Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Neurooftalmologi adalah cabang dari oftalmologi yang mempelajari
manifestasi mata pada penyakit saraf. Banyak penyakit neurologis yang
memperlihatkan gejala pada mata dan didiagnosis berdasarkan pada gejala-gejala dan
tanda-tanda pada mata.
Dikatakan bahwa reseptor untuk penglihatan (cahaya) yang berupa sel-sel
kerucut dan sel-sel batang pada masing-masing mata berjumlah 6,5 juta dan 125 juta,
sedangkan serabut sarafnya pada masing-masing mata adalah 1,25 juta, ini
merupakan 38% dari semua serabut saraf yang keluar masuk sistem saraf pusat.
Disamping itu perjalanan impuls visual dari reseptor retina ke polus posterior lobus
oksipitalis juga dipengaruhi oleh bagian-bagian lain dari otak.
Konsep mengenai penglihatan meliputi perhatian dan pengenalan visual,
pencatatan ingatan, maupun pengaruh korteks serebri untuk gerakan bola mata.
Jalannya lintasan visual yang panjang di dalam otak menyebabkan lintasan tadi
sangat berhubungan erat dengan bagian-bagian otak yang dilewati dan demikian pula
mengenai patologinya.
Delapan dari 12 nervi kraniales berhubungan dengan fungsi mata, mereka
adalah sebagai berikut. Nervus olfaktorius terletak sangat dekat dengan nervus
optikus, sehingga sering terlibat bersama pada proses intrakranial. Nervus optikus
merupakan saraf penglihatan yang menghantarkan rangsang cahaya ke pusat
penglihatan untuk disadari. Nervus okulomotorius, troklearis dan abdusen merupakan
saraf-saraf penggerak bola mata, dan khusus untuk N III, juga mengandung saraf
parasimpatis untuk mata. Nervus oftalmikus (cabang pertama nervus trigeminus) dan
nervus fasialis masing-masing merupakan saraf sensoris pada mata dan saraf yang
menginervasi muskulus orbikularis okuli. Nervus vestibulokoklearis/ statoakustikus
sangat berhubungan dengan mata, dikarenakan adanya hubungan antara fungsi
vestibular dengan fungsi okulomotor.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi


2.1.1. Bagian Lintasan Visual
Mata merupakan alat optik yang mempunyai sistem lensa (kornea, humor
akuous, lensa dan badan kaca), diafragma (pupil), dan film untuk membentuk
bayangan (retina). Selanjutnya dari retina rangsang akan diteruskan ke otak untuk
disadari melewati lintasan visual. Lintasan visual dimulai dari sel-sel ganglioner di
retina dan diakhiri pada polus posterior korteks oksipitalis. Dengan demikian lintasan
visual terdiri dari sel-sel ganglioner di retina, nervus optikus, khiasma optikum,
traktus optikus, korpus genikulatum laterale, dan radiasio optika dan korteks
oksipitalis.
2.1.2. Sel-sel Ganglioner Retina
Pada retina dibedakan retina bagian nasal dan bagian temporal dengan batas
vertikal yang ditarik melalui makula lutea. Demikian pula terdapat pembagian retina
bagian atas dan bagian bawah dengan garis yang ditarik juga melewati makula lutea.
Akson sel-sel ganglioner akan berkumpul pada diskus optikus (papila nervi optisi)
dengan penataan beriukt ini.
Berkas papilomakular akan berada di bagian temporal diskus optikus. Berkas
arkuata superior akan berada di polus superior diskus. Berkas arkuata inferior akan
berada di polus inferior diskus. Serabut radier yang berasal dari nasal papil akan
berada di bagian nasal.
Pada perjalanan akson selanjutnya menuju korpus genikulatum laterale
serabut-serabut (akson) tadi akan mengalami sedikit pemutaran (terpilin) sehingga
terjadi sedikit perubahan penataan pada lintasan berikutnya.
2.1.3. Nervus Optikus
Di dalam nervus optikus serabut saraf retina juga mengalami penataan
tertentu, yaitu: (i) yang berasal dari macula akan berada di sentral; (ii) yang berasal
dari retina bagian nasal berada di medial; (iii) yang berasal dari retina bagian
temporal berada di lateral; dan (iv) yang berasal dari retina bagian atas (baik dari
nasal ataupun temporal) berada di atas, dan yang berasal dari bagian bawah retina
berada di bawah.
2.1.4. Khiasma Optikum
Khiasma (artinya: berbentuk huruf 'X') optikum merupakan tempat bersatunya
nervus optikus intrakranial kanan dan kiri. Dengan demikian jumlah serabut saraf
pada khiasma optikus adalah sebesar 2,5 juta akson. Khiasma optikum kira-kira
berada di atas sella tursika, tetapi kadang-kadang agak ke belakang atau agak ke
depan. Pada khiasma optikus, serabut saraf yang berasal dari retina bagian temporal
tidak menyilang, sedangkan yang berasal dari retina bagian nasal mengadakan
persilangan. Dengan demikian khiasma optikum merupakan suatu hemidekusasio
(menyilang separuh).
2.1.5. Traktus Optikus
Traktus optikus merupakan bagian dari N II setelah meninggalkan khiasma
optikum. Ada dua traktus optikus yaitu kanan dan kiri. Traktus optikus kanan
terbentuk dari serabut saraf dari retina mata kanan bagian temporal dan retina mata
kiri bagian nasal, demikian pula sebaliknya untuk traktus optikus kiri. Dengan
demikian traktus optikus kanan untuk menghantarkan rangsang dari lapang pandang
kiri dan traktus optikus kiri untuk lapang pandang kanan.
2.1.6. Korpus genikulatum laterale
Korpus genikulatum laterale merupakan tempat berakhirnya nervus optikus
(tepatnya traktus optikus) yang menghantarkan rangsang cahaya untuk berganti
neuron di sini. Nervus optikus yang membawa serabut aferen pupil tidak berakhir di
sini, tetapi berakhir pada nukleus Edinger-Westphal sebelum mencapai korpus
genikulatum laterale (lihat lintasan pupil). Pada korpus genikulatum laterale terdapat
penataan retinotopik yang pasti, artinya daerah retina tertentu adalah bersesuaian
dengan tempat tertentu pada korpus genikulatum laterale. Pada korpus genikulatum
laterale terdapat rotasi 90o, sehingga serabut dari retina bagian atas terdapat di
medial, dan yang berasal dari retina bagian bawah akan terletak di lateral.
2.1.7. Radiasio Optika dan korteks Oksipitalis
Radiasio optika disebut pula radiasio genikulokalkarina atau traktus
genikulokalkarina. Badan sel serabut ini berada pada korpus genikulatum laterale dan
aksonnya berakhir di dalam korteks oksipitalis. Pada saat serabut keluar dari korpus
genikulatum laterale, terjadi rotasi balik, sehingga serabut yang bersesuaian dengan
retina bagian atas akan terdapat di bagian atas radiasio optika dan korteks kalkarina;
dan yang bersesuaian dengan retina bagian bawah akan terdapat di bagian bawah
radiasio optika dan korteks kalkarina. Radiasio optika berjalan ke belakang; berkas
bagian atas akan melewati lobus parietalis dan berkas bagian bawah akan melewati
lobus temporalis dan melingkupi kornu inferior dan posterior ventrikulus lateralis
untuk selanjutnya berakhir pada korteks visual.
2.1.1. Vaskularisasi Lintasan Visual
Sel-sel ganglion pada retina divaskularisasi oleh arteria sentralis retinae.
Diskus optikus mendapat vaskularisasi dari cabang arteria sentralis retinae dan arteria
siliaris posterior. Nervus optikus daerah orbita mendapat vaskularisasi dari arteria
oftalmika dengan anastomosis vena meninges. Nervus optikus intrakanalikuler
mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang pia dari arteria karotis interna. Nervus
optikus intrakranial divaskularisasi oleh vasa-vasa kecil dari arteria karotis interna,
arteria serebri media, dan arteria komunikans anterior. Khiasma optikum terutama
divaskularisasi oleh vasa-vasa dari arteria karotis interna dan arteria komunikans
anterior. Traktus optikus divaskularisasi dari aa. choroidales anteriores. Radiasio
optika dan korteks oksipitalis divaskularisasi oleh arteria serebri media dan posterior.
2.2. Patologi Lintasan Visual
Gangguan lapang pandangan sendiri bisa bersifat sentral dan perifer.
Gangguan lapang pandangan sentral dapat berupa skotoma sentral (apabila jalur
makula terkena) yang disertai dengan gangguan visus, warna, dan kecerahan.
Gangguan lapang pandangan perifer bisa berupa skotoma perifer, bisa berupa
penyempitan. Keadaan ini sering tidak disadari penderita, dan baru disadari kalau
sudah luas dan mencapai (atau hampir mencapai) sentral. Gangguan lapang
pandangan perifer yang penting adalah hemianopia homonim (kanan atau kiri),
hemianopia altitudinal (atas atau bawah), hemianopia bitemporal, kuadrantanopia
homonim (atas atau bawah, kanan atau kiri), defek arkuata (baik absolut maupun
relatif), serta bentuk-bentuk lain yang ada. Lapang pandangan ini bisa diperiksa
secara sederhana maupun rinci. Pemeriksaan sederhana dengan uji konfrontasi yang
sensitif untuk lesi yang luas dan berat. Pemeriksaan rinci dilakukan dengan perimetri,
untuk mendeteksi lesi yang ringan, misalnya glaukoma awal, hemianopia awal, dll.
seperti meredup. Dalam keadaan seperti ini, pemeriksaan dilakukan dengan
menanyakan seberapa besar meredupnya pencahayaan ruang, misalnya 75% dsb.
Kelainan lain yang bisa timbul seperti diuraikan di atas adalah gangguan penglihatan
warna atau buta warna dapatan. Sebaiknya ditanyakan apakah seeblumnya ada buta
warna bawaan. Keadaan ini bisa diperiksa dengan buku Ishihara atau uji lainnya.
Warna sendiri terkait dengan hue, saturasi, dan kecerahan. Jadi gangguan penglihatan
ini menyangkut gangguan pada saturasi dan kecerahan. Apabila kecerahan berkurang,
maka warna merah menjadi seperti merah tua, sedangkan apabila saturasi berkurang
maka warna merah menjadi seperti merah muda. Hue sendiri adalah kesan warna
yang ditentukan oleh panjang gelombang (λ).
Gejala-gejala di luar sensoris visual bisa muncul sebagai gejala kenaikan
tekanan intrakranial, berupa sakit kepala, muntah, mual, dan gejala neurologis
lainnya. Selain itu gejala traktus piramidalis bisa juga hadir, karena secara anatomis
traktus ini berpotongan tegak lurus dengan lintasan visual. Gangguan lain bisa
melibatkan saraf kranial lainnya, termasuk kelumpuhan otot penggerak bola mata.
Gejala endokrin bisa berupa gigantisme atau akromegali pada tumor hipofisis. Kejang
(epilepsi), gangguan koordinasi, gangguan ingatan, gangguan emosi dan tingkah laku,
serta gangguan kesadaran, semuanya bisa jadi gejala selain sensoris visual.

2.3. Anomali Diskus Optikus


Beberapa bentuk anomali diskus optikus yang perlu mendapat perhatian
adalah pseudopapiledema, hipoplasia nervus optikus, anomali ekskavasi diskus
optikus, megalopapil, optic pit, sindrom diskus miring (tilting disc), dan serabut saraf
bermielin.

2.4. Kelainan Papil


Berkas papilomakular berasal dari makula, berada di bagian temporal papil.
Berkas arkuata superior dari retina temporal atas, berada di bagian atas papil (polus
superior). Berkas arkuata inferior dari retina temporal bawah, berada di bagian bawah
papil (polus inferior). Berkas radial nasal dari retina nasal, berada di bagian nasal
papil.
Pada kelainan papil salah satu atau lebih berkas bisa terlibat, tetapi paling
sering adalah berkas arkuata superior atau inferior, baik total maupun parsial,
sehingga memberi defek lapang pandang arkuata inferior (kalau berkas arkuata
superior terkena) atau defek arkuata superior (kalau berkas arkuata inferior terkena).
2.4.1. Papilitis
Keadaan ini merupakan peradangan pada papil dengan gejala dan tanda-tanda
visus turun secara agak perlahan, gangguan kecerahan, gangguan lapang pandang
(defek arkuata bisa berupa skotoma arkuata atau defek yang meluas ke perifer). Dari
oftalmoskopi didapatkan papil kabur, hiperemia, arteri dan vena membesar dan
berkelok. Keadaan ini dikelola dengan mencari penyebabnya (yang biasanya sulit)
dan dengan pengobatan nonspesifik.
2.4.2. Neuropati Optik Iskemik Anterior
Infark papil (stroke papil) yang biasanya mengenai polus superior (daerah
watershed, pertemuan end-arteriole), dengan gejala dan tanda yang berupa gangguan
yang terjadi mendadak dan ireversibel. Muncul defek lapangan pandang, biasanya
arkuata inferior atau altitudinal inferior, tetapi bisa juga superior. Kalau berkas
papilomakular terkena akan terjadi penurunan visus dan gangguan warna. Dari
oftalmoskopi didapatkan papil sedikit membengkak, kabur dan memucat pada tempat
infark, terutama polus superior (palid edema).
Keadaan ini disebabkan oleh arteritis atau arteriosklerosis. Tidak ada obat
yang manjur dan ada risiko untuk terjadi pada mata satunya. Adnya keadaan ini
membutuhkan konsultasi dengan ahli jantung untuk evaluasi status kardiovaskular
penderita.
2.4.3. Papiledema
Papiledema adalah pembengkakan papil yang disebabkan oleh kenaikan
tekanan intrakranial. Pembengkakan papil yang bukan karena kenaikan tekanan
intrakranial tidak disebut papiledema, tetapi edema papil. Tanda dan gejala edema
papil adalah penurunan visus yang pada awalnya normal. Ada kelainan lapang
pandang berupa pembesaran bintik buta. Kalau berlangsung lama akan terjadi atrofi
papil sehingga visus turun dan lapang pandang menyempit, disertai defek berkas.
Oftalmoskopi mengungkap adanya papil bengkak, kabur, menonjol, arteri dan vena
melebar dan berkelok. Keadaan ini biasanya terjadi pada kedua mata (bilateral).
2.4.4. Atrofi Papil
Keadaan ini ditandai dengan hilangnya axon saraf optik. Dengan oftalmoskopi
yang bisa dilihat langsung adalah keadaan papil-nya. Penyebab kondisi ini adalah lesi
lintasan visual bagian depan, dari retina hingga korpus genikulatum lateral.
Penyembuhan setelah lesi lintasan visual dari retina hingga korpus genikulatum
lateral biasanya tidak sempurna, sehingga hampir selalu menyebabkan atrofi papil
(atrofi optik) baik yang ringan (parsial) maupun total. Atrofi yang terjadi bisa bersifat
asenden atau ortograd karena lesi di retina, atau desenden atau retrograd akibat lesi di
belakang papil. Atrofi papil primer adalah atrofi papil yang tidak didahului
papiledema, sedangkan yang didahului papiledema disebut sebagai atrofi papil
sekunder.

Gambar 3. Atrofi papil


Myelin yang menyelubungi sebagian nervus optikus tidak dibentuk oleh sel
Schwann, tetapi oleh sel glia dan kalau terjadi kerusakan maka tidak ada regenerasi.
Inilah mengapa pada adanya lesi nervus optikus harus dipandang sebagai keadaan
gawat darurat.
Penyebab atrofi papil, apabila tidak total, sering bisa dilacak dengan
pemeriksaan perimetri. Dengan demikian gejala dan tanda atrofi papil tergantung dari
penyakit yang mendasarinya. Gejala dan tanda umumnya adalah penurunan visus dari
ringan hingga nol, gangguan persepsi warna dan kecerahan, dan gangguan lapang
pandangan beragam tergantung penyebabnya. Hasil oftalmoskopi tergantung kepada
apakah primer atau sekunder. Pada atrofi primer papil p\tampak pucat dan batasnya
tegas, sedangkan pada yang sekunder papil tampak pucat dengan batas yang kabur.
2.5. Neuritis Optik
Neuritis optik adalah peradangan nervus optikus. Ada dua macam neuritis
optik, yaitu papilitis, yang merupakan peradangan papila nervi optici, dan apabila
retina di sekitarnya juga terkena, disebut neuroretinitis. Yang satunya lagi adalah
neuritis retrobulbar, yang merupakan peradangan nervus optikus yang berada di
belakang bola mata. Oftalmoskopi pada papilitis didapatkan adanya hiperemi dan
edema ringan pada papil, sedangkan pada neuritis retrobulbar papil dalam batas
normal, sehingga sering dikatakan "the doctor sees nothing and the patient sees
nothing".

2.6. Neuropati Optik Iskemik


Neuropati optik iskemik adalah pembengkakan (edema) diskus optikus tetapi
agak pucat, terjadi secara akut, dan kadang-kadang dengan perdarahan kecil-kecil.
Penyakit ini disebabkan oleh oklusi arteriae siliares posteriores di belakang lamina
kribrosa. Kelainan ini biasanya terjadi pada umur lanjut. Faktor risiko untuk
terjadinya penyakit ini adalah arteriosklerosis, hipertensi, diabetes melitus, dan
arteritis temporalis.
Neuropati optik iskemik mempunyai tanda-tanda dan gejalagejala berupa
pengurangan visus yang terjadi secara mendadak dan berat, gangguan penglihatan
warna, defek lapang pandang yang biasanya berupa defek altitudinal inferior, tetapi
dapat pula superior, defek arkuata, skotoma sentral, konstriksi perifer, atau
kombinasinya. Oftalmoskopis didapatkan papil bengkak tetapi pucat.

2.6. Neuropati Optik Traumatik


Ada dua macam neuropati optik traumatik, yaitu direk (langsung) dan indirek
(tidak langsung). Trauma direk cenderung menyebabkan gangguan penglihatan yang
berat dan segera, serta sulit perbaikannya. Trauma indirek menyebabkan gangguan
penglihatan agak lambat (beberapa jam atau hari) dan tidak jarang mengalami
perbaikan.
Evaluasi trauma nervus optikus meliputi riwayat trauma, keadaan umum
pasien (apakah sadar atau tidak sadar), pemeriksaan visus dan lapang pandangan
apabila memungkinkan. Gangguan lapang pandangan bisa beragam. Karena bagian
atas nervus optikus adalah yang paling terikat erat dengan kanalis optikus, maka vasa-
vasa piamater di sini paling sering terputus, sehingga menyebabkan gangguan lapang
pandangan sebelah bawah. Bentuk-bentuk gangguan lapang pandangan yang lain bisa
saja terjadi. Pemeriksaan defek pupil aferen relatif (Marcus-Gunn) perlu dilakukan.
CT-scanning perlu untuk visualisasi nervus optikus, jaringan lunak di sekitarnya,
otak, tulang kanalis optikus, dan sinus paranasalis.

2.7. Neuropati Optik Kompresif


Neuropati optik kompresif bisa disebabkan oleh lesi di orbita (paling sering),
kanalis optikus (jarang), dan intrakranial (sangat jarang), yang menyebabkan
pembengkakan diskus optikus, proptosis, dan gangguan lapang pandang. Lesi tadi
bisa berupa tumor, infeksi, atau inflamasi. Neuropati optik kompresif tidak selalu
disertai pembengkakan diskus optikus, misalnya pada kompresi pada khiasma.
Kompresi nervus optikus tanpa pembengkakan papil bisa terjadi pada kompresi yang
lain. Di sini diskus optikus langsung mengalami atrofi primer yang mulainya khas,
tergantung dari penyebabnya.

2.8. Patologi Pupil


2.8.1. Defek Pupil Aferen Relatif Atau Pupil Marcus-Gunn
Misalnya pada adanya neuritis optik mata kanan yang ringan, maka serabut
aferen pupilomotor akan mengalami gangguan ringan. Refleks pupil direk mata kanan
lebih lemah dibanding refleks indirek (mata kiri disinari dan mata kanan pupilnya
menyempit). Jadi mata kanan mengalami defek aferen relatif, sedangkan eferen ke
mata kanan maupun kiri adalah normal. Pada mata kiri aferennya adalah normal dan
eferen kedua mata juga normal.
2.8.2. Anisokoria
Anisokoria patologis terjadi karena adanya defek eferen parasimpatis atau
simpatis pada satu mata. Pada adanya kebutaan satu mata tidak terjadi anisokoria
sebab mata yang sehat akan memberikan impuls aferen dan eferen yang sama kuat ke
kedua mata. Jadi defek aferen tidak menimbulkan anisokoria dan anisokoria
disebabkan oleh defek eferen.
2.8.3. Buta Satu Mata Lesi Prakiasma
Kalau mata kanan buta karena lesi prekhiasma tetapi lintasan eferen kedua
mata utuh, maka pupil mata kanan sama lebar dengan pupil mata kiri (isokoria). Hal
ini disebabkan impuls dari mata kiri yang normal akan disalurkan ke eferen kanan
dan kiri, sehingga pupil mata kanan dan kiri akan sama besar. Kalau mata kiri ditutup,
maka pupil mata kanan akan melebar karena aferen mata kanan terganggu (ada lesi)
dan aferen mata kiri juga terganggu (karena ditutup).
2.8.4. Buta Dua Mata Lesi Prakiasma
Karena aferen kedua mata terganggu maka impuls eferen simpatis kedua mata
juga terganggu sehingga pupil kedua mata melebar karena sekarang muskulus dilator
pupil lebih dominan (normalnya muskulus sfingter pupil yang dominan).
2.8.5. Rangsangan Proprioseptik
Mata yang buta masih dapat mengadakan sinkinesis yaitu akomodasi,
konvergensi dan miosis kalau diberi rangsang untuk melihat dekat dengan rangsang
proprioseptik, misalnya pasien diminta melihat (membayangkan melihat) jarinya
sendiri dari jarak dekat.
2.8.6. Buta Total Genikulata Dan Pascagenikulata
Kalau terjadi kebutaan dua mata karena lesi kedua korpus genikulatum
laterale atau kedua korteks kalkarina, maka pupil kanan kiri tetap mempunyai ukuran
normal dan isokori. Ini disebabkan jalur pupil aferen memisahkan diri dari jalur
visual sebelum jalur visual berakhir pada korpus genikulatum laterale. Dengan
demikian pada kerusakan korpus genikulatum laterale bilaterel dan korteks kalkarina
bilateral, jalur aferen dan eferen (simpatis dan parasimpatis) pupil adalah normal.
2.8.7. Lesi Eferen Parasimpatis
Karena serabut parasimpatis keluar dari batang otak bersama dengan NIII,
maka pada adanya lesi N III akan terjadi kelumpuhan otot ekstraokuler yang
diinervasi N III dan kelumpuhan pupil (midriasis). Keadaan demikian disebut
oftalmoplegi totalis. Tetapi dapat terjadi bahwa hanya serabut parasimpatis saja yang
terkena sehingga terjadi midriasis tanpa adanya gangguan gerakan bola mata.
Keadaan demikian disebut oftalmoplegi interna. Sebaliknya dapat terjadi kelumpuhan
otot ekstraokuler yang diinervasi N III tanpa midriasis, dan keadaan demikian disebut
oftalmoplegi eksterna. Pada lesi parasimpatis ini pupil tidak akan bereaksi terhadap
cahaya maupun melihat dekat. Gangguan juga dapat terjadi pada muskulus siliaris,
sehingga terjadi kelumpuhan akomodasi.
2.8.8. Lesi Eferen Simpatis
Lesi eferen simpatis yang terkenal adalah sindrom Horner. Lesi eferen
simpatis bisa terjadi baik pada neuron ordo I, II, maupun III. Sindrom Horner ditandai
oleh miosis karena gangguan simpatis ke pupil, ptosis karena gangguan simpatis ke
otot Muller, dan enoftalmus karena celah mata yang agak menyempit. Tidak dapat
berkeringat pada wajah ipsilateral dengan kelainan mata karena gangguan simpatis
sudomotoris.
2.8.9. Pupil Argyll-Robertson
Pada tahun 1869 Argyll Robertson memerikan pupil abnormal yang ditandai
oleh miosis, tidak berespons terhadap rangsan cahaya, dan berkontraksi saat melihat
dekat, dan visus penderita adalah normal. Kelainan demikian dahulu sering terjadi
pada penderita sifilis tersier (neurosifilis). Kelainan ini hampir selalu bilateral, tetapi
mungkin asimetris. Letak lesi adalah pada substansia grisea mesensefalon sehingga
mengganggu refleks cahaya, sedangkan refleks melihat dekat (akomodasi) tidak
terganggu karena pusatnya lebih ke ventral.
2.8.10. Gangguan Akomodasi
Gangguan akomodasi bisa berupa insufisiensi dan kelumpuhan akomodasi
serta spasmus akomodasi, dan spasmus melihat dekat. Insufisiensi dan kelumpuhan
akomodasi dapat terjadi karena umur tua (presbiop) yang merupakan proses normal,
tetapi dapat juga terjadi pada orang muda sehat, pemberian obat (misalnya sulfas
atropin), pada orang yang menderita penyakit sistemik, misalnya kencing manis,
gangguan neurologis, dan orang yang mengalami lesi parasimpatik (paresis N III).

2.9. Patologi Gerak Bola Mata


2.9.1. Diplopia
Tidak sejajarnya aksis visual kedua bola mata akan menyebabkan bayangan
jatuh di kedua retina pada daerah nonkoresponden. Keadaan ini akan menimbulkan
diplopia binokular, artinya kalau satu mata ditutup, maka diplopia hilang. Pemeriksa
harus menetapkan diplopia tadi apakah horizontal, vertikal, atau oblik; membaik atau
memburuk pada arah gaze tertentu; apakah berbeda saat melihat jauh dan melihat
dekat; apakah dipengaruhi oleh posisi kepala.
2.9.2. Kebingungan pandangan (visual confusion)
Pada ketidaksejajaran kedua aksis visual dapat menyebabkan kedua makula
secara serentak melihat obyek atau area yang berbeda. Dengan demikian kedua
bayangan makula diinterpretasikan berada pada titik yang sama di dalam ruang. Ini
akan menyebabkan kebingungan visual. Pasien dengan kebingungan visus ini akan
mengeluh bahwa bayangan obyek yang diminati diganggu oleh latar belakang yang
tidak diinginkan.
2.9.3. Penglihatan kabur
Tidak sejajarnya sumbu visual juga dapat menyebabkan kabur. Ini disebabkan
bayangan obyek ditangkap di kedua retina pada daerah nonkoresponden tetapi
jaraknya sangat dekat. Dengan demikian pasien tidak menyadari adanya diplopia,
tetapi merasa kabur.
2.9.4. Vertigo
Pasien yang mengalami ketidakseimbangan verstibular akan mengeluh
ketidakseimbangan atau unsteadiness (bergoyang) dan terutama adalah vertigo.
Vertigo adalah sensasi ilusi gerak pada dirinya sendiri atau sekitarnya. Gejala ini akan
bersama dengan nistagmus. Tanyakan arah gerak pada badannya sendiri saat mata
ditutup.
2.9.5. Osilopsia
Osilopsia adalah gerakan ilusi bolak-balik alam sekitarnya yang bisa
horizontal, vertikal, torsional, atau gabungan. Osilopsia bisa disebabkan oleh fiksasi
yang tidak stabil. Apabila osilopsia timbul atau bertambah berat saat menggerakkan
kepala, maka osilopsia ini disebabkan oleh gangguan vestibuler. Oslopsia tidak
terjadi pada disfungsi motorik okuler kongenital.
2.9.6. Tilt (persepsi miring)
Persepsi tilt (miring atau menceng) adalah perasaan bahwa tubuh atau
lingkungan mengalami rotasi. Keluhan ini biasanya karena gangguan organ otolit,
baik oleh gangguan sentral maupun perifer. Pada pasien yang mengalami vertigo,
tanyakan perasaan posisi tubuhnya sendiri dengan mata tertutup.

2.10. Kelumpuhan N III (Okulomotorius)


Kelumpuhan N III total (artinya semua komponennya lumpuh) akan ditandai
oleh bola mata yang bergulir ke lateral (karena N VI masih utuh), dan mata agak ke
bawah (karena N IV masih utuh). Pupil mengalami dilatasi dan tidak bereaksi
terhadap rangsang cahaya langsung maupun tidak langsung (konsensual). Pada orang
yang masih mempunyai akomodasi akan terjadi kelumpuhan akomodasi. Pasien juga
mengalami ptosis, mata tidak bisa bergerak ke atas, ke bawah dan ke medial. Kadang-
kadang kelainan N III hanya mengenai komponen parasimpatisnya sehingga terjadi
midriasis dan kelumpuhan akomodasi. Kelainan demikian biasanya karena N III
terdesak oleh aneurisme arteria komunikans posterior. Kadang-kadang kelumpuhan N
III tidak desertai kelumpuhan pupil dan keadaan demikian disebut oftalmoplegi
eksterna atau sering disebut paresis N III sparing pupil dan paling sering disebabkan
oleh gangguan mikrovasa N III yang mengenai motoriknya sedangkan disebabkan
oleh kencing manis, tekanan darah tinggi, arteriosklerosis dan hiperkolesterolemia.
2.11. Kelumpuhan N IV (Troklearis)
Nervus IV menginervasi m. oblikus superior yang menyebabkan mata dapat
mengadakan intorsi dan bergulir ke bawah. Kelumpuhan N IV dengan demikian
menyebabkan mata mengalami ekstorsi dan kelemahan melirik ke bawah pada saat
mata dalam posisi aduksi. Penderita mengalami diplopia vertikal (obyek yang dilihat
dengan mata yang paresis terletak lebih ke atas). Penderita akan mengatasi
diplopianya dengan memiringkan kepala ke arah bahu (tilting) sepihak mata yang
normal dan menekankan dagu ke dada (chin chest) sehingga menyebabkan intorsi
elevasi kompensata mata yang normal.

2.12. Kelumpuhan N VI (Abdusen)


Nervus VI menginervasi m. rektus lateralis yang berfungsi menggerakkan
mata horizontal ke lateral. Kelumpuhan N VI menyebabkan gerak mata ke lateral
terganggu sehingga terjadi strabismus konvergen paralitikus (esotropia paralitik).
Penderita mengalami diplopia uncrossed (homonim). Diplopia homonim berarti satu
obyek terlihat dobel dan obyek palsu akan sepihak dengan mata yang juling. Kalau
mata kanan mengalami esotropia, maka benda yang sebenarnya terlihat di depan oleh
mata kiri, tetapi terlihat lebih ke kanan oleh mata kanan. Diplopia ini akan lebih berat
bila melirik ke arah mata yang sakit dan saat melihat jauh. Penderita akan mengatasi
diplopianya dengan menoleh ke arah mata yang mengalami kelumpuhan sehingga
terjadi gerak ke lateral pada mata yang sehat. Pada kelumpuhan nervus VI bilateral
pasien akan mengeluh diplopia saat melirik ke kanan atau ke kiri maupun pada saat
melihat jauh.

2.13. Gangguan Gerak Mata Miogenik


Pada akhirnya gerak bola mata dilaksanakan oleh otot-otot ekstraokuler.
Gangguan otot ekstraokuler akan menyebabkan gangguan gerak mata. Beberapa
contoh kelainan muskular adalah oftalmoplegia eksternal progresif kronik,
oftalmopati tiroid, dan miastenia gravis.
2.13.1. Oftalmoplegia eksternal progresif kronik
Penyakit ini merupakan sindrom klinik yang terjadi pada anak-anak atau
dewasa, yang ditandai oleh gangguan fungsi otot-otot ekstraokuler secara progresif
tanpa gangguan pupil.
2.13.2. Oftalmopati tiroid
Pada adanya gangguan fungsi tiroid dapat terjadi gangguan otot-otot
ekstraokuler, sehingga timbul gangguan gerak bola mata. Gambaran klinisnya bisa
satu atau gabungan dari tanda-tanda berikut ini, yaitu retraksi palpebra, lid lag atau
hang up palpebra saat gaze ke bawah, eksoftalmos, gangguan gerak otot-otot
ekstraokular, reaksi konjungtiva yang berupa hiperemia dan edema, dan berbagai
bentuk neuropati.
2.13.3. Miastenia gravis
Miastenia gravis adalah penyakit yang ditandai oleh kelelahan dan kelemahan
otot lurik dalam tubuh. Gangguannya terletak pada end plate neuromuskular. Gejala
miastenia gravis okular adalah diplopia dan ptosis. Gejala ini kurang tampak pada
pagi hari atau saat istirahat, dan akan tampak sore hari.

2.14. Nistagmus
Nistagmus adalah gerak mata osilasi yang berirama (ritmis). Yang penting
dalam praktek adalah adanya nistagmus fisiologis dan nistagmus patologis.
2.14.1 Nistagmus fisiologis
1. Nistagmus "end point"
Nistagmus "end point" terjadi kalau mata melirik ke lateral secara
ekstrim dan dipertahankan agak lama. Setelah 30 detik akan terdapat
nistagmus jenis jerki amplitudo kecil. Arah nistagmus (gerak cepatnya)
ke arah lirikan.
2. Nistagmus optokinetik
Nistagmus optokinetik terjadi karena usaha fiksasi dan mengikuti
obyek yang digerakkan secara cepat dan berurutan. Nistagmus ini
dapat ditimbulkan dengan beberapa cara, yaitu (1) dengan
menggerakkan pita bergaris-garis tegak ke kanan dan ke kiri atau ke
atas dan ke bawah berulang-ulang akan terjadi gerak lambat ke arah
gerak benda dan gerak cepat berlawanan gerak benda, (2) dengan
memutar drum bergaris-garis vertikal ke kanan, maka akan terjadi
gerak lambat ke kanan dan gerak koreksi (gerak cepat atau nistagmus)
ke kiri. Dalam keadaan sehari-hari nistagmus optokinetik timbul saat
kita naik kendaraan dan melihat obyek yang berjajar (misalnya tiang
telepon atau pepohonan) lewat jendela.
3. Nistagmus karena perangsangan kanalis semisirkularis
Nistagmus ini dapat ditimbulkan dengan dua cara, yaitu dengan
perangsangan air hangat dan penggunaan kursi putar Bárány.
Perangsangan dengan air hangat pada telinga kanan misalnya, akan
terjadi nistagmus jerki dengan gerak cepat ke kanan. Nistagmus yang
terjadi pada subyek yang diputar di kusi Bárány adalah berupa
nistagmus jerki searah dengan arah putaran kursi dan gerak lambatnya
berlawanan arah dengan putaran kursi.
2.14.2. Nistagmus Patologis
1. Nistagmus kongenital
Nistagmus kongenital adalah nistagmus yang paling sering dijumpai
oleh dokter mata. Kalau mendapatkan nistagmus kongenital demikian
maka yang perlu diberikan adalah nasihat baik kepada pasien atau
keluarganya bahwa nistagmus demikian adalah bawaan, tidak bisa
diobati, tetapi tidak membahayakan jiwa.
2. Nistagmus "gaze-evoked" atau "gaze paretic"
Gaze adalah gerak mata bersama gerak kepala, dan ini adalah gerak
normal. Nistagmus "gaze evoked" atau gaze paretik timbul pada saat
individu mencoba mempertahankan mata pada posisi eksentrik, lateral
kanan atau kiri atau keduanya. Keadaan ini biasanya terjadi pada
pasien yang sedang mengalami perbaikan (penyembuhan) dari gaze
palsy sentral.
3. Nistagmus vestibular
Seperti dikatakan di depan bahwa untuk bekerjanya otot ekstraokular
dengan baik, diperlukan input vestibular yang seimbang (simetris)
antara kanan dan kiri. Kalau input tidak seimbang, akan terjadi
nistagmus vestibular. Nistagmus vestibuler bisa disebabkan oleh lesi
perifer pada aparatus vestibuler, maupun oleh lesi sentral yaitu nukleus
vestibuler di batang otak. Gejala pokok nistagmus vestibuler perifer
adalah nistagmus jerky campuran, timbulnya paroksismal dan rekuren,
disertai vertigo, mual, dan muntah yang lebih berat, serta adanya
tinnitus dan ketulian. Gejala nistagmus vestibuler sentral adalah
nistagmus jerky dalam satu bidang saja, perjalanannya kronik dan
menetap, vertigo, mual, dan muntah lebih ringan, serta tanpa ketulian
maupun tinnitus.
BAB III
KESIMPULAN
Dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya nistagmus patologis terjadi
karena adanya gangguan fiksasi (high gain instability), misalnya nistagmus
kongenital; karena kebocoran integrator, misalnya nistagmus gaze; dan
ketidakseimbangan input vestibular, misalnya nistagmus vestibular sentral maupun
perifer.
Dalam kenyataannya jenis nistagmus sangat banyak dan ketiga teori di atas
tidak cukup untuk bisa menerangkan kejadian setiap jenis nistagmus. Masih perlu
kajian lebih lanjut untuk memahami berbagai jenis nistagmus yang bisa dijumpai
dalam praktek sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai