Anda di halaman 1dari 22

BAB II

ANATOMI TELINGA

2.1 Anatomi Telinga

Gambar 2.1 Telinga

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2,5-3 cm.(1)

Gambar 2.2 Telinga Luar


Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjer serumen
(kelenjer keringat) dan rambut. Kelenjer keringat terdapat pada seluruh kulit liang
telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjer serumen.(1)

1
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat obliq terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis
dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam
dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa
mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen
dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler
pada bagian dalam.(1)

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut


sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah
bawah yaitu pada pukul 7 untuk membrane timpani kiri dan pukul 5 untuk
membrane timpani kanan.(1)

Gambar 2.3 Membran Tympani

Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak diantara membran
timpani dan kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot yang terdapat
didalamnya beserta penunjangnya, tuba eustachius dan system sel-sel udara
mastoid.(1)

Telinga tengah berbentuk kubus dengan:(1)


- Batas luar : membran timpani
- Batas depan : tuba eustachius
- Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

2
- Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
- Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
- Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis sermisirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar
(round window) dan promontorium.
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli.(1)
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuli sebelah atas, skala timpani disebelah bawah dan skala media
(duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe,
sedangkan skala media berisi endolimfe. Ion dan garam yang terdapat di dalam
perilimfe berbeda dengan endolimfe. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar
skala vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti.(1)
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membrane tektoria, dan pada membrane basal melekat sel rambut yang terdiri dari
sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ
corti.(1)

Gambar 2.4 Labirin


2.1.1 Persarafan Telinga dan Fisiologi Pendengaran

3
Daun telinga dan telinga luar menerima cabang-cabang sensoris dari cabang
aurikulotemporal saraf ke-5 di bagian depan, di bagian posterior dari nervus
aurikuler mayor dan minor, dan cabang-cabang nervus glosofaringeus dan vagus.
Liang telinga bagian tulang sebelah posterior superior disarafi oleh cabang nervus
fasialis.(2)
a. Nervus fasialis
Saraf kranialis ketujuh berasal dari batang otak, berjalan melalui tulang
temporal, dan berakhir pada otot-otot wajah. Sedikitnya lima cabang utama. Selain
mengurus persarafan otot wajah, saraf kranialis ketujuh juga mengurus lakrimasi,
salivasi, pengaturan impedansi dalam telinga tengah, dan sensasi nyeri, raba, suhu
dan kecap.(3)
Inti saraf ketujuh terletak pada daerah pons. Inti ini mendapat informasi dari
girus presentralis dari kortek motorik yang mengurus persarafan dahi ipsilateral
dan kontralateral. Traktus kortikalis serebrum juga mensarafi belahan kontralateral
bagian wajah lainnya. Nucleus motorik hanya mengurus saraf fasialis ipsilateral.
Saat saraf meninggalkan batang otak, suatu cabang saraf kedelapan yang dikenal
sebagai nervus intermedius memisahkan diri dan bergabung dengan saraf ketujuh
untuk memasuki kanalis akustikus internus. Saraf membelok ke depan dan masuk
ke ganglion genikulatum. Ganglion mengandung badan sel untuk pengecapan
lidah anterior dan untuk sensai raba, nyeri, dan suhu kanalis akustikus internus.
Sejumlah serabut saraf melewati ganglion dan membentuk saraf petrosus
superfisialis mayor (parasimpatis). Saraf ini berjalan sepanjang dasar fosa media
dan masuk ke dalam kanalis pterigoideus. Selanjutnya melintas menuju ganglion
sfenopalatinum dan beranastomosis dengan serabut yang mengurus apparatus
lakrimalis. Serabut-serabut fasialis membuat belokan tajam ke posterior pada
ganglion genikulatum dan berjalan turun lewat segmen labirin menuju segmen
timpani dari saraf. Saraf memasuki segmen timpani dan membuat genu (putaran)
kedua. Di sini, di dekat fenestra ovalis, saraf menjadi terpapar dan dapat diraba
dalam telinga tengah. Saraf berjalan turun dari genu secara vertikal dan
mengeluarkan cabang untuk otot stapedius di bawah tingkat ini, muncul cabang
kedua dan kembali masuk ke dalam telinga sebagai saraf korda timpani. Korda

4
membawa serabut-serabut nyeri, raba, dan suhu, serta pengecapan untuk
duapertiga anterior lidah.(3) Saraf ini juga mengurus salivasi kelenjer
submandibularis. Bagian utama dari saraf fasialis membawa serabutserabut
motorik dan keluar dari foramen stilomastoideum tepat di medial prosessus
mastoideus. Tujuh puluh persen serabut pada tempat ini merupakan serabut
motorik untuk wajah. Selanjutnya saraf membelok ke anterior dan memecah
menjadi lima cabang utama- temporalis, zigomatikus, bukalis, dan servikalis.
Cabang-cabang ini dapat saling beranastomosis satu dengan yang lainnya ketika
saraf melalui kelenjar parotis.(3)

Gambar 2.5 Nervus Fasialis

b. Nervus vestibulokoklearis / nervus oktavus


Saraf otak kedelapan terdiri dari 2 berkas saraf yang menyalurkan dua
macam impuls. Yang pertama ialah, nervus koklearis yang menghantarkan impuls
pendengaran. Dan yang kedua ialah nervus vestibularis yang menyalurkan impuls
keseimbangan.(3)
Alat penangkap rangsang pendengaran dan keseimbangan serabut kedua
bagian nervus oktavus berasal merupakan juga satu bangunan yang terdiri dari dua
bagian. Bangunan tersebut ialah labirin. Ia terdiri dari bagian koklea dan vestibula.
(3)

Baik rangsangan pendengaran maupun rangsang keseimbangan bersifat


gelombang. Gelombang suara diteruskan oleh gendang telinga, tulang maleus,

5
inkus dan stapes melalui fenestra vestibularis ke perilimfe. Perilimfe ini ialah
cairan yang merupakan bantalan bagi labirin membran. Endolimfe ialah cairan
yang terkandung oleh labirin membran. Dengan demikian di bagian koklea
terdapat tiga ruangan. Ruang vestibular atau skala vestibule, ruang koklear atau
duktus koklear, dan ruang timpani atau skala timpani. Dinding diantara ketiga
skala itu dibentuk oleh membran vestibule (Reissner’s membrane) dan membran
basilaris. Gelombang suara membangkitkan goncangan di perilimfe didalam skala
vestibule. Kejadian tersebut menggerakkan membran Reissner yang
membangkitkan timbulnya gelombang di dalam endolimfe. Gelombang ini
merangsang organ korti. Disitu membran tektoria seolah-olah bertindak sebagai
pecut yang menstimulasi sel-sel yang bersambung dengan serabut aferen sel
ganglion spiral. Impuls yang dicetuskan oleh sel-sel tersebut tadi ialah impuls
pendengaran. Suara bernada tinggi sekelompok sel di basis dan yang bernada
rendah di bagian puncak. Serabut eferen ganglion spiral menyusun nervus
koklearis.(3)
Bagian vestibula dari labirin membran terdiri dari kanalis semisirkularis,
utrikulus dan sakulus. Bangunan tersebut mengandung endolimfe juga. Kanalis
semisirkularis berjumlah tiga. Tiap kanalis mempunyai bagian yang
menggembung dan dinamakan ampula. Disitu terdapat sekelompok sel yang
mempunyai juluran-juluran halus. Sel-sel siliaris itu merupakan alat penangkap
rangsang keseimbangan. Sekelompok sel semacam itu juga terdapat di utrikulus
dan sakulus, dan juga merupakan alat penangkap rangsang keseimbangan, atau
makula karena gerakan badan dan kepala timbul akselerasi endolimfe ketiga alat
vestibule itu. Akselerasi angular merangsang makula kanalis semisirkularis.
Gerakan kepala terutama merangsang utrikulus sedangkan vibrasi merangsang
makula sakulus.(3)
Makula bersambung dengan juluran sel yang berkumpul di pangkal makula.
Juluran eferen sel itu menyusun nervus vestibularis. Di dalam meatus akustikus
internus vestibularis menggabungkan diri pada nervus koklearis. Impuls yang
dicetuskan oleh makula dari kanalis semisirkularis menuju ke inti di pons dan dari
situ kemudian dikirim ke inti-inti saraf okular. Impuls yang dicetuskan oleh

6
makula utrikulus dihantarkan ke inti pons juga, tetapi tujuan akhirnya ialah
korteks serebri di bagian belakang girus temporalis. Selain korteks lobus
temporalis dan inti-inti saraf okular, impuls keseimbangan diterima juga oleh
serebelum melalui serabut aferen inti vestibular dan substansia retikularis serta
medulla spinalis. Impuls keseimbangan yang dipancarkan ke serebelum terutama
diproyeksikan kepada lobus flokulonodularis ipsilateral. Dan sel-sel di medulla
spinalis yang menerima impuls dari inti vestibular ialah sel-sel di kornu anterior
terutama di bagian servikal.(3)

Gambar 2.6 Nervus Vestibulokoklearis

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Herpes Zoster Otikus


Herpes zoster otikus adalah infeksi pada telinga bagian dalam, tengah, dan luar
oleh virus herpes zoster. Herpes zoster otikus merupakan salah satu manifestasi
klinis herpes zoster, biasanya sudah terjadi infeksi virus yang lama pada penderita
sehingga sampai terjadi infeksi pada saraf kranial. Disebut juga geniculate
neuralgia atau otalgia, herpes zoster auricularis atau oticus, otic neuralgia, dan
Hunt’s syndrome, disease atau neuralgia. Herpes zoster otikus ditandai dengan
otalgia pada daerah telinga. Ketika berhubungan dengan kelumpuhan wajah, maka
penyakit ini disebut sindrom Ramsay Hunt. Sindrom Ramsay Hunt pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1907 oleh James Ramsay Hunt pada pasien yang
mengalami otalgia dan ruam kulit, yang dianggap berasal dari infeksi virus
varicella zoster (VZV).(1,4,5)

2.3 Epidemiologi
Herpes zoster otikus adalah penyebab 2-10% dari seluruh kasus parese fasialis
yang meliputi 3-12% pada orang dewasa dan ± 5% pada anak-anak. Insidens laki-
laki dan wanita adalah sama. Insiden Herpes zoster otikus ± 5 kasus/100.000
populasi. Penyakit ini merupakan penyakit kedua terbanyak penyebab paralisis
fasial atraumatik dibandingkan dengan Bell’s palsy, herpes zoster otikus onset
paralisisnya lebih berat dan prognosisnya jelek. Penelitian Mayo menemukan
insiden herpes zoster otikus 130 kasus / 100.000 populasi. Penyakit ini meningkat
secara signifikan pada usia lebih dari 60 tahun, 10% dari populasi ini berisiko
karena menurunnya sistem imun yang meliputi karsinoma, trauma, radioterapi
atau kemoterapi. Di RSUP H. Adam Malik Medan, sejak tahun 2008 – oktober
2010 terdapat 15 pasien herpes zoster otikus yaitu 7 wanita dan 8 laki-laki dengan
usia rata-rata di atas 40 tahun.(4)

8
2.4 Etiologi
Virus varicella zoster adalah anggota dari famili herpes viridae yang
berukuran 140-200 mikron, mempunyai struktur yang khas seperti nukleokapsid
yang dikelilingi oleh lemak. Golongan virus ini mempunyai struktur yang sama
dengan DNA virus. Berdasarkan sifat biologinya seperti siklus replikasi, penjamu,
sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan ke dalam 3 subfamilia
yaitu alfa, beta, dan gamma. Virus varicella zoster dalam subfamilia alfa
mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang
menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus
herpes zoster alfa biasanya menetap dalam bentuk laten di dalam neuron dari
ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan
secara periodik. Secara in vitro herpes zoster alfa mempunyai jajaran penjamu
yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim
yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polymerase dan virus
spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang disintesis di dalam sel yang
terinfeksi.(6)

Adapun yang menjadi faktor risiko herpes zoster adalah :(1)


1. Usia lebih dari 50 tahun, infeksi ini sering terjadi pada usia lanjut, disebabkan
oleh daya tahan tubuh melemah. Semakin tua usia penderita herpes, semakin
tinggi pula risiko terserang.
2. Orang yang mengalami penurunan kekebalan (immunocompromised) seperti
HIV dan leukemia
3. Orang dengan terapi radiasi dan kemoterapi
4. Orang dengan transplantasi organ mayor, seperti transplantasi sumsum tulang.

2.5 Patofisiologi
Patofisiologi primer terletak pada ganglion genikulatum nervus fasialis.
Ganglion genikulatum ini mudah terinfeksi oleh virus Varicella zoster. Penyakit
ini disebabkan reaktivasi virus varicella zoster, bertanggung jawab untuk 2 infeksi
klinis utama pada manusia, yaitu varicella (chickenpox) dan herpes zoster. Setelah
infeksi primer (varicella) sembuh, virus varicella zoster menjadi laten tinggal di

9
dalam tubuh penderita selama bertahun-tahun yaitu di dalam dorsal akar ganglion
dari nervus spinalis atau ekstra ganglia medula dari saraf kranialis. Pada 3-5 dari
1000 individu, virus varicella zoster mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi
rekuren yang dikenal dengan nama herpes zoster atau reaktivasi virus
dihubungkan keadaan cell-mediated immune yang menurun, yang dapat
disebabkan oleh bertambahnya usia, proses keganasan, perawatan keganasan
(kemoterapi atau radioterapi), pemakaian obat-obat imunosupresan dan infeksi.(7)
Setelah reaktivasi, virus bermigrasi dari saraf sensoris ke kulit yang
menyebabkan ruam dermatomal yang disertai nyeri berat. Virus yang berdiam di
dalam ganglion kranialis, saat aktif akan menginfeksi persarafan termasuk saraf
fasialis dan vestibulokoklearis. Akibat infeksi langsung virus varicella zoster pada
nervus vestibulokoklearis, maka timbul gejala berkurangnya pendengaran,
tinnitus, gangguan keseimbangan dan keluhan vertigo, karena secara anatomi,
letak nervus fasialis sangat dekat dengan nervus vestibulokoklearis, virus dengan
mudah menginfeksi nervus fasialis, sehingga tidak jarang herpes zoster otikus
disertai dengan parese wajah akibat infeksi pada nervus fasialis. Setelah terinfeksi
vestibulokoklearis, virus akan terdistribusi sepanjang saraf sensoris yang
menginervasi telinga dan akan menimbulkan timbulnya ruam merah yang
kemudian terbentuk vesikel pada telinga.(7)

2.7 Patofisiologi Herpes Zoster 2.6 Manifestasi Klinis


Setelah masa inkubasi 4-20 hari, gangguan timbul dengan fase prodormal
neuralgik. Dalam dua sampai tiga hari, terdapat bentuk vesikel berkelompok pada
daerah yang dipersarafi oleh saraf yang terkena. Jika wajah terkena, seperti pada
oftalmikus zoster atau otikus zoster (sindrom Ramsay Hunt), nyeri terutama
sangat hebat, dan gejala-gejala prodormal umum seperti demam dan nausea
tampak jelas. Dengan timbulnya vesikel, jarang sebelumnya, timbul limfadenitis

10
regional yang nyeri. Herpes zoster terjadi lebih sering pada pria daripada wanita
dan terutama mengenai individu yang berusia lebih dari 45 tahun.(7)
Herpes zoster otikus melibatkan saraf fasialis dan menimbulkan suatu ruam
pada liang telinga dan pinna. Pustula-pustula kecil terbentuk dalam liang telinga
dan sangat nyeri.(1)

Gambar 2.8 Lesi Herpes Zoster

Awitan suatu paralisis wajah seringkali bersama otalgia dan erupsi herpetic
pada bagian-bagian telinga luar dianggap sebagai akibat infeksi virus pada
ganglion genikulatum. Lesi kulit vesicular mungkin hanya terbatas pada sebagian
liang telinga yang dipersarafi oleh suatu cabang sensorik kecil dari saraf kranialis
ketujuh, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (Bell’s Palsy), kelainan
kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinnitus, vertigo, gangguan
pendengaran, nistagmus dan nausea, juga terdapat gangguan pengecapan.(1)
Gambaran paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan
hampir selalu unilateral. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi
oleh salah satu ganglion sensorik.(8)

11
Gambar 2.9 Bell’s palsy
2.7 Penegakkan Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Diagnosis herpes zoster otikus ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Ramsay Hunt menyebutkan 4 tipe
herpes zoster otikus yaitu penyakit yang hanya mengenai saraf sensoris nervus
fasialis, penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis, dan
penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis disertai gejala
auditorik, serta penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis
disertai gejala auditorik dan vestibuler. Pemeriksaan fungsi nervus VII diperlukan
untuk menentukan letak lesi, beratnya kelumpuhan dan evaluasi pengobatan.
Pemeriksaan meliputi fungsi motorik otot wajah, tonus otot wajah, gustatometri
dan tes Schimer.(1)
Dari dalam anamnesis riwayat penyakit dahulu bisa didapatkan ada riwayat
terkena penyakit cacar air. Penyakit ini didahului dengan gejala prodromal berupa
nyeri kepala, nyeri telinga, lesu, demam, sakit kepala, mual dan muntah. Lesi
terdapat di telinga luar dan sekitarnya, kelainan berupa vesikel berkelompok di
atas daerah yang eritema, edema dan disertai rasa nyeri seperti terbakar pada
telinga dan kulit sekitarnya (nyeri radikuler). (7) Gejala-gejala yang biasanya
dikeluhkan adalah nyeri telinga paroksismal, ruam pada telinga atau mulut (80%
pada kasus yang ada, ruam bisa menjadi awal dari adanya paresis), ipsilatereal
lower motor neuron paresis wajah (N. VII), vertigo, ipsilateral ketulian (50%

12
kasus), tinnitus, sakit kepala, diastrhia, gait ataxia, cervical adenopathy. Nyeri
telinga sering kali nyeri menjalar ke luar telinga sampai ke daun telinga. Nyeri
bersifar konstan, difus, dan tumpul. Nyeri muncul biasanya beberapa jam sampai
beberapa hari setelah muncul ruam.(8)
Penyakit ini didahului dengan gejala prodormal berupa nyeri kepala,
nyeri telinga, lesu, demam, sakit kepala, mual dan muntah. Lesi terdapat di
telinga luar dan sekitarnya, kelainan berupa vesikel berkelompok diatas daerah
yang eritema, edema dan disertai rasa nyeri seperti terbakar pada telinga dan kulit
sekitarnya (nyeri radikuler). Gejala tambahan lain yang dikeluhkan pasien dapat
berupa telinga berdenging(tinnitus), hilangnya pendengaran, pusing berputar
(vertigo), dan rasa lidah/pengecap berubah.

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fungsi nervus VII diperlukan untuk menentukan letak lesi, beratnya
kelumpuhan dan evaluasi pengobatan. Pemeriksaan fisik meliputi fungsi motorik
otot wajah, tonus otot wajah, ada tidaknya sinkinesis atau hemispasme,
gustatometri dan tes Schimer’s. Pada pemeriksaan fisik telinga mungkin akan
tampak vesikel berkelompok pada daun telinga.
Pada pemeriksaan hidung, orofaring dan tenggorok mungkin tidak ada
vesikel berkelompok dan tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan penala dapat
ditemukan kesan pendengaran normal. Pada pemeriksaan audiometri nada murni
ditemukan telinga yang bervesikel mungkin terdapat gangguan konduksi
mengingat herpes zoster otikus dapat menyebabkan tuli sensorineural. Pada
pemeriksaan Schirmer’s didapatkan gangguan kelenjar air mata dan pemeriksaan
gustatometri tidak didapatkan gangguan pengecapan sehingga ditegakkan
diagnosis sebagai paresis VII setinggi nervus petrosus mayor dan infra korda.
Pada kepustakaan dikatakan bahwa kelainan nervus VII dapat terjadi sepanjang
nervus fasial mulai dari batang otak sampai foramen stilomastoideus. Kesenjangan
topografi ini dapat terjadi pada kasus Bells Palsy dan herpes zoster otikus, hal ini
diakibatkan karena adanya multiple inflamasi dan demielinisasi batang otak
sampai pada cabang perifer.

13
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan audiometri nada murni,
timpanometri, Brainsteam Evoked Response Audiometry (BERA) dan tes
elektronistagmografi (ENG). Diagnosis pasti ditegakkan dengan mengisolasi
virus, deteksi antigen spesifik untuk virus varisela zoster atau dengan hibridasi
DNA virus.

2.8 Diagnosa Banding


Berdasarkan keluhan pasien dan temuan fisik yang beberapa penyakit
dapat dijadikan diagnosis banding untuk herpes zoster otikus, antarala lain adalah
Bell’s Palsy, miringitis bulosa, otitis eksterna, dan trigeminal neuralgia.
Diagnosis banding yang mungkin adalah Bell’s Palsy hal ini didasarkan
pada tampilan klinis yang terdapat kelamahan separuh otot wajah. Hal yang sangat
membedakan adalah adanya ruam pada herpes zoster otikus.(9)
Miringitis Bullosa memiliki karakteristik gambaran klinis pasien yaitu
tiba-tiba mengalami sakit telinga yang parah atau otalgia sifatnya berdenyut. Nyeri
biasanya terletak di dalam telinga, tetapi dapat menyebar ke ujung mastoid,
tengkuk, temporomandibula hingga ke seluruh wajah.(9) Karakteristik pemeriksaan
fisik dari miringitis bullosa adalah adanya bulla pada membran timpani. Bulla
yang muncul paling sering pada sisi posterior atau postero inferior membran
timpani atau pada dinding kanalis posterior. Pada pemeriksaan pendengaran dapat
ditemukan adanya penurunan pendengaran.
Otitis eksterna juga bisa dijadikan diagnosis banding berdasarkan adanya
otalgia, pruritus, keluarnya cairan dan hilangnya pendengaran. Pada pemeriksaan
didapatkan adanya nyeri tekan tragus dan liang telinga hiperemis dan bengkak.(9)
Gejala trigeminal neuralgia muncul secara tiba-tiba, unilateral, nyeri yang
berat terasa tertusuk dan rasa nyeri rekuren sesuai dengan saraf trigeminal tetapi
trigeminal neuralgia tidak menyebabkan adanya deficit nerologis.(9)

14
2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap herpes zoster terdiri dari tiga hal utama yaitu
pengobatan infeksi virus akut, pengobatan rasa sakit akut yang berkaitan dengan
penyakit tersebut, dan pencegahan terhadap neuralgia pascaherpes.(9)
Perawatan utama untuk nyeri zoster terkait akut termasuk analgesik
narkotik dan non-narkotika (baik sistemik dan topikal), agen neuroaktif, dan agen
antikonvulsan. Sementara kemanjuran perawatan ini untuk nyeri neuropatik umum
telah mapan, hanya beberapa modalitas telah dievaluasi khusus untuk zoster akut
terkait nyeri pada studi terkontrol. Para oksikodon narkotika oral dan
antikonvulsan gabapentin lisan, serta aspirin analgesik topikal dan lidokain, semua
telah menunjukkan kemampuan untuk mengurangi akut zoster terkait nyeri pada
double-blind, placebo-controlled studi.(10) Di sisi lain, antikonvulsan gagal untuk
menunjukkan pengaruh signifikan secara statistik kesakitan zoster menghilangkan
akut dalam studi double-blind kecil, terkontrol plasebo.(10) Meskipun, perlu dicatat
obat ini telah terbukti ampuh mengobati rasa sakit dari neuralgia postherpetic
dalam studi terkontrol lainnya.
Antivirus dan kortikosteroid juga telah ditunjukkan untuk mempercepat
resolusi zoster terkait sakit. Tujuan terapi antiviral pada herpes zoster adalah untuk
mengurangi rasa sakit, menghambat replikasi virus, membantu penyembuhan
penyakit kulit, dan mencegah atau mengurangi keparahan neuralgia postherpetic.
Tiga agen antivirus, asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir, telah disetujui untuk
pengobatan herpes zoster di Amerika Serikat. Mekanisme kerja untuk semua agen
adalah pencegahan varicella-zoster replikasi virus melalui penghambatan
polimerase DNA virus . Bentuk ke-3 agen telah terbukti dalam uji klinis untuk
mengurangi pelepasan virus dan mempercepat resolusi gejala, termasuk rasa sakit,
di herpes zoster tanpa komplikasi. Acyclovir merupakan turunan guanin yang
mencegah varicella-zoster virus replikasi melalui penghambatan polimerase DNA
virus. Ini mengurangi durasi lesi simtomatik. Setelah tertelan, famsiklovir dengan
cepat biotransformed ke dalam senyawa aktif penciclovir dan terfosforilasi oleh
kinase timidin virus. Dengan persaingan dengan triphosphate deoxyguanosine,
penciclovir trifosfat menghambat polimerase virus.

15
Dosis disesuaikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau penyakit hati.
Valacyclovir adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi asiklovir sebelum
mengerahkan aktivitas antivirus nya. Beberapa penelitian memberi kesan
superioritas valacyclovir dan famciclovir dibandingkan dengan asiklovir dalam hal
resolusi rasa sakit dan percepatan penyembuhan kulit. Selain itu, baik valasiklovir
dan famsiklovir telah meningkatkan bioavailabilitas lebih asiklovir dan, sebagai
hasilnya, memerlukan dosis kurang sering. Studi-studi terkontrol penggunaan
antivirus pada herpes zoster hanya dievaluasi efektivitas mulai terapi dalam 48-72
jam onset ruam, dan mereka telah menunjukkan tanpa kehilangan efektivitas
ketika obat dimulai pada setiap saat selama periode itu. (10) Metaanalisis dan uji
coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa agen antivirus oral asiklovir,
famsiklovir, dan valacyclovir, dimulai dalam waktu 72 jam setelah onset ruam,
mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut, serta kejadian postherpetic
neuralgia.(10) Beberapa studi observasional telah menunjukkan terapi antivirus
yang mampu mengurangi rasa sakit zoster, bahkan ketika mulai luar jendela 72-
jam terapi tradisional. Terapi antivirus harus dipertimbangkan untuk rejimen
pengobatan zoster akut, terlepas dari saat presentasi. Lamanya pengobatan
antivirus dalam studi telah bervariasi dari 7-21 hari. Berdasarkan literatur saat ini,
untuk pasien imunokompeten, asiklovir selama 7-10 hari atau kursus 7-hari dari
agen yang lebih baru adalah tepat. Kursus yang lama mungkin diperlukan pada
pasien immunocompromised.(11) Terapi antivirus telah ditunjukkan untuk
menghentikan perkembangan dan penyebaran herpes zoster akut pada pasien
immunocompromised, bahkan bila dimulai lebih dari 72 jam setelah onset ruam.
Dengan demikian, pendapat pakar saat ini merekomendasikan penggunaan terapi
antivirus pada semua pasien immunocompromised zoster sebelum krusta penuh
dari semua lesi. Terapi herpes zoster pada individu normal dapat diberikan
asiklovir 5x800mg sehari selama 7 hari, paling lambat 72 jam setelah lesi muncul.
(12)
Menurut Gupta J dkk,(12) pemberian asiklovir 7-10 hari. Pada saat 72 jam
setelah munculnya gejala pemberian antivirus 70% orang akan mengalami
kesembuhan yang seutuhnya. Jika pemberian antiviral diberikan lebih dari waktu
emasnya makan kesempatan seseorang untuk sembuh seutuhnya akan berukurang
50%.

16
Penggunaan steroid dalam hubungannya dengan antivirus untuk herpes
zoster tanpa komplikasi adalah kontroversial. Penambahan kortikosteroid oral
telah dievaluasi pada pasien yang diobati dengan asiklovir dalam 2 studi
terkontrol. Steroid yang ditemukan untuk mempercepat resolusi neuritis akut dan
memberikan peningkatan yang jelas dalam kualitas-hidup tindakan dibandingkan
dengan pasien diobati dengan antivirus saja. Penggunaan steroid oral tidak
berpengaruh terhadap perkembangan atau durasi neuralgia postherpetik. Steroid
oral belum diteliti dengan valacyclovir atau famciclovir, sehingga manfaatnya
tidak diketahui. Bentuk nonoral terapi steroid tambahan pada herpes zoster akut
juga telah dipelajari. Sebuah penelitian yang melibatkan injeksi epidural steroid
tunggal dan anestesi lokal diberikan bersamaan dengan rejimen standar antiviral
oral dan analgesik ditemukan sederhana meningkatkan zoster terkait sakit selama
1 bulan lebih tanpa pengobatan steroid. Seperti di atas, tidak ada efek dalam
mencegah postherpetic neuralgia dicatat. Mengingat dampak negatif dari dan
kontraindikasi untuk penggunaan kortikosteroid, pendapat pakar saat ini
menyarankan membatasi keterlibatan mereka dengan kasus-kasus nyeri sedang
sampai zoster parah, atau di mana gejala-gejala neurologis yang signifikan (seperti
kelumpuhan wajah) atau keterlibatan SSP hadir (dan penggunaan kortikosteroid
tidak dinyatakan kontraindikasi).
Durasi optimal terapi steroid tidak diketahui. Jika diresepkan, tampaknya
masuk akal untuk steroid untuk digunakan bersamaan dengan terapi antivirus.
Lamanya penggunaan steroid tidak boleh melampaui masa terapi antivirus.
Steroid tidak boleh diberikan sendiri (tanpa terapi antivirus), karena kekhawatiran
tentang promosi replikasi virus.
Individu dengan perubahan imunitas diperantarai sel, akibat kondisi
imunosupresif (misalnya, HIV, kanker) atau pengobatan (misalnya, penggunaan
kortikosteroid diperpanjang), akan meningkatkan risiko untuk herpes zoster.
Selanjutnya, presentasi herpes zoster pada populasi immunocompromised dapat
menjadi rumit oleh penyakit disebarluaskan dan keterlibatan organ visceral.
Menurut Gupta J dkk,(12) kortikosteroid 3-5 hari dengan regimen tapperring.
Kortikosteroid dapat diberikan selama 10-14 hari dengan dosis 40-60mg/hari atau
1mg/KgBB/hari dengan regimen tappering.(7,13)

17
Evaluasi dari pengobatan SRH ini sendiri dengan melakukan pemeriksaan
N.VII secara serial dan dengan pemeriksa yang sama selain dari apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Selain terapi medikamentosa juga diperlukan edukasi
kepada pasien bahwa mungkin saja hilangnya pendengaran ataupun paralisis
wajah yang terjadi adalah menetap meskipun sudah dilakukan pengobatan.

2.10 Komplikasi
Secara garis besar komplikasi yang dapat terjadi pada pasien herpes zoster
meliputi neuralgia pasca herpetik, infeksi sekunder dan paralisis motorik, dan
yang jarang, dapat menyebabkan herpes zoster encephalitis. Paralisis motorik
terjadi saat virus menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis. Beberapa
paralisis dapat terjadi, misalnya di wajah, diafragma batang tubuh, ekstremitas,
vesika urinaria dan anus, sedangkan komplikasi neuralgia pasca herpetik dan
infeksi sekunder terjadi pada daerah yang terdapat erupsi vesikula, contohnya
seperti pada herpes zoster otikus pada daerah telinga.(1,5) Paralisis yang berat akan
mengakibatkan tidak lengkap atau tidak sempurnanya kesembuhan dan
berpotensi untuk menjadi paralisis fasialis yang permanen dan synkinesis. Terjadi
infeksi sekunder oleh bakteri sehingga menyebabkan terhambatnya penyembuhan
dan akan meninggalkan bekas sebagai sikatriks. Vesikel pada daerah telinga dapat
terjadi ulkus dan jaringan nekrotik.(7)

Neuralgia pasca herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa
tahun. Keadaan ini cenderung terjadi pada penderita di atas usia 40 tahun dengan
gradasi nyeri yang bervariasi. Makin tua penderita, makin tinggi persentasinya.
Sepertiga kasus di atas usia 60 tahun dikatakan akan mengalami komplikasi,
sedangkan pada usia muda, hanya terjadi 10% kasus. Kemungkinan hal ini
berhubungan dengan perbedaan daya imun tubuh antara usia muda dengan usia
lanjut.(7)

18
2.11 Pencegahan
Pencegahan herpes zoster dengan vaksinasi dianjurkan untuk semua orang
yang berusia lebih dari 60 tahun, bahkan jika mereka telah menderita cacar air di
masa lalu. Kelompok usia ini menderita morbiditas yang signifikan dari zoster.
Vaksin VZV berisikan virus yang telah dilemahkan. Banyak orang yang telah di
vaksin sejak kecil akan tetap mendapat penyakit cacar saat dewasa. Sejauh ini,
data klinis telah membuktikan bahwa vaksin bisa efektif selama lebih dari 10
tahun dalam mencegah infeksi varisela dan pada individu yang sehat.(7)
2.12 Prognosis
Prognosis herpes zoster otikus dipengaruhi oleh umur, diabetes mellitus,
hipertensi dan pemberian terapi yang cepat. Yeo dkk(14) menyatakan bahwa Herpes
Zoster Otikus memiliki prognosis yang buruk daripada Bell’s Palsy. Sekitar
setengah dari jumlah pasien herpes zoster otikus masih memiliki gangguan
motorik nervus fasial, hanya sebagian kecil pasien dengan gangguan paralisis
komplit. Hasil pemulihan akan lebih baik jika perawatan dimulai pada hari ke tiga
setelah gejala timbul. Kesembuhan yang sempurna akan tercapai pada 70% kasus
jika pengobatan dimulai pada saat ini. Namun, jika pengobatan tertunda lebih dari
3 hari, kesempatan untuk mencapai kesembuhan sempurna akan turun sekitar
50%. (8,15)

19
BAB III PENUTUP

Herpes zoster oticus merupakan penyakit infeksi virus yang mengenai


ganglion genikulatum.Herpes zoster oticus yang disertai dengan paralisis nervus
facialis disebut Sindrom Ramsay Hunt. Ramsay Hunt menyebutkan 4 tipe herpes
zoster otikus yaitu penyakit yang hanya mengenai saraf sensoris nervus fasialis,
penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis, dan penyakit
yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis disertai gejala auditorik,
serta penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis disertai
gejala auditorik dan vestibuler.
Herpes zoster oticus yang disertai dengan paralisis nervus facialis
merupakan urutan kedua paling sering dari kejadian paralisis facialis akut.dan juga
adanya gangguan pendengaran dan sistem vestibular.Penegakkan diagnosis herpes
zoster berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan berupa
pengobatan simptomatis dan medikamentosa seperti antiviral dan kortikosteroid.
Obat-obat anti viral adalah standar terapi lini pertama untuk herpes zoster otikus.
Diagnosis yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum 72 jam
setelah onset memberikan hasil yang lebih baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetirto, Indro. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam: Soepardi EA, Iskandar


HN (editors). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher edisi ke VII. Jakarta : Balai Penerbit FK UI; 2012
2. Ballenger, John. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher.
Jilid Dua. Jakarta: Binarupa Aksara.; 2010.
3. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar .Jakarta : Penerbit Dian
Rakyat; 2009
4. Nangrum HB, Nagpure PS. Ramsay Hunt syndrome. Case Report. Nazareth
Hospital.July,2008
5. Kim D, Bhimani M. Ramsay Hunt Syndrome presenting as Simple Otitis
Externa. Case report.Mey,2008
6. Alice Szymansk A, Steve S. Bhimji Anatomy, Head, Ear, Tympanic
Membrane. NCBI; 2017 (http://www.nlm.nih.gov, diakses tanggal 1 Februari
2018)
7. Bhupal HK. Ramsay hunt syndrome presenting in primary care. In: The
Prectitioner casebook:2010;254:33-35.
8. Augosto AM. Ramsay Hunt Syndrome. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1166804-clinical. Accessed on
December 2013.
9. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et
al. Recommendations for the management of herpes zoster. Clin Infect Dis.
Jan 1 2007;44 Suppl 1:S1-26.

21
10. Lin PL, Fan SZ, Huang CH, et al. Analgesic effect of lidocaine patch 5% in
the treatment of acute herpes zoster: a double-blind and vehicle-controlled
study. Reg Anesth Pain Med. Jul-Aug 2008;33(4):320-5.
11. Ahmed AM, Brantley JS, Madkan V, Mendoza N, Tyring SK. Managing
herpes zoster in immunocompromised patients. Herpes. Sep 2007;14(2):32-6.
12. Gupta J, et al. Ramsay hunt syndrome, type I. ENT ear, nose & throat journal.
2007:p.138-140.
13. Anil K. Facial nerve: disorders of facial nerve. In:Current otolaryngology.
New York: Mc Graw Hill;2007.
14. Yeo SW, et al. Analysis of prognostic factors in bell’s palsy and ramsay hunt
syndrome. Auris nasus larynx.2007.34:159-164.
15. Uscategui T, Doree C, Chamberlain IJ et al.; Corticosteroids as adjuvant to
antiviral treatment in Ramsay Hunt syndrome (herpes zoster oticus with facial
palsy) in adults. Cochrane Database of Systematic Reviews; 2008

22

Anda mungkin juga menyukai