Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan karunia
dan inayah-Nya kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya makalah yang berjudul
Surveilans Epidemiologi tidak menular dengan pembahasan AFP (Acute Flaccid Paralysis).
Penulis menyadari penyusunan makalah in masih banyak kekurangan baik dari segi
penyajian materi dan dalam segi penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan dalam penyusunan makalah pada masa yang akan
datang.
Akhirnya, penulis mengucapkan semoga makalah ini bermanfaat dan dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam penilaian. Terimakasih.
BAB I
PENDAHULUAN
Kasus AFP (Acute Flaccid Paralysis) adalah semua anak-anak yabg berusia kurang
dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid (layuh), terjadi secara akut
(mendadak), bukan disebabkan oleh ruda paksa.
PEMBAHASAN
Definisi
Surveilans AFP
Acute Flaccyd Paralysis (AFP) merupakan gejala awal dari penyakit Polio. Surveilans
kasus lumpuh layuh akut (AFP) merupakan salah satu strategi dari eradikasi polio, yaitu
melakukan pengamatan terus-menerus secara sistematis terhadap setiap kasus AFP.
Tujuannya, untuk mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah,
sehingga dapat dilakukan mopping up upaya khusus untuk memutus transmisi virus polio liar
agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas.
v Kasus AFP
• adalah semua anak-anak yabg berusia kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang
sifatnya flaccid (layuh), terjadi secara akut (mendadak), bukan disebabkan oleh ruda paksa.
• Yang dimaksud kelumpuhan terjadi secara akut adalah perkembangan kelumpuhan yang
berlangsung cepat (rapid progressive) antara 1 – 14 hari sejak terjadinya gejala awal (rasa
nyeri, kesemutan, rasa tebal/kebas) sampai kelumpuhan maksimal.
• Yang dimaksud kelumpuhan flaccid adalah kelumpuhan yang bersifat lunglai, lemas atau
layuh bukan kaku, atau terjadi penurunan tonus otot.
• Semua penderita berusia 15 tahun atau lebih yang diduga kuat sebagai kasus
poliomyelitis oleh dokter, dilakukan tatalaksana seperti kasus AFP.
• Kasus AFP yang pada hasil pemeriksaan tinjanya di laboratorium ditemukan vitus polio
liar, cVDPV, atau hot case dengan salah satu spesimen kontak positif VPL.
v Kasus Polio Kompatibel
• Kasus AFP yang tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan sebagai kasus non polio secara
laboratoris (virologis) yang di karenakan antara lain :
1. Spesimen tidak adekuat dan terdapat paralisis residual pada kunjungan ulang 60 hari
setelah terjadi kelumpuhan.
2. Spesimen tidak adekuat dan kasus meninggal atau hilang sebelum dilakukan kunjungan
ulang 60 hari.
• Polio kompatibel menunjukkan bahwa sistem surveilans AFP masih lemah, karena
spesimen tidak adekuat yang disebabkan oleh keterlambatan penemuan kasus, keterlambatan
pengambilan spesimen dan atau pengamanan spesimen yang tidak baik.
v Sistem Pelaporan
• Semua kasus yang terjadi pada tahun yang sedang berjalan harus dilaporkan. Sedangkan
kasus AFP yang kelumpuhannya terjadi pada tahun lalu, tetap dilaporkan sampai akhir bulan
Mei pada tahun yang sedang berjalan.
• Mengintegrasikan laporan rutin bulanan dengan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I).
• Kasus AFP yang tidak bisa diklasifikasikan secara laboratoris dan atau masih terdapat
sisa kelumpuhan pada kunjungan ulang 60 hari, maka klasifikasi final dilakukan oleh
Kelompok Kerja Surveilans AFP Propinsi/Nasional.
v Pelaporan
Dalam surveilans AFP berlaku pelaporan-nihil (zero reporting), yaitu : laporan
harus dikirimkan pada saat yang telah ditetapkan walaupun tidak dijumpai kasus AFP selama
periode waktu tersebut dengan menuliskan jumlah kasus “0” (nol), “tidak ada kasus”,
atau “kasus nihil”.
Sumber laporan surveilans AFP (unit pelapor) adalah RS dan Puskesmas sebagai unit
pelaksana terdepan penemuan kasus. Selanjutnya secara berjenjang laporan disampaikan ke
tingkat yang lebih atas: kabupaten/kota, propinsi, dan pusat.
1. Puskesmas
• Pelaporan segera
• Pelaporan rutin
Laporan mingguan dilakukan melalui sistem pelaporan PWS KLB (W2), ada maupun tidak
ada kasus.
• Pelaporan Segera
Ø Formulir FP-1. Fotokopi dari formulir FP-1 yang telah diisi dikirimkan ke Dinas
Kesehatan Propinsi segera setelah dilakukan pelacakan.
• Pelaporan rutin
Ø Kabupaten/kota membuat absensi penerimaan laporan mingguan dan mengirimkan
rekapitulasi laporan dari rumah sakit maupun puskesmas tersebut setiap bulan ke propinsi
dalam bentuk kelengkapan dan ketepatan waktu laporan.
Ø Setiap bulan membuat laporan berupa data kasus AFP dan PD3I dam bentuk format
laporan integrasi (Format 34b)
Ø Setiap bulan Dinas Kesehatan Kabupaten/kota mengirimkan list penderita AFP ke Dinas
Kesehatan Propinsi menggunakan form FPL (Format 13), meskipun tidak ditemukan kasus.
List kasus AFP (FPL) dibuat secara kumulatif sampai dengan bulan laporan pada tahun
berjalan.
Ø Laporan FPL harus sudah diterima Dinas Kesehatan Propinsi selambat-lambatnya tanggal
10 bulan berikutnya.
• Pengiriman laporan pelacakan kasus AFP (FP1) ke pusat dilakukan oleh seluruh propinsi
dan laboratorium setiap minggu dengan menggunakan jasa pengiriman melalui pos dalam
bentuk paket amplop cokelat besar yang ditujukan kepada (Format 33) :
• Bila dalam minggu bersangkutan tidak ada kasus AFP yang ditemukan, paket harus tetap
dikirik dengan menyatakan kasus nihil pada surat pengantar (Format 32). Bagi propinsi yang
menggunakan software SAFPPRO dan laboratorium, data berupa file Epi Info (rec file)
dikirim setiap hari jumat melalui email : afpdata@yahoo.com.
• Setiap bulan Dinas Kesehatan Propinsi mengirimkan list kasus AFP, kelengkapan dan
ketepatan waktu laporan dari kabupaten/kota dan data PD3I ditujukan kepada Subdit.
Surveilans Epidemiologi selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikiunya.
2.2. Pendahuluan DHF
Definisi
KLB / wabah dengue pertama tercatat pada tahun 1635 di Kepulauan Karibia.
Penyakit yang mirip dengan penyakit dengue telah dilaporkan di China 992 SM Rush, 1780
telah mengulas tentang dengue ketika menyusun tulisan tentang break borne fever di
Philadelphia. Penyakit DBD pertama kali tercatat di Australia 1897, Itali 1928, Taiwan 1931.
KLB/Wabah DBD pertama kali terkonfirmasikan di Filipina 1953 – 1954. Di Indonesia kasus
DBD pertama kali dilaporkan di Jakarta dan Surabaya 1968
§ Pelaporan Rutin
• Setiap unit pelayanan kesehatan yang menemukan tersangka atau penderita DBD wajib
segera melaporkannya ke dinas kesehatan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya
dalam 24 jam dengan tembusan ke puskesmas wilayah tempat tinggal penderita. Laporan
tersangka DBD merupakan laporan yang dipergunakan untuk tindakan kewaspadaan dan
tindak lanjut penanggulangannya juga merupakan laporan yang dipergunakan senagai laporan
kasus yang diteruskan secara berjenjang dari puskesmas sampai pusat. Formulir yang
digunmakan adalah formulir kewaspadaan dini RS(KD/RS-DBD) lampiran 1, dan formulir
rekapitulasi penderita DBD per bulan(DP-DBD/RS) lampiran 2.
• Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan
per bulan (lampiran 2)
• Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan
per bulan (lampiran 2)
• Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan
per bulan (lampiran 2)
§ Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan
penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima
puskesmas dapat berasal dari rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas
sendiri atau puskesmas lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan
kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain-lain), dan hasil
penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari rumah sakit/unit
pelayanan kesehatan lainnya)
§ Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD menggunakan buku
catatan harian penderita DBD yang memuat catatan (kolom) sekurang-kurangnya seperti pada
form DP-DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD
Penemuan kasus
Pelacakan Kasus
Pengumpulan Spesimen
Hot Case
Survey Status Imunisasi Polio
Nomor Epid
Nomor Laboratorium Kasus AFP dan Kontak
Kunjungan Ulang (KU) 60 Hari
Umpan Balik dan Penyebarluasan Informasi
Penemuan kasus
1. Surveilans aktif dilakukan setiap hari, berkoordinasi dengan contact person diruangan
2. Diskusikan dengan DSA/ DSS hasil temuan
3. Segera lapor < 24 jam ke dinkes kabupaten/ kota apabila menemukan kasus AFP
Peran Dinkes Kab./ Kota : Jelaskan Strategi CBS dan peran PKM dalam SAFP,
Koordinasi pelaksanaan SAFP di PKM, Menyiapkan bahan-bahan Densiminasi
informasi, Melatih petugas PKM dalam pelaksanaan SAFP
Peran Puskesmas : Menemukan kasus (PKM, Pustu, Poliklinik desa dan klinik
swasta), Menemukan kasus dan menyebarluaskan informasi (kader, pengobatan
tradisional, PKK pesantren, TOMA dll
Sebar luas info ke masy. (poster, leaflet, pengenalan kasus kelumpuhan dan
melaporkan lke PKM/ RS dan petugas kesehatn)
Pelacakan kasus (< 24 jam)
Lapor ke Dinkes setipa kasus AFP < 24 jam
Melakukan pelacakan bersama Dinkes
Mengamankan spesimen sebelum dikirim (kontrol suhu)
Mengirimkan laporan mingguan W2 ke Dinkes
Tujuan Kasus
Prosedur pelacakan
Pengumpulan Spesimen
Bila Kelumpuhan terjadi <= 2 bulan saat ditemukan : Isi formulir FP1, Kumpulkan 2
Spesimen Tinja
Bila Kelumpuhan terjadi > 2 bulan saat ditemukan : Isi formulir FP1, Tidak perlu
ambil spesimen, Membuat resume medik
Segera setelah dinyatakan sebagai kasus AFP (2 spesimen dengan jarak kedua
pengambilan minimal 24 jam)
Pengambilan spesimen diupayakan < 14 hari
Penderita diminta BAB di atas kertas, ambil tinja sebanyak ± 8 gr
Masukan tiap spesimen ke pot tinja, beris cellotipe pada badan dan tutup pot
Beri label (nomor epid, nama dan tanggal ambil spesimen)
Lapis label dengan cellotape
Setiap pot masukan ke pot kecil, kemudian dibungkus dalam 1 kantong besar
FP1 dan FP-S1 Bungkus dalam plastik besar (masukan dalam Spesimen carrier)
Masukkan dalam spesimen carrier (ditata agar tdk terguncang)
Tutup Spesimen carrier dengan lackban
Tempelkan alamat laboratorium di badan spesimen carrier
Sebelum dikirim ke tujuan isi formulir pematauan rantai dingin Spesimen (FPS-0)
Pengiriman oleh tim pelacak Kab/ kota atau provinsi
Kab./ kota dapat mengirim langsung ke lab. Nasional
Pengiriman dengan menggunakan jasa pengirman
Spesimen Adekuat
Hot Case
3 Kategori :
A.(Spe.Tdk adekuat, usai < 5 tahun, demam, kelumpuhan tidak simetris)
B.(spe.Tdk adekuat & dokter mendiagnosis poliomyelettis
C.(spe.Tdk adekuat & Cluster)
Cluster : 2 kasus atau lebih, satu wilayah, beda waktu kelumpuhan tidak lebih dari 1 bulan)
Kontak : usia < 5 thn, berinteraksi dengan kasus sejak kelumpuhan sampai 3 bulan kedapan)
Dilakukan pada kasus AFP usia 6 bulan – 5 tahun dengan status imunisasi polio < 4 kali
Target: Kasus AFP usia 6 bulan – 5 tahun dengan status OPV < 4 dosis
Survey: balita di desa yang sama atau desa dekat dengan penderita
Nomor Epid
PENUTUP
3.1. Simpulan
3.2. Saran
1. Dilakukan pelatihan untuk semua petugas /pengelola data surveilans AFP dan DBD di
seluruh wilayah endemis.
2. Mengaplikasikan sistem surveilans AFP dan DBD ini secara on line sehingga dapat diakses
oleh semua pihak yang memerlukan data/informasi AFP dan DBD.
DAFTAR PUSTAKA
http://muhadiskmmkm.blogspot.com/2009/06/demam-berdarah-dengue-dbd.html
http://puskesmasdwn1.files.wordpress.com/2011/07/db_mei2011.pdf
http://dawan1.diskesklungkung.net/wp-content/uploads/2011/05/DBD_April_2011.pdf
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20483%20ttg%20Pedo
man%20Surveilans%20Acute%20Flaccid%20Paralysis%20%28AFP%29.pdf
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20588%20ttg%20Penye
lenggaraaan%20Pilot%20Proyek%20IPV%20Di%20Yogyakarta.pdf
KMK No. 483 ttg Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP).
MAKALAH
DI SUSUN OLEH :
YANTIKA PANJAITAN