Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan masyarakat secara
umum perlu diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang
tertuang dalam UUD 1945 melalui Pembangunan Nasional yang
berkesinambungan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Keberhasilan
pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya
manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta dirangkai dalam satu program
kesehatan dengan perencanaan terpadu yang didukung oleh data dan
informasi epidemiologi yang lengkap.
Pembangunan pada bidang kesehatan di Indonesia saat ini memiliki
beban yang lebih. Penyakit menular dan penyakit degeneratif muncul sebagai
masalah kesehatan. Penyakit menular tidak mengenal batas wilayah
administrasi, sehingga sulit untuk diberantas. Dengan tersedianya vaksin yang
dapat mencegah penyakit menular tertentu, maka tindakan pencegahan untuk
mencegah berpindahnya penyakit dari satu daerah ke daerah yang lain dapat
dilakukan dalam waktu relatif singkat dan hasil efektif.
Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 5% (1,7 juta) kematian pada
anak balita akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Sementara pada tahun 1972, sesuai dengan laporan WHO, berdasarkan hasil
evaluasi kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, diperkirakan
setiap tahun sebanyak 5000 anak meninggal dunia karena akibat dari penyakit
difteri dan penemuan kasus difteri tenggorok pada balita sebanyak 28.500 kasus.
Karena ada program eradikasi polio yang digencarkan oleh ditjen P2PL untuk
surveilans, maka terjadi peningkatan angka kasus yang ditemukan dari target
662 kasus, ditemukan 868 kasus. Selama periode 1995-1997, terdapat 124
kasus yang dilaporkan dari 33 negara bagian di AS, 60% diantaranya terjadi
pada usia 20-59 tahun, 35% pada usia di atas 60 tahun, dan 5% pada usia 20
tahun. Sedangkan kejadian campak pada periode sebelum ditemukannya
vaksin di seluruh dunia, 100 juta penderita dengan 6 juta kematian dilaporkan
setiap tahun.
Walaupun PD3I sudah dapat ditekan, cakupan imunisasi harus
dipertahankan tinggi dan merata. Kegagalan untuk menjaga tingkat
perlindungan yang tinggi dan merata dapat menimbulkan letusan Kejadian
Luar Biasa (KLB) PD3I. Untuk itu, upaya imunisasi perlu disertai dengan
upaya surveilans epidemiologi agar setiap peningkatan kasus penyakit atau
terjadinya KLB dapat terdeteksi dan segera diatasi dengan cepat. Dalam PP
Nomor 25 Tahun 2000 kewenangan surveilans epidemiologi, termasuk
penanggulangan KLB merupakan kewenangan bersama antara pemerintah
pusat dan pemerintah provinsi. Selama beberapa tahun terakhir ini,
kekhawatiran akan kembalinya beberapa penyakit menular dan timbulnya
penyakit-penyakit menular baru semakin meningkat.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan
untuk mencapai tingkat kekebalan masyarakat yang tinggi sehingga dapat
memutuskan rantai penularan PD3I.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja komponen proses terjadinya penyakit menular polio?
2. Apa saja komponen proses terjadinya penyakit menular difteri?
3. Apa saja komponen proses terjadinya penyakit menular tetanus?
4. Apa saja komponen proses terjadinya penyakit menular campak?

C. Tujuan
1. Mengetahui komponen proses terjadinya penyakit menular polio.
2. Mengetahui komponen proses terjadinya penyakit menular difteri.
3. Mengetahui komponen proses terjadinya penyakit menular tetanus.
4. Mengetahui komponen proses terjadinya penyakit menular campak.

D. Manfaat
1. Dapat mengetahui komponen proses terjadinya penyakit menular polio.
2. Dapat mengetahui komponen proses terjadinya penyakit menular difteri.
3. Dapat mengetahui komponen proses terjadinya penyakit menular tetanus.
4. Dapat mengetahui komponen proses terjadinya penyakit menular campak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Komponen Proses Terjadinya Penyakit Menular Polio


1. Etiologi Penyakit Polio
Penyakit polio atau poliomyelitis paralitik sudah dikenal sejak akhir
abad 18, bahkan mungkin sejak jaman Mesir Kuno. Penyakit ini
disebabkan oleh virus polio, anggota genus Enterovirus, famili
Picornaviridae. Sampai sekarang telah diisolasi 3 strain virus polio yaitu
tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing), dan tipe 3 (Leon). Infeksi dapat terjadi
oleh satu atau lebih tipe tersebut. Epidemi yang luas biasanya disebabkan
oleh tipe 1. Virus ini relatif tahan terhadap hampir semua desinfektan
(etanol, isopropanol, lisol, amoniom kuartener, dll). Virus ini tidak memliki
amplop lemak sehingga tahan terhadap pelarut lemak termasuk eter dan
kloroform. Virus ini dapat diinaktifasi oleh formaldehid, glutaraldehid, asam
kuat, sodium hipoklorit, dan klorin. Virus polio menjadi inaktif dengan
pemanasan di atas 42 derajat Celcius. Selain itu, pengeringan dan
ultraviolet dapat juga menghilangkan aktivitas virus polio.
Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama pada
tempat implantasi dalam faring dan GI tract. Virus umumnya ditemukan di
daerah tenggorokan dan tinja sebelum timbulnya gejala. 1 minggu setelah
timbulnya penyakit, virus terdapat dalam jumlah kecil di tenggorokan,
kemudian masuk ke saluran cerna. Virus terus-menerus dikeluarkan
bersama tinja dalam beberapa minggu.
Virus menembus jaringan limfoid setempat, masuk ke dalam
pembuluh darah kemudian masuk ke system safar yaitu sistem saraf pusat
dan sumsum tulang belakang. Biasanya virus ini menyerang
simpul/serabut saraf di tungkai bawah kaki sehingga saraf ini lemah tidak
berfungsi dan otot kaki menjadi lumpuh. Selain kaki, virus ini juga bisa
menyerang saraf tangan dan otak (saraf tenggorokan) sehingga sulit
menelan dan bernafas sampai menyebabkan kematian.
Reservoir virus ini hanya manusia. Tidak ada carrier virus dengan
status asimtomatis kecuali pada orang yang menderita defisiensi sistem
imun. Infeksi virus mencapai puncaknya pada musim panas, sedangkan di
daerah tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi.

2. Masa Inkubasi dan Penularan Polio


Masa inkubasi penyakit polio pada umunya 7-14 hari untuk kasus
paralitik, dengan rentang waktu antara 3-35 hari. Penularan terutama
terjadi dari orang ke orang melalui rute oro-fekal, virus lebih mudah
dideteksi dari tinja dalam jangka waktu panjang dibandingkan dari sekret
tenggorokan. Pada daerah dengan sanitasi lingkungan yang baik,
penularan terjadi melalui sekret faring daripada melalui rute oro-fekal.
Masa penularan dimungkinkan tetap terjadi sepanjang virus masih
dikeluarkan melalui tinja. Virus polio dapat ditemukan didalam sekret
tenggorokan dalam waktu 36 jam dan pada tinja dalam waktu 72 jam
setelah terpajan dengan infeksi, baik dengan penderita klinis maupun
dengan kasus inapparent (penderita tanpa gejala). Virus tetap dapat
ditemukan pada tenggorokan selama 1 1 minggu dan di dalam tinja
selama 3-6 minggu atau lebih. Penderita polio sangat menular selama
beberapa hari sebelum dan beberapa hari sesudah gejala awal.

3. Gejala dan Tanda Penyakit Polio beserta Diagnosis


Kebanyakan penderita polio tidak menyadari bahwa dirinya sedang
terinfeksi virus polio. Gejala penyakit polio diklasifikasikan menjadi 3
kelompok yaitu polio non-paralisis, polio paralisis dan sindrom pasca-polio.
a) Polio non-paralisis
Polio non-paralisis adalah tipe polio yang tidak menyebabkan
kelumpuhan. Gejala tergolong ringan pada umunya berlangsung
antara satu hingga sepuluh hari, seperti: muntah, lemah otot, demam,
meningitis, merasa letih, sakit tenggorokan, sakit kepala dan kaki
tangan leher beserta punggung terasa kaku dan sakit.
b) Polio paralisis
Polio paralisis adalah tipe polio yang paling parah dan dapat
menyebabkan kelumpuhan. Polio paralisis bisa dibagi berdasarkan
bagian tubuh yang terjangkit, seperti batang otak, saraf tulang
belakang, atau keduanya. Gejala awal polio paralisis sering kali sama
dengan polio non-paralisis, seperti sakit kepala dan demam. Gejala
polio paralisis biasanya terjadi dalam jangka waktu seminggu,
diantaranya adalah sakit atau lemah otot yang serius, kaki dan lengan
terasa terkulai atau lemah, dan kehilangan refleks tubuh. Beberapa
penderita polio paralisis bisa mengalami kelumpuhan dengan sangat
cepat atau bahkan dalam hitungan jam saja setelah terinfeksi dan
kadang-kadang kelumpuhan hanya terjadi pada salah satu sisi tubuh.
Saluran pernafasan mungkin bisa terhambat atau tidak berfungsi,
sehingga membutuhkan penanganan medis darurat.
c) Sindrom pasca-polio
Sindrom pasca-polio biasanya menimpa orang-orang yang rata-rata
30-40 tahun sebelumnya pernah menderita penyakit polio. Gejala yang
sering terjadi diantaranya yaitu sulit bernafas atau menelan, sulit
berkonsentrasi atau mengingat, persendian atau otot makin lemah dan
terasa sakit, kelainan bentuk kaki atau pergelangan, depresi atau
mudah berubah suasana hati, gangguan tidur dengan disertai
kesulitan bernafas, mudah lelah, massa otot tubuh menurun (atrophia)
dan tidak kuat menahan suhu dingin.
Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis, pemeriksaan cairan
cerebrospinal, isolasi virus dan meningkatnya titer antibodi dalam dalam
darah.

4. Pengobatan Polio
Sejauh ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan polio
jika virus polio sudah menjangkiti seseorang, tetapi pengobatan bertujuan
untuk mengelola efek dari penyakit. Pilihan terapi suportif meliputi:
a) Antibiotik untuk infeksi sekunder.
b) Obat penghilang rasa sakit (analgetik).
c) Ventilator portabel untuk membantu pernafasan.
d) Obat untuk mengurangi kejang otot.
e) Latihan atau olahraga ringan-sedang.
f) Fisioterapi.
5. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Polio
Faktor yang berhubungan dengan kejadian polio antara lain yaitu
penderita yang tidak mempunyai daya tahan tubuh, lebih mudah terkena
infeksi polio, stress akibat kelelahan otot dan kedinginan, pembedahan
seperti tonsilektomi, penderita yang sebelumnya menderita pertusis,
campak, tetanus.
Semua orang rentan terhadap infeksi virus polio, namun kelumpuhan
terjadi hanya sekitar 1% dari infeksi. Sebagian dari penderita ini akan
sembuh dan yang masih tetap lumpuh berkisar antara 0,1% sampai 1%.
Angka kelumpuhan pada orang-orang dewasa non imun yang terinfeksi
lebih tinggi dibandingkan dengan anak dan bayi yang non imun.
Kekebalan spesifik yang terbentuk bertahan seumur hidup, baik sebagai
akibat infeksi virus polio maupun inapparent. Serangan kedua jarang
terjadi dan sebagai akibat infeksi virus polio dengan tipe yang berbeda.
Bayi yang lahir dari ibu yang sudah diimunisasi mendapat kekebalan pasif
yang pendek. Injeksi intramuskuler, trauma atau tindakan pembehadan
selama masa inkubasi atau pada saat muncul gejala prodromal dapat
memprovokasi terjadinya kelumpuhan pada ektremitas yang terkena.
Tonsiloektomi meningkatkan risiko terkenanya saraf bulber. Aktivitas otot
berlebihan pada periode prodromal dapat menjadi pencetus untuk
terjadinya kelumpuhan.

6. Cara Pencegahan Polio


Menurut Syahril Pasaribu dalam jurnal Aspek Diagnostik Poliomielitis
(2005), mengatakan bawa salah satu upaya pencegahan polio adalah
dengan cara Imunisasi Aktif. Berikut adalah upaya imunisasi aktif untuk
pencegahan polio.
a) Memberi imunisasi polio pada semua anak sebanyak empat kali
sebelum usia satu tahun sebagai bagian imunisasi rutin untuk
mencegah tujuh penyakit utama anak (tuberkulosis/meningitis, polio,
dipteri, pertusis, tetanus, campak, hepatitis B).
b) Lewat Pekan Imunisasi Nasional semua anak di bawah usia lima tahun
diberi dua dosis vaksin polio dengan tenggang waktu satu bulan.
c) Sistem pengamatan dibuat sedemikian rupa sehingga tak ada kasus
polio yang tak teridentifikasi.
d) Mengirim tim untuk melakukan imunisasi dari rumah ke rumah di
wilayah virus polio dicurigai masih beredar.

B. Komponen Proses Terjadinya Penyakit Menular Difteri


1. Etiologi Penyakit Difteri
Bakteri penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini
ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri
berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan (human reservoir). Beberapa
jenis bakteri ini menghasilkan toksik yang sangat kuat, yang dapat
menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Infeksi oleh bakteri ini
tidak invasif, tetapi  bakteri ini dapat mengeluarkan eksotoksin. Sebagian
besar ditemukan pada anak usia 1-5 tahun. Sebelum usia 1 tahun, anak
masih mendapat perlindungan pasif dari antibodi ibu. Difteri merupakan
penyakit menular akut pada selaput lendir (mukosa) tonsil, faring, dan
hidung.

2. Masa Inkubasi dan Penularan Difteri


Masa inkubasi penyakit difteri biasanya berlangsung selama 2-5 hari
atau bahkan bisa lebih lama. Masa penularan beragam, tetap menular
sampai tidak ditemukan lagi bakteri dari discharge dan lesi, biasanya
berlangsung 2 minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari 4
minggu. Terapi antibiotik yang efektif dapat mengurangi penularan. Carrier
kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan. Cara penularan adalah
melalui kontak dengan penderita atau carrier, jarang sekali penularan
melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri.
Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.

3. Gejala dan Tanda Penyakit Difteri beserta Diagnosis


Tanda-tanda dan gejala umum dari difteri adalah:
a) Tenggorokan dilapisi selaput tebal berwarna abu-abu.
b) Radang tenggorokan dan serak.
c) Pembengkakan kelenjar pada leher.
d) Masalah pernafasan dan saat menelan.
e) Cairan pada hidung/pilek.
f) Demam dan menggigil.
g) Batuk yang keras.
h) Perasaan tidak nyaman.
i) Perubahan pada penglihatan.
j) Tanda-tanda shock seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat,
dan jantung berdebar cepat.
Diagnosis ditegakkan secara klinis dan dengan pemeriksaan
laboratorium dengan mengambil sampel dari lendir di tenggorokan,
hidung, atau ulkus di kulit untuk diperiksa.

4. Pengobatan Difteri
Penyakit difteri adalah penyakit yang dapat menyebabkan kerusakan
serius pda ginjal, sistem saraf, dan jantung jika tidak diobati. Penyakit ini
menyebabkan hal yang fatal dari 3 persen kasusnya. Biasanya dokter
akan memberikan terapi dengan cepat dan agresif. Langkah pertama
terapi pengobatan difteri adalah injeksi antitoksin. Injeksi anti toksin ini
akan melawan toksin yang dihasilkan bakteri dalam tubuh. Penyebab
difteri adalah bakteri, sehingga dokter juga dapat meresepkan antibiotik
seperti penisilin dan eritromisin untuk membantu memberantas infeksi
bakteri yang terjadi di dalam tubuh. Selama pengobatan difteri, dokter juga
dapat menyarakan untuk pasien opname di rumah sakit di ruang isolasi
sehingga pasien tidak akan berpotensi menularkan infeksi ke orang lain.

5. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Difteri


Faktor yang berhubungan dengan kejadian difteri yaitu seseorang
yang belum pernah sakit difteri, anak yang tidak mendapat vaksinasi.
Selain itu terdapat faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian difteri
yaitu lokasi tempat tinggal, memiliki gangguan sistem imun seperti AIDS,
memliki sistem imun yang lemah, tinggal di kondisi yang padat penduduk
atau tidak higienis.
Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki imunitas biasanya memiliki
imunitas juga perlindungan yang diberikan bersifat pasif dan biasanya
hilang sebelum bulan keenam. Imunitas seumur hidup tidak selalu, adalah
imunitas yang didapat setelaah sembuh dari penyakit atau dari infeksi
yang subklinis. Imunisasi dengan toxoid memberikan kekebalan cukup
lama namun bukan kekebalan seumur hidup. Sero survey di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja kadar antioksidan
prospektifnya rendah; tingkat imunitas di Kanada, Australia dan beberapa
Negara di Eropa lainnya juga mengalami penurunan. Walaupun demikian
remaja yang lebih dewasa ini masih memiliki memori imunologis yang
dapat melindungi mereka dari serangan penyakit. Di Amerika Serikat
kebanyakan anak-anak telah diimunisasi pada kuartal ke-2 sejak tahun
1997, 95% dari anak-anak berusia 2 tahun menerima 3 dosis vaksin difteri.
Antioksidan yang terbentuk melindungi orang terhadap penyakit sistemik
namun tidak melindungi dari kolonisasi pada nasofaring.

6. Cara Pencegahan Difteri


a) Memberikan penyuluhan kepada orang tua tentang bahaya dari difteri
dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.
b) Memberikan tindakan pemberantasan yang efektif dengan melakukan
imunisasi aktif secara luas (massal) dengan Diphtheria Toxoid (DT).
Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang
mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acellular
pertussis atau vaksin yang mengandung whole cell pertussis (DTP).
c) Jadwal imunisasi untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun yaitu
imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama
diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan pada
bayi berusia 6-8 minggu, dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis
ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi
keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut. Dosis ke-5
diberikan pada saat usia 4-6 tahun (sebelum masuk sekolah), dosis
ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia
4 tahun. Bila komponen pertussis dari DTP merupakan kontraindikasi,
sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT. Untuk usia 7 tahun ke
atas, mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan
bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7
tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi/kadar
diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka
yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi
dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan Diphtheria Toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-
3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. Data yang
terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi
ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai
pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis
tambahan. Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu
dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
d) Melakukan upaya khusus terhadap mereka yang terpajan dengan
penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara
memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali
diberikan dosis booster Td kepada mereka.
e) Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan
sistem kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan
imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi
orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak
memberikan respon kekebalan yang optimal.

C. Komponen Proses Terjadinya Penyakit Menular Tetanus


1. Etiologi Penyakit Tetanus
Etiologi kuman yang menghasilkan toksin adalah clostridium tetani,
kuman berbentuk batang dengan sifat :
a) Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk
seperti pemukul gendering.
b) Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam dalam
lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan
flagela.
c) Menghasilkan eksotoksin yang kuat.
d) Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan
dalam suhu tinggi kekeringan dan desinfektan.
Bakteri clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran
manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka
terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat
oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas
dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob
yang dapat berubah menjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan
eksotoksin. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia
lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan
secara fisik dan biologik.
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka.
Adanya luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan
pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik
seperti ulkus dekubitus, abses dan gangrene. Dapat juga terjadi infeksi
telinga tengah.
Pembedahan, persalinan dan pemakaian obat-obatan intravena atau
subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang
dalam dan berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya
benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal
dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari
tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka
pada pembedahan.

2. Masa Inkubasi dan Penularan Tetanus


Masa inkubasi tetanus biasanya 3-21 hari, walaupun rentang waktu
bisa 1 hari sampai beberapa bulan, hal ini tergantung pada ciri, kedalaman
letak luka, rata-rata masa inkubasi adalah 10 hari. Kebanyakan kasus
terjadi dalam waktu 14 hari. Pada umumnya makin pendek masa inkubasi
biasanya karena luka terkontaminasi berat, akibatnya semakin berat
penyakitnya dan semakin buruk prognosisnya. Spora tetanus masuk ke
dalam tubuh biasanya melalui luka tusuk yang tercemar dengan tanah,
debu jalanan atau tinja hewan dan manusia, spora dapat juga masuk
melalui luka bakar atau luka lain yang tidak dihiraukan, atau juga dapat
melalui injeksi dari jarum suntik yang tercemar yang dilakukan oleh
penyuntik liar. Tetanus kadang kala sebagai kejadian ikutan pasca
pembedahan termasuk setelah sirkumsisi. Adanya jaringan nekrotik atau
benda asing di dalam tubuh manusia mempermudah pertumbuhan bakteri
anaerobik. Tetanus yang terjadi setelah terjadi luka, biasanya penderita
pada waktu mengalami luka menganggap lukanya tidak perlu dibawa ke
dokter. Pada masa penularannya tidak ada penularan secara langsung
dari manusia kepada manusia.

3. Gejala dan Tanda Penyakit Tetanus beserta Diagnosis


Gejala dan tanda penyakit tetanus yaitu:
a) Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama
5 -7 hari.
b) Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.
c) Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
d) Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang
dari leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus,
lockjaw) karena spasme otot masetter.
e) Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus, nuchal rigidity).
f) Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan
kuat.
g) Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus
h) Lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
i) Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis
(pada anak).

Diagnosis tetanus ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik


meliputi kekakuan otot, kejang, kesadaran baik, pemeriksaan laboratorium
dengan mengambil sampel dari luka penderita untuk ditemukannya bakteri
tetanus atau dengan mengambil sampel darah penderita tetanus.
4. Pengobatan Tetanus
Pengobatan tetanus dilakukan dengan menghilangkan sumber racun,
detoksifikasi, mencegah dan mengobati kejang, yaitu dengan:
a) Semua luka dibersihkan dan mengangkat jaringan mati. Minum
antibiotik untuk membunuh bakteri.
b) Memberi vaksin imunoglobulin tetanus untuk detoksifikasi.
c) Pemberian obat sedatif diazepam untuk membantu mengendalikan
kejang.
d) Jika penderita mengalami kaku rahang, sulit menelan, dan otot
kedutan, dibantu dengan alat bantu napas.
e) Fisioterapi.

5. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tetanus


Faktor yang berhubungan dengan kejadian tetanus yaitu Sistem imun
yang rendah , kelompok yang tidak diimunisasi, Luka yang tidak
dibersihkan dan memungkinkan spora tetanus untuk masuk, Adanya
benda asing yang menyebabkan luka misalnya bila tertancap paku,
persalinan ditolong oleh tenaga non-kesehatan, ibu hamil yang tidak
diberikan imunisasi TT menjelang kelahiran anaknya.
Semua orang rentan terhadap tetanus. Pemberian imunisasi aktf
dengan tetanus toxoid (TT) dapat menimbulkan kekebalan yang dapat
bertahan paling sedikit selama 10 tahun setelah pemberian Tetanus
Immunoglobin (TIG) atau setelah pemberian Tetanus Antitoxin (serum
kuda). Bayi yang lahir dari ibu yang telah mendapatkan imunisasi TT
lengkap terhindar dari tetanus nenonatorum. Setelah sembuh dari tetanus
tidak timbul kekebalan, orang tersebut dapat diserang untuk kedua kalinya,
oleh karena itu segera setelah sembuh dari tetanus orang tersebut segera
diberikan imunisasi TT dasar.

6. Cara Pencegahan Tetanus


Seorang penderita yang terkena tetanus tidak kebal terhadap
serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk
mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak
pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah
ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup
untuk merangsang pembentukkan antitoksin (karena tetanospamin sangat
poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi
yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat
untuk merangsang pembentukan kekebalan).
Ada beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal ini
diketahui sejak C. tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin
organisme yang berada di dalam lumen usus melepaskan imunogenic
quantity dari toksin. Ini diketahui dari dijumpai anti toksin pada serum
seseorang dalam riwayatnya belum pernah di imunisasi, dan
dijumpai/adanya peninggian titer antibodi dalam serum yang karakteristik
merupakan reaksi secondary imune response pada beberapa orang yang
diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk pertama kali.
Dengan dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang
semestinya terjadi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi
tidak lengkap/ tidak terlaksana dengan baik.
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid
merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus.
Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak
berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT ).
Pemberian imunisasi ini dapat dilakukan kepada bayi mulai dari usia 2
bulan dengan aturan pemberian sebagai berikut:
a) TT1 sebagai awal perlindungan.
b) TT2 mampu memberikan perlindungan selama 3 tahun, dapat
diberikan 4 minggu setelah TT1.
c) TT3 mampu memberikan perlindungan selama 5 tahun, dapat
diberikan 6 bulan setelah TT2.
d) TT4 mampu memberikan perlindungan selama 10 tahun, dapat
diberikan 12 bulan setelah TT3.
e) TT5 mampu memberikan perlindungan selama 25 tahun, dapat
diberikan 12 bulan setelah TT4.
Pemberian vaksin tetanus sebaiknya dihindari bagi orang yang alergi
terhadap kandungan vaksin tetanus, seperti penderita epilepsi, masalah
gangguan syaraf, riwayat nyeri hebat atau pembengkakan setelah
pemberian vaksin.

D. Komponen Proses Terjadinya Penyakit Menular Campak


1. Etiologi Penyakit Campak
Penyakit ini disebabkan oleh virus campak, dari famili
Paramyxonvirus, genus Morbilivirus. Virus ini adalah virus RNA yang
dikenal hanya mempunyai satu antigen. Struktur virus ini mirip dengan
virus penyebab parotitis epidemis dan parainfluenza. Setelah timbulnya
ruam kulit, virus aktif dapat ditemukan pada sekret nasofaring, darah dan
air kencing dalam waktu sekitar 34 jam pada suhu kamar.
Virus campak dapat bertahan selama beberapa hari pada
temperatur 00C dan selama 15 minggu pada sediaan beku. Di luar tubuh
manusia virus ini mudah mati. Pada suhu kamar sekalipun, virus ini akan
kehilangan infektivitasnya sekitar 60% selama 3-5 hari. Virus ini mudah
hancur oleh sinar ultraviolet.

2. Masa Inkubasi dan Penularan Campak


Campak mudah menularkan penyakit. Virulensinya sangat tinggi
terutama pada anak yang rentan dengan kontak keluarga, sehingga
hampir 90% anak rentan akan tertular. Campak ditularkan melalui droplet
di udara oleh penderita sejak 1 hari sebelum timbulnya gejala klinis
sampai 4 hari sesudah munculnya ruam. Masa inkubasi berlangsung
sekitar 10 hari, tapi bisa berkisar antara 7-18 hari dari saat terpajan
sampai timbul gejala demam, biasanya 14 hari sampai timbul ruam.
Jarang sekali lebih lama dari 9-21 hari hari. IG untuk perlindungan pasif
yang diberikan setelah hari ketiga masa inkubasi dapat memperpanjang
masa inkubasi. Masa penularan berlangsung mulai dari hari pertama
sebelum munculnya gejala prodromal (biasanya sekitar 4 hari sebelum
timbulnya ruam) sampai 4 hari setelah timbul ruam, minimal setelah hari
kedua timbulnya ruam. Virus vaksin yang dilemahkan sampai saat ini tidak
pernah dilaporkan menular.
3. Gejala dan Tanda Penyakit Campak beserta Diagnosis
Sekitar 10 hari setelah infeksi akan muncul demam yang biasanya
tinggi, diikuti dengan koriza, batuk, dan peradangan pada mata. Gejala
penyakit campak dikategorikan dalam tiga stadium yaitu:
a) Stadium masa inkubasi berlangsung sekitar 10-12 hari.
b) Stadium masa prodromal, yaitu munculnya demam ringan sampai
sedang, batuk yang makin berat, koriza, peradangan mata, dan
munculnya enantema atau bercak koplik yang khas pada campak yaitu
bercak putih pada mukosa pipi.
c) Stadium akhir, ditandai dengan demam tinggi dan timbulnya ruam-
ruam kulit kemerahan yang dimulai dari belakang telinga dan
kemudian menyebar ke leher, muka, tubuh, dan anggota gerak.
Dua hari kemudian biasanya suhu akan menurun dari gejala penyakit
mereda. Ruam kulit akan mengalami hiperpigmentasi (berubah warna
menjadi lebih gelap) dan mungkin mengelupas. Penderita akan tampak
sehat bila tidak disertai komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi adalah
konjungtivitis, bronkopneumonia, radang telinga tengah, dan peradangan
otak.

4. Pengobatan Campak
Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit campak. Anak
sebaiknya menjalani istirahat. Untuk menurunkan demam, diberikan
asetaminofen atau ibuprofen. Jika terjadi infeksi bakteri, diberikan
antibiotik. Maka dari itu harus berjaga-jaga. Pengobatan campak berupa
perawatan umum seperti pemberian cairan dan kalori yang cukup. Obat
simtomatik yang perlu diberikan antara lain:
a) Antidemam
b) Antibatuk
c) Vitamin A
d) Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya jika campak disertai
dengan komplikasi.
Pasien tanpa komplikasi dapat berobat jalan di puskesmas atau unit
pelayanan kesehatan lain, sedangkan pasien campak dengan komplikasi
memerlukan rawat inap di rumah sakit.
5. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Campak
Faktor yang berhubungan dengan kejadian campak yaitu bayi umur
lebih dari 1 tahun, bayi dan balita karena mereka umumnya belum
memiliki sistem kekebalan tubuh yang kuat., bayi yang tidak mendapat
imunisasi, remaja dan dewasa muda yang belum mendapat imunisasi
kedua. Kurang konsumsi vitamin A. Sebenarnya, semua orang yang
belum pernah terserang penyakit ini akan berisiko terkena campak dan
mereka yang belum pernah diimunisasi serta nonresponders rentan
terhadap penyakit ini.
Semua orang yang belum pernah terserang penyakit ini dan mereka
yang belum pernah diimunisasi serta nonresponders rentan terhadap
oenyakit ini. Imunitas yang didapat setelah sakit bertahan seumur hidup.
Bayi yang baru lahir dari ibu yang pernah menderita campak akan
terlindungi dari titer antibody maternal yang tersisa pada saat kehamilan
atau tergantung pada kecepatan degradasi antibody tersebut. Antibodi
maternal mengganggu respons terhadap vaksin.

6. Cara Pencegahan Campak


Imunisasi yang diberikan pada bayi berusia 9 bulan merupakan
pencegahan yang paling efektif. Vaksin campak berasal dari virus hidup
yang dilemahkan. Pemberian vaksin dengan cara intrakutan atau
intramuskular dengan dosis 0,5 cc. Pemberian imunisasi campak satu kali
akan memberikan kekebalan selama 14 tahun, sedangkan untuk
mengendalikan penyakit diperlukan cakupan imunisasi paling sedikit 80%
per wilayah secara merata selama bertahun-tahun.
Keberhasilan program imunisasi dapat diukur dari menurunnya
jumlah kasus campak dari waktu ke waktu. Kegagalan imunisasi dapat
disebabkan oleh:
a) Terdapatnya kekebalan yang dibawa sejak lahir yang berasal dari
antibodi ibu. Antibodi itu akan menetralisasi vaksin yang diberikan.
b) Terjadi kerusakan vaksin akibat penyimpanan, pengangkutan, atau
penggunaan di liuar pedoman.
BAB III
SIMPULAN

Penyakit polio adalah penyakit yang disebabkan oleh virus polio, anggota
genus Enterovirus, famili Picornaviridae. Sampai sekarang telah diisolasi 3 strain
virus polio yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing), dan tipe 3 (Leon). Bakteri
penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui
percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Clostridium tetani adalah penyebab penyakit tetanus,
bakteri tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Penyakit campak
disebabkan oleh virus campak, dari famili Paramyxonvirus, genus Morbilivirus.
Virus ini adalah virus RNA yang dikenal hanya mempunyai satu antigen.

Anda mungkin juga menyukai