Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH VIROLOGI

POLIO

Disusun Oleh :

Kelompok 4

1. Ulil Amri (P27834016004)


2. Virgitta Rizky W (P27834016011)
3. Widya Pipit K. (P27834016017)
4. Dea Grabilla S. (P27834016023)
5. Devi Cahya Aditya (P27834016030)
6. Nor Ainy Oktavia (P27834016070)
1. PENGERTIAN
Poliomyelitis atau yang lebih sering disebut penyakit polio adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio. Polio ditularkan melalui air
atau makanan yang terkontaminasi, atau melalui kontak dengan penderita polio.
Virus polio menyerang otak dan saraf tulang belakang penderitanya dan bisa
menyebabkan kelumpuhan.
Pertama sekali ditemukan oleh Jacob Heine (1840) yaitu seorang
ortopedik berkebangsaan Jerman, dimana ia mengidentifikasi berbagai gejala dan
gambaran patologi dari penyakit ini. Pada tahun 1890, Medin seorang dokter anak
berkebangsaan Swedia mengemukakan berbagai data epidemiologi penyakit
Poliomielitis. Atas jasa kedua sarjana ini, maka Poliomielitis disebut juga sebagai
penyakit Heine-Medin.
Tahun 1908, Landsteiner dan Popper berhasil memindahkan penyakit ini
pada kera melalui cara inokulasi jaringan sumsum tulang belakang penderita yang
meninggal akibat penyakit Poliomielitis. Tahun 1949 Enders, Weller dan Robbins
dapat menumbuhkan virus ini pada sel-sel yang bukan berasal dari susunan syaraf,
sehingga memungkinkan ditelitinya patogenesis dan perkembangan vaksin polio.
Tahun 1952, Bodian dan Horstmann mendapatkan bahwa viremia terjadi pada
awal infeksi, yang mana hal ini perlu untuk menerangkan fase sistemik penyakit
dan bagaimana penyebaran virus polio ke susunan syaraf pusat.
Salk pada tahun 1953 melaporkan keberhasilan imunisasi dengan
formalininactivated poliovirus, dan lisensi vaksin ini diperoleh pada tahun 1955.
Beberapa tahun kemudian Sabin, Koprowski dan lain-lain
mengembangkan vaksin live attenuated poliovirus dan mendapat lisensi pada
tahun 1962. Polio merupakan (keluarga Picornaviridae), sering disingkat sebagai
"Polio" adalah virus yang paling ditakuti abad ke-20 di dunia yang menghasilkan
permulaan program inisiatif global untuk pemberantasan polio pada tahun 1988.
Sebagian polio positif yang diakibatkan oleh enterovirus RNA ini dikenal dengan
kemampuannya untuk mempengaruhi sebuah bagian dari sumsum tulang
belakang, dan mengakibatkan terjadinya Acute Flaccid Paralysis (AFP) atau dapat
menyebabkan kematian jika otot pernapasan atau tenggorokan mendapat lumpuh
tetapi untungnya tidak banyak kasus yang terjadi. (Pasaribu, 2005)
Perlu diketahui, penyakit polio dapat menyebabkan kelumpuhan, masalah
pernapasan hingga kematian. Polio atau poliomyelitis merupakan istilah yang
berasal dari bahasa Yunani yang berarti abu-abu, myelós mengacu ke ‘sumsum
tulang belakang’ dan itis yang berarti inflamasi.
Penyakit polio dapat diklasifikasikan sebagai polio simtomatik (dengan
gejala) atau polio asimtomatik (tanpa gejala). Sekitar 95% dari semua kasus tidak
menunjukkan gejala (polio asimptomatik), dan 4-8% kasus menunjukkan gejala
(polio simtomatik). Polio simtomatik dapat dibagi lebih lanjut ke dalam bentuk
ringan (non paralitik), polio yang gagal dan bentuk yang parah disebut polio
paralitik (terjadi pada 0,1%-2% dari kasus).
Pada bulan Mei 2012, World Health Assembly (WHA) mendeklarasikan
bahwa eradikasi polio adalah salah satu isu kedaruratan kesehatan masyarakat dan
perlu disusun suatu strategi menuju eradikasi polio. Indonesia telah berhasil
menerima sertifikasi bebas polio bersama dengan negara anggota WHO di South
East Asia Region (SEAR) pada bulan Maret 2014,sementara itu dunia masih
menunggu negara lain yang belum bebas polio yaitu Afganistan, Pakistan dan
Nigeria.

2. EPIDEMIOLOGI
Outbreak pertama kali terjadi di Eropa pada awal abad ke-19 yang
banyak menyerang anak, dan selanjutnya kejadian epidemik meluas
pada umur yang lebih tua. Epidemi polio berskala besar terjadi di
Eropa dan Amerika sejak pertengahan abad 19 sampai pertengahan
pertama abad 20. (Ismoedijanto, 2014). Selama 3 dekade pertama di abad ke 20-
,80-90% penderita polio adalah anak balita,kebanyakan dibawah umur 2 tahun.
Tahun 1955,di Massachusett Amerika Serikat pernah terjadi wabah polio
sebanyak 2.771 kasus dan tahun 1959 menurun menjadi 139 kasus.Hasil
penelitian WHO tahun 1972-1982,di Afrika dan Asia Tenggara terdapat 4.214 dan
17.785 kasus. Dinegara musim dingin,sering terjadi epidemic dibulan Mei-
Oktober,tetapi kasus sporadic tetap terjadi setiap saat .
Di Indonesia ,sebelum perang dunia II, penyakit polio merupakan penyakit
yang sporadic-endemis,epidemi pernah terjadi di berbagai daerah seperti
Bliton sampai ke banda, Balikpapan, bandung Surabaya,Semarangdan
Medan Epidemi terakhir terjadi pada tahun 1976/1977 di Bali Selatan.
Kebanyakan infeksi virus polio tanpa gejala atau timbul panas yang tidak spesifik.
Perbandingan asimtomatik dan ringan sampaiterjadi paralisis adalah 100:1 dan
1000:1. Terjadinya wabah polio biasanya akibat:
a) Sanitasi yang jelek
b) Padatnya jumlah penduduk
c) Tingginya pencemaran lingkungan oleh tinja
d) Pengadaan air bersih yang kurang
Penularan dapat melalui:
a. Inhalasi
b. Makanan dan Minuman
c. Bermacam serangga seperti lipas dan lalat.

Penyebaran dipercepat bila ada wabah atau pada saat yang bersamaan
dilakukan pula tindakan bedah seperti tonsilektomi ,ekstraksi gigi dan
penyuntikan. Walaupun penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang harus
segera dilaporkan, Namun data epidemiologi yang sukar didapat. Dalam salah
satu symposium imunisasi dijakarta (1979) dilaporkan bahwa:
1. Jumlah anak berumur 0-4 tahun yang tripel negative makin bertambah (10%)
2. Insiden polio berkisar 3,5-8/100.000 penduduk.
3. Paralytic rate pada golongan 0-14tahun dan setiap tahun bertambah dengan
9.000 kasus.
Namun 10 tahun terakhir terjadi penurunan drastic penyakit ini akibat
gencarnya program imunisasi diseluruh dunia maupun Indonesia.
Mortalitas tinggi terutama pada poliomyelitis tipe paralitik ,disebabkan oleh
komplikasi berupa kegagalan nafas ,sedangkan untuk tipe ringan tidak dilaporkan
adanya kematian.Walaupun kebanyakan poliomyelitis tidak jelas /inapparent (90-
95%) hanya 5-10% yang memberikan gejala poliomyelitis.
3. KLASIFIKASI VIRUS
Grup : Grup IV ((+)ssRNA)
Ordo : Picornavirales
Famili : Picornaviridae
Genus : Enterovirus
Species: Human enterovirus C

4. ETIOLOGI VIRUS
Virus polio berdiameter 20-32 nm, berbentuk sferis dengan ukuran utamanya
RNA yang terdiri dari 7.433 nukleotida, tahan pada pH 3-10, sehingga dapat tahan
terhadap asam lambung dan empedu. Virus tidak rusak beberapa hari dalam
temperature 2o-8oC, tahan terhadap gliserol, eter, fenol 1% dan berbagai macan
detergen, tetapi mati pada suhu 50o-55oC selama 30 menit, bahan oksidator,
formalin, klorin dan sinar ultraviolet. Secara serologi virus polio dibagi menjadi 3
tipe yaitu:
a. Tipe I Brunhilde, sering menimbulkan epidemi yang luas dan ganas
b. Tipe II Lansing, kadang menyebabkan kasus yang sporadik
c. Tipe III Leon, menyebabkan epidemi ringan
5. KARAKTERISTIK POLIO
Poliomielitis atau polio adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
poliovirus. Virus polio ini termasuk golongan enterovirus. Enterovirus adalah
golongan virus yang suka pada saluran pencernaan manusia dan sistem saraf.
Virus polio cenderung menyebar dan menular dengan cepat apalagi di tempat-
tempat yang kebersihannya buruk.
Penyebaran infeksi virus polio terjadi secara fecal-oral dan oral-oral
(pernafasan). Transmisi perinatal bisa terjadi dari ibu kepada bayinya. Masa yang
paling menular adalah beberapa saat sebelum sakit dan sesudah munculnya
manifestasi klinik. Pada saat virus dijumpai di tenggorokkan dan dieksresikan
dalam konsentrasi yang tinggi melalui tinja. Virus bertahan di tenggorokkan
selama lebih kurang satu minggu setelah sakit dan dieksresikan melalui tinja
selama beberapa minggu bahkan beberapa bulan kemudian. Pasien berpotensi
untuk menularkan virus selama ekskresi melalui tinja terus berlangsung.
Di sekitar 0,5% dari kasus polio terdapat kelemahan otot yang
mengakibatkan kelumpuhan. Penyakit ini dapat menyerang pada semua kelompok
umur, namun yang paling rentan adalah kelompok umur kurang dari 3 tahun.
Gejala polio meliputi demam, lemas, sakit kepala, muntah, sulit buang air besar,
nyeri pada kaki, tangan, kadang disertai diare.
Virus polio menyerang dan merusakkan jaringan syaraf. Kelemahan paling
sering terjadi pada kaki tetapi kadang-kadang terjadi pada otot-otot kepala, leher
dan diafragma. Pada penderita polio dengan kelemahan otot sekitar 2% - 5% dari
anak-anak dan 15% - 30% dari orang dewasa mati. Beberapa tahun setelah
sembuh sindrom pasca-polio dapat terjadi, dengan perkembangan kelemahan otot
yang lambat, sama dengan yang dialami selama infeksi awal.
Poliovirus (genus enterovirus) tipe 1, 2 dan 3, semua tipe dapat
menyebabkan kelumpuhan. Tipe 1 dapat diisolasi dari hampir semua kasus
kelumpuhan, tipe 3 lebih jarang, demikian pula tipe 2 paling jarang. Tipe 1 paling
sering menyebabkan wabah. Sebagian besar kasus vaccine associated disebabkan
oleh tipe 2 dan 3. (Chin, 2000 dalam Surya 2007). Sifat virus polio seperti halnya
virus yang lain yaitu stabil terhadap pH asam selama 1-3 jam. Tidak aktif pada
suhu 56oC selama 30 menit. Virus polio berkembangbiak dalam sel yang
terinfeksi dan siklus yang sempurna berlangsung selama 6 jam. Virus tersebut
dapat hidup di air dan manusia, meskipun juga bisa terdapat pada sampah dan
lalat (Widodo, 1994 dalam Arifah 1998).

6. DISTRIBUSI GRAFIK
Penyakit polio pertama terjadi di Eropa pada abad ke-18, dan menyebar ke
Amerika Serikat beberapa tahun kemudian. Penyakit polio juga menyebar ke
negara maju belahan bumi utara yang bermusim panas. Penyakit polio menjadi
terus meningkat dan rata-rata orang yang menderita penyakit polio meninggal,
sehingga jumlah kematian meningkat akibat penyakit ini. Penyakit polio
menyebar luas di Amerika Serikat tahun 1952, dengan penderita 20,000 orang
yang terkena penyakit ini ( Miller,N.Z, 2004 )

7. GAMBARAN KLINIS
Tanda klinik penyakit polio pada manusia sangat jelas sehingga penyakit
ini telah dikenal sejak 4000 sebelum masehi dari pahatan dan lukisan dinding di
piramida mesir. Sebagian terbesar (90 persen) infeksi virus polio akan
menyebabkan inapparent infection, sedangkan 5 persen akan menampilkan gejala
abortive infection, I persen non-paralytic, sedangkan sisanya menunjukkan tanda
klinik paralitik .
Penderita yang menunjukkan tanda klinik paralitik, 30 persen akan
sembuh, 30 % menunjukkan kelumpuhan ringan, 30 persen menunjukkan
kelumpuhan berat, dan 10 persen menunjukkan gejala yang berat dan bisa
menimbulkan kematian .Masa inkubasi biasanya berkisar 3-35 hari. Penderita
sebelum masa ditemukannya vaksin, terutama berusia di perbaikan sanitasi serta
penemuan vaksin, kelompok anak berusia di atas 5 tahun. bawah 5 tahun. Setelah
adanya penderita bergeser usianya pada Pada stadium akur (sejak adanya gejara
krinis hingga 2 minggu) ditandai dengan suhu tubuh yang meningkat, jarang lebih
dari l0 hari, kadang diseftai sakit kepala dan muntah.
Kelumpuhan terjadi dalam seminggu dari permulaan sakit. Kelumpuhan
ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan sel-sel motor neuron di Medula spinalis
rrulang belakang) yang disebabkan karena invasi virus.Kelumpuhan ini bersifat
asimetris sehingga cenderung menirnbulkan deformitas (gangguan bentuk tubuh)
lang cenderung menetap atau bahkan menjadi lebih berat. Sebagian terbesar
kelumpuhan akan mengenai tungkai (7g,6 persen), sedangkan 47,4 persen akan
mengenai lengan. Kelumpuhan ini akan berjalan bertahap dan memakan waktu 2
hari s/d 2 bulan).
Pada stadium sub-akut (2 minggu s/d 2 bula.) ditandai dengan
menghilangnya demam dalam waktu 24 jamatau kadang suhu tidak terlalu tinggi.
Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Kelumpuhan anggota gerak
i'ang layuh dan biasanya padasalah satu sisi.
Stadium Konvalescent (2 bulan s/d 2 tahun) ditandai dengan pulihnya
kekuatan otot yang lemah. sekitar 50-70 persen dari fungsi otot pulih dalam
rvaktu 6-9 bulan setelah fase akut. Selanjutnya, sesudah usia 2 tahun diperkirakan
tidak terjadi lagi perbaikan kekuatan otot. stadium kronik atau lebih 2 tahun dari
gejala awal penyakit biasanya menunjukkan kekuatan otot yang mencapai tingkat
menetap dan kelumpuhan otot yang ada bersifat perrnanen.

8. PATOGENESIS
Virus polio ditularkan lewat jalur fekal-oral. Virus dapat diisolasi dari
sistem limfatik saluran cerna manusia, termasuk tonsil, Peyer’s patch, dan
kelenjar getah bening usus, juga dalam feses. Replikasi awal virus pada sel yang
rentan infeksi di faring dan saluran cerna sebagian besar akan menimbulkan
viremia minor dan singkat, serta asimtomatik. Apabila infeksi berlanjut, virus
akan menyebar lebih luas pada jaringan retikuloendotelial lainnya. Dilaporkan
95% infeksi primer ini asimtomatik, dan pada 4%-8% infeksi sekunder akan
muncul sebagai gajala infeksi virus non spesifik. Apabila infeksi tersebut sudah
menginvasi sistem saraf, dapat terjadi meningitis aseptik pada 1%-2% kasus, dan
terjadi polio paralitik pada 0,1%-1% kasus. Berdasarkan manifestasi klinis
spesifik, poliomielitis paralitik tanpa gejala sensoris dan gangguan fungsi kognitif.
Secara klinis, polio diklasifikasikan sebagai berikut
1. Poliomielitis spinal, ditandai dengan acute flaccid paralysis (AFP) atau
lumpuh layu akut, sekunder akibat destruksi selektif dari motor neuron
pada medula spinalis dan sekuens denervasi dari struktur muskuloskeletal
yang terlibat
2. Poliomielitis bulbar, terdapat paralisis otot pernafasan akibat serangan virus
pada neuron di batang otak yang mengontrol pernafasan
3. Poliomielitis bulbo-spinalis akibat kerusakan batang otak dan medula
spinalis.
Berdasarkan uraian di atas gambaran patologi penyakit polio dapat
beraneka ragam sesuai dengan bagian yang diserang oleh virus polio. Daerah yang
biasanya terkena ialah:
i. Medula spinalis terutama komu anterior
ii. Batang otak pada nukleus vestibularis, inti-inti saraf kranial dan
formatio retikularis yang mengandung pusat vital
iii. Serebellum terutama inti-inti pada vermis
iv. Midbrain pada masa kelabu, substansia nigra dan kadang-kadang
nukleus rubra
v. Talamus dan hipotalamus
vi. Palidum
vii. Korteks cerebri daerah motoris.
viii. Medula spinalis yang sering kena ialah segmen cervicalis dan
lumbalis..
Gambar bagian-bagian tubuh yang lumpuh akibat virus Polio

9. MASA INKUBASI
Masa inkubasi penyakit polio 3-6 hari dan kelumpuhan terjadi dalam waktu
7-2 hari. Paparan virus polio pada seseorang dapat menimbulkan bentuk klinik:
1. Inapparent infection, tanpa gejala klini( yang terbanyak terjadi (72%)
2. Infeksi klinik ringan, sering terjadi (24%) dengan gejala panas, lemas,
malaise, pusing, muntah, tenggorakan sakit dan gejalan kombinasi.
3. Abortive poliomyelitis ,jarang terjadi 4 % didahului dengan panas
,malaise,pusing ,muntah,malaise,dan sakit perut.
4. Paralyic Poliomyelitis, dimulai dari gejala seperti pada infeksi klinlk
ringan, diselang dengan periode 1-3 hari tanpa gejala lalu disusul
dengan nveri otot, kaku otot dan demam.
5. Post polio syndrome (PPS) yaitu bentuk manifestasi lambat (15-40
tahun) :etelah infeksi polio dengan gejala klinik polio paralitik yang
akut. Gejala yang muncul adalah nyeri otot luar biasa, paralisis baru.
Patogenesis neium jelas namun bukan akibat infeksi 5 yang persisten.
Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara lain :
1. Bentuk spinal,dapat mengenai otot leher,toraks
abdomen,diafragma,dan ekstremitasan
2. Bentuk bulbar,dapat mengenai satu atau lebih saraf cranial,gangguan
pusat pernafasan, termoregulator,dan sirkulasi
a. Saraf otak yang terkena :
I. Bagian atas (N.III – N.VII) dan biasanya dapat sembuh.
II. Bagian bawah (N.IX – N.XIII ) : pasase ludah di faring
terganggu sehingga terjadi pengumpulan air liur,mucus dan
dapat menyebabkan penyumbatan saluran nafas sehingga
penderita memerlukan ventilator.
b. Gangguan pusat pernafasan dimana irama nafas menjadi tak
teratur bahkan dapat terjadi gagal nafas.
c. Gangguan sirkulasi dapat berupa hipertensi,kegagalan sirkulasi
perifer atau hipotensi
d. Gangguan termoregulator yang kadang-kadang terjadi
hiperpireksia.
3. Bentuk bulbospinal yang merupakan gejala campuran antara
bentukspinal dan bentuk bulbur.dan gejalanya berupa : kadang
ensepalitik, di sertai dengan delirium, kesadaran menurun, tremor dan
kejang.

10. PENYEBARAN PENYAKIT


Virus ditularkan oleh infeksi droplet dari oro-faring (mulut dan tenggorok)
atau dari tinja penderita yang infeksius. Penularan terutama terjadi penularan
langsung dari manusia ke manusia melalui fekal-oral (dari tinja ke mulut) atau
yang agak jarang lainnya melalui oral-oral (dari mulut ke mulut). Fekal-oral
artinya minuman atau makanan yang tercemar virus polio yang berasal dari tinja
penderita masuk ke ke mulut rnulut manusia sehat lainnya . Sedangkan dari oral-
oral adalah penyebaran dari air liur penderita yang masuk manusia sehat lainnya.
Virus polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, narnun peka terhadap
formaldehide dan larutan klor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi
pada keadaan beku dapat bertahun-tahun. Ketahanan virus di Tanah Air sangat
tergantung kelembaban suhu dan adanya mikroba lainnya.Virus ini dapat bertahan
lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dryat sampai berkilo-kilometer
dari sumber penularan. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya
lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, namun virus ini hidup
di lingkungan terbatas. Salah satu inang atau mal*rluk hidup perantara yang dapat
dibuktikan sampai kini adalah manusia.

11. PEMERIKSAAN LABORATORATORIUM


Dalam menegakkan diagnose penyakit diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Seperti halnya pada penyakit polio, terdapat beberapa pemeriksaan
laboratorium yang digunakan. Sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium
terdapat aspek-aspek yang harus ditentukan. Perencanaan tingkat eradikasi
penyakit polio harus ditentukan dahulu sebelum melakukan pemeriksaan
laboratorium. Menurut litbang (2007), Untuk keperluan perencanaan, tingkat
eradikasi polio dapat dibagi dalam 4 kelompok:
a. Negara atau daerah dalam stage A
Negara atau daerah yang dianggap bebas polio. Melaporkan tidak
ada kasus polio dalam tiga tahun terakhir secara berturutturut dan
cakupan imunisasi polio mencapai 80% pada bayi sebelum
berumur 1 tahun.
b. Negara atau daerah dalam stage B
Negara atau daerah dengan jumlah kasus polio kurang dari 10 tiap
tahunnya dan cakupan imunisasi melebihi 50%.
c. Negara atau daerah dalam stage C
Negara/daerah yang melaporkan 10 kasus polio atau lebih per
tahunnya dan mempunyai cakupan imunisasi melebihi
50%.
d. Negara atau daerah dalam stage D
Negara/daerah dengan kasus polio sebanyak 10 atau lebih
pertahunnya atau jumlahnya tidak diketahui pasti dan cakupan
imunisasinya 50% atau kurang atau tidak diketahui (Litbang, 2007)

Gambar. Tingkat Eradikasi Polio dan Pemeriksaan Laboratorium yang


Direkomendasikan pada Dilakukan untuk Tiap Tingkatnya

Pengambilan Specimen
Pada pemeriksaan laboratorium perlu ditunjang adanya specimen yang
sesuai. Berikut pengambilan dan penanganan specimen laboratorium untuk
penyakit polio :
a) Untuk penderita yang tidak dirawat:
- Tinja.
b) Untuk penderita yang dirawat:
- Flaccid paralisis: tinja, apus tenggorokan.
- Meningo-enchepalitis: tinja, apus tenggorokan dan cairan
serebrospinal.
- Kematian: spesimen nekrocopi; jaringan
dari brain stem, spinal cord dan
decending colon dan serum .

Spesimen Untuk Isolasi Virus


Semua spesimen untuk isolasi virus harus dikumpulkan secepatnya setelah
timbul gejala penyakit. Kontaminasi spesimen untuk isolasi virus ini harus
dicegah atau dihindari. Beberapa spesimen untuk isolasi virus:
 Tinja.
Spesimen tinja merupakan satu-satunya spesimen yang bermanfaat
dan sebaiknya dalam 7 hari setelah timbul gejala. Pengeluaran virus dalam
tinja dapat terjadi terus menerus. maka dilakukan pengumpulan tinja dua
kali dengan jarak 24-48 jam. Tinja sebesar kuku ibu jari orang dewasa (4-8
gram) diambil, lalu dimasukkan dalam tempat tinja dari plastik, dan plastik
tersebut harus kering bersih, tidak bocor dan tertutup rapat. Bila tinja tidak
dapat diperoleh misalnya kesulitan pengambilan atau sedang di lapangan,
tinja dapat diambil dengan menggunakan straw (pipa sedotan). Straw ini
khusus dibuat dari plastik dan dapat diperoleh di EPI/WHO. Straw ini
dimasukkan dalam rectum secara perlahan-lahan dan dengan sedikit
gerakan, tinja dalam jumlah cukup dapat diperoleh. Straw yang berisi tinja
dimasukkan dalam botol kering, bersih dan tertutup rapat.

 Apus Tenggorokan
Apus tenggorokan steril diusapkan perlahan ke dinding tonsil
bagian belakang pharing, setelah keluar lidi dipotong di bavvah ujung
kapas. Ujung kapas dimasukkan dalam botol srew cap berisi Virus
Transport Media (VTM). Apus tengorokan agak kurang bermanfaat
mengingat virus polio hanya berada di oropharinx 7-10 hari setelah onset
penyakit.
 Cairan Serebrospinal
Dua sampai 3 cc cairan cerebrospinal dimasukkan dalam vial screw cap
tanpa VTM.
 Nekroskopi
Jaringan Nekroskopi
Diambil pada jaringan otak, servikal, lumbar kord, medulla dan pons pada
penderita yang meninggal. Spesimen dimasukkan dalam vial screw cap
dengan VTM yang cukup agar spesimen tetap basah. Besarnya jaringan
yang diambil sekitar 1 cm3.

Specimen untuk test Serologi.


Spesimen yang digunakan adalah serum darah. Diagnosis ini secara rutin
tidak lagi direkomendasikan karena kesulitan interpretasi pada testnya terutama
apabila cakupan imunisasi polio telah tinggi. Untuk survei serologi cukup diambil
satu spesimen, yang memerlukan 5 cc darah. Pengambilan darah dapat
menggunakan filter paper. Filter paper yang digunakan adalah filter khusus.
Jumlah filter paper yang dibutuhkan sangat tergantung dari merk/
ukuran/ketentuan dari pembuatnya.

Pemeriksaan
Diagnosis poliomielitis paralitik ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan laboratorium. Anamnesis penyakit polio yaitu adanya kelumpuhan
flaksid yang mendadak pada salah satu atau lebih anggota gerak
dengan refleks tendon yang menurun atau tidak ada pada anggota gerak yang
terkena, yang tidak berhubungan dengan penyebab lainnya, dan tanpa adanya
gangguan sensori atau kognitif. Sedangkan untuk pemeriksan laboratorium yang
dapat digunakan dalam menunjang diagnose penyakit polio terdapat beberapa
jenis. Berikut pemeriksaa penunjang diagnose penyakit polio :
1. Isolasi
Isolasi atau Genomic sequencing berguna untuk menentukan tipe virus
polio, apakah dari jenis “wild type”, atau berasal dari strain vaksin
“vaccine type”. Pemeriksaan dilakukan menggunakan reverse
transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) (Alomedika, 2018).
Virus polio dapat di isolasi dan dibiakkan dari bahan hapusan tenggorok
pada minggu pertama penyakit, dan dari tinja sampai beberapa minggu.
Berbeda dengan enterovirus lainnya, virus polio jarang dapat di isolasi dari
cairan serebrospinalis. Bila pemeriksaan isolasi virus tidak mungkin dapat
dilakukan, maka dipakai pemeriksaan serologi berupa tes netralisasi
dengan memakai serum pada fase akut dan konvalesen.

2. Tes Serologi darah


Tes serologi berguna untuk menegakkan diagnosis apabila sampel
klinis pertama diambil sedini mungkin pada waktu seseorang diduga
terkena infeksi polio. Sampel kedua diambil tiga minggu kemudian dan
jika terdapat kenaikan 4 kali lipat titer antibodi menandakan terdapatnya
infeksi virus polio. Tes ini tidak dapat dilakukan pada orang dengan
gangguan kekebalan tubuh atau kepada orang yang baru saja divaksinasi
polio.

3. Pemeriksaan Cerebrospinal Fluid ( CSF)


CSF di dalam infeksi poliovirus pada umumnya terdapat
peningkatanjumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama adalah
sel limfositnya. Dan kehilangan protein sebanyak 40-50 mg/100 ml.
(Alomedika, 2018). Pada permulaan lebih banyak polimorfonukleus dari
limfosit, tetapi kemudian segera berubah menjadi limfosit yang lebih
dominan. Sesudah 10-14 hari jumlah sel akan normal kembali. Pada
stadium awal kadar protein normal, kemudian pada minggu kedua dapat
naik sampai 100 mg%, dengan jumlah set menurun sehingga disebut
dissociation cytoalbuminique, dan kembali mencapai normal dalam 4-6
minggu. Glukosa normal. Pada pemeriksaan darah tepi dalam batas normal
dan pada urin terlihat gambaran yang bervariasi dan bisa ditemukan
albuminuria ringan (Pasaribu, 2005) Diagnosis banding ialah meningitis
tuberkulosis, sindroma Guillain-Barre, mieltis transversa, dan
ensefalitis.(Pontoh dan Angliadi, 2015). Sindroma Guillain-Barre (SGB)
merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup
sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB adalah suatu polineuropati
yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3
minggu setelah infeksi akut.

12. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit. Pemulihan motorik pada
poliomielitis umumnya cukup baik. Pada kasus polio spinal, bila sel-sel saraf
rusak total maka kelumpuhan dapat menetap.23 Prognosis buruk pada bentuk
bulbar. Kematian biasanya terjadi karena kegagalan fungsi pusat pernapasan atau
infeksi sekunder pada jalan napas.

13. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang sering ditemukan dalam penyakit polio yaitu :
 Sekuele, yaitu cacat anggota tubuh yang terkena lumpuh layu, sehingga
mengakibatkan kontraktur otot-otot, atau deformitas anggota tubuh
 Afagia, atau terjadinya gangguan menelan karena kelumpuhan daerah mulut
hingga kerongkongan yang berhubungan dengan mekanisme menelan
 Sindrom post-polio
 Deformitas, tergantung pada lokasi terjadinya, dapat berlanjut menjadi
osteoporosis, fraktur, osteoartrosis, dan scoliosis
 equinus foot (club foot),
 gangguan pergerakan sendi,
 neuropati.
 komplikasi akibat tirah baring lama

14. PENCEGAHAN POLIOMIELITIS


Meskipun telah dinyatakan sebagai negara bebas polio oleh WHO, tidak
menutup kemungkinan bahwa virus ini masih bisa muncul kembali di Indonesia.
Hal ini dapat terjadi apabila orang yang terjangkit polio dari negara lain
memasuki Indonesia, dan menularkan virus ini kepada orang lainnya. Maka dari
itu, langkah pencegahan melalui vaksinasi masih sangat penting dilakukan. Hal
ini bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit polio seumur
hidup, terutama pada anak-anak.
 Imunisasi Polio
Merupakan bagian dari program EPI (Expanded Program on
Immunization) yang telah dilaksanakan sejak tahun 1978 dan harus
terus dilaksanakan, hingga WHO memutuskan untuk dihentikan.
Imunisasi rutin dengan cakupan tinggi ditujukan terutama untuk
memberikan kekebalan kepada kelompok sasaran agar tidak
dihinggapi, membiakkan dan menyebar virus polio liar dan menaikkan
herd-immunity. Sedang imunisasi suplemen dilakukan untuk
menghentikan transmisi virus polio.
 Imunisasi rutin
Imunisasi rutin bertujuan untuk memberi kekebalan pada individu dan
masyarakat luas. Program ini dilakukan di daerah endemik pada usia
dini, sedapat mungkin segera setelah lahir. Pada neonatus yang lahir di
rumah sakit imunisasi polio dianjurkan dilakukan pada saat bayi akan
pulang, agar tidak menyebar pada bayi lain, terutama pada bayi yang
masih dirawat dengan resiko tinggi.
Pemberian imunisasi polio pada neonati akan mempercepat
tercapainya protective level antibody dan memberikan kadar antibodi
netralisasi yang lebih tinggi. Tiga dosis imunisasi selanjutnya
dilakukan dengan interval 1-2 bulan, umumnya dilakukan bersamaan
dengan imunisasi DPT. Booster dapat diberikan satu tahun setelah
imunisasi terakhir, bersamaan dengan booster DPT. Anak yang
terlambat imunisasinya dapat disusulkan segera dengan interval
minimal 2 minggu. Tidak ada batasan dosis maksimal imunisasi polio
ini, pemberian yang berlebihan tidak membahayakan. Pada program
imunisasi rutin, bayi yang tercecer dan belum tercakup harus mendapat
imunisasi dalam sweeping yang dilakukan tiap 3 bulan sekali, ataupun
dalam backlog fighting setiap 2 tahun sekali. Bilamana kedua kegiatan
ini direncanakan dan dilakukan setiap daerah dengan cermat, tidak
akan ada anak yang belum pernah mendapat imunisasi polio di
Indonesia.
 Imunisasi suplemen
Imunisasi suplemen diberikan untuk memutus rantai penularan dan
transmisi virus polio liar. Adanya individu atau kelompok yang belum
kebal akan menimbulkan resiko infeksi oleh virus polio, mengingat
virus ini hanya mampu berbiak pada manusia. Kelompok atau individu
yang tidak kebal akibat tercecer dari imunisasi rutin, menolak
imunisasi, kurang gizi, sakit atau rendahnya respon imun pada
kelompok dengan HLA tertentu, secara epidemiologik merupakan
individu yang melanjutkan transmisi virus secara diam-diam, sehingga
kelompok tersebut diatas harus dicari dan diimunisasi.
OPV mempunyai kelebihan khusus, yaitu dapat menempel,
kolonisasi dan replikasi pada sel usus yang mempunyai PVR.
Replikasi terjadi selama sekitar 3 bulan (100 hari) dan selama itu virus
polio liar yang masuk tidak dapat menempel/bereplikasi, sehingga
keluar lagi dari tubuh. VPL yang keluar akan mati dengan sendirinya
setelah beberapa hari. Sementara itu virus polio vaksin yang
bereplikasi akan mengeluarkan virus vaksin keluar tubuh, bertebaran
dalam limbah dan akan menulari/melakukan transmisi pada anggota
keluarga yang lain bahkan pada individu lain di sekitar resipien
(community effect)
 Vaksin Poliomeilitis
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio, yaitu OPV (Oral polio
vaccine) dan IPV (Inactivated polio vaccine). OPV diberikan dua tetes
melalui mulut, sedangkan IPV diberikan melalui suntikan (dalam
kemasan sendiri atau kombinasi DpaT).
Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian
dilanjutkan dengan imunisasi dasar. Untuk imunisas dasar, diberikan
pada umur 2, 4, dan 6. Pada PIN (Pekan imunisasi Nasional) semua
balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status imunisasi
kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh menurun
(imunokompromais).
Setiap dosis OPV berisi 3 type virus polio dengan titer
 tipe 1 : 106 TCID 50 / CCID 50 ( 10 5.5 – 10 6.5)
 tipe 2 : 105 TCID 50 (10 4.5 – 10 5.5)
 tipe 3 : 10 5.5 TCID 50 (10 5.0 – 10 6)
Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang pemberiannya
dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai dengan
jadwal. Pemberian imunisasi polio pada remaja dan dewasa yang
belum pernah imunisasi dan pekerja kontak dengan penderita polio
atau anak yang diberikan OVP. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV,
diberikan dua tetes dengan jadwal seperti imunisasi dasar.
Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh terhadap respon
pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat pemberian
vaksin, anak tetap bisa meminum ASI. Imunisasi polio ulangan
(penguat) diberikan saat masuk sekolah (5 – 6) dan dosis berikutnya
diberikan pada usia 15 – 19 tahun. Sejak tahun 2007, semua calon
jemaah haji dan umroh di bawah usia 15 tahun harus mendapat dua
tetes OPV. Vaksin polio oral sendiri dibedakan menjadi tiga macam
yaitu :
1) Trivalent oral polio vaccine (tOPV)
Vaksin tOPV mengandung tiga macam galur virus polio, setiap
dosis 0,1 mL/2 tetes terdiri dari tipe 1 >106 CCID50, tipe 2 >105
CCID50, dan tipe 3 >105.8 CCID50. Pada keadaan ditemukan
lebih dari satu tipe virus polio liar, tOPV secara epidemiologis dan
operasional adalah vaksin terbaik untuk digunakan karena dapat
memberikan perlindungan terhadap ketiga tipe virus polio. Setelah
tetesan pertama, kekebalan humoral yang terjadi lebih dulu adalah
antibodi terhadap polio-2 (P2) diikuti polio-1 (P1) dan terakhir
polio-3 (P3). Kompetisi antara ketiga serotipe tersebut
mengakibatkan perlindungan dengan efsiensi yang berbedabeda
untuk setiap tipe. Imunogenesitas virus polio 2 paling baik di
antara ketiga virus polio tersebut sehingga perlindungan terhadap
virus tipe 2 paling mudah terjadi, kemudian diikuti tipe 1 dan 3.
Imunogenitas OPV sangat bervariasi, di negara tropik dan miskin
dengan sanitasi yang buruk, imunogenitasnya rendah misalnya di
India atau Afrika. Para pakar berusaha menghindari interferensi
antargalur virus polio tersebut dengan membuat vaksin tanpa
komponen P2, baik dalam bentuk mOPV (monovalen OPV)
maupun bOPV (bivalen OPV)
2) Bivalent oral polio vaccine (bOPV)
Imunisasi bOPV direncanakan untuk menggantikan tOPV pada
masa transisi ERAPO, terdiri dari komponen P2 dan P3. Sesuai
dengan kenyataan bahwa OPV telah berhasil mengeradikasi polio
2, kasus yang terakhir di India pada tahun 1999.
3) Monovalent oral polio vaccine (mOPV)
Vaksin OPV hanya mengandung satu macam galur virus polio.
Pemberian mOPV dengan dosis yang sama dengan tOPV akan
memberikan kekebalan spesifk yang lebih tinggi dan lebih cepat
terhadap tipe tertentu dibandingkan dengan tOPV. Penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 80% anak di negara tropis akan
mempunyai kekebalan terhadap virus polio tipe 1 setelah
pemberian satu dosis mOPV1 dibandingkan dengan 40% anak
setelah pemberian tOPV. Begitu juga dengan 72% anak yang
mempunyai kekebalan terhadap virus polio tipe 3 setelah dosis
pertama mOPV3 dibandingkan dengan 31% anak setelah dosis
pertama tOPV
Dalam program eradikasi polio setiap negara harus melaksanakan
4 (empat) langkah-langkah strategi pembasmian polio.
1. Mencapai dan memelihara target imunisasi rutin polio untuk
anak < 1 tahun diberikan dalam 3-4 dosis (target minimal 90%
dari sasaran).
2. Melaksanakan imunisasi tambahan termasuk di dalamnya
Pekan Imunisasi Nasional (PIN)/Sub-PIN, dianggap cukup
berhasil apabila bisa mencapai target cakupan > 90% dari target
populasi.
3. Melakukan program surveilans AFP (acute flaccid paralysis)/
deteksi lumpuh layuh akut. Tujuannya mendeteksi anak
dengan lumpuh layuh yang mungkin terinfeksi virus polio.
Program ini merupakan usaha mencari dan membuktikan
bahwa setiap anak yang menderita lumpuh layuh berumur
< 15 tahun bukan disebabkan virus polio liar dengan cara
memeriksa tinja pasien AFP .
4. Mopping up yaitu melaksanakan imunisasi polio tambahan bagi
balita dari rumah ke rumah di daerah yang dicurigai masih ada
transmisi virus polio liar atau yang mengalami KLB polio liar.
Sedangkan pada vaksin IPV berisi virus polio virulen yang sudah
diinaktivasi/ dimatikan dengan panas dan formaldehid. Diketahui IPV sedikit
memberikan kekebalan lokal pada dinding usus sehingga virus
polio masih dapat berkembang biak dalam usus orang yang telah
mendapat IPV saja. Hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran
virus ke sekitarnya, yang membahayakan orang-orang di sekitarnya.
Sehingga vaksin ini tidak dapat mencegah penyebaran virus polio
liar. Jadi, IPV tidak dipergunakan untuk eradikasi polio, namun
dapat mencegah kelumpuhan baik akibat virus polio liar atau virus
polio vaksin Sabin.

 Cara lain pencegahan polio


Selain pencegahan dengan vaksinasi polio, harus disertai dengan
peningkatan sanitasi lingkungan dan higienis sanitasi perorangan untuk
mengurangi penyebaran virus yang kembali mengkhawatirkan ini.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pencegahan dini
terhadap polio yaitu:
1. Jangan masuk ke daerah wabah
2. Di daerah wabah sebaiknya dihindari factor-faktor predisposisi
seperti tonsilektomi, suntik dan lain-lain
3. Mengurangi aktivitas jasmani yang berlebihan
4. Pemberian imunisasi aktif

 Kekurangan dan kelebihan OPV dan IPV


OPV adalah virus polio yang dilemahkan, sedangkan IPV adalah
virus polio yang dimatikan. OPV diberikan secara oral, sedangkan IPV
secara injeksi.
a. Kelebihan dan kekurangan dari penggunaan OPV.
Kelebihan dari OPV:
1. Harga terjangkau
2. Mudah cara pemberiannya
3. Dapat mengimunisasi secara alami kepada anak yang
kontak dengan penerima vaksin.
4. Menimbulkan mocosal immunity pada intestinum dan
oropharyng (25% anak mengekskresi virus "challenge").
5. Memberikan kekebalan humoral seumur hidup.
Kekurangan dari OPV :
1. Dapat menyebabkan kelumpuhan pada penerima vaksin
(VAPP)
2. Virus hidup yang dapat diekskresi lewat feces dan
menularkan pada anak yang kontak dengan penerima
vaksin (kontak VAPP).
3. Dapat bermutasi menjadi ganas kembali (VDVP)
4. Tidak dapat digabung/dikombinasi dengan antigen/vaksin
lain.
5. Tidak dapat diberikan kepada anak yang
immunodeficiency/immunocompromise.
6. Ekskresi virus vaksin lewat feces pada anak yang sehat
dapat berlangsung sampai 4-6 minggu, dan pada anak yang
immunodeficiency bisa sampai 10 tahun.
b. Kelebihan dan kekurangan dari IPV
Kelebihan dari IPV
1. Memberikan serokonversi yang sangat tinggi.
2. Pemberiannya dapat dicombinasi dengan antigen/vaksin
lain (DPT-HB-IPV).
3. Virus mati, sehingga tidak menularkan kepada anak yang
kontak.
4. Tidak menyebabkan kelumpuhan (VAPP) pada penerima
vaksin/kontaknya.
5. Tidak akan terjadi mutasi virus vaksin menjadi ganas
(VDVP)
6. Menimbulkan mucosal immunity pada oropharynx
Kekurangan dari IPV
1. Harga mahal
2. Pemberiannya lebih sulit karena harus disuntikkan.
3. Tidak/sedikit menimbulkan mucosal immunity pada
intestinum (85% anak masih mengexcresi virus
"challenge").
4. Tidak dapat memberikan kekebalan alami kepada anak
yang kontak dengan penerima vaksin.

 Efek Samping Vaksin Polio


Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomeilitis terjadi setelah
pemberian vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat
menimbulkan gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi
polio tidak dianjurkan diberikan pada keadaan ketika seseorang sedang
demam (> 38,5oC), muntah, diare, sedang dalam pengobatan radio
terapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita HIV, ibu
hamil trimester pertama, dan alergi pada vaksin polio. OPV tidak
diberikan pada bayi yang masih di rumah sakit karena OPV berisi
virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini dieksresikan
(dibuang) melalui tinja selama enam minggu, sehingga bisa
membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang dirawat di rumah sakit,
disarankan pemberian IPV.

15. PENGOBATAN PENYAKIT POLIO


Belum ada pengobatan antivirus spesifik untuk penyakit polio sampai saat
ini. Pencegahan merupakan satu-satunya jalan terbaik dalam menanggulangi
penyebarn penyakit ini. Selain itu, sanitas lingkungan serta kebersihan perorangan
akan meminimalkan virus yang masuk melalui saluran pencernaan ini (Deswati
Furqonita dan Tetty Setiowati, 2007).
Infeksi abortif : Istirahat sampai beberapa hari setelah temperatur normal.
Kalau perlu dapat diberikan analgetik, sedatif. Jangan melakukan aktivitas selama
2 minggu. 2 bulan kemudian dilakukan pemeriksaan neuro-muskuloskletal untuk
mengetahui adanya kelainan.
Non Paralitik: Sama dengan tipe abortif Pemberian analgetik sangat
efektip bila diberikan bersamaan dengan pembalut hangat selama 15-30 menit
setiap 2-4 jam dan kadang-kadang mandi air panas juga dapat membantu.
Sebaiknya diberikan foot board, papan penahan pada telapak kaki, yaitu agar kaki
terletak pada sudut yang sesuai terhadap tungkai. Fisioterapi dilakukan 3-4 hari
setelah demam hilang. Fisioterapi bukan mencegah atrofi otot yang timbul sebagai
akibat denervasi sel kornu anterior, tetapi dapat mengurangi deformitas yang
terjadi.
Paralitik: Harus dirawat di rumah sakit karena sewaktu-waktu dapat
terjadi paralisis pernafasan, dan untuk ini harus diberikan pernafasan mekanis.
Bila rasa sakit telah hilang dapat dilakukan fisioterapi pasip dengan
menggerakkan kaki/tangan. Jika terjadi paralisis kandung kemih maka diberikan
stimulan parasimpatetik seperti bethanechol (Urecholine) 5-10 mg oral atau 2.5-5
mg/SK. (Pasaribu, 2005)
16. REHABILITASI MEDIK
Program rehabilitasi medik
Fase akut (< 2 minggu)6
Ditekankan tindakan suportif dan upaya pencegahan kerusakan sel-sel kornu
anterior medula spinalis yang permanen serta mencegah kecacatan, yang meliputi:
- Istirahat di tempat tidur (sebaiknya dirawat di rumah sakit) dan diet yang
adekuat
- Aktivitas fisik dan trauma dihindari selama fase preparalitik
- Karena adanya demam dan nyeri otot, diberikan obat analgetik dan kompres
hangat untuk mengurangi nyeri dan spasme otot
- Posisi tidur diatur yang nyaman bagi anak dan cegah kontraktur, kalau perlu
dengan splinting. Pada awalnya otototot terasa nyeri, sehingga anak menolak
untuk meluruskan tungkainya. Secara lembut dan pelan luruskan lengan dan
tungkainya sehingga anak berbaring dalam posisi yang baik. Buat lengan, pinggul
(hip, dan tungkai selurus mungkin. Berikan penyokong pada kaki. Untuk
mengurangi nyeri, letakkan bantalan di bawah lutut.
Fase subakut (2 minggu - 2 bulan)5
Latihan pasif atau latihan aktif yang ringan dapat mulai diberikan. Pada akhir fase
ini, penderita bisa di latih berdiri.
Fase penyembuhan (2 bulan – 2 tahun)
Pada fase ini dilakukan pemeriksaan manual muscle test (MMT) pertama, untuk
menentukan pemberian jenis ortosis pada anggota gerak dengan kekuatan otot <3.
Jenis ortosis yang diberikan tergantung pada letak otot yang lemah (MMT <3),
misalnya:
- Bila kekuatan otot-otot pinggul < 3, ortosis yang dipakai HKAFO
- Bila terdapat kelemahan otot-otot lutut maka yang dipakai KAFO
- Bila terdapat kelemahan otot-otot pergelangan kaki, maka yang dipakai AFO
Evaluasi kekuatan otot (MMT) dilakukan setiap 3 bulan. Fase penyembuhan bisa
terjadi sampai 2 tahun sehingga bila dalam kurun waktu tersebut terdapat
perbaikan kekuatan otot, maka ortosis bisa diubah menjadi yang lebih sederhana
atau bahkan ortosisnya bisa dilepas.
Fase kronis (> 2 tahun)5
Bila sampai 2 tahun setelah lumpuh tidak terjadi perbaikan kekuatan otot, maka
ortosis dipakai seumur hidup untuk mencegah komplikasi yang lain, misalnya:
karena adanya perbedaan panjang tungkai dan tanpa koreksi akan menimbulkan
skoliosis, atau karena adanya kekuatan otot pergelangan kaki yang tidak seimbang
tanpa koreksi, maka akan terjadi pes equinus. Kadang-kadang pada fase ini
memerlukan tindakan operasi bila terdapat pemendekan otot atau kontraktur sendi
yang tidak dapat diperbaiki dengan tindakan fisioterapi maupun dengan ortosis.
Pada penderita poliomielitis selain dilakukan latihan penguatan untuk otot-otot
yang mengalami kelemahan, juga perlu dilakukan latihan penguatan pada otot-
otot yang tidak mengalami kelemahan, terutama otot-otot ekstremitas superior,
untuk persiapan penggunaan ortosis atau alat bantu seperti wheelchair dan
crutches

Ortosis untuk penderita poliomielitis


Terdapat beberapa jenis ortosis untuk penderita poliomielitis, yaitu
a. Hip knee ankle foot orthosis (HKAFO): yaitu alat penguat anggota gerak
bawah(tungkai) yang berfungsi untuk membantu mobilitas post polio
paralysis, genu valgum poliomielitis. HKAFO ini dibuat dari bahan
polietilen yang di rangkai dengan side bar duraluminium/ stainless steel.
b. Knee ankle foot orthosis (KAFO) terdapat berbagai jenis KAFO dilihat
dari desain dan fungsinya pada pergelangan kaki dan lutut. Sebelum
memutuskan jenis KAFO yang akan
dipakai pasien, harus diketahui tempat tinggal, jenis pekerjaan, keluhan,
perawatan lain yang diinginkan, jenis alas kaki yang tidak cocok, cara
berjalan, lingkup gerak sendi, kekuatan otot, kepekaan, propriosepsi, dan
panjang kaki.
c. Kebutuhan pasien akan KAFO dilihat berdasarkan kelumpuhan,
kelemahan otot, ketidakseimbangan otot, luka bakar, kontraktur,
spastisitas, kaki yang tidak sama panjang. Tujuan utamanya ialah
memaksimalkan kualitas hidup pasien dengan menyediakan alat ortosis
dan mengajarkan manajemen ortosis yaitu cara memakai serta merawat
alat tersebut.
d. Ankle foot orthosis (AFO): merupakan salah satu jenis alat yang berfungsi
sebagai penguat anggota gerak. Alat bantu ini di desain dengan
memperhatikan aspek patologis, biomekanis dan mekanis. AFO dibuat
dari bahan polyetilene yang dilapisi soft foam untuk kenyamanan pada saat
dipakai pasien. Tujuan AFO ialah untuk menyediakan dukungan
eksternal yang diperlukan untuk kaki dan tungkai ketika ada gangguan
fisik atau kelemahan otot. Umumnya AFO berguna untuk mengendalikan
ketidakstabilan di ekstremitas bawah dengan mempertahankan keselarasan
dan mengendalikan gerakan yang terjadi pada ankle dan telapak kaki.
AFO berfungsi untuk mencegah kecacatan yang lebih lanjut; mengkoreksi
kecacatan; dan mengontrol atau mengatur gerakan yang terjadi pada
pergelangan kaki.
Perubahan bantuan dan pertolongan terhadap anak yang menderita
poliomielitis
Terdapat beberapa jenis latihan dan ortosis untuk penderita poliomielitis anak,
yaitu:
 Latihan lingkup gerak sendi

 Latihan duduk dengan memakai sandaran yang membantu mencegah


kontraktur
 Latihan aktif extremitas inferior dengan bantuan, untuk meningkatkan
kekuatan dan mempertahankan lingkup gerak sendi

 Latihan di dalam air, dengan berjalan, mengapung, dan berenang

 Wheelboard atau wheelchair dengan bantuan untuk mencegah atau


mengoreksi kontraktur dini. Juga melatih lengan untuk persiapan
penggunaan crutches.

 Penggunaan braces untuk mencegah kontraktur dan persiapan untuk


berjalan.
 Latihan mulai berjalan dan untuk keseimbangan di parallel bar

 Berjalan dengan machine atau walker

 Menggunakan crutches yang dimodifikasi seperti walker untuk


keseimbangan
 Menggunakan under arm crutches

 Menggunakan forearm cruthes


 Menggunakan cane atau tanpa bantuan pada ekstremitas superior

17. STRATEGI DAN PROGRAM ERAPO


Pada tahun 1988, WHA (World Health Assembly), telah menetapkan
program eradikasi polio dengan target selesai pada tahun 2000. Program eradikasi
bukan sekedar mencegah penyakit polio dan menurunkan kasus klinik saja,
namun juga harus menghentikan transmisi virus polio liar di seluruh dunia. Dasar
biologik inisiatif ini adalah:
 Satu-satunya reservoir dari virus polio adalah manusia,
 Virus polio tidak dapat tahan hidup lama di luar tubuh manusia, bila
semua PVR (polio virus receptor) terisi virus vaksin, VPL akan punah
 Tersedia vaksin yang cukup efektif dan murah untuk mencegah/
membuat kebal dan memutus rantai infeksi virus polio. WHO telah
menetapkan empat strategi untuk mengeradikasi polio pada tahun
2000, yaitu :
1. Imunisasi rutin dengan cakupan 80%
2. NID (National Immunization Day), yang di Indonesian
digunakan istilah PIN (Pekan Imunisasi Nasional)
3. Surveilans AFP (acute flaccid paralysis)
4. Mopping-up
Keempat strategi tersebut diatas saling berkaitan dan komplementer satu
sama lain, mempunyai tujuan khusus yang berbeda walaupun tujuan akhirnya
adalah menghentikan transmisi virus-polio liar di seluruh dunia. Surveilans AFP
berfungsi sebagai alat untuk mengukur keberhasilan imunisasi memutus rantai
transmisi, sedang mopping–up mengoreksi status imunologik kelompok
masyarakat yang tercecer.
NID (National immunization Day)
Apabila imunisasi diberikan serentak dan sekaligus pada semua individu
yang dalam resiko, kekebalan usus dan efek komunitas akan mengakibatkan virus
polio liar tidak mendapat tempat berbiak dan bereplikasi, sehingga transmisi akan
berhenti. Imunisasi serentak dilakukan baik pada daerah yang luas (National
Immunization Day, PIN), maupun pada daerah yang terbatas (tinggi) yang disebut
sub PIN atau mopping up. PIN atau SubPIN dilakukan serentak pada tempat
berkumpul (collecting points) sedang mopping up dilakukan dengan cara dari
rumah ke rumah (door to door). Daerah yang masih terdapat transmisi virus polio
liar atau daerah resiko tinggi ditentukan dengan surveilans AFP.
NID dilaksanakan di negara-negara dimana masih terjadi transmisi VPL
atau di negara-negara dimana tidak dapat dibuktikan transmisi VPL sudah tidak
ada lagi. Negara-negara ini masuk dalam kategori endemic country atau recently
endemic country. NID dilakukan pada awal pelaksanaan program eradikasi polio
karena alasan-alasan berikut:
 Transmisi VPL umumnya tersebar luas sebelum program dimulai, atau
luas transmisi tidak diketahui sebelum program dimulai, sehingga
imunisasi harus dilakukan serentak di daerah seluas mungkin
 Surveilans AFP umumnya belum adekuat pada tahap awal sehingga tidak
dapat digunakan untuk menentukan daerah atau kelompok resiko tinggi.
NID di suatu negara dihentikan dengan persetujuan WHO berdasarkan
kriteria
sebagai berikut:
A. Cakupan imunisasi rutin pada tingkat Dati II: 80%
B. Cakupan NID pada tingkat Dati II: 90%
Melalui surveilans AFP yang memenuhi standar kinerja WHO
minimal dalam satu tahun terakhir, dapat dibuktikan tidak ada
transmisi viruspolio liar atau terjadi transmisi virus polio liar
secara terbatas. Kemungkinan terjadi importasi virus-polio liar
sangat kecil atau tidak ada.
Surveilans AFP
Pengamatan terhadap transmisi virus polio liar, idealnya harus
dilaksanakan sebelum program EPI dimulai. Hal ini hanya terjadi di beberapa
negara maju, sehingga mereka sudah mendapat sertifikasi, karena cakupan
imunisasi dan sistem surveilans yang ketat telah membuktikan bahwa transmisi
virus polio liar sudah tidak ada lagi di negaranya. Sedangkan di negara
berkembang, pengamatan terhadap transmisi VPL ini baru dilaksanakan sejak
program eradikasi polio dilancarkan. Pengamatan terhadap transmisi VPL ini,
baik melalui sistem surveilans rutin, ataupun surveilans AFP harus dilaksanakan
sampai tiga tahun setelah program imunisasi dihentikan oleh WHO. Surveilans
AFP ditujukan untuk mendeteksi adanya transmisi virus-polio liar, dan
menentukan daerah resiko tinggi dimana transmisi virus-polio liar terjadi
atau kemungkinan dapat terjadi (High Risk Area). Surveilans dilakukan dengan
mendeteksi penderita lumpuh layuh pada anak usia dibawah 15 tahun tanpa
adanya rudapaksa, untuk dibuktikan kelumpuhan tersebut bukan disebabkan oleh
karena polio.
Pada surveilans AFP, laboratorium yang telah diakreditasikan oleh WHO
melakukan pemeriksaan spesimen tinja dari kasus AFP yang dilaporkan.
Pemeriksaan specimen ini meliputi isolasi dan identifikasi serta intratypic
differentiation virus polio. Jaringan laboratorium yang bisa melakukan
pemeriksaan spesimen ini hanyalah laboratorium yang telah lulus uji profisiensi
dan sudah mendapatkan akreditasi.Tahap akhir eradikasi memerlukan surveilans
aktif yang mengupayakan penemuan setiap kasus lumpuh layuh sebagai indikator
upaya surveilans telah optimal pada keadaan kasus telah langka.
Makna aktif adalah selain mencari dengan sengaja, juga agar tidak satupun
kasus yang luput dari pengamatan. Virus polio liar ditularkan oleh infeksi droplet
dari orofaring atau tinja penderita yang infeksius. Serangan virus polio liar dapat
menyebabkan kelumpuhan paralisis (kurang dari 2 %), 8 % menunjukkan gejala
non paralitik, seperti demam, diare dan sebagainya, sebagian besar (90 %) tidak
menunjukkan gejala apapun. Oleh karena itu, apabila ditemukan satu kasus
kelumpuhan paralitik karena polio pada suatu populasi, maka sebenarnya virus
polio liar telah menyebar cukup luas.Di Indonesia, pada tahun 1997 - 2000,
dengan kegiatan surveilans AFP aktif, maka jumlah kasus kelumpuhan (AFP) non
polio adalah lebih dari 600 kasus pertahun. Setelah sejak tahun 1995 tidak
ditemukan satupun kasus virus polio liar, pada tahun 2005 virus polio liar muncul
kembali setelah importasi dari Arab.

18. PELAKSANAAN ERAPO DAN MASALAHNYA DI INDONESIA


 Pelaksanaan imunisasi polio
Imunisasi rutin merupakan dasar fondasi ERAPO, namun makin
banyak desa non UCI (Universal Child Immunization) tanpa backlog
fighting. Imunisasi dilakukan di Indonesia lewat infrastuktur pelayanan
kesehatan yaitu klinik, rumah sakit, Puskesmas dan posyandu. Pada
program PPI yang lalu Balita yang terkumpul di posyandu diimunisasi
oleh juru imunisasi (jurim) yang berkeliling sesuai dengan waktu adanya
posyandu. Setelah otonomi yang diberlakukan sejak tahun 2000
menyebabkan dana terpusat di daerah kabupaten, banyak dana P2M yang
dipangkas, termasuk pembayaran gaji jurim. Jurim makin lama makin
hilang dan imunisasi dilakukan oleh bidan desa yang kurang mobil
dibanding dengan jurim dan masyarakat harus membayar lebih besar
untuk transport dan jasa.
Cakupan imunisasi yang diharapkan meningkat menjadi desa UCI,
makin menyurut dan semakin banyak desa menjadi kantong-kantong yang
tidak terjangkau imunisasi. Seringkali laporan yang ada di puskesmas
hanya angka absolut bayi yang diimunisasi, bukan proporsi bayi yang
diimunisasi dibanding dengan jumlah target yang direncanakan. Apabila
data ini terkumpulmenjadi data kabupaten, mungkin akan memberikan
posisi UCI kabupaten, namun bukan UCI desa. Bilamana nilai ambang
bayi yang tidak diimunisasi telah dilampaui di suatu kecamatan, resiko
kejadian luar biasa penyakit P3DI , misalnya difteri atau campak akan
besar. Daerah ini akan menjadi daerah resiko tinggi transmisi VPL atau
VDVP dan seringkali masalah ini tidak diperhatikan oleh PEMDA dan
para pejabat dinas. atau ERAPO, adalah program kesehatan masyarakat
yang sangat besar dalam sejarah manusia, mengusahakan dunia bebas
polio dalam tahun 2005. Kasus polio telah menyurut 99% sejak
dicanangkan pada tahun 1988, dari sekitar 350.000 kasus menjadi 3500
pada tahun 2000. Pada masa akhir program ini, yang dikenal sebagai the
polio "end game", menjuruskan pada 3masalah.
 Pencekalan virus polio di laboratorium
 Sertifikasi bebas polio
 Penghentian vaksinasi polio

The Global TCG (Technical Consultation Group), badan pakar polio, telah
mengumpulkan wacana mengenai bagaimana melindungi penduduk selama
penghentian vaksinasi dan bagaimana menurunkan resiko kembalinya virus ini
serta bagaimana menanggulangi bila ini terjadi.19,21 Pilihan vaksin mana yang
akan digunakan selama masa transisi dan kapan serta bagaimana cara penghentian
imunisasinya belum diputuskan. Kondisi bebas VPL sangat sukar dicapai karena
pada dasarnya vaksin yang digunakan adalah virus polio yang dilemahkan.
Program eradikasi cacar merupakan acuan eradikasi polio, namun ada perbedaan
yang mendasar dibandingkan dengan imunisasi cacar.
Vaksin cacar terbuat dari virus vaccinia yang meskipun masih bersaudara
dengan virus cacar, namun bukan virus cacar. Kalaupun terjadi back-mutation
atau terjadi komplikasi yang berat pada vaksinasi cacar, tidak pernah terjadi kasus
klinik cacar, karena vacccinia tidak menyebabkan kasus klinik cacar. OPV yang
dibuat dari virus polio liar yang dilemahkan, tetap merupakan gabungan ketiga
serotipe polio yang bila mengalami back mutation menjadi neurogenik kembali,
akan kembali bersifat seperti virus polio liar dan dapat menimbulkan wabah
kembali. IPV meskipun juga berasal dari ketiga serotipe virus polio, kecil
kemungkinannya menjadi aktif kembali, setelah dinonaktifkan / dibunuh dengan
panas dan bahan kimia.

 Containment (pencekalan) virus dapat dilakukan dengan mudah pada program


SEP (Smallpox Eradication Programme) karena yang disimpan adalah virus
vaccinia (virus cacar liar dapat dimusnahkan atau disimpan pada 1 tempat saja)
sedang penelitian pengembangan vaksin yang baru dapat dilakukan dengan virus
vaccinia yang ada. Pada program ERAPO, yang disimpan tetap
virus polio dan apabila diperlukan penelitian, harus digunakan virus polio liar,
sehingga containment virus polio liar jauh lebih sukar dilakukan. Kecelakaan
(accidental release) dapat terjadi, misalnya peneliti tanpa sengaja mendapatkan
adanya Enterovirus yang tumbuh pada kultur jaringan adalah virus polio.

19. MASALAH VAPP DAN VDVP


VAPP (VACCINE ASSOCIATED PARALYTIC POLIOMYELITIS )
Pada saat kita mendekati akhir ERAPO telah muncul isu vaksin mana
yang akan digunakan selama transisi, sebelum kita menghentikan imunisasi polio,
seperti kita menghentikan imunisasi cacar dulu. Selain masalah jenis vaksin, juga
telah muncul isu yang mengancam keberhasilan ERAPO yaitu adanya
kelumpuhan setelah imunisasi yang disebabkan oleh kasus VAPP dan VDVP.
Meskipun kasus ini sangat jarang sekali, namun oleh karena Amerika Serikat
(dengan prevalensi VAPP 10-12 kasus per tahun) mengganti vaksin
untuk menghindari kasus jarang ini, maka masalah tersebut menjadi mendunia.
Sebenarnya kasus VAPP & VDPV adalah konsekuensi dari imunisasi dengan
OPV. Menurut kriteria yang disepakati, WHO mendefinisikan VAPP sebagai:
 suatu kelumpuhan layuh akut yang terjadi 4 - 30 hari setelah menerima
OPV, atau 4 -75 hari setelah kontak dengan penerima OPV, disertai masih
adanya kelainan neurologi pada 60 hari setelah awetan atau penderita
meninggal.

VAPP adalah bentuk KIPI dari OPV dan jumlah kasus global VAPP
adalah 250-500 kasus per tahun. Kemungkinan VAPP telah dikenal sejak 1962,
sesaat setelah penggunaan vaksin monovalen P3. Resiko kasus VAPP adalah
sekitar satu kasus per 3.3 juta dosis, pada saat PIN sekitar satu kasus per 6 juta
dosis dan terutama terjadi pada pemberian vaksinasi yang pertama. Meskipun
sampai sekarang banyak yang menyatakan kelumpuhan ini akibat berbagai faktor
penyebab yang berbeda, namun evidence ini mendukung adanya hubungan :
1. sindroma kliniknya mirip poliomielitis
2. virus vaksin sering di isolasi dari tinja kasus
3. ada riwayat paparan vaksin\
4. kasus resipien dan kontak menbentuk gerombolan (cluster)
setelah mendapat OPV
5. virus yang diekskresi menunjukkan mutasi kearah neurovirulent
6. prevalensi VAPP paling tinggi pada penderita imunodefisiensi (B
cell deficiencies), kelompok yang juga rentan terhadap VPL
poliovirus.

Resiko VAPP pada penderita immunocompromised naik menjadi 3200 kali


lebih sering dibanding dengan anak yang imunokompeten. Sebagian besar kasus
adalah penderita kelainan B-cell (humoral) dengan agammaglobulinaemia atau
hipogammaglobulinemia. Polio virus type 1 jarang pada kasus VAPP ; sebagian
besar adalah tipe 2 , sedang pada penderita yang imunokompeten yang tersering
adalah tipe 3 . Selain tidak mampu menetralisir virus dari SSP (susunan syaraf
pusat), mereka juga mensekresi polio vaksin sampai 7 bahkan
16 tahun. Larangan memberikan OPV pada kasus imunodefisien kurang insufisien
karena diagnosis kasus paling dini dilakukan pada usia 2 bulan, saat pemberian
OPV yang pertama. Pada tahun 1997, ACIP merekomendasikan penggantian
secara sekuensial OPV dengan IPV, bahkan pada tahun 1999, rekomendasinya
adalah menggunakan IPV saja.

 VDPV (Vaccine Derived Polio Virus)


Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir ini, outbreaks poliomielitis
akibat circulating vaccine-derived polioviruses (cVDVP) terjadi di
Hispaniola (2000- 2001), Phillipina (2001) and Madagaskar (2001-
2002).29 Penelitian secara retrospektif telah mendeteksi sirkulasi endemic
cVDVP di Egypt (1988-1993) dan secara lokal di Belarus (1965-1966).
Agar menimbulkan kekebalan virus polio vaksin (virus RNA) harus
berbiak dan mRNA adalah bagian multiplikasi yang tidak stabil, sehingga
multiplikasi yang cepat pada beberapa orang akan menyebabkan mutasi
pada beberapa tempat sehingga fenotipe kelemahan (attenuated
phenotype) hilang dan enterovirulensi meningkat .
Selain mutasi balik, neurovirulen bisa kembali akibat dua virus
polio atau Enterovirus yang homolog mengadakan rekombinasi sehingga
VDVP mempunyai kemampuan menyebar (circulating VDVP). cVDVP
mampu menimbulkan KLB kembali seperti VPL. Virus iVDVP (dari
penderita imunodefisien) tidak mampu menyebar seperti cVDVP namun
bagaimana rekombinasi dengan enterovirus yang homolog ini terjadi
masih belum jelas. Pada kasus Hispaniola, semula KLB cVDVP ini diduga
disebabkan oleh virus polio import karena daerah ini sudah bebas polio
sejak 1986, namun analisis molekuler ternyata tidak mirip dengan VPL
manapun dan lebih mirip dengan OPV yang diberikan pada tahun 1988-
1999.
Dengan cara yang sama dapat dilakukan deteksi sirkulasi cVDVP
di Phillipines. Spesimen dari tiga kasus AFP ternyata positif P1 cVDVP,
mirip dengan vaksin yang digunakan 1998, bahkan selanjutnya P2 di
Madagaskar tahun 2001. Semua kasus berkaitan dengan rendahnya
cakupan imunisasi di komunitas yang padat penduduk. Secara retrospektif
didapatkan pula sirkulasi cVDVP2 di Egypt. Yang mirip dengan virus
OPV yang digunakan tahun 1083. Pentingnya informasi ini adalah bahwa
sirkulasi virus polio di daerah tropik dapat terjadi bila cakupan imunisasi
rendah. Vaccine-derived poliovirus (VDPV) yang dikenal di jaringan
laboratorium dengan cara ITD dan sekuencing adalah
1. beda VP1 <1% dari vaksin Sabin digolongkan Sabin-like,
2. beda 1%--15% digolongkan VDPV,
3. beda >15% difference digolongkan sebagai VPL
Faktor resiko lain pada kasus VDVP adalah angka kelahiran, jumlah
dankepadatan bayi non-immune , sanitasi dan higiene perorangan yang
kurang, iklim, masa transmisi tinggi dan keadaan pernah bebas dari VPL
(yang menyebabkan kekebalan sangat tergantung pada imunisasi dan tidak
lagi pada kekebalan alamiah. KLB cVDVP sama pola dan bahayanya
seperti KLB virus import, dengan perbedaan pada cVDVP proses berjalan
secara endogenous. Selain dibutuhkan adanya kelompok bayi non immune
yang melebihi ambang, kinerja surveilans AFP yang jelek juga
mendukung KLB cVDVP. Pengalaman masa lalu mengajarkan bahwa
sirkulasi cVDVP sudah terjadi sekitar 2 tahun
sebelum KLB terjadi. Negara yang dulunya endemik polio, berarti punya
potensi transmisi virus polio yang tinggi, harus mempertahankan cakupan
imunisasinya dengan sungguh-sungguh. Untunglah, semua KLB cVDVP
dapat ditanggulangi dengan imunisasi suplemen dengan OPV.33

Masalah penghentian Imunisasi polio setelah sertifikasi bebas polio


Ada beberapa skenario penghentian imunisasi pasca sertifikasi, namun
WHO belum memutuskan yang mana yang akan dilakukan dan bagaimana
adaptasi skenario tersebut pada setiap negara pada tahap transisi. Adapun
skenario tersebut antara lain :
1. menghentikan OPV sekaligus tanpa vaksin lain selama transisi
2. menggunakan IPV pada semua jadwal imunisasi tanpa OPV
sama sekali
3. menggunakan IPV dulu, baru OPV secara sekuensial
4. menggunakan monovalen OPV sesuai keadaan daerah
5. menerapkan keempat cara secara bertahap.
Apapun keputusan yang diambil, keputusan itu harus mempunyai
landasan ilmiah, landasan epidemiologik dan sesuai dengan dana yang
tersedia, sehingga tidak membebani masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

"Poliomyelitis Fact sheet N°114". who.int. October 2014. Diakses tanggal 3


November 2014.
Gendrowahyuhono, dkk. 2010. “Eradikasi polio dan IPV (Inactivated Polio
Vaccin)”. https://media.neliti.com/media/publications/153857-ID-
eradikasi-polio-dan-ipv-inactivated-poli.pdf

Hamborsky J, Kroger A, Wolfe C, ed. (2015), "Poliomyelitis", Epidemiology and


Prevention of Vaccine-Preventable Diseases (The Pink Book) (edisi ke-
13th), Washington DC: Public Health Foundation, (chap. 18)
Ismoedijanto. (2005). Naskah lengkap Continuing Education Ilmu Kesehatan
Anak XXXV Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak IV “Hot Tropics In
Pediatrics”. Divisi Penyakit Infeksi dan Pediatri Tropik Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya

N.Z, Miller.2004. The polio vaccine: a critical assessment of its arcane history,
efficacy, and long-term health-related consequences. USA: Thinktwice
Global Vaccine Institute.
Oktaviani, dkk. 2015. “Penyakit polio https://www.academia.edu/18550613/Polio

Oktaviani, Rini dkk. (2013). “Penyakit Polio (Tugas Isu Terkini Penyakit
Menular)”. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Dipenegoro
Semarang

Pasaribu, Syahril. (2005). “Aspek Diagnostik Poliomielitis”. Bagian Ilmu


Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan

Pontoh, Lely dan Engeline Angliadi. (2015). Rehabilitasi Medik Pada

Poliomielitis .Dalam Jurnal Biomedik (JBM), Volume 7, Nomor 2, Juli 2015,


hlm.117-124. Program Studi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Manado

https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/poliomielitis/diagnosis,
diakses pada 19 November 02.36 WIB

Zulkifli, andi. 2007. “Epidemiologi penyakit polio”. Makalah ilmiah universitas


hasanudin. Makasar

Anda mungkin juga menyukai