Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak tahun 2018 kawasan Asia Tenggara dikejutkan dengan temuan kasus Polio di
beberapa negara, yaitu Indonesia, Myanmar, Filipina, dan Malaysia. Padahal kawasan
tersebut telah lebih dari satu dekade tidak ditemukan kasus Polio. Total kasus Polio VDPV
tipe 1 dari tahun 2018 hingga minggu 10 tahun 2020 sejumlah 12 kasus, Polio VDPV tipe 2
sebanyak 14 kasus, dan sampel polio lingkungan positif VDPV 1 sebanyak 19 sampel dan
VDPV tipe 2 sebanyak 23 sampel. Tahun 2018, WHO telah melakukan penilaian risiko
transmisi polio di Indonesia untuk tingkat nasional maupun provinsi. Ada 3 indikator utama
dalam penilaian risiko tersebut yaitu imunitas populasi, surveilans, dan penyampaian
program. Hasil penilaian menunjukkan Indonesia berisiko tinggi dalam transmisi Polio,
dengan 23 provinsi (76,5%) diantaranya berisiko tinggi, 9 provinsi (23,5%) berisiko sedang
dan hanya ada dua provinsi yang memiliki resiko rendah, yaitu Yogyakarta dan Bali.
Berdasarkan Permenkes No.12 tahun 2017, pemerintah menerapkan pemberian 4
dosis Oral Polio Vaccine (OPV) dan 1 dosis Inactivated Polio Vaccine (IPV) ke dalam jadwal
imunisasi rutin pada bayi. Rata-rata cakupan OPV4 dalam tiga tahun terakhir sudah mencapai
lebih dari 90%, namun belum memenuhi target nasional (minimal 95% dan merata).
Sedangkan untuk cakupan IPV menunjukkan peningkatan di setiap tahun sejak diperkenalkan
pada tahun 2016, namun secara nasional tren cakupan IPV masih kurang dari 80%.
Sementara itu untuk rata-rata cakupan OPV4 dari tahun 2016 – 2018, terdapat 6 provinsi
yang memiliki rata-rata cakupan kurang dari 80%, yaitu Papua, Aceh, NTT, Kalimantan
Utara, Maluku Utara, dan Sumatera Barat, yang artinya perlindungan terhadap virus polio
tipe 1 dan 3 masih rendah.
WHO menyatakan Indonesia bebas polio sejak tahun 2014, sebuah pencapaian yang
luar biasa. Meski demikian, Indonesia harus tetap mempertahankan status bebas polio
tersebut dengan meningkatkan cakupan imunisasi polio rutin dan sensitifitas surveilans.
Untuk meningkatkan sensitifitas penemuan kasus polio, maka pengamatan dilakukan pada
semua kelumpuhan yang terjadi pada anak berusia kurang dari 15 tahun secara akut, bersifat
layuh seperti pada poliomyelitis, dan tidak ada riwayat trauma atau ruda paksa. Penyakit-
penyakit yang mempunyai sifat kelumpuhan seperti poliomyelitis disebut kasus Acute
Flaccid Paralysis (AFP) dan pengamatannya disebut sebagai Surveilans AFP. Kasus AFP
yang ditemukan kemudian diambil spesimen tinjanya untuk diperiksa di laboratorium.
Indikator utama pencapaian surveilans AFP terdiri dari Non-Polio AFP rate dan
spesimen adekuat. Data hingga minggu terakhir 2019, Indonesia telah berhasil mencapai
indikator non-Polio AFP rate sebesar 2.14 dari target yang ditetapkan, yaitu 2/100.000
populasi < 15 tahun. Sedangkan indikator spesimen adekuat mengalami penurunan cukup
signifikan di 4 tahun terakhir, bahkan di tahun 2017 dan 2018 indikator ini tidak mencapai
target yang diharapkan (minimal 80%).
Melihat capaian indicator non-Polio AFP Rate tahun 2019 per provinsi, ada 5 provinsi
yang memilik performa kurang dari 1/100.000 populasi kurang dari 15 tahun yaitu Riau,
Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, NTB, dan Maluku Utara.
Beberapa provinsi patut meningkatkan performa cakupan imunisasi rutin dan
penguatan surveilans AFP. Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara yang berdekatan
dengan Sabah (Malaysia), Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara yang
berdekatan dengan Filipina perlu dilakukan arahan dan pengawasan ketat untuk mencegah
transmisi polio dari Malaysia dan Filipina. Terlebih lagi ada penerbangan langsung dari
Davao (provinsi kasus VDPV di Filipina) ke Kota Manado dan Kota Makassar bisa menjadi
sarana transmisi Polio antar negara.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang pembuatan “Algoritma Suspek Polio di
Puskesmas Gambut” yakni:
1. Bagaimana peran setiap unit Puskesmas Gambut dalam menghadapi kasus suspek polio?
2. Bagaimana pelaporan kasus suspek polio di Puskesmas Gambut sesuai dengan Sistem
Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR)?

Tujuan
Tujuan Umum
1. Membantu pencapaian targat eliminasi polio, khususnya pada lingkup Puskesmas Gambut
Tujuan Khusus
1. Memberikan gambaran peran setiap unit Puskesmas Gambut dalam menghadapi kasus
suspek polio
2. Memberikan gambaran pelaporan kasus suspek polio di Puskesmas Gambut sesuai dengan
SKDR

Manfaat
Manfaat Bagi Masyarakat
1. Mendapatkan pelayanan yang maksimal, khususnya perihal kasus suspek polio
Manfaat Bagi Puskesmas
1. Puskesmas Gambut memiliki algoritma kasus suspek polio yang dapat dimanfaatkan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat
BAB II
INTERVENSI

Perencanaan dan Pemilihan Intervensi


Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) Agustus 2022 periode 1 di Puskesmas
Gambut dilaksanakan dari 20 Agustus 2022-19 Februari 2023. Dalam rentang waktu tersebut,
pembuatan mini project dilaksanakan sesuai dengan uraian berikut. Tahap perencanaan
kegiatan mini project terdiri dari beberapa langkah, yakni:
1. Identifikasi masalah
a. Penjelasan: Menentukan masalah yang terjadi di Puskesmas Gambut serta peran dokter
internsip yang dibutuhkan dalam masalah tersebut
b. Sasaran: Kepala Puskesmas Gambut dan seluruh dokter umum di Puskesmas Gambut.
c. Periode waktu: Oktober 2022
d. Metode: Diskusi dan konsultasi
2. Persiapan
a. Penjelasan: Menentukan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menyusun algoritma
suspek polio
b. Sasaran: Tim surveilans Puskesmas Gambut
c. Periode waktu: November-Desember 2022
d. Metode: Diskusi dan konsultasi
Tahap pelaksanaan pembuatan algoritma suspek polio di Puskesmas Gambut terdiri
dari beberapa langkah yang dilakukan pada Januari 2023, yakni:
1. Pencarian literatur berkaitan dengan algoritma suspek polio di Puskesmas Gambut
2. Pembuatan algoritma suspek polio di Puskesmas Gambut berdasarkan teori
3. Konsultasi kepada tim surveilans Puskesmas Gambut
4. Fiksasi dan sosialisasi algoritma suspek polio di Puskesmas Gambut
Ringkasan Pelaksanaan
Permasalahan di Puskesmas Gambut adalah kurangnya cakupan vaksin polio yang
memungkinkan terjadinya wabah polio. Selain perlunya peningkatan cakupan imunisasi di
Puskesmas Gambut dengan berbagai program yang ada, juga diperlukan algoritma yang jelas
untuk kasus suspek polio agar masyarakat mendapatkan pelayanan sebanyak-banyaknya dan
melaporkannya dengan baik.
Penulis artikel ini bekerja dengan tim surveilans Puskesmas Gambut pada algoritma
kecurigaan polio yang menjelaskan peran unit di Puskesmas Gambut, seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 1.  


Monitoring dan Evaluasi
Algoritma Suspek Polio Puskesmas Gambut telah disosialisasikan kepada
penanggung jawab program polio, dokter dan perawat MTBS, tim farmasi, tim laboratorium,
tim surveilans, tim imunisasi, serta peserta PIDI. Monitoring dan evaluasi pemanfaatan
Algoritma Suspek Polio Puskesmas Gambut dapat dilakukan oleh penanggung jawab
program polio setiap ditemukannya kasus suspek polio. Jika kasus suspek polio ditemukan >
1, maka penyelidikan epidemiologi tambahan dapat dilakukan.
BAB III
PEMBAHASAN

Pada bulan Juli 2022, terdapat satu kasus suspek polio yang ditemukan, yakni pasien
anak usia 3 tahun 8 bulan dengan kelemahan anggota gerak sejak 1 minggu.
Keluhan batuk, pilek, dan mata merah disangkal. Saat ditemukan kasus tersebut,
penanggung jawab program polio yang juga merupakan dokter jaga MTBS beserta perawat
MTBS melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Faktor risiko pada pasien adalah tidak
pernah mendapatkan imunisasi polio sebelumnya. Perawat MTBS juga melakukan pengisian
formulir MTBS karena pasien masih masuk ke dalam kategori usia balita. Tidak ditemukan
adanya komplikasi pada pasien.
Penyelidikan epidemiologi dilakukan oleh tim surveilans bersama dengan
penanggung jawab Program Polio Puskesmas Gambut dengan pencatatan individual
menggunakan formulir FP1.
Tata laksana yang diberikan pada ibu pasien adalah konseling dan edukasi tentang
isolasi pasien, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan pemberian nutrisi yang cukup.
Ibu pasien juga diedukasi tentang imunisasi kejar, yakni pasien dapat diberikan imunisasi
polio serta imunisasi lainnya sesuai dengan anjuran segera setelah pasien sembuh.
Terkait dengan pelaporan, tim surveilans Puskesmas Gambut telah melaporkan kasus
suspek polio dengan form C-1 sesuai dengan alur ke Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar.
Selanjutnya, klasifikasi final pasien ditentukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar. Dari
kasus ini, algoritma kasus suspek polio telah dilakukan dengan baik. Evaluasi yang dapat
diberikan adalah belum dilakukannya rencana kunjungan rumah serta identifikasi kasus
kontak. Setelahnya, kasus ini masih perlu dimonitor kembali di kemudian hari, khususnya
jika timbul komplikasi atau pasien sembuh dan perlu dosis imunisasi polio.
BAB IV
KESIMPULAN

Polio sebagai salah satu PD3I dapat menjadi KLB jika capaian imunisasi polio tidak
tinggi dan merata. Di Puskesmas Gambut, capaian imunisasi polio hingga bulan Desember
2022 masih belum mencapai target yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Oleh
sebab itu, KLB polio mungkin terjadi jika tidak ada upaya dalam menekan kasus polio, baik
dengan imunisasi maupun identifikasi kasus polio serta kontaknya.
Algoritma Kasus Suspek Polio di Puskesmas Gambut diperlukan sebagai salah satu
upaya untuk mencapai target eliminasi polio. Algorita Kasus Suspek Polio di Puskesmas
Gambut telah dibuat sesuai dengan Pedoman SKDR 2021 dari Kementerian Kesehatan RI.
Pada algoritma tersebut, terdapat pembagian peran dari masing-masing unit di Puskesmas
Gambut yang terlibat. Monitoring dan evaluasi penggunaan algoritma tersebut dapat
dilakukan seiring dengan adanya temuan kasus suspek polioPolio.

Anda mungkin juga menyukai