Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Deviasi Septum Nasi atau Nasal Septum Deviation (NSD)
didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di tengah sehingga
membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga hidung
yang mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung.1,2.3
Deviasi septum merupakan kelainan anatomis yang paling sering
ditemukan, bervariasi dari ringan yang tidak mengganggu, hingga deviasi
septum berat yang dapat menyebabkan penyempitan hidung sehingga
mengganggu fungsi fisiologis hidung dan menyebabkan komplikasi. 4,5,6
Angka kejadian deviasi septum nasi yang dilaporkan sangat
bervariasi. Diperkirakan bahwa 75%-85% dari total populasi dunia
mengalami deformitas anatomi hidung dan yang paling umum terjadi adalah
deviasi septum. Pada penelitian di Indonesia terdapat 13,6% yang
mengalami deviasi septum. Sebuah studi tahun 2011 dilaporkan bahwa 88%
kasus terjadi pada pria dan 12% pada wanita. Studi ini juga menemukan
bahwa 76% kasus disebabkan oleh trauma dan 24% disebabkan oleh trauma
saat lahir. Kelompok usia dominan yang mengalami deviasi septum adalah
usia 16-25 tahun. 1,2
Deviasi septum nasi merupakan bentuk septum yang letaknya tidak
lurus ditengah karena pertumbuhan tulang dan tulang rawan tidak seimbang.
Normalnya bentuk septum berada lurus ditengah. Keluhan yang paling
sering timbul dari deviasi septum nasi ialah sumbatan hidung, rasa nyeri
dikepala, penciuman terganggu, dan apabila menyumbat ostium sinus dapat
mengganggu aliran udara dan berpotensi menyebabkan rhinosinusitis.1,4,7
Gejala sumbatan hidung dapat menyebabkan susah tidur pada malam
hari sehingga pada pagi hari penderita merasa mengantuk, kelelahan,
menurunkan produktifitas bekerja atau sekolah, dan menurunkan kualitas
hidup dan aktifitas penderita.1,2,3

1
Sehubungan dengan hal di atas, penting bagi seorang dokter untuk
memahami penegakkan diagnosis dari deviasi septum yang didapat agar
dapat memberikan penanganan yang tepat kepada pasien. Penulis berharap
dengan disusunnya referat ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa
mengenai deviasi septum.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Hidung


Embriologi wajah diawali dengan perkembangan kepala dan leher,
gambaran yang paling khas dalam perkembangan kepala dan leher adalah
terbentuknya lengkung brankialis atau lengkung faring. Lengkung–lengkung
ini tampak dalam perkembangan minggu ke-4 dan ke-5. Lengkung faring
tidak ikut membentuk leher, tetapi memiliki peranan penting dalam
pembentukan kepala. Pada akhir minggu ke-4, bagian pusat wajah terbentuk
oleh stomodeum, yang dikelilingi oleh pasangan pertama lengkung faring.
Ketiga mudigah berusia 4½ minggu, dapat dikenali lima buah tonjolan
mesenkim yaitu:8,9
 Lengkung faring pertama (tonjolan – tonjolan mandibula), disebelah
kaudal stomodeum.
 Lengkung faring kedua (tonjolan – tonjolan maksila), terletak disebelah
lateral stomodeum.
 Lengkung faring ketiga (tonjolan – tonjolan frontonasal ), suatu tonjolan
yang agak membulat disebelah kaudal stomodeum.
 Lengkung faring keempat dan kelima yang unsur rawannya bersatu
membentuk tulang rawan thyroidea, cricoidea, corniculata, dan
cuneiforme dari laring.
Lengkung pertama terdiri atas satu bagian dorsal, yang dikenal
sebagai prominensia maksilaris, yang meluas dibawah daerah mata, dan satu
bagian ventral, prominensia mandibularis atau tulang rawan Meckel. Pada
perkembangan selanjutnya, tulang rawan Meckel menghilang, kecuali dua
bagian kecil diujung dorsal dan masing –masing membentuk inkus dan
malleus. Mesenkim prominensia maksilaris selanjutnya membentuk
premaksila, maksila, os zigomatikus, dan bagian os temporalis melalui

3
penulangan membranosa. Mandibula juga terbentuk melalui penulangan
membranosa jaringan mesenkim yang mengelilingi tulang rawan Meckel. 8,9
Pada akhir minggu ke-4 , mulai tampak tonjolan –tonjolan wajah yang
terutama dibentuk oleh mesenkim yang berasal dari krista neuralis dan
terutama dibentuk oleh pasangan lengkung faring pertama. Tonjolan maksila
dapat dikenali disebelah lateral stomodeum dan tonjolan mandibular
disebelah kaudal stomodeum. Prominensia frontonasalis, yang dibentuk oleh
proliferasi mesenkim disebelah ventral vesikel otak, merupakan tepi atas
stomodeum. Di sisi kanan dan kiri prominensia frontonalis, muncul
penebalan – penebalan setempat dari ectoderm permukaan, yaitu plakoda
nasal (olfaktorius ), di bawah pengaruh induksi bagian ventral otak depan. 8,9
Selama minggu ke-5 plakoda–plakoda hidung tersebut mengalami
invaginasi membentuk lobang hidung. Dalam hal ini, plakoda hidung ini
membentuk suatu rigi jaringan yang mengelilingi masing–masing lobang
dan membentuk tonjolan hidung. Tonjolan yang berada ditepi luar lubang
adalah tonjolan hidung lateral dan yang berada ditepi dalam adalah tonjolan
hidung medial. 8,9
Selama dua minggu selanjutnya, tonjolan maksila terus bertambah
besar ukurannya. Serantak dengan itu, tonjolan ini tumbuh kearah medial,
sehingga mendesak tonjol hidung ke medial ke arah garis tengah.
Selanjutnya, celah antara tonjol hidung medial dan tonjol maksial hilang,
dan keduanya bersatu. Oleh karena itu bibir atas dibentuk oleh tonjolan
hidung medial dan kedua tonjol maksila itu. Tonjol hidung lateral tidak ikut
dalam pembentukan bibir atas. Bibir bawah dan rahang bawah dibentuk dari
tonjolan mandibular yang menyatu digaris tengah. 8,9
Mula – mula, tonjol maksila dan tonjol hidung lateral terpisah oleh
sebuah alur yang dalam, alur nasolacrimal. Ektoderm pada alur ini
membentuk sebuah tali epitel padat yang melepaskan diri dari ectoderm
dibawahnya. Setelah terjadi kanalisasi, tali ini membentuk duktus
nasolacrimalis ujung atasnya melebar untuk membentuk sacus lacrimalis.
Seletah lepasnya tali tersebut, tonjolan maksiladan tonjolan hidung lateral

4
saling menyatu. Duktus lacrimalis kemudian berjalan dari tepi medial ke
meatus inferior rongga hidung. 8,9
Tulang pipi merupakan artikulasi dari tulang zigomatikus dan
prosesus zigomatikus dari tulang temporal. Pusat penulangan tersebut
berasal dari membran lateral dan mengikuti perkembangan dari mata pada
akhir bulan kedua. Bentuk wajah orang dewasa dipengaruhi oleh
perkembangan sinus paranasal, conchae nasales dan gigi – geligi. 8,9

2.2 Anatomi Hidung


2.2.1 Hidung Luar
Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian
bawah terdapat dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh otot dan kulit. 8,9
Sepertiga atas hidung luar merupakan tulang dan dua pertiga bawah
merupakan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari dua tulang hidung yang
bertemu di garis tengah dan pada bagian atas dari prosesus nasalis os frontal
dan keduanya melekat diantara prosesus frontalis os maksila. 8,9

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Luar


Bagian tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
kartilago ala minor dan kartilago septum. 8,9

5
Gambar 2.2 Anatomi Rangka Hidung

2.2.2 Hidung Dalam


Dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Setiap
kavum nasi berhubungan dengan bagian luar melalui lubang hidung (nares
anterior) dan dengan nasofaring melalui koana. Setiap kavum nasi terdiri
dari bagian yang ditutupi kulit, disebut vestibulum dan bagian yang ditutupi
mukosa disebut kavum nasi yang sebenarnya. 8,9
Vestibulum merupakan bagian anterior dan inferior dari kavum nasi.
Vestibulum dilapisi oleh kulit dan berisi kelenjar sebasea, folikel rambut dan
rambut-rambut yang disebut vibrise. Bagian atas vestibulum terbatas pada
dinding lateral yang ditandai oleh ala nasi (katup hidung) yang dibentuk oleh
batas belakang dari kartilago nasalis lateralis superior. Dinding medial
vestibulum dibentuk oleh kolumela dan bagian bawah dari septum nasi. 8,9
Setiap kavum nasi memiliki dinding lateral, medial, superior dan
inferior. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka menggulung
seperti proyeksi tulang yang dilapisi oleh membran mukosa. Daerah di
bawah konka disebut dengan meatus. 8,9

6
Gambar 2.3 Kavum Nasi

Konka inferior merupakan struktur dinding lateral hidung yang paling


terlihat pada rinoskopi anterior. Konka inferior terdiri dari tulang yang
dilapisi oleh mukoperiostium, jaringan lunak yang meliputi pleksus
kavernosus, dan di atasnya terdapat mukosa respiratori. Tulang konka
inferior berartikulasi dengan tulang lakrimal di bagian anterior, dan melekat
ke prosesus medial dari maksila dan tulang palatina di bagian lateral.
Pleksus kavernosus dapat membesar karena aliran darah sebagai respon
terhadap siklus hidung atau terhadap berbagai macam pemicu dari
lingkungan. 8,9
Konka media membentuk batas media dari meatus media dan menjadi
tanda utama yang penting dalam operasi sinus. Orientasi dari konka media
berjalan sepanjang 3 bidang yang berbeda dalam perjalanannya dari anterior
ke posterior dan dapat dipahami secara skematik dalam ketiga bagian.
Sepertiga anterior dari konka media berjalan sepanjang bidang sagital.
Bagian dari konka media ini adalah yang paling mudah diamati dengan
rinoskopi anterior, dan bagian ini melekat pada dinding lateral hidung dan
lempeng kribriformis di bagian superior. Pada sepertiga tengah, konka
direfleksikan dari orientasi sagital ke koronal, membentuk lamela basalis
8,9
dari konka media yang melintang untuk masuk ke dinding lateral hidung.

7
Bagian melintang dari konka media ini yang memisahkan sel etmoid anterior
dari sel etmoid posterior. Pada bagian anterior dari lamela basalis dari konka
media, drainase sel melalui meatus media. Pada bagian posterior dari lamela
basalis, drainase sel melalui meatus superior. Bagian sepertiga posterior dari
konka berjalan pada bidang axial dengan perlekatannya yang berlanjut
sepanjang dinding lateral hidung. Bagian akhir posterior dari konka media
memasuki perbatasan foramen sfenopalatina dan ke tempat munculnya arteri
sfenopalatina ke dalam hidung. 8,9
Konka superior merupakan yang paling belakang dari konka-konka
yang lain. Merupakan jalan masuk superior yang paling umum ke dasar
tengkorak bersama dengan konka media dan membantu menentukan batas
dari sel etmoid posterior. Bagian medial dari konka superior dan bagian
lateral dari septum nasi adalah daerah dari resesus sfenoetmoidalis, dimana
ostium sinus sfenoid dapat dijumpai. 8,9
Konka suprema terkadang terlihat di atas konka superior dan memiliki
meatus yang sempit di bawahnya. Ostium sinus sfenoid terletak di resesus
sfenoetmoidalis, bagian medial dari konka superior atau suprema. Ostium
sinus sfenoid secara endoskopik dapat berada kira-kira 1 cm di atas pinggir
atas dari koana posterior dekat dengan pinggir posterior dari septum nasi. 8,9
Dinding medial kavum nasi dibentuk oleh septum nasi. Septum nasi
memisahkan kedua kavum nasi, menyediakan penopang struktural untuk
hidung, dan mempengaruhi aliran udara di dalam kavum nasi. Septum nasi
terdiri dari tulang rawan dan tulang yang dilapisi oleh mukosa respiratori.
Septum bagian anterior dibentuk oleh lamina kuadrangularis dan premaksila;
bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan sinus
sfenoid; dan bagian inferior dibentuk oleh vomer, krista nasalis os maksila,
dan krista nasalis os palatina. 8,9

8
Gambar 2.4 Anatomi dinding medial hidung
Dinding superior kavum nasi bagian anterior yang miring dibentuk
oleh tulang hidung; bagian posterior yang miring dibentuk oleh tulang
sfenoid; dan bagian media yang horizontal dibentuk oleh lamina kribriformis
etmoid tempat masuknya nervus olfaktorius ke kavum nasi. 8,9
Dinding inferior kavum nasi dibentuk oleh prosesus palatina maksila
pada ¾ bagian anteriornya dan bagian horizontal dari os palatina pada ¼
bagian posteriornya. 8,9

2.2.3 Septum Nasi


Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang, kanan dan kiri.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang yang
membentuk septum adalah lamina perpendikularis os etmoid, os vomer,
krista nasalis maksila dan krista nasalis palatum. Bagian tulang rawan adalah
kartilago septum (lamina kuadra angularis) dan kolumela. Septum dilapisi
oleh perikondrium pada bagiantulang rawan dan periosteum pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian terbesar
dari septum nasi dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid posterior
dan tulang rawan septum anterior; vomer membentuk bagian posterior dari

9
septum nasi, sementara krura medial dari kartilago alar mayor dan prosesus
nasal bawah (krista) maksila membentuk bagian anterior septum. 8,9

Gambar 2.5 Septum Nasi

Lamina perpendikularis os etmoid membentuk sepertiga atas atau


lebih septum nasi; ini berhubungan dengan bagian horizontal os eternoid. Di
bagian anterior dan superior berhubungan dengan os frontal dan os nasal, di
posterior berhubungan dengan tonjolan os sfenoid, di postero-inferior
dengan os vomer dan antero-inferior dengan kartilago septum.
Vomer terletak di septum nasi bagian posterior dan inferior. Dibagian
superior membentuk sendi os sfenoid dan lamina perpendikularis os etmoid,
dan di bagian inferior dengan krista nasalis os maksila dan os palatina.
Tulang rawan septum bagian posterior mempunyai pinggir yang tipis
danmasuk ke dalam alur dari lamina perpendikularis os etmoid, dan pinggir
posterior juga masuk celah krista nasalis. Periosteum dan perikondrium dari
tulang rawan septum dihubungkan oieh jaringan konektif yang dibentuk oleh
ligamentum yang memungkinkan terjadinya gerakan dari tulang tersebut.
Apabila jaringan konektif itu tidak ada atau salah satu sisi alur atau celah

10
dari krista nasal tidak tumbuh denganbaik maka dislokasi tulang rawan
septum mudah terjadi. 8,9

2.2.4 KOM
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka
media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris,
bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. 8,9

Gambar 2.6 Anatomi KOM

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena


sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah
sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada
sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang
disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase
sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah
di antara prosesus unsinatus dan konka media. 8,9

11
2.2.5 Perdarahan dan Persarafan Hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a.
etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika
dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan
dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang a. fasialis. 8,9
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung), terutama
pada anak. 8,9
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga
ke intrakranial. 8,9
Bagian anterior dan superior rongga hidung mendapat persarafan
sensorisdari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.
nasosiliaris yang berasal dari n.oftalmikus (n. V-1). Rongga hidung lainnya,
sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. 8,9
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris,
juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksila (n. V-2), serabut
parasimpatis dari n. petrosus profundus. Disamping mensarafi hidung,
ganglion sfenopalatina mensarafi kelenjar lakrimalis dan palatum.

12
Sedangkan fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun
dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius
di daerah sepertiga atas hidung. 8,9
Aliran limfatik hidung berjalan secara pararel dengan aliran vena.
Aliran limfatik yang berjalan disepanjang vena fasialis berakhir pada limfe
node submaksilaris. 8,9

2.3 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional,
makafungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi
untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3)
fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; 4)
fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.10,11

2.4 Definisi Deviasi Septum


Deviasi Septum Nasi atau Nasal Septum Deviation (NSD)
didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus ditengah sehingga
membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga hidung
yang mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung. Deviasi septum
merupakan kelainan anatomis yang paling sering ditemukan, bervariasi dari
ringan yang tidak mengganggu, hingga deviasi septum berat yang dapat
menyebabkan penyempitan hidung sehingga mengganggu fungsi fisiologis
hidung dan menyebabkan komplikasi.1,2,3

13
Gambar 2.7 Hidung Normal dan Deviasi Septum

Deviasi septum nasi merupakan bentuk septum yang letaknya tidak


lurus ditengah karena pertumbuhan tulang dan tulang rawan tidak seimbang.
Normalnya bentuk septum berada lurus ditengah. Keluhan yang paling
sering timbul dari deviasi septum nasi ialah sumbatan hidung, rasa nyeri
dikepala, penciuman terganggu, dan apabila menyumbat ostium sinus dapat
mengganggu aliran udara dan berpotensi menyebabkan rhinosinusitis.4,5,6
Gejala sumbatan hidung dapat menyebabkan susah tidur pada malam
hari sehingga pada pagi hari penderita merasa mengantuk, kelelahan,
menurunkan produktifitas bekerja atau sekolah, dan menurunkan kualitas
hidup dan aktifitas penderita.2,6,7

2.5 Epidemiologi Deviasi Septum


Angka kejadian deviasi septum nasi yang dilaporkan sangat
bervariasi. Diperkirakan bahwa 75%-85% dari total populasi dunia telah
mengalami deformitas anatomi hidung dan yang paling umum terjadi adalah
deviasi septum. Sebuah penelitian di Pakistan pada tahun 2011 tentang
pasien dengan deviasi septum hidung dilaporkan bahwa 88% kasus terjadi
pada pria dan 12% pada wanita. Studi ini juga menemukan bahwa 76%
kasus disebabkan oleh trauma dan 24% disebabkan oleh trauma saat
lahir.2,4,5
Pernah dilaporkan di Brazil pada tahun 2004, dimana insiden deviasi
septum nasi mencapai 60,3% dengan keluhan sumbatan hidung sebanyak

14
59,9%. Pada tahun 1995, Min dkk menemukan prevalensi deviasi septum
nasi di Korea mencapai 22,38% dari populasi, dengan penderita yang
terbanyak adalah laki-laki. Prevalensi deviasi septum dalam penelitian oleh
Oliveira et al, dari jumlah angka kejadian sekitar 60% diamati 25% kasus
deviasi septum terjadi pada adalah laki-laki dan 23% adalah perempuan.
Pada tahun 2002, di Turki, Ugyur dkk melaporkan 15,6% bayi baru baru
lahir dengan persalinan normal mengalami deviasi septum nasi.2,5,12
Studi klinis menunjukkan bahwa prevalensi deviasi septum meningkat
seiring dengan usia. Van der Veken menunjukkan bahwa prevalensi deviasi
septum pada anak-anak meningkat dari 16% sampai 72% secara linear dari
usia 3 hingga 14 tahun, sedangkan Gray melaporkan diantara 2112 orang
dewasa, kejadian deviasi septum adalah 79%.2,3,13
Kelompok usia dominan yang mengalami deviasi septum adalah usia
16-25 tahun. Pada anak-anak antara 6-9 tahun, angka tersebut diamati
13,6% dalam penelitian di Indonesia. Korea, 21,1% anak-anak berusia
antara 7-14 tahun menunjukkan NSD sementara itu 41,8% pada orang
dewasa muda di Australia. Tingkat prevalensi 10 kali lebih tinggi telah
diamati bahwa terdapat peningkatan tingkat NSD dengan peningkatan
usia.4,5
Pada kasus deviasi septum nasi, keluhan terbanyak yaitu berupa
sumbatan hidung yaitu sebanyak 64% diikuti dengan nasal discharge
sebanyak 33%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang
deviasi septum nasi yang sering ditemukan pada klasifikasi Mladina adalah
tipe VII 29%, tipe IV 22%, dan tipe II 21%. Pada penelitian lain terhadap 70
orang deviasi septum nasi yang sering ditemukan pada klasifikasi Mladina
adalah tipe V 38,6%, tipe VII 32,9%, dan tipe III 12,9%. Dari sisi sudut
pandang klinis ditekankan bahwa deviasi septum nasi tipe III paling sering
ditemukan pada kasus rhino sinusitis kronik. Pada pemeriksaan
histopatologi pada mukosa yang diambil dari bagian yang paling cembung
dan bagian yang paling cekung dari deviasi septum nasi tipe III
menunjukkan metaplasia sel skuamosa berlapis yang memungkinkan adanya

15
blockade dari system transport mukosiliar, sehingga menjadi pintu masuk
bagi bakteri dan virus.4,5

2.6 Etiologi Deviasi Septum


Umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan biasanya
berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung seperti fraktur os
nasal. Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat trauma, sehingga
Gray pada tahun 1972 menerangkannya dengan teori birth moulding. Posisi
intrauterin yang abnormal dapat menyebabkan tekanan pada hidung dan
rahang atas, sehingga dapat terjadi pergeseran septum. Demikian pula
tekanan torsi pada hidung saat kelahiran dapat menambah trauma pada
septum.1,2,3
Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah
lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung
(tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman
ketika berkendara. 1,2,3
Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang
rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior
telah menetap, juga karena perbedaan pertumbuhan antara septum dan
palatum. Dengan demikian terjadilah deviasi septum. Septum nasi dapat
mengalami deviasi akibat tumor, massa, atau polip dihidung. 1,2,3

2.7 Klasifikasi Deviasi Septum1,2,3


2.7.1 Menurut Mladina
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan
posisi septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh.
Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi
berdasarkan letak deviasi, yaitu:

16
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara,
namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus
media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi
lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di
sisi lain masih normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral,
sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

Gambar 2.8 Klasifikasi Mladina

17
2.7.2 Menurut Lokasi Deformitas
Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya,
yaitu:
1. Spina dan Krista
Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat
terjadi pada pertemuan vomer dibawah dengan kartilago septum dan atau
os ethmoid diatasnya. Bila memanjang dari depan ke belakang disebut
krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina. Tipe
deformitas ini biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertikal.
2. Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk “C” atau
“S” yang dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya
mengenai kartilago maupun tulang.

Gambar 2.9 Deviasi Bentuk “C” dan “S”

3. Dislokasi

18
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan
menonjol ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai
dengan kelainan pada struktur sekitarnya.

4. Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di
hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.

2.7.3 Menurut Jin RH


 Jin RH dkk membagi deviasi septum menjadi 4, yaitu :
1. Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal
2. Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir
3. Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal. Septum berdeviasi dalam
bentuk melengkung ke salah satu sisi.
4. Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar.
Dimana lengkung deviasi septum bagian posterior pada satu sisi dan
anterior pada sisi lainnya.

Gambar 2.10 Klasifikasi Jin RH

 Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya


keluhan, yaitu :

19
1. Ringan : Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada
bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
2. Sedang : Deviasi kurang dari setengah rongga hidung tetapi ada
sedikit bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3. Berat : Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding
lateral hidung.

2.7.4 Berdasakan jaringan yang terlibat


Deviasi dapat melibatkan hanya kartilago, tulang, atau keduanya,
yaitu:
1. Dislokasi anterior : Kartilago septum dislokasi ke salah satu kavum
nasi.
2. C-shaped Deformity : Septum berdeviasi dalam bentuk melengkung
ke salah satu sisi. Kavum nasi disisi konkaf septum nasi akan
melebar dan dapat menunjukkan hipertrofi turbinasi kompensasi.
3. Spurs : Spur merupakan shelf-like projection, sering ditemukan
pada pertemuan antara tulang dan kartilago. Spur dapat menekan ke
dinding lateral dan menyebabkan sakit kepala dan epistaksis.

Gambar 2.11 Deviasi Spurs


4. Penebalan : Penebalan ini dapat berupa hematoma atau over riding
dari fragmen septal yang mengalami dislokasi.

20
Gambar 2.12 Tipe Deviasi Nasal berdasarkan jaringan yang
terlibat

2.8 Manifestasi Klinis Deviasi Septum


Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang
unilateral atau juga bilateral. Hal ini terjadi karena pada sisi hidung yang
mengalami deviasi terdapat konka yang hipotrofi, sedangkan pada sisi
sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat mekanisme
kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata.
Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada
bagian atas septum. Deviasi septum juga dapat menyumbat ostium sinus
sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.
Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala
berikut ini :
 Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
 Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
 Perdarahan hidung (epistaksis)
 Infeksi sinus (sinusitis)
 Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip.

21
 Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi
dan anak.
Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan
hanya menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan
atas, seperti common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan
mencetuskan terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan
menyebabkan gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah
sumbatan atau obstruksi yang juga terkait dengan deviasi septum nasi.
Namun, apabila common cold telah sembuh dan proses inflamasi mereda,
maka gejala obstruksi dari deviasi septum nasi juga akan menghilang.
Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa :
1. Dinding Lateral Hidung
Terdapat hipertrofi konka dan bula ethmoidalis. Ini merupakan
kompensasi yang terjadi pada sisi konkaf septum.
2. Maksila
Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri
dan juga dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar,
pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi palatum dan abnormalitas
ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi yang sakit.
3. Piramid Hidung
Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan deviasi
pada piramid hidung.
4. Perubahan Mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit
menyebabkan efek kering sehingga terjadi pembentukan krusta.
Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan.
Lapisan proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi
terhadap infeksi. Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai
akibat fenomena Bernouili yang kemudian menambah derajat obstruksi.

22
2.9 Diagnosis Deviasi Septum1,2,3,5,6
2.9.1 Anamnesis
Keluhan yang paling sering pada penderita deviasi septum nasi adalah
sumbatan hidung. Sumbatan biasanya unilateral, dapat pula bilateral, sebab
pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya
terjadi konka hipertrofi, sebagai mekanisme kompensasi. Sumbatan hidung
dapat disebabkan karena kelainan mukosa, kelainan struktur jalan nafas
hidung seperti deviasi septum nasi dan kolaps jalan nafas.
Menurut Bailey seperti yang dikutip Lin SJ dkk, kelainan yang
menyebabkan sumbatan hidung adalah deviasi septum nasi, hipertrofi konka,
septum perforasi, kolaps valvular, atresia koana, neoplasma, polip nasi,
rhinitis alergi, hematom septum, rinitis medikamentosa dan rinitis
vasomotor.
Busse W menggambarkan patologi yang terjadi pada sumbatan jalan
nafas meliputi inflamasi jalan nafas, hiperplasi dan hipertropi kelenjar
mukus, metaplasi dan hipertropi sel goblet, hipertrofi dari otot polos jalan
nafas, peningkatan proliferasi pembuluh darah dan edema jalan nafas.
Kelainan struktur yang menyebabkan keluhan hidung tersumbat
adalah deviasi septum nasi, konka hipertrofi, stenosis ataupun konka bulosa.
Deviasi septum nasi melibatkan tulang septum, kartilago atau keduanya.
Pada pasien dengan kelainan septum, sisi yang sempit akan mengalami
siklus sumbatan hidung yang berbeda, yang menyebabkan perbedaan pada
tahanan hidung total, sehingga pasien merasakan sumbatan hidung yang
berkala.
Septum deviasi juga dapat menyebabkan kolaps dari katup hidung
(nasal valve). Katup hidung adalah celah antara ujung kaudal kartilago
lateral atas dengan septum hidung. Katup hidung berada lebih kurang
1,3 cm dari nares dan merupakan segmen yang tersempit serta tahanan
terbesar dari jalan nafas hidung. Dengan memasuki daerah yang sempit
ini akan terjadi peningkatan aliran dan peningkatan tekanan interlumen

23
(fenomena Bernoulli). Peningkatan tekanan akibat deviasi septum akan
menyebabkan kolapsnya segmen ini pada saat inspirasi. Karena daerah
katup hidung ini sempit maka dengan perubahan sumbatan atau udema
sedikit saja, akan meningkatkan tahanan pada daerah tersebut.
Keluhan lainnnya adalah rasa nyeri di kepala dan di sekitar
mata. Penciuman dapat terganggu hingga anosmia, apabila terdapat deviasi
pada bagian atas septum.
Pasien juga dapat mengeluhkan gejala rinitis berulang, akibat ostruksi
yang menyebabkan stagnasi dari sekresi hidung. Epistaksis dapat terjadi
akibat fleksus Kiesselbach terpapar dengan atmosfer, yang menyebabkan
mukosa kering, sehingga mukosa mudah terkupas.
2.9.2 Pemeriksaan Fisik
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi
langsung pada batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior,
dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi
berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal. Penting
untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum, karena
ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal.
Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung
untuk menentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga
diperiksa karena struktur-struktur ini sering terjadi gangguan yang
berhubungan dengan deformitas septum.
2.9.3 Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosis
deviasi septum nasi. Pada pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-
posterior tampak septum nasi yang bengkok.
Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk
menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan
mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan
pemeriksaan X-ray sinus paranasal.

24
Gambar 2.13 CT Scan potongan koronal pasien dengan deviasi
septum ke kanan

2.9.3.1 Pengukuran sumbatan hidung


1. Spatula lidah
Spatula lidah merupakan alat yang paling sederhana yang bisa dipakai
untuk mengukur sumbatan hidung. Ketika tidak ada alat lain yang tersedia
maka alat ini bisa digunakan. Dengan meletakkan spatula di depan hidung
dan meminta pasien untuk bernafas biasa dan menutup mulut, maka dapat
dilihat salah satu lubang hidung tersumbat dibandingkan yang lainnya.

Gambar 2.14 Pemeriksaan dengan Spatula Lidah

25
2. Nasal Inspiratory Peak Flowmetry (NIPF)
NIPF merupakan alat untuk mengukur aliran udara hidung saat
inspirasi. Pada tahun 1980, Youlten memperkenalkan alat ini yang kemudian
di modifikasi oleh Wright dengan menambahkan sungkup hidung pada alat
ini. NIPF terdiri dari tiga bagian yaitu face mask, konektor dan tabung
silinder yang berisi diafragma yang bergerak apabila ada aliran udara. Alat
ini mempunyai skala 30-370 l/menit. Sebelum melakukan pemeriksaan
pasien terlebih dahulu melakukan adaptasi terhadap suhu ruangan selama
20 menit. Diperlukan penjelasan penggunaan alat ini pada pasien untuk
menggunakannya. Alat ini digunakan dengan meletakan “face mask”
menutupi hidung dan mulut. Udara inspirasi dihirup melalui hidung dengan
memastikan mulut tertutup. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 kali dengan
hasil tertinggi yang didapat akan dipakai.

Penggunaan NIPF relatif mudah, bisa diulang bila diperlukan, alatnya


mudah dibawa karena berukuran kecil dan mempunyai harga yang murah.
Nilai NIPF akan menurun pada penyakit saluran nafas bawah seperti asma
dan penyakit paru obstruksi kronis. Nasal Ekspiratory Peak Flowmetry
(NEPF) Tes ini dahulu telah pernah dilakukan, tetapi sekarang jarang
dilakukan karena dapat membuat pasien tidak nyaman pada tuba eustachius
dan menghasilkan sekret atau mukus pada sungkup wajah.

26
Gambar 2.15 Nasal Inspiratory Peak Flowmetry

3. Rinomanometri
Rinomanometri digunakan untuk mengukur hambatan aliran udara
nasal dengan pengukuran kuantitatif pada aliran dan tekanan udara nasal.
Tes ini berdasarkan prinsip bahwa aliran udara melalui suatu tabung hanya
bila terdapat perbedaan tekanan yang melewatinya. Perbedaan ini dibentuk
dari usaha respirasi yang mengubah tekanan ruang posterior nasal relatif
terhadap atmosfir eksternal dan menghasilkan aliran udara masuk dan keluar
hidung. Pada tahun 1984, the European Committee for Standardization of
Rhinomanometry menetapkan rumus aliran udara nasal :
R = ΔP:V pada tekanan 150 P.
R = Tahanan terhadap aliran udara (Pa/cm/det)
P = Tekanan transnasal (Pa atau CmH2O)
V = Aliran udara (Lt/det atau CmH20)
Dengan adanya standarisasi ini diharapkan memberikan perbandingan
hasil dan perbandingan rentang normal. Rinomanometri dapat dilakukan
secara aktif atau pasif dan dengan pendekatan anterior atau posterior.
Rinomanometri anterior aktif lebih sering digunakan dan lebih fisiologis.
Tekanan dinilai pada satu lubang hidung dengan satu kateter yang
dihubungkan dengan pita perekat, sementara aliran udara diukur melalui

27
lubang hidung lain yang terbuka. Sungkup wajah yang transparan di pasang
menutupi hidung. Alat ini dihubungkan dengan suatu pneumotokografi,
amplifier dan perekam. Hasil ini ditampilkan secara grafik sebagai kurva
“S” dimana masing-masing lobang hidung dilakukan lima kali pemeriksaan.
Kemudian diambil nilai rata-rata lima kali pemeriksaan. Sebelum diperiksa,
pasien harus relaksasi selama 30 menit pada suhu kamar yang tetap. Mesin
membutuhkan 30 menit untuk penghangatan dan membutuhkan kalibrasi
teratur. Rinomanometri relatif menghabiskan waktu dan hasil dapat
bervariasi sampai 20-25% dengan waktu yang dibutuhkan mencapai 15
menit. Rinomanometri tidak bisa digunakan jika terjadi sumbatan hidung
yang berat atau ketika terdapat perforasi septum. Alat ini juga tidak dapat
menilai lokasi obstruksi.

Gambar 2.16 Rinomanometri


Pada rinomanometri posterior aktif, kateter dimasukkan melalui mulut
dengan bibir ditutup agar dapat mengukur tekanan faring. Aliran melalui
kedua kavum nasi diukur secara bersamaan. Digunakan sungkup hidung
transparan yang sama dengan rhinomanometri anterior. Teknik ini kurang
invasif dan cendrung mendistorsi rongga hidung. Namun satu dari empat
pasien tidak dapat merelaksasi palatum mole dan sebagian pasien tidak
memungkinkan untuk memasukkan pipa. Hasil bervariasi dalam beberapa
menit, biasanya antara 15% sampai 20%.

28
Gambar 2.17 Hasil Rinomanometri

4. Rinometri akustik
Rinometri akustik ini memberikan nada suara yang dapat didengar
(150-10000 hz) yang dihasilkan oleh klik elektronik dan dibangkitkan oleh
tabung suara. Alat ini dimasukan ke hidung dan aliran udara hidung
direfleksikan oleh perubahan lokal pada akuistik impedansi. Bunyi yang
direfleksikan ditangkap oleh mikrofon, diteruskan ke komputer dan
dianalisa. Terdapat berbagai ukuran “nosepiece” untuk menghubungkan
tabung suara ke hidung. Sangat perlu untuk menyesuaikan “nosepiece”
dengan lubang hidung tanpa menyebabkan deformitas. Pemeriksaan diulang
lima kali dan dihitung nilai rata-ratanya.

29
Gambar 2.18 Rinometri akustik

Gambar 2.19 Hasil Rinometri akustik

2.10 Penatalaksanaan1,2,3,12,13
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu
dilakukan tindakan koreksi septum.
 Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
 Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.

30
 Pembedahan : Terdapat dua jenis tindakan operatif, yaitu reseksi
submukosa (Submucous Resection of the Nasal Septum) dan septoplasti.

2.10.1 Septoplasty (Reposisi Septum)


Septoplasty merupakan operasi pilihan pada anak-anak, dapat
dikombinasi dengan rhinoplasty, dan dilakukan bila terjadi dislokasi pada
bagian caudal dari kartilago septum. Operasi ini juga dapat dikerjakan
bersama dengan reseksi septum bagian tengah atau posterior.
Indikasi septoplasti secara klinis ialah pada deviasi septum yang
mengakibatkan sumbatan hidung bilateral maupun unilateral, epistaksis
yang persisten maupun rekuren, sakit kepala akibat contact point dengan
deviasi septum, memperluas akses ke daerah kompleks osteomeatal pada
operasi sinus, akses pada operasi dengan pendekatan transeptal transfenoid
ke fosse hipofise.
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya
bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi
ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi
reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle nose.
Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan wajah
pada anak-anak.
Pada deviasi septum nasi ringan yang tidak menyebabkan gejala,
dilakukan observasi. Pada septum deviasi yang memberikan gejala obstruksi
dilakukan pembedahan septoplasti.
Saat ini dikenal berbagai teknik septoplasti antara lain septoplasti
tradisional atau yang sering disebut septoplasti konvensional, septoplasti
endoskopi dan teknik open book septoplasty yang diperkenalkan oleh
Prepageran dkk.
1. Septoplasti Konvensional
Olphen menjelaskan bahwa Cottle pada tahun 1963 memberikan
konsep septoplasti konvensional, yang dikerjakan dalam 6 tahap :

31
 melepaskan mukosa periostium dan perikondrium dari kedua sisi
septum;
 mengoreksi daerah patologis
 membuang daerah yang patologis
 membentuk tulang dan tulang rawan yang dibuang
 rekonstruksi septum
 fiksasi septum
2. Septoplasti Endoskopi
Teknik untuk septoplasti dengan endoskopi adalah dengan melakukan
infiltrasi epinefrin 1:200.000 pada sisi cembung septum yang paling
mengalami deviasi menggunakan endoskopi kaku. Dilakukan insisi
hemitransfiksi, insisi tidak diperluas dari dorsum septum nasi ke dasar
kelantai kavum nasi, tidak seperti insisi konvensional yang diperluas sampai
bagian superior dan inferior. Pada septoplasti endoskopi hanya dibutuhkan
pemaparan pada bagian yang paling deviasi saja. Flap submukoperikondrial
dipaparkan dengan menggunakan endoskopi, tulang yang patologis dan
bagian septum yang deviasi dibuang. Bekas insisi ditutup dan tidak dijahit
kemudian dipasang tampon.
3. Open Book Septoplasty
Sedangkan Prepageran dkk melaporkan teknik septoplasti dengan
metode open book, dimana insisi dibuat secara vertikal tepat di daerah
anterior deviasi kemudian insisi horizontal sesuai aksis deviasi paling
menonjol. Septoplasti dapat memperluas salah satu sisi rongga hidung, yaitu
sisi cembung dari rongga hidung. Diharapkan dengan septoplasti ruang
antara septum dan konka inferior di sisi cekung yang mengalami konka
hipertrofi dapat berkurang bahkan menjadi normal. Namun septoplasti
dengan konkotomi untuk mengurangi volume kontralateral konka inferior,
termasuk jaringan lunak dan tulang konka, dianjurkan dalam kasus tertentu.

32
Gambar 2.20 Septoplasty

2.10.2 SMR (Sub-Mucous Resection)


Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum
kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian
tulang atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-
perikondrium dan muko-periosteum sisi kiri dan kanan akan langsung
bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti
terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung,
oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat.
Tindakan operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak karena
dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya
dorsum nasi.
Reseksi submukosa dilakukan dengan cara mukoperikondrium dan
nukoperiosteum kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum.
Bagian tulang atau tulang tulang rawan dari septum diangkat, sehingga
mukoperikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri dan kanan akan langsung
bertemu di garis tengah. Tindakan ini memiliki banyak komplikasi, seperti
pendarahan, kerusakan di jaringan sekitarnya, rinore cairan serebrospinal,
perforasi septum, sinekia, infeksi, hematoma septum, dan lain-lain.
Indikasi dilakukan reseksi submukosa adalah hidung tersumbat total,
infeksi saluran nafas atas berulang, sinusitis berulang, epistaksis berulang,

33
nyeri kepala, infeksi telinga tengah, deformitas hidung memerlukan
rinoplasti disamping reseksi submukosa.

2.11 Komplikasi1,2,3
1. Komplikasi Deviasi Septum
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga
merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi
septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk
polip.
2. Komplikasi Pasca Operasi
Sedangkan komplikasi post-operasi, diantaranya :
a. Uncontrolled Bleeding : hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada
hidung atau berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
b. Septal Hematoma : Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi
sehingga menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan
terjadilah pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah
operasi dilakukan.
c. Nasal Septal Perforation : Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena
trauma dan perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama
operasi.
d. Saddle Deformity : Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak
diangkat dari dalam hidung.
e. Recurrence of The Deviation : Biasanya terjadi pada pasien yang
memiliki deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan
perbaikan.

34
2.12 Prognosis1,2,3
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan
posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial
tubuh. Prognosis pada pasien deviasi septum setelah menjalani operasi
cukup baik dan pasien dalam 10-20 hari dapat melakukan aktivitas
sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus memperhatikan
perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus juga
menghindari trauma pada daerah hidung.

35
BAB III

KESIMPULAN

Deviasi septum nasi dapat berupa kelainan bawaan sejak lahir


atau paling sering terjadi akibat trauma. Risiko terjadinya deviasi septum
meningkat pada laki-laki karena lebih banyak terpapar dengan lingkungan
dan trauma.
Deviasi septum yang ringan tidak memberikan keluhan, sedangkan
yang berat dapat menyebabkan kesulitan bernapas akibat obstruksi nasal.
Terapi konservatif untuk obstruksi nasal dapat dilakukan dengan
pemberian obat-obatan untuk mengatasi gejala pada pasien.
Komplikasi berupa sinusitis yang mengganggu dapat berulang
sehingga untuk mengkoreksi deviasi septum, tindakan pembedahan
sangat penting. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya
perburukan kondisi pasien sehingga menyebabkan berbagai komplikasi.
Tingkat keberhasilan tindakan pembedahan yang diharapkan tergantung
pada berat ringannya deviasi septum nasi yang terjadi.
Secara umum, sebagian besar pasien dengan deviasi septum nasi lebih
baik dilakukan tindakan septoplasty dibandingkan dengan sub-mucous
resection (SMR) karena adanya komplikasi post-SMR, seperti perforasi
septum, perdarahan, dan saddle nose.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono. Hermani, Bambang. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: FKUI. 2015.
2. Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung Pada Deviasi
Septum Nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
(THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas : Padang. 2011.
Available at: http://repository.unand.ac.id/17339/1/Pengukuran_Sumbatan_
Hidung_Pada_Deviasi_Septum.pdf
3. Sriprakash V. Prevalence and Clinical Features of Nasal Septum Deviation:
A Study In an Urban Centre.Vol 3 Issue 4. International Journal of
Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery. Int J Otorhinolaryngol
Head Neck Surg. 2017 Oct;3(4):842-844. Available at :
http://www.ijorl.com
4. National Institutes of Health. Nasal Septal Deviations: A Systematic
Review of Classification Systems. Jeffrey Teixeira, Victor Certal. US
National Library of Medicine. Published online 2016 Jan 11.
doi: 10.1155/2016/7089123. Available at : https://www.ncbi.nlm.ni
h.gov/pmc/articles/PMC4737055/
5. A Santosa. Case Report: Management of Nasal Septal Deviation With
Endoscopic Septoplasty. 3rd Annual Applied Science and Engineering
Conference (AASEC 2018). Available at : https://iopscience.iop.org
/article/10.1088/1757-899X/434/1/012337/pdf. Faculty of Medicine and
Health Sciences, Universitas Warmadewa,Bali,Indonesia
6. Reitzen S. D., Chung W., Shah A. R. Nasal septal deviation in the pediatric
and adult populations. Ear, Nose and Throat Journal. 2011;90(3):112–115.
7. Parrilla C., Artuso A., Gallus R., Galli J., Paludetti G. The role of septal
surgery in cosmetic rhinoplasty. Acta Otorhinolaryngologica Italica.
2013;33(3):146–153

37
8. Paulsen, F. Waschke, J. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia ; Kepala, Leher,
dan Neuroanatomi. Jilid 3. Edisi 23. Jakarta: EGC. 2014.
9. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier.
2011.
10. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakrta:
EGC. 2014.
11. William F, Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta:
EGC. 2001.
12. Cho G. S., Jang Y. J. Deviated nose correction: different outcomes
according to the deviation type. The Laryngoscope. 2013;123(5):1136–
1142. doi: 10.1002/lary.23195.
13. Salihoglu M., Cekin E., Altundag A., Cesmeci E. Examination versus
subjective nasal obstruction in the evaluation of the nasal septal deviation.
Rhinology. 2014;52(2):122–126. doi: 10.4193/rhino13.057.

38

Anda mungkin juga menyukai