operasi. Berdasarkan tinjauan sistematis, SAMBA
sebagai alat skrining. Menurut pedoman SAMBA, pasien dengan diagnosis OSA dan
patuh dengan continuous PAP (CPAP), dengan kondisi komorbiditas yang dioptimalkan
dan kebutuhan opioid pascaoperasi yang minimal, dapat dipertimbangkan untuk operasi
rawat jalan. Namun, pasien yang tidak patuh dengan CPAP mungkin tidak sesuai untuk
operasi rawat jalan. Pada saat yang sama, pasien dengan dugaan diagnosis OSA
dipertimbangkan untuk operasi rawat jalan, jika nyeri pasca operasi dapat dikelola
terutama dengan teknik analgesik nonopioid. Berbeda dengan pedoman ASA OSA,
operasi abdomen bagian atas laparoskopi seperti gastric banding dapat dilakukan dengan
13
aman pada hari operasi asalkan diikuti dengan tindakan pencegahan perioperatif. Sebuah
tinjauan sistematis baru-baru ini pada pemilihan pasien obesitas untuk operasi rawat jalan
menunjukkan bahwa literatur tidak memiliki informasi yang cukup untuk membuat
rekomendasi mengenai pemilihan pasien obesitas untuk operasi rawat jalan. Pasien
superobesitas dengan indeks massa tubuh (BMI) >50 kg/m2 berada pada peningkatan
risiko untuk komplikasi perioperatif, sementara pasien dengan BMI rendah tidak
2.3.3 Luaran Pasien Obstructive Sleep Apnea yang Menjalani One-Day Surgery
Hasil studi pada operasi rawat inap telah jelas menunjukkan komplikasi jantung dan
paru yang serius pada pasien OSA, namun bukti mengenai hasil pasca operasi pada pasien
OSA yang menjalani operasi rawat jalan masih terbatas. Sebuah tinjauan sistematis oleh
SAMBA mengevaluasi lima studi prospektif dan dua retrospektif. Tinjauan sistematis ini
membandingkan hasil pascaoperasi dari 1.491 pasien OSA dan 2.036 pasien OSA risiko
rendah dengan 2.095 pasien non-OSA. Tak satu pun dari studi ini melaporkan hasil
merugikan yang signifikan secara klinis, seperti kebutuhan untuk pembedahan jalan
14
napas, cedera otak hipoksia, waktu keluar yang lebih lama, masuk rumah sakit yang tidak
terduga, atau kematian. Tinjauan sistematis ini juga menunjukkan bahwa pasien OSA
memiliki insiden hipoksemia pascaoperasi yang lebih tinggi, tetapi tidak ada perbedaan
Dalam studi kohort prospektif, pasien dengan kemungkinan lebih besar untuk OSA
memiliki lebih banyak upaya laringoskopi, tingkat kesulitan laringoskopi, dan intubasi
serat optik. Penggunaan efedrin, metoprolol, dan labetalol intraoperatif juga lebih besar
pada pasien OSA, tetapi tidak ada perbedaan dalam insiden masuk rumah sakit yang tidak
terduga. Sebuah studi pada 404 prosedur rawat jalan kepala dan leher pada pasien OSA
tidak menunjukkan komplikasi atau rawat inap kembali. Sebuah studi kohort pada 77.809
prosedur bedah rawat jalan tidak mengidentifikasi peningkatan signifikan secara klinis
untuk rawat inap yang tidak direncanakan terkait dengan diagnosis sebelumnya dari 674
pasien OSA. Kurangnya peningkatan komplikasi pasca operasi dalam studi ini mungkin
karena pemilihan pasien OSA yang cermat untuk operasi rawat jalan, penggunaan CPAP,
2.3.4 Manajemen Perioperatif Pasien Obstructive Sleep Apnea pada One-Day Surgery
Anestesi umum pada pasien dengan OSA merupakan tantangan, karena pemberian
anestesi, obat penenang, dan analgesik lebih lanjut dapat memperburuk obstruksi faring
pada disfungsi saluran napas yang sudah ada sebelumnya. Berbagai pendekatan
perioperatif dapat digunakan untuk mengurangi risiko dan hasil yang merugikan pada
pasien OSA. Karena obesitas merupakan faktor risiko utama OSA, manajemen anestesi
perlu mengatasi masalah yang berkaitan dengan obesitas serta OSA. Insiden intubasi yang
sulit dan ventilasi masker yang sulit tinggi pada pasien obesitas dibandingkan dengan
15
populasi nonobesitas. Kehadiran OSA dikaitkan dengan ventilasi masker yang sulit, serta
delapan kali lebih banyak kemungkinan intubasi yang sulit. Lingkar leher lebih dari 43
cm telah terbukti memiliki peningkatan risiko intubasi yang sulit. Namun, ada bukti yang
leher, ketebalan jaringan lunak pretrakeal, dan BMI. Skor Mallampati 3 atau 4 dan jenis
kelamin laki-laki dapat dikaitkan dengan intubasi yang sulit. Rasio lingkar leher terhadap
jarak tiromental dapat memprediksi sulitnya intubasi pada pasien obesitas. Sebuah
Bantuan dan peralatan yang cukup terampil, termasuk pilihan alat bantu jalan napas,
harus tersedia sebelum induksi anestesi. Anggota tim anestesi harus terbiasa dengan
algoritma jalan napas sulit tertentu, seperti ASA Difficult Airway Guideline. Posisi
memfasilitasi laringoskopi langsung. Preoksigenasi dengan PAP 10cm H2O secara terus
menerus selama 3-5 menit dengan head-up 25 ° telah terbukti meningkatkan konsentrasi
tidal akhir oksigen. Pada pasien obesitas derajat II dengan jalan napas yang sulit, intubasi
laringoskopi video dengan GlideScope, Storz V-Mac, atau McGrath memiliki tingkat
keberhasilan yang lebih baik. Penggunaan intubasi trakea dengan bantuan laringoskopi
video telah ditunjukkan sebagai metode alternatif untuk intubasi bronkoskopi fleksibel.
preoksigenasi dengan pasien dalam posisi head-up dan penggunaan CPAP, jika dapat
ditoleransi. Selain itu, posisi head elevated laryngoscopy position (HELP) secara
16
struktural meningkatkan pemeliharaan jalan napas faring pasif dan mungkin bermanfaat
Teknik anestesi umum yang optimal akan secara konsisten mencapai pemulihan
yang cepat dan mendorong kembalinya refleks jalan napas pasien dan pemeliharaan
oksigenasi. Untuk mencapai pemulihan yang cepat, perlu menggunakan agen anestesi,
analgesik, dan relaksan otot secara bijaksana. Bukti mengenai keunggulan teknik anestesi
umum tertentu pada pasien dengan OSA masih terbatas. Meski demikian, nitrous oxide
(N2O) bermanfaat karena dapat mengurangi kebutuhan anestesi inhalasi dan opioid. Hal
ini memungkinkan untuk memunculkan efek anestesi dengan cepat dan menghindari
komplikasi pernapasan yang diinduksi opioid. Meskipun banyak yang menghindari N2O
karena kekhawatiran peningkatan insiden mual dan muntah pasca operasi (PONV) dan
efek tekanan melalui perluasan ruang tertutup, signifikansi klinis dari efek samping ini
dalam praktik anestesi modern telah dipertanyakan. Sedikit sisa blokade neuromuskular
(biasanya tidak dihargai secara klinis) dapat meningkatkan morbiditas pasca operasi
termasuk ventilasi yang tidak memadai, hipoksia, dan kebutuhan untuk reintubasi. Oleh
karena itu, relaksan otot harus digunakan dengan hemat dan obat reversal harus digunakan
dalam dosis yang tepat. Strategi pernapasan untuk ventilasi intraoperatif yang optimal
sering terjadi pada pasien dengan OSA. Tindakan harus diambil untuk mengurangi risiko
aspirasi asam lambung dengan menggunakan penghambat pompa proton pra operasi,
17
antasida, dan induksi cepat dengan tekanan krikoid. Pasien dengan OSA memiliki
kepekaan yang meningkat terhadap efek depresan pernapasan dari agen anestesi umum,
karena kerentanan mereka yang meningkat terhadap kolaps jalan napas, kurang tidur
kronis, dan respons tumpul terhadap hipoksia dan hiperkarbia. Hipoksemia nokturnal
pada pasien OSA dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas terhadap analgesia opioid.
Pada saat yang sama, desaturasi nokturnal dapat dikaitkan dengan peningkatan nyeri pada
komplikasi yang diketahui dari OSA yang sudah berlangsung lama. Pemicu intraoperatif
Induksi anestesi meningkatkan atelektasis dari 1% menjadi 11% dari total volume
paru pada pasien dengan obesitas morbid. Manuver rekrutmen seperti positive end-
expiratory pressure (PEEP) dan Valsava dapat mengurangi efek ini. Preoksigenasi dengan
ventilasi tekanan noninvasif dan PEEP dengan manuver rekrutmen intraoperatif (40 cm
H2O selama 40 detik) meningkatkan oksigenasi arteri dan volume paru akhir ekspirasi.
Agen anestesi kerja pendek seperti propofol, desfluran, dan remifentanil lebih
disukai daripada agen kerja panjang. Anestesi umum dengan agen penghambat
neuromuskular kerja menengah dikaitkan dengan lebih banyak risiko efek samping
18
napas, hipoksia, hipoventilasi, dan reintubasi. Pasien OSA harus diekstubasi hanya ketika
bangun, mematuhi perintah, dan setelah memastikan patensi jalan napas yang memadai.
Difficult Airway Society telah menerbitkan pedoman untuk pengelolaan ekstubasi trakea
anestesi harus dipantau dengan kapnografi untuk memastikan kecukupan ventilasi. Pasien
yang menggunakan terapi PAP untuk OSA di rumah dapat menggunakan perangkat PAP
mereka selama operasi di bawah sedasi ringan hingga sedang. Untuk prosedur yang
membutuhkan sedasi dalam, jalan napas yang aman lebih disukai daripada yang tidak
terlindungi. Berkenaan dengan OSA masa kanak- kanak dan indikasi untuk
tersedia kit alat keselamatan pasien yang dirancang khusus untuk pasien OSA yang
multimodal profilaksis yang terdiri dari deksametason 4-8 mg IV dan ondansetron 4 mg.
Pasien dengan risiko PONV tinggi dapat menerima antiemetik tambahan seperti patch
skopolamin transdermal dan/atau anestesi intravena total. Promethazine 6,25 mg, IV atau
Pasien dengan OSA mendapat manfaat dari teknik analgesia multimodal menggunakan
19
nonsteroid atau inhibitor spesifik siklooksigenase-2, dan deksametason. Karena opioid
dapat dikaitkan dengan peningkatan komplikasi pasca operasi pada pasien OSA, obat
tersebut harus digunakan dengan hati-hati. Penggunaan strategi manajemen nyeri spesifik
harus memungkinkan peningkatan kontrol nyeri dengan penggunaan minimal opioid dan
Pada periode pasca operasi, pasien OSA sangat rentan terhadap obstruksi jalan
napas atas dan kebutuhan untuk reintubasi serta hipertensi sistemik dan disritmia jantung.
harus dipertahankan dalam posisi semi-tegak (30 derajat) jika memungkinkan. Pasien
harus diobservasi untuk episode desaturasi dan apnea berulang dan peningkatan
kebutuhan oksigen tambahan. Pasien yang mudah menyumbat jalan napas saat
analgesik dengan opioid merupakan prediktor yang baik untuk komplikasi potensial.
Hindari opioid sistemik jika mungkin dan jika perlu titrasi sejumlah kecil obat short-
acting.17
pernapasan dan meningkatkan insiden dan durasi episode apnea. Sebuah studi baru-baru
ini melaporkan bahwa meskipun saturasi oksigen arteri dapat dipertahankan selama
20
komplikasi pernapasan yang mengancam jiwa, terutama pada pasien dengan OSA. Oleh
karena itu, hipoksemia berulang mungkin lebih baik diobati dengan PAP bersama dengan
Penggunaan PAP dapat mengurangi risiko obstruksi jalan napas dan komplikasi
pernapasan. Ahli anestesi perlu membiasakan diri dengan perangkat PAP. Pasien dengan
OSA yang diketahui pada terapi harus ditempatkan pada terapi PAP pada periode pasca
operasi sesegera mungkin. CPAP profilaksis selama 24-48 jam setelah ekstubasi telah
penggunaan opioid tidak dibatasi. Namun, penentuan pengaturan PAP yang optimal dan
waktu memulai terapi PAP mungkin sulit dilakukan pada pasien yang sebelumnya tidak
pernah menggunakan alat tersebut. Sebuah studi baru-baru ini melaporkan bahwa
penggunaan empiris CPAP pada periode pasca operasi tidak meningkatkan hasil. Dalam
AHI) dan meningkatkan saturasi oksigen pascaoperasi. Tidak ada perbedaan dalam
penyesuaian diri atau APAP mungkin lebih efektif pada periode pasca operasi.17
selama 60 menit tambahan setelah mereka memenuhi kriteria Aldrete yang dimodifikasi
untuk pemantauan pasca operasi berkelanjutan. Peristiwa pernapasan ini adalah episode
apnea 10 detik, bradipnea <8 napas/menit, ketidaksesuaian sedasi nyeri, atau desaturasi
O2 berulang <90%. Kejadian berulang dari salah satu peristiwa ini dianggap sebagai
kejadian pernapasan PACU berulang. Pasien OSA dengan kejadian pernapasan berulang
21
memiliki peningkatan risiko komplikasi pernapasan pasca operasi. Pasien ini mungkin
Pada periode pasca operasi, gangguan tidur paling besar terjadi pada malam
pertama pasca operasi, malam operasi, dan gangguan pernapasan saat tidur tertinggi pada
malam pasca operasi. Peningkatan AHI pasca operasi berhubungan positif dengan AHI
pra operasi, jenis kelamin laki-laki, dan dosis opioid 72 jam. Hal ini diperlukan untuk
mengedukasi ahli bedah, pasien, dan keluarga mereka mengenai perlunya peningkatan
mereka (pengasuh) sangat penting dalam meningkatkan hasil. Pasien yang menjalani
terapi PAP sebelum operasi harus menggunakan terapi PAP mereka setiap kali tidur.
22
BAB III
PENUTUP
Pasien dengan OSA memiliki risiko tinggi dalam mengalami komplikasi perioperatif dan
selama beberapa hari setelah operasi rawat jalan. Karena mayoritas pasien OSA tidak terdiagnosis
secara klinis, skrining OSA idealnya dijadikan sebagai bagian dari evaluasi praoperasi standar.
Skrining dapat dilakukan dengan kuisioner STOP- Bang. Seleksi pasien OSA untuk ODS harus
dilakukan dengan cermat dan teliti, di mana pasien dengan kondisi komorbid non-optimal tidak
sesuai untuk ODS. Indeks kecurigaan yang tinggi memungkinkan perencanaan perioperatif
termasuk penggunaan teknik anestesi yang akan memungkinkan pemulihan yang cepat dan
mendorong kembalinya refleks jalan napas pasien, pemeliharaan oksigenasi, serta meminimalisasi
dengan opioid, desaturasi oksigen, dan episode apnea harus dipantau secara ketat. Manajemen
pasca-operasi meliputi pemantauan pasien secara cermat dan lebih lama dari pasien non-OSA,
menggunakan terapi PAP, menghindari opioid, dan edukasi ahli bedah, pasien, serta keluarga
23
DAFTAR PUSTAKA
2. Peppard PE, Young T, Barnet JH, Palta M, Hagen EW, Hla KM. Increased prevalence of
3. Joshi GP, Ankichetty SP, Gan TJ, Chung F. Society for Ambulatory Anesthesia consensus
4. Miller R, Pardo M. Basics of anesthesia. In: Basics of Anesthesia. 7th ed. Elsevier Health
Sciences; 2018.
5. White P. Anesthesia for ambulatory surgery. In: Ambulatory Anesthesia & Surgery. 2004.
6. Lee JH. Anesthesia for ambulatory surgery. Korean J Anesthesiol. 2017 Aug;70(4):398–
406.
2019;19(August):197–208.
Elsevier; 2020.
11. Prabhakar A, Helander E, Chopra N, Kaye AJ, Urman RD, Kaye AD. Preoperative
24
Assessment for Ambulatory Surgery. Curr Pain Headache Rep. 2017 Aug;21(10):43.
12. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 7th
13. White PF. Ambulatory anesthesia advances into the new millennium. Anesth Analg. 2000
May;90(5):1234–5.
14. Chau EHL, Lam D, Wong J, Mokhlesi B, Chung F, Warner DS. Obesity Hypoventilation
https://doi.org/10.1097/ALN.0b013e31825add60
15. Raveendran R, Chung F. Ambulatory anesthesia for patients with sleep apnea. Ambul
Anesth. 2015;143.
25