Anda di halaman 1dari 12

Nama : Paradiba

Nim : 220304502090
Kelas : F
Mata kuliah : Isu terkini administrasi kesehatan
PAPER
POLIO DI INDONESIA
Berikan gambaran situasi polio di indonesia mulai dari sejarah masuknya polio di
indonesia bahkan global
:
Polio, atau poliomielitis, adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus
poliovirus. Virus ini menyerang sistem saraf manusia, khususnya sumsum tulang belakang, dan
dapat menyebabkan kelumpuhan otot atau bahkan kematian dalam beberapa kasus yang parah.
Polio dapat menyerang individu dari segala usia, tetapi anak-anak di bawah usia lima tahun lebih
rentan terhadap penyakit ini.
Poliovirus menyebar melalui kontak langsung dengan tinja orang yang terinfeksi atau
melalui droplet yang dihasilkan saat batuk atau bersin. Virus dapat masuk ke tubuh melalui mulut
dan hidung, kemudian menyebar ke saluran pencernaan, sistem peredaran darah, dan akhirnya
mencapai sistem saraf pusat. Setelah menyerang sistem saraf, poliovirus dapat menyebabkan
kerusakan permanen pada sel-sel saraf motorik yang mengendalikan gerakan otot.
Gejala awal infeksi poliovirus sering mirip dengan flu biasa, termasuk demam, sakit
kepala, kelelahan, dan nyeri otot. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak mengalami gejala
yang parah dan pulih dengan sendirinya. Namun, sekitar 1% dari mereka yang terinfeksi dapat
mengalami bentuk paralitik polio, di mana virus menyerang sistem saraf dan menyebabkan
kelumpuhan otot.
Ada tiga jenis polio paralitik, yaitu polio spinal, polio bulbospinal, dan polio bulbar. Polio
spinal adalah yang paling umum, di mana kelumpuhan terjadi pada tungkai atau lengan. Polio
bulbospinal melibatkan kelumpuhan yang mempengaruhi otot-otot pernapasan dan menelan,
sedangkan polio bulbar melibatkan kelumpuhan otot-otot tenggorokan, lidah, dan wajah.
Tidak ada pengobatan spesifik untuk polio. Pengobatan yang ada bertujuan untuk
meredakan gejala dan memberikan perawatan suportif, seperti istirahat, cairan, dan fisioterapi
untuk mempertahankan kekuatan dan fungsi otot yang tersisa. Namun, vaksinasi adalah langkah
pencegahan paling efektif untuk mencegah polio.
Vaksin polio berupa vaksin polio oral (OPV) atau vaksin polio inaktif (IPV). Vaksin OPV
mengandung virus polio lemah yang dilemahkan secara genetik sehingga tidak menyebabkan
penyakit, tetapi dapat merangsang respons kekebalan tubuh. Vaksin IPV mengandung virus polio
yang telah dinonaktifkan sehingga tidak dapat menyebabkan penyakit. Kedua jenis vaksin ini
efektif dalam melindungi individu dari infeksi poliovirus dan mencegah penyebaran penyakit ini
ke orang lain.
Dengan vaksinasi yang luas dan program pemberantasan polio yang komprehensif, upaya
global telah mengurangi jumlah kasus polio secara signifikan. Namun, upaya terus dilakukan
untuk mencapai tujuan pemberantasan polio secara global dan mencegah kejadian baru. Polio,
atau poliomielitis, merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus poliovirus. Penyakit
ini dapat menyebabkan kelumpuhan otot dan dalam kasus yang parah, bisa berakibat fatal.
Berikut ini adalah gambaran situasi polio di Indonesia mulai dari sejarah masuknya polio hingga
situasi global terkini.
Virus Polio adalah Virus yang termasuk dalam golongan Human Enterovirus yang
bereplikasi di usus dan dikeluarkan melalui tinja. Virus Polio terdiri dari 3 strain yaitu strain-1
(Brunhilde), strain-2 (Lansig), dan strain-3 (Leon), termasuk family Picornaviridae. Penyakit ini
dapat menyebabkan kelumpuhan dengan kerusakan motor neuron pada cornu anterior dari
sumsum tulang belakang akibat infeksi virus.
Virus polio yang ditemukan dapat berupa virus polio vaksin/sabin, Virus polio liar/WPV
(Wild Poliovirus) dan VDPV (Vaccine Derived Poliovirus). VDVP merupakan virus polio
vaksin/sabin yang mengalami mutasi dan dapat menyebabkan kelumpuhan.
VDPV diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu 1). Immunodeficient-related VDPV
(iVDPV) berasal dari pasien imunodefisiensi, 2). Circulating VDPV (cVDPV) ketika ada bukti
transmisi orang ke orang dalam masyarakat, dan 3). Ambiguous VDPV (aVDPV) apabila tidak
dapat diklasifikasikan sebagai cVDPV atau iVDPV. Penetapan jenis virus yang dimaksud,
ditentukan berdasarkan pemeriksaan laboratorium. Identifikasi VDPV berdasarkan tingkat
perbedaan dari strain virus OPV. Virus polio dikategorikan sebagai VDPV apabila terdapat
perbedaan lebih dari 1% (>10 perubahan nukleotida) untuk virus polio tipe 1 dan 3, sedangkan
untuk virus polio tipe 2 apabila ada perbedaan lebih dari 0,6% (>6 perubahan nukleotida).
Polio dapat menyerang pada usia berapa pun, tetapi polio terutama menyerang anak-anak
di bawah usia lima tahun. Pada awal abad ke-20, polio adalah salah satu penyakit yang paling
ditakuti di negara-negara industri, melumpuhkan ratusan ribu anak setiap tahun. Pada tahun
1950an dan 1960an polio telah terkendali dan praktis dihilangkan sebagai masalah kesehatan
masyarakat di negara-negara industry. Hal ini setelah pengenalan vaksin yang efektif.
Masa inkubasi virus polio biasanya memakan waktu 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi
dalam waktu 7-21 hari. Kebanyakan orang terinfeksi (90%) tidak memiliki gejala atau gejala
yang sangat ringan dan biasanya tidak dikenali. Pada kondisi lain, gejala awal yaitu demam,
kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan di leher dan nyeri di tungkai. Adapun gejala Penderita
polio dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : Polio non-paralisis dapat mnyebabkan muntah,
lemah otot, demam, meningitis, letih, sakit tenggorokan, sakit kepala serta kaki, tangan, leher
dan punggung terasa kaku dan sakit
Polio paralisis menyebabkan sakit kepala, demam, lemah otot, kaki dan lengan terasa
lemah, dan kehilangan refleks tubuh. Sindrom pasca-polio menyebabkan sulit bernapas atau
menelan, sulit berkonsentrasi, lemah otot, depresi, gangguan tidur dengan kesulitan bernapas,
mudah lelah dan massa otot tubuh menurun.
Polio menyebar melalui kontak orang ke orang. Ketika seorang anak terinfeksi virus
polio liar, virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan berkembang biak di usus. Ini kemudian
dibuang ke lingkungan melalui faeces di mana ia dapat menyebar dengan cepat melalui
komunitas, terutama dalam situasi kebersihan dan sanitasi yang buruk. Virus tidak akan rentan
menginfeksi dan mati bila seorang anak mendapatkan imunisasi lengkap terhadap polio. Polio
dapat menyebar ketika makanan atau minuman terkontaminasi oleh feses. Ada juga bukti bahwa
lalat dapat secara pasif memindahkan virus polio dari feses ke makanan. Kebanyakan orang yang
terinfeksi virus polio tidak memiliki tanda-tanda penyakit dan tidak pernah sadar bahwa mereka
telah terinfeksi. Orang-orang tanpa gejala ini membawa virus dalam usus mereka dan dapat
“diam-diam” menyebarkan infeksi ke ribuan orang lain.
Kasus AFP : semua anak kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid
(layuh), proses terjadi kelumpuhan secara akut (<14 hari), serta bukan disebabkan oleh ruda
paksa.
Hot case adalah kasus-kasus yang sangat menyerupai polio yang ditemukan <6 bulan
sejak kelumpuhan dan spesimennya tidak adekuat perlu dilakukan pengambilan sample kontak.
Kategori hot case dibuat berdasarkan kondisi specimen yang tidak adekuat pada kasus yang
sangat menyerupai polio.
Hot case cluster adalah 2 kasus AFP atau lebih, berada dalam satu lokasi (wilayah
epidemologi), beda waktu kelumpuhan satu dengan yang lainnya tidak lebih dari 1 bulan.
VDPV (vaccine derived polio virus) adalah kasus polio (confirmed polio) yag disebabkan
virus polio vaksin yang telah bermutasi
Kasus polio pasti (confirmed polio case) : kasus AFP yang pada hasil laboratorium
tinjanya ditemukan virus polio liar (VPL), cVDPV, atau hot case dengan salah satu specimen
kontak VPL/VDPN
Kasus polio kompatibel : kasus polio yang tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan
sebagai kasus non polio secara laboratoris (virologis) yang dikarenakan antara lain a) specimen
tidak adekuat dan terdapat paralisis residual pada kunjungan ulang 60 hari setelah terjadinya
kelumpuhan, b) specimen tidak adekuat dan kasus meninggal atau hilang sebelum dilakukan
kunjungan ulang 60 hari. Kasus polio kompatibel hanya dapat ditetapkan oleh kelompok kerja
ahli surveilans AFP nasional berdasarkan kajian data/dokumen secara klinis atau epidemologis
maupun kunjungan lapangan.
Specimen AFP berupa tinja yang diambil pada kasus AFP yang lama lumpuhnya belum
lebih dari 2 bulan
Specimen adekuat adalah 2 spesimen dapat dikumpulkan dengan tenggang waktu
minimal 24 jam
Waktu pengumpulan ke 2 spesimen tidak lebih dari 14 hari sejak terjadi kelumpuhan
Masing-masing spsimen minimal 8 gram (sebesar satu ruas ibu jari orang dewasa), atau 1
sendok makan bila penderita diare.
Specimen pada saat diterima di laboratorium dalam keadaan :
2 spesimen tidak bocor
2 spesimen volumenya cukup
Suhu dalam speseimen karier 2-8⁰C
2 spesimen tidak rusak (kering,dll
Tidak ada obat untuk polio, yang ada hanya perawatan untuk meringankan gejala. terapi
fisik digunakan untuk merangsang otot dan obat antispasmodic diberikan untuk mengendurkan
otot-otot dan meningkatkan mobilitas. Meskipun ini dapat meningkatkan mobilitas, tapi tidak
dapat mengobati kelumpuhan polio permanen.
Apabila sudah terkena Polio, tindakan yang dilakukan yaitu tatalaksana kasus lebih
ditekankan pada tindakan suportif dan pencegahan terjadinya cacat, sehingga anggota gerak
diusahakan kembali berfungsi senormal mungkin dan penderita dirawat inap selama minimal 7
hari atau sampai penderita melampaui masa akut.
Penemuan dini dan perawatan dini untuk mempercepat kesembuhan dan mencegah
bertambah beratnya cacat. Kasus polio dengan gejala klinis ringan di rumah, bila gejala klinis
berat diruju ke RS.
Data cakupan imunisasi polio, di tingkat puskesmas, desa terjangkit dan desa sekitar
beresiko selama 3-5 tahun terakhir, dan tata laksana rantai dingin vaksin. Frekuensi pelayanan
imunisasi masyarakat setempat. Ketenagaan, ketersediaan vaksin dan kualitas vaksin diantaranya
penyimpanan vaksin dan control suhu penyimpanan daerah kumuh atau padat atau daerah
pengungsi mobilitas penduduk dari dan ke daerah endemis poliomyelitis kontak adalah anak usia
< 5 tahun yang berinteraksi serumah atau sepermainan dengan kasus sejak terjadi kelumpuhan
sampai 3 bulan kemudian.
Secara umum, tidak semua orang yang terinfeksi polio akan menimbulkan gejala. Hal ini
disebut sebagai kasus asimtomatis sama seperti yang terjadi pada COVID-19, difteri, dan malaria
serta beberapa penyakit lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
 Respon imun setiap anak yang berbeda, terutama untuk anak-anak yang telah
mendapatkan vaksinasi
 Kondisi umum anak yang berbeda seperti dari kondisi kesehatan secara umum, usia,
genetik dan sebagainya.
Polio pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1911 di Batavia (sekarang Jakarta).
Sejak saat itu, penyakit ini terus menyebar di berbagai wilayah di Indonesia. Puncak penyebaran
polio terjadi pada tahun 1950-an hingga awal 1960-an, ketika Indonesia menghadapi wabah
polio yang parah. Ribuan kasus polio terjadi di seluruh negeri, dan banyak anak mengalami
kelumpuhan permanen atau meninggal dunia akibat penyakit ini.
Selama era kolonial Belanda, penelitian mengenai polio mulai dilakukan di Indonesia.
Pada tahun 1939, Institut Pasteur di Jakarta melakukan survei epidemiologi polio dan
mengumpulkan data kasus polio. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, upaya
penanggulangan polio menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia. Pada tahun 1948,
pemerintah Indonesia mendirikan Lembaga Biologi Nasional yang bertujuan untuk mempelajari
dan mengendalikan penyakit menular, termasuk polio.
Pada tahun 1955, kasus polio pertama yang tercatat secara resmi dilaporkan di Indonesia.
Kasus ini terjadi di Pulau Jawa dan menimbulkan kekhawatiran yang serius. Pada tahun 1958,
pemerintah Indonesia meluncurkan program imunisasi polio pertama di Jakarta sebagai bagian
dari upaya pengendalian penyakit ini. Program ini menggunakan vaksin polio oral (OPV) yang
dikembangkan oleh Albert Sabin. Pada tahun 1977, program imunisasi polio diperluas ke seluruh
Indonesia dengan dukungan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF. Program ini
bertujuan untuk memberikan vaksin polio kepada bayi dan anak-anak di seluruh negeri. Sejak
tahun 1982, pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam upaya global untuk pemberantasan
polio. Program imunisasi rutin dan kampanye imunisasi massal dilakukan secara teratur untuk
mencapai cakupan vaksinasi yang tinggi dan mencegah penyebaran polio.
Setelah dilaksanakan PIN Polio tiga tahun berturut-turut pada tahun 1995, 1996 dan
1997, virus polio liar asli Indonesia (indigenous) sudah tidak ditemukan lagi sejak tahun 1996.
Namun pada tanggal 13 Maret 2005 ditemukan kasus polio importasi pertama di Kecamatan
Cidahu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasus polio tersebut berkembang menjadi KLB yang
menyerang 305 orang dalam kurun waktu 2005 sampai awal 2006. KLB ini tersebar di 47
kabupaten/kota di 10 provinsi. Selain itu juga ditemukan 46 kasus Vaccine Derived Polio Virus
(VDPV) yaitu kasus Polio yang disebabkan oleh virus dari vaksin, yang terjadi apabila banyak
anak yang tidak di imunisasi, dimana 45 kasus di antaranya terjadi di semua kabupaten di Pulau
Madura dan satu kasus terjadi di Probolinggo, Jawa Timur. Setelah dilakukan Outbreak Response
Immunization (ORI), dua kali mop-up, lima kali PIN, dan dua kali Sub-PIN, KLB dapat
ditanggulangi sepenuhnya. Kasus Virus Polio Liar (VPL) terakhir yang mengalami kelumpuhan
ditemukan pada tanggal 20 Februari 2006 di Aceh. Sejak saat itu hingga sekarang tidak pernah
lagi ditemukan kasus Polio di Indonesia.
Imunisasi merupakan tindakan yang paling efektif dalam mencegah penyakit polio.
Vaksin polio yang diberikan berkali-kali dapat melindungi seorang anak seumur hidup.
Pencegahan penyakit polio dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pemberian imunisasi polio pada anak-anak.
Pencegahan penularan ke orang lain melalui kontak langsung (droplet) dengan
menggunakan masker bagi yang sakit maupun yang sehat. Selain itu mencegah pencemaran
lingkungan (fecal-oral) dan pengendalian infeksi dengan menerapkan buang air besar di jamban
dan mengalirkannya ke septic tank.IUntuk mengatasi masalah polio, pemerintah Indonesia telah
meluncurkan program imunisasi polio yang luas. Pada tahun 1957, Indonesia menjadi salah satu
negara pertama di Asia yang memperkenalkan vaksin polio inaktif (IPV) dalam upaya
memberantas penyakit ini. Kemudian, pada tahun 1982, program imunisasi rutin dengan vaksin
polio oral (OPV) mulai dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Melalui program imunisasi yang intensif dan upaya kolaboratif dengan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), Pemerintah Indonesia berhasil mengurangi jumlah kasus polio secara
signifikan. Setelah lebih dari dua dekade tanpa laporan kasus polio di Indonesia, pada tahun
2005, negara ini secara resmi dinyatakan bebas polio oleh WHO. Ada 4 jenis vaksin Polio, yaitu
:
Oral Polio Vaccine (OPV), untuk jenis vaksin ini aman, efektif dan memberikan
perlindungan jangka panjang sehingga sangat efektif dalam menghentikan penularan virus.
Vaksin ini diberikan secara oral. Setelah vaksin ini bereplikasi di usus dan diekskresikan, dapat
menyebar ke orang lain dalam kontak dekat.
Monovalent Oral Polio Vaccines (mOPV1 and mOPV3), sebelum pengembangan tOPV,
OPV Monovalen (mopVs) dikembangkan pada awal tahun 1950an. Vaksin polio ini memberikan
kekebalan hanya pada satu jenis dari tiga serotipe OPV, namun tidak memberikan perlindungan
terhadap dua jenis lainnya. OPV Monovalen untuk virus Polio tipe 1 (mopV1) dan tipe 3
(mOPV3) dilisensikan lagi pada tahun 2005 dan akhirnya mendapatkan respon imun melawan
serotipe yang lain.
Bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV), setelah April 2016, vaksin virus Polio Oral Trivalen
diganti dengan vaksin virus Polio Oral Bivalen (bOPV). Bivalen OPV hanya mengandung virus
serotipe 1 dan 3 yang dilemahkan, dalam jumlah yang sama seperti pada vaksin trivalen. Bivalen
OPV menghasilkan respons imun yang lebih baik terhadap jenis virus Polio tipe 1 dan 3
dibandingkan dengan OPV trivalen, namun tidak memberikan kekebalan terhadap serotipe 2.
Inactivated Polio Vaccine (IPV), sebelum bulan April 2016, vaksin virus Polio Oral Trival
(topV) adalah vaksin utama yang digunakan untuk imunisasi rutin terhadap virus Polio.
Dikembangkan pada tahun 1950 oleh Albert Sabin, tOPV terdiri dari campuran virus polio hidup
dan dilemahkan dari ketiga serotipe tersebut. tOPV tidak mahal, efektif dan memberikan
perlindungan jangka panjang untuk ketiga serotipe virus Polio. Vaksin Trivalen ditarik pada
bulan April 2016 dan diganti dengan vaksin virus Polio Oral Bivalen (bOPV), yang hanya
mengandung virus dilemahkan vaksin tipe 1 dan 3.
Pada 1988, sejak Prakarsa Pemberantasan Polio Global dimulai, lebih dari 2,5 miliar anak
telah diimunisasi polio. Sekarang masih terdapat 3 negara endemis yang melaporkan penularan
polio yaitu Afganistan, Pakistan dan Nigeria.
Kasus polio pertama kali pada 1580 – 1350 SM, Inskripsi Mesir kuno menggambarkan
pendeta muda dengan kaki sebelah kiri yang memendek dan mengecil, telapak kaki pada posisi
equinus, yang merupakan gambaran keadaan klinik lumpuh layu.
Total kasus kumulatif tahun 2018 sebanyak 50 kasus, 12 kasus WPV1 di Afganistan, 3
Kasus WPV1 di Pakistan, 13 kasus cVDPV2 di Republik Demokratik Kongo, 8 Kasus
cDVDPV2 di Nigeria, 5 kasus cVDPV di Somalia dan 9 kasus cVDPV1 di Papua New Guinea.
Jumlah kumulatif kasus polio tahun 2017 hingga tahun 2018 sebanyak 168 kasus. (Sumber:
https://polioeradication.org/polio-today/polio-now/this-week/ per tanggal 4 September 2018).
Secara global, upaya pemberantasan polio telah mencapai kemajuan yang signifikan.
Pada awal 1988, ketika diluncurkan Inisiatif Pemberantasan Polio Global (Global Polio
Eradication Initiative), polio masih menyerang ribuan anak di lebih dari 125 negara. Namun,
berkat program vaksinasi yang luas, jumlah kasus polio telah menurun secara drastis.
Pada tahun 2020, hanya terdapat sedikit kasus polio yang dilaporkan di beberapa negara,
terutama di Afghanistan dan Pakistan. Meskipun demikian, upaya terus dilakukan untuk
mencapai tujuan pemberantasan polio secara global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan
mitra-mitra lainnya terus melakukan vaksinasi rutin, kampanye imunisasi massal, serta
pemantauan aktif untuk memastikan bahwa virus polio tidak lagi menyebar di seluruh dunia.

Mengapa polio kembali menjadi KLB pada tahun 2023


:
Kejadian Luar Biasa Polio Kembali Dilaporkan, Imunisasi Digencarkan. Kejadian luar
biasa polio dilaporkan terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena itu, kegiatan imunisasi
massal digalakkan di wilayah tersebut.
Baru-baru ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik
Indonesia menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) polio. Hal itu merupakan buntut dari adanya
laporan sebanyak tiga anak di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menderita lumpuh
layuh akut akibat Virus Polio Tipe 2. Menanggapi hal tersebut, Pakar Penyakit Anak Universitas
Airlangga (UNAIR) Dr Dominicus Husada dr DTM&H, MCTM(TP) SpA(K) memberi
penjelasan.
Dr Dominicus menerangkan bahwa sebenarnya polio merupakan penyakit yang mendapatkan
pengawasan khusus secara global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan
prosedur tetap (protap) secara internasional dalam menangani polio. “Status polio sudah KLB.
Penanganannya dikendalikan WHO, ada protap internasional, ada hitungan harinya,” ujarnya.
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, kasus polio telah menyebar di berbagai daerah,
seperti Aceh, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Menurut dr Dominicus,
penyebaran itu merupakan dampak dari penurunan imunisasi selama pandemi Covid-19.
“Selama pandemi, imunisasi kita menurun tajam,” ucapnya.
Sesuai prinsip imunisasi, lanjut dia, jika imunisasi berhenti, maka penyakit akan datang
kembali. Oleh karena itu, penurunan dan pemberhentian imunisasi berdampak pada munculnya
penyakit yang tergolong PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi). “Jika kita
hentikan imunisasi, maka penyakit akan datang kembali. Saat inilah kita menuai efeknya. Di
mana hampir semua PD3I meningkat tajam pada 2022-2023,” terangnya.
Lebih lanjut, dr Dominicus menyebut bahwa polio tidak memiliki antivirus sehingga
menjadikan penyakit tersebut berbahaya. Pada penderita polio, otot akan mengalami kematian
yang tidak bisa disembuhkan. “Otot yang mati berusaha ditutup oleh otot di sekitarnya yang
masih sehat. Namun, otot yang mati itu sendiri tidak bisa dihidupkan kembali,” papar Kepala
Divisi Penyakit Infeksi dan Tropis Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
(FK) UNAIR itu.
Penatalaksanaan penderita polio hanya melalui rehabilitasi medis. “Itulah sebabnya,”
sambung dr Domunicus, “pencegahan adalah kunci. ”Salah satu cara untuk mencegah polio
adalah imunisasi. Melansir laman Kemenkes RI, sejak Senin (15/1/2024) lalu dilakukan Sub
Pekan Imunisasi Nasional Polio (PIN) secara serentak di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
serta Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pemberian imunisasi novel Oral Polio Vaccine Type 2
(nOPV2)itu menargetkan 8,4 juta anak berusia 0-7 tahun.
Imunisasi pada PIN polio ini tidak memandang status imunisasi sebelumnya. Dalam
keadaan normal, pada seorang anak atau orang dewasa, kata dr Dominicus, yang penting adalah
adalah jenis imunisasi dan berapa kali pemberian. Pasalnya, keberhasilan perlindungan vaksin
bergantung antara lain pada 2 hal tersebut. “Sejauh ini, keberhasilan vaksin sangat baik. Akan
tetapi, sebaik-baik imunisasi, ia hanya ciptaan manusia. Maka tidak mungkin membuat vaksin
dengan perlindungan 100%, maksimal hanya 99,9%,” katanya.
Dr Dominicus melanjutkan, kemampuan dan angka perlindungan setiap vaksin akan
berbeda terhadap tingkat tujuan yang berbeda pula. Baik itu untuk mencegah kematian, sakit
berat, sakit ringan, maupun mencegah penularan. “Dalam PIN atau sub PIN, apa pun imunisasi
yang telah diperoleh sebelumnya tidak menjadi pertimbangan. Semua sasaran perlu memperoleh
imunisasi PIN sesuai ketentuan,” ujarnya.
Efektivitas imunisasi, sambungnya, juga bergantung syarat dan ketentuan yang telah
terpenuhi, termasuk kondisi diri sang anak. Pada anak dengan gizi buruk misalnya, keberhasilan
imunisasi akan menurun tajam, begitu pula sebaliknya. “Pada anak gizi buruk misalnya, tentu
keberhasilan imunisasi menurun tajam. Jadi, banyak faktor yang diperhitungkan dan tidak hanya
vaksinasi yang dinilai lengkap,” tutup dosen FK UNAIR itu.
Sejak 2022 hingga 2023, Indonesia kembali mencatat tujuh kasus polio. Teridentifikasi di
Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Padahal, sebelumnya Indonesia sudah
dinyatakan bebas polio di 2014.
Gina Noor Djalilah Dosen Spesialis Anak FK UM Surabaya menyebut, adanya KLB
polio di Jawa Timur dan lainnya menunjukkan adanya clusters atau daerah dengan immunity gap
akibat tidak di vaksin. Upaya nakes dan pejabat daerah untuk mengeliminasi cluster ini belum
berhasil, karena kurangnya pemahaman atas value of immunization sebagai salah satu acuan
untuk survive sebagai manusia.
Gina menjelaskan, polio adalah penyakit sangat menular yang disebabkan oleh infeksi
virus. Polio menyerang sistem saraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan total dalam hitungan
jam. Virus polio ditularkan dari orang ke orang melalui fekal-oral, atau melalui air atau makanan
yang terkontaminasi dan berkembang biak di usus. “Gejala awal berupa demam, lelah, nyeri
kepala, muntah, kaku kuduk, dan nyeri pada anggota tubuh. Satu dari 200 kejadian infeksi
menyebabkan kelumpuhan ireversibel (biasanya pada tungkai). 5-10% di antaranya meninggal
akibat otot pernapasan lumpuh,”ujar Gina Minggu (14/1/24)

Ia menjelasakan Polio (poliomielitis) menyerang anak usia kurang dari 5 tahun. 1 dari
200 kejadian infeksi menyebabkan paralisis irreversibel. 5-10% di antaranya meninggal ketika
otot pernapasan lumpuh. “Selama seorang anak terinfeksi polio, seluruh anak di dunia berisiko
terinfeksi polio. Kegagalan dalam mengeradikasi polio dapat mengakibatkan timbulnya 200.000
kasus baru tiap tahunnya dalam 10 tahun, di seluruh dunia,”imbuhnya lagi.
Terkait pencegahan, Gina menegaskan, polio hanya dapat dicegah tidak ada pengobatan
untuk polio. Vaksin polio yang diberikan beberapa kali dapat melindungi seorang anak dari polio
seumur hidupnya. “Sebagai spesialis anak, kami terus berupaya mengajak masyarakat agar
faham imunisasi sebagai tuntunan mengembangkan anak menjadi dewasa. KLB pasti merugikan
akibat kematian, sequel dan difabilitas. semoga kita bisa bekerjasama menghilangkan immunity
gap yang sudah jelas di Jawa Timur,”pungkasnya.
Kasus lumpuh layu akut akibat virus polio dilaporkan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah,
dan Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Virus polio juga ditemukan pada sampel lingkungan di
Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Untuk itu, Sub pekan Imunisasi Nasional Polio dilakukan di
semua wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Hal itu sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 1051 Tahun 2023 yang
diterbitkan pada 29 Desember 2023. Subpekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio, menurut rencana,
dilakukan dengan memberikan vaksin oral nOPV2 ke seluruh sasaran anak usia 0-7 tahun tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya. Sub-PIN Polio dilakukan dua putaran dengan putaran
pertama pada 15 Januari 2024 dan putaran kedua pada 19 Februari 2024.
Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Hartono Gunardi,
dihubungi di Jakarta, Kamis (4/1/2024), mengatakan, Sub-PIN Polio yang dilakukan sebagai
imunisasi untuk merespons kejadian luar biasa atau ORI (outbreak response immunization)
sebaiknya meliputi cakupan luas. Sekalipun kasus ditemukan hanya di wilayah tertentu, ORI
perlu dijalankan dengan cakupan wilayah yang lebih luas.
Hal itu pula yang dilakukan pada Sub-PIN Polio dalam merespons KLB yang baru terjadi
saat ini. Meski tidak ditemukan kasus polio, Kabupaten Sleman, DIY, termasuk wilayah sasaran
Sub-PIN Polio karena dinilai berisiko tinggi terhadap penularan. Wilayah tersebut berbatasan
langsung dengan Kabupaten Klaten tempat kasus polio ditemukan. “Target cakupan ORI ini
harus tinggi dan merata. Setidaknya perlu dicapai minimal 95 persen dari total sasaran. Imunisasi
sangat diperlukan untuk melindungi anak dari risiko penularan penyakit yang bisa dicegah
dengan imunisasi (PD3I), termasuk polio,” kata Hartono.
Cakupan imunisasi yang rendah menjadi salah satu penyebab masih adanya penularan
polio pada anak di Indonesia. Sebelumnya, KLB Polio juga dilaporkan pada November 2022 di
Aceh dan Maret 2023 di Jawa Barat. Target cakupan ORI ini harus tinggi dan merata. Setidaknya
perlu dicapai minimal 95 persen dari total sasaran.
Menurut Hartono, sejumlah warga belum menganggap imunisasi sebagai bagian penting
untuk melindungi anak dari penularan penyakit yang berbahaya. Oleh karena itu, tenaga
kesehatan dan kader kesehatan yang berada di tengah masyarakat harus terus mengingatkan akan
pentingnya imunisasi pada anak.
Pemeriksaan kelengkapan status imunisasi harus dilakukan secara berkala oleh petugas
ataupun kader kesehatan. Kelengkapan status imunisasi tersebut dapat dilihat pada catatan di
buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Khusus untuk polio, pencegahan melalui imunisasi perlu
diberikan sebanyak empat kali untuk dosis imunisasi polio tetes dan dua kali untuk dosis
imunisasi polio suntik (IPV).
Selain imunisasi, Hartono menyebutkan, pencegahan polio juga dapat dilakukan dengan
memastikan kebersihan, baik kebersihan makanan dan minuman yang dikonsumsi, kebersihan
diri, maupun kebersihan lingkungan. Masyarakat pun perlu memastikan untuk buang air besar di
jamban yang sehat.
Polio merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus polio. Virus tersebut umumnya
masuk melalui mulut akibat tertelannya makanan atau air yang terkontaminasi. Virus ini dapat
memperbanyak diri di dalam usus. Virus polio bisa menyebar di lingkungan sekitar melalui feses.
Kondisi kesehatan lingkungan yang buruk dapat mempercepat penyebaran virus.
Hartono mengatakan, seseorang yang tertular polio umumnya menunjukkan gejala yang
tidak spesifik, seperti demam. Namun, pada beberapa kasus, gejala yang muncul bisa berupa
kelemahan pada anggota gerak tubuh yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Polio juga bisa
menyerang otot saraf sehingga bisa berakibat fatal hingga kematian. ”Saat sudah muncul tanda
kelemahan pada anggota gerak, seharusnya segera dibawa ke fasilitas kesehatan. Pengobatan
perlu segera diberikan dan segera dilakukan rehabilitasi agar pasien bisa recovery (pemulihan),”
tuturnya.
Secara terpisah, Ketua Tim Kerja Imunisasi Tambahan dan Khusus Kementerian
Kesehatan Gertrudis Tandy dalam acara Orientasi Sub-PIN Polio, Rabu (3/1/2024), menuturkan,
pelaksanaan Sub-PIN untuk penanganan KLB Polio, menurut rencana, dilaksanakan dalam dua
putaran dengan jarak minimal antarputaran selama satu bulan.
Dalam pelaksanaan tersebut telah ditargetkan minimal 95 persen cakupan imunisasi
tercapai untuk masing-masing putaran. Adapun sasaran Sub-PIN adalah semua anak usia 0-7
tahun, termasuk para pendatang serta anak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi.
Jika berdasarkan kajian epidemiologi masih ditemukan risiko penularan, Sub-PIN putaran
berikutnya bisa dilakukan. Lokasi pelaksanaan imunisasi pun dapat diperluas sesuai dengan
perkembangan situasi dan kajian epidemiologi,” tuturnya menambahkan.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan, satu kasus yang dilaporkan mengalami
lumpuh layu di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, telah menjalani fisioterapi secara rutin.
Kondisinya pun telah membaik dengan rawat jalan. Kasus tersebut terjadi pada anak usia enam
tahun dengan hasil laboratorium positif polio dilaporkan pada 20 Desember 2023.

Bagaimana preventif dan pengendalian polio yang dilakukan oleh pemerintah


:
Pemerintah melakukan serangkaian tindakan preventif dan pengendalian polio untuk mencegah
penyebaran penyakit ini. Berikut adalah beberapa langkah yang umumnya dilakukan oleh
pemerintah:

 Imunisasi Rutin: Pemerintah menjalankan program imunisasi rutin untuk memberikan


vaksin polio kepada bayi dan anak-anak. Vaksin yang biasa digunakan adalah vaksin
polio inactivated (IPV) atau oral polio vaccine (OPV). Imunisasi dilakukan secara gratis
dan terjadwal sesuai dengan jadwal imunisasi nasional yang ditetapkan.
 Kampanye Imunisasi Massal: Pemerintah juga mengadakan kampanye imunisasi massal
dalam rangka memberikan vaksin polio kepada kelompok populasi yang lebih luas.
Kampanye ini dilakukan baik di daerah dengan risiko tinggi penyebaran polio maupun
secara nasional untuk memastikan cakupan imunisasi yang optimal.
 Pemantauan dan Deteksi Dini: Pemerintah melakukan pemantauan secara aktif terhadap
kasus polio yang terdeteksi. Tenaga medis dan sistem kesehatan diberdayakan untuk
mendeteksi, melaporkan, dan menindaklanjuti kasus polio secepat mungkin. Ini termasuk
surveilans epidemiologi, pengujian laboratorium, dan pelaporan kasus.
 Edukasi dan Kesadaran Masyarakat: Pemerintah juga melakukan upaya edukasi dan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi polio. Kampanye informasi yang
luas dapat dilakukan melalui media massa, brosur, kampanye sosial media, dan kegiatan
komunitas untuk memberikan informasi yang akurat tentang polio dan manfaat vaksinasi.
 Kolaborasi Internasional: Pemerintah bekerja sama dengan organisasi kesehatan
internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF untuk
mendapatkan bantuan teknis, sumber daya, dan dukungan dalam upaya pencegahan dan
pengendalian polio. Kolaborasi ini juga melibatkan pertukaran informasi, koordinasi
tindakan bersama, dan pembagian sumber daya.
 Pencegahan Penyebaran Polio dari Negara Lain: Pemerintah melakukan pemeriksaan dan
pengawasan ketat terhadap perjalanan internasional untuk mencegah masuknya polio dari
negara-negara yang masih mengalami kasus polio. Ini melibatkan peningkatan
pengawasan di pintu masuk, pemeriksaan imunisasi perjalanan, dan tindakan karantina
jika diperlukan.
 Tanggapan Darurat: Jika terjadi wabah polio atau peningkatan kasus yang signifikan,
pemerintah dapat mengaktifkan tanggapan darurat. Hal ini melibatkan mobilisasi sumber
daya tambahan, peningkatan cakupan imunisasi, isolasi kasus, karantina, dan langkah-
langkah lain yang diperlukan untuk mengendalikan penyebaran penyakit.

Anda mungkin juga menyukai