Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PRAKTIKUM EPIDEMIOLOGI

SURVEILENS PENYAKIT AFP (ACUTE FLACCID PARALYSID) DI JAWA TIMUR

Dosen pengampu

Efri Tri Ardianto,S.KM, M.Kes

Disusun oleh :

Siti Nur Aisyah (G41221957)

Ij’alnaa Lilmuttaqiina Imaa Maa (G41221804)

GOLONGAN C

PROGRAM STUDI MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN

JURUSAN KESEHATAN

POLITEKNIK NEGERI JEMBER

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Pencegahan dan pemberantasan penyakit merupakan prioritas pembangunan
kesehatan masyarakat di indonesia tantangan baru muncul dengan adanya potensi
terjangkitnya kembali penyakit penyakit menular lama yang pada masa lalu susah dapat
dikendalikan(Depkes RI,2007:4)
Di indonesia departemen kesehatan melakukan pengamatan terhadap semua
kelumpuhan yang terjadi secara akut dan layuh(flaccid) seperti kelumpulah pada kasus
Polio. Pengamata tersebut dikenal sebagai Sueveilens AFP (SAFP) yang sudah
dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1997(Depkes,2007)
AFP (Acute Flaccid Paralysis) adalah kumpulan flaccid (layuh) tanpa penyebab
lain pada anak kurang dari 15 tahun. Kelompok umur tersebut rentan terhadap penyakit
polio yang diduga kuat sebaga penyakit poliomyelitis oleh dokter, dilakukan tata laksana
seperti kasus AFP. Pada penapisan AFP dikenali dengan melalui 5 gejala yaitu flaccid,
akut, demam, kelumpuhan dan gangguan rasa raba.

2. Rumusan Masalah
1. Apa iu penyakit AFP (Acute Flaccid Paralysis)?
2. Bagaimana prevalensi dan surveilans pada penyakit AFP (Acute Flaccid Paralicys) di
Jawa Tmur?
3. Bagaimana solusi dan penanggulangan penyakit AFP (Acute Flaccid Paralysis)?

4. Manfaat Penulisan
Dapat menambah waawsan dan pengetahuan mengenai AFP, dimana dapat
mengakibatkan kelumpuhan pada anak yang berusia kurang dari 15 tahun. Dan dapat
memberikan informasi yang lengkap mengenai dampak dari AFP sehingga dapat
dihindari dan dikendalikan.
5. Metode Penelitian
Dalam pembuatan laporan ilmiah ini, kami menggunakan bahan pustaka sebagai
metode penelitian

BAB II

PEMBAHASAN

1. Identifikasi
Acute Flaccid Paralysis (AFP) atau biasa dikenal dengan Lumpuh Layuh
merupakan kelumpuhan yang sifatnya lemas, terjadi mendadak dalam 1-14 hari dan
bukan disebabkan ruda paksa/ trauma yang dialami oleh anak usia < 15 tahun. AFP dapat
ditularkan dari feses penderita yang mengkontaminasi makanan dan minuman yang
dikonsumsi calon penderita.Flaccid paralysis terjadi pada kurang dari 1% dari infeksi
poliovirus dan lebih dari 90% infeksi tanpa gejala atau dengan demam tidak spesifik.
Meningitis aseptik muncul pada sekitar 1% dari infeksi
Gejala klinis minor berupa demam, sakit kepala, mual dan muntah. Apabila
penyakit berlanjut ke gejala mayor, timbul nyeri otot berat, kaku kuduk dan punggung,
serta dapat terjadi flaccid paralysis. Kelumpuhan yang terjadi secara akut adalah
perkembangan kelumpuhan yang berlangsung cepat (rapid progressive) antara 1-14 hari
sejak terjadinya gejala awal (rasa nyeri, kesemutan, rasa tebal/kebas) sampai kelumpuhan
maksimal. Sedangkan kelumpuhan flaccid adalah kelumpuhan yang bersifat lunglai,
lemas atau layuh bukan kaku, atau terjadi penurunan tonus otot. Penyakit yang dapat
menyebabkan AFP:
a. Polio Myelitis Anterior Akut
Polio Myelitis Anterior Akut adalah suatu penyakit yang menyebabkan
kerusakan pada sel motorik pada jaringan syaraf di tulang punggung dan batang otak.
Penyakit lebih banyak disebabkan oleh virus polio tetapi bisa juga disebabkan virus
lain.
Penyakit yang termasuk polio myelitis anterior akut diantaranya Virus Polio,
Virus Non Polio, VAPP. Virus non polio adalah virus yang bukan termasuk kategori
polio tetapi menderita kelumpuhan seperti polio. Virus tersebut ialah Echovirus-3 di
Inggris. VAPP merupakan mutasi dari virus polio serotype-3 yang telah dilemahkan
dengan OPV (Oral Polio Vaccine) dapat terjadi pada genome virs selama proses
replikasi pada usus kecil penerima vaksin.

b. Guillain Bare Syndrom (GBS)


Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga
merupakan salah satu polineuropati, karena hingga sekarang belum dapat dipastikan
penyebabnya. Namun karena kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi,
diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah
kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas.
Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya
penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada gejala
sisa biasanya gangguan berjalan.

c. Myelitis Transvers
Pola kelumpuhan simetris dan statis.Gejala khas penyakit ini adalah
gangguan sensoris sesuai tingkat kerusakan, gangguan proses berkemih dan defekasi,
sering sakit yang berhubungan dengan pinggang.

2. Prevalensi AFP (Acute Flaccid Paralysis)


Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menindaklanjuti atau memberikan
feedback kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setiap tiga bulan dengan
mengirimkan kembali data kasus AFP, laporan kehadiran mingguan, dan analisis kinerja
surveilans AFP. Hal ini bertujuan agar Dinas Kesehatan Kabupaten melakukan
pengecekan data dan segera melaporkan jika belum dilaporkan.
 Manfaat surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis)
Manfaat surveilans AFP adalah data yang dikumpulkan dapat mendeteksi
setidaknya 1 (satu) kasus AFP di antara 100.000 anak berusia <15 tahun. Sistem
surveilans AFP yang sangat kuat sangat penting untuk mendeteksi dini virus polio liar
sebagai tujuan akhir pemberantasan polio(5).
 Hasil analisa
Data sekunder yang diperoleh akan diolah untuk mengetahui sebaran kasus
berdasarkan variabel waktu, orang, dan tempat.

a. Sebaran kasus AFP non polio menurut kelompok umur di Jawa Timur tahun 2016-
2019 adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Sebaran Kasus AFP Non Polio Berdasarkan Kelompok Umur di Jawa Timur Tahun 2016-2019.
Sumber: AFP Laporan Surveilans Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2016-2019.

Gambar 1 menunjukkan sebaran kasus AFP non-polio berdasarkan kelompok


umur. Usia anak dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu kelompok usia <1 tahun,
usia 1-4 tahun, usia 5-9 tahun, usia 10-14 tahun, dan usia ≥15 tahun. Kasus AFP non-
polio di Provinsi Jawa Timur sepanjang tahun 2016-2019 cenderung menyerang
kelompok usia 1-4 tahun dan 5-9 tahun.
b. Sebaran angka AFP non polio tahun 2014-2019 adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Angka AFP Non Polio di Jawa Timur Tahun 2014-2019. Sumber: Laporan Pengawasan AFP di
Jawa Timur. Dinas Kesehatan Provinsi, 2014-2019
Target angka AFP non polio pada penduduk usia <15 tahun adalah ≥ 2/100.000.
Angka AFP non-polio pada tahun 2014 hingga 2019 cenderung berfluktuasi.

c. Persebaran persentase kecukupan spesimen tahun 2014-2019 adalah sebagai berikut:

Gambar 3. Persentase Kecukupan Spesimen Provinsi Jawa Timur Tahun 2014-2019. Sumber: Pengawasan
AFP. Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2014-2019.

Target hasil pemeriksaan spesimen yang diterima dari laboratorium dalam waktu
≤ 14 hari adalah ≥ 80%. Tahun 2014 hingga 2017 persentase spesimen memadai
melewati target ≥80%. Namun pada tahun 2018 dan 2019 persentase spesimen memadai
berada di bawah target yaitu persentase <80%.
d. Sebaran angka AFP non polio berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
tahun 2019:

Gambar 4. Peta Sebaran Angka AFP Non Polio Berdasarkan Kinerja Surveilans AFP di Jawa Timur pada tahun
2019. Sumber: Laporan Surveilans AFP Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2019.

Kabupaten/kota dengan angka penemuan kasus ≥2/100,00 digambarkan dengan


peta wilayah berwarna hijau dan telah dikategorikan baik. Kabupaten/kota dengan angka
penemuan kasus <2/100.000 tergambar pada peta merah dan dikategorikan miskin.

e. Persentase sebaran spesimen memadai menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa


Timur tahun 2019:

Gambar 5. Peta Sebaran Persentase Kecukupan Spesimen Berdasarkan Kinerja Surveilans AFP di Jawa Timur
tahun 2019. Sumber: Laporan Surveilans AFP Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2019
Gambar 5 menunjukkan persentase spesimen cukup baik ≥80% pada peta di atas
yang ditandai dengan zona hijau. Sebanyak 15 kabupaten/kota berkategori baik
persentase spesimen memadai. Sebanyak 23 kabupaten/kota masih kekurangan spesimen.

3. Solusi Dan Penanggulangan AFP (Acute Flaccid Paralysis)


Upaya yang dilakukan untuk mencegah AFP yaitu diantaranya dengan
memberikan imunisasi Polio secara rutin sesuai jadwal,umunisasi tambahan , menjaga
kebersihan lingkungan dan membiasakan mencuci tangan dengan sabun,dan survelensi
AFP, menjaring semua kasus dengan gejala mirip polio yaitu lumpuh layuh mendadak
(Acute Flaccid Paralysis/AFP), untuk membuktikan masih terdapat kasus polio atau tidak
di populasi. Untuk membuktikan apakah kelumpuhan disebabkan oleh polio atau bukan,
dilakukan pemeriksaan tinja penderita di laboratorium polio nasional yang telah
ditentukan.
Namun apabila spesimen tinja penderita tidak bisa diambil atau tidak memenuhi
syarat (tidak adekuat), maka perlu dilakukan pemeriksaan klinis apakah masih terdapat
sisa kelumpuhan setelah 60 hari kelumpuhan. Oleh sebab itu bagi penderita dengan
spesimen tidak adekuat tersebut dilakukan pemeriksaan residual paralisis setelah 60 hari
kelumpuhan, bukan 60 hari sejak ditemukan.

4. Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis)


Surveilans yaitu kegiatan yang digunakan untuk mengamati kecenderungan dan
memperkirakan besarnya masalah kesehata, mendeteksi dan memprediksi adanya KLB,
mengamati kemajuan suatu program pencegahan dan pemberantasan penyakit yang
diperlukan, dapat memperkirakan dampak program intervensi yang ada, mengevaluasi
suatu program intervensi dan mempermudah perencanaan program pemberantasan.
Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh
layuh akut (AFP) pada anak usia < 15 tahun yang merupakan kelompok umur yang
rentan terhadap penyakit polio. Dalam hal ada keraguan dalam menentukan sifat
kelumpuhan apakah akut dan flaccid, atau ada hubungannya dengan ruda
paksa/kecelakaan, laporkanlah kasus tersebut sebagai kasus AFP. Semua penderita
berusia < 15 tahun atau lebih yang diduga kuat sebagai kasus poliomielitis oleh dokter,
dilakukan tata laksana seperti kasus AFP.
pengamatan difokuskan pada kasus poliomielitis yang mudah diidentifikasikan,
yaitu poliomielitis paralitik. Ditemukannya kasus poliomielitis paralitik disuatu wilayah
menunjukkan adanya penyebaran virus-polio liar di wilayah tersebut. Penyakit-penyakit
yang mempunyai sifat kelumpuhan seperti poliomielitis disebut kasus Acute Flaccid
Paralysis (AFP) dan pengamatannya disebut sebagai Surveilans AFP (SAFP).
Kasus polio pasti (confirmed polio case) adalah kasus AFP yang pada hasil
pemeriksaan tinjanya di laboratorium ditemukan Virus Polio Liar (VPL), cVDPV
(circulating Vaccine Derived Polio Virus), atau hot case dengan salah satu spesimen
kontak positif VPL. Sedangkan kasus polio kompatibel adalah kasus AFP yang tidak
cukup bukti untuk diklarifikasikan sebagai kasus non polio secara laboratoris (virologis)
yang dikarenakan antara lain spesimen tidak adekuat dan terdapat paralisis residual pada
kunjungan ulang 60 hari setelah terjadinya kelumpuhan serta spesimen tidak adekuat dan
kasus meninggal atau hilang sebelum dilakukan kunjungan ulang 60 hari.
Tujuan pelaksanaan surveilans AFP adalah untuk mengidentifikasi daerah risiko
tinggi, untuk mendapatkan informasi tentang adanya transmisi VPL, VDPL (Virus
Dengan Polio Liar), dan daerah dengan kinerja surveilans AFP yang tidak memenuhi
standar/indikator. Tujuan khususnya: menemukan semua kasus AFP yang ada di suatu
wilayah, melacak semua kasus AFP yang ditemukan disuatu wilayah, mengumpulkan dua
spesimen semua kasus AFP sesegera mungkin setelah kelumpuhan, memeriksa spesimen
tinja semua kasus AFP yang ditemukan di Laboratorium Polio Nasional, dan memeriksa
spesimen kontak terhadap Hot Caseuntuk mengetahui adanya sirkulasi VPL
DAFTAR PUSTAKA
https://dinkes.situbondokab.go.id/dinkes/informasi/next_berita/443#:~:text=Surveilans%
20AFP%20adalah%20pengamatan%20yang,yang%20rentan%20terhadap%20penyakit%
20polio

https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/123434-S-5383-Validitas%20Penapisan-HA.pdf

https://medicopublication.com/index.php/ijfmt/article/view/13515/12409

Anda mungkin juga menyukai