Anda di halaman 1dari 6

SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT

“ Etiologi, Epidemiologi dan data Surveilans Penyakit Polio dan Acute Flaccid
Paralysis (AFP)/Lumpuh Layu Akut “

OLEH :
WINDY RAHMADHANI
2213201072

DOSEN MATA KULIAH:


Dr. EFRIZA, SKM, MKM

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM


NON REGULER
UNIVERSITAS FORT DE KOCK BUKITTINGGI
2023
1. EtiologiPenyakit Polio dan Acute Flaccid Paralysis
(AFP)/Lumpuh Layu Akut
Secara internasional Indonesia sudah dinyatakan sebagai negara yang
bebas polio, seiring dengan dilaksanakannya program imunisasi tambahan dalam
rangka pencapaian Erapo (Eradikasi Polio) yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
sebanyak 6 kali dan sub PIN sebanyak 3 kali. Upaya pemberantasan polio
dilakukan melalui 4 strategi yaitu : imunisasi rutin, imunisasi tambahan, surveilans
AFP (Acute Flaccid Paralysis) dan pengamatan VPL (virus polio liar) di
laboratorium. Penilaian kinerja program surveilans dalam rangka mewujudkan
komitmen global Erapo (Eradikasi Polio) adalah dengan melihat dari penemuan
kasus AFP. Lalu apakah AFP itu? AFP adalah gejala kelumpuhan pada anak yang
berumur < 15 tahun yang bersifat layuh/flaccid dan terjadi secara mendadak (akut)
bukan karena rudapaksa / trauma / kecelakaan. Untuk membuktikan bahwa virus
polio liar sudah tidak ada lagi di Indonesia, maka harus ditemukan gejala gejala
yang menyerupai penyakit polio. Dan gejala tersebut dijumpai pada penderita AFP.
Diagnosa penyakit yang dapat digolongkan ke dalam kasus AFP antara lain:
Poliomyelitis, polioencephalitis, GBS (Guillan Barre's Syndrome), Paraplegia,
transverse myelitis, dll.
Penyakit polio disebabkan oleh virus polio yang dapat menular melalui
kontak dengan tinja penderita. Untuk membuktikan apakah kelumpuhan
disebabkan oleh polio atau bukan dilakukan pemeriksaan tinja penderita di
laboratorium polio nasional yang telah ditentukan. Namun apabila spesimen tinja
penderita tidak bisa diambil atau tidak adekuat, maka perlu dilakukan pemeriksaan
klinis apakah masih terdapat sisa kelumpuhan setelah 60 hari kelumpuhan. Namun
apabila seseorang telah memperoleh imunisasi polio, ia akan memiliki kekebalan
terhadap serangan virus tersebut. Maka dari itu ketika ditemukan penderita AFP
yang harus dilakukan adalah pelacakan kasus dan pengambilan spesimen tinja,
untuk diperiksa secara laboratorium. Pemeriksaan laboratorium ini bertujuan untuk
memastikan bahwa gejala kelumpuhan yang ada adalah bukan disebabkan oleh
virus polio. Jika masih ditemukan lagi adanya virus polio liar di bagian tertentu
wilayah Indonesia, maka akan dijadikan pertimbangan untuk dilakukan ulang
pemberian imunisasi tambahan (Pekan Imunisasi Nasional). Schingga dapat
dibedakan dengan jelas bahwa kasus AFP bukanlah kasus polio, melainkan gejala
yang timbul menyerupai kasus polio. Sebagian besar kasus poliomyelitis bersifat
nonparalitik atau tidak disertai manifestasi klinis yang jelas. Dalam surveilans AFP,
pengamatan difokuskan pada kasus poliomielitis yang mudah diidentifikasi, yaitu
poliomielitis paralitik. Kelumpuhan pada penderita AFP dapat disertai dengan
gejala penyakit lain, seperti kejang, demam, diare, ataupun tanpa penyakit penyerta.
Bersifat tidak permanent, jadi akan menghilang seiring dengan hilangnya penyakit
penyerta. Jika masih ada sisa kelumpuhan setelah penyakit penyerta hilang, maka
biasanya diambil langkah fisioterapi untuk pemulihan syaraf-syaraf yang
mengalami kelumpuhan. Dalam penilaian kinerja surveilans AFP, terdapat
indikator Non Polio AFP rate > 2 per 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun per
tahun dan spesimen adekuat > 80%. Non Polio AFP rate merupakan target
penemuan kasus per tahun. Jadi apabila suatu wilayah/kabupaten memiliki jumlah
penduduk <15 tahun sebanyak 500.000, maka wilayah tersebut harus dapat
menemukan minimal 10 kasus AFP dalam satu tahun. Jika target penemuan belum
dapat dipenuhi, dapat dikatakan bahwa kinerja surveilans AFP belum baik, karena
masih dimungkinkan adanya kasus yang belum terjaring. Penemuan kasus AFP
melalui 2 metode, yaitu: CBS (Community Based Surveillance) dan HBS (Hospital
Based Surveillance). CBS merupakan penemuan kasus berdasar masyarakat,
sedangkan HBS berdasarkan laporan Rumah Sakit. Penemuan kasus secara HBS
dijalin dengan adanya SARS (Surveilans Aktif Rumah Sakit) yaitu adanya
kunjungan ke RS sekali dalam seminggu untuk melihat register penyakit yang
dimungkinkan diagnosis AFP.
Untuk menunjang keberhasilan program surveilans AFP ini perlu adanya
pemasaran sosial, baik secara lintas program, lintas sektor maupun kepada
masyarakat luas. Pemasaran sosial ini dapat dilakukan melalui seminar,
menggunakan poster, brosur, ataupun penyuluhan (Komunikasi Informasi dan
Edukasi/KIE). Pemantauan terhadap pelaksanaan surveilans AFP harus dilakukan
untuk menjaga kualitas pelaksanaan surveilans AFP. Sedangkan evaluasi terhadap
surveilans AFP dilakukan secara berkala untuk melihat keberhasilan program
dalam pencapaian tujuannya. Evaluasi dilakukan baik pada HBS maupun CBS.

2. Epidemiologi Riwayat Penyakit Polio dan Acute Flaccid Paralysis


(AFP)/Lumpuh Layu Akut Data Surveilans
Polio merupakan penyakit yang sangat menular dan disebabkan oleh virus.
Penyakit ini menyerang sistem syaraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan total
hanya dalam hitungan jam. Virus ini terutama ditularkan dari orang ke orang
melalui fekal-oral. Gejala awal yang terjadi adalah demam, kelelahan, sakit kepala,
muntah, kekakuan pada leher, dan nyeri pada tungkai. 1 dari 200 infeksi
menyebabkan kelumpuhan permanen (biasanya di bagian tungkai). Diantara
mereka yang lumpuh, 5% hingga 10% akan berakhir pada kematian karena
kelumpuhan terjadi pada otot-otot pernapasan mereka.
Pada bulan Mei 2012, sidang World Health Assembly (WHA)
mendeklarasikan bahwa pencapaian eradikasi polio merupakan kedaruratan
kesehatan masyarakat global dan menetapkan agar Direktur Jenderal WHO
menyusun strategi eradikasi polio yang komprehensif. Dokumen Rencana Strategis
2013-2018 dan Inisiatif Pencapaian Eradikasi Polio Global, telah disetujui oleh
Badan Eksekutif WHO pada Januari 2013. Dalam rencana strategis tersebut
dibutuhkan komitmen global bahwa setiap negara perlu melaksanakan strategis
yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio, penggantian dari trivalent Oral Polio
Vaccine (tOPV) menjadi bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV), introduksi
Inactivated Polio Vaccine (IPV), dan penarikan seluruh vaksin polio oral (OPV),
surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis), dan pengamanan virus polio di
laboratorium (Laboratory Containment). Sebagai kelanjutannya, WHO juga telah
menyusun Rencana Strategis 2019 – 2023 yang berisi 3 tujuan utama yaitu
eradikasi, integrasi serta sertifikasi dan pengamanan Virus Polio.
Pada bulan November 2018, dilaporkan satu kasus polio akibat VDPV
tipe 1 di Yahukimo, Papua. Penyelidikan yang dilakukan selanjutnya menemukan
bahwa dua spesimen tinja dari anak sehat di sekitar kasus juga positif untuk jenis
virus yang sama, yang membuktikan bahwa virus tersebut bersirkulasi sehingga
kondisi ini dinyatakan sebagai KLB. Sebagai respon, dilakukan sub PIN di Papua
dan Papua Barat dengan menggunakan bOPV. KLB polio akibat VDPV bisa
terjadi di mana saja bila cakupan imunisasi polio rendah selama bertahun-tahun.
Untuk menghindari kasus serupa, imunisasi polio harus dijaga tetap tinggi (lebih
dari 95% anak diimunisasi) dan merata, dan semua kasus lumpuh layuh mendadak
(AFP) harus ditemukan secara dini dan dilaporkan.
Penemuan adanya transmisi virus polio liar dapat dilakukan melalui
surveilans AFP, dimana semua kasus lumpuh layuh akut pada anak usia a <15
tahun (yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit polio) diamati.
Surveilans AFP merupakan indikator sensitivitas deteksi virus polio liar.
Surveilans AFP juga penting untuk dokumentasi mengenai tidak adanya virus polio
liar sebagai syarat sertifikasi bebas polio.
Kasus lumpuh layuh akut yang terjadi secara akut (mendadak), bukan
disebabkan oleh ruda paksa yang diduga kasus polio sampai dibuktikan dengan
pemeriksaan laboratorium bukan kasus polio adalah definisi dari nonpolio AFP.
Kementerian Kesehatan menetapkan target non polio AFP rate sebesar minimal
2/100.000 populasi penduduk usia <15 tahun. Pada tahun 2021, secara nasional
non polio AFP rate sebesar 1,4/100.000 populasi penduduk <15 tahun. Hal itu
mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar 0,6/100.000
populasi penduduk <15 tahun.
Pada tahun 2021 ditemukan kasus Non Polio AFP hampir di seluruh
provinsi di Indonesia, kecuali Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo yang
tidak ada kasus. Terdapat 16 Provinsi yang sudah mencapai standar minimal
penemuan non polio AFP rate sebesar ≥2 per 100.000 penduduk berusia kurang
dari 15 tahun.

Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2022


Sejak tahun 2007 hingga 2019, secara umum target Non Polio AFP rate
sebesar 2 per 100.000 penduduk berusia <15 tahun telah tercapai. Tahun 2021
mengalami penurunan sebesar 1,4/100.000 penduduk berusia <15 tahun walaupun
terjadi peningkatan dari tahun 2020. Persentase spesimen adekuat yang secara
umum sejak tahun 2007-2017 telah mencapai target sebesar 80%. Pada tahun 2018,
2020 dan 2021 capaian kinerja berada sedikit di bawah target (79,5%, 78,4%, dan
68,1%). Pada tahun 2019 standar minimal spesimen adekuat sebesar ≥80% telah
dapat dipenuhi, dapat dilihat pada Gambar di bawah

Provinsi DKI Jakarta dan Jambi merupakan provinsi dengan non polio
AFP rate per 100.000 penduduk umur <15 tahun tertinggi, yaitu sebesar 4,4 dan
3,5 per 100.000 penduduk, sedangkan provinsi terendah yaitu Sumatera Utara dan
Lampung yaitu sebesar 0,3 dan 0,4 per 100.000 penduduk umur <15 tahun.
Pemeriksaan spesimen tinja dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
virus polio liar pada kasus AFP yang ditemukan dalam kegiatan surveilans AFP.
Semua kasus AFP seharusnya dilakukan pemeriksaan klinis dan investigasi
virologi, dan setidaknya 80% kasus AFP harus memenuhi standar spesimen
adekuat dengan persyaratan yaitu volume cukup 8-10 gr, spesimen kondisi baik
(tidak bocor, suhu dingin 4-8 0C), dua spesimen didapatkan ≤14 hari setelah
munculnya kelumpuhan dengan jeda minimal 24 jam antara sampel 1 dan 2.

Persentase spesimen adekuat di Indonesia pada tahun 2021 belum


mencapai target (80%) yang diharapkan hanya sebesar 67,8%. Meskipun demikian,
sebanyak 11 provinsi telah mencapai standar spesimen adekuat pada tahun 2021,
sedangkan 23 provinsi lainnya belum mencapai standar. Persentase spesimen
adekuat AFP menurut provinsi tahun 2021 dapat dilihat pada gambar diatas.
Informasi lebih rinci mengenai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
menurut provinsi dan kelompok umur dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Anda mungkin juga menyukai