Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan karunia
dan inayah-Nya kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya makalah yang berjudul
Surveilans Epidemiologi tidak menular dengan pembahasan AFP (Acute Flaccid Paralysis).

Penulis menyadari penyusunan makalah in masih banyak kekurangan baik dari segi
penyajian materi dan dalam segi penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan dalam penyusunan makalah pada masa yang akan
datang.

Akhirnya, penulis mengucapkan semoga makalah ini bermanfaat dan dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam penilaian. Terimakasih.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kasus AFP (Acute Flaccid Paralysis) adalah semua anak-anak yabg berusia kurang
dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid (layuh), terjadi secara akut
(mendadak), bukan disebabkan oleh ruda paksa.

Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit yang


menimbulkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan penyakitnya yang cepat dan dapat
menyebabkan kematian. Hingga saat ini, surveilans epidemiologi DBD masih dihadapkan
pada beberapa permasalahan seperti, kasus DBD tidak semuanya didukung dengan hasil
pemeriksaan laboratorium klinik. Hal ini yang menyebabkan pengelompokkan penderita dan
pelaporan demam dengue (DD), DBD atau sindrom syok dengue (SSD) belum terlaksana.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa itu AFP?

2. Bagaimana sistem pelaporan pada AFP?

3. Apa itu DHF ?

4. Bagaimana sistem pelaporan pada DHF?

1.3. Tujuan Surveilans AFP

1. Mengidentifikasi daerah berisiko transmisi virus-polio liar.

2. Memantau perkembangan program eradikasi polio.

3. Membuktikan Indonesia bebas polio.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pendahuluan AFP

Definisi

Surveilans AFP

Acute Flaccyd Paralysis (AFP) merupakan gejala awal dari penyakit Polio. Surveilans
kasus lumpuh layuh akut (AFP) merupakan salah satu strategi dari eradikasi polio, yaitu
melakukan pengamatan terus-menerus secara sistematis terhadap setiap kasus AFP.
Tujuannya, untuk mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah,
sehingga dapat dilakukan mopping up upaya khusus untuk memutus transmisi virus polio liar
agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas.

v Kasus AFP

• adalah semua anak-anak yabg berusia kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang
sifatnya flaccid (layuh), terjadi secara akut (mendadak), bukan disebabkan oleh ruda paksa.

• Yang dimaksud kelumpuhan terjadi secara akut adalah perkembangan kelumpuhan yang
berlangsung cepat (rapid progressive) antara 1 – 14 hari sejak terjadinya gejala awal (rasa
nyeri, kesemutan, rasa tebal/kebas) sampai kelumpuhan maksimal.

• Yang dimaksud kelumpuhan flaccid adalah kelumpuhan yang bersifat lunglai, lemas atau
layuh bukan kaku, atau terjadi penurunan tonus otot.

• Semua penderita berusia 15 tahun atau lebih yang diduga kuat sebagai kasus
poliomyelitis oleh dokter, dilakukan tatalaksana seperti kasus AFP.

v Kasus polio pasti (confirmated polio case)

• Kasus AFP yang pada hasil pemeriksaan tinjanya di laboratorium ditemukan vitus polio
liar, cVDPV, atau hot case dengan salah satu spesimen kontak positif VPL.
v Kasus Polio Kompatibel

• Kasus AFP yang tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan sebagai kasus non polio secara
laboratoris (virologis) yang di karenakan antara lain :

1. Spesimen tidak adekuat dan terdapat paralisis residual pada kunjungan ulang 60 hari
setelah terjadi kelumpuhan.

2. Spesimen tidak adekuat dan kasus meninggal atau hilang sebelum dilakukan kunjungan
ulang 60 hari.

• Polio kompatibel menunjukkan bahwa sistem surveilans AFP masih lemah, karena
spesimen tidak adekuat yang disebabkan oleh keterlambatan penemuan kasus, keterlambatan
pengambilan spesimen dan atau pengamanan spesimen yang tidak baik.

v Sistem Pelaporan

• Satu kasus AFP merupakan suatu Kejadian Luar Biasa (KLB).

• Semua kasus yang terjadi pada tahun yang sedang berjalan harus dilaporkan. Sedangkan
kasus AFP yang kelumpuhannya terjadi pada tahun lalu, tetap dilaporkan sampai akhir bulan
Mei pada tahun yang sedang berjalan.

• Laporan rutin mingguan termasuk laporan nihil,memanfaatkan laporan mingguan PWS-


KLB (W2) untuk puskesmas dan surveilans aktif rumah sakit (FP-PD).

• Mengintegrasikan laporan rutin bulanan dengan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I).

• Kasus AFP yang tidak bisa diklasifikasikan secara laboratoris dan atau masih terdapat
sisa kelumpuhan pada kunjungan ulang 60 hari, maka klasifikasi final dilakukan oleh
Kelompok Kerja Surveilans AFP Propinsi/Nasional.

• Melakukan pemeriksaan spesimen tinja terhadap 5 orang kontak Hot Case.

v Pelaporan
Dalam surveilans AFP berlaku pelaporan-nihil (zero reporting), yaitu : laporan
harus dikirimkan pada saat yang telah ditetapkan walaupun tidak dijumpai kasus AFP selama
periode waktu tersebut dengan menuliskan jumlah kasus “0” (nol), “tidak ada kasus”,
atau “kasus nihil”.

Sumber laporan surveilans AFP (unit pelapor) adalah RS dan Puskesmas sebagai unit
pelaksana terdepan penemuan kasus. Selanjutnya secara berjenjang laporan disampaikan ke
tingkat yang lebih atas: kabupaten/kota, propinsi, dan pusat.

1. Puskesmas

• Pelaporan segera

Pelaporan KLB. Puskesmas melaporkan adanya kasus AFP ke Dinas Kesehatan


Kabupaten/kota dalam waktu 24 jam setelah kasus tersebut dikonfirmasikan secara klinis.
Laporan dapat disampaikan melalui formulir W1 (format 28c) atau telepon.

• Pelaporan rutin

Laporan mingguan dilakukan melalui sistem pelaporan PWS KLB (W2), ada maupun tidak
ada kasus.

2. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

• Pelaporan Segera

Ø Pelaporan KLB. Kabupaten/Kota harus melaporkan adanya kasus AFP (berdasarkan


laporan yang diterima dari puskesmas atau rumah sakit serta hasil pengumpulan secara aktif
di rumah sakit) ke Dinas Kesehatan Propinsi dalam waktu 24 jam setelah laporan diterima.

o Pengiriman laporan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir W1 atau melalui


telepon.

Ø Formulir FP-1. Fotokopi dari formulir FP-1 yang telah diisi dikirimkan ke Dinas
Kesehatan Propinsi segera setelah dilakukan pelacakan.

• Pelaporan rutin
Ø Kabupaten/kota membuat absensi penerimaan laporan mingguan dan mengirimkan
rekapitulasi laporan dari rumah sakit maupun puskesmas tersebut setiap bulan ke propinsi
dalam bentuk kelengkapan dan ketepatan waktu laporan.

Ø Setiap bulan membuat laporan berupa data kasus AFP dan PD3I dam bentuk format
laporan integrasi (Format 34b)

Ø Setiap bulan Dinas Kesehatan Kabupaten/kota mengirimkan list penderita AFP ke Dinas
Kesehatan Propinsi menggunakan form FPL (Format 13), meskipun tidak ditemukan kasus.
List kasus AFP (FPL) dibuat secara kumulatif sampai dengan bulan laporan pada tahun
berjalan.

Ø Laporan FPL harus sudah diterima Dinas Kesehatan Propinsi selambat-lambatnya tanggal
10 bulan berikutnya.

3. Dinas Kesehatan Propinsi

• Pengiriman laporan pelacakan kasus AFP (FP1) ke pusat dilakukan oleh seluruh propinsi
dan laboratorium setiap minggu dengan menggunakan jasa pengiriman melalui pos dalam
bentuk paket amplop cokelat besar yang ditujukan kepada (Format 33) :

Ka.Subdit Surveilans Epidemiologi

(c.q. bagian Data Surveilans AFP)

Jl. Percetakan Negara No. 29

Gedung C, Lt 3 Jakarta 10560

• Bila dalam minggu bersangkutan tidak ada kasus AFP yang ditemukan, paket harus tetap
dikirik dengan menyatakan kasus nihil pada surat pengantar (Format 32). Bagi propinsi yang
menggunakan software SAFPPRO dan laboratorium, data berupa file Epi Info (rec file)
dikirim setiap hari jumat melalui email : afpdata@yahoo.com.

• Setiap bulan Dinas Kesehatan Propinsi mengirimkan list kasus AFP, kelengkapan dan
ketepatan waktu laporan dari kabupaten/kota dan data PD3I ditujukan kepada Subdit.
Surveilans Epidemiologi selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikiunya.
2.2. Pendahuluan DHF

Definisi

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang


disebabkan oleh virus dengue dengan tanda-tanda tertentu dan disebarkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti (vektor primer), Aedes albopictus (vektor sekunder) & Aedes
scutellaris (Indonesia timur), sering menimbulkan wabah, belum ada obat dan vaksinnya
dan dapat menimbulkan kematian bila tidak segera tertolong.

Sejarah Penyakit Demam Berdarah Dengue sbb :

KLB / wabah dengue pertama tercatat pada tahun 1635 di Kepulauan Karibia.
Penyakit yang mirip dengan penyakit dengue telah dilaporkan di China 992 SM Rush, 1780
telah mengulas tentang dengue ketika menyusun tulisan tentang break borne fever di
Philadelphia. Penyakit DBD pertama kali tercatat di Australia 1897, Itali 1928, Taiwan 1931.
KLB/Wabah DBD pertama kali terkonfirmasikan di Filipina 1953 – 1954. Di Indonesia kasus
DBD pertama kali dilaporkan di Jakarta dan Surabaya 1968

Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit yang


menimbulkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan penyakitnya yang cepat dan dapat
menyebabkan kematian. Hingga saat ini, surveilans epidemiologi DBD masih dihadapkan
pada beberapa permasalahan seperti, kasus DBD tidak semuanya didukung dengan hasil
pemeriksaan laboratorium klinik. Hal ini yang menyebabkan pengelompokkan penderita dan
pelaporan demam dengue (DD), DBD atau sindrom syok dengue (SSD) belum terlaksana.

Laporan tersangka DBD dimaksudkan untuk tindakan kewaspadaan seperti


pemantauan perkembangan diagnosis di unit pelayanan kesehatan atau oleh dinas kesehatan,
pencarian informasi kemungkinan adanya kasus tambahan di desa/ kelurahan tersangka
berdomilisi dan pemberian anjuran pemeriksaan di fasilitas kesehatan agar tidak terjadi
keterlambatan, peningkatan upaya penyuluhan DBD atau PSN DBD dan upaya penggerakan
masyarakat. Laporan penderita DD, DBD dan SSD selain untuk tindak lanjut penyelidikan
epidemiologis (PE) dan penanggulangan focus(PSN, DBD, larvasidasi, penyuluhan tentang
DBD/PSN/DBD, dan fogging focus bila memenuhi kriteria) untuk membatasi penyebaran
penyakit,sekaligus sebagai pelaporan penderita secara berjenjang ke propinsi dan pusat.

Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit yang


menimbulkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan penyakitnya yang cepat dan dapat
menyebabkan kematian. Hingga saat ini, surveilans epidemiologi DBD masih dihadapkan
pada beberapa permasalahan seperti, kasus DBD tidak semuanya didukung dengan hasil
pemeriksaan laboratorium klinik. Hal ini yang menyebabkan pengelompokkan penderita dan
pelaporan demam dengue (DD), DBD atau sindrom syok dengue (SSD) belum terlaksana.

Laporan tersangka DBD dimaksudkan untuk tindakan kewaspadaan seperti


pemantauan perkembangan diagnosis di unit pelayanan kesehatan atau oleh dinas kesehatan,
pencarian informasi kemungkinan adanya kasus tambahan di desa/ kelurahan tersangka
berdomilisi dan pemberian anjuran pemeriksaan di fasilitas kesehatan agar tidak terjadi
keterlambatan, peningkatan upaya penyuluhan DBD atau PSN DBD dan upaya penggerakan
masyarakat. Laporan penderita DD, DBD dan SSD selain untuk tindak lanjut penyelidikan
epidemiologis (PE) dan penanggulangan focus(PSN, DBD, larvasidasi, penyuluhan tentang
DBD/PSN/DBD, dan fogging focus bila memenuhi kriteria) untuk membatasi penyebaran
penyakit,sekaligus sebagai pelaporan penderita secara berjenjang ke propinsi dan pusat.

Alur Pelaporan Demam Berdarah

• Petugas kesehatan/unit pelayanan Kesehatan yang menemukan penderita / tersangka


penyakit DBD melaporkan kepada Puskesmas setempat.Untuk Rumah sakit penyampaian
laporan ke Puskesmas dapat dilakukan melalui Dinas Kesehatan.Pelaporan ini merupakan “
laporan kewaspadaan “ dari unit pelayanan kesehatan.

• Formulir pelaporan yang digunakan adalah form So ( lampiran 1 )

• Petugas kesehatan/unit Pelayanan Kesehatan yang menemukan penderita/tersangka


penyakit DBD memberikan “surat Pengantar” kepada keluarga penderita unuk disampaikan
kepada Kepala Kelurahan.
• Lurah / kepala Desa yang menerima laporan tentang adanya penderita/tersangka
penyakit DBD segera meneruskannya kepada Puskesmas.

§ Pelaporan Rutin

Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)

• Setiap unit pelayanan kesehatan yang menemukan tersangka atau penderita DBD wajib
segera melaporkannya ke dinas kesehatan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya
dalam 24 jam dengan tembusan ke puskesmas wilayah tempat tinggal penderita. Laporan
tersangka DBD merupakan laporan yang dipergunakan untuk tindakan kewaspadaan dan
tindak lanjut penanggulangannya juga merupakan laporan yang dipergunakan senagai laporan
kasus yang diteruskan secara berjenjang dari puskesmas sampai pusat. Formulir yang
digunmakan adalah formulir kewaspadaan dini RS(KD/RS-DBD) lampiran 1, dan formulir
rekapitulasi penderita DBD per bulan(DP-DBD/RS) lampiran 2.

Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten/kota:

• Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD dalam 24 jam


setelah diagnosis ditegakkan(lampiran 1)

• Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan
per bulan (lampiran 2)

• Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan (lampiran 3)

• Menggunakan W2-DBD sebagai laporan mingguan (lampiran 4)

• Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB (lampiran 5)

Pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke dinas kesehatan propinsi

• Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan
per bulan (lampiran 2)

• Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan (lampiran 3)


• Menggunakan W2-DBD sebagai laporan mingguan (lampiran 4)

• Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB (lampiran 5)

Pelaporan dari dinas kesehatan propinsi ke pusat

• Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan
per bulan (lampiran 2)

• Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan (lampiran 3)

• Menggunakan W2-DBD sebagai laporan mingguan (lampiran 4)

• Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB (lampiran 5)

§ Pelaporan dalam Situasi Kejadian Luar Biasa

Pelaporan oleh unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas):

• Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)

• Pelaporan dengan formulir DP-DBD ditingkatkan frekuensi menjadi mingguan atau


harian (lampiran 2)

• Pelaporan dengan formulir KD/RS-DBD tetap dilaksanakan (lampiran 1)

Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten/kota

• Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)

• Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD dalam 24 jam


setelah diagnosis ditegakkan (lampiran 1)

• Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)


Pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke dinas kesehatan propinsi

• Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)

• Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)

Pelaporan dari dinas kesehatan propinsi ke pusat

• Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)

• Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)

§ Umpan Balik Pelaporan

Umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan


memelihara kesinambungan pelapran, kelengkapan dan ketetapan waktu pelaporan serta
analisis terhadap laporan. Frekuensi umpan balik oleh masing-masing tingkat administrasi
dilaksanakan setiap tiga bulan, minimal dua kali dalam setahun.

Surveilans Epidemiologis Demam Berdarah Dengue di Puskesmas

Surveilans epidemiologi demam berdarah dengue (DBD) di puskesmas meliputi


kegiatan pengumpulan dan pencatatan data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD;
Pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan KLB; KD/RS-DBD untuk
pelaporan tersangka DBD, penderita DD, DBD, SSD dalam 24 jam setelah diagnosis
ditegakkan; laporan KLB (W1); laporan mingguan KLB (W2-DBD); laporan bulanan
kasus/kematian DBD dan program pemberantasan (K-DBD); data dasar perorangan penderita
DD, DBD, SSD (DP-DBD), penentuan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan, distribusi
kasus DBD per RW/ dusun, penentuan musim penularan dan kecenderungan DBD.
Pengumpulan dan Pencatatan Data

§ Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan
penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima
puskesmas dapat berasal dari rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas
sendiri atau puskesmas lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan
kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain-lain), dan hasil
penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari rumah sakit/unit
pelayanan kesehatan lainnya)

§ Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD menggunakan buku
catatan harian penderita DBD yang memuat catatan (kolom) sekurang-kurangnya seperti pada
form DP-DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD

Konsep Surveilans AFP


Strategi Surveilans AFP

 Menemukan kasus AFP minimal 2/100.000 penduduk < 15 tahun


 Upaya penemuan : di Rumah Sakit di Puskesmas dan Masyarakat
 Pemeriksaan Klinis dan Laboratorium
 Keterlibatan ahli
 Pemeriksaan Ulang 60 hari
 Zero Reporting

Kegiatan Surveilans AFP

 Penemuan kasus
 Pelacakan Kasus
 Pengumpulan Spesimen
 Hot Case
 Survey Status Imunisasi Polio
 Nomor Epid
 Nomor Laboratorium Kasus AFP dan Kontak
 Kunjungan Ulang (KU) 60 Hari
 Umpan Balik dan Penyebarluasan Informasi

Penemuan kasus

 Minimal Kasus 2/100.000 anak dibawah 15 tahun


 Strategi : Surv. Aktif RS (HBS); Surv. Aktif Masyarakat (CBS)

Surveilans Aktif Rumah Sakit

 Dilakukan di semua RS yang merawat anak < 15 tahun


 Pelaksana : Petugas Surveilan Kab/ Kota dan Kontak person di RS
 Frekwensi : Setiap minggu bagi petugas kab/ kota dan setiap hari bagi kontak person
 Persiapan pelaksanaan : Identifikasi RS, Pendekatan kepada pihak RS, Bersama RS
identifikasi unit perawatan di RS bersangkutan, Bersama RS tentukan contact person,
Bersama RS identifikasi sumber data, Menyediakan bahan-bahan informasi, Buat
daftar nomor telp. Penting, On the job training, Sosialisasi ke petugas RS.

Pelaksanaan Surveilans Aktif RS yang dilakukan oleh Petugas Kabupaten :

1. Kumpulkan data secara aktif


2. 1 Minggu sekali melakukan kunjungan ke RS bersama contact person dab bubuhkan
tanda tangan di register
3. Catat data kasus dalam formulir FP-PD jika ada kasus, tulis nihil jika tidak ada
4. Diskusikan dengan DSA/ DSA tentang temuan SAFP
5. Buat absensi pelaks. Surv. Aktif RS dalam bentuk “kelengkapan laporan mingguan
RS”
6. Setiap bulan kompilasi data kasus AFP, Campak, TN dan Difteri dalam format
integrasi Pelaksana

Pelaksanaan Surveilans Aktif oleh cantact person :

1. Surveilans aktif dilakukan setiap hari, berkoordinasi dengan contact person diruangan
2. Diskusikan dengan DSA/ DSS hasil temuan
3. Segera lapor < 24 jam ke dinkes kabupaten/ kota apabila menemukan kasus AFP

Pelaksanaan Surveilans AFP di Masyarakat/ CBS

 Peran Dinkes Kab./ Kota : Jelaskan Strategi CBS dan peran PKM dalam SAFP,
Koordinasi pelaksanaan SAFP di PKM, Menyiapkan bahan-bahan Densiminasi
informasi, Melatih petugas PKM dalam pelaksanaan SAFP
 Peran Puskesmas : Menemukan kasus (PKM, Pustu, Poliklinik desa dan klinik
swasta), Menemukan kasus dan menyebarluaskan informasi (kader, pengobatan
tradisional, PKK pesantren, TOMA dll
 Sebar luas info ke masy. (poster, leaflet, pengenalan kasus kelumpuhan dan
melaporkan lke PKM/ RS dan petugas kesehatn)
 Pelacakan kasus (< 24 jam)
 Lapor ke Dinkes setipa kasus AFP < 24 jam
 Melakukan pelacakan bersama Dinkes
 Mengamankan spesimen sebelum dikirim (kontrol suhu)
 Mengirimkan laporan mingguan W2 ke Dinkes

Tujuan Kasus

 Memastikan kasus benar-benar AFP


 Mengumpulkan data epid.
 Ambil Spesimen
 Cari kasus tambahan
 Memastikan ada/ tidaknya sisa kelumpuhan pada KU 60 hari
 Mengumpulkan resume medik/ pemriksaan penunjang lainnya
 Tim Pelacak : Tims surv. Kab/ kota. Peskesmas atu petugas surveilans prov. Yang
sudah terlatih

Prosedur pelacakan

 Isi format pelacakan (FP1)


 Kumpulkan 2 Spesimen Tinja, yang kelumpuhannya < 2 bulan
 Upayakan setiap kasus AFP mendapat perawatan medis
 Mencari kasus tambahan (tanyakan : orang tua, TOMA, Kader, guru dll)
 Lakukan follow up (Kunjungan ulang) 60 hari terhadap kasus dengan spesimen tidak
adekuat dan hasil lab positif virus polio vaksin

Kegiatan Surveilans AFP

Pengumpulan Spesimen

 Bila Kelumpuhan terjadi <= 2 bulan saat ditemukan : Isi formulir FP1, Kumpulkan 2
Spesimen Tinja
 Bila Kelumpuhan terjadi > 2 bulan saat ditemukan : Isi formulir FP1, Tidak perlu
ambil spesimen, Membuat resume medik

Pengumpulan Spesimen Tinja


 Perlengkapan pengumpulan spesimen
 Prosedur pengumpulan Spesimen
 Pengiriman Spesimen ke laboratorium
 Prosedur Pengiriman Spesimen
 Spesimen Adekuat

Perlengkapan pengumpulan spesimen

 2 Buah pot bertutup ulir


 2 Buah kantong plastik ukuran kecil (membungkus @ pot tinja)
 2 Buah plastik besar : bungkus 2 pot tinja; Bungkus FP1 dan formulir pengiriman
spesimen
 2 buah kertas label auto-adhesive
 Pulpen dengan tinta tahan air
 Cellotipe
 FP1 dan FP-S1
 Specimen carrier 5 cold pack
 Lackban
 Formulir pemantauan rantai dingin
 Lembar tata cara pengumpulan spesimen

Prosedur pengumpulan Spesimen

 Segera setelah dinyatakan sebagai kasus AFP (2 spesimen dengan jarak kedua
pengambilan minimal 24 jam)
 Pengambilan spesimen diupayakan < 14 hari
 Penderita diminta BAB di atas kertas, ambil tinja sebanyak ± 8 gr
 Masukan tiap spesimen ke pot tinja, beris cellotipe pada badan dan tutup pot
 Beri label (nomor epid, nama dan tanggal ambil spesimen)
 Lapis label dengan cellotape
 Setiap pot masukan ke pot kecil, kemudian dibungkus dalam 1 kantong besar
 FP1 dan FP-S1 Bungkus dalam plastik besar (masukan dalam Spesimen carrier)
 Masukkan dalam spesimen carrier (ditata agar tdk terguncang)
 Tutup Spesimen carrier dengan lackban
 Tempelkan alamat laboratorium di badan spesimen carrier

 Apabila di rawat di RS : Minta bantuan petugas RS Titipkan perlengkapan, Jelaskan


prosedur pengambilan
 Tidak diperoleh pada saat kunjungan lapangan : Minta bantuan orang tua, Buat
perjanjian waktu ambil (jaga suhu, ganti coldpack dengan yang beku setiap 2 hari),
Jelaskan ke orang tua cara pengambilan

Pengiriman Spesimen ke laboratorium

 Sebelum dikirim ke tujuan isi formulir pematauan rantai dingin Spesimen (FPS-0)
 Pengiriman oleh tim pelacak Kab/ kota atau provinsi
 Kab./ kota dapat mengirim langsung ke lab. Nasional
 Pengiriman dengan menggunakan jasa pengirman

Prosedur Pengiriman Spesimen

 Setelah di kemas harus dikirim ke Lab. Nasional selambat-lambatnya 3 hari


 Upayakan tidak pada hari libur (boleh : jika sdh konfirmasi pada pihak lab)
 Bila dikirim melalui provinsi : Periksa kondisi spesimen, Menuliskan kondisi dan
tanggal pengiriman dari provinsi ke lab. Nasional, Cek Coldpack

Spesimen Adekuat

 2 spesimen dikumpulkan dengan tegang waktu minimal 24 jam


 Pengumpulan spesimen < 14 Hari
 Berat ± 8 gram
 Saat diterima Lab.: 2 spesimen tidak bocor, 2 spesimen volume cukup, Suhu dalam
spesimen carrier 2-8C, 2 spesimen tidak rusak.

Hot Case
3 Kategori :
A.(Spe.Tdk adekuat, usai < 5 tahun, demam, kelumpuhan tidak simetris)
B.(spe.Tdk adekuat & dokter mendiagnosis poliomyelettis
C.(spe.Tdk adekuat & Cluster)
Cluster : 2 kasus atau lebih, satu wilayah, beda waktu kelumpuhan tidak lebih dari 1 bulan)
Kontak : usia < 5 thn, berinteraksi dengan kasus sejak kelumpuhan sampai 3 bulan kedapan)

Prosedur pengambilan spesimen Kontak

 Setiap hot case ambil 5 kontak


 1 kontak ambil 1 spesimen
 Beri label setiap spesimen : Nomor epid, Nama kontak, Tanggal pengambilan
 Pengepekan sama dengan spesimen AFP
 Kirim ke Laboratorium Nasional

Survey Status Imunisasi Polio

Dilakukan pada kasus AFP usia 6 bulan – 5 tahun dengan status imunisasi polio < 4 kali

terhadap 20-50 anak usai balita di sekitar rumah penderita.

Target: Kasus AFP usia 6 bulan – 5 tahun dengan status OPV < 4 dosis

Tujuan: Untuk mengetahui alasan balita tidak mendapat imunisasi

Survey: balita di desa yang sama atau desa dekat dengan penderita

Hasil survey diinformasikan kepada Program Imunisasi

Nomor Epid

 Tujuan Pemberian Nomor epid


 Siapa yang memberikan nomor epid
 Tata cara pemberian nomor epid kasus
 Tata cara pemberian nomor epid kontak

Nomor EPID Kasus AFP


Nomor EPID diberikan oleh petugas surveilans kabupaten. Nomor EPID diberikan
berdasarkan dimana anak berdomisili selama satu bulan sebelum kelumpuhan. Bila kasus
ditemukan di fasilitas kesehatan di kabupaten lain, harus diusahakan untuk mendapatkan
nomor EPID yang benar dari kabupaten dimana penderita berdomisili selama satu bulan
sebelum kelumpuhan. Bila nomor EPID yang benar belum bisa ditentukan sebelum spesimen
dikirim ke lab, FP1 tetap harus dikirim tanpa nomor epid atau menggunakan nomor epid
sementara, mis: 120111XXX . Selanjutnya menjadi tanggung jawab kabupaten yang mengisi
FP1 untuk mencari nomor EPID yang benar dan memberitahu propinsi, lab dan surveilans
AFP pusat dalam waktu 72 jam sejak pelacakan. Daftar nomor EPID harus disimpan di
kabupaten. Sekali suatu nomor dipakai nomor tersebut tidak boleh dipakai lagi. (lihat kartu
kendali No. Epid). Bila suatu nomor EPID sudah digunakan dan salah diberikan, nomor
tersebut tidak boleh dipakai lagi.

Penetapan Nomor Epid


Kasus : PP-DD-TT-NNN
PP: Kode Propinsi
DD: Kode Kabupaten/Kota
TT: Tahun Kelumpuhan
NNN: Kode Penderita
Kontak : C1/PP-DD-TT-NNN

Kunjungan Ulang (KU) 60 Hari

 Bila Spesimen tidak adekuat


 Hasil lab. Virus polio vaksin
 Bertujuan untuk melihat sisa kelumpuhan 2 kemungkinan : Tidak ada sisa
kelumpuhan ; Ada sisa kelumpuhan (perlu pemeriksaan lanjutan oleh DSA/ DSS/
dokter umum dan buat resume medis).
 Bila kasus tidak dapat di KU 60 hari (meninggal, pindah alamat, menolak dll) tetap
dilengkapi formulir KU 60 Hari dengan mencatumkan alasannya

Pelaporan, Umpan Balik dan Penyebarluasan Informasi dilakukan oleh Puskesmas


Dinkes Kabupaten/ Kota Dinkes Provinsi Kementerian Kesehatan
BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan

1. Terbentuknya rancangan dan aplikasi sistem surveilans AFP dan DBD

2. Telah dilaksanakan pelatihan Surveilans AFP dan DBD

3.2. Saran

1. Dilakukan pelatihan untuk semua petugas /pengelola data surveilans AFP dan DBD di
seluruh wilayah endemis.

2. Mengaplikasikan sistem surveilans AFP dan DBD ini secara on line sehingga dapat diakses
oleh semua pihak yang memerlukan data/informasi AFP dan DBD.
DAFTAR PUSTAKA

http://muhadiskmmkm.blogspot.com/2009/06/demam-berdarah-dengue-dbd.html

http://puskesmasdwn1.files.wordpress.com/2011/07/db_mei2011.pdf

http://dawan1.diskesklungkung.net/wp-content/uploads/2011/05/DBD_April_2011.pdf

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20483%20ttg%20Pedo
man%20Surveilans%20Acute%20Flaccid%20Paralysis%20%28AFP%29.pdf

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20588%20ttg%20Penye
lenggaraaan%20Pilot%20Proyek%20IPV%20Di%20Yogyakarta.pdf

KMK No. 483 ttg Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP).
MAKALAH

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

TENTANG SURVEILANS AFP (Acute Flaccid Paralysis)

DOSEN : EKA SAUNDAR R.S SKM, M.KES

DI SUSUN OLEH :

YANTIKA PANJAITAN

UNIVERSITAS EFARINA PEMATANG SIANTAR

TAHUN AJARAN 2017/2018

Anda mungkin juga menyukai