PENDAHULUAN
1
Sehubungan dengan hal di atas, penting bagi seorang dokter untuk
memahami penegakkan diagnosis dari deviasi septum yang didapat agar
dapat memberikan penanganan yang tepat kepada pasien. Penulis berharap
dengan disusunnya referat ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa
mengenai deviasi septum.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
penulangan membranosa. Mandibula juga terbentuk melalui penulangan
membranosa jaringan mesenkim yang mengelilingi tulang rawan Meckel. 8,9
Pada akhir minggu ke-4 , mulai tampak tonjolan –tonjolan wajah yang
terutama dibentuk oleh mesenkim yang berasal dari krista neuralis dan
terutama dibentuk oleh pasangan lengkung faring pertama. Tonjolan maksila
dapat dikenali disebelah lateral stomodeum dan tonjolan mandibular
disebelah kaudal stomodeum. Prominensia frontonasalis, yang dibentuk oleh
proliferasi mesenkim disebelah ventral vesikel otak, merupakan tepi atas
stomodeum. Di sisi kanan dan kiri prominensia frontonalis, muncul
penebalan – penebalan setempat dari ectoderm permukaan, yaitu plakoda
nasal (olfaktorius ), di bawah pengaruh induksi bagian ventral otak depan. 8,9
Selama minggu ke-5 plakoda–plakoda hidung tersebut mengalami
invaginasi membentuk lobang hidung. Dalam hal ini, plakoda hidung ini
membentuk suatu rigi jaringan yang mengelilingi masing–masing lobang
dan membentuk tonjolan hidung. Tonjolan yang berada ditepi luar lubang
adalah tonjolan hidung lateral dan yang berada ditepi dalam adalah tonjolan
hidung medial. 8,9
Selama dua minggu selanjutnya, tonjolan maksila terus bertambah
besar ukurannya. Serantak dengan itu, tonjolan ini tumbuh kearah medial,
sehingga mendesak tonjol hidung ke medial ke arah garis tengah.
Selanjutnya, celah antara tonjol hidung medial dan tonjol maksial hilang,
dan keduanya bersatu. Oleh karena itu bibir atas dibentuk oleh tonjolan
hidung medial dan kedua tonjol maksila itu. Tonjol hidung lateral tidak ikut
dalam pembentukan bibir atas. Bibir bawah dan rahang bawah dibentuk dari
tonjolan mandibular yang menyatu digaris tengah. 8,9
Mula – mula, tonjol maksila dan tonjol hidung lateral terpisah oleh
sebuah alur yang dalam, alur nasolacrimal. Ektoderm pada alur ini
membentuk sebuah tali epitel padat yang melepaskan diri dari ectoderm
dibawahnya. Setelah terjadi kanalisasi, tali ini membentuk duktus
nasolacrimalis ujung atasnya melebar untuk membentuk sacus lacrimalis.
Seletah lepasnya tali tersebut, tonjolan maksiladan tonjolan hidung lateral
4
saling menyatu. Duktus lacrimalis kemudian berjalan dari tepi medial ke
meatus inferior rongga hidung. 8,9
Tulang pipi merupakan artikulasi dari tulang zigomatikus dan
prosesus zigomatikus dari tulang temporal. Pusat penulangan tersebut
berasal dari membran lateral dan mengikuti perkembangan dari mata pada
akhir bulan kedua. Bentuk wajah orang dewasa dipengaruhi oleh
perkembangan sinus paranasal, conchae nasales dan gigi – geligi. 8,9
5
Gambar 2.2 Anatomi Rangka Hidung
6
Gambar 2.3 Kavum Nasi
7
Bagian melintang dari konka media ini yang memisahkan sel etmoid anterior
dari sel etmoid posterior. Pada bagian anterior dari lamela basalis dari konka
media, drainase sel melalui meatus media. Pada bagian posterior dari lamela
basalis, drainase sel melalui meatus superior. Bagian sepertiga posterior dari
konka berjalan pada bidang axial dengan perlekatannya yang berlanjut
sepanjang dinding lateral hidung. Bagian akhir posterior dari konka media
memasuki perbatasan foramen sfenopalatina dan ke tempat munculnya arteri
sfenopalatina ke dalam hidung. 8,9
Konka superior merupakan yang paling belakang dari konka-konka
yang lain. Merupakan jalan masuk superior yang paling umum ke dasar
tengkorak bersama dengan konka media dan membantu menentukan batas
dari sel etmoid posterior. Bagian medial dari konka superior dan bagian
lateral dari septum nasi adalah daerah dari resesus sfenoetmoidalis, dimana
ostium sinus sfenoid dapat dijumpai. 8,9
Konka suprema terkadang terlihat di atas konka superior dan memiliki
meatus yang sempit di bawahnya. Ostium sinus sfenoid terletak di resesus
sfenoetmoidalis, bagian medial dari konka superior atau suprema. Ostium
sinus sfenoid secara endoskopik dapat berada kira-kira 1 cm di atas pinggir
atas dari koana posterior dekat dengan pinggir posterior dari septum nasi. 8,9
Dinding medial kavum nasi dibentuk oleh septum nasi. Septum nasi
memisahkan kedua kavum nasi, menyediakan penopang struktural untuk
hidung, dan mempengaruhi aliran udara di dalam kavum nasi. Septum nasi
terdiri dari tulang rawan dan tulang yang dilapisi oleh mukosa respiratori.
Septum bagian anterior dibentuk oleh lamina kuadrangularis dan premaksila;
bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan sinus
sfenoid; dan bagian inferior dibentuk oleh vomer, krista nasalis os maksila,
dan krista nasalis os palatina. 8,9
8
Gambar 2.4 Anatomi dinding medial hidung
Dinding superior kavum nasi bagian anterior yang miring dibentuk
oleh tulang hidung; bagian posterior yang miring dibentuk oleh tulang
sfenoid; dan bagian media yang horizontal dibentuk oleh lamina kribriformis
etmoid tempat masuknya nervus olfaktorius ke kavum nasi. 8,9
Dinding inferior kavum nasi dibentuk oleh prosesus palatina maksila
pada ¾ bagian anteriornya dan bagian horizontal dari os palatina pada ¼
bagian posteriornya. 8,9
9
septum nasi, sementara krura medial dari kartilago alar mayor dan prosesus
nasal bawah (krista) maksila membentuk bagian anterior septum. 8,9
10
dari krista nasal tidak tumbuh denganbaik maka dislokasi tulang rawan
septum mudah terjadi. 8,9
2.2.4 KOM
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka
media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris,
bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. 8,9
11
2.2.5 Perdarahan dan Persarafan Hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a.
etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika
dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan
dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang a. fasialis. 8,9
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung), terutama
pada anak. 8,9
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga
ke intrakranial. 8,9
Bagian anterior dan superior rongga hidung mendapat persarafan
sensorisdari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.
nasosiliaris yang berasal dari n.oftalmikus (n. V-1). Rongga hidung lainnya,
sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. 8,9
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris,
juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksila (n. V-2), serabut
parasimpatis dari n. petrosus profundus. Disamping mensarafi hidung,
ganglion sfenopalatina mensarafi kelenjar lakrimalis dan palatum.
12
Sedangkan fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun
dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius
di daerah sepertiga atas hidung. 8,9
Aliran limfatik hidung berjalan secara pararel dengan aliran vena.
Aliran limfatik yang berjalan disepanjang vena fasialis berakhir pada limfe
node submaksilaris. 8,9
13
Gambar 2.7 Hidung Normal dan Deviasi Septum
14
59,9%. Pada tahun 1995, Min dkk menemukan prevalensi deviasi septum
nasi di Korea mencapai 22,38% dari populasi, dengan penderita yang
terbanyak adalah laki-laki. Prevalensi deviasi septum dalam penelitian oleh
Oliveira et al, dari jumlah angka kejadian sekitar 60% diamati 25% kasus
deviasi septum terjadi pada adalah laki-laki dan 23% adalah perempuan.
Pada tahun 2002, di Turki, Ugyur dkk melaporkan 15,6% bayi baru baru
lahir dengan persalinan normal mengalami deviasi septum nasi.2,5,12
Studi klinis menunjukkan bahwa prevalensi deviasi septum meningkat
seiring dengan usia. Van der Veken menunjukkan bahwa prevalensi deviasi
septum pada anak-anak meningkat dari 16% sampai 72% secara linear dari
usia 3 hingga 14 tahun, sedangkan Gray melaporkan diantara 2112 orang
dewasa, kejadian deviasi septum adalah 79%.2,3,13
Kelompok usia dominan yang mengalami deviasi septum adalah usia
16-25 tahun. Pada anak-anak antara 6-9 tahun, angka tersebut diamati
13,6% dalam penelitian di Indonesia. Korea, 21,1% anak-anak berusia
antara 7-14 tahun menunjukkan NSD sementara itu 41,8% pada orang
dewasa muda di Australia. Tingkat prevalensi 10 kali lebih tinggi telah
diamati bahwa terdapat peningkatan tingkat NSD dengan peningkatan
usia.4,5
Pada kasus deviasi septum nasi, keluhan terbanyak yaitu berupa
sumbatan hidung yaitu sebanyak 64% diikuti dengan nasal discharge
sebanyak 33%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang
deviasi septum nasi yang sering ditemukan pada klasifikasi Mladina adalah
tipe VII 29%, tipe IV 22%, dan tipe II 21%. Pada penelitian lain terhadap 70
orang deviasi septum nasi yang sering ditemukan pada klasifikasi Mladina
adalah tipe V 38,6%, tipe VII 32,9%, dan tipe III 12,9%. Dari sisi sudut
pandang klinis ditekankan bahwa deviasi septum nasi tipe III paling sering
ditemukan pada kasus rhino sinusitis kronik. Pada pemeriksaan
histopatologi pada mukosa yang diambil dari bagian yang paling cembung
dan bagian yang paling cekung dari deviasi septum nasi tipe III
menunjukkan metaplasia sel skuamosa berlapis yang memungkinkan adanya
15
blockade dari system transport mukosiliar, sehingga menjadi pintu masuk
bagi bakteri dan virus.4,5
16
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara,
namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus
media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi
lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di
sisi lain masih normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral,
sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
17
2.7.2 Menurut Lokasi Deformitas
Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya,
yaitu:
1. Spina dan Krista
Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat
terjadi pada pertemuan vomer dibawah dengan kartilago septum dan atau
os ethmoid diatasnya. Bila memanjang dari depan ke belakang disebut
krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina. Tipe
deformitas ini biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertikal.
2. Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk “C” atau
“S” yang dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya
mengenai kartilago maupun tulang.
3. Dislokasi
18
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan
menonjol ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai
dengan kelainan pada struktur sekitarnya.
4. Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di
hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.
19
1. Ringan : Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada
bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
2. Sedang : Deviasi kurang dari setengah rongga hidung tetapi ada
sedikit bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3. Berat : Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding
lateral hidung.
20
Gambar 2.12 Tipe Deviasi Nasal berdasarkan jaringan yang
terlibat
21
Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi
dan anak.
Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan
hanya menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan
atas, seperti common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan
mencetuskan terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan
menyebabkan gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah
sumbatan atau obstruksi yang juga terkait dengan deviasi septum nasi.
Namun, apabila common cold telah sembuh dan proses inflamasi mereda,
maka gejala obstruksi dari deviasi septum nasi juga akan menghilang.
Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa :
1. Dinding Lateral Hidung
Terdapat hipertrofi konka dan bula ethmoidalis. Ini merupakan
kompensasi yang terjadi pada sisi konkaf septum.
2. Maksila
Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri
dan juga dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar,
pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi palatum dan abnormalitas
ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi yang sakit.
3. Piramid Hidung
Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan deviasi
pada piramid hidung.
4. Perubahan Mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit
menyebabkan efek kering sehingga terjadi pembentukan krusta.
Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan.
Lapisan proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi
terhadap infeksi. Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai
akibat fenomena Bernouili yang kemudian menambah derajat obstruksi.
22
2.9 Diagnosis Deviasi Septum1,2,3,5,6
2.9.1 Anamnesis
Keluhan yang paling sering pada penderita deviasi septum nasi adalah
sumbatan hidung. Sumbatan biasanya unilateral, dapat pula bilateral, sebab
pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya
terjadi konka hipertrofi, sebagai mekanisme kompensasi. Sumbatan hidung
dapat disebabkan karena kelainan mukosa, kelainan struktur jalan nafas
hidung seperti deviasi septum nasi dan kolaps jalan nafas.
Menurut Bailey seperti yang dikutip Lin SJ dkk, kelainan yang
menyebabkan sumbatan hidung adalah deviasi septum nasi, hipertrofi konka,
septum perforasi, kolaps valvular, atresia koana, neoplasma, polip nasi,
rhinitis alergi, hematom septum, rinitis medikamentosa dan rinitis
vasomotor.
Busse W menggambarkan patologi yang terjadi pada sumbatan jalan
nafas meliputi inflamasi jalan nafas, hiperplasi dan hipertropi kelenjar
mukus, metaplasi dan hipertropi sel goblet, hipertrofi dari otot polos jalan
nafas, peningkatan proliferasi pembuluh darah dan edema jalan nafas.
Kelainan struktur yang menyebabkan keluhan hidung tersumbat
adalah deviasi septum nasi, konka hipertrofi, stenosis ataupun konka bulosa.
Deviasi septum nasi melibatkan tulang septum, kartilago atau keduanya.
Pada pasien dengan kelainan septum, sisi yang sempit akan mengalami
siklus sumbatan hidung yang berbeda, yang menyebabkan perbedaan pada
tahanan hidung total, sehingga pasien merasakan sumbatan hidung yang
berkala.
Septum deviasi juga dapat menyebabkan kolaps dari katup hidung
(nasal valve). Katup hidung adalah celah antara ujung kaudal kartilago
lateral atas dengan septum hidung. Katup hidung berada lebih kurang
1,3 cm dari nares dan merupakan segmen yang tersempit serta tahanan
terbesar dari jalan nafas hidung. Dengan memasuki daerah yang sempit
ini akan terjadi peningkatan aliran dan peningkatan tekanan interlumen
23
(fenomena Bernoulli). Peningkatan tekanan akibat deviasi septum akan
menyebabkan kolapsnya segmen ini pada saat inspirasi. Karena daerah
katup hidung ini sempit maka dengan perubahan sumbatan atau udema
sedikit saja, akan meningkatkan tahanan pada daerah tersebut.
Keluhan lainnnya adalah rasa nyeri di kepala dan di sekitar
mata. Penciuman dapat terganggu hingga anosmia, apabila terdapat deviasi
pada bagian atas septum.
Pasien juga dapat mengeluhkan gejala rinitis berulang, akibat ostruksi
yang menyebabkan stagnasi dari sekresi hidung. Epistaksis dapat terjadi
akibat fleksus Kiesselbach terpapar dengan atmosfer, yang menyebabkan
mukosa kering, sehingga mukosa mudah terkupas.
2.9.2 Pemeriksaan Fisik
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi
langsung pada batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior,
dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi
berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal. Penting
untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum, karena
ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal.
Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung
untuk menentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga
diperiksa karena struktur-struktur ini sering terjadi gangguan yang
berhubungan dengan deformitas septum.
2.9.3 Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosis
deviasi septum nasi. Pada pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-
posterior tampak septum nasi yang bengkok.
Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk
menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan
mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan
pemeriksaan X-ray sinus paranasal.
24
Gambar 2.13 CT Scan potongan koronal pasien dengan deviasi
septum ke kanan
25
2. Nasal Inspiratory Peak Flowmetry (NIPF)
NIPF merupakan alat untuk mengukur aliran udara hidung saat
inspirasi. Pada tahun 1980, Youlten memperkenalkan alat ini yang kemudian
di modifikasi oleh Wright dengan menambahkan sungkup hidung pada alat
ini. NIPF terdiri dari tiga bagian yaitu face mask, konektor dan tabung
silinder yang berisi diafragma yang bergerak apabila ada aliran udara. Alat
ini mempunyai skala 30-370 l/menit. Sebelum melakukan pemeriksaan
pasien terlebih dahulu melakukan adaptasi terhadap suhu ruangan selama
20 menit. Diperlukan penjelasan penggunaan alat ini pada pasien untuk
menggunakannya. Alat ini digunakan dengan meletakan “face mask”
menutupi hidung dan mulut. Udara inspirasi dihirup melalui hidung dengan
memastikan mulut tertutup. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 kali dengan
hasil tertinggi yang didapat akan dipakai.
26
Gambar 2.15 Nasal Inspiratory Peak Flowmetry
3. Rinomanometri
Rinomanometri digunakan untuk mengukur hambatan aliran udara
nasal dengan pengukuran kuantitatif pada aliran dan tekanan udara nasal.
Tes ini berdasarkan prinsip bahwa aliran udara melalui suatu tabung hanya
bila terdapat perbedaan tekanan yang melewatinya. Perbedaan ini dibentuk
dari usaha respirasi yang mengubah tekanan ruang posterior nasal relatif
terhadap atmosfir eksternal dan menghasilkan aliran udara masuk dan keluar
hidung. Pada tahun 1984, the European Committee for Standardization of
Rhinomanometry menetapkan rumus aliran udara nasal :
R = ΔP:V pada tekanan 150 P.
R = Tahanan terhadap aliran udara (Pa/cm/det)
P = Tekanan transnasal (Pa atau CmH2O)
V = Aliran udara (Lt/det atau CmH20)
Dengan adanya standarisasi ini diharapkan memberikan perbandingan
hasil dan perbandingan rentang normal. Rinomanometri dapat dilakukan
secara aktif atau pasif dan dengan pendekatan anterior atau posterior.
Rinomanometri anterior aktif lebih sering digunakan dan lebih fisiologis.
Tekanan dinilai pada satu lubang hidung dengan satu kateter yang
dihubungkan dengan pita perekat, sementara aliran udara diukur melalui
27
lubang hidung lain yang terbuka. Sungkup wajah yang transparan di pasang
menutupi hidung. Alat ini dihubungkan dengan suatu pneumotokografi,
amplifier dan perekam. Hasil ini ditampilkan secara grafik sebagai kurva
“S” dimana masing-masing lobang hidung dilakukan lima kali pemeriksaan.
Kemudian diambil nilai rata-rata lima kali pemeriksaan. Sebelum diperiksa,
pasien harus relaksasi selama 30 menit pada suhu kamar yang tetap. Mesin
membutuhkan 30 menit untuk penghangatan dan membutuhkan kalibrasi
teratur. Rinomanometri relatif menghabiskan waktu dan hasil dapat
bervariasi sampai 20-25% dengan waktu yang dibutuhkan mencapai 15
menit. Rinomanometri tidak bisa digunakan jika terjadi sumbatan hidung
yang berat atau ketika terdapat perforasi septum. Alat ini juga tidak dapat
menilai lokasi obstruksi.
28
Gambar 2.17 Hasil Rinomanometri
4. Rinometri akustik
Rinometri akustik ini memberikan nada suara yang dapat didengar
(150-10000 hz) yang dihasilkan oleh klik elektronik dan dibangkitkan oleh
tabung suara. Alat ini dimasukan ke hidung dan aliran udara hidung
direfleksikan oleh perubahan lokal pada akuistik impedansi. Bunyi yang
direfleksikan ditangkap oleh mikrofon, diteruskan ke komputer dan
dianalisa. Terdapat berbagai ukuran “nosepiece” untuk menghubungkan
tabung suara ke hidung. Sangat perlu untuk menyesuaikan “nosepiece”
dengan lubang hidung tanpa menyebabkan deformitas. Pemeriksaan diulang
lima kali dan dihitung nilai rata-ratanya.
29
Gambar 2.18 Rinometri akustik
2.10 Penatalaksanaan1,2,3,12,13
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu
dilakukan tindakan koreksi septum.
Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
30
Pembedahan : Terdapat dua jenis tindakan operatif, yaitu reseksi
submukosa (Submucous Resection of the Nasal Septum) dan septoplasti.
31
melepaskan mukosa periostium dan perikondrium dari kedua sisi
septum;
mengoreksi daerah patologis
membuang daerah yang patologis
membentuk tulang dan tulang rawan yang dibuang
rekonstruksi septum
fiksasi septum
2. Septoplasti Endoskopi
Teknik untuk septoplasti dengan endoskopi adalah dengan melakukan
infiltrasi epinefrin 1:200.000 pada sisi cembung septum yang paling
mengalami deviasi menggunakan endoskopi kaku. Dilakukan insisi
hemitransfiksi, insisi tidak diperluas dari dorsum septum nasi ke dasar
kelantai kavum nasi, tidak seperti insisi konvensional yang diperluas sampai
bagian superior dan inferior. Pada septoplasti endoskopi hanya dibutuhkan
pemaparan pada bagian yang paling deviasi saja. Flap submukoperikondrial
dipaparkan dengan menggunakan endoskopi, tulang yang patologis dan
bagian septum yang deviasi dibuang. Bekas insisi ditutup dan tidak dijahit
kemudian dipasang tampon.
3. Open Book Septoplasty
Sedangkan Prepageran dkk melaporkan teknik septoplasti dengan
metode open book, dimana insisi dibuat secara vertikal tepat di daerah
anterior deviasi kemudian insisi horizontal sesuai aksis deviasi paling
menonjol. Septoplasti dapat memperluas salah satu sisi rongga hidung, yaitu
sisi cembung dari rongga hidung. Diharapkan dengan septoplasti ruang
antara septum dan konka inferior di sisi cekung yang mengalami konka
hipertrofi dapat berkurang bahkan menjadi normal. Namun septoplasti
dengan konkotomi untuk mengurangi volume kontralateral konka inferior,
termasuk jaringan lunak dan tulang konka, dianjurkan dalam kasus tertentu.
32
Gambar 2.20 Septoplasty
33
nyeri kepala, infeksi telinga tengah, deformitas hidung memerlukan
rinoplasti disamping reseksi submukosa.
2.11 Komplikasi1,2,3
1. Komplikasi Deviasi Septum
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga
merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi
septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk
polip.
2. Komplikasi Pasca Operasi
Sedangkan komplikasi post-operasi, diantaranya :
a. Uncontrolled Bleeding : hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada
hidung atau berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
b. Septal Hematoma : Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi
sehingga menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan
terjadilah pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah
operasi dilakukan.
c. Nasal Septal Perforation : Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena
trauma dan perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama
operasi.
d. Saddle Deformity : Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak
diangkat dari dalam hidung.
e. Recurrence of The Deviation : Biasanya terjadi pada pasien yang
memiliki deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan
perbaikan.
34
2.12 Prognosis1,2,3
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan
posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial
tubuh. Prognosis pada pasien deviasi septum setelah menjalani operasi
cukup baik dan pasien dalam 10-20 hari dapat melakukan aktivitas
sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus memperhatikan
perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus juga
menghindari trauma pada daerah hidung.
35
BAB III
KESIMPULAN
36
DAFTAR PUSTAKA
37
8. Paulsen, F. Waschke, J. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia ; Kepala, Leher,
dan Neuroanatomi. Jilid 3. Edisi 23. Jakarta: EGC. 2014.
9. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier.
2011.
10. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakrta:
EGC. 2014.
11. William F, Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta:
EGC. 2001.
12. Cho G. S., Jang Y. J. Deviated nose correction: different outcomes
according to the deviation type. The Laryngoscope. 2013;123(5):1136–
1142. doi: 10.1002/lary.23195.
13. Salihoglu M., Cekin E., Altundag A., Cesmeci E. Examination versus
subjective nasal obstruction in the evaluation of the nasal septal deviation.
Rhinology. 2014;52(2):122–126. doi: 10.4193/rhino13.057.
38