Anda di halaman 1dari 17

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT POLIO

Oleh:
Kelompok 9

Amelia Rahma (22100100049)


Sekar Ayu Amalia H.P (22100100063)
Meyda Cahya Irani (22100100069)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

TAHUN 2023/2024

Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Cirendeu, Kec. Ciputat Tim., Kota Tangerang Selatan, Banten
15419
1.1 KONSEP

Penyakit virus polio, yang terutama menyerang anak-anak, dapat menyebabkan


kelumpuhan seumur hidup pada beberapa bagian tubuh dan pada akhirnya menyebabkan
kematian karena melumpuhkan otot-otot pernapasan penderita. Virus ini menyebar sebagian
besar melalui jalur feses-oral dan, yang lebih jarang, melalui alat yang digunakan bersama
(seperti makanan atau minuman yang terkontaminasi). Virus ini ditularkan dari orang ke
orang dan berkembang biak di dalam usus sebelum memasuki sistem saraf dan menyebabkan
kelumpuhan (WHO, 2023).

Virus polio adalah penyakit menular yang dikenal sebagai poliomyelitis (polio). Virus
ini menyerang sistem neurologis (saraf) dan dapat mengakibatkan kematian atau
kelumpuhan. Jenis enterovirus manusia yang dikenal sebagai virus polio berkembang biak di
dalam usus dan dibuang melalui tinja. Virus polio masuk ke dalam tubuh melalui mulut
ketika bersentuhan dengan makanan atau minuman yang telah tercemar oleh tinja penderita
polio. Di dalam sistem pencernaan, virus akan tumbuh (Kementerian Kesehatan, 2020).

Virus polio termasuk anggota sub kelompok enterovirus, keluarga Picornaviridae.


Virus kecil yang tidak tahan eter dengan genom RNA, dikenal sebagai picornavirus. Ada tiga
bentuk virus polio yang berbeda (tipe 1, 2, dan 3), dan imunisasi terhadap salah satunya tidak
menghasilkan kekebalan yang signifikan terhadap yang lain. Permukaan yang dipanaskan,
formaldehida, klorin, dan sinar UV semuanya dengan cepat menonaktifkan virus polio
(Kementerian Kesehatan, 2020).

1.1.1 Penyebaran

Penyebaran penyakit Polio melalui jalur fecal-oral, yaitu kemampuan virus untuk
menyebar melalui kotoran/tinja. Di lingkungan dengan sanitasi dan kebersihan yang buruk,
rute fecal-oral adalah rute penularan utama, terutama di antara populasi yang memiliki
kekebalan tubuh rendah, penyebarannya sangat cepat. Di daerah beriklim sedang, infeksi
virus polio sering mencapai puncaknya di musim panas, khususnya negara beriklim tropis.
Ekskresi virus maksimum terjadi 2 hingga 3 hari sebelum, dan 1 minggu setelah timbulnya
gejala (Kementerian Kesehatan, 2020).

Orofaring dan saluran pencernaan adalah tempat virus bereplikasi setelah masuk
melalui mulut. Bahkan pada mereka yang tidak menunjukkan gejala atau tidak sakit, virus
dapat keluar melalui tinja selama beberapa minggu setelah infeksi dan biasanya dapat
dideteksi dalam sekresi nasofaring selama 1 hingga 2 minggu. Virus ini menyerang jaringan
limfoid di dekatnya selama replikasi usus, berpotensi mencapai sirkulasi, dan pada akhirnya
menginfeksi sel-sel sistem saraf pusat. Kelumpuhan yang unik disebabkan oleh penghancuran
sel punca otak dan neuron motorik oleh virus polio pada tanduk anterior sumsum tulang
belakang (F. Estivariz et al., 2021).

1.1.2 Gejala

Virus polio biasanya membutuhkan waktu 3-6 hari untuk berinkubasi, dan
kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. 90% orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala
atau tanda-tanda yang sangat kecil yang sering kali tidak disadari. Pada penyakit lain, tanda-
tanda awal termasuk demam, kelelahan, sakit kepala, mual, kaku leher, dan ketidaknyamanan
anggota tubuh (WHO, 2023). Menurut (Kementerian Kesehatan, 2020) gejala penderita polio
dibagi berdasarkan jenisnya, yaitu:

a. Absorptive polio (penyakit ringan): Gejala seperti flu, termasuk sakit kepala, sakit
tenggorokan, demam, kelelahan, kehilangan nafsu makan, dan keluhan pencernaan
seperti diare, sembelit, muntah, atau ketidaknyamanan perut. Gejala-gejala tersebut
akan hilang tanpa kelumpuhan setelah dua hingga tiga hari.
b. Polio non-paralisis dapat menyebabkan dapat menyebabkan meningitis aseptik, yang
mengakibatkan pembengkakan otak. Ini menghasilkan lebih banyak gejala daripada
poliomielitis absorptive dan dapat memerlukan rawat inap. Kaki, tangan, leher, dan
punggung terasa kaku dan nyeri, serta mual, otot-otot melemah, demam, meningitis,
kelelahan, sakit tenggorokan, dan sakit kepala.
c. Polio paralisis dapat terjadi ketika virus polio menyerang otak dan sumsum tulang
belakang. Mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot saat bernapas, berbicara,
menelan, dan menggerakkan anggota tubuh. Kondisi ini dikenal sebagai polio tulang
belakang atau polio bulbar, tergantung pada area tubuh yang terkena. Polio bulbar,
kombinasi polio tulang belakang dan polio bulbar, dapat menyebabkan sakit kepala,
demam, kelemahan otot, lengan dan tungkai yang lemah, serta refleks yang lambat.
d. Sindrom pasca-polio adalah ketika gejala polio muncul kembali bertahun-tahun
setelah infeksi polio menyebabkan kelelahan, otot tubuh melemah, kesulitan menelan
atau bernapas, kesulitan berkonsentrasi, kelemahan otot, dan depresi.
e. Polio Ensefalitis adalah jenis polio langka yang kebanyakan menyerang bayi. Dapat
menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan
1.1.3 Pengobatan

Polio tidak dapat disembuhkan, hanya dapat dihindari. Seorang anak dapat diberikan
vaksin polio berkali-kali dan dapat terlindungi seumur hidup. Ada dua vaksin yang tersedia,
yaitu vaksin polio yang tidak aktif (IPV) dan vaksin polio oral (OPV). Tergantung pada
kondisi epidemiologi dan program setempat, keduanya digunakan dalam berbagai kombinasi
untuk menjamin bahwa populasi dapat dilindungi seefektif dan seaman mungkin. Vaksin ini
membantu tubuh memproduksi zat pelindung (antibodi) yang akan mencegah seseorang
tertular penyakit ini (Kementerian Kesehatan, 2018).

a. Jenis vaksin: Terdapat dua jenis vaksin polio, yaitu


● Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV) atau yang mengandung virus tidak aktif.
Vaksin polio injeksi adalah vaksin yang diberikan melalui suntikan. Virus
polio yang tidak aktif ini tidak dapat menginfeksi tubuh, tetapi masih dapat
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi.
● Oral Poliovirus Vaccine (OPV). Vaksin polio oral adalah vaksin yang
diberikan melalui mulut. Vaksin polio oral mengandung virus polio yang telah
dilemahkan. Virus polio yang dilemahkan ini akan menginfeksi tubuh dan
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi.

Di Indonesia, jenis vaksin yang umum diberikan adalah IPV.

b. Dosis: Vaksin polio pada anak akan diberikan sebanyak 4 kali dan vaksin booster
sebanyak 1 kali. Pemberian vaksin polio harus sesuai dengan jadwal yang sudah
ditentukan agar vaksin dapat bekerja lebih efektif.
c. Efek samping: Efek samping yang mungkin terjadi setelah pemberian vaksin polio
antara lain demam, nyeri otot, dan reaksi alergi yang jarang terjadi.
d. Jadwal Imunisasi Polio

Imunisasi polio diberikan dalam beberapa dosis, yaitu:

● Dosis 1: diberikan pada usia 2 bulan


● Dosis 2: diberikan pada usia 4 bulan
● Dosis 3: diberikan pada usia 6 bulan
● Dosis penguat: diberikan pada usia 18 bulan, 4-6 tahun, dan 11-12 tahun
Penting untuk memperhatikan jadwal imunisasi yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) dan berkonsultasi dengan dokter sebelum melakukan
vaksinasi.

1.1.4 Konsep Penyebab & Proses Terjadinya Penyakit

Menurut triad epidemiologi, penyakit saling berkaitan antara tiga faktor utama yang
berperan dalam terjadinya penyakit atau masalah, yaitu host (tuan rumah/penjamu), agen
(penyebab), dan environment (Victor Trismanjaya Hulu et al., n.d.).

1) Agent

Virus polio ber genus enterovirus (famili Picornaviridae) dengan genom RNA,
dikenal sebagai picornavirus. Memiliki tiga bentuk virus polio yang berbeda (tipe 1,
2, dan 3). Tipe 1 adalah tipe yang paling mudah diisolasi, diikuti oleh tipe 3, namun
tipe 2 adalah tipe yang paling jarang diisolasi dan hanya sesekali diisolasi. Tipe 1
adalah tipe yang sering menyebabkan wabah, sedangkan tipe 2 dan 3 bertanggung
jawab atas kasus-kasus yang terkait dengan vaksinasi. Dapat dihilangkan dengan cara
permukaan yang dipanaskan, formaldehida, klorin, dan sinar UV.

2) Host

Host pada penyakit polio adalah manusia. Penyakit polio dapat menyerang semua
kalangan usia, namun yang paling rentan adalah anak usia di bawah 15 tahun,
terutama anak-anak di bawah usia 5 tahun. 70-80% dari mereka yang terkena dampak
di sebagian besar negara endemik berusia di bawah 3 tahun, dan 80-90% berusia di
bawah 5 tahun. Menurut Judarwanto (2005), manusia merupakan satu-satunya
reservoir dan sumber penularan pasien tanpa gejala (inapparent infection).

3) Environment

Penyebaran polio di lingkungan dengan sanitasi dan kebersihan yang buruk, rute
fecal-oral adalah rute penularan utama, terutama di antara populasi yang memiliki
kekebalan tubuh rendah, penyebarannya sangat cepat. Di daerah beriklim sedang,
infeksi virus polio sering mencapai puncaknya di musim panas, khususnya negara
beriklim tropis.
1.2 CONTOH KASUS

(Kejadian Luar Biasa (KLB) Virus Polio Jenis CVDPV2 Di Indonesia, n.d.) berdasarkan
laporan situasi No 8 - 15, Maret 2023

● Empat kasus polio VDPV2 tercatat: masing-masing satu kasus di Kabupaten


Purwakarta, Jawa Barat, dan Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Bireuen, Aceh.
● Pada tanggal 9 Oktober 2022, seorang anak berusia tujuh tahun dari Desa Mane,
Kecamatan Mane, Provinsi Aceh, mengalami gejala awal lumpuh layu akut (AFP).
Anak tersebut belum divaksinasi polio (OPV atau IPV) dan tidak memiliki riwayat
bepergian. Pada tanggal 12 November 2022, konfirmasi laboratorium untuk VDPV2
telah diterima. Menurut data pengurutan genetik, VDPV2 memiliki 25 perubahan
nukleotida. Temuan pengurutan seluruh genom belum tersedia. Anak ini memiliki
kekebalan terhadap virus ini, menurut tes imunoglobulin kuantitatif.
● Kasus kedua dilaporkan dari Kabupaten Aceh Utara. Seorang anak laki-laki berusia
tiga tahun dari Desa Teupin Gadjah, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Provinsi Aceh
mengalami AFP dengan onset kelumpuhan pada 03 Januari 2023. Anak ini belum
pernah menerima vaksin polio (IPV maupun OPV) dari imunisasi rutin tetapi
menerima vaksin nOPV2 pada 13 Desember 2022. Konfirmasi laboratorium didapat
pada tanggal 26 Januari 2023. Hasil sekuensing genom menunjukkan VDPV2 dengan
27 perubahan nukleotida. Hasil sekuensing genom utuh masih belum tersedia. Hasil
pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif masih belum tersedia.
● Kabupaten Aceh Utara adalah sumber laporan kasus kedua. Pada tanggal 3 Januari
2023, seorang anak berusia tiga tahun dari Desa Teupin Gadjah, Kabupaten Tanah
Jambo Aye, Provinsi Aceh, menderita AFP, yang menyebabkan kelumpuhan. Pada
tanggal 13 Desember 2022, anak yang belum pernah mendapatkan vaksin polio (IPV
atau OPV) dari vaksinasi normal ini menerima vaksin nOPV2. Tanggal konfirmasi
laboratorium adalah 26 Januari 2023. Menurut data pengurutan genom, VDPV2
memiliki 27 perubahan nukleotida. Temuan pengurutan genom secara keseluruhan
belum tersedia. Belum diketahui apa temuan pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif.
● Kabupaten Bireuen melaporkan kejadian ketiga. Pada tanggal 13 Januari 2023,
seorang anak berusia empat tahun dari Desa Meunasah Keutapang, Kecamatan
Jeunieb, Provinsi Aceh, menderita AFP, yang menyebabkan kelumpuhan. Anak ini
telah menerima vaksinasi OPV2 pada tanggal 6 Desember 2022, sebagai bagian dari
Sub PIN putaran pertama, tetapi tidak memiliki riwayat perjalanan dan belum pernah
menerima vaksin polio (IPV atau OPV) dari imunisasi rutin. Tanggal validasi
laboratorium adalah 7 Februari 2023. Temuan pengurutan genetik menunjukkan
adanya 34 perubahan nukleotida pada cVDPV2. Kami belum memiliki akses ke
seluruh sekuensing genom atau data analisis imunoglobulin kuantitatif.
● Anak perempuan berusia empat tahun asal Desa Tegaldatar, Kecamatan Maniis,
Provinsi Jawa Barat yang mengalami AFP dengan kelumpuhan sejak tanggal 16
Februari 2023, merupakan kasus keempat yang berasal dari Kabupaten Purwakarta.
Anak ini belum pernah mendapatkan vaksinasi polio (IPV atau OPV) dan tidak
memiliki riwayat bepergian. Temuan sekuensing genetik menunjukkan adanya
cVDPV2 dengan perubahan nukleotida 30 dan 31. Kami belum memiliki akses ke
sekuensing genom secara keseluruhan atau data analisis imunoglobulin kuantitatif.
Investigasi lapangan dilakukan ketika lokasi kejadian terbaru di Jawa Barat
ditentukan. Penelitian ini mencakup pengumpulan dan pemeriksaan tiga puluh sampel
tinja dari anak-anak di sekitar lokasi yang dalam keadaan sehat dan tidak memiliki
interaksi dengan kasus tersebut. Virus polio diuji pada sampel-sampel tersebut. Hasil
laboratorium belum tersedia.

1.3 PENYEBAB PENYAKIT

Penyakit menular polio, juga dikenal sebagai poliomielitis atau kelumpuhan pada bayi
baru lahir, disebabkan oleh virus yang sangat menular yang disebut enterovirus. polio.
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan berbagai
gejala, mulai dari infeksi kecil hingga kelumpuhan total yang dapat terjadi dalam hitungan
jam. Virus ini dapat dengan cepat menyebabkan kelumpuhan total dengan menyerang sistem
saraf. Virus ini menyebar dari orang ke orang sebagian besar melalui jalur fecal-oral atau
dengan berbagi peralatan (seperti air atau makanan yang tercemar). Virus ini berkembang
biak di dalam perut. Indikasi dan manifestasi awal terdiri dari demam, kelelahan, sakit
kepala, mual, leher kaku, dan ketidaknyamanan anggota tubuh. Satu dari setiap 200 infeksi
menyebabkan kelumpuhan yang tidak dapat disembuhkan, biasanya di kaki. 5-10% orang
yang mengalami kelumpuhan meninggal dunia ketika otot pernapasan mereka lumpuh
(WHO, 2023).

1.4 RIWAYAT ALAMIAH


a. Prepatogenesis
Tahap pertama perjalanan penyakit polio yang disebut prepatogenesis dimulai ketika
seseorang terpapar virus polio dan berlangsung hingga virus polio berhasil
menginfeksi sel-sel tubuh. Kontak dengan kotoran penderita polio dapat memicu
penyebaran virus polio. Makanan atau air yang terkontaminasi dapat menyebarkan
virus polio karena virus tersebut dapat bertahan di lingkungan selama beberapa
minggu. Virus polio menyebar dengan cepat di usus kecil setelah masuk ke saluran
pencernaan. Virus polio menyebar ke saluran pencernaan setelah masuk ke dalam
tubuh melalui mulut. Setelah berkembang biak di sel usus, virus polio dilepaskan ke
dalam tinja. Sebagian besar infeksi pada tahap ini tidak menunjukkan gejala, dan
hanya sebagian kecil orang yang menunjukkan gejala ringan seperti flu atau infeksi
saluran pernapasan, kelelahan, demam, sakit kepala, muntah, kekakuan di leher dan
nyeri di tungkai (Victor Trismanjaya Hulu et al., n.d.).
b. Tahap Inkubasi
Waktu antara paparan virus polio dan timbulnya tanda-tanda klinis pertama dikenal
sebagai masa inkubasi polio, dan dapat berkisar dari beberapa hari hingga beberapa
minggu. Virus polio biasanya membutuhkan waktu 7 hingga 10 hari, namun dalam
beberapa kasus yang terjadi, mungkin memerlukan waktu hingga 30 atau 35 hari dan
kelumpuhan akan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Contoh lain dari tanda dan gejala
awal polio termasuk demam, kelelahan, sakit kepala, mual, leher kaku, dan nyeri pada
tubuh. Durasi rata-rata gejala ini adalah 2 hingga 10 hari, dan di hampir semua kasus,
pemulihan sebagian dapat dicapai (Victor Trismanjaya Hulu et al., n.d.).
Orang yang sering sakit tidak menunjukkan gejala atau indikator penyakit apa pun
selama fase inkubasi. Tanpa disadari dan menunjukkan gejala yang jelas seseorang
mungkin membawa virus polio dan terinfeksi. Hal ini mempersulit pelacakan virus
polio dan menghentikan penyebarannya, terutama di daerah dengan cakupan vaksinasi
yang rendah. Penting untuk diingat bahwa selama fase inkubasi ini, orang yang sakit
mungkin masih menyebarkan virus ke orang lain tanpa menyadarinya. Oleh karena
itu, upaya vaksinasi yang meluas, praktik kebersihan yang baik, dan peningkatan
kesadaran masyarakat akan gejala polio dan manfaat vaksin merupakan langkah-
langkah pencegahan yang penting.
c. Fase Klinis (sakit dini)
Setelah masa inkubasi, gejala awal penyakit mulai terlihat, yang disebut fase klinis
atau penyakit awal polio. Tahap ini terkadang tidak memiliki gejala yang jelas.
Namun virus polio terkadang dapat menyebabkan gejala mirip flu ringan hingga
parah, termasuk demam, sakit kepala, nyeri otot, dan kelelahan. Biasanya fase ini
berlangsung 1-2 hari (Victor Trismanjaya Hulu et al., n.d.).
Tanda dan gejala fase klinis polio:
 Demam
 Sakit kepala
 Nyeri otot
 Kelelahan
 Nyeri leher
 Nyeri punggung
 Nyeri perut
 Mual dan muntah
 Kekakuan leher
 Kekakuan otot
 Gangguan keseimbangan
Diagnosis fase klinis polio:
Diagnosis fase klinis polio biasanya didasarkan pada gejala-gejala klinis dan riwayat
perjalanan penyakit. Tes laboratorium, seperti tes PCR, dapat dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis polio.
d. Fase Paralitik/Tahap Lanjut
Manifestasi klinis paparan virus polio pada manusia ada 4 bentuk yaitu:
 Inapparent infection tanpa gejala klinik yang banyak terjadi (72%)
 Minor Illness (abortive Poliomyelitis) dengan gejala panas yang tidak terlalu
tinggi, perasaan lemas, tidak ada nafsu makan dan sakit pada tenggorokan,
gangguan gastrointestinal, dan nyeri kepala ringan. Pemeriksaan fisik dalam
batas normal, pemeriksaan CSS normal dan sembuh dalam waktu 24-72 jam.
 Non paralitik Poliomyelitis (meningitis aseptik), ditandai dengan adanya
demam tinggi 39,5 °C, sakit kepala, nyeri pada otot, tidak ada nafsu makan,
mual, muntah, konstipasi atau diare dapat timbul.
 Paralitik Poliomyelitis, dimulai dengan gejala seperti nonparalytic
Poliomyelitis ditambah dengan ditemukannya kelumpuhan pada satu atau dua
ekstremitas dan hilangnya refleks superfisial atau refleks tendon dalam (tipe
spinal). Pada major illness, gejala klinis dimulai dengan demam, kelemahan
yang terjadi dalam beberapa jam, nyeri kepala dan muntah. Dalam waktu 24
jam terlihat kekakuan pada leher dan punggung. Penderita terlihat mengantuk,
iritabel, dan kecemasan.
Virus ini tumbuh di saluran pencernaan, yang berpotensi menargetkan sistem saraf
dan menyebabkan kerusakan saraf seumur hidup pada beberapa orang. Sebelum
masuk dan berkembang di jaringan saraf, virus terlebih dahulu akan terbentuk di
dinding faring (leher bagian dalam) atau saluran cerna bagian bawah, berjalan ke
jaringan getah bening lokal atau regional, kemudian masuk ke aliran darah.
Fase paralitik penyakit polio yang dikenal dengan fase lanjut ditandai dengan
kelumpuhan otot. Tahap ini terjadi ketika virus polio berpindah dari saluran
pencernaan ke otak dan sumsum tulang belakang, yang membentuk sistem saraf
pusat. Sel saraf motorik, yang mengatur pergerakan otot dirusak oleh virus polio yang
menyebar ke sistem saraf pusat. Kelumpuhan otot, yang dapat mempengaruhi satu
atau lebih bagian tubuh, termasuk lengan, kaki, dan pernapasan yang terjadi dengan
cepat.
Gejala-gejala fase lanjut polio:
● Kelumpuhan otot
● Kelemahan otot
● Kekakuan otot
● Gangguan keseimbangan
● Gangguan pernapasan
e. Fase akhir
Tahap polio setelah kelumpuhan otot dikenal sebagai tahap terakhir. Tahap ini bisa
berlangsung seumur hidup atau bertahun-tahun. Seseorang berada pada salah satu dari
lima keadaan pada akhir perjalanan penyakitnya: kematian, kronis (belum sepenuhnya
terbebas dari agen atau tetap sakit untuk waktu yang lama), carier (tampaknya sudah
sembuh tetapi masih menyimpan agent penyakit di dalam tubuhnya), kecacatan
(pemulihan dalam keadaan cacat), dan kesembuhan total. Mayoritas korban polio
pada akhirnya akan sembuh total, sementara yang lain mungkin menderita kondisi
neurologis kronis atau kelumpuhan seumur hidup.
D. FAKTOR RESIKO

Orang yang belum mendapatkan vaksin polio, anak kecil, orang yang mengalami
gangguan kekebalan tubuh, wanita hamil, orang yang tinggal atau bepergian di daerah
endemis polio, dan orang yang merawat korban polio memiliki risiko tertinggi. Memahami
faktor risiko polio sangat penting untuk mencegah dan mengendalikan penyakit ini karena
faktor risiko tersebut dapat bervariasi. Beberapa faktor risiko menurut
(Kementerian Kesehatan, 2020)
yang terkait dengan penyebaran penyakit polio antara lain:
1) Kondisi Sanitasi yang Buruk: Sanitasi yang buruk, terutama di bidang makanan dan
air, secara langsung terkait dengan penularan virus polio. Penyebaran virus ini dapat
dipengaruhi oleh lingkungan yang kotor. Karena virus polio menyebar melalui jalur
fecal-oral, praktik sanitasi yang buruk, seperti buang air besar sembarangan,
meningkatkan risiko penularan.
2) Kurangnya Imunisasi: Risiko penularan polio dapat meningkat di daerah dengan
tingkat imunisasi polio yang rendah. Risiko tertular polio sangat tinggi bagi mereka
yang belum menerima vaksinasi. Kelompok yang tidak divaksinasi dapat tertular
polio dengan cepat karena polio dapat ditularkan melalui kontak dekat dengan orang
yang terinfeksi.
3) Usia: Anak-anak usia di bawah 5 tahun lebih berisiko mengalami kelumpuhan polio
daripada orang dewasa.
4) Kepadatan Penduduk: Penyakit menular seperti polio lebih mungkin menyebar di
tempat-tempat dengan kepadatan penduduk yang tinggi, terutama di daerah-daerah
yang memiliki akses sanitasi yang buruk.
5) Kondisi Kesehatan Masyarakat yang Buruk: Bahaya penyebaran virus polio dapat
ditingkatkan oleh keadaan kesehatan masyarakat yang buruk, terutama akses yang
tidak memadai untuk mendapatkan perawatan medis yang memadai.
6) Perjalanan Internasional: Wisatawan yang mengunjungi daerah-daerah di mana polio
masih lazim berisiko tertular penyakit ini dan kembali ke rumah dengan membawa
penyakit tersebut, yang dapat menyebabkan epidemi/wabah.
7) Kurangnya Kesadaran Masyarakat tentang Pentingnya Vaksinasi: Munculnya kasus
polio baru dan menurunnya tingkat vaksinasi dapat disebabkan oleh kurangnya
pemahaman masyarakat akan pentingnya imunisasi polio.
E. KELOMPOK BERISIKO

Populasi berisiko adalah mereka yang lebih mungkin tertular virus polio dan menjadi lumpuh
(Kementerian Kesehatan, 2020). Kelompok-kelompok ini terdiri dari:
a. Anak-anak di bawah usia lima tahun: Anak-anak di bawah usia lima tahun lebih
rentan tertular virus polio daripada orang dewasa dan menjadi lumpuh. Alasannya
adalah karena sistem kekebalan tubuh anak-anak masih berkembang.
b. Individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah: Individu dengan sistem
kekebalan tubuh yang lemah, seperti mereka yang menerima kemoterapi atau hidup
dengan HIV/AIDS, lebih rentan tertular virus polio dan menderita kelumpuhan.
c. Wanita yang sedang hamil: Dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil, wanita
hamil yang terinfeksi polio lebih mungkin mengalami kelumpuhan.
d. Individu yang tinggal di daerah yang tidak bersih: Kondisi yang tidak bersih dapat
meningkatkan kemungkinan penyebaran virus polio.
e. Orang yang sering bersentuhan dengan pasien polio: Orang yang sering bersentuhan
dengan pasien polio lebih mungkin tertular virus polio.
f. Lingkaran pertemanan dan kerabat yang terdiri dari pembawa virus polio yang sehat
atau orang yang terinfeksi (yang menggunakan dapur, kamar kecil, dan lain-lain)

F. EPIDEMIOLOGI

Kasus dan kematian polio lumpuh yang dilaporkan, Amerika Serikat, 1910 hingga 2019
(Saloni Dattani et al., 2022)
Persentase anak usia satu tahun yang telah divaksinasi polio, 2021
(Saloni Dattani et al., 2022)
.
Kasus polio lumpuh yang dilaporkan akibat virus yang berasal dari vaksin, Indonesia
(Saloni Dattani et al., 2022)
.

G. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT

a. Pencegahan Primer
adalah mencegah penyakit polio pada perkembangan awal penyakit dengan
mempromosikan kesehatan, mengedukasi masyarakat tentang penyakit ini, dan
memberikan vaksin polio. Hal ini juga mencakup pengawasan AFP (Acute Flaccid
Paralysis), yang melibatkan pengawasan terhadap semua kasus lumpuh layu akut
(AFP) pada anak-anak di bawah usia 15 tahun, yang berisiko tertular polio.
 Vaksinasi biasanya digunakan untuk pencegahan polio primer. Penyakit ini
dapat dihindari secara efektif dengan vaksinasi polio. Polio hanya dapat
dihentikan terutama dengan program vaksinasi rutin untuk anak-anak, yang
mengharuskan pemberian vaksin pada waktu yang telah ditentukan. Vaksin
polio oral (OPV) atau vaksin polio yang tidak aktif (IPV) adalah dua cara yang
paling umum digunakan untuk memberikan vaksin polio. Telah terbukti
bahwa kedua bentuk vaksinasi ini berhasil mencegah infeksi polio.
 Sangat penting untuk memperhatikan kebersihan tangan yang baik untuk
menghentikan penyebaran virus polio. Kontak dengan kotoran atau air liur
penderita polio dapat menyebabkan penularan virus polio. Oleh karena itu,
sangat penting untuk sering mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir,
terutama sebelum makan, setelah menggunakan kamar kecil, dan setelah
mengganti popok anak Anda.
 Untuk menghentikan penularan polio, sangat penting juga untuk menjaga
kebersihan makanan dan minuman. Makanan dan air yang terkontaminasi
dapat mengandung virus polio. Oleh karena itu, sangat penting untuk
menyiapkan makanan dengan matang, mencuci buah dan sayuran dengan air
bersih sebelum dimakan, dan menyimpan makanan di tempat yang bersih dan
tertutup.
 Untuk menghentikan penyebaran polio, kebersihan lingkungan perlu
ditingkatkan. Air yang terkontaminasi dapat menularkan virus polio. Oleh
karena itu, sangat penting untuk memiliki fasilitas sanitasi yang memadai,
seperti pembuangan sampah yang tertutup dan toilet yang bersih dan
fungsional.
b. Pencegahan sekunder
adalah identifikasi dini suatu penyakit untuk mengurangi tingkat keparahan dan
komplikasi, sehingga meminimalkan prevalensi penyakit dengan mengurangi
perjalanan penyakit secara alami. Dengan mendesinfeksi dan menguji tinja secara
bersamaan untuk mencari virus polio, diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat
dicapai. Tindakan ini dilakukan dengan cara:
 Deteksi dini, adalah agar pencegahan sekunder menjadi efektif, tanda-tanda
polio harus dikenali sejak dini. Deteksi dini gejala-gejala seperti demam,
kelelahan, sakit kepala, kejang-kejang, atau kelemahan otot dapat membantu
mendapatkan pertolongan medis yang cepat. Salah satu metode untuk
mendeteksi polio secara dini adalah:
1) Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP), adalah program yang
digunakan untuk menemukan kasus polio di masyarakat. Memeriksa
anak-anak yang mengalami kelemahan otot secara tiba-tiba (lumpuh
layu akut) adalah cara pendekatan ini diterapkan.
2) Pemeriksaan laboratorium, mampu mengidentifikasi kasus polio.
Untuk melakukan tes ini, sampel darah, tinja, atau lendir pasien
diambil dari tenggorokan dan hidung mereka. dapat dilakukan untuk
mendiagnosis polio.
3) Penanganan cepat. Untuk menghindari gejala komplikasi dari polio,
pengobatan yang cepat juga penting. Untuk mendapatkan perawatan
yang tepat, pasien dengan polio yang menunjukkan gejala awal seperti
demam, nyeri pada otot, dan kekakuan pada leher harus segera dibawa
ke rumah sakit.
4) Isolasi. Untuk menghentikan penyebaran virus polio, mereka yang
mengidap penyakit ini harus dipisahkan. Mereka dapat mengisolasi diri
di rumah atau di rumah sakit.
5) Obat-obatan. Tujuan dari pengobatan yang diberikan kepada pasien
polio adalah untuk mengurangi gejala dan menghindari komplikasi.
Antibiotik, antipiretik, dan obat anti-inflamasi dapat diberikan.
c. pencegahan tersier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan
masalah melalui fisioterapi dan rehabilitasi.
 Rehabilitasi, sangat penting untuk membantu pemulihan mobilitas dan fungsi
otot pada pasien polio. Ada beberapa pendekatan untuk rehabilitasi, termasuk
terapi okupasi, terapi wicara, dan fisioterapi. Rehabilitasi polio dapat
dilakukan dengan beberapa metode, termasuk:
1) Fisioterapi, merupakan salah satu jenis pemulihan pasien polio yang
paling penting. Fisioterapi berupaya meningkatkan fungsi gerakan dan
kekuatan serta fleksibilitas otot.
2) Terapi okupasi, berupaya membantu pasien polio melakukan tugas
sehari-hari termasuk makan, berpakaian, dan mandi.
3) Terapi wicara, bertujuan untuk membantu pasien polio yang memiliki
masalah bicara.
REFERENSI
F. Estivariz, M., Ruth Link-Gelles, P. M., & Tom Shimabukuro, M. M. M. (2021). Poliomyelitis.
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/polio.html
Kejadian Luar Biasa (KLB) virus polio jenis cVDPV2 di Indonesia. (n.d.).
Kementerian Kesehatan. (2018, September 24). Poliomyelitis (Penyakit Virus Polio).
Infeksiemerging.Kemkes. https://infeksiemerging.kemkes.go.id/penyakit-virus/poliomyelitis-
penyakit-virus-polio-9
Kementerian Kesehatan. (2020, July 7). Polio. Infeksiemerging.Kemkes.
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/penyakit-virus/poliomyelitis-penyakit-virus-polio
Saloni Dattani, Fiona Spooner, Sophie Ochmann, & Max Roser. (2022, April). Polio. Our World
in Data. https://ourworldindata.org/polio
Victor Trismanjaya Hulu, Salman, Agus Supinganto, Lia Amalia, Khariri, Efendi Sianturi,
Nilasari, Nurhayati Siagian, Puji Hastuti, & Syamdarniati. (n.d.). Buku-Epidemologi-
Penyakit-Menular-Riwayat-Penularan-dan-Pencegahan (2).
WHO. (2023). Poliomyelitis (polio). Who.Int.
https://www.who.int/health-topics/poliomyelitis#tab=tab_1

Anda mungkin juga menyukai