Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI TUMOR NASOFARING

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti

Program Pendidikan Profesi Bagian Radiologi

Disusun Oleh :

Azhar Putra Pratama, S.Ked

196100802052

Pembimbing :

dr. Uusara, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK
SMF RADIOLOGI
RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Azhar Putra Pratama, S.Ked

NIM : 196100802052

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Universitas Palangka Raya

Tahun Akademik : 2021

Judul Referat : Gambaran Radiologi Tumor Nasofaring

Diajukan : September 2021

Pembimbing : dr. Uusara, Sp.Rad

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL : September 2021

Telah disetujui oleh:

Pembimbing Materi

dr.Uusara, Sp.Rad

ii
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Azhar Putra Pratama, S.Ked

NIM : 196100802052

Jurusan : Profesi Dokter

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa referat yang berjudul “ Gambaran


Radiologi Tumor Nasofaring” ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan
peniruan terhadap hasil karya orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain
yang ditunjuk sesuai dengan cara-cara penulisan yang berlaku. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa referat ini terkandung ciri-ciri plagiat dan
bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Palangka Raya, September 2021

Azhar Putra Pratama, S.Ked

196100802052

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya, penyusunan referat yang berjudul “Gambaran Radiologi Tumor
Nasofaring” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Referat ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di bagian Radiologi di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Penulis menyadari bahwa dalam proses
penulisan referat ini banyak mengalami kendala, namun berkat dan bantuan,
bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak sehingga kendala-kendala yang
dihadapi tersebut dapat diatasi.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Uusara,
Sp.Rad yang juga turut membimbing dan membantu saya dalam penyusunan referat
ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Kiranya referat ini dapat berguna
dan membantu dokter-dokter muda selanjutnya maupun mahasiswa jurusan kesehatan
lain yang sedang dalam menempuh pendidikan. Referat ini berguna sebagai referensi
dan sumber bacaan untuk menambah ilmu pengetahuan.

Palangka Raya, September 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN............................................................................. ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iv
DAFTAR ISI........................................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................
Error! Bookmark not defined.1
1.1 Latar Belakang........................................................................
Error! Bookmark not defined.1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................
Error! Bookmark not defined.2
2.1 Anatomi...................................................................................
Error! Bookmark not defined.2
2.2 Definisi ...................................................................................
Error! Bookmark not defined.2
2.3 Etiologi....................................................................................
Error! Bookmark not defined.3
2.4 Epidemiologi...........................................................................
Error! Bookmark not defined.4
2.5 Manifestasi Klinis...................................................................
Error! Bookmark not defined.4
2.6 Diagnosis.................................................................................
Error! Bookmark not defined.5
2.7 Penatalaksanaan .....................................................................
Error! Bookmark not defined.13
BAB III KESIMPULAN...............................................................................
Error! Bookmark not defined.16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17

v
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring ...................................................................... 2


Gambar 2.2 CT Scan : dinding posterior sinus maksila melengkung ke anterior 6
Gambar 2.3 CT Scan : gambaran klasik”Holman Miller”................................. 6
Gambar 2.4 Foto Polos Nasofaring.................................................................... 8
Gambar 2.5 Foto Polos : terdapat massa di daerah nasofaring.......................... 8
Gambar 2.6 Foto Polos Dasar Tengkorak : erosi tulang di bagian dari sfenoid
dan foramen laserum.................................................................... 9
Gambar 2.7 Foto Polos Dasar Tengkorak : erosi dari fossa serebri media kiri. 9
Gambar 2.8 CT Scan Axial Nasofaring Normal................................................ 9
Gambar 2.9 CT Scan Aksial : karsinoma nasofaring stadium awal, terdapat
penebalan fossa rossenmuller kiri...................................... 10
Gambar 2.10 CT Scan Aksial os Temporal : massa di nasofaring...................... 10
Gambar 2.11 CT Scan Koronal : massa di atap nasofaring (kiri), masa
di nasofaring dan sinus kavernosus kanan.................................... 10
Gambar 2.12 MRI Potongan Sagital : tumor primer dari karsinoma
nasofaring dan metastasisnya ke dinding lateral retrofiring.......... 11

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Tumor nasofaring adalah massa yang terdapat di nasofaring. Tumor


nasofaring dibagi menjadi tumor jinak dan tumor ganas. Berbagai jenis tumor jinak
dapat ditemukan di daerah nasofaring seperti papiloma dan angiofibroma, sedangkan
tumor ganas yang banyak ditemukan adalah karsinoma nasofaring.

Angiofibroma nasofaring adalah tumor junak nasofaring yang sering


menimbulkan peradarahan dan tumor ini relatif jarang ditemukan. Umumnya
ditemukan pada laki-laki usia 7-21 tahun, jarang ditemukan pada usia di atas 25
tahun. Karsinoma nasofaring ditemukan pada pria usia produktif, dengan
perbandingan pria dan perempuan 2 : 1 dan 60% pasien berusia antara 25-60 tahun.

Kanker merupakan penyakit yang menyebabkan kematian terbesar kedua di


negara maju dan ketiga di negara berkembang yaitu 12,5% dari seluruh kematian
pada tahun 2002. Dan terdapat sebanyak 20 juta orang hidup dengan kanker dan 10
juta kasus kanker baru setiap tahunnya.

Gejala yang paling sering ditemukan ialah hidung tersumbat yang progresif
dan epistaksis berulang yang masif. Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya
penimbunan sekret, sehingga timbulnya rhinorea kronis yang diikuti oleh gangguan
penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat
biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial.

Deteksi dini dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang, yang


diharapkan dapat sesegera mungkin memberikan pengobatan yang cepat, tepat, dan
efektif, sehingga dapat memperbaiki ketahanan hidup akan kanker.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Anatomi
Nasofaring merupakan suatu ruang berstruktur tabung berdinding
muskuloskeletal dan berbentuk kuboid yang berada di belakang rongga hidung
dengan ukuran panjang sekitar 3-4 cm, lebar 4 cm, dan tinggi 4 cm dengan batas-
batas sebagai berikut:1
1) Pada bagian anterior adalah bagian akhir dari cavum nasalis atau choana.
2) Pada bagian superior adalah dasar tulang tengkorak (basis cranii) dari rongga
sinus sfenoidalis sampai dengan bagian ujung atas clivus.
3) Pada bagian posterior adalah clivus, jaringan mukosa dari faring sampai
palatum molle, serta vertebra cervicalis 1-2.
4) Pada bagian inferior adalah sisi atas palatum molle (soft palate) dan orofaring.
5) Pada bagian lateral adalah parafaring, otot-otot mastikator faring, tuba
eustachius, torus tubarius, dan fossa Rossenmulleri.

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring

1.2. Definisi
Tumor nasofaring adalah massa yang terdapat di nasofaring. Tumor
nasofaring dibagi menjadi tumor jinak dan tumor ganas. Berbagai jenis tumor jinak
dapat ditemukan di daerah nasofaring seperti papiloma, hemangioma, dan
angiofibroma nasofaring. Sedangkan tumor ganas yang banyak ditemukan adalah
karsinoma nasofaring.2

2
3

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring


yang secara histologi jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus
paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta mudah berdarah yang sulit dihentikan.2
Karsinoma adalah pertumbuhan sel yang ganas dan tidak terkendali terdiri
dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya sebagai
proses metastasis. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada
epithelial pelapis ruangan di belakang hidung (nasofaring).2

1.3. Etiologi
Penyebab angiofibroma nasofaring masih belum jelas, secara gasris besar
dibagi menjadi teori jaringan asal, yaitu lesi berasal dari perlekatan bagian posterior
konka media dan dekat perbatasan superior foramen sfenopalatina dan faktor
ketidakseimbangan hormonal oleh karena tumor banyak ditemukan pada laki-laki
remaja sebagai penyebab adanya kekurangan androgen dan kelebihan estrogen.3
Penyebab karsinoma nasofaring dibagi menjadi 3, yaitu:2
1) Genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak
terkontrol akibat dari mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel
somatik. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa HLA (Human Leucocyte
Antigen) berperan penting dalam kejadian karsinoma nasofaring.

2) Virus Epstein-Barr
Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili
virus Herpes. Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal tanpa
menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk
mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi adanya virus ini tanpa
faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.
4

3) Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor terjadinya kanker
nasofaring. Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker
nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap
dupa, serbuk kayu industri, dan obat-batan tradisional. Dan juga kebiasaan
merokok dalam jangka waktu lama mempunyai resiko tinggi menderita
kanker nasofaring.

1.4. Epidemiologi
Tumor jinak angiofibroma nasofaring jarang ditemukan, frekuensinya 1/5.000
– 1/60.000 dari pasien THT, diperkirakan hanya 0,05% dari tumor nasofaring. Tumor
ini umumnya terjadi pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada
usia > 25 tahun.
Angka kejadian karsinoma nasofaring paling tinggi ditemukan di Asia dan
jarang ditemukan di Amerika dan Eropa. Angka kejadian di Indonesia adalah cukup
tinggi yaitu 4,7 : 100.000 kasus pertahun.

1.5. Manifestasi Klinis


A. Angiofibroma Nasofaring
Diagnosis biasanya hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Gejala yang
paling sering ditemukan ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis
berulang yang masif. Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan
sekret, sehingga timbulnya rhinorea kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman.
Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya
menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial.
Pada pemeriksaan rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, bagian
tumor diliputi selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke
luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu.
5

B. Karsinoma Nasofaring
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher.
- Gejala nasofaring : berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.
- Gejala telinga : merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor
dekat muara tuba eustachius (Fossa Rosenmuller). Berupa tinitus, rasa tidak
nyaman di telinga sampai rasa nyeri.
- Gejala mata dan saraf : penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai
saraf ke III, IV, V, dan VI. Sehingga sering terjadi diplopia dan neuralgia
trigeminal.
- Metastasis ke kelenjar leher : berupa benjolan yang mendorong pasien untuk
berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.

1.6. Diagnosis
A. Angiofibroma Nasofaring
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang
diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologi konvensional CT Scan serta pemeriksaan
arteriografi. Pada pemeriksaan radiologi konvensional (foto kepala potongan antero-
posterior, lateral, dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yaitu sebagai tanda
“Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga
fissura pterigopalatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di
daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma, dan tulang
sekitar nasofaring.
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan massa
tumor serta desruksi tulang ke jaringan sekitarnya.
6

Gambar 2.2. CT Scan : dinding posterior sinus maksila melengkung ke anterior

Gambar 2.3. CT Scan : gambaran klasik “Holman Miller”

Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dilakukan untuk


menentukan batas tumor terutama yang telah meluas ke intrakranial.
Pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna akan memperlihatkan
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris interna
homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai akibat dari
pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fossa
pterigimaksila. Massa tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan
mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan.
7

Pemeriksaan patologi anatomi tidak dapat dilakukan karena biopsi merupakan


kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.
Untuk menentukan derajat tumor menggunakan klasifikasi Session dan Fisch.
Klasifikasi menurut Session:
- Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult.
- Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult
dengan meluas sedikitnya 1 sinus paranasal.
- Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila.
- Stadium IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang
orbita.
- Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke
intrakranial.
- Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas
ke sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch:

- Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi


tulang
- Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila sinus paranasal dengan
destruksi tulang.
- Stadium III : Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau regio
paraselar.
- Stadium IV : Tumor menginvasi sunus kavernosus, regio chiasma optik dan
atau fossa pituitary.

B. Karsinoma Nasofaring
Pemeriksaan radiologi untuk mendiagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan
adanya tumor pada daerah nasofaring, menentukan lokasi yang lebih tepat pada tumor
tersebut, menentukan ukuran tumor, mencari dan menentukan luas penyebaran tumor
8

ke jaringan sekitarnya. Pemeriksan radiologis yang dapat dilakukan untuk menunjang


diagnosis karsinoma nasofaring antara lain:

1) Foto Polos
Beberapa posisi untuk mencari adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu
posisi Waters, lateral, dan AP. Menunjukkan massa jaringan lunak di daerah
nasofaring. Foto dasar tulang tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi
tulang di daerah fossa serebri media.

Gambar 2.4. Foto Polos Nasofaring

Gambar 2.5. Foto Polos : terdapat massa di daerah nasofaring


9

Gambar 2.6. Foto Polos Dasar Tengkorak : erosi tulang di bagian dari sfenoid dan
foramen laserum

Gambar 2.7. Foto Polos Dasar Tengkorak : erosi dari fossa serebri media kiri

2) CT Scan
Digunakan melihat dari fossa rosenmuller yang terletak di lateral nasofaring.

Gambar 2.8. CT Scan Aksial Nasofaring Normal


10

Gambar 2.9. CT Scan Aksial : karsinoma nasofaring stadium awal, terdapat


penebalan fossa rossenmuller kiri

Gambar 2.10. CT Scan Aksial os Temporal : massa di nasofaring

Gambar 2.11. CT Scan Koronal : massa di atap nasofaring (kiri), masa di nasofaring
dan sinus kavernosus kanan
11

3) MRI
Untuk mendeteksi keterlibatan dasar tengkorak dan bidang lemak, setidaknya
dalam bidang aksial yang digunakan untuk menilai tambahan dari penyebaran
awal tumor parafaringeal, invasi sinus paranasal, efusi telinga tengah dan
deteksi KGB servikal. Sedangkan tanpa supresi lemak digunakan untuk
melihat jangkauan tumor, termasuk penyebaran perineural dan perluasan
tumor intrakranial, dengan ketebalan slice 3-5 mm.

Gambar 2.12. MRI Potongan Sagital : tumor primer dari karsinoma nasofaring dan
metastasisnya ke dinding lateral retrofiring

4) USG Abdomen
Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat keraguan
pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT scan abdomen
dengan kontras.

5) Foto Thoraks
Untuk melihat adanya noduk di paru atau apabilan dicurigai adanya kelainan
maka dianjurkan dengan CT Scan thoraks dengan kontras.
12

6) Bone Scan
Untuk melihat adanya metastasis pada tulang.

Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus
Epstein-Barr telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksu karsinoma nasofaring.
Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan biopsi nasofaring. Pada WHO ada 3
bentuk karsinoma nasofaring, yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi),
karsinoma tidak berkeratinisasi, dan karsinoma tidak berdiferensiasi.
Stadium menurut UICC (2002) yaitu :

T : Tumor Primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas di nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a Perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring
T2b Disertai perluasan ke parafaring
T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf
kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

N : Pembesaran Kelenjar Getah Bening Regional


N0 Tidak ada pembesaran
N1 Metastase KGB unilateral, ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di
atas fossa supraklavikula
N2 Metastase KGB bilateral, ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di
atas fossa supralavikula
N3 Metastase KGB bilateral, ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak di fossa
supraklavikula
N3a Ukuran lebih dari 6 cm
N3b Di dalam supraklavikula

M : Metastasis Jauh
13

Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai


M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVA T4 N0, N1, N2 M0
Stadium IVB Semua T N3 M0
Stadium IVC Semua T Semua N M1

1.7. Penatalaksanaan
A. Angiofibroma Nasofaring
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal,
radioterapi. Berbagai pendekatan operasi yang dapat dilakukan sesuai dengan lokasi
tumor dan perluasannya, seperti melalui trasnpalatal, rinotomi lateral, rinotomi
sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke
intrakranial.
Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain embolisasi untuk
mengurangi perdarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan
anestesi dengan teknik hipotensi.
Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan
preparat testosteron resptor bloker (flutamid).
Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi
(Gamma Knife) atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal
3 dimensi.
Untuk tumor yang meluas ke jaringan sekitar dan mendestruksi dasar
tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau terapi hormonal dengan
14

preparat testosteron reseptor bloker (flutamid) 6 minggu sebelum operasi, meskipun


hasilnya tidak sebaik radioterapi.

B. Karsinoma Nasofaring
Untuk stadium I dilakukan radioterapi, stadium II dan III dilakukan
kemoradiasi, stadium IV dengan N <6 cm dilakukan kemoradiasi, dan stadium IV
dengan N >6 cm dilakukan kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang
tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran selesai,
tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologi dan serologi serta tidak ditemukan adanya metastasis jauh.
Operasi tumor induk sisa atau kambuh diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi
yang berat akibat operasi.
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.
Mulut rasa kering disebabkan oleh keruakan kelenjar liur mayor dan minor sewaktu
penyinaran. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk
makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemana pun pergi, dan mencoba
memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air
liur.
Perawatan paliatif diindikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri,
mengontrol gejala, dan memperpanjang usia. Radiasi sangat efektif untuk mengurangi
nyeri akibat metastasis tulang.
15
BAB III
KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring


yang secara histologi jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus
paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta mudah berdarah yang sulit dihentikan.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis
ruangan di belakang hidung (nasofaring).
Pada pemeriksaan radiologi konvensional (foto kepala potongan antero-
posterior, lateral, dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yaitu sebagai tanda
“Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga
fissura pterigopalatina melebar. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan
tampak perluasan massa tumor serta desruksi tulang ke jaringan sekitarnya.
Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dilakukan untuk menentukan batas
tumor terutama yang telah meluas ke intrakranial.
Pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna akan memperlihatkan
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris interna
homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai akibat dari
pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fossa
pterigimaksila.
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal,
radioterapi. Berbagai pendekatan operasi yang dapat dilakukan sesuai dengan lokasi
tumor dan perluasannya, seperti melalui trasnpalatal, rinotomi lateral, rinotomi
sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke
intrakranial. Perawatan paliatif diindikasikan langsung terhadap pengurangan rasa
nyeri, mengontrol gejala, dan memperpanjang usia. Radiasi sangat efektif untuk
mengurangi nyeri akibat metastasis tulang.

16

Anda mungkin juga menyukai