Oleh :
Ulfa Pratiwi
196100802034
Pembimbing :
dr. DESSY ADELIANA, Sp.A
LAPORAN KASUS
MENINGOENSEFALITIS AKUT DAN DIARE AKUT
Ulfa Pratiwi
196100802034
Pembimbing :
dr. DESSY ADELIANA Sp.A
Diajukan sebagai salah satu syarat mengikuti Ujian Akhir di SMF Ilmu
Kesehatan Anak dan Remaja
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Ulfa Pratiwi
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya laporan kasus yang berjudul “Meningoensefalitis Akut dan
Diare Akut” ini akhirnya dapat diselesaikan. Laporan kasus ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan
Anak dan Remaja di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada dr. Dessy
Adeliana, Sp.A selaku pembimbing saya. Laporan kasus ini disusun dengan
kemampuan saya yang sangat terbatas dan masih banyak kekurangan, untuk itu
saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan
dan kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
Ulfa Pratiwi
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iv
DAFTAR ISI............................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vii
DAFTAR TABEL.................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB I KASUS.........................................................................................................3
2.1 Identitas........................................................................................................3
2.2 Anamnesis....................................................................................................3
2.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................7
2.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................14
2.5 Diagnosis....................................................................................................16
2.6 Tatalaksana.................................................................................................16
2.7 Prognosis....................................................................................................16
v
3.1.9 Prognosis........................................................................................30
3.2 Diare Akut..................................................................................................30
3.2.1 Definisi...........................................................................................30
3.2.2 Etiologi...........................................................................................30
3.2.3 Patofisiologi...................................................................................31
3.2.4 Manifestasi Klinis..........................................................................31
3.2.5 Diagnosis........................................................................................31
3.2.6 Tatalaksana.....................................................................................32
3.2.7 Prognosis........................................................................................33
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................34
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39
LAMPIRAN PERTANYAAN...............................................................................42
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR TABEL
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
10 kasus penyakit terbanyak di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2017.
Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines tahun 2005,
etiologi diare akut dibagi menjadi 4 penyebab : bakteri, virus, parasit dan non
infeksi. Pada diare akut lebih dari 90% disebabkan oleh infeksi. Kejadian diare
pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penyakit ini ditularkan
secara fecal oral melalui makanan dan minuman yang tercemar. Negara yang
sedang berkembang, insiden yang tinggi dari penyakit diare merupakan kombinasi
dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein dan kalori yang menyebabkan
turunnya daya tahan tubuh. 5,6,7
Diare terjadi akibat peningkatan hilangnya cairan dan elektrolit (natrium,
kalium, dan bikarbonat) yang terkandung dalam tinja cair anak. Dehidrasi terjadi
bila hilangnya cairan dan elektrolit ini tidak diganti secara adekuat, sehingga
timbulah kekurangan cairan dan elektrolit. Derajat dehidrasi diklasifikasikan
sesuai gejala dan tanda yang mencerminkan jumlah cairan yang hilang. Rejimen
dehidrasi dipilih sesuai dengan derajat dehidrasi yang ada. 7,8
2
BAB II
KASUS
2.1. Identitas
2.1.1. Identitas Penderita
Nama : An. MF
Tempat tanggal lahir : Palangka Raya, 13 April 2017
Usia : 4 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
2.1.2. Identitas Ayah
Nama : Tn. MW
Umur : 23 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Bukit Rawi
2.1.3. Identitas Ibu
Nama : Ny. RW
Umur : 22 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Bukit Rawi
2.2. Anamnesis
Dilakukan alloanamnesis dengan ibu pasien di Bangsal Flamboyan RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada hari Selasa, 20 Maret 2021 Pukul 19.00
WIB.
2.2.1. Keluhan Utama: Kejang
2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar oleh orang tuanya ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus
dengan kejang sejak ± 10 jam SMRS, kejang terjadi selama ± 10 menit dan terjadi
3
hanya 1 kali, saat kejang ekstremitas dan tubuh terlihat kaku dan posisi mata
melihat keatas. Kejang tidak disertai hipersaliva. Sebelum kejang tidak terjadi
penurunan kesadaran, saat kejang terjadi penurunan kesadaran, dan setelah kejang
berhenti keasadaran kembali pulih. Kejang berhenti sendiri tanpa pemberian obat.
Menurut ibu, ini merupakan kejang yang pertama kali pada anak, kejang terjadi
saat anak sedang beristirahat. Kejang tidak disertai demam, demam terjadi ± 2 jam
sebelum terjadinya kejang, demam berhenti setelah diberi Paracetamol, namun
demam muncul kembali beberapa jam setelah kejang berhenti.
Pasien juga mengalami BAB cair sejak 2 hari SMRS. Dalam sehari pasien
dapat BAB cair sebanyak 4 kali, dengan jumlah kira-kira seperempat gelas. BAB
berbentuk encer masih berampas, berwarna kuning, tidak berlendir, dan tidak
disertai darah. Pada keadaan umum anak tampak rewel, mata tidak cekung,
produksi air mata cukup, mukosa mulut dan lidah basah, minum seperti biasa
tidak ada rasa haus, turgor kulit kembali cepat. Keluhan tidak disertai muntah.
BAK (+) dalam batas normal. Menurut ibu pasien tidak ada pergantian susu pada
pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan serupa
2.2.3. Riwayat Penyakit Keluarga
4
= Perempuan = Pasien
Ny. RW 22 th Sehat
5
Perkembangan bahasa dan bicara : pasien sudah bisa berbicara dan
dapat dimengerti.
Perkembangan sosial kemandirian : pasien bisa diajak bermain dan
memiliki teman-teman seusianya dirumah.
Kesan: Tidak ada gangguan perkembangan
BCG 2 bulan
6
sebelum dan sesudah menyiapkan makanan, ibu terkadang lupa mencuci tangan
namun ibu selalu mencuci peralatan yang dipakai memasak dan makan serta
keluarga menggunakan air Hitachi.
Kesan: kurangnya kebersihan
7
Gambar 3. Hasil Pengukuran Antropometri Status Gizi Menurut CDC
LK : 49 cm → Normocephal
BB/U : (18,9/17) x 100% = 111% → Berat Badan Lebih
TB/U : (105/102) x 100 % = 102 % Tinggi normal
BB/TB : (18,9/18) x 100 % = 105 % Gizi baik
Kesan: Normocephal, Berat Badan Lebih, Tinggi normal, Gizi baik
8
Nadi : 100 x/menit (reguler, isi cukup, dan kuat angkat)
Suhu : 37,8 0C
Respirasi : 21 x/menit
SPO2 : 98%
2.3.3. Kulit
Warna : Sawo matang
Sianosis : Tidak ada
Hemangiom : Tidak ada
Turgor : Cepat kembali
Kelembaban : Cukup
Pucat : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
2.3.4. Kepala
Bentuk : normocephal
Rambut
Warna : Hitam
Tebal/tipis : Tebal
Distribusi : Merata
Alopesia : Tidak ada
Mata
Pelpebra : Tidak ada edema
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Diameter : 3 mm / 3 mm
Simetris : Isokor
Reflek Cahaya : (+/+)
Kornea : Jernih
Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : Minimal
9
Nyeri : Tidak ada
Hidung
Bentuk : Simetris
Epistaksis : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
Mulut
Bentuk : Simetris
Bibir : Pucat (-), sianosis (-)
Gusi : Perdarahan (-)
Lidah
Bentuk : Simetris
Pucat/tidak : Tidak pucat
Tremor/tidak : Tidak tremor
Kotor/tidak : Tidak kotor
Warna : Merah muda
Faring
Hiperemi : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Tonsil
Warna : Merah muda
Pembesaran : Tidak ada
Abses/tidak : Tidak ada
2.3.5. Leher
Vena Jugularis
Pulsasi : Teraba Minimal
Tekanan : Tidak Meningkat
Pembesaran KGB : Tidak ada
Deviasi trakea : Tidak ada
Peningkatan JVP : Tidak ada
Kaku kuduk : Positif
Massa : Tidak ada
10
Tortikolis : Tidak ada
2.3.6. Thoraks
Dinding dada/Paru
Inspeksi : Simetris, retraksi (-), gerakan nafas simetris
Palpasi : Fremitus vokal simetris
Perkusi : Sonor pada kedua paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
Ronkhi tidak ada
Wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba
Perkusi :
- batas atas kanan : ICS 2 linea parasternalis dekstra
- batas bawah kanan : ICS 6 linea parasternalis dextra
- batas kiri atas : ICS 2 linea parasternalis sinistra
- batas kiri bawah : ICS 5 linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
2.3.7. Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar
Palpasi :
- Hepar : Hepatomegali (-)
- Spleen : Spleenomegali (-)
- Ginjal : tidak teraba
Perkusi : Timpani (+) di seluruh regio, asites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
11
2.3.8. Ekstremitas
Akral hangat, sianosis (-), CRT ≤ 2 detik, pucat (-), ikterik (-)
Neurologis
Tabel 4. Pemeriksaan fisik ekstremitas
Lengan Tungkai
Tonus + + + +
Klonus - - - -
Refleks fisiologi + + + +
Refleks patologi - - - -
Sensibilitas + + + +
Tanda meningeal - - - -
12
2.3.9. Susunan saraf :
Tabel 5. Pemeriksaan Nervus kranial I – XII
Nervus Cranialis Hasil Pemeriksaan
Nervus olfactorius Anosmia (-), hiposmia (-), hiperosmia (-)
Nervus opticus Penglihatan tajam (+)
Lapang pandang tidak dapat dilakukan karena anak tidak
kooperatif.
Buta warna (-)
Pemeriksaan funduskopi tidak dilakukan.
Nervus Ptosis (-), strabismus (-), nistagmus (-)
occulomotorius Gerakan bola mata (+) di kedua mata
Refleks pupil (+) di kedua mata.
Nervus trochlearis Gerakan bola mata ke arah inferolateral (-)
Nervus trigeminal Trismus (-), kontraksi M. masseter (+), kontraksi M.
temporalis anterior (+).
Refleks kornea (+)
Nervus abducens Gerakan bola mata ke arah lateral (+)
Nervus facialis Tidak dapat dilakukan karena anak tidak kooperatif.
Nervus vestibulo- Fungsi pendengaran (+)
cochlearis Fungsi keseimbangan (+)
Nervus Arcus pharyngeal, tidak/ ada asimetri uvula, disfonia sulit
glossopharyngeus dinilai
Nervus vagus Fonasi (-), kemampuan menelan sulit dinilai
Nervus accessorius Kontraksi M. sternocleidomastoideus (+)
Kontraksi M. trapezius (+)
Nervus hypoglosus Tidak ada deviasi lidah, atrofi lidah (-).
13
2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium tanggal 20/03/2021
Tabel 6. Hasil Laboratorium tanggal 20/03/2021
Parameter Hasil Nilai normal
Hemoglobin 12 gr/dl 11,0 – 16,0 gr/dl
Hematokrit 37,2 % 37,0 – 54,0 %
MCV 74,4 Fl 86,6-102,0
MCH 24 pg 27,0-34,0
14
Foto thorax tanggal 20 Maret 2021
15
2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja:
Meningoensefalitis akut
Diare akut
2.6. PENATALAKSANAAN
IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Ampicilin 1 gr/6 jam IV
Inj. Kloramfenikol 3 mg/6 jam IV
Inj. Dexametason 3 mg/6 jam
Inj. Fenobarbital 50 mg/12 jam IV
2.7. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Meningoensefalitis
1. Definisi
Meningitis didefinisikan sebagai radang pada meningens, selaput pelindung
yang menutupi otak dan korda spinalis. Sedangkan ensefalitis adalah radang
jaringan otak. Meningoensefalitis merupakan inflamasi pada jaringan otak dan
meningen yang disebut juga cerebromeningitis, encephalomeningitis,
meningocerebritis. Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan
kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis. 9,10,11
Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar
klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis.
Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan
dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan
respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan
serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping
gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen
etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus. 12
17
2. Etiologi
Agen penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut:
Tabel 7. Bakteri penyebab meningitis 13
Agen Penyebab
Virus
Togaviridae
Alfavirus
Virus Ensefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela
Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan
Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Jamestown Canyon
Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza
Morbilivirus
Virus Campak
Orthomyxoviridae
Influenza A
Influenza B
Arenaviridae
Virus khoriomeningitis limfostik
Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A
Koksakivirus B
Ekhovirus
Rhabdoviridae: Virus Rabies
Retroviridae
Lentivirus: Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2
Herpesviridae: Virus Herpes simpleks 1 & 2, Varicella Zooster, Virus Epstein Barr Sitomegalovirus
Adenovirus
Bakteri: Haemophilus influenza, Neisseria menigitidis, Streptococcus pneumonia, Streptococcus grup B, Listeria
monocytogenes, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Mycobacterium tuberkulosa
Parasit:
Protozoa
Plasmodium falciparum, Toxoplasma gondii, Naegleria fowleri (Primary amebic meningoencephalitis),
Granulomatous amebic encephalitis
Helminthes
Taenia solium, Angiostrongylus cantonensis
Rickettsia
Rickettsia ( Rocky Mountain)
Fungi
Criptococcus neoformans
Coccidiodes immitis
Histoplasma capsulatum
Candida species
Aspergillus Paracoccidiodes
Tabel 8. Penyebab umum meningitis bakteri berdasarkan usia dan faktor risiko 14
Neonatus (usia <3 bulan) Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria
18
monocytogenes
Bayi dan anak (usia >3 bulan) S. pneumonia; N. meningitidis; H. influenzae
Dewasa usia <50 tahun S. pneumonia; N. meningitides
(imunokompeten)
Dewasa usia >50 tahun S. pneumonia; N. meningitidis; Listeria monocytogenes
Fraktur kranium/pasca- Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus aureus; bakteri
bedah saraf gram negatif (Klebsiella,Proteus, Pseudomonas, E. coli);
Streptococcus grup A dan D; S. pneumonia; H. influenza
Kebocoran CSS Bakteri gram negatif; S. pneumonia
Kehamilan Listeria monocytogenes
Imunodefisiensi Listeria monocytogenes; bakteri gram negatif; S. pneumonia;
Pseudomonas aeruginosa;Streptococcus grup B;
Staphylococcus aureus
3. Patofisiologi
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan
kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau
berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat
melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus
paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak.
Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-
pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang
mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak
disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk
dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi
infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah
dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat
mengakibatkan meningitis. 2
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus
yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus
herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk
ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi
19
dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau
cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal,
kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di
pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde
axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes
zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis
aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron
dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh
darah kecil, trombosis, dan mikroglia. 2
4. Manifestasi Klinik
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala
meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti
oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal,
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik. 15
Tanda khas untuk meningitis berupa demam mendadak, nyeri kepala berat,
nausea atau muntah, diplopia, rasa mengantuk, sensitif terhadap cahaya terang,
dan kaku leher. Ensefalitis dapat ditandai demam, kejang, perubahan sikap,
kebingungan dan disorientasi, dan tanda neurologis berdasarkan bagian otak yang
terdapat proses ensefalitik. Meningitis kadang muncul sebagai gejala seperti flu
selama 1-2 hari. Ensefalitis kadang menunjukkan gejala flu ringan. Pada kasus
yang lebih parah, pasien dapat mengalami gangguan berbicara atau pendengaran,
diplopia, halusinasi, perubahan sikap, kehilangan kesadaran, kehilangan rasa
sensorik pada bagian tubuh, kelemahan otot, paralisis parsial lengan dan kaki,
demensia berat mendadak, kejang, dan kehilangan memori. 15
Minimal satu dari gejala kardinal berupa perubahan status mental (GCS
kurang dari 14), demam, kaku kuduk + didapatkan pada 99 % pasien meningitis
yang dapat diikuti dengan nyeri kepala. Tanda Kernig dan Brudzinski positif
kurang sensitif namun memiliki spesifitas tinggi terhadap meningitis bakterial. 16
5. Diagnosis
20
Diagnosis dapat ditegakkan dengan :
1. Anamnesa
Awitan gejala akut <24 jam disertai trias meningitis: demam, nyeri kepala
hebat dan kaku kuduk. Gejala lain yaitu mual muntah, fotofobia, kejang fokal
atau umum, gangguan kesadaran. Mungkin dapat ditemukan riwayat infeksi
paru-paru, telinga, sinus atau katup jantung. Pada bayi dan neonatus, gejala
bersifat nonspesifik seperti demam, iritabilitas, letargi, muntah, dan kejang.
Mungkin dapat ditemukan riwayat infeksi maternal, kelahiran prematur,
persalinan lama, dan ketuban pecah dini. 17
2. Pemeriksaan fisik dan Neurologis
a. Kesadaran bervariasi mulai dari iritabel, somnolen, delirium, atau koma.
b. Suhu tubuh ≥ 38°C
c. Infeksi ekstrakranial: sinusitis, otitis media, mastoiditis, pneumonia
d. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Kernig, Brudzinski I dan II
e. Peningkatan TIK: penurunan kesadaran, edema papil, refleks cahaya pupil
menurun, kelumpuhan N. VI, postur dserebrasi, dan reflek Cushing
(bradikardi, hipertensi, dan respirasi ireguler)
f. Defisit neurologik fokal: hemiparesis, kejang fokal maupun umum,
disfasia atau afasia, paresis saraf kranial terutama N. III, N. IV, N. VII, N.
VIII. 17
21
Jumlah sel >1000/ml <100/ml Bervariasi
Jenis sel Predominan PMN Predominan MN Predominan
MN
Protein Sedikit meningkat Normal/meningkat Meningkat
22
d. PCR, deteksi asam nukleat bakteri apda CSS, tidak dipengaruhi terapi
antimikroba yang telah diberikan dengan sensitivitas 100% dan spesifitas
98,2%
4. Pencitraan 18
a. CT scan kepala pada permulaan penyakit, CT scan dapat normal. Adanya
eksudat purulen di basal, ventrikel yang mengecil disertai edema otak,
atau ventrikel yang membesar akibat obstruksi cairan serebrospinalis. Jika
penyakit berlanjut, dapat terlihat adanya daerah infark akibat vaskulitis.
Indikasi CT scan sebelum LP: defisit neurologis fokal, kejang pertama
kali, edema papil, penurunan kesadaran, dan penekanan status imun.
23
Gambar 5. Hasil CT-Scan Meningitis Bakterial
24
Gambar 7. Hasil CT-Scan Encefalitis
b. MRI kepala, lebih baik dalam menunjukkan edema dan iskemi pada otak
dibandingkan dengan CT scan. Penambahan kontras gadolinium
menunjukkan “diffuse meningeal ehancment”
6. Diagnosis Banding
1. Kejang demam
Merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh, yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium, tanpa adanya infeksi SSP
maupun kelainan saraf lainnya. 19
2. Tetanus
Tetanus atau lockjaw merupakan suatu penyakit syaraf yang mempunyai
manifestasi paralisis spastis akut yang disebabkan oleh toksin tetanus,
suatu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, bakteri gram
posistif yang motil, membentuk spora, anaerob, yang hidup pada tanah dan
saluran cerna berbagai hewan dan manusia. Terdapat riwayat luka yang
tidak dibersihkan dengan baik, atau riwayat gigitan hewan. 20
3. Abses otak
25
Abses otak adalah infeksi lokal intrakranial yang dimulai dengan fase
cerebritis dan berkembang menjadi kumpulan nanah yang dikelilingi oleh
kapsul. Abses otak dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme
seperti bakteri, fungi, dan parasit. Gejala awal pada pasien dengan abses
otak adalah sakit kepala, demam, defisit neurologis, status mental alert,
kejang, mual dan muntah, kaku kuduk, dan papilledema. 21
7. Tatalaksana
Pemberian antibiotika sejak awal pada penderita meningitis bakteri memang
akan meningkatkan luaran klinis dan mengurangi sekuele neurologis. Walaupun
demikian, penggunaan antibiotika yang demikian luas dan tidak terkendali dapat
meningkatkan timbulnya bakteri yang multidrug resisten. Hal ini merupakan
masalah di seluruh dunia. Pemberian antibiotika secara empiris pada pasien
dengan meningitis bakteri seharusnya berdasarkan epidemiologi lokal, usia
pasien dan adanya peyakit spesifik yang mendasari atau faktor risiko yang
mendasari. 22
Pemberian antibiotika yang sesuai pada saat awal pada pasien yang berisiko
atau dicurigai mengalami infeksi bakteri sebelum ada hasil kultur dan sensitivitas
didefinisikan sebagai “terapi empiris antibiotika”. Pilihan awal antibiotika untuk
terapi empiris tergantung pada pengetahuan mengenai kemungkinan bakteri
pathogen sebagai penyebab. Hal ini dapat didasarkan pada usia, riwayat penyakit,
apakah infeksi dari komunitas atau dari rumah sakit (nosokomial), hasil kultur
dan sensitivitas bakteri di daerah tersebut. Pengetahuan yang kurang tentang
pemilihan antibiotika yang sesuai dan munculnya resistensi terhadap antibiotika
yang sering digunakan dapat membahayakan keberhasilan pengobatan di negara
yang sedang berkembang. 22
Terdapat variasi yang lebar sehubungan dengan lama pemberian terapi
empiris antibiotika. Standar yang praktis untuk menghentikan pemberian antiotika
empiris adalah segera setelah hasil kultur darah atau CSS terkonfirmasi hasilnya
negatip yaitu dalam 48-72 jam. Meskipun penelitian prospektif yang adekuat
masih terbatas, dapat disimpulkan bahwa durasi pemberian terapi empiris
26
antibiotika seharusnya 48-72 jam sambil menunggu hasil konfirmasi kultur
selesai. 22
Tabel 10. Antibiotika empiris yang direkomendasikan untuk suspek dan proven
meningitis bakteri akut pada anak >1 bulan 23
Terapi empiris pada pasien dimana kultur darah dan CSS ditunda pengambilannya karena
kontra indikasi
Rekomendasi terapi Ceftriaxone ATAU Cefotaxime DAN Vancomycin**
Tambahkan Ampicillin untuk mengcover Listeri
Hasil Kultur darah dan CSS negatip atau tidak dikerjakan tetapi suspek meningitis
didukung oleh gejala klinis dan laboratorium termasuk metode molekuler
Rekomendasi terapi Ceftriaxone ATAU Cefotaxime, TANPA Vancomycin**
Vancomycin dilanjutkan jika secara lokal epidemiologi terbukti
adanya resistensi Streptococcus pneumoniae terhadap
Cephlaosporin generasi III.
27
Tabel 11. Antibiotika yang direkomendasikan untuk proven meningitis bakteri
pada anak diatas 1 bulan sesuai dengan bakteri spesifik hasil pemeriksaan kultur
dan sensitivitas. 23
Bakteri spesifik Rekomendasi terapi Alternatif terapi
S pneumoniae (culture positive)
Penicillin susceptible (MIC < 0.06 цg/mL) Penicillin G ATAU ampicillin Cefotaxime, ceftriaxone,
Chloramphenicol*
Penicillin resistant (MIC > 0.12 цg/mL) DAN Ceftriaxone ATAU Meropenem
Ceftriaxone/Cefotaxime susceptible (MIC < 0.5 Cefotaxime
цg/mL)
Penicillin resistant (MIC > 0.12 цg/mL) DAN Ceftriaxone /Cefotaxime DAN Meropenem
Ceftriaxone/ Cefotaxime intermediate ATAU Vancomycin*
fully resistance (MIC >1.0 цg/mL) *Konsul kepada ahli infeksi tropis
Neisseria meningitides
Penicillin susceptible (MIC <0.12 цg/mL) Penicillin G ATAU Ampicillin Ceftriaxone ATAU
Cefotaxime
Chloramphenicol*
Penicillin resistant (MIC ≥0.12 цg/mL) Ceftriaxone ATAU Cefotaxime Meropenem
Haemophilus influenza
Ampicillin susceptible Ampicillin Cefotaxime ATAU
ceftriaxone ATAU Cefepime
ATAUchloramphenicol*
Ampicillin resistant Ceftriaxone ATAU Cefotaxime Cefepime ATAU
chloramphenicol*
Streptococcus agalactiae Penicillin G ATAU Ampicillin DAN Ceftriaxone ATAU
(Group B Streptococci [GBS] Gentamicin selama 5-7 hari pertama Cefotaxime
sampai CSS terkonfirmasi steril
Listeria monocytogenes Ampicillin ATAU Penicillin G Meropenem
Eschericia coli & Enterobacteriaceae Ceftriaxone ATAU Cefotaxime Meropenem
Pseudomonas aeruginosa Cefepime ATAU Ceftazidime Meropenem
Staphylococcus aureus
Methicillin susceptible Nafcillin ATAU oxacillin Vancomycin ATAU
meropenem
Methicillin resistance Vancomycin Linezolid
Staphylococcus epidermidis Vancomycin Linezolid
Enterococcus spesies
Ampicillin susceptible Ampicillin DAN gentamycin -
Ampicillin resistant Vancomycin DAN gentamycin -
Amphicillin & vancomycin resistant Linezolid -
Other organisms ** Konsul kepada ahli infeksi tropis
28
mempengaruhi mortalitas dan tidak berhubungan dengan peningkatan efek
samping steroid. Tetapi belum banyak informasi mengenai penggunaan steroid
pada bayi <3 bulan yang menunjukkan gejala sepsis. 24,25,26
8. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh meningitis bakterial,
antara lain : 27
1. Neurologis
Perubahan status mental
Edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
Kejang onset akut
Hidrosefalus
Efusi subdural
Hemiparesis atau quadriparesis
Epilepsi
Kelainan serebrovaskular
Gangguan perkembangan
Defisit intelektual
2. Sistemik
Demam berkepanjangan
Efusi perikardial
Hiponatremia
Perdarahan adrenal bilateral
3.1.9. Prognosis
Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan
pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan
penyulit seperti hidrosefalus, gangguan mental, yang dapat muncul selama
perawatan. Bila meningoensefalitis (tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya
jelek sekali. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Angka
29
kematian pada umumnya 50%. Prognosisnya jelek pada bayi dan orang tua.
Prognosis juga tergantung pada umur dan penyebab yang mendasari, antibiotik
yang diberikan, hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya gejala atau sakit
sebelum dirawat. Tingkat kematian virus mencakup 40- 75% untuk herpes
simpleks, 10-20% untuk campak, dan 1% untuk parotitis.
3.2.2. Etiologi
Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia
adalah sebagai berikut : 29
a. Infeksi : bakteri, virus, parasite, jamur
b. Intoleransi: karbohidrat
c. Malabsorpsi: karbohidrat, lemak, protein
d. Keracunan makanan
e. Zat kimia beracun
f. Toksin mikroorganisme: Clostridium perfringens, Staphylococcus aureus
g. Imunodefisiensi
3.2.3. Patofisiologi
Diare terjadi karena adanya gangguan proses absorpsi dan sekresi cairan
serta elektrolit di dalam saluran cerna. Pada keadaan normal, usus halus akan
mengabsorbsi Na+, Cl-, HCO3-. Timbulnya penurunan dalam absorpsi dan
peningkatan sekresi mengakibatkan cairan berlebihan melebihi kapasitas kolon
30
dalam mengabsorpsi. Mekanisme ini sangat dipengaruhi oleh faktor mukosa
maupun faktor intra luminal saluran cerna. 30
3.2.5. Diagnosis
3.2.5.1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan pada anamnesis anak atau bayi dengan BAB cair :
31,32
a. Lama diare, frekuensi, volume, konsistensi feses, warna, bau, ada atau tidak
ada lendir maupun darah.
b. Bila disertai dengan muntah: volume dan frekuensi
c. Jumlah atau frekuensi buang air kecil
d. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare
e. Gejala lain seperti panas badan, kejang atau penyakit lain yang menyertai
seperti batuk, pilek, dan campak
f. Tindakan yang sudah dilakukan: pemberian oralit, riwayat pengobatan
sebelumnya, dan riwayat imunisasi.
31
Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel Letargi, penurunan kesadaran
Mata Normal Cekung Cekung
Air Mata Basah Kering Sangat kering
Mulut Basah Kering Sangat kering
Rasa haus Normal Tampak haus Tidak mau minum
Kulit Turgor cepat Turgor lambat Turgor sangat lambat
UUB Normal Sedikit cekung Cekung
3.2.6. Tatalaksana
Penggantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam
terapi efektif diare akut. Beratnya dehidrasi secara akurat dinilai berdasarkan
berat badan yang hilang sebagai persentasi kehilangan total berat badan
dibandingkan berat badan sebelumnya sebagai baku emas. 32,33
a. Tanpa dehidrasi
b. Rehidrasi ringan-sedang
c. Rehidrasi pada dehidrasi berat
3.2.7. Prognosis
32
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan
terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius sangat baik
dengan morbiditas dan mortalitas minimal. 33
33
BAB IV
PEMBAHASAN
Telah dilaporkan anak laki-laki berusia 4 tahun dengan berat badan 18,9 kg
datang ke IGD RSUD dr.Doris Sylvanus pada tanggal 20 Maret 2021 dengan
diagnosis meningoensefalitis akut dan diare akut. Diagnosis ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada saat
dilakukannya pemeriksaan pasien sudah menjalani perawatan hari kedua di
Rumah Sakit dr. Dorys Sylvanus Palangka Raya di ruang perawatan bangsal anak
Flamboyan.
Berdasarkan alloanamnesa, keluarga pasien mengeluhkan pasien dengan
kejang yang tidak disertai oleh demam. Kejang merupakan gejala yang timbul dari
efek langsung atau tidak langsung dari penyakit sistem saraf pusat (SSP). Kejang
didefinisikan sebagai perubahan sementara dalam keadaan atau tanda – tanda lain
atau gejala yang dapat disebabkan oleh disfungsi otak. Disfungsi otak tersebut
dapat disertai dengan motorik, sensorik dan gangguan otonom tergantung pada
daerah otak yang terlibat baik organ itu sendiri atau pun penyebaran ke organ
yang lain. Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang
demam, hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis,
ketidakseimbangan elektrolit, dan overdosis obat. 34,35
Kejang pada pasien ini disebabkan oleh adanya infeksi selaput otak karena
pada anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang didapatkan
demam sebelum kejang, yang membaik setelah diberikan paracetamol. Kaku
kuduk juga ditemukan pada pasien.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan CT Scan, dengan hasil terdapat lesi
hipodens yang mendesak ventrikel, dan edem pada cerebri. Hal ini dapat
menunjukkan bahwa pasien ini mengalami meningitis bakterial, dimana hal ini
sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pada meningitis bakterial terdapat
ventrikel yang mengecil disertai edema otak, atau ventrikel yang membesar akibat
obstruksi cairan serebrospinalis. 18
34
Pada pasien ini diberikan tatalakana berupa Ampicilin, Kloramfenikol,
Dexametason, Fenobarbital, dan IVFD D5 ½ NS. Hal ini sudah sesuai dengan
teori, dimana bakteri penyebab umum meningitis bakteri pada anak yang berusia
>3 bulan adalah S. pneumonia; N. meningitidis; H. influenzae. Rekomendasi
terapi untuk bakteri-bakteri tersebut adalah penicillin G atau ampicillin.
Sedangkan untuk terapi alternatifnya dapat diberikan cefotaxime, ceftriaxone, dan
kloramfenikol. 14,23
Pemberian deksametason sebelum memulai terapi antibiotika
direkomendasikan pada meningitis bakteri akut. Pemberian steroid sebelum
pemberian antibiotika pada anak menurunkan risiko gangguan pendengaran dan
gejala sisa neurologis. 24
Fenobarbital merupakan terapi rumatan pada anak kejang. Pemberian
fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah
menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang. 36
D5 ½ NS diberikan karena mengandung komposisi aktif seperti Dextrose
Anhydrous dan Sodium Chloride, diindikasikan untuk perawatan cairan dan
nutrisi pengganti, kadar natrium yang rendah, kadar kalium rendah, kadar
magnesium yang rendah, kadar kalsium yang rendah, darah dan kehilangan cairan.
37
Pada pasien ini didapatkan kadar natrium dan kalium yang rendah
sehingga untuk memperbaiki hal tersebut diberikan IVFD D5 ½ NS. Apabila tidak
diperbaiki dan kadar natrium < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi,
gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika
kadar natrium < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Penyebab dari
hiponatremia sendiri antara lain adalah euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik),
hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika),
dan hipervolemia (sirosis, nefrosis). 37,38
Pasien juga mengalami BAB cair sejak 2 hari SMRS. Dalam sehari pasien
dapat BAB cair sebanyak 4 kali, dengan jumlah kira-kira seperempat gelas. BAB
berbentuk encer masih berampas, berwarna kuning, tidak berlendir, dan tidak
35
disertai darah. Keluhan tidak disertai muntah. Menurut ibu pasien tidak ada
pergantian susu pada pasien.
Berdasarkan literatur diare akut adalah buang air besar (BAB) pada bayi
atau anak dengan konsistensi yang lebih lunak atau cair dengan atau tanpa lendir
dan darah yang terjadi dengan frekuensi ≥3× dalam 24 jam dan berlangsung
dalam waktu <14 hari. Diare terjadi karena adanya gangguan proses absorpsi dan
sekresi cairan serta elektrolit di dalam saluran cerna. Pada keadaan normal, usus
halus akan mengabsorbsi Na+, Cl-, HCO3-. Timbulnya penurunan dalam absorpsi
dan peningkatan sekresi mengakibatkan cairan berlebihan melebihi kapasitas
kolon dalam mengabsorpsi. Mekanisme ini sangat dipengaruhi oleh faktor
mukosa maupun faktor intra luminal saluran cerna. 23
Pada pasien ini diare timbul dengan frekuensi 4 x dalam 24 jam, konsistensi
cair, berwarna kuning. Pasien tidak mengalami muntah dan tidak ada kehilangan
selera makan dan minum. Diketahui juga berdasarkan riwayat sosial pasien dan
keluarga, parit-parit/selokan air berada didepan rumah. Ibu setiap hari
membersihkan rumah, sebelum dan sesudah menyiapkan makanan, ibu terkadang
lupa mencuci tangan namun ibu selalu mencuci peralatan yang dipakai memasak
dan makan serta keluarga menggunakan air Hitachi. Air untuk MCK dari Hitachi.
Hal ini menunjukkan kurangnya kebersihan pada lingkungan sosial pasien yang
dapat memicu terjadinya diare.
Pada pemeriksaan fisik status generalisata tidak didapatkan tanda-tanda
dehidrasi. Berdasarkan literatur dehidrasi adalah kurangnya cairan di dalam tubuh
karena jumlah yang keluar lebih besar dari pada jumlah yang masuk. Jika tubuh
kehilangan banyak cairan, maka tubuh akan mengalami dehidrasi. Kehilangan air
dan elektrolit akan semakin bertambah jika ada muntah dan kehilangan air juga
meningkat bila ada panas hal ini dapat terjadi dehidrasi. Pada pasien ini
didapatkan mata tidak cekung, produksi air mata cukup, mukosa mulut dan lidah
basah, dan turgor kembali cepat. 33,39
Menurut hasil pemeriksaan pasien ini mengalami diare akut tanpa dehidrasi.
Untuk terapi diare pada pasien ini tidak diberikan oralit dan zinc, sehingga terapi
pada pasien dengan diare akut tanpa dehidrasi ini tidak sesuai dengan teori. 36
36
Prognosis pada pasien didasarkan pada respon pengobatan, respon serta
sosial lingkungan pasien. Pada saat pengobatan respon pasien ini baik dan
menunjukkan tanda perbaikan dari keluhan utama dan tidak adanya manifestasi
klinis lain yang berat. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kejadian ini
dapat terulang kembali jika pasien dan keluarga pasien tidak memperhatikan
asupan gizi dan lingkungan anak. Perlu adanya edukasi terkait hidup sehat dan
bersih. Dan dilakukan tindak lanjut baik dirumah sakit maupun pada saat pasien
dipulangkan.
37
BAB V
KESIMPULAN
38
DAFTAR PUSTAKA
39
16. David M. B. 2010. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of
Meningitis. Am Fam Phys: 15:82 (!2):1491-1498
17. Ginsbrg, L. 2007. Lecture Notees Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga
18. Rodrigo, Hasbun. 2015. Meningitis. www.emedicine.medscape.com
(diakses 24 April 2021)
19. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. 2006. Badan Penerbit IDAI.
20. WilfertC and Hotez P. Tetanus (Lockjaw) and Neonatal Tetanus. In:
Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugman’s Infectious
Diseases of Children. Edisi ke-11. Philadelphia: Mosby, 2004. h 655-62.
21. Winn HR. Brain abscess. In: Tunkel AR, Scheld WM, editors. Youmans
and Winn Neurological Surgery. 7th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2017. p. e187-97.
22. Sivanandan S, Soraisham AS, Swarnam K.Choice and duration of
antimicrobial therapy for neonatal sepsis and meningitis. International
Journal of Pediatrics. 2011;1-9
23. Le Saux N. Guidelines for the management of suspected and confirmed
bacterial meningitis in Canadian children older than one month of age.
Pediatr Child health. 2014;19:141-6.
24. NSW Ministry of Health. Sydney: Infants and children: acute management
of bacterial meningitis: Clinical Practice Guideline; 2014
25. Brouwer MC, Tunkel AR, Van de Beek D. Epidemiology, diagnosis, and
antimicrobial treatment of acute bacterial meningitis. Clin Microbiol Rev.
2010;23:467.
26. Devlin CA, Byars II DV. Meningitis: current evidence and best practice.
Norfolk: Emergency Medicine; 2011
27. Siddiqui, Emad uddin. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis.
Aga Khan University Hospital. Pakistan. 2014.
28. M. Aden Architobias. 2016. Diare Akut dengan dehidrasi Ringan Sedang
dan Hipokalemia. J Med ula Unila. Volume 4 Nomor 3. 2016.
40
29. Marcdante, J. Karen. Kliegman, Robert. Jenson, Hal B. Behrman, Richard
E. 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi Keenam. Bahasa
Indonesia diterjemahkan oleh IDAI. Singapore: Elsevier
30. Antonius H. Pudjiadi. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia ed I.
31. Antonius H. Pudjiadi. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia ed II.
32. Hasri Salwan S.d. 20114. Kadar Natrium dan Kalium Plasma Berdasarkan
Status Nutrisi Sebelum dan Sesudah Rehidrasi pada Kasus Diare. Sari
Pediatri ,Vol 9 No.6. 2014.
33. Jeannete I.Ch. Manoppo. 2011. Profil Diare Akut dengan Dehidrasi Berat
di Ruang Perawatan Intensif Anak. Sari Pediatri, Vol. 12 No.3.2011.
34. Goldenberg, M.M. Overview of Drugs Used for epilepsy and Seizures. P
& T. 2010, 36:7
35. French, J.a. Pedley, T. A. Initial Management of Epilepsy. The new
England Journal of Medicine. 2008.
36. Lumbantobing SM. Kejang demam. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI,
1995;1–52.
37. Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders.
Dalam Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th
ed. Philadelphia: Elsevier Inc. 2013; 18: h.216 – 230.
38. Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam
Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2010. 6 (5) :
h.272 – 98.
39. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. 2012 Jilid 1. Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI).
41
LAMPIRAN PERTANYAAN
42
Ensefalitis
Ensefalitis adalah radang pada jaringan otak. Ensefalitis dapat ditandai
demam, kejang, perubahan sikap, kebingungan dan disorientasi, dan tanda
neurologis berdasarkan bagian otak yang terdapat proses ensefalitik.
Sumber :
1. Elzouki, A. Y., et al. 2012. Textbook of Clinical Pediatrics. Springer:
Berlin
2. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2015. Meningitis
and Encephalitis.
3. Ginsbrg, L. 2007. Lecture Notees Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga
Pada pasien ini didapatkan tanda-tanda seperti keadaan umum tampak rewel,
mata tidak cekung, air mata basah, mulut basah, tidak ada rasa haus, tugor
kulit kembali cepat, UUB normal. Karena itu pasien ini didiagnosa diare
tanpa dehidrasi menurut WHO.
Sumber : Antonius H. Pudjiadi. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia ed II.
43
Pertanyaan dr. Arieta Rachmawati Kawengian, Sp.A
1. Apa saja anamnesis pada kejang?
Jawaban :
1) Sejak kapan kejang berlangsung?
2) Apakah pernah mengalami kejang sebelumnya?
3) Apakah kejang di bagian tubuh tertentu atau seluruhnya?
4) Bagaimana frekuensi dan lamanya kejang?
5) Bagaimana kesadaran pasien saat kejang?
6) Apakah disertai hipersaliva saat kejang?
7) Apakah kejang saat aktivitas atau saat sedang istirahat?
8) Apakah kejang pada saat pasien dalam keadaan demam atau tidak?
2. Apa dasar diagnosa meningoensefalitis pada kasus?
Jawaban :
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukannya demam, tanda rangsang
meningeal berupa kaku kuduk, dan kejang umum. Pada pemeriksaan
penunjang, yaitu CT Scan ditemukannya lesi hipodens yang mendesak
ventrikel, dan edem pada serebri. Hasil dari CT Scan ini menunjang diagnosis
dari meningitis bakterial.
Sumber : Rodrigo, Hasbun. 2015. Meningitis.
www.emedicine.medscape.com
3. Apa saja pemeriksaan rangsang meningeal lain selain kaku kuduk?
Jawaban :
Pemeriksaan rangsang meningeal yang dapat dilakukan berupa :
1) Pemeriksaan Lasegue
Lasegue positif dapat ditemukan pada rangsang selaput otak, isialgia
dan iritasi pleksus lumbosakral.
2) Pemeriksaan Kernig
Lasegue positif dapat ditemukan pada rangsang selaput otak, isialgia
dan iritasi pleksus lumbosakral.
3) Pemeriksaan Brudzinski I
4) Pemeriksaan Brudzinski II
44
Sumber : Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan
Mental. Jakarta. Balai penerbit FKUI. 2008. p18-20.
4. Apa perbedaan UMN dan LMN?
Jawaban :
Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal
dari korteks motorik serebri atau batang otak yang seluruhnya dengan serat
saraf-sarafnya ada di dalam sistem saraf pusat.
Lower motor neuron (LMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari
sistem saraf pusat tetapi serat-serat sarafnya keluar dari sistem saraf pusat dan
membentuk sistem saraf tepi dan berakhir di otot rangka. Gangguan fungsi
UMN maupun LMN menyebabkan kelumpuhan otot rangka, tetapi sifat
kelumpuhan UMN berbeda dengan sifat kelumpuhan UMN. Kerusakan LMN
menimbulkan kelumpuhan otot yang 'lemas', ketegangan otot (tonus) rendah
dan sukar untuk merangsang refleks otot rangka (hiporefleksia). Pada
kerusakan UMN, otot lumpuh (paralisa/paresa) dan kaku (rigid), ketegangan
otot tinggi (hipertonus) dan mudah ditimbulkan refleks otot rangka
(hiperrefleksia).
Sumber : Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victors’s Principles of
Neurology Nine Edition. Mc Graw Hill Inc. New York. ISBN : 978-0-07-
149992-7.
5. Hasil pemeriksaan elektrolit ditemukan adanya Hiponatremia dan
Hipokalemia?
Jawaban :
Pada pasien ditemukan adanya penurunan kadar natrium dengan hasil 129,
dan penurunan kalium dengan hasil 3,2. Tetapi penurunan hasil ini tidak
signifikan untuk dapat menyebabkan kejang pada pasien. Menurut teori,
penurunan kadar natrium < 120 mg/L baru akan menimbulkan gejala
disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan,
sedangkan jika kadar natrium < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang,
koma. Penyebab dari hiponatremia sendiri antara lain adalah euvolemia
45
(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare,
muntah, third space losses, diuretika), dan hipervolemia (sirosis, nefrosis).
Sumber : Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit.
Dalam Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2010. 6
(5) : h.272 – 98.
6. Apa saja diagnosis banding pada kasus?
Jawaban :
Diagnosis banding kejang pada kasus :
1) Kejang demam
Merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh,
yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium, tanpa adanya
infeksi SSP maupun kelainan saraf lainnya.
2) Tetanus
Tetanus atau lockjaw merupakan suatu penyakit syaraf yang
mempunyai manifestasi paralisis spastis akut yang disebabkan oleh
toksin tetanus, suatu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani, bakteri gram posistif yang motil, membentuk spora, anaerob,
yang hidup pada tanah dan saluran cerna berbagai hewan dan
manusia. Terdapat riwayat luka yang tidak dibersihkan dengan baik,
atau riwayat gigitan hewan.
3) Abses otak
Abses otak adalah infeksi lokal intrakranial yang dimulai dengan fase
cerebritis dan berkembang menjadi kumpulan nanah yang dikelilingi
oleh kapsul. Abses otak dapat disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme seperti bakteri, fungi, dan parasit. Gejala awal pada
pasien dengan abses otak adalah sakit kepala, demam, defisit
neurologis, status mental alert, kejang, mual dan muntah, kaku kuduk,
dan papilledema.
46
Sumber :
1) Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. 2006. Badan Penerbit
IDAI.
2) WilfertC and Hotez P. Tetanus (Lockjaw) and Neonatal Tetanus. In:
Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugman’s Infectious
Diseases of Children. Edisi ke-11. Philadelphia: Mosby, 2004. h 655-
62.
3) Winn HR. Brain abscess. In: Tunkel AR, Scheld WM, editors.
Youmans and Winn Neurological Surgery. 7th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2017. p. e187-97.
7. Pada CT Scan didapatkan lesi hipodens yang mendesak ventrikel, apa
artinya?
Jawaban :
Pada CT Scan didapatkan lesi hipodens yang mendesak ventrikel, serta
terdapat edem pada serebri. Hal ini dapat mengarah ke diagnosa meningitis
bakterial, karena menurut teori pada meningitis bakterial terdapat ventrikel
yang mengecil disertai dengan edema otak, atau ventrikel yang membesar
akibat obstruksi cairan serebrospinalis.
Sumber : Rodrigo, Hasbun. 2015. Meningitis.
www.emedicine.medscape.com
8. Apa follow up lanjut pada pasien meningoensefalitis?
Jawaban :
Komplikasi pada meningoensefalitis dapat berupa gangguan pertumbuhan
pada anak, timbulnya kejang berulang, serta gangguan penglihatan dan
pendengaran. Maka dari itu pasien yang sebelumnya didiagnosis
meningoensefalitis disarankan melakukan kontrol rutin ke dokter spesialis
anak untuk mendeteksi apakah terjadi gangguan perkembangan atau tidak.
Pasien juga disarankan kontrol/pergi ke dokter spesialis mata ataupun THT
karena salah satu komplikasi pada meningoensefalitis dapat ditemukan
gangguan penglihatan dan pendengaran.
47
Sumber : Siddiqui, Emad uddin. Neurologic Complications of Bacterial
Meningitis. Aga Khan University Hospital. Pakistan. 2014.
48
Sumber : Guyton, A C. 2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit.
EGC : Jakarta
2. Apakah meningoensefalitis dan diare pada kasus merupakan masalah yang
berbeda atau sama?
Jawaban :
Diare pada pasien terjadi selama 2 hari sebelum terjadinya kejang. Menurut
teori, diare terjadi akibat peningkatan hilangnya cairan dan elektrolit
(natrium, kalium, dan bikarbonat) yang terkandung dalam tinja cair anak.
Pada pasien terjadi penurunan kadar natrium sebesar 129, dan penurunan
kalium dengan sebesar 3,2. Tetapi penurunan hasil ini tidak signifikan untuk
dapat menyebabkan kejang pada pasien. Menurut teori, penurunan kadar
natrium < 120 mg/L baru akan menimbulkan gejala disorientasi, gangguan
mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar
natrium < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma.
Jadi meningoensefalitis dan diare pada pasien merupakan dua masalah yang
berbeda.
Sumber : Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit.
Dalam Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2010. 6
(5) : h.272 – 98.
49