Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Poliomielitis merupakan penyakkit menular yang bersiat irreversibel dan


kematian pada anak.(1) Poliomielitis sering dikenal dengan nama flaccid
paralysis acute (AFP). Predileksinya merusak sel anterior masa kelabu sumsum
tulang belakang (anterior horn cells of the spinal cord) dan batang otak (brain
stem).(2)
Polio berasal dari bahasa Yunani yang berarti abu-abu dan saraf tulang
belakang (myelon).4 Polio diduga pertama kali dikenal kira-kira 6000 tahun
yang lalu. Pada mumi dari zaman Mesir kuno ditemukan kelainan kaki, dan
pada deskripsi Mesir kuno di tahun 1580-1350 sebelum Masehi yang
digambarkan pendeta muda dengan sebelah kaki atrofi dan telapak kaki pada
posisi equinus.(3) Deskripsi klinis pertama mengenai poliomielitis dibuat oleh
Michael Underwood, seorang dokter dari Inggris yang melaporkan penyakit
yang terutama menyerang anak-anak dan menyebabkan ke lumpuhan menetap
pada ekstremitas bawah.(4)
Penyakit polio dapat menyerang semua usia, namun kelompok umur yang
paling rentan adalah usia 1-5 tahun dari semua kasus polio. Penelitian
menyebutkan bahwa sekitar 33,3% dari kasus polio adalah anak-anak dibawah
usia 5 tahun. Infeksi golongan enterovirus lebih banyak terjadi pada laki-laki
dari pada wanita dengan perbandingan (2:1). Resiko kelumpuhan meningkat
pada usia yang lebih tinggi terutama bila menyerang individu yang berusia lebih
dari 15 tahun. WHO memperkirakan adanya 140.000 kasus baru dari
kelumpuhan yang diakibatkan oleh poliomyelitis sejak tahun 1992 dengan
jumlah keseluruhan penderita anak yang mengalami kelumpuhan akibat infeksi
ini diperkirakan 10-20 juta anak.(5)

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Poliomyelitis
2.1.1 Definisi
Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan
oleh virus. Poliovirus (PV) merupakan agen pembawa penyakit ini, masuk
kedalam tubuh melalui mulut dan menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat yang
mengakibatkan terjadinya kelemahan otot dan terkadang menyebabkan
kelumpuhan. Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang
menyebar ke kelenjar limfe regional terjadi sebagian kecil penyebaranya ke
sistem saraf. Sistem saraf yang diserang adalah saraf motorik otak bagian
grey matter dan kadang-kadang menimbulkan kelumpuhan.1,2

2.1.2 Epidemiologi

Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat


transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara
Barat, eliminasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus
polio liar di seluruh dunia, kecuali beberapa Negara yang sampai saat ini
masih ada transmisi virus polio liar yaitu India, Timur Tengah dan Afrika.
Reservoir virus polio liar hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh
pasien infeksi polio yang tanpa gejala.

Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 negara Indonesia pernah


dikatakan bebas polio, tetapi pada bulan maret tahun 2005 terjadi kejadian
luar biasa pada Indonesia. Kaus pertama dilaporkan dari kabupaten
Sukabumi (Jawa Barat) dan dilakukan isolasi terhadap virus ini yang
diambil dari pemeriksaan tinja dari penderita yang berada di daerah
Sukabumi, dan ditemukan merupakan virus polio liar tipe 1 yang merupakan
virus impor strain Nigeria yang masuk ke Indonesia melalui jalur Timur
Tengah. Dalam waktu 10 bulan virus polio menyebar ke 47 kabupaten atau
3

kota dan 10 provinsi di Jawa dan Sumatera dengan jumlah kasus 303 pada
tahun 2005 dan 2 kasus 2006.(6,7)

Sejak tahun 1980, Indonesia telah mengenal program imunisasi


polio dengan Oral Polio Vaccine (OPV). Dan sejak tahun 1990 telah
mencapai UCI (universal of child immunization).

Poliomielitis jarang ditemui pada usia kurang dari 6 bulan, mungkin


karena imunitas pasif yang didapat dari ibunya, walaupun poliomyelitis
pada bayi baru lahir pernah dilaporkan. Penyakit dapat ditularkan oleh
karier sehat atau kasus abortif. Bila virus prevalen pada suatu daerah, maka
penyakit ini dapat dipercepat penyebarannya dengan tindakkan operasi
seperti tonsilektomi, ekstraksi gigi yang merupakan port d’ entrée atau
penyuntikkan.(5)

2.1.3 Etiologi

Virus penyebab polio pertama kali ditemukan di tahun 1909 oleh


Karl Landsteiner dan Erwin Popper, dua orang dokter dari Austria.4 Virus
polio (VP) adalah virus RNA ultra mikroskopik yang termasuk genus
Enterovirus, dalam famili Picornaviridae.3 Virus single stranded 30% terdiri
dari virion, protein mayor (VP1 sampai 4) dan satu protein minor (VPg).
Virus terdiri dari 3 serotipe yaitu serotipe 1, 2, dan 3 masing-masing disebut
juga serotipe Mahoney, Lansing, dan Leon. Perbedaan ketiga jenis strain
terletak pada segmen nukleotida. Virus polio serotipe 1 adalah antigen yang
paling dominan dalam membentuk antibodi netralisasi. Serotipe 1 adalah
yang paling paralitogenik dan sering menimbulkan KLB, sedangkan
serotipe 3 adalah yang paling tidak imunogenik.2,6.(3,4)

Poliovirus menyebar dari Tractus Intestinal ke Sistem Saraf Pusat


(SSP, dimana mengakibatkan meningitis aseptic dan poliomyelitis.
Poliovirus cukup kuat dan bisa bertahan aktif selama beberapa hari dengan
suhu kamar, dan bias tersimpan dalam wujud beku -20oC. Poliovirus
menjadi tidak aktif bila terkena panas, formaldehid, klorin dan sinar
4

ultraviolet. Virus ini juga tumbuh baik di berbagai biakkan jaringan dan
mengakibatkan efek sitopatik dengan cepat. (6,7)

Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-
tahun dalam deep freeze. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia
termasuk sulfonamide, antibiotic (streptomisin, penisilin, kloromisetin),
eter, fenol, dan gliserin. Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan
atau dengan pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium
permanganate. Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia, walaupun
virus juga terdapat pada sampah atau lalat (6,7)

Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang


terdapat kasus dengan inkubasi antara 3-35 hari.(6,7)

Gambar 1. Struktur Virus Polio


(Dhole, et.al; 2013)

2.1.4 Patofisiologi

Virus polio ditularkan lewat jalur fekal-oral. Virus dapat diisolasi


dari sistem limfatik saluran cerna manusia, termasuk tonsil, Peyer’s patch,
dan kelenjar getah bening usus, juga dalam feses. Replikasi awal virus pada
sel yang rentan infeksi di faring dan saluran cerna sebagian besar akan
menimbulkan viremia minor dan singkat, serta asimtomatik. Apabila infeksi
berlanjut, virus akan menyebar lebih luas pada jaringan retikuloendotelial
lainnya. Dilaporkan 95% infeksi primer ini asimtomatik, dan pada 4%-8%
infeksi sekunder akan muncul sebagai gajala infeksi virus non spesifik.
5

Apabila infeksi tersebut sudah menginvasi sistem saraf, dapat terjadi


meningitis aseptik pada 1%-2% kasus, dan terjadi polio paralitik pada 0,1%-
1% kasus.(1,4)
Secara mendasar, kerusakan saraf merupakan ciri khas pada
poliomyelitis. Virus berkembang di dalam dinding faring atau saluran cerna
bagian bawah, menyebar masuk ke dalam aliran darah dan kelenjar getah
bening dan menembus dan berkembang biak di jaringan saraf. Pada saat
viremia pertama terdapat gejala klinik yang tidak spesifik berupa minor
illness. Invasi virus ke susunan saraf bias hematogen atau melalui perjalanan
saraf. Tapi yang lebih sering melalui hematogen. Virus masuk ke susunan
saraf melalui sawar darah otak (blood brain barrier) dengan berbagai cara
yaitu :
 Transport pasif dengan cara piknositosis
 Infeksi dari endotel kapiler
 Dengan bantuan sel mononuclear yang mengadakan transmisi ke
dalam susunan saraf pusat.
 Kemungkinan lain melalui saraf perifer, transport melalui akson
atau penyebaran melalui jaras olfaktorius.(2,5)

Kerusakan saraf merupakan ciri khas poliomyelitis, virus


berkembang biak pertama kali didalam dinding faring atau saluran cerna
bagian bawah, virus tahan terhadap asam lambung, maka bisa mencapai
saluran cerna bawah tanpa melalui inaktivasi. Dari faring setelah
bermultiplikasi, menyebar ke jaringan limfe dan pembuluh darah. Virus
dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam sampai 3-4 minggu. (2,5)

Dalam keadaan ini timbul: 1. perkembangan virus, 2. tubuh bereaksi


membentuk antibody spesifik. Bila pembentukkan zat anti tubuh mencukupi
dan cepat maka virus dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang
ringan atau tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus
tersebut. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat daripada pembentukkan
zat anti, maka akan timbul viremia dan gejala klinis. (2,5)
6

Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi akibat replikasi cepat virus
ini. Virus polio menempel dan berkembang biak pada sel usus yang
mengandung polioviruses receptor (PVR) dan telah berkoloni dalam waktu
kurang dari 3 jam. Sekali terjadi perlekatan antara virion dan replikator,
pelepasan virion baru hanya butuh 4-5 jam saja. (2,5)

Virus yang bereplikasi secara local kemudian menyebar pada


monosit dan kelenjar limfe yang terkait. Perlekatan dan penetrasi bias
dihambat oleh secretory IgA local. Kejadian neuropati pada poliomyelitis
merupakan akibat langsung dari multiplikasi virus di jaringan patognomik,
namun ridak semua saraf yang terkena akan mati. Keadaan reversibilitas
fungsi sebagian disebabkan karena sprouting dan seolah kembali seperti
sediakala dalam waktu 3-4 minggu setelah onset., Terdapat kelainan dan
infiltrasi interstisiel sel glia.(2,5)

Gambar 2. Patogenesis Poliomielitis

Daerah yang biasanya terkena lesi pada poliomyelitis ialah(2,5):

1. Medulla spinalis terutama kornu anterior


2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta
formation retikularis yang mengandung pusat vital
7

3. Serebelum terutama inti-inti pada vermis


4. Midbrain terutama masa kelabu, substantia nigra dan kadang-kadang
nucleus rubra
5. Talamus dan hipotalamus
6. palidum
7. Korteks serebri, hanya daerah motorik

2.1.5 Manifestasi Klinis


Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala yang
ringan sampai terjadi paralysis. Masa inkubasi penyakit 7-14 hari, tetapi
terkadang terdapat kasus dengan masa inkubasi 5-35 hari. Infeksi virus polio
dapat diklasifikasikan menjadi minor illnesses (gejala ringan) dan major
illnesses (gejala berat, baik paralitik, maupun non-paralitik). (9,10)
Minor Illnesses

1. Asimtomatis (silent infection)


Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak
terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic diperkirakan
terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap
virus tersebut. Merupakan proporsi kasus terbanyak (72%).(9,10)

2. Poliomielitis abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic,
terutama yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang
jelas. Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi. Timbul
mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya
sekitar 2-10 hari. Gejala berupa infeksi virus, seperti malaise, anoreksia,
nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi, nyeri
abdomen dan demam jarang melebihi 39,5ᵒC. Diagnosis pasti hanya bias
dengan menemukan virus di biakan jaringan. (9,10)
8

Major Illnesses

1. Poliomielitis non-paralitik (Meningitis Aseptik Non-paralitik)


Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,
nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari, kadang-
kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam
atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini
adalah adanya nyeri atau kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai
dengan hipertonia mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak,
ganglion spinal dan kolumna posterior. Bila anak berusaha duduk dari
posisi tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua
tangan menunjang kebelakang pada tempat tidur (Tripod sign) dan
terlihat kekakuan otot spinal oleh spasme, Kaku kuduk terlihat secara
pasif dengan Kernig dan Brudzinsky yang positif. “Head drop” yaitu bila
tubuh penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak sehingga
menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak
berubah dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat
poliomyelitis paralitik. Diagnosis Banding dengan meningitis serosa,
meningismus, tonsillitis akut yang berhubungan dengan adenitis
servikalis. (9,10)

2. Poliomielitis paralitik
Gejala klinis adalah gejala dari poliomyelitis non paralitik ditambah
dengan satu atau lebih sekelompok otot, skelet atau kranial. Gejala-gejala
ini dapat disertai jeda tanpa gejala beberapa hari dan kemudian pada
puncak berulangan dengan paralisis. Paralisis kandung kencing sekitar 1-
3 hari pada sekitar 20% penderita dan atoni usus dalah lazim. Paralisis
flaksid adalah ekspresi klinis yang paling jelas karena terjadinya atrofi
muskuler disebabkan oleh denervasi ditambah atrofi karena tidak
digunakan. (9,10)

Secara klinis dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya


lesi pada susunan saraf : (9,10)
9

a. Bentuk spinal
Dengan gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen, tubuh,
diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering otot besar,
pada tungkai bawah otot kuadriceps femoris, pada lengan otot deltoideus.
Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon mengurang/menghilang. Tidak
terdapat gangguan sensibilitas.

b. Bentuk bulbar
Terjadi akibat kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga terjadi
insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak, kesulitan makan,
kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara. Saraf otak yang terkena
adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian VII. Sebagaimana kelainan saraf
lainnya, tidak dapat digantikan atau diperbaiki. Perbaikan secara klinik
terjadi akibat kerja neuron yang rusak akan diambil oleh neuron yang
berdekatan (sprouting) atau alih fungsi oleh otot lain atau perbaikan sisa
otot yang masih berfungsi.

Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa gangguan
pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi

c. Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar

d. Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan
kadang-kadang kejang. (9,10)

2.1.6 Diagnosis Banding


Untuk poliomielitis paralitik keadaan keadaan yang menyebabkan
kelemahan otot adalah sebagai berikut(5) :
1. Neuritis Infeksiosa (sindrom Gullain-Barre) adalah penyakit yang
pali sering dan paling sukar dibedakan dari poliomielitis. Biasanya
demam, nyeri kepala, dan tanda-tanda meningeal kurang menonjol.
Paralisis khas simetri, dan perubahan sensoris serta tanda-tanda traktus
10

priamidalis adalah biasa tetapi tidak ada pada poliomielitis. Khas, ada
sedikit sel tetapi kadar globulin dalam cairan serebrospinal naik.
2. Neuritis perifer biasanya terjadi pasca injeksi, keracunan (timah
hitam, avitaminosis), herpes zooster kranialis paralitik, neuropati pasca
difteri.
3. ensefalitis virus yang dibawa antropoda, rabies, dan tetanus telah
dirancukan seperti poliomielitis bulbar.
4. botulisme dapat sangan menyerupai poliomielitis bulber; kaku kuduk
dan pleositosis tidak ada.
5. ensefalopati tipe demielinasi disertai dengan atau pasca eksantem dan
infeksi lain atau terjadi sebagai sekuele yang tidak menguntungkan dari
vaksinasi antirabies.

2.1.7 Penegakkan Diagnosis


Diagnosis polio dibuat berdasarkan:

 Pemeriksaan virologik dengan cara membiakkan virus polio baik


yang liar maupun vaksin. Virus poliomyelitis dapat diisolasi dan
dibiakkan secara biakan jaringan dari apus tengorok, darah, likuor
serebrospinalis dan feses.
 Pengamatan gejala dan perjalanan klinik.
Banyak sekali kasus yang menunjukkan gejala lumpuh layu yang
termasuk Acute Flaccid Paralysis. Bisa dilihat dari gejala-gejala klinis
diatas. Cara menegakkannya ialah dengan menambahkan pola
neurologik yang khas seperti kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak
ada gangguan sensori.

 Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat merujuk secara
lebih tepat kerusakan saraf secara anatomic. Cara ini akan dapat
mempermudah memisahkan polio dengan kelainan lain akibat
demielinisasi pada saraf tepi, sehingga bisa membedakan polio dengan
kerusakan motor neuron lainnya misalnya Sindrom Guillain-Barre.
11

Pemeriksaan lain seperti MRI dapat menunjukkan kerusakkan di daerah


kolumna anterior.

 Pemeriksaan Residual Paralisis


Dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari deficit
neurologik.(3,5,6)

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena
poliomyelitis. Pada spesimen tinja harus sudah diambil dalam waktu
<14 hari setelah kelumpuhan, untuk mencegah terjadinya spesimen
yang tidak adekuat dan dilakukan 2 kali dengan tenggang waktu antara
keduanya minimal 24 jam dan ditemukan gambaran virus polio.(1,2)

Gambar 3. Virus Polio

2.1.9 Penatalaksanaan

Dasar-dasar manajemen yang luas adalah menghilangkan


ketakutan, meminimalkan terjadinya deformitas skelet, mencegah dan
menemukan kompliasi disamping komplikasi neuromuskuloskeletal,
dan mempersiapkan anak dan keluarga untuk kemungkinan cacat
permanen.(5)
12

 Untuk bentuk abortif cukup analgesik, sedatif dan diet yang


menarik, tirah baring secukupnya sampai suhu anak normal selama
beberapa hari.
 Untuk bentuk paralitik serupa dengan abortif pengurangan rasa sakit
terutama terindikasi untuk kekencangan otot yang tidak enak dan
spasme leher, batang tubuh serta tungkai. Analgesik akan efektif bila
dikombinasi dengan kantong panas selama 15-30 menit selama 2-4
jam. Papah penyangga bisa digunakan untuk memeprtahankan kaki
tegak lurus dengan betis.
 Untuk bentuk paralitik memerlukan rawat inap. Diperlukan suasana
yang tenang, kesejajaran tubuh diperlukan agar tidak terjadi
deformitas skelet berlebih.

Pengobatan sesuai dengan gejalanya, meliputi :

a. fase akut
 Antibiotik untuk mencegah infeksi pada otot yang flaccid
 Analgetik untuk mengurangi nyeri kepala, myalgia, dan spasme
 Antipiretik untuk menurunkan suhu.
 Foot board, papan penahan pada telapak kaki, agar kaki terletak pada
sudut yang tetap terhadap tungkai
 Bila terjadi paralysis pernafasan seharusnya dirawat di unti perawatan
khusus karena penderita memerlukan bantuan pernafasan mekanis.
 Pada poliomyelitis tipe bulber kadang-kadang refleks menelan
terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi. Dalam hal ini kepala
anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi.

b. Fase post-akut
 kontraktur, atrofi dan atoni otot dikurangi dengan fisioterapi.
Tindakkan ini dilakukan setelah 2 minggu. Penatalaksanaan
fisioterapi yang dilakukan :
- Heating dengan menggunakan IRR ( infra red radiation )
13

- Exercise (active/passive) terutama pada ekskremitas yang mengalami


kelemahan atau kelumpuhan
- Breathing exercise jika diperlukan
 Bila perlu pemakaian braces, bidai, hingga operasi ortopedik.(6)

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi poliomielitis paralitik adalah melena cukup berat


sehingga memerlukan transfusi mungkin akibat satu atau banyak erosi
usus superfisial; perforasi jarang. Dilatasi lambung akut dapat terjadi
mendadak selama stadium akut atau konvalesen; menyebabkan
gangguan respirasi lebih lanjut; merupakan indikasi aspirasi lambung
segera dan pemakaian kantong es eksternal. Hipertensi ringan yang
lamanya beberapa hari ata beberapa minggu biasa pada stadium akut,
mungkin akibat lesi pusat vasoregulator dalam medulla dan terutama
akibat kurang ventilasi. Pada stadium lebih lanjut, karena imobilisasi,
hipertensi dapat terjadi bersama hiperkalsemia, nefrokalsinosis dan lesi
vaskuler.(5)

2.1.11 Prognosis

Hasil akhir dari penyakit ini tergantung bentuknya dan letak lesinya.
Jika tidak mencapai korda spinalis dan otak, maka kesembuhan total
sangat mungkin. Keterlibatan otak dan korda spinalis bisa berakibat
pada paralysis atau kematian (biasanya dari kesulitan bernafas). Secara
umum polio lebih sering mengakibatkan disabilitas daripada kematian.
Pasien dengan polio abortif bisa sembuh sepenuhnya . Pada pasien
dengan polio non-paralitik atau aseptic meningitis, gejala bisa menetap
selama 2-10 hari, lalu sembuh total.(8,9)
Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian yang terkena. Pada
kasus polio spinal, sel saraf yang terinfeksi akan hancur sepenuhnya,
paralysis akan permanent. Sel yang tidak hancur tapi kehilangan fungsi
sementara akan kembali setelah 4-6 minggu setelah onset. 50% dari
14

penderita polio spinal sembuh total, 25% dengan disabilitas ringan, 25%
dengan disabilitas berat. Perbedaan residual paralysis ini tergantung
derajat viremia, dan imunitas pasien. Jarang polio spinal yang bersifat
fatal. Bentuk spinal dengan paralysis pernafasan dapat ditolong dengan
bantuan pernafasan mekanik. Tanpa bantuan ventilasi, kasus yang
melibatkan system pernafasan, menyebabkan kesulitan bernafas atau
pneumonia aspirasi. Keseluruhan, 5-10% pasien dengan polio paralysis
meninggal akibat paralysis otot pernafasan. Angka kematian bervariasi
tergantung usia 2-5% pada anak-anak, dan hingga 15-30% pada dewasa.
Tipe bulbar prognosisnya buruk, kematian biasanya karena
kegagalan fungsi pusat pernapasan atau infeksi sekunder jalan nafas.
Polio bulbar sering mengakibatkan kematian bila alat bantu nafas tidak
tersedia. Dengan alat bantu nafas angka kematian berkisar antara 25-
50%. Bila ventilator tekanan positif tersedia angka kematian bisa
diturunkan hingga 15%.Otot-otot yang lumpuh dan tidak pulih kembali
menunjukkan paralysis tipe flasid dengan atonia, arefleksia, dan
degenerasi.
Komplikasi residual paralysis tersebut ialah kontraktur terutama
sendi, subluksasio bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik
oleh sirkulasi yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi.
Pada keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedik.(6,7)

Post Polio Syndrome (PPS)


Sekitar 25% individual yang pernah mengalami polio paralitik
mendapatkan gejala tambahan beberapa decade setelah sembuh dari
infeksi akut, merupakan bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) sejak
infeksi akut. Gejala utamanya kelemahan otot, kelelahan yang ekstrem,
paralysis rekuren atau paralysis baru, nyeri otot yang luar biasa. Kondisi
ini disebut post polio syndrome (PPS). Gejala PPS diduga akibat
kegagalan pembentukan over-sized motor unit pada tahap penyembuhan
dari fase paralitiknya. Walau demikian bagaimana patogenesisnya masih
belum diketahui. Faktor yang meningkatkan resiko PPS antara lain
15

jangka waktu sejak infeksi akutnya, kerusakan residual permanent


setelah penyembuhan dari fase akut, dan kerja neuron yang berlebihan.(3)

2.1.12 Vaksin Polio


a) Oral Polio Vaccine (OPV)
Vaksin ini dibuat dengan virus polio yang dilemahkan. Vaksin ini
digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan 2 tetes oral. Virus vaksin
ini kemudian menempatkan diri di bawah usus dan memacu
pembentukkan antibody baik dalam darah maupun epithelium usus,
yang menghasilkan pertahanan local terhadap virus polio liar yang
dating masuk kemudian. Maka frekuensi ekskresi polio virus liar di
masyarakat bisa dikurangi. Vaksin bertahan dalam tinja hingga 6
minggu setelah pemberian.

Gambar 4. Pemberian Imunisasi OPV

Vaksin ini harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC. dapat disimpan
beku pada temperature <-20oC. Keputusan WHO, vaksin ini boleh
digunakan multidose dengan syarat :

a. tanggal kedaluwarsa tidak terlampaui


b. vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin (2-8oC)
c. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang
oleh petugas Puskesmas.
Vaksin Polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal,
sesuai PPI dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan
imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah
16

dengan interval 6-8 minggu. Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml)
diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan bersama vaksin
DPT dan Hib.

b) Inactivated Polio Vaccine (IPV)


Vaksin tipe ini berisi PV 1,2,3 yang dibiakkan pada sel-sel vero
ginjal kera dan diinaktivasi dengan formaldehid. Pada vaksin tersebut
juga ada neomisin, streptomisin dan polimiksin B. Vaksin harus
disimpan pada suhu 2-8oC dan tidak boleh dibekukan. Dosis 0.5 ml
dengan suntikkan subkutan dalam 3 kali berturut-turut dengan jarak 2
bulan antara masing-masing dosis akan memberikan imunitas jangka
panjang (mucosal maupun humoral).

Imunitas mucosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah


dibandingkan dengan yang ditimbulkan OPV.(1,2,6)

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)

Kasus poliomyelitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan


terjadi pada resipien (VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak
(VAPP=vaccine associated polio paralytic). Diperkirakan terdapat satu
kasus poliomyelitis paralitik yang berkaitan dengan vaksin terjadi
setiap 2.5 juta dosis OPV yang diberikan. Risiko terjadi paling sering
pada pemberian dosis pertama dibanding dosis berikutnya. Risiko yang
relative kecil pada poliomyelitis yang ditimbulkan pemberian OPV ini
tidak boleh diremehkan, namun tidak cukup untuk mengadakan
perubahan terhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut
terbukti sangat berguna. Setelah vaksinasi, sebagian kecil resipien dapat
mengalami gejala pusing, diare ringan, nyeri otot.

Kejadian ikutan pasca janin belum pernah dilaporkan, namun OPV


jangan diberikan pada ibu hamil empat bulan pertama kecuali terdapat
alasan mendesak misalnya berpergian ke daerah endemis
poliomyelitis.(2,4,6)
17

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Poliomielitis merupakan penyakkit menular yang bersiat irreversibel


dan kematian pada anak.(1) Poliomielitis sering dikenal dengan nama flaccid
paralysis acute (AFP). Predileksinya merusak sel anterior masa kelabu sumsum
tulang belakang (anterior horn cells of the spinal cord) dan batang otak (brain
stem). Virus polio (VP) adalah virus RNA ultra mikroskopik yang termasuk
genus Enterovirus, dalam famili Picornaviridae. Virus single stranded 30%
terdiri dari virion, protein mayor (VP1 sampai 4) dan satu protein minor (VPg).
Virus terdiri dari 3 serotipe yaitu serotipe 1, 2, dan 3 masing-masing disebut
juga serotipe Mahoney, Lansing, dan Leon.

Virus polio ditularkan lewat jalur fekal-oral. Gejala klinis dai


poliomielitis dibagi menjadi minor illnesses (gejala ringan) dan major illnesses
(gejala berat, baik paralitik, maupun non-paralitik) dan tatalaksana pada kasus
ini adalah menghilangkan ketakutan, meminimalkan terjadinya deformitas
skelet, mencegah dan menemukan kompliasi disamping komplikasi
neuromuskuloskeletal, dan mempersiapkan anak dan keluarga untuk
kemungkinan cacat permanen.
18

DAFTAR PUSTAKA

1. Bhutta ZA, Orenstein WA. Scientific declaration on polio eradication (on


behalf of Scientific Experts Against Polio). Vaccine 2013;31:2850-1.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Poliomyelitis. 2005. Dalam :
Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
Jilid 2. Jakarta.
3. Soedarmo SSP, Gama H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Poliomielitis. Dalam:
Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2008.h.182-94
4. Jesus NDH. Epidemics to eradication: the modern history of poliomyelitis.
Virol J 2007;4:1-18.
5. Simoes, Eric A. F. Polioviruses. 2003. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin
(ed). Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Elsevier Science.
Philadelpia. WHO
6. Ranuh, I G N, dkk. Infeksi Virus : Poliomyelitis. 2008. Dalam : Pedoman
Imunisasi Di Indonesia. Satgas Imunisasi IDAI. Jakarta

7. World Health Organization. The Disease and The Virus. Dalam : Global
Polio Eradication Initiative. (available from :
www.who.int/topics/poliomyelitis/en/)
8. Chatterjee A, Vidyant S, Dhole TN. Polio eradication in India: Progress, but
environmental surveillance and vigilance still needed. Vaccine
2013;31:1268-75.

9. Estrada, Benjamin MD. Poliomyelitis : Treatment and Medication.


eMedicine. Last Updated : Aug, 15th 2007 (available from :
http://emedicine.medscape.com/article/967950-overview,)
10. Wenner, Kenneth M. MD. Poliomyelitis. Medline Medical Encyclopedia.
Last Updated : January, 22nd 2008. (available from :
www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001402)
19

PR

1. Apa yang dimaksud dengan vaksin polio monovalen, bivalen dan trivalen?
Monovalen (mOPV1 and mOPV3), sebelum pengembangan tOPV, OPV
Monovalen (mopVs) dikembangkan pada awal tahun 1950an. Vaksin polio ini
memberikan kekebalan hanya pada satu jenis dari tiga serotipe OPV, namun tidak
memberikan perlindungan terhadap dua jenis lainnya. OPV Monovalen untuk virus
Polio tipe 1 (mopV1) dan tipe 3 (mOPV3) dilisensikan lagi pada tahun 2005 dan
akhirnya mendapatkan respon imun melawan serotipe yang lain.
Bivalen (bOPV), setelah April 2016, vaksin virus Polio Oral Trivalen diganti
dengan vaksin virus Polio Oral Bivalen (bOPV). Bivalen OPV hanya mengandung
virus serotipe 1 dan 3 yang dilemahkan, dalam jumlah yang sama seperti pada
vaksin trivalen. Bivalen OPV menghasilkan respons imun yang lebih baik terhadap
jenis virus Polio tipe 1 dan 3 dibandingkan dengan OPV trivalen, namun tidak
memberikan kekebalan terhadap serotipe 2.
Trivalen (tOPV) adalah vaksin utama yang digunakan untuk imunisasi rutin
terhadap virus Polio. Dikembangkan pada tahun 1950 oleh Albert Sabin, tOPV
terdiri dari campuran virus polio hidup dan dilemahkan dari ketiga serotipe tersebut.
tOPV tidak mahal, efektif dan memberikan perlindungan jangka panjang untuk
ketiga serotipe virus Polio. Vaksin Trivalen ditarik pada bulan April 2016 dan
diganti dengan vaksin virus Polio Oral Bivalen (bOPV), yang hanya mengandung
virus dilemahkan vaksin tipe 1 dan 3.

2. Diagnosis Banding
 Sindrom Gullain Barre
Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum
diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa
kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
20

1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi


mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi
saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh
respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai
peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Gejala Klinis
Gejala awal antara lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum di ujung
jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa
berat dan kaku mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak
bisa mengenggam erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka kunci,
buka kaleng dan lain-lain). Gejala awal ini bisa hilang dalam tempo
waktu beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu
perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta
perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat
diperiksa. Gejala tahap berikutnya pada saat mulai muncul kesulitan
berarti, misalnya : kaki sudah melangkah, lengan menjadi sakit lemah,
dan kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah hilang
fungsinya

- Mielitis transversus
Transverse Myelitis merupakan kumpulan gejala klinik berupa kelemahan,
gangguan sensoris, dan disfungsi autonom, yang melibatkan proses imun
yang terjadi di daerah abu-abu dan putih pada sumsum tulang sehingga
menyebabkan demielinasi dari axon, akibat terjadinya trauma pada
sumsum tulang belakang. Dengan adanya proses inflamasi mengakibatkan
kerusakan pada selubung mielin yang akan meninggalkan jaringan parut,
sehingga hantaran saraf akan terhambat. Penyakit ini baru dikenal sejak
ditemukan pada awal tahun 50-an.
21

Transverse Myelitis jarang ditemukan, insidensnya hanya sekitar 1-


8 kasus per 1 juta orang per tahun. Distribusi umur antara 10 – 30 tahun,
dan umumnya menyerang pada anak umur 9 tahun. Bisa terjadi pada
perempuan atau laki-laki dengan perbandingan yang sama. Penyebab pasti
terjadinya Transverse Myelitis tidak diketahui. Namun Transverse
Myelitis bisa terjadi akibat komplikasi dari penyakit sifilis, measles,
beberapa vaksinasi seperti chickenpox dan rabies. Transverse Myelitis bisa
terjadi secara idiopatik.
Beberapa infeksi seperti infeksi virus varicella zooster, herpex
simplex, cytomegalovirus, Epstein barr, influenza, echovirus, HIV,
hepatitis A, rubella, dan schistosomiasis. Suplai darah yang berkurang
seperti pada penyakit vaskuler aterosklerosis yang menyebabkan iskemik,
sehingga terjadi penurunan suplai oksigen pada jaringan saraf bisa juga
menyebabkan Transverse Myelitis.
Manifestasi klinik tergantung pada lokasi jaringan saraf yang
terkena. Gejala yang terjadi bisa secara progresif dalam 2 hari dan
mengalami perbaikan setelah 6 hari. Pada beberapa kasus bisa terjadi
paralisis secara total dan kehilangan sensoris pada tingkat bawah dari lesi.
Tapi pada sebagian kasus paralisis bisa terjadi secara parsial. Jika lesi
terjadi pada daerah servikal akan mengakibatkan paralisis respiratorik
(segmen C3, 4, 5, sampai diafragma). Gejala klinik yang lain 1543 bisa
berupa nyeri tulang belakang, retensi urin, dan kelemahan. Kelemahan
yang terjadi biasanya pada daerah tungkai dan bersifat asimetris. Refleks
tendon bisa meningkat atau menurun. Gangguan fungsi autonom bisa
terjadi inkontinensia urin dan konstipasi. Jika Transverse Myelitis terjadi
disertai dengan neuritis optik maka disebut penyakit Devic

3. - Transfer Aktif adalah transpor aktif merupakan transpor partikel-partikel


melalui membransemipermeabel yang bergerak melawan gradien
konsentrasi yang memerlukan energidalam bentuk ATP. Transpor aktif
berjalan dari larutan yang memiliki konsentrasirendah ke larutan yang
memiliki konsentrasi tinggi, sehingga dapat tercapaikeseimbangan di dalam
22

sel. Adanya muatan listrik di dalam dan luar sel dapatmempengaruhi proses
ini, misalnya ion K +, N+ dan C. Transpor aktif adalah pergerakan atau
pemindahan yang menggunakan energy untuk mengeluarkan dan
memasukan ion - ion dan molekul melalui membransel yang bersifat
parmeabel dengan tujuan memelihara keseimbangan molekul kecil didalam
sel.

- Difusi merupakan proses perpindahan atau pergerakan molekul zat atau


gasdari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Difusi melalui membran
dapat berlangsung melalui tiga mekanisme, yaitu difusi sederhana (simple
difusion),difusimelalui saluran yang terbentuk oleh protein transmembran
(simple difusion bychanel formed), dan difusi difasilitasi (fasiliated
difusion). Difusi sederhana melaluimembrane berlangsung karena molekul-
molekul yang berpindah atau bergerakmelalui membran bersifat larut dalam
lemak (lipid) sehingga dapat
menembuslipid bilayer pada membran secara langsung. Membran sel perme
abel terhadap molekullarut lemak seperti hormon steroid, vitamin A, D, E,
dan K serta bahan-bahanorganik yang larut dalam lemak, Selain itu,
memmbran sel juga sangat permeabelterhadap molekul anorganik seperti
O,CO2, HO, dan H2O.

-Osmosis adalah difusi pelarut melalui membran. Jika terdapat dua larutan
yang tidak sama konsentrasinya, maka molekul air melewati membran sampai
kedua larutan seimbang dan merupakan difusi air dari daerah yang memiliki
potensial air lebihtinggi ke daerah yang potensial airnya lebih rendah, melalui
suatumembransemi permeabel. Potensial osmotik suatu larutan selalu
negatif yang ekivalen dengan nilaitekanan osmotiknya yang sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai