Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

KESULITAN PENGELOLAAN JALAN NAPAS

Oleh:

Oleh :

dr. Putu Kurniyanta, SpAn, KAP

DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat-Nya maka tinjauan pustaka dengan topik “Kesulitan Pengelolaan Jalan Napas”
ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan,
sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan
untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Denpasar, September 2019

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 2
2.1 Anatomi Jalan Napas................................................................................. 2
2.2 Kesulitan Pengelolaan Jalan Napas ........................................................... 3
2.2.1 Definisi ........................................................................................ 4
2.2.2 Epidemiologi ............................................................................... 4
2.2.3 Klasifikasi .................................................................................... 4
2.3 Penilaian dan Perencanaan Sebelum Operasi ......................................... 10
2.4 Manajemen Pengelolaan Jalan Nafas...................................................... 11
2.4.1 Rencana A. Facemask Ventilation and Tracheal Intubation .... 12
2.4.2 Rencana B. Maintaining Oxygenation: SAD (Supraglottic Airway
Device) Insertion ....................................................................... 15
2.4.3 Rencana C. Facemask Ventilation ............................................. 18
2.4.4 Rencana D. Emergency Front of Neck Access .......................... 18
2.5 Postoperative Care and Follow-Up ........................................................ 15
BAB III LAPORAN KASUS .................................................................................... 20
BAB IV DISKUSI KASUS ....................................................................................... 26
BAB V SIMPULAN .................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 31

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Mallampati Score ......................................................................................... 7

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Jalan Nafas ........................................................................... 2


Gambar 2.2 Anatomi Laring.................................................................................... 3
Gambar 2.3 Persarafan Jalan Napas ........................................................................ 4
Gambar 2.4 Mallampati Score ................................................................................ 7
Gambar 2.5 DAS Guidelines .................................................................................. 13
Gambar 3.1 Evaluasi Preoperatif Pasien ................................................................ 25

v
ABSTRAK

Pasien perempuan, usia 51 tahun dengan diagnosis Oral Cancer menjalani tindakan
operasi open biopsy dan bimanual palpasi. Pada pasien dilakukan evaluasi pra operasi
yaitu dengan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk
menentukan permasalahan dan kesimpulan status fisik pasien. Status fisik pasien yaitu
ASA I. Pada durante operasi dilakukan pembiusan dengan general anestesi
intravena menggunakan pipa endotrakheal. Selanjutnya pasien diposisikan supine
untuk menjalani prosedur pembedahan. Operasi berlangsung selama 1 jam 20
menit dengan hemodinamik stabil. Pasca operasi pasien dirawat di ruang perawatan,
observasi tanda vital, dan manajemen nyeri pasca operasi.
Studi tertutup Komite Profesional American Society of Anesthesiologists (ASA)
mengungkapkan bahwa risiko dan komplikasi berat dari anestesi yang tersering
yaitu berkaitan erat dengan permasalahan pengelolaan jalan napas. Keberhasilan
dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan
koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
Pada pasien ini manajemen pengelolaan jalan napas berdasarkan algoritma DAS
2015 berhasil dengan rencana A yaitu facemask ventilation and tracheal intubation.
Keberhasilan rencana A pada pasien ini karena didukung oleh posisi, preoksigenasi,
pemilihan agen induksi, blok neuromuskular, mask ventilation, pemilihan
laringoskop dan pemilihan pipa trakea yang benar.

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu
tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam
anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.
Pengelolaan jalan napas dilakukan untuk memastikan jalan napas bebas sehingga jalan
masuknya udara ke paru normal dan menjamin kecukupan oksigenasi tubuh. Pengelolaan
jalan napas yang efektif membuat jalan napas bebas dari sekresi, kontaminasi, obstruksi,
dan meminimalkan komplikasi. Interaksi tertentu yang kompleks dari faktor pasien,
setting, dan keterampilan praktisi dapat menyebabkan sulitnya pengelolaan jalan napas
(Hashimoto dkk, 2014).
Kesulitan terbesar adalah apabila jalan nafas tidak dapat diamankan.
Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam
latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit
penting untuk dilakukan penanganan. Ini merupakan suatu situasi klinis dimana ahli
anestesi mengalami kesulitan pemberian ventilasi masker di saluran napas bagian atas,
kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Suatu penelitian yang dilakukan sejak Mei 2011
hingga Oktober 2013 didapatkan 885 (2,3%) dari 37.805 pasien yang menjalani anestesi
umum dan intervensi saluran napas mengalami kesulitan pengelolaan jalan napas (Zeng
dkk, 2018).
Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan
otak sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya
penatalaksanaan jalan nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah kasus-kasus malpraktek
yang diperiksa oleh American Society of Anesthesiologist Closed Claims Project. Pada
kasus-kasus yang sudah ditutup tersebut terhitung bahwa jumlah terbanyak insiden
kerusakan otak dan kematian disebabkan oleh kesulitan respirasi. Obat-obatan golongan
sedatif, narkotika, analgesik, dan pelumpuh otot yang digunakan dalam operasi diduga
berpengaruh pada stabilitas dan perlindungan jalan napas. Studi tertutup Komite
Profesional American Society of Anesthesiologists (ASA) mengungkapkan bahwa risiko
dan komplikasi berat dari anestesi yang tersering yaitu berkaitan erat dengan
permasalahan pengelolaan jalan napas. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi
tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang
lebih buruk (Ramachandran dkk, 2013).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jalan Napas


Rongga Hidung (Cavum Nasalis) merupakan salah satu alat pernafasan manusia.
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis
selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar
keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk
lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi
menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang
mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Di
sebelah belakang rongga hidung terhubung dengan nasofaring melalui dua lubang yang
disebut koana. Pada permukaan rongga hidung terdapat rambut-rambut halus dan selaput
lendir yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk ke dalam rongga hidung
(Hashimoto dkk, 2014).

Gambar 2.1 Anatomi Jalan Napas

Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2


saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran pencernaan
(orofarings) pada bagian belakang. Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring
(tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan
menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat
mengakibatkan makanan masuk ke saluran pernapasan karena saluran pernapasan pada saat
tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa
menelan, bernapas, dan berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan
gangguan kesehatan. Fungsi utama faring adalah menyediakan saluran bagi udara yang
2
keluar masuk dan juga sebagi jalan makanan dan minuman yang ditelan, faring juga
menyediakan ruang dengung (resonansi) untuk suara percakapan (Hashimoto dkk, 2014).

Jalan nafas pada manusia terdiri dari dua jalan, yaitu hidung yang menuju
nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis) yang dipisahkan
oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior
dalam faring. Faring berbentuk seperti huruf U dengan struktur fibromuskuler yang
memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus.
Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring
dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis
imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, epiglotis memisahkan orofaring dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup
glotis, gerbang laring, pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang
diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh sembilan kartilago iaitu tiroid, krikoid,
epiglotis, dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiforme. (Mackey dkk, 2015).

Gambar 2.1 Anatomi Laring

Sistem saraf sadar terdiri atas 12 pasang saraf kranial, yang keluar dari otak dan 31
pasang saraf spinal yang keluar dari sumsum tulang belakang 31 pasang saraf spinal.
Saraf-saraf spinal tersebut terdiri atas gabungan saraf sensorik dan motorik. Saraf
sensoris dari saluran napas atas berasal dari saraf kranial. Membran mukosa dari hidung
bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis
anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf
palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (CN.V) untuk
mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum.

3
Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula (V3) saraf trigeminal) dan saraf
glosofaringeal (CN.IX) untuk sensasi umum pada 2/3 anterior dan 1/3 posterior lidah.
Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal (IX) untuk sensasi rasa di daerah
tersebut. Saraf glosofaringeal (IX) juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian
dalam palatum molle. Saraf vagus (CN.X) untuk sensasi jalan napas dibawah epiglotis.
Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf
laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris
untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal
rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakea (Mackey dkk, 2015).

Gambar 2.3 Persarafan Jalan Napas

2.2 Kesulitan Pengelolaan Jalan Napas


2.2.1 Definisi
Difficult airway atau kesulitan jalan nafas di definisikan sebagai situasi klinis di
mana anestesiologis terlatih mengalami kesulitan dengan pemberian ventilasi masker di
saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Kondisi ini
merupakan hubungan yang kompleks dari faktor pasien, keterampilan praktisi dan setting
(Hashimoto dkk, 2014).
2.2.2 Epidemiologi
885 (23%) dari 37.805 pasien yang menjalani anestesi umum dan intervensi saluran
napas mengalami kesulitan pengelolaan jalan napas yang dilakukan sejak Mei 2011
hingga Oktober 2013 (Saito dkk, 2015).
2.2.3 Klasifikasi
Istilah difficult airway tidak hanya menggambarkan suatu kondisi saja, tetapi
kesulitan dapat ditemui pada kondisi yang berbeda-beda (Hashimoto dkk, 2014).

4
1. Kesulitan Bag-Mask Ventilation (BMV)
a. Definisi
Teknik yang kurang kompleks daripada endotrakeal intubasi (ETT) untuk
manajemen jalan napas selama fase bantuan kehidupan jantung lanjutan
cardiopulmonary resuscitation pasien dengan henti kardiorespirasi diluar rumah
sakit. Ahli anestesi yang tidak mampu menjaga SO 2>90% saat ventilasi dengan
menggunakan masker wajah dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat
saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas normal (Zeng dkk, 2015).
b. Faktor prediktor (Hashimoto dkk, 2014; Saito dkk, 2015).
• M—Mask seal/male sex/Mallampati: Darah/debris, jenggot tebal pada wajah
akan memburukkan mask seal yang memadai. Mallampati skor 3 atau 4 dan
jenis kelamin laki-laki dan juga merupakan prediktor bebas dari kesulitan
ventilasi.
• O—Obesity/obstruction: Wanita hamil trimester ketiga dan pasien dengan
BMI >26 kg per m2 mengalami desaturasi sehingga mengalami kesulitan
BMV. Jaringan berlebihan yang dimiliki oleh pasien tersebut menimbulkan
resistensi terhadap aliran udara di bagian atas jalan napas. Obstruksi yang
disebabkan oleh Ludwig angina, abses saluran napas bagian atas (mis.
peritonsillar), angioedema, epiglottitis, dan kondisi sama lainnya akan
membuat BMV lebih sulit.
• A—Age: Beberapa penilaian dapat diterapkan sehubungan dengan apakah
tonus otot dan jaringan pasien relatif tidak elastis (tua) atau elastis jaringan
(muda). Orang yang berusia lebih dari 55 tahun lebih berisiko kesulitan BMV
akibat dari berkurangnya tonus otot dan jaringan pada pernapasan atas.
• N—No teeth: Pada pasien edentulous, struktur wajahnya tidak mampu
menyokong BMV sehingga diperlukan dentures ketika BMV dan
dikeluarkan ketika akan intubasi
• S—Stiff/snoring: Pasien dengan penyakit saluran napas reaktif dengan
obstruksi saluran napas ringan-sedang (asma dan penyakit paru obstruktif
kronik [COPD]), pasien dengan edema paru, sindrom gangguan pernapasan
akut (ARDS), pneumonia berat, atau kondisi lain yang mengurangi
compliance paru atau meningkatkan resistensi jalan napas terhadap BMV.
Riwayat mendengkur (sleep apnea) juga prediktor kesulitan BMV yang harus
diketahui dari anamnesis.

5
2. Kesulitan Intubasi
a. Definisi
Kesulitan Intubasi adalah keadaan dimana intubasi dengan beberapa
upaya laringoskopi, manuver dan atau scalpel digunakan oleh seorang
dokter ahli yang berpengalaman. Kesulitan intubasi berkaitan dengan
ketidakjelasan lapang pandang plica vokalis pada laringoskop dan
perlunya penggunaan alat atau teknik khusus. (Dinata, 2015).
b. Faktor prediktor (Hashimoto dkk, 2014; Saito dkk, 2015).
• L—Look externally: Yang dievaluasi adalah dengan melihat
seluruh bagian wajah. Adanya hal-hal yang menyebabkan pasien
membutuhkan tindakan ventilasi atau intubasi dan evaluasi
kesulitan secara fisik. Pada umumnya jika jalan napas terlihat sulit,
maka kesulitan jalan napas benar terjadi. Perhatikan apakah pasien
memiliki leher pendek, trauma wajah, gigi yang besar, kumis atau
jenggot tebal, dan lidah yang besar.
• E—Evaluate 3-3-2: Langkah ini merupakan gabungan dari buka
mulut dan ukuran mandibula terhadap posisi laring. Penentuan
jarak anatomis menggunakan jari sebagai alat ukur untuk
mengetahui seberapa besar pembukaan mulut dan ukuran
mandibula dengan posisi laring pada leher dalam memungkinkan
keberhasilan visualisasi glotis dengan laringoskopi langsung.
3: Kecukupan akses oral. Jarak interincisor 3 jari pasien. Mulut
harus terbuka secara memadai untuk memungkinkan visualisasi
melewati lidah ketika laringoskop dan tabung endotrakeal berada
dalam rongga mulut.
3: Kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah ketika
laringoskopi. Jarak mentothyoid 3 jari pasien. Mandibula harus
memiliki ukuran (panjang) yang cukup untuk memungkinkan lidah
tergeser sepenuhnya ke dalam ruang submandibular.
2: Mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah. Jarak
thyrothyoid 2 jari pasien. Glottis harus terletak pada jarak yang
cukup caudal ke pangkal lidah yang merupakan garis pandang

6
langsung dari luar mulut ke pita suara.
• M—Mallampati score: alat klasifikasi untuk menilai visualisasi
hipofaring, caranya pasien berbaring dalam posisi supine, membuka
mulut sambil menjulurkan lidah.

Tabel 2.1 Mallampati Score


Klasifikasi Klinis
Kelas I Palatum mole, pilar fausial dan tampak uvula
Kelas II Palatum mole terlihat dan pilar fausial
Kelas III Palatum mole, dasar uvula dan palatum durum
Kelas IV Palatum durum saja terlihat

Gambar 2.3 Mallampati Score

• O—Obstruction/obesity: Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus


selalu kita pertimbangkan sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan
napas. Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi
misalkan abses peritonsil, trauma karena obesitas dapat
menyebabkan sulitnya intubasi karena memperberat ketika
melakukan laringoskop dan mengurangi visualisasi laring. Empat
tanda utama adanya obstruksi jalan napas atas yaitu muffled voice
(hot potato voice), kesulitan menelan (karena rasa sakit atau
obstruksi), stridor, dan sensasi dispnea. Dua tanda pertama tidak
biasanya menunjukkan adanya obstruksi total pada jalan napas atas
pada orang dewasa. Namun adanya obstruksi kritis biasa ditandai

7
jika sensasi dispnea terjadi. Stridor merupakan tanda yang terburuk
karena mengindikasikan jalan napas telah tereduksi menjadi <50%
dari normalnya, atau diameternya menjadi <4,5 mm. Meskipun
masih kontroversial namun pasien obesitas sering memiliki kondisi
pandangan glotis yang buruk dengan laringoskopi langsung
ataupun video.
 N—Neck mobility: Keterbatasan mobilisasi leher harus
dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam intubasi . Menilai
apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan
berkurangnya range of movement dari leher sehingga intubasi
menjadi sulit. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi
atlanto - oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien
memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini
untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis
oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan
posisi Magill. Ektensi leher "normal" adalah 35 o (The atlanto-
oksipital/ A-O joint). Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada
spondylosis, rheumatoid arthritis, dan pasien dengan gejala yang
menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi servikal.

3. Kesulitan SAD (Supraglottic Airway Device)


a. Definisi
Keadaan saat ahli anestesi membutuhkan beberapa kali upaya dalam
pemasangan SAD (Laryngeal mask airway (LMA) saat ada atau tidak
adanya kelainan pada trakea pasien (Dinata, 2015).

b. Faktor prediktor (Hashimoto dkk, 2014; Saito dkk, 2015).


• R—Restricted mouth opening: Berbagai macam, tergantung pada
SAD tertentu yang digunakan.

• O—Obstruction/obesity: Obesitas menciptakan 2 hambatan untuk


oksigenasi menggunakan SAD. Pertama, jaringan berlebihan pada
faring dapat membuat penempatan perangkat lebih sulit. Kedua,
pasien obesitas memerlukan tekanan ventilasi yang lebih tinggi

8
akibat berat dinding dada dan abdomen. Jika terdapat obstruksi
jalan napas atas pada faring, laring, glotis, atau di bawah pita
suara, SAD tidak akan dapat dimasukkan pada posisi yang tepat
untuk mencapai ventilasi dan oksigenasi. Hal ini menyebabkan
resistensi terhadap ventilasi dengan meningkatkan tekanan yang
diperlukan untuk memperluas dada dan menyebabkan resistensi
terhadap ventilasi dengan meningkatkan tekanan yang dibutuhkan
untuk menyebabkan diafragma turun. Hal ini tergantung pada
SAD yang dipilih dan posisi pasien (ventilasi dengan posisi
reverse trendelenberg atau dengan posisi pasien >30° ).

• D—Distorted or disrupted airway: Abnormalitas fleksi tulang


belakang yang menetap, cedera leher dengan hematoma,
epiglottis, dan abses faring cukup mengganggu pemasangan SAD
pada posisi yang tepat.

• S—Stiff: Resistensi instrinsik ketika ventilasi seperti peningkatan


hambatan jalan napas seperti asma dan penurunan compliance
paru misalnya edema paru

4. Kesulitan Cricothyroidotomy
a. Definisi
Prosedur darurat yang dilakukan pada pasien dengan gangguan napas yang
berat dimana upaya pemasangan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal telah
gagal atau dianggap memiliki tingkat risiko yang tidak dapat diterima.
Prosedur ini melibatkan pembuatan sayatan di membran krikotiroid, yang
terletak di antara kartilago tiroid dan krikoid, dan memasukkan tabung
trakeostomi ke trakea untuk memungkinkan ventilasi (Dinata, 2015).
b. Faktor prediktor (Hashimoto dkk, 2014; Saito dkk, 2015).

• S—Surgery (recent or remote): Perbedaan gambaran anatomis


baik secara halus atau jelas dapat membuat airway landmark sulit
untuk diidentifikasi. Pembedahan yang masih baru terkait dengan
edema atau perdarahan sehingga mempersulit prosedur.
• M—Mass: Hematoma (pasca operasi atau trauma) atau proses

9
infektif di jalur krikotiotomi dapat membuat prosedur secara teknis sulit,
tetapi tidak boleh dianggap sebagai kontraindikasi dalam situasi yang
mengancam jiwa. Abses atau massa lain di jalur krikotirotomi dapat
mempersulit prosedur dan mengharuskan ahli anestesi untuk
menemukan landmark yang mungkin berada di luar garis tengah.

• A—Access/anatomy: Obesitas harus dianggap sebagai pengganti


untuk masalah apa pun yang membuat akses bedah perkutan atau
bedah terbuka ke leher anterior bermasalah, seperti leher yang
sangat pendek, pannus besar, desendens, dan emfisema subkutan.
palpasi yang cermat merupakan petunjuk yang relevan untuk
mengidentifikasi masalah ini.Obesitas mempersulit dalam
mengidentifikasi landmark. Masalah serupa juga diakibatkan oleh
adanya emfisema subkutan, infeksi jaringan lunak, atau edema.
Pasien dengan leher pendek atau pannus mandibula mempersulit
identifikasi landmark dan akses prosedur. Perangkat ekstraneou
seperti cervical immobilization collar, halo-thoracic brace dapat
menghambat akses.
• R—Radiation (deformitas): Terapi radiasi terdahulu dapat
merusak dan jaringan parut yang dihasilkan akan mempersulit
prosedur (menyebabkan jaringan yang awalnya terpisah untuk
menyatu dan merusak bentuk dan hubungan jaringan).
• T—Tumor: Tumor eter di dalam atau di sekitar jalan napas, dapat
menimbulkan kesulitan, baik dari akses dan perspektif
perdarahan.

2.3 Penilaian dan Perencanaan Sebelum Operasi

Kesulitan jalan napas tetap menjadi tantangan terbesar yang dihadapi


selama pemberian anestesi dari hari ke hari. Mempertahankan patensi jalan napas
penting untuk oksigenasi yang memadai dan, ventilasi serta kegagalan yang
mungkin terjadi saat melakukannya, bahkan untuk jangka waktu singkat dapat
mengancam kehidupan. Penilaian jalan napas sebelum operasi harus dilakukan

10
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin menyebabkan kesulitan
dengan ventilasi masker wajah, pemasukan SAD, dan intubasi trakea.

Manajemen jalan napas sebagian besar dilakukan di ruang operasi, dan


intubasi trakea yang sulit dapat meyebabkan peristiwa yang mengancam nyawa
yang kejadiannya bervariasi dalam kisaran yang luas dengan perkiraan frekuensi
yang dikumpulkan sekitar 6,8% (Lavinia dkk, 2016). Kesulitan dalam
laringoskopi atau intubasi dapat berupa ketidakmampuan untuk mempertahankan
jalan napas pasien, menghadapkan pasien pada risiko komplikasi yang pada
dasarnya terkait dengan hipoksia. Kejadiannya telah dilaporkan sekitar 1-4% dari
pasien dengan jalan napas normal dan, baru-baru ini, dalam kisaran 1,58-5% dari
semua anestesi umum (Law dkk, 2013). Manajemen jalan napas yang aman
adalah ketika potensi masalah diidentifikasi sebelum operasi, memungkinkan
penerapan strategi, serangkaian rencana, yang bertujuan mengurangi risiko
komplikasi.

2.4 Pengelolaan Jalan Napas Berdasarkan Algoritma DAS 2015

Algoritma DAS (Difficult Airway Society) 2015 memberikan strategi


untuk mengelola kesulitan jalan napas yang tidak terduga dengan intubasi trakea.
Mereka didasarkan pada bukti yang telah dipublikasikan. Setiap pasien harus
memiliki penilaian jalan napas yang dilakukan sebelum operasi untuk
mengevaluasi semua aspek manajemen jalan napas. Tujuan algoritma ini adalah
untuk memberikan respons terstruktur terhadap masalah klinis yang berpotensi
mengancam nyawa. Mereka mempertimbangkan praktik terkini dan
perkembangan terkini. Algoritma ini membantu dalam kesulitan pengambilan
keputusan selama keadaan darurat berlangsung. Ini termasuk langkah-langkah
untuk membantu tim anestesi dalam membuat keputusan yang tepat, membatasi
jumlah upaya intervensi jalan napas, dan secara eksplisit merekomendasikan
memperbaiki waktu untuk berhenti dan berpikir tentang bagaimana tindakan
selanjutnya (Frerk,2015).

11
Gambar 2.5 Algoritma DAS

2.4.1 Rencana A. Facemask Ventilation and Tracheal Intubation

Tujuan rencana A ini yaitu memaksimalkan kemungkinan intubasi berhasil


pada upaya pertama serta untuk membatasi jumlah dan durasi upaya laringoskopi
sehingga mencegah trauma saluran napas dan mencegah perkembangan situasi
menjadi CICO (can’t intubate can’t oxygenate). Semua pasien harus diposisikan
dan diberikan preoksigenasi secara optimal sebelum induksi anestesi. Blok
neuromuskuler memfasilitasi facemask ventilation dan intubasi trakea (Sachdeva
dkk, 2014). Setiap upaya laringoskopi dan intubasi trakea berpotensi
menyebabkan trauma. Setelah upaya tidak berhasil, peluang keberhasilan
menurun setiap upaya berikutnya.

Pada upaya intubasi trakea yang berulang dapat mengurangi kemungkinan


penyelamatan jalan napas yang efektif dengan SAD (Sakles, dkk, 2013). DAS
merekomendasikan maksimum tiga upaya intubasi, upaya keempat oleh rekan
yang lebih berpengalaman diizinkan. Jika tidak berhasil, harus dinyatakan bahwa
intubasi gagal dan rencana B diimplementasikan. Hal-hal yang perlu diperhatikan

12
saat melakukan rencana A adalah sebagai berikut:

• Posisi
Posisi kepala dan leher yang tepat penting untuk mengoptimalkan tampilan
laring selama laringoskopi langsung. Laringoskopi rutin dilakukan dalam
"Snifting Position (SP)" (leher akan fleksi 35° pada dada dengan bantal di bawah
oksiput dan ekstensi 15° kepala pada sendi atlanto-oksipital) dianggap sebagai
posisi ideal untuk laringoskopi langsung. Penanda yang digunakan untuk SP yang
tepat adalah penyelarasan meatus auditorius eksternal dengan sternum pasien.
Penyelarasan meatus auditorius eksternal dan lekukan sternum pada dataran
horizontal pada posisi terlentang menjadikannya posisi yang optimal untuk
intubasi endotrakeal (Kiran dkk, 2017).
• Preoksigenasi teknik apnoeic untuk mempertahankan oksigenasi
Preoksigenasi sebelum induksi anestesi dan intubasi trakea adalah
manuver yang sudah diterima secara luas, dirancang untuk meningkatkan
cadangan oksigen tubuh dan dengan demikian menunda timbulnya desaturasi
hemoglobin arteri selama apnea. Karena kesulitan dengan ventilasi dan intubasi
tidak dapat diprediksi, kebutuhan preoksigenasi dilakukan pada semua pasien.
Selama tindakan anestesi, efek residu anestesi dan pembalikan blokade
neuromuskuler yang tidak adekuat dapat menyebabkan hipoventilasi, hipoksemia,
dan hilangnya patensi jalan napas. Efektivitas preoksigenasi dinilai dari efikasi
dan efisiensinya. Indeks kemanjuran meliputi peningkatan fraksi oksigen alveolar,
peningkatan tekanan oksigen arteri, dan penurunan fraksi nitrogen alveolar
(Nimagadda, 2017).
• Pilihan agen induksi
Agen induksi harus dipilih sesuai dengan klinis kondisi pasien. Propofol,
agen induksi paling umum digunakan di Inggris, menekan refleks laring dan
memberikan kondisi yang lebih baik untuk manajemen jalan napas dibandingkan
agen lain. Proyek Audit Nasional ke-5 dari Royal College of Anesthetists
menyoroti hubungan antara manajemen jalan napas yang sulit dan kesadaran.
Penting untuk memastikan bahwa pasien dianestesi secukupnya selama upaya
intubasi berulang kali (Sury, dkk, 2013).

13
• Blok neuromuskuler
Jika intubasi sulit, upaya lebih lanjut tidak boleh dilanjutkan tanpa blok
neuromuskuler penuh. Blok neuromuskuler menghilangkan refleks laring,
meningkatkan chest compliance, dan memfasilitasi facemask ventilation.
Neuromuskuler blok harus dipastikan jika ada kesulitan yang dihadapi dengan
manajemen jalan napas (Broomhead dkk, 2013).
• Mask Ventilation
Mask ventilation dengan oksigen 100% harus dimulai sesegera mungkin
setelah induksi anestesi. Jika terdapat kesulitan, posisi jalan napas harus
dioptimalkan dan manuver jalan napas seperti chin lift/jaw thrust. Posisi sniffing
meningkatkan ruang faring dan meningkatkan mask ventilation. Anestesi yang
tidak adekuat atau blok neuromuskuler yang tidak adekuat membuat mask
ventilation lebih sulit (Ramachandran dan Kheterpal, 2011).
• Pilihan laringoskop
Pilihan laringoskop mempengaruhi peluang sukses intubasi trakea.
Videolaryngoscopes dapat meningkatkan pandangan dibandingkan dengan
laringoskopi langsung konvensional dan dapat menjadi pilihan pertama atau
perangkat standar untuk beberapa ahli anestesi (Griesdale dkk, 2012).
• Pemilihan pipa trakea
Pipa trakea harus dipilih sesuai dengan prosedur bedah, tetapi karakteristik
pipa dapat mempengaruhi kemudahan intubasi. Pipa yang lebih kecil lebih mudah
untuk dimasukkan karena pandangan yang lebih baik pada laring tetapi juga
cenderung menyebabkan trauma (Jafari dkk, 2014)
• Laringoskopi
Upaya laringoskopi didefinisikan sebagai penyisipan laringoskop ke dalam
rongga mulut. Setiap usaha harus dilakukan dengan optimal karena upaya
berulang pada laringoskopi berhubungan dengan hasil yang buruk dan risiko pada
situasi CICO. Jika terjadi kesulitan, bantuan harus dipanggil lebih awal, terlepas
dari tingkat pengalaman ahli anestesi. Jika intubasi sulit dilakukan, upaya dapat
diulangi dengan prosedur yang sama kecuali jika sesuatu dapat diubah untuk
meningkatkan peluang sukses, termasuk posisi pasien. Upaya laringoskopi harus

14
dibatasi sampai tiga kali. Upaya keempat harus dilakukan hanya oleh kolega yang
lebih berpengalaman (Sakles dkk, 2013).
• Manipulasi laring eksternal
Identifikasi penempatan trakea yang sukses dari tabung endotrakeal adalah
salah satu langkah terpenting dalam manajemen jalan napas. Manipulasi laring
eksternal adalah manuver sederhana yang memfasilitasi visualisasi laring selama
laringoskopi. Manipulasi laring eksternal seperti Backward, Upward, Rightward
Pressure (BURP) dan Optimal External Laryngeal Manipulation (OELM) adalah
manuver yang biasanya digunakan untuk meningkatkan visualisasi glotis pada
intubasi yang sulit (Rajeev, 2017).
• Penggunaan bougie atau stylet
Gum elastis bougie adalah peralatan yang banyak digunakan untuk
memfasilitasi keberhasilan intubasi trakea ketika tampilan laring grade 2 atau 3a
terlihat. Hal ini juga dapat membantu selama videolaryngoscopy (Kelly dan
Seller, 2015).
• Konfirmasi intubasi trakea
Setelah intubasi trakea tercapai, penempatan pipa yang benar di dalam
trakea harus dikonfirmasi. Ini harus mencakup konfirmasi visual bahwa pipa
berada di antara pita suara, ekspansi dada bilateral, auskultasi dan kapnografi.
Bentuk gelombang kapnografi berkelanjutan dengan inspirasi yang sesuai dan
nilai akhir CO2 adalah gold standar untuk konfirmasi ventilasi paru-paru. Tidak
adanya CO2 yang dihembuskan menunjukkan kegagalan ventilasi paru-paru, yang
mungkin merupakan hasil dari intubasi esofagus (Kristensen dkk, 2014).

2.4.2 Rencana B. Maintaining Oxygenation: SAD (Supraglottic Airway


Device) Insertion

Penekanan pada rencana B adalah mempertahankan oksigenasi


menggunakan SAD. Penempatan SAD yang berhasil membuat kita untuk STOP
AND THINK (berhenti dan berpikir) apakah akan membangunkan pasien,
melakukan upaya intubasi lebih lanjut, melanjutkan anestesi tanpa pipa trakea,
atau jarang untuk melanjutkan langsung ke trakeostomi atau cricothiroidotomi.
Jika oksigenasi melalui SAD tidak dapat dicapai setelah memaksimalkan upaya,
rencana C harus dilaksanakan.

15
• Pemilihan dan penempatan SAD
Karena kesulitan dengan intubasi tidak selalu dapat diprediksi, setiap ahli
anestesi harus memiliki rencana yang matang untuk suatu kemungkinan.
Keputusan tentang SAD mana yang akan digunakan untuk penyelamatan
seharusnya dibuat sebelum induksi anestesi, dan pilihan ini harus ditentukan oleh
situasi klinis, ketersediaan, dan pengalaman operator. Sejak penemuan Laryngeal
Mask Airway oleh Archie I.J Brain pada tahun 1983, upaya telah dilakukan untuk
memperkenalkan perangkat jalan nafas yang lebih efisien, yang akan membantu
ahli anestesi dalam memberikan manajemen jalan nafas yang lebih baik kepada
pasien dalam berbagai keadaan. Contoh Supraglottic Airway Device lainnya ini
adalah: Elisha airway device, COBRA perilaryngeal airway, Streamlined pharynx
airway liner, Laryngeal tube, Phryngealairwayxpress, Glottic aperture seal
airway (Prabhat dan Satyajee, 2005).
• Tekanan krikoid dan pemasangan SAD
Tekanan krikoid mengurangi ruang hipofaring dan menghambat
penyisipan SAD. Tekanan krikoid akan dihilangkan selama rencana A jika
laringoskopi sulit dan (jika tidak ada regurgitasi) harus tetap tidak ada selama
pemasangan SAD (Hashimoto dkk, 2014).
• SAD generasi kedua
Dikatakan bahwa SAD generasi kedua digunakan secara rutin karena lebih
aman bila dibandingkan dengan perangkat generasi pertama. Sebuah angka studi
telah membandingkan SAD generasi kedua, tetapi penting untuk mengakui bahwa
pengalaman operator dengan perangkat juga memengaruhi peluang sukses
penyisipan (Kristensen dkk, 2014).
• Membatasi jumlah upaya penyisipan
Upaya berulang dalam memasukkan SAD meningkatkan kemungkinan
trauma jalan napas. Penempatan yang berhasil kemungkinan besar pada upaya
pertama. Maksimal tiga upaya penyisipan SAD direkomendasikan; dua dengan
perangkat generasi kedua dan upaya lain dengan sebuah alternatif. Upaya
termasuk mengubah ukuran SAD. Jika oksigenasi yang efektif belum ditetapkan
setelah tiga upaya, rencana C harus diimplementasikan (Saito dkk, 2015).

16
• Penyisipan SAD berhasil dan oksigenasi efektif terbentuk: STOP AND
THINK
Pemeriksaan klinis dan kapnografi harus digunakan untuk mengkonfirmasi
ventilasi. Jika oksigenasi telah efektif melalui SAD, disarankan agar tim berhenti
dan meninjau tindakan yang paling tepat. Ada empat opsi untuk dipertimbangkan
yaitu, bangunkan pasien, mencoba intubasi melalui SAD menggunakan lingkup
serat optic, memproses dengan pembedahan menggunakan jalan napas
supraglotis, atau melanjutkan untuk trakeostomi atau cricothyroidotomy (jarang).
Faktor pasien, urgensi pembedahan, dan keahlian keterampilan operator semua
mempengaruhi keputusan, tetapi prinsip dasarnya adalah untuk mempertahankan
oksigenasi serta meminimalkan risiko aspirasi.
• Bangunkan pasien
Jika pembedahan tidak mendesak maka pilihan paling aman adalah
membangunkannya dan ini harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Ini akan
membutuhkan antagonis penuh blok neuromuskuler. Jika rocuronium atau
vecuronium telah digunakan, sugammadex adalah pilihan agen yang tepat. Jika
agen penghambat neuromuskuler non-depolarisasi lainnya telah digunakan, maka
anestesi harus dipertahankan sampai kelumpuhan cukup lemah. Operasi kemudian
dapat ditunda atau dapat dilanjutkan setelah bangun atau di bawah anestesi
regional.
• Intubasi melalui SAD
Intubasi melalui SAD hanya tepat dilakukan jika situasi klinis stabil,
oksigenasi dimungkinkan melalui SAD, dan ahli anestesi dilatih dalam teknik ini.
Membatasi jumlah intervensi jalan napas adalah prinsip inti dari manajemen jalan
napas yang aman, upaya berulang pada intubasi melalui SAD tidak tepat
(Halwagi, dkk, 2012).
• Lanjutkan dengan operasi menggunakan SAD
Ini harus dipertimbangkan sebagai opsi berisiko tinggi yang disediakan
untuk situasi spesifik atau segera yang mengancam jiwa. Jalan napas mungkin
sudah trauma dari beberapa upaya intubasi yang gagal dan dapat memburuk
selama operasi karena pelepasan alat, regurgitasi, pembengkakan saluran napas,

17
atau faktor pembedahan. Opsi penyelamatan terbatas mengingat intubasi trakea
sudah dinyatakan gagal.
• Lanjutkan ke trakeostomi atau cricothyroidotomy
Dalam keadaan yang jarang terjadi, bahkan ketika ventilasi dimungkinkan
melalui SAD, mungkin tepat untuk mengamankan jalan napas dengan trakeostomi
atau cricothyroidotomy.
2.4.3 Rencana C. Facemask Ventilation
Rencana C dilakukan jika ventilasi yang efektif belum ditetapkan setelah
tiga upaya penyisipan SAD. Selama rencana A dan B, akan ditentukan apakah
mask ventilation mudah, sulit, atau tidak mungkin, tetapi situasinya mungkin telah
berubah jika upaya intubasi, penempatan SAD dan telah terjadi trauma pada jalan
napas. Jika facemask ventilation menghasilkan oksigenasi yang cukup, maka
pasien harus bangun dalam semua keadaan. Jika tidak mungkin mempertahankan
oksigenasi menggunakan facemask, memastikan kelumpuhan penuh sebelum
hipoksia kritis terjadi merupakan kesempatan terakhir untuk menyelamatkan jalan
napas tanpa bantuan rencana D. Sugammadex telah digunakan untuk memblokir
neuromuskuler selama situasi CICO tetapi tidak menjamin paten dan jalan napas
atas dapat dikelola. Anestesi residual, trauma, edema, atau patologi saluran napas
bagian atas yang sudah ada mungkin terjadi dan berkontribusi pada obstruksi jalan
napas (Curtis dkk, 2012).
2.4.4 Rencana D. Emergency Front of Neck Access
Front of neck access (FONA) adalah akronim yang saat ini paling banyak
digunakan untuk mengidentifikasi prosedur penyelamatan jiwa yang akan dimulai
(awal) setiap kali menghadapi situasi CICO (Onrubia,2018). Situasi ini muncul
ketika upaya untuk mengelola jalan napas oleh intubasi trakea, facemask
ventilation, dan SAD telah gagal. Kerusakan otak dan kematian akibat hipoksia
akan terjadi jika situasinya tidak cepat diselesaikan. The 4th National Audit Project
(NAP4) memberikan pendapat bahwa bedah darurat dan kanul krikotiroidotomi
perlu dilakukan ketika metode lain untuk mengamankan jalan napas selama
anestesi umum telah gagal (Tim dkk,2011). Algoritma DAS menawarkan pilihan
krikotiroidotomi bore sempit (kanul) atau bedah krikotiroidotomi, bila
krikotiroidotomi jarum gagal krikotiroidotomi bedah dapat direkomendasikan.

18
Terdapat sejumlah masalah dalam melakukan krikotiroidotomi, termasuk
pengambilan keputusan (penundaan perkembangan menjadi krikotiroidotomi),
kesenjangan pengetahuan (tidak memahami bagaimana peralatan bekerja),
kegagalan sistem (peralatan tertentu tidak tersedia), dan kegagalan teknis
(kegagalan menempatkan kanula di jalan napas). Keberhasilan tergantung pada
pengambilan keputusan, perencanaan, persiapan, dan keterampilan, yang
semuanya dapat dikembangkan dan disempurnakan dengan praktik berulang.
Bukti saat ini menunjukkan bahwa teknik bedah paling baik memenuhi kriteria
ini. Krikotiroidotomi dapat dilakukan dengan menggunakan pisau bedah atau
teknik kanula. (Lockey dkk, 2014).

2.5 Managemen Pasca Operasi


Kesulitan dengan manajemen jalan napas dan implikasinya terhadap
perawatan pasca operasi harus didiskusikan. Selain secara verbal, rencana
manajemen jalan napas harus didokumentasikan dalam rekam medis. Banyak
panduan jalan napas merekomendasikan bahwa pasien harus ditindaklanjuti oleh
ahli anestesi untuk mendokumentasikan dan mengomunikasikan kesulitan jalan
napas. Ada hubungan erat antara intubasi yang sulit dan trauma saluran napas,
tindak lanjut pasien memungkinkan komplikasi untuk dikenali dan diobati.
Instrumentasi jalan napas dapat menyebabkan trauma atau memiliki efek buruk.
Berdasarkan analisis American Society of Anesthesiologist bahwa faring dan
esofagus adalah yang paling sering rusak selama intubasi sulit. Keinginan untuk
memberikan informasi klinis terperinci harus seimbang dengan kebutuhan
komunikasi yang efektif. Pengkodean adalah metode paling efektif untuk
mengkomunikasikan informasi penting kepada dokter umum, kode untuk 'intubasi
trakea yang sulit' adalah kode SP2y3 dan seharusnya dimasukkan pada ringkasan.
Setiap kegagalan intubasi, akses darurat di depan leher, dan jalan masuk yang
tidak berhubungan dengan jalan napas harus ditinjau dan didiskusikan
(Apfelbaum dkk, 2013).

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : LU
No. RM 19037269
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 51 Tahun
Agama : Kristen Katolik
Status Perkawinan : Sudah menikah
Alamat : NTT
Diagnosis : Oral Cancer
Tindakan : Open biopsi bimanual palpasi
MRS : 25 September 2019, pukul 12.35 WITA

3.2 Anamnesis

Pasien merupakan rujukan dari RS Ruteng Timor dengan keluhan


bajolan di area pipi yang sudah dirasakan sejak 2 tahun sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan benjolan awalnya tidak mengganggu dengan ukuran
kurang lebih sebesar kacang kemudian semakin lama semakin membesar.
Pada bulan Juli 2019, pasien merasakan benjolan sebesar bola bekel dan
dirasakan menganggu aktivitas hingga susah menelan dan susah bicara
sehingga pasien memeriksakan diri ke dokter di RS Ruteng Timor, namun
karena keterbatasan fasilitas pemeriksaan, pasien dirujuk ke RSUP
Sanglah, Bali. Pasien merupakan seorang petani, tidak ada gangguan
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Riwayat tremor, keringat
berlebih, berdebar, penurunan berat badan disangkal, nafsu makan normal,
BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat penyakit dahulu : Pasien tidak pernah


mengalami keluhan yang sama sebelumnya, riwayat penyakit
sistemik disangkal.
Riwayat alergi obat dan makanan : Tidak ada

20
Riwayat pengobatan : Tidak ada
Riwayat penyakit sistemik : Tidak ada
Riwayat operasi : Tidak ada
Riwayat sosial : Pasien adalah seorang petani,
tidak ada gangguan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Riwayat
kebiasaan merokok dan minum alkohol disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik (24 September 2019)

Berat badan 46 kg; Tinggi badan 150 cm; BMI 20,4 kg/m2; Suhu axilla 36
o
C; NRS diam 0/10, NRS bergerak 0/10
Susunan saraf pusat : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6,
pupil isokor 3 mm/3 mm, RC/RK +/+.
Respirasi : Frekuensi napas 16 kali per menit, vesikular
pada kedua lapang paru, rhonki dan wheezing
tidak ada, saturasi oksigen perifer 98% room
air.
Kardiovaskular : Tekanan darah 110/70 mmHg; nadi 86 kali per
menit, bunyi jantung 1 dan 2 tunggal, reguler,
murmur tidak ada.
Gastrointestinal Tract : Supel, bising usus (+) normal, asites (-), nyeri
tekan (-)
Urogenital : Buang air kecil spontan.
Muskuloskeletal : Fleksi defleksi leher baik, Mallampati IV, gigi
geligi utuh.

KRITERIA MOANS

Mask seal/ male sex/ Mallampati: pasien perempuan, janggut dan kumis tidak
ada, Tampak benjolan pada area pipi ukuran 7 cm x 7 cm batas tidak tegas,
konsistensi padat, nyeri tekan (+), Mallampati skor IV.

Obesity : BMI pasien 20,4 kg/m2 (<26kg/m2).

Age : 51 tahun (<55 tahun).

No teeth : gigi geligi normal.

21
Stiff lung/snoring : pasien tidak ada COPD, asma, ARDS.

KRITERIA LEMON

Look externally:

- Tampak benjolan pada area pipi ukuran 7 cm x 7 cm batas tidak


tegas, konsistensi padat, nyeri tekan (+)

- Janggut dan kumis tidak ada

- Gigi incisor besar tidak ada

- Lidah besar tidak ada

- Facial trauma tidak ada

Evaluated :
- Jarak interincisor 3 jari

- Jarak mentohyoid 3 jari

- Jarak hyothiroid 2 jari

Mallampati : Mallampati IV.


Obstruction : Tampak massa pada gingiva superior dekstra ukuran
4x3 cm, berdungkul-dungkul, tepi ireguler.

Neck mobility : Fleksi dan defleksi leher normal.

KRITERIA RODS

Restricted mouth opening : tidak ada.

Obstruction/obesity : tampak massa pada gingiva superior


dekstra ukuran 4x3 cm, berdungkul-dungkul, tepi ireguler.

Disrupted or distorted airway : pasien tidak ada deformitas fleksi tulang


belakang yang menetap, cedera leher dengan hematoma, dan abses faring.

Stiff : pasien tidak ada hambatan intrinsik untuk


ventilasi seperti asma dan edema paru.

22
KRITERIA SMART

Surgery (recent or remote) : tidak ada.

Mass : tidak terdapat hematoma atau proses


infektif abses atau massa di jalur krikotirotomi

Access/Anatomy : pasien tidak ada leher pendek atau pannus

Radiation : pasien tidak pernah mendapat terapi radiasi


sebelumnya.

Tumor : Terdapat tumor di lokasi gingiva superior


dextra pasien, tidak ada tumor di jalur krikotirotomi.

3.4 Pemeriksaan Penunjang

• Darah Lengkap (29/8/2019)

WBC 7,33 x103/µL (4,1-11); HGB 10,33 g/dL (13.5-17.5); HCT 35,39

% (41-53); PLT 259 x103µL (150-440)

• Faal Hemostasis (29/8/2019)

PT 15,1 (10,8-14,4) detik; aPTT 31,4 (24-36) detik; INR 1,08

• Kimia Klinik (29/8/2019)

SGOT 33,6 U/L (11-33); SGPT 39,10 U/L (11-50); BUN 7,3 mg/dL

(8-23); SC 0,61 mg/dL (0,7-1,2); BS acak 139 mg/dL (70-140); Na


139 mmol/L (136-145); K 3,56 mmol/L (3,5-5,10)

• Rontgen thorax PA (29/8/2019)

Cor dan pulmo tak tampak kelainan.

• CT Scan Kepala midface dan colli (29/8/2019)

Massa solid batas tegas tepi regular pada parotis gland kanan yang
meluas ke masticator space kanan, region temporal kanan, mandibular
kanan hingga ke oral cavity dan menempel dengan lidah aspek ventral-

23
posterior dominan sisi kanan. Mangesankan suatu malignansi.

• EKG (29/8/2019)

Normal sinus rhythm, HR 82 kali permenit, axis normal, ST-T


changes tidak ada

3.5 Permasalahan Dan Kesimpulan

• Permasalahan Aktual : Difficult Airway Management (Difficult to


Intubate)

• Permasalahan Potensial : Desaturasi

• Pembedahan : Lokasi : Gingiva Superior Dextra


Posisi : Supine

Durasi : 1-2 jam

Manipulasi : Open Biopsi dan Bimanual Palpasi

• Kesimpulan : Status Fisik ASA I

3.6 Persiapan Anestesi

Persiapan di ruang perawatan:

• Evaluasi identitas penderita

• Persiapan psikis

− Anamnesis pasien

− Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya


tentang rencana anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang
penerimaan, ruang operasi sampai di ruang pemulihan
• Persiapan fisik

− Puasa 8 jam sebelum operasi

− Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi

− Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi

24
− Memeriksa status present, status fisik dan hasil
pemeriksaan penunjang
− Memeriksa surat persetujuan operasi

− Memasang IV line, cairan pengganti puasa dengan RL


dengan tetesan 20 tetes per menit
Persiapan di Ruang Persiapan OK IBS:

• Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan


operasi

• Tanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan

• Evaluasi ulang status present dan status fisik

• Penjelasan ulang kepada penderita tentang


rencana anestesi .

Persiapan di Kamar Operasi:


• Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas
• Menyiapkan monitor dan kartu anestesi

• Mempersiapkan obat dan alat anestesi

• Menyiapkan obat dan alat resusitasi

• Evaluasi ulang status present penderita

3.7 Manajemen Operasi

➢ Rencana Anestesi
Rencana Anestesi :GA-OTT
Premedikasi :-
Analgetik :Fentanyl 100 mcg IV
Induksi :Propofol titrasi hingga pasien terhipnosis.
Fasilitas Intubasi :Atracurium 15 mg IV
Pemeliharaan :O2; Compressed air; sevoflurane
Medikasi lain :Ondansetron 4 mg IV; ketorolac 30 mg IV

25
➢ Durante Operasi

Hemodinamik : TD 110-100 mmHg/ 70-60 mmHg, Nadi 60-

80x/menit, RR 14-16x/menit, SpO2 98-99%.


Cairan masuk : Ringer Laktat 1000 mL
Lama operasi : 2 jam

➢ Post Operasi
Analgesik : Ketorolac 30mg iv tiap 8 jam,
Parasetamol 500 mg tiap 6 jam PO
Perawatan : Ruangan

Gambar 3.1 Evaluasi Preoperatif Pasien

26
BAB IV
DISKUSI KASUS

Kesulitan pengelolaan jalan napas merupakan suatu situasi klinis dimana


ahli anestesi mengalami kesulitan pemberian masker ventilasi di saluran napas
bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Kesulitan pengelolaan jalan
napas dapat diklasifikasikan menjadi kesulitan Bag Mask Ventilation (BMV),
kesulitan intubasi, kesulitan Supraglotic Airway Device (SAD), dan kesulitan
cricothyroidotomy. Manajemen pengelolaan jalan napas berdasarkan algoritma
DAS 2015 dibagi menjadi 4 rencana. Rencana A facemask ventilation and
tracheal intubation, rencana B maintaining oxygenation: supraglottic airway
device insertion, rencana C facemask ventilation, dan rencana D akses darurat di
depan leher.
Pasien perempuan, usia 51 tahun dengan oral cancer akan dilakukan open
biopsi dan bimanual palpasi. Prosedur biopsi adalah prosedur bedah yang
melibatkan pengambilan spesimen jaringan hidup untuk melakukan diagnosis.
Saat ini standar emas untuk diagnosis adalah penilaian histopatologis dari biopsi
jaringan lesi yang mencurigakan (Hershita dkk, 2016). Indikasi untuk lesi yang
muncul menetap selama lebih dari 2 minggu bahkan setelah pengurangan faktor
resiko dan etiologi, biopsi sangat diindikasikan. Setelah periode 2 minggu, setiap
kelainan yang tersisa atau lesi yang terbukti refrakter terhadap terapi lokal
diindikasikan untuk biopsi. Pertama yang dilakukan adalah melakukan evaluasi
praoperasi yaitu dilakukan pemeriksaan status fisik, dan juga meramalkan penyulit
yang bisa didapatkan pasien selama operasi ataupun pasca operasi dan
mempersiapkan obat atau alat untuk mengatasi penyulit tersebut. Persiapan pra
operasi yang baik akan mencegah timbulnya komplikasi pada angka yang sangat
kecil, yaitu kurang dari 2-3% (Frederick, 2016).
Status fisik diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Pada pasien ini memiliki status ASA I. Berdasarkan penelitian sebelumnya, pasien
dengan oral cancer dapat menimbulkan tantangan bagi ahli anestesi untuk
manajemen jalan napas karena ketika terjadi intubasi trakea yang gagal, dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Kesulitan dalam
manajemen jalan nafas perioperatif pada pasien oral cancer karena intubasi dan

27
ekstubasi dapat menjadi sulit. Oleh karena itu, evaluasi dan perencanaan yang
tepat dan diskusi dengan ahli bedah diperlukan untuk menghindari komplikasi
yang tidak perlu. Faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk kesulitan jalan
nafas selama periode perioperatif pada pasien kanker mulut adalah obstruksi dari
pertumbuhan kanker itu sendiri, perubahan anatomi dan fibrosis akibat
pembedahan sebelumnya atau radioterapi, edema di sekitar jalan napas karena
manipulasi bedah, risiko perdarahan, terutama karena penyebab bedah atau
berbagai upaya manipulasi jalan napas dan, risiko aspirasi paru. Manajemen jalan
napas pada pasien kanker mulut sebagian besar dapat dilakukan dengan induksi
general anestesi (Sapna dkk,2017).
Pada pasien dilakukan pemeriksaan fisik yaitu monitoring tekanan darah,
nadi, suhu, laju napas, dan pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi
badan, berat badan, keadaan umum, serta kesadaran umum. Pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan pada pasien kanker mulut adalah pemeriksaan darah
(Hb, leukosit, golongan darah, faal hemostasis, kimia klinik), foto polos thoraks
PA, dan EKG serta dilakukan pemeriksaan CT scan kepala midface dan colli. Dari
pemeriksaan darah yang ditemukan hemoglobin rendah yaitu 10,33 g/dL,
hematokrit rendah yaitu 35,39%, SGOT tinggi yaitu 33,6 U/L, BUN rendah yaitu
7,3 mg/dL, SC rendah 0,61 mg/dL, serta hasil lainnya dalam batas normal. Dari
hasil CT Scan kepala midface dan colli terdapat massa solid batas tegas tepi
regular pada kelenjar parotis kanan yang meluas ke ruang mastikator kanan,
region temporal kanan, mandibular kanan hingga ke rongga mulut dan menempel
dengan lidah aspek ventral-posterior dominan sisi kanan.
Pada pemeriksaan prediktor kesulitan Bag-Mask Ventilation berupa
MOANS, didapatkan ‘M’ Mask seal/ male sex/ Mallampati: pasien perempuan,
janggut dan kumis tidak ada, Mallampati skor IV. ‘O’ Obesity: BMI pasien 20,4
kg/m2 (<26kg/m2). ‘A’ Age: 51 tahun (<55 tahun). ‘N’ No teeth: gigi geligi
normal. ‘S’ Stiff lung/snoring: pasien tidak ada COPD, asma, ARDS. Namun
pasien tidur mendengkur dan akhir-akhir ini suara serak.
Pada pemeriksaan kesulitan intubasi dengan kriteria ‘LEMON’,
didapatkan ‘L’ Look externally terdapat benjolan pada area pipi ukuran 7 cm x 7
cm batas tidak tegas, konsistensi padat, nyeri tekan (+). Gigi incisor besar tidak
ada, lidah besar tidak ada. ‘E’ Evaluated didapatkan arak interincisor 3 jari, jarak
mentohyoid 3 jari, jarak hyothiroid 2 jari. ‘M‘ Mallampati pada pasien ini adalah
28
mallampati kelas IV. ’O’ Obstruction tampak massa pada gingiva superior dekstra
ukuran 4x3 cm, berdungkul-dungkul, tepi ireguler. ‘N’ Fleksi dan defleksi leher
normal.
Pada pasien ini manajemen pengelolaan jalan napas berdasarkan algoritma
DAS 2015 berhasil dengan rencana A yaitu facemask ventilation and tracheal
intubation. Keberhasilan rencana A pada pasien ini karena didukung oleh posisi,
preoksigenasi, pemilihan agen induksi, blok neuromuskular, mask ventilation,
pemilihan laringoskop dan pemilihan pipa trakea yang benar. Manajemen operasi
dengan teknik GA-OTT diawali dengan pemberian obat analgesik short acting
opioid yaitu fentanyl 100 mcg intravena diberikan sebagai antinyeri kuat,
mengurangi respon somatik dan autonom, menjaga stabilitas hemodinamik, dan
mengurangi depresi pernapasan. Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan
facemask ventilation.
Dalam mendukung keberhasilan facemask ventilation, dipilih ukuran yang
sesuai dengan pasien, kemudian disambungkan dengan mesin anestesi yang sudah
dipastikan tidak ada kebocoran. Setelah preoksigenasi dan diinduksi dengan
propofol 100 mg intravena untuk mendapatkan efek hipnotik murni dengan onset
kerja yang cepat (sampai reflek bulu mata tidak ada), setelah itu pasien disungkup
selama 3-5 menit untuk mengisi Fungsional Residual Capacity (FRC) untuk
cadangan oksigen saat intubasi. Pada saat pasien disungkup pastikan ventilasi
berhasil dan tidak ada kebocoran dengan melihat pengembangan dada, uap pada
sungkup, pengembangan pada balon bagging dan tidak ada suara bocor pada
sungkup. Setelah ventilasi dipastikan berhasil, secara simultan masukkan
atracurium 15 mg intravena sebagai pelumpuh otot untuk memfasilitasi intubasi.
Atracurium dapat digunakan hanya oleh para ahli pengelolaan jalan napas dan
hanya ketika fasilitas untuk intubasi endotrakeal dan alat untuk memberikan
dukungan ventilasi yang memadai telah tersedia, termasuk pemberian oksigen
melalui tekanan positif dan pengeluaran karbon dioksida. Dokter harus siap untuk
membantu atau mengontrol ventilasi, dan agen antikolinesterase harus tersedia
untuk pembalikan blokade neuromuskuler. Lihat perubahan volume tidal selama
ventilasi sebagai penanda keberhasilan facemask ventilation.
Selanjutnya pasien diintubasi dengan sebelumnya sudah dipersiapkan
STATICS yaitu ‘S=Scope” yaitu laringoskop blade macintosh ukuran 3 dan
stetoskop. “T=Tube” yaitu endotracheal tube (ETT) ukuran 7,5 dengan cuff. Ini
29
dipilih berdasarkan ukuran ETT berdasarkan ukuran kelingking pasien, dan
penggunaan cuff supaya ETT tidak bocor. “A=Airway” yaitu Oropharing Airway
(OPA) yang diukur dengan cara mengukur OPA dari sudut bibir sampai angulus
mandibula. “T=Tape” yaitu hypafix dengan potongan panjang 2 buah dengan
ukuran 1,5 cm x 25 cm untuk memfiksasi ETT. “I=Introducer” yaitu stylet untuk
membantu membentuk dan mengarahkan ETT agar lebih mudah masuk ke plica
vocalis menuju trakea, “C=Connector” yaitu sebuah penghubung antara mesin dan
ETT serta pastikan pemasangannya benar. “S=Suction” yaitu disiapkan selang
suction yang sudah disambungkan ke mesin suction untuk menyedot liur dan
segala cairan yang terdapat di rongga mulut. Selain STATICS, dipersiapkan pula
SGA berupa LMA dengan ukuran 3.0 untuk mengantisipasi jika terjadi kegagalan
intubasi.
Prosedur intubasi dimulai dengan memposisikan pasien pada posisi
sniffing position dengan tujuan agar axis airway segaris. Kemudian buka mulut
pasien dengan teknik cross finger lalu masukkan laringoskop dengan tangan kiri
dari sudut mulut kanan, kemudian geser lidah ke kiri dengan blade laringoskop,
lalu masukkan laringoskop dan dorong ke depan sampai melihat plica vocalis.
Kemudian masukkan ETT dengan menggunakan stylet yang sudah diberikan jelly
terlebih dahulu. Setelah ETT dipasang sambungkan dengan connector serta
kembungkan cuff ETT menggunakan spuit 10 cc, kemudian pastikan oksigen
masuk ke paru-paru dengan cara inspeksi (melihat pengembangan dada) dan
auskultasi (mendengarkan dengan stetoskop lambung dan kedua lapang paru).
Setelah intubasi dipastikan berhasil, fiksasi ETT dengan hypafix. Kemudian
monitoring pasien selama operasi. Pantau tanda-tanda vital, cairan masuk dan
keluar, dan pemberian obat-obatan pemeliharaan.
DAS merekomendasikan maksimum tiga upaya intubasi, upaya keempat
oleh rekan yang lebih berpengalaman diizinkan. Jika tidak berhasil, harus
dinyatakan bahwa intubasi gagal dan rencana B diimplementasikan. Prediktor
keberhasilan rencana B berupa kriteria RODS pada pasien ini didapatkan, ‘R’
Restricted mouth opening : tidak ada, ‘O’ Obstruction/obesity : tampak massa
pada gingiva superior dekstra ukuran 4x3 cm, berdungkul-dungkul, tepi ireguler.
‘D’ Disrupted or distorted airway : pasien tidak ada deformitas fleksi tulang
belakang yang menetap, cedera leher dengan hematoma, dan abses faring. ‘S’ Stiff
: pasien tidak ada hambatan intrinsik untuk ventilasi seperti asma dan edema paru.
30
Pengelolaan jalan nafas selanjutnya jika masih mengalami kegagalan
dapat dilanjutkan dengan krikotiroidotomi, dimana upaya pemasangan intubasi
orotrakeal telah gagal atau dianggap memiliki tingkat risiko yang tidak dapat
diterima. Prosedur ini melibatkan pembuatan sayatan di membran krikotiroid,
yang terletak di antara kartilago tiroid dan krikoid, dan memasukkan tabung
trakeostomi ke trakea untuk memungkinkan ventilasi. Prediktor kesulitan berupa
SMART yang terdapat pada pasien ini yaitu ‘S’ Surgery (recent or remote) : tidak
ada, ‘M’ Mass : tidak terdapat hematoma atau proses infektif abses atau massa di
jalur krikotirotomi, ‘A’ Access/Anatomy : pasien tidak ada leher pendek atau
pannus, ‘R’ Radiation : pasien tidak pernah mendapat terapi radiasi sebelumnya,
dan ‘T’ Tumor : Terdapat tumor di lokasi gingiva superior dextra pasien, tidak ada
tumor di jalur krikotirotomi.
Obat lainnya yang diberikan yaitu ketorolac 30 mg yaitu analgetik non
opioid golongan NSAID yang tidak menstimulasi reseptor opiod sehingga tidak
menimbulkan efek depresi napas, sedasi, dan euforia. Ondansentron 4 mg
intravena diberikan sebagai profilaksis Post Operative Nausea and Vomiting
(PONV).
Setelah operasi selesai, lakukan ekstubasi saat pasien sudah mulai sadar
betul, ini dikarekan agar pasien dapat bernapas spontan. Pada saat ekstubasi, untuk
memastikan terjadinya tracheomalasia dilakukan cuffleak test, yaitu saat cuff
dikempeskan kemudian dipompa, jika dirasakan tidak ada tahanan maka
menunjukkan bahwa trakea pasien masih paten dan tidak terjadi tracheomalasia
sehingga dapat dilakukan ekstubasi pada pasien. Namun jika saat dipompa
dirasakan terdapat tahanan, maka menunjukkan bahwa trakea pasien sudah tidak
paten sehingga ekstubasi harus ditunda. Pada pasien ini, ekstubasi sadar dapat
dilakukan, dan pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian analgetik
post operasi yaitu ketorolac 30mg iv tiap 8 jam, parasetamol 500 mg tiap 6 jam
peroral.

31
BAB V
SIMPULAN

Pasien perempuan, usia 51 tahun dengan diagnosis Oral Cancer menjalani


tindakan operasi open biopsy dan bimanual palpasi. Pada pasien dilakukan
evaluasi pra operasi yaitu dengan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang untuk menentukan permasalahan dan kesimpulan status
fisik pasien. Permasalahan pada pasien ini yaitu terdapat obstruksi berupa massa
pada gingiva superior dekstra ukuran 4x3 cm, berdungkul-dungkul, tepi ireguler
prediksikan adanya kesulitan pada manajemen jalan napas.
Kesulitan pengelolaan jalan napas dapat diklasifikasikan menjadi kesulitan
BMV dengan faktor prediktor “MOANS”, kesulitan intubasi dengan faktor
prediktor “LEMON”, kesulitan SAD dengan faktor prediktor “RODS” dan
kesulitan cricothyroidotomy dengan faktor prediktor “SMART”. Manajemen jalan
napas paling aman adalah ketika potensi masalah diidentifikasi sebelum operasi,
memungkinkan penerapan strategi, serangkaian rencana, yang bertujuan
mengurangi risiko komplikasi. Manajemen pengelolaan jalan napas berdasarkan
algoritma DAS 2015 dibagi menjadi 4 rencana (A,B,C,D), dimulai dengan
melakukan rencana A, jika rencana A tidak berhasil lakukan dengan rencana B,
begitu seterusnya sampai dengan rencana D. Kesulitan dengan manajemen
pengelolaan jalan napas dan implikasinya terhadap perawatan pasca operasi,
selain secara verbal, rencana manajemen jalan napas harus didokumentasikan
dalam rekam medis.
Rencana anestesi pada pasien ini yaitu anestesi umum dengan oro-tracheal
tube. Pasien diberikan analgetik, lalu pasien diinduksi dan dilakukan
pemeliharaan anestesi selama operasi. Selama operasi, pasien berada dalam
kondisi yang stabil berdasarkan monitoring tanda vital durante operasi. Pasca
operasi pasien diberikan obat analgetik dan perawatan di ruangan.

32
DAFTAR PUSTAKA

Apfelbaum JL, Hagberg CA, Caplan RA, et al. Practice guidelines for management
of the difficult airway: an updated report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway.
Anesthesiology; 2013, 118: 70–251
Broomhead RH, Marks RJ, Ayton P. Confirmation of the ability toventilate by
facemask before administration of neuromuscular blocker: a non-
instrumental piece of information? Br J Anaesth 2010; 104: 7–313.
Curtis R, Lomax S, Patel B. Use of sugammadex in a ‘can’t intubate, can’t
ventilate ’ situation. Br J Anaesth 2012; 108: 4–612.
Dinata, D. A. Waktu Pulih Sadar pada Pasien Pediatrik yang Menjalani Anestesi
Umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 2013. Vol. 3(1), No: 100-8.
Frederick T. O’Donnell. Preoperative Evaluation of the Surgical Patient. The
Journal of the Missouri State Medical Assosiation. 2016 May-Jun; 113(3):
196–201.
Frerk C, V. S. Mitchell, A. F. McNarry, C. Mendonca, R. Bhagrath, A. Patel, E. P.
O’Sullivan, N. M. Woodall dan I. Ahmad. Difficult Airway Society 2015
guidelines for management of unanticipated difficult intubation in adults.
British Journal of Anaesthesia; 2015, 115 (6): 827–48.
Griesdale DEG, Liu D, McKinney J, Choi PT. Glidescope video-laryngoscopy
versus direct laryngoscopy for endotracheal intubation: asystematic review
and meta-analysis. Can J Anaesth 2012; 59: 41 –52.
Halwagi AE, Massicotte N, Lallo A, et al. Tracheal intubation through the I-gel™
supraglottic airway versus the LMA Fastrach™: a randomized controlled
trial. Anesth Analg 2012; 114: 6–152.
Hashimoto Y, Asai T, Arai T, Okuda Y. Effect of cricoid pressure on placement of
the I-gel: a randomised study. Journal of Anaesthesia. 2014; 69: 82–878.
Hershita Singh, Shalini, Nancy charaya, Monika Poonia, Supreet Kaur Sidhu,
Sandeep Singh Sihmar, Monika. Biopsy- A vision of life. International
Journal of Contemporary Medical Research; 2016, 3(6).
Jafari A, Gharaei B, Kamranmanesh MR, et al. Wire reinforced endotracheal tube
compared with Parker Flex-Tip tube for oral fiberoptic intubation: a
33
randomized clinical trial. Minerva Anestesiol 2014; 80: 9–324.
Kiran Kumar Gudivada, Nirmala Jonnavithula, Sai Lakshman Pasupuleti,
Chaitanya Prathyusha Apparasu, Syama Sundar Ayya, Gopinath
Ramachandran. Comparison of ease of intubation in sniffing position and
further neck flexion. Journal of Anaetesiology Clinical Pharmacology; 2017,
33(3), 342-347.
Kelly FE, Seller C. Snail trail. Anaesthesia 2015; 70: 501.

Kristensen MS, Teoh WH, Asai T. Which supraglottic airway will serve my patient
best? Anaesthesia 2014; 69: 92–1189.
Lavinia B, Nadia R, Orazio D, Enrico G dan Franco C. Difficult Airway
Management in Patients Submitted to General Anesthesia. Is it a Matter of
Devices or Predictive Scores?. International Journal of Anesthetics and
Anesthesiology; 2016, 3(1).
Law JA, Broemling N, Cooper RM, Drolet P, Duggan LV. The difficult airway
with recommendations for management-Part1-Difficult tracheal intubation
encountered? in an unconscious/induced patient. Can J Anaesth; 2013, 60:
1089-1118.
Lockey D, Crewdson K, Weaver A, Davies G. Observational study of the success
rates of intubation and failed intubation airway rescue techniques in 7256
attempted intubations of trauma patients by pre-hospital physicians. Br J
Anaesth 2014; 113: 220.
Mackey, D. C., & Wasnick, J. D. (Eds.). (2013). Morgan & Mikhail's clinical
anesthesiology. McGraw-Hill Education LLC.
Nimmagadda U, Salem MR, Crystal GJ. Preoxygenation: Physiologic Basis,
Benefits, and Potential Risks. Anesth Analg;2017, 124(2):507-517.
Prabhat Kumar Sinha, Satyajeet Misra. Supraglottic Airway Devices Other Than
Laryngeal Mask Airway And Its Prototypes. Indian Journal Anaest, 2005;
49(4): 281-292.
Rajeev Sharma. Use of Backward Upward Rightward Pressure (BURP) and
Optimum External Laryngeal Manipulation (OELM) to Confirm Tracheal
Placement of Endotracheal Tubes in Difficult Cases. 201, 52(6) : 883.
Ramachandran SK, Klock PA. Definition and incidence of the difficult airway.
Dalam: Hagberg CA, penyunting. Benumof and Hagberg’s airway

34
management. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013. hlm. 201–
8.
Ramachandran SK, Kheterpal S. Difficult mask ventilation: does it matter?
Anaesthesia 2011; 66: 4–40.
Sachdeva R, Kannan TR, Mendonca C, Patteril M. Evaluation of changes in tidal
volume during mask ventilation following administration of neuromuscular
blocking drugs. Anaesthesia; 2014, 69: 826–31.

Saito T, Liu W, Chew STH, Ti LK. Incidence of and risk factors for difficult
ventilation via a supraglottic airway device in a population of 14 480 patients
from South-East Asia. Anaesthesia 2015; 70: 83–1079.
Sakles JC, Chiu S, Mosier J, Walker C, Stolz U. The importance of first pass success
when performing orotracheal intubation in the emergency department. Acad
Emerg Med 2013; 20: 8–71.
Sapna Annaji Nikhar, Ashima Sharma, Mahesh Ramdaspally, and Ramachandran
Gopinath. Airway Management of Patients Undergoing Oral Cancer
Surgery: A Retrospective Analysis of 156 Patients. Turk J Anaesthesiol
Reanim. 2017 Apr; 45(2): 108–11.
Sury MRJ, Palmer JHMG, Cook TM, Pandit JJ. The State of UK anaesthesia: a
survey of National Health Service activity in 2013. Br J Anaesth 2014; 113:
84–575.
Zeng Z, Tay WC, Saito T, Thinn KK, Liu EH (2018) Difficult Airway Management
during Anesthesia: A Review of the Incidence and Solutions. J Anaesthesiol
Crit Care. Vol 1 No.1:5.

35
36
37

Anda mungkin juga menyukai