Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Herpes Zoster Otikus atau Sindrom Ramsay Hunt (SRH) merupakan salah
satu komplikasi dari herpes zoster, yang umumnya terjadi pada pasien dengan
imunokompromised. SRH pertama kali dijelaskan tahun 1907 oleh James Ramsay
Hunt. SRH disebut juga herpes zoster otikus yang mengenai nervus kranialis VII
dan atau VIII, IX, X akibat infeksi pada ganglion genikulatum oleh human herpes
virus atau varicella–zoster virus (VZV).
Herpes Zoster Otikus dipublikasikan pertama kali pada tahun 1907 oleh
James Ramsay Hunt pada pasien yang menderita otalgia disertai dengan rash pada
kulit dan mukosa yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster (VVZ) pada
ganglion genikulatum.
Herpes Zoster Otikus diperkirakan terjadi sekitar 16% dari seluruh kasus
paresis fasial unilateral pada anak dan 18% pada dewasa. Herpes Zoster Otikus
jarang didapatkan pada anak kurang dari usia enam tahun dan diduga merupakan
penyebab dari sekitar 20% dari kasus yang secara klinis didiagnosis sebagai Bell’s
palsy, sehingga merupakan penyebab tersering kedua pada paresis fasialis setelah
Bell’s palsy. Infeksi VVZ dapat lebih tinggi terjadi pada populasi umum terutama
pada individu dengan HIV.
Jumlah penderita penyakit ini sekitar 10-15% dari seluruh kasus paralisis
fasialis akut. Sekitar 10-22% penderita yang mengalami paralisis fasialis dapat
sembuh sempurna, sedangkan sebesar 66% pada penderita paralisis inkomplit.
Proses degenerasinya berlangsung lambat, bisa lebih dari 3 minggu. Ketika terjadi
degenerasi total,proses regenerasi membutuhkan waktu 3-6 bulan dan sangat
jarang menimbulkan kematian.
Herpes zoster otikus dapat muncul di sepanjang tahun karena tidak
dipengaruhi oleh perubahan musim dan angka kejadiannya tersebar merata di
seluruh dunia. Di Amerika, prevalensi penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun,
di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1% setahun.2

1
Tanda dan gejalanya meliputi vesikel pada kanalis aurikularis eksternal,
otalgia dan kelumpuhan wajah ipsilateral (bell's palsy). Gejala lain yang sering
terjadi adalah tinnitus, gangguan pendengaran, vertigo dan nistagmus. Hal ini
dapat terjadi pada semua kelompok usia. Prevalensi pria dan wanita sama. Herpes
zoster otikus dapat disertai dengan wajah yang kebas, nyeri kepala, dan gangguan
pendengaran jika mengenai nervus trigeminus dan nervus vestibulokoklearis.
Hampir 90% pasien akan mengalami nyeri hebat pada daerah telinga, dan di awali
dengan periode prodormal. 3
Gejala prodromal yang ditimbulkan adalah munculnya vesikel-vesikel
yang terjadi karena reaktivasi virus pada daerah dermatom tempat virus tersebut
bersembunyi selama masa latennya. Selain timbulnya sekelompok vesikel, dapat
pula timbul rasa nyeri yang cukup hebat pada daerah telinga (otalgia) dengan
parasthesia di kulit telinga tersebut. Apabila infeksinya sudah mencapai N VII dan
VIII (Ramsay Hunt syndrome) maka dapat terjadi paralisis fasial dan gangguan
pendengaran serta keseimbangan.3
Penegakan diagnosis herpes zooster otikus harus dilakukan dengan cepat
dan dilanjutkan dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Selain pemberian
obat untuk mengurangi keluhannya (symptomatic therapy), pemberian antivirus
sistemik juga sangat dianjurkan pemberiannya sesegera mungkin setelah tegaknya
diagnosis sehingga dapat menghindarkan penderita dari komplikasi yang dapat
terjadi.3 Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang akurat pada pasien dengan
Sindrom Ramsay Hunt dapat mempercepat pemulihan dan mencegah komplikasi
seperti infeksi sekunder, keterbatasan pergerakan nervus motorik, paresis pada
bagian mata, wajah, diafragma dan kandung kemih serta neuralgia paska
herpetika. Tujuan terapi untuk mengurangi penyebaran dan lama penyakit,
mengurangi rasa nyeri dan mencegah komplikasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga4

Gambar 2.1 Anatomi Telinga

2.1.1. Telinga Luar (Daun Telinga)

Daun telinga terdiri dari :

 Heliks, Crus heliks


 Antheliks,Crura antheliks
 Tragus, anti tragus, interragic nocth
 Cavum concha, cymbaconcha
 Fossa triangularis
 Fossa schapoidea

3
 Tuberkulum darwin
 Lobulus

Gambar 2.2 Anatomi Telinga Luar

2.1.2. Telinga Tengah

Telingah tengah terdiri dari :

 Lateral : MembranTimpani
 Medial : foramen ovale
 Anterior : Tuba eusthachius
 Posterior : aditus ad antrum
 Superior : tegmen timpani
 Inferior : vena jugularis
2.1.3. Telinga Tengah (Labirin)

Telinga tengah terdiri dari :

Gambar 2.3 Anatomi Telinga Tengah

 Labirin bagian tulang yaitu :


o Kanalis semisirkularis : kanalis semisirkularis superior,
posterior, dan lateral
o Vestibulum
o Koklea : Koklea berbentuk rumah siput dengan melingkar 2 ½
– 2 ¾ kali putaran.
o Labirin bagian membran : terletak di dalam labirin bagian
tulang terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus dan
koklea.
2.1.4. Persarafan Telinga Luar

Daun telinga dipersarafi oleh 5 persarafan, yaitu :

 Saraf aurikular mayor (C2,3), mempersarafi hampir seluruh


permukaan medial dan bagian belakang dari permukaan lateral.
 Saraf oksipital minor (C2), mempersarafi bagian atas dari permukaan
medial.
 Saraf aurikulo temporal (N V), mempersarafi tragus, heliks dan daerah
sekitar heliks.
 Percabangan aurikular saraf vagus (N X), juga disebut saraf Arnold’s,
mempersarafi konka dan sekitarnya.
 Saraf fasialis (N VII), yang distribusi percabangannya bersamaan
dengan percabangan aurikular saraf vagus, mempersarafi konka dan
sulkus retroaurikular.

2.1.5. Persarafan Liang Telinga

 Dinding atas dan depan dipersarafi saraf aurikulo temporal (N V).


 Dinding bawah dan belakang dipersarafi percabangan aurikular dari
saraf vagus (N X).
 Dinding belakang liang telinga juga dipersarafi oleh cabang sensoris
saraf VII melalui percabangan aurikular saraf vagus.

2.1.6. Persarafan Telinga Tengah

 Promontorium berisi pleksus timpani (pleksus Jacobson). Cabang saraf


glosofaringeus dari ganglion petrosa di bawah telinga.
 Pleksus timpani menerima serabut simpatis dari pleksus karotis
melalui cabang-cabang karotikotimpani superior dan inferior.
 Korda timpani memasuki telinga tengah tepat di bawah pinggir
posterosuperior sulkus timpani dan berjalan ke arah depan lateral ke
prosesus longus inkus dan kemudian di bagian bawah leher maleus
tepat di atas perlekatan tendon tensor timpani menuju ligamentum
maleus anterior, saraf ini keluar melalui fisura petrotimpani.

2.1.7.Segmen Saraf Fasialis4,5

Gambar 2.4 Segmen Saraf Fasialis

Gambar 5. Saraf kranial serta Struktur Telinga Dalam


Saraf kranial serta struktur telinga dalam :
1. Nervus vestivularis
2. Nervus cochlearis
3. Nervus intermediofacialis
4. Ganglion geniculi
5. Chorda tympani
6. Cochlea
7. Ductus semicirculares
8. Malleus
9. Membrana tympani
10. Tuba auditiva

Nervus fasialis sebenarnya hanya terdiri dari serabut motorik, tetapi


dalam perjalanannya ke tepi akan bergabung nervus intermedius yang
tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut
sensorik khusus yang menghantarkan impuls pengecapan 2/3 bagian depan
lidah ke nukleus traktus solitarius.
Inti motorik nervus fasialis terletak dibagian ventrolateral tegmentum
pontis bagian kaudal. Inti dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu
kelompok dorsal dan ventral. Kelompok dorsal inti nervus fasialis mensarafi
otot-otot frontalis, zygomatikus, belahan atas orbikularis okuli dan bagian
atas otot wajah. Inti ini mempunyai inervasi kortikal secara bilateral.

Kelompok ventral inti nervus fasialis mempersarafi otot-otot belahan bawah


orbikularis okuli, otot wajah bagian bawah dan platisma. Inti ini mempunyai
hubungan hanya dengan korteks motorik sisi kontralateral.
Akar nervus fasialis menuju ke dorsomedial dahulu, kemudian
melingkari inti nervus abdusens dan setelah itu baru membelok ke
ventrolateral kembali untuk meninggalkan permukaan lateral pons. Disitu
akan berdampingan dengan nervus oktavus dan nervus intermedius.
Ketiganya masuk ke dalam liang os petrosum melalui meatus akustikus
internus. Nervus fasialis keluar dari os petrosum kembali dan tiba di kavum
timpani. Kemudian turun, sedikit membelok ke belakang dan keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideum. Pada saat nervus fasialis
turun ke bawah dan membelok ke belakang di kavum timpani akan
tergabung dengan ganglion genikulatum yang merupakan sel induk dari
serabut penghantar impuls pengecap yang dinamakan korda timpani. Juluran
sel-sel tersebut yang menuju ke batang otak adalah nervus intermedius.
Disamping itu ganglion tersebut memberikan cabang-cabang kepada
ganglion otikum dan sfenopalatinum yang menghantarkan impuls
sekretomotorik untuk kelenjar lendir. Liang os petrosum yang mengandung
nervus fasialis dinamakan akuaduktus Falopii atau kanalis fasialis. Disitu
nervus fasialis memberikan cabang untuk muskulus stapedius dan lebih jauh
sedikit akan menerima serabut-serabut korda timpani. Berkas saraf ini
menuju ke tepi atas gendang telinga dan membelok ke depan.
Melalui kanalikulus anterior ia keluar dari tengkorak dan tiba di
bawah muskulus pterigoideus eksternus. Di situ korda timpani
menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari
nervus mandibularis. Korda timpani menghantarkan impuls pengecap dari
2/3 bagian depan lidah. Sebagian saraf motorik mutlak nervus fasialis keluar
dari foramen stilomastoideum dan memberikan cabang-cabang kepada otot
stilohioid dan venter posterior muskulus digastrikus dan otot oksipitalis.
Pangkal sisanya menuju ke glandula parotis. Di situ ia bercabang-cabang
lagi untuk mensarafi otot wajah dan platisma. Nervus fasialis yang melintasi

jaringan glandula parotis bercabang-cabang lagi untuk mensarafi seluruh


otot wajah.

2.2 Herpes Zoster Otikus


2.2.1 Definisi
Herpes zoster otikus merupakan sindroma yang terdiri dari bulla pada
daun telinga, paralise fasial dan gangguan telinga dalam. Menurut James
Ramsay Hunt, herpes zoster otikus terjadi karena adanya reaktivasi herpes
zoster pada ganglion geniculi nervi fasialis, sejak saat itu herpes zoster
otikus juga dikenal dengan Ramsay Hunt syndrome. Dapat disimpulkan
bahwa herpes zoster otikus adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi
herpetik pada telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan
periaurikula) dan palatum molle, nyeri yang hebat, disertai paralise nervus
fasialis akut, yang disebabkan reaktivasi herpes zoster yang sedang dalam
masa dormansi di ganglion genikuli nervi fasialis5,6.

2.2.2 Epidemiologi
Herpes zoster otikus dapat muncul di sepanjang tahun karena tidak
dipengaruhi oleh perubahan musim dan angka kejadiannya tersebar merata
di seluruh dunia2. Menurut penelitian yang dilakukan di Jerman dan
Australia, wanita memiliki tendensi untuk mengalami herpes zoster otikus
dibandingkan pria, dengan persentasi wanita 68,1% dan pria 31,9%, akan
tetapi wanita memiliki manifestasi dan prognosis yang lebih baik ketimbang
pria7. Angka kesakitan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia
dan pada individu defisit sistem imun, dimana faktor reaktivasi dapat berupa
stress fisik maupun emosional2,7. 2/3 pasien herpes zoster otikus berusia
lebih dari 50 tahun, dan kurang dari 10% berusia kurang dari 20 tahun.
Herpes zoster otikus merupakan penyebab paralise N VII terbanyak setelah
Bell’s palsy (2-10% di seluruh dunia), dan gejala yang ditimbulkan
cenderung lebih parah dari Bell’s palsy sehingga prognosisnya pun lebih
buruk. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6%
setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1%
setahun2.

2.2.3 Etiologi
Varicella Zoster Virus (VZV) merupakan virus penyebab varicella
(chicken pox) dan herpes zoster. VZV tergolong virus berinti DNA yang
linier, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili
alphaherpesviridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi,
penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan
kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VZV tergolong ke dalam
subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel
epitel yang menimbulkan lesi vesikuler. Selanjutnya setelah infeksi primer,
infeksi oleh virus herpes alfa biasanya dapat menetap dalam bentuk laten
didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan
menimbulkan kekambuhan secara periodik2,8.
2.2.4 Patogenesis
Pada tahap awal virus varisela zoster masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas
atas dan mukosa konjungtiva, kemudian bereplikasi pada kelenjar limfe regional. Virus
kemudian  menyebar melalui aliran darah dan bereplikasi di organ dalam. Fokus replikasi
virus terdapat pada sistem retikulo endotelial hati, limpa dan organ lain. Pada saat titer
tinggi, virus dilepaskan kembali ke aliran darah (viremia kedua) dan membentuk vesikel
pada kulit dan mukosa saluran nafas atas. Kemudian berkembang dan menyebar melalui
saraf sensoris dari jaringan kutaneus, menetap pada ganglion serebrospinalis dan
ganglion saraf kranial. Pada saat daya tahan tubuh turun. Virus yang berdiam di dalam
ganglion kranialis dapat reaktivasi dan saat aktif akan menginfeksi persarafan termasuk
saraf fasialis dan vestibulokoklearis. Parese nervus VII timbul akibat reaktivasi virus
varisela zoster yang menetap pada ganglion genikulatum dan proses ini disebut dengan
ganglionitis. Ganglionitis menekan selubung jaringan saraf, sehingga menimbulkan
gejala pada nervus VII. Akibat infeksi langsung virus varicella zoster pada nervus
vestibulokoklearis, maka timbul gejala berkurangnya pendengaran, tinnitus, gangguan
keseimbangan dan keluhan vertigo, karena secara anatomi, letak nervus fasialis sangat
dekat dengan nervus vestibulokoklearis. VZV yang bermigrasi dari ganglion genikulatum
ke kulit sekitar telinga atau ke orofaring melalui serabut saraf sensoris dimana virus
tersebut bereplikasi dan memproduksi zoster. pada Sindrom Ramsay Hunt sering terjadi
keterlibatan nervus kranialis VIII yang menyebabkan tuli sensorineural.
Reaktivasi fase laten virus herpes zoster sebagai penyebab sindrom Ramsay Hunt
dapat dijelaskan dengan adanya aktivasi kutaneus secara simultan karena migrasi virus
secara sentrifugal di saraf sensoris, selain itu didapatkan konsentrasi Gd (Godolinum)
yang meningkat sebagai indikasi inflamasi aktif pada area ganglion genikulatum terlihat
pada fase akut di MRI, dan adanya infiltrasi sel inflamasi di sekeliling ganglion
genikulatum terlihat pada histopatologi tulang temporal. Patogenesis gejala
cochleovestibular pada sindrom Ramsay Hunt terjadi sebagai akibat adanya virus herpes
zoster di mukosa telinga bagian tengah yang dapat menyebabkan virus herpes zoster
menyebar ke labirin malalui pembukaan kanal nervus fasialis. Dengan penyebaran ini,
virus herpes zoster menginfeksi ganglia vestibular dan spiral secara laten dan reaktivasi
akan menyebabkan permasalahan vestibulocochlear. Kejadian tuli sensorineural
yang mendadak atau kasus neuritis vestibular dapat disebabkan oleh reaktivasi VZN9
Gambar 2.6 Patogenesis Herpes Zoster Otikus

2.2.5 Manifestasi Klinis2,10

Setelah terjadinya reaktivasi, herpes zoster otikus dapat


menyerang telinga luar (khususnya konka aurikula), kulit
periaurikular, meatus akustikus eksternus, telinga tengah,
telinga dalam (jika sudah menyerang N VIII), dinding lateral
hidung, palatum molle, anterolateral lidah, dan percabangan N
VII. Sesudah masa inkubasi yang berlangsung 4-20 hari,
muncul gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise,
dan terkadang mual dan muntah. Selanjutnya dapat muncul
erupsi/vesikel di periaurikular, telinga luar, dan meatus
akustikus eksternus. Setelah erupsi/vesikel dan paralisis terjadi,
gejala yang lain mengikuti yaitu hiperakusis, tuli sensorineural,
dan nyeri hebat.

Adapun dari manifestasi klinis yang sering muncul dari


herpes zoster otikus, dapat dikelompokkan menjadi:

 Vesikel/Erupsi

Vesikel dapat muncul sebelum, bersamaan, tau setelah adanya


paralisis nervus fasialis. Vesikel yang pecah akan membentuk
krusta.

 Gejala yang berhubungan dengan N VII


o Paresis ipsilateral
o Paralisis ipsilateral
 Gejala yang berhubungan dengan N VIII
o Tinnitus
o Vertigo
o Tuli sensorineural
o Gangguan keseimbangan
 Gejala lain
o Nyeri hebat pada mata
o Lakrimasi
o Mata tidak bisa menutup
o Gangguan indera pengecap

2.2.6 Diagnosis2,8,9
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
 Anamnesis
Pasien dengan gejala berupa :
o nyeri pada telinga, nyeri pada mata
o rasa tebakar di sekitar telinga, wajah, mulut, dapat juga
terjadi di lidah.
o mual dan muntah dapat terjadi,
o disertai gangguan pendengaran, hiperakusis atau tinitus.
Dari dalam anamnesis riwayat penyakit dahulu bisa didapatkan
ada riwayat terkena penyakit cacar air. Penyakit ini didahului
dengan gejala prodromal berupa nyeri kepala, nyeri telinga, lesu,
demam, sakit kepala, mual dan muntah. Lesi terdapat di telinga
luar dan sekitarnya, kelainan berupa vesikel berkelompok di atas
daerah yang eritema, edema dan disertai rasa nyeri seperti terbakar
pada telinga dan kulit sekitarnya (nyeri radikuler).Gejala yang
biasanya dikeluhkan adalah nyeri telinga paroksismal, ruam pada
telinga atau mulut (80% pada kasus yang ada, ruam bisa menjadi
awal dari adanya paresis), ipsilatereal lower motor neuron paresis
wajah (N. VII), vertigo, ipsilateral ketulian (50% kasus), tinnitus,
sakit kepala, diastrhia, gait ataxia, cervical adenopathy. Nyeri
telinga sering kali nyeri menjalar ke luar telinga sampai ke daun
telinga.Nyeri bersifat konstan, difus, dan tumpul. Nyeri muncul
biasanya beberapa jam sampai beberapa hari setelah muncul ruam.

 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan didapatkan :

o Tampak lesi kulit yang vesikuler pada kulit di daerah


muka, pada liang telinga, konka dan daun telinga.
Gambar 2.7 A) Pasien herpes zoster otikus sebelum
pengobatan, B) kembalinya fungsi motorik secara
keseluruhan setelah pengobatan, C) Lesi vesikel pada meatus
akustikus eksternus

Gambar 2.8 Tanda Klinis penderita Herpes Zoster Otikus

o Bintik-bintik merah juga dapat terlihat pada kulit di


belakang telinga, dinding lateral hidung, palatum molle
dan lidah bagian anterolateral.
o Vertigo,
o Tuli sensorineural
o Parese saraf fasialis menyerupai bells palsy juga dapat ditemukan.
o Gangguan perasa seta ketidakmampuan dalam menutup mata
pada bagian ipsilateral, sehingga pasien akan mengeluhkan
kekeringan pada kornea dan iritasi.

 Pemeriksaan penunjang
o Pemeriksaan laboratorium
o Tes Serologi

o CT scan

o Magnetic Ressonance Imaging (MRI) dengan menggunakan


gadolinium diethylene-triamine pentaacetic acid ( Gd-DTPA).

2.2.7 Tatalaksana8,9
Penanganan awal dengan kombinasi antiviral dan kortikosteroid
dikatakan efektif untuk menangani Sindroma Ramsay Hunt. Kortikosteroid
dapat mengurangi inflamasi dari nervus kranial dan mengurangi nyeri serta
gejala neurologis, sedangkan asiklovir oral digunakan untuk infeksi yang
disebabkan herpes virus seperti virus varisela-zoster. Obat anti viral
merupakan standar terapi lini pertama pada SRH.
Indikasi pemberian kortikosteroid harus sedini mungkin untuk
mencegah terjadinya paralisis. Biasanya 3 x 20 mg sehari, setelah seminggu
dosis diturunkan secara bertahap.
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium
vesikel diberikan bedak salisil 2% dengan tujuan protektif untuk mencegah
pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosive diberikan
kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salep antibiotik.Bila
paralisis fasial menetap lebih dari 60 hari tanpa tanda-tanda perbaikan,
tindakan dekompresi harus dikerjakan. Dalam hal ini dekompresi dikerjakan
pada segmen horizontal dan ganglion genikulatum.
Berikut adalah pilihan terapi yang dapat digunakan untuk
tatalaksana herpes zoster otikus:
 Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dan
vertigo yang terjadi karena adanya inflamasi pada serabut saraf N VII.
Kortikosteroid tidak dianjurkan pada pasien herpes zoster otikus yang
menderita penyakit keganasan atau menjalani kemoterapi, karena dapat
memicu Disseminated Herpes Zoster.
 Antivirus
Pemberian antiviral ini sudah sesuai dengan teori bahwa pemberian
antiviral dengan analog nukleosida seperti asiklovir, famciclovir,
valasiklovir dan analog pirofosfat seperti foscarnet efektif terhadap
VZV. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat sintesis DNA
dengan menghambat polymerase DNA virus. Asiklovir sendiri meski
memiliki efektivitas yang lebih rendah dibanding famsiklovir atau
valasiklovir yang bersifat prodrug sehingga lebih banyak diserap tubuh
dan memiliki efek antiviral lebih banyak ketika diberikan per oral
sehingga frekuensi minum obatnya tidak sebanyak asiklovir.
Dosis yang diberikan:
o Antivirus
- Acyclovir 5x800 mg/hari selama 5-7 hari atau Acyclovir IV 10
mg/kgbb/8 jam selama 7 hari
- Valacyclovir 3x1000 mg/hari selama 7 hari, atau
- Famcyclovir 3x750 mg/hari selama 7 hari diketahui memiliki
efek yang paling baik untuk mengurangi postherpetic neuralgia
(tetapi harus dipantau karena meningkatkan enzim hati)
 Farmakoterapi tambahan
o Analgesik untuk mengurangi nyeri
o Antipruritik untuk gatal
 Tatalaksana infeksi sekunder oleh bakteri
o Biasanya terjadi karena vesikel yang tereskoriasi akibat
garukan
o Gunakan H2O2 untuk membersihkan vesikel/krusta
o Jika terjadi ulserasi, dapat diberikan salep antibiotik,
misalnya salep kloramfenikol.

2.2.8 Diagnosis Banding


Berdasarkan keluhan pasien dan temuan fisik yang beberapa
penyakit dapat dijadikan diagnosis banding untuk SRH, antarala lain
adalah Bell’s Palsy, miringitis bulosa, otitis eksterna, dan trigeminal
neuralgia. Diagnosis banding yang mungkin adalah Bell’s Palsy hal
ini didasarkan pada tampilan klnis yang terdapat kelamahan separuh
otot wajah. Hal yang sangat membedakan adalah adanya ruam pada
SRH.

Miringitis Bullosa memiliki karakteristik gambaran klinis pasien


yaitu tibatiba mengalami sakit telinga yang parah atau otalgia sifatnya
berdenyut. Nyeri biasanya terletak di dalam telinga, tetapi dapat
menyebar ke ujung mastoid, tengkuk, temporomandibula hingga ke
seluruh wajah. Karakteristik pemeriksaan fisik dari miringitis bullosa
adalah adanya bulla pada membran timpani. Bulla yang muncul
paling sering pada sisi posterior atau postero inferior membran
timpani atau pada dinding kanalis posterior. Pada pemeriksaan
pendengaran dapat ditemukan adanya penurunan pendengaran.

Otitis eksterna juga bisa dijadikan diagnosis banding berdasarkan


adanya otalgia, pruritus, keluarnya cairan dan hilangnya pendengaran.
Pada pemeriksaan didapatkan adanya nyeri tekan tragus dan liang
telinga hiperemis dan bengkak.13 Gejala trigeminal neuralgia muncul
secara tiba-tiba, unilateral, nyeri yang berat terasa tertusuk dan rasa
nyeri rekuren sesuai dengan saraf trigeminal tetapi trigeminal
neuralgia tidak menyebabkan adanya deficit nerologis.
2.2.9 Komplikasi7,9
Paralisis berat akan mengakibatkan tidak sempurnanya
kesembuhan dan berpotensi untuk menjadi paralisis fasial yang
permanen. Adakalanya, virus dapat menyebar ke saraf-saraf lain atau
bahkan ke otak dan jaringan saraf dalam tulang punggung,
menyebabkan sakit kepala, sakit punggung, kebingungan, kelesuan,
dan kelemahan. Neuralgia pasca herpetik adalah rasa nyeri yang
timbul pada daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat
berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini
cenderung terjadi pada penderita diatas usia 40 tahun dengan gradasi
nyeri yang bervariasi. Makin tua penderita makin tinggi
persentasenya. Sepertiga kasus diatas usia 60 tahun dikatakan akan
mengalami komplikasi ini, sedang pada usia muda hanya terjadi pada
10 % kasus.

Infeksi sekunder oleh bakteri akan menyebabkan terhambatnya


penyembuhan dan akan meninggalkan bekas sebagai sikatriks.
Vesikel sering menjadi ulkus dan jaringan nekrotik. Paralisis motorik
dapat terjadi pada sebagian kecil penderita (1 – 5 % kasus), terutama
bila virus juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis.
Terjadi biasanya 2 minggu setelah timbulnya erupsi. Berbagai
paralisis dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma batang tubuh,
ekstremitas, vesika urinaria dan anus.

2.2.10 Pencegahan8,10
Pencegahan herpes zoster dapat dilakukan dengan cara
menjaga daya tahan dan kesehatan tubuh dan menjauhkan diri
dari stress. Pencegahan dapat pula ditempuh dengan pemberian
vaksin VZV. Vaksin VZV menginduksi imunitas seluler
spesifik VZV yang berguna untuk perlindungan jangka
panjang terhadap VZV. Imunisasi VZV menugaskan sel T
untuk berproliferasi dan memproduksi limfokin sebagai respon
dari protein IE62 dan glikoprotein virus dan menginduksi sel T
sitotoksik yang dapat melisiskan protein yang diekspresikan
oleh VZV.

2.2.11 Prognosis7,9,10
Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi
sebelum 72 jam setelah onset memberikan hasil yang lebih baik. Pada
infeksi yang lama mungkin dapat terjadi paralisis fasialis yang
permanen. Sejumlah besar pasien akan mengalai penyembuhan
sepenuhnya setelah sebelumnya mengalami paralisis.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Herpes zoster otikus adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik
pada telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan periaurikula) dan palatum
molle, nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, yang disebabkan
reaktivasi herpes zoster yang sedang dalam masa dormansi di ganglion genikuli
nervi fasialis. Penyebabnya adalah Varicella Zoster Virus (VZV).
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Adapun penanganan awal dengan kombinasi antiviral dan
kortikosteroid. Kortikosteroid dapat mengurangi inflamasi dari nervus kranial dan
mengurangi nyeri serta gejala neurologis, sedangkan asiklovir oral digunakan
untuk infeksi yang disebabkan herpes virus seperti virus varisela-zoster. Obat anti
viral merupakan standar terapi lini pertama pada SRH.
Pencegahan herpes zoster dapat dilakukan dengan cara menjaga daya tahan
dan kesehatan tubuh dan menjauhkan diri dari stress serta dengan pemberian
vaksin VZV. Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum
72 jam setelah onset memberikan hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hafil AF, Sosialisman, Helmi. Herpes Zoster Otikus. Dalam : Arsyad E,


Iskandar N, Editor : Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2012:112(6)
2. Sunita, B, Sepahdari, A, Sidell, D. “Paralysis of Cranial Nerve,” dalam Gopen,
Q (Ed.) Fundamental Otology: Pediatric & Adult Practice 1st Edition. Jaypee
Brothers, New Delhi. 2013
3. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose, and Throat & Head and Neck Surgery.
Sixth Edition. Elsevier. 2014
4. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 9. EGC,
Jakarta. 2014.
5. Adam, RD, Victor, M. “Disease of Cranial Nerves,” dalam: Ropper, AH,
Brown, RH (Ed.) Principles of Neurology 8th Edition. McGraw-Hill, New
York (hal 1180-1182).2005
6. Lustig, LR, Niparko, JK. “Disorder of Facial Nerve,” dalam: Lalwani, A (Ed.)
Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology, Head and Neck Surgery
3rd Edition. McGraw-Hill, San Francisco (hal 889-899).2012.
7. Coulson, S, Croxson, GR, Adams, R et al. “Prognostic Factors in Herpes
Zoster Oticus,” Journal of Sydney University. Otolaryngology & Neurotology
Inc., Sydney. Volume 3 Bagian 6 (hal 1025-1027).2012
8. Arvin, AM, Gilden, D. “Varicella Zoster Virus,” dalam: Knipe, DM, Howley,
PM (Ed.) Fields Virology 6th Edition. Lippincott Williamz & Wilkins,
Philadelphia (hal 2038-2052).2013
9. Dameria Sinaga. 2015. Pengobatan Herpes Zoster (Hz) Ophtalimica Dextra
Dalam Jangka Pendek Serta Pencegahan Postherpetic Neuralgia (PHN). Jurnal
Ilmiah Widya. Volume 2 Nomor 3
10. Lustig, LR, Niparko, JK.. “Disorder of Facial Nerve,” dalam: Lalwani, A (Ed.)
Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology, Head and Neck Surgery
3rd Edition. McGraw-Hill, San Francisco (hal 889-899).2012

Anda mungkin juga menyukai