Anda di halaman 1dari 28

1 | P a g e

BAB I
LATAR BELAKANG

Kesehatan lingkungan diperuntukkan untuk semua faktor eksternal baik
fisik, kimia, biologis dan semua faktor terkait yang mempengaruhi perilaku. Ini
meliputi penilaian dan pengendalian faktor-faktor lingkungan yang berpotensi dapat
mempengaruhi kesehatan. Hal ini ditargetkan untuk mencegah penyakit dan
menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan. Sanitasi yang memadai
merupakan dasar dari pembangunan. Namun, fasilitas sanitasi jauh di bawah
kebutuhan penduduk yang terus meningkat jumlahnya. Akibatnya muncul berbagai
jenis penyakit seperti diare, poliomyelitis, demam tifoid, ISPA, TBC dan lain-lain.
Minimnya sanitasi lingkungan seperti penanganan sampah, air limbah tinja, saluran
pembuangan, dan kesehatan masyarakat telah menyebabkan terus meningkatnya
angka kejadian penyakit, kecacatan, dan kematian akibat penyakit poliomyelitis dan
berperan penting dalam mengundang munculnya berbagai vektor pembawa penyakit.
Sejumlah penyakit menular yang berbahaya seperti campak, polio, difteri,
dan hepatitis B juga dapat dengan mudah ditularkan melalui tangan yang terinfeksi
bakteri dan kuman berbahaya. Tangan yang tidak higienis membawa berbagai bakteri
dan kuman penyakit lalu masuk ke dalam tubuh ketika makan tanpa mencuci tangan
terlebih dahulu. Namun ironisnya, walaupun sangat mudah untuk dilakukan, ritual
mencuci tangan seringkali diabaikan oleh banyak orang. Kurangnya kesadaran akan
pentingnya mencuci tangan bisa jadi merupakan salah satu alasan mengapa masih
banyak orang yang tidak menjaga kebersihan tangannya sehingga berpotensi lebih
besar untuk tertular penyakit.
2 | P a g e

Poliomyelitis atau yang lebih dikenal dengan polio merupakan penyakit
yang sangat menular diakibatkan oleh virus polio. Penyakit ini menyerang sistem
syaraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian dalam hitungan
beberapa jam. Virus polio yang secara ilmiah dikenal sebagai virus polio liar atau
Wild Polio Virus/WPV memasuki tubuh manusia melalui mulut dengan perantaraan
makanan yang telah terkontaminasi tinja dari orang yang sudah terjangkit polio.
Penyakit polio dapat menyerang semua kelompok umur, namun kelompok
umur yang paling rentan adalah umur 1-15 tahun dari semua kasus polio. Sebanyak
33% kasus polio terjadi pada anak-anak dibawah 5 tahun, dan sekitar 70-80%
menyerang anak usia di bawah 3 tahun. Infeksi oleh golongan enterovirus ini lebih
banyak menyerang anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Resiko kelumpuhan
meningkat pada usia yang lebih tinggi, terutama bila menyerang individu lebih dari 15
tahun.












3 | P a g e

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PERMASALAHAN

2.1 Polio
Polio atau poliomyelitis adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan
oleh infeksi virus polio dan mengakibatkan kerusakan pada sel motorik di kornu
anterior medulla spinalis, batang otak, dan area motorik korteks serebri.

Epidemiologi
Secara klinis, poliomyelitis tipe nonparalitik terjadi pada sekitar 5 % dari
semua infeksi , sedangkan poliomyelitis tipe paralitik terjadi di sekitar 1 /1000 infeksi
pada bayi dan 1/100 infeksi di kalangan remaja . Di negara-negara maju sebelum
vaksinasi dilakukan secara universal, epidemi polio paralitik terjadi terutama pada
remaja. Sebaliknya, di negara berkembang dengan sanitasi yang buruk , infeksi awal
terjadi pada anak-anak .
Pada awal 1960-an, di Amerika Serikat upaya peningkatan sanitasi
berpengaruh dalam pemberantasan polio, sekitar dari populasi diimunisasi dengan
vaksin Salk, menyebabkan hilangnya virus polio tipe ganas di Amerika Serikat dan
Eropa . Sanitasi yang buruk dan padat memudahkan terjadinya transmisi virus polio
yang terus menerus di negara-negara miskin tertentu di Afrika dan.



4 | P a g e


Gambar 2.1 Penyebaran virus polio di Asia dan Afrika

Morfologi Virus Polio
Klasifikasi virus polio :
Golongan : Golongan IV ((+)ssRNA)
Familia : Picornaviridae
Genus : Enterovirus
Spesies : Poliovirus
Virus polio terdiri atas tiga strain, yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (lanzig),
dan strain 3 (leon). Strain 1 merupakan paralitogenik atau paling ganas dan sering
menyebabkan kejadian luar biasa (wabah), strain 3 lebih jarang demikian pula strain 2
paling jarang dan paling jinak. Virus polio berukuran hanya 27 nanometer, berbentuk
icosahedral, tanpa sampul (envelope) dengan genom RNA, single stranded messenger
5 | P a g e

molecule. Single stranded RNA membentuk hampir 30% bagian virion dan sisanya
terdiri atas 4 protein besar (VP1-4) dan satu protein kecil (Vpg).


Gambar 2.2 Morfologi virus polio

Mekanisme Penyebaran Virus Polio
Virus polio dapat menyebar luas diam-diam karena sebagian besar penderita
yang terinfeksi poliovirus tidak memiliki gejala sehingga tidak tahu kalau mereka
sendiri sedang terjangkit. Virus polio ditularkan infeksi droplet dari oral-faring (mulut
dan tenggorokan) atau tinja penderita infeksi. Penularan virus polio dapat berlangsung
melalui:
1) Fekal-oral (dari tinja ke mulut) berarti minuman atau makanan yang telah
terkontaminasi tinja dari orang yang sudah terjangkit polio masuk ke mulut
manusia sehat lainnya.
2) Oral-oral (dari mulut ke mulut) adalah penyebaran dari air liur penderita yang
masuk ke mulut manusia sehat lainnya.
Setelah seseorang terkena infeksi, virus tersebut berkembang biak didalam
usus dan akan keluar melalui feses selama beberapa minggu. Masa inkubasi umumnya
7-14 hari untuk kasus paralitik, dengan rentang waktu antara 3-35 hari. Virus polio
6 | P a g e

dapat ditemukan didalam sekret tenggorokan dalam waktu 36 jam dan pada tinja 72
jam setelah terpajan dengan infeksi baik dengan penderita klinis maupun dengan
kasus inapparent. Penderita polio sangat menular selama beberapa hari sebelum dan
beberapa hari sesudah gejala awal.
Virus Polio dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan
dapat sampai berkilo-kilometer dari sumber penularannya. Penularan terutama terjadi
akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang telah terinfeksi,
namun virus ini hidup di lingkungan terbatas. Virus Polio sangat tahan terhadap
alkohol dan lisol, namun peka terhadap formaldehide dan larutan klor. Suhu yang
tinggi dapat cepat mematikan virus tetapi pada keadaan beku dapat bertahun-tahun
masa hidupnya.
Mekanisme replikasi virus polio di dalam tubuh manusia dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Satu virus polio mendekati sebuah sel saraf melalui aliran darah.
2. Reseptor-reseptor sel saraf menempel pada virus.
3. Capsid (kulit protein) dari virus pecah untuk melepaskan RNA (materi
genetik) ke dalam sel.
4. RNA polio bergerak menuju sebuah ribosom-stasiun perangkai protein pada
sel.
5. RNA polio menduduki ribosom dan memaksanya untuk membuat lebih
banyak RNA dan capsid polio.
6. Capsid dan RNA polio yang baru bergabung untuk membentuk virus polio
baru.
7. Sel inang membengkak dan meledak, melepaskan ribuan virus polio baru
kembali ke aliran darah.
7 | P a g e

Banyak jenis sel manusia memiliki reseptor yang cocok dengan virus polio tak
diketahui mengapa virus suka neuron motorik ketimbang sel lain. Dari 200 virus yang
bertemu sel, hanya satu yang sukses masuk dan bereplikasi. Sistem kekebalan tubuh
melindungi diri dengan memproduksi antibodi yang melawan protein yang ditutupi
virus, mencegah virus berinteraksi dengan sel yang lain.

Gambaran Klinis
Masa inkubasi yang tidak diketahui dengan pasti diperkirakan 7-14 hari.
Gejala klinik bermacam-macam dan digolongkan sebagai berikut:
1. Jenis asimptomatik
Bila tidak ada gejala apa-apa, diduga jenis ini banyak terdapat waktu epidemi
2. Jenis abortive
Bila hanya di dapat gejala-gejala prodormal, sering kali gejala intestinal seperti
anoreksi, mual, konstipasi, nyeri abdomen, disertai nyeri tenggorokan, demam
ringan dan sakit kepala.
3. Jenis non paralitik
Bila terdapat tanda-tanda rangsangan meningeal tanpa adanya kelumpuhan. Suhu
naik sampai 38-39
o
C diseratai sakit kepala dan nyeri otot-otot. Kesadaran tetap
baik, tetapi mungkin penderita mengantuk dan gelisah. Pada pemeriksaan didapati
kekakuan pada kuduk dan punggung disertai tanda kernig, Brudzinky, dan laseque
yang positif, reflex tendon biasanya tidak berubah. Bila penderita ditegakkan
kepala akan terjatuh ke belakang (head drops). Bila anak berusaha duduk dari
sikap tidur maka kedua lututnya ditekuk dengan menunjang kebelakang dan
terlihat kekakuan otot spinal (tripod sign).

8 | P a g e

4. Jenis paralitik
Gejala seperti jenis non paralitik, kemudian disertai dengan kelumpuhan yang
biasa timbul 3 hari setelah stadium preparalitik. Mula-mula otot yang terkena
terasa nyeri dan spastic, kemudian paralitik.
Sesuai tinggi lesi pada susunan saraf pusat yang terkena,jenis poliomyelitis
dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Bentuk spinal
Bila mengenai sel motorik kornu anterior medulla spinalis terjadi kelumpuhan
otot leher, tubuh, diafragma, thoraks, dan ekstrimitas bawah. Yang paling sering
adalah otot besar pada tungkai bawah terutama m. quadrisep femoris. Umumnya
penyebaran otot yang lumpuh tidak simetris dan tidak didapati gangguan
sensorik, reflek tendin menurun atau menghilang.
2. Bentuk bulbar
Bila mengenai initi motorik di batang otak, timbul gangguan 1 atau lebih saraf
otak dengan atau tanpa gangguan pusat vital yaitu system pernafasan dan
sirkulasi.
3. Bentuk bulbospinal
Campuran bentuk bulbar dan spinal.
4. Bentuk ensefalitik atau polio ensefalitik
Bila mengenai cerebrum, ditandai penurunan kesadaran sampai dengan delirium,
tremor, dan kadang-kadang kejang.
5. Bentuk cerebral
Ditandai dengna ataksia dengan atau tanpa kelumpuhan. Kelumpuhan otot akan
berkurang sampai beberapa bulan dalam masa konvalensi setelah 6 bulan sampai
9 | P a g e

beberapa tahun. Otot-otot yang lumpuh tidak dapat sembuh lagi.
Ketidakseimbangan otot-otot antagonis menyebabkan deformitas.







Gambar 2.3 Anak yang terkena polio












Gambar 2.4 Jenis-jenis poliomyelitis berdasarkan tinggi lesi SSP


10 | P a g e

Diagnosis
WHO merekomendasikan bahwa diagnosis laboratorium polio dapat
dikonfirmasi melalui isolasi dan identifikasi virus polio dalam tinja penderita. Dalam
kasus dugaan acute flaccid paralysis , 2 spesimen tinja harus dikumpulkan dalam 24-
48 jam terpisah , sesegera mungkin setelah diagnosis penyakit polio dicurigai .
Konsentrasi virus polio yang tinggi dalam tinja didapatkan dalam 1 minggu setelah
timbulnya gejala kelumpuhan. Hal tersebut merupakan waktu yang optimal untuk
dilakukannya koleksi spesimen tinja .
Virus Polio dapat diisolasi dari 80-90% dari pasien akut , sedangkan hanya
sekitar <20% virus dapat diisolasi dalam waktu 3-4 minggu setelah onset
kelumpuhan. Sebagian besar anak-anak dengan poliomyelitis tulang belakang atau
bulbospinal mengalami sembelit, sedotan rektal dapat digunakan untuk memperoleh
spesimen. Idealnya minimal sekitar 8-10 g feses harus dikumpulkan .
Pada pemeriksaan CSF menunjukkan pleositosis, kadar protein sedikit
meninggi dan kadar glukosa serta elektrolit normal, jumlah sel berkisar antara 10-
3000/mm
3
sedangkan tekanan tidak meningkat. Pada stadium preparalitik atau
paralitik dini lebih banyak ditemukan leukosit PMN tetapi setellah 72 jam lebih
banyak ditemukan limfosit. Peningkatan jumlah jumlah sel mencapai puncaknya pada
minggu pertama kemudian akan kembali normal setelah 2-3 minggu. Kadar protein
CSF berkisar antara 30-12- ng/100ml pada minggu pertama tapi jarang melampaui
150 ng/100ml. kada protein yang meninggi akan bertahan selama 3-4 minggu.




11 | P a g e

Diagnosis Banding
Berikut adalah tabel diagnosis banding dari penyakit poliomyelitis:
Kondisi, faktor atau
agen
Gejala klinis Onset paralisis
Progresivitas
paralisis
Tanda
dan
gejala
sensoris
Reflex
tendon
Residual
paralisis
Pleocytosis
Kornu Anterior Medulla Spinalis
Poliomielitis paralisis Masa inkubasi 7-
14 hari (rata-rata
4-35 hari)
24-48 jam
sampai onset
paralisis penuh
muncul,
ekstrimitas
proksimal >
distal, asimetris
Tidak Ya Ya Moderate
PMN pada
hari ke 2-3
Non-polio enterovirus HFMD,
meningitis
aseptic, AHC
s.d polio s.d polio Tidak Ya Ya s.d polio
West Nile virus Meningitis
ensefalitis
s.d polio s.d polio Tidak Ya Ya Ya
Virus neurotropik lainnya
Virus rabies Bulan-tahunan Akut, simetris,
ascending
Ya Ya No +/-
Varicella-zoster virus Lesi vesicular
eksantematous
Masa inkubasi
10-21 hari
Akut, simetris,
ascending
Ya +/- +/- Ya
Guillain Barre Syndrome
Poliradikuloneuropati
akut
Diawali infeksi,
kelemahan otot
fasial bilateral
Jam-10 hari Akut, simetris,
ascending
Ya Ya +/- Tidak
Neuropati motoris akut Paralisis luas,
kelemahan otot
fasial bilateral
dan lidah
Jam-10 hari 1-6 hari Tidak Ya +/- Tidak
Neuritis akut
Myelitis transversa akut Diakibatkan
oleh
Mycoplasma
pneumonia,
Schistosoma,
infeksi parasit
lain
Jam s/d berhari-
hati
Akut, simetris,
hipotonus
ekstrimitas
bawah
Ya Ya Ya Ya
Neuropati
Infeksi C. difteri Paralisis
palatum,
pandangan
kabur
Masa inkubasi 1-
8 minggu
ya ya +/-
Keracunan C.
botulinum
Nyeri abdomen,
diplopia,
kehilangan
akomodasi,
midriasis
Masa inkubasi
18-36 jam
Cepat,
desending,
simetris
+/- Tidak Tidak
Penyakit Neuromuskular
Myasthenia gravis Lemah, mudah
lelah, diplopia,
ptosis, disartria
multifocal tidak tidak tidak tidak
Otot
Polimyositis Neoplasma,
penyakit
autoimun
Subakut,
proksimal >
distal
Minggu-bulan tidak ya tidak
Viral myositis pseudoparalysis Jam-hari tidak tidak tidak
Gangguan metabolik
Hypokalemic periodic
paralysis
Ekstrimitas
proksimal, otot-
otot respirasi
Tiba-tiba,
postprandial
tidak ya +/- tidak

Management dan Treatment
12 | P a g e

Tidak ada pengobatan antivirus khusus untuk polio. Manajemen bertujuan
untuk membatasi perkembangan penyakit, pencegahan terjadinya kelainan bentuk
tulang, dan persiapan anak dan keluarga untuk pengobatan jangka panjang yang
diperlukan dan untuk cacat permanen. Pasien dengan bentuk nonparalytic dan agak
lumpuh polio dapat diobati di rumah. Semua suntikan intramuskular dan prosedur
bedah merupakan kontraindikasi selama fase akut dari penyakit, terutama dalam 1
minggu sakit, karena ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit.
a. Poliomielitis abortif
Terapi suportif dengan analgesik, sedatif, diet yang menarik, dan bed rest sampai
suhu anak mencapai normal selama beberapa hari biasanya cukup. Hindari
exercise berlebih selama 2 minggu, dan lakukan pemeriksaan muskuloskeletal dan
neurologis yang cermat dalam 2 bulan untuk mendeteksi adanya keterlibatan
minor.
b. Poliomyelitis non paralitik
Pengobatan untuk bentuk nonparalytic mirip dengan tipe abortif; khususnya,
bantuan diindikasikan untuk ketidaknyamanan sesak akibat spasme otot leher,
batang tubuh, dan ekstremitas. Analgesik lebih efektif ketika dikombinasikan
dengan memberikan terapi panas misalnya dengan mandi dengan air hangat
selama 15-30 menit setiap 2-4 jam. Pasien juga harus diperiksa 2 bulan setelah
pemulihan jelas untuk mendeteksi efek residual kecil yang mungkin menyebabkan
masalah postural dalam tahun kemudian.
c. Poliomyelitis paralitik
Kebanyakan pasien dengan bentuk paralitik memerlukan rawat inap dengan
istirahat fisik lengkap selama 2-3 minggu pada minggu pertama. Posisi berbaring
harus diganti setiap 3-6 jam untuk menghindari terjadinya deformitas . Gerakan
13 | P a g e

aktif dan pasif ditunjukkan secepat rasa sakit telah menghilang. Jika terdapat
paralisis otot kandung kemih dapat diinduksi dengan obat bethenecol untuk
menginduksi miksi, tetapi jika gagal dapat di lakukan manual kompresi pada
kandung kemih. Diet diberikan secara adekuat untuk menunjang kesembuhan
pasien. Pemeiksaan neurologis dan ortopedik dilakukan secara hati-hati untuk
menurunkan kejadian deformitas.

Komplikasi
Poliomyelitis paralitik dapat menimbulkan berbagai komplikasi . Dilatasi
lambung akut dapat terjadi tiba-tiba selama tahap akut atau penyembuhan ,
menyebabkan gangguan pernafasan lebih lanjut. Dapat terjadi melena cukup berat
sehingga membutuhkan transfusi, hal ini terjadi akibat erosi usus namun perforasi
jarang terjadi.
Hipertensi ringan dapat terjadi selama berhari-hari atau berminggu-minggu
dan dapat terjadi bersama dengan hiperkalsemia, nefrokalsinosis, dan lesi vaskular
akibat mobilisasi yang lama. Edema paru akut terjadi kadang-kadang , terutama pada
pasien dengan hipertensi. Hiperkalsemia terjadi karena dekalsifikasi tulang yang
dimulai segera setelah imobilisasi dan hasil dalam hiperkalsiuri , yang dapat memicu
terjadi nya kalkulus akibat urin yang stasis atau karena infeksi.

Prognosis
Pada poliomyelitis abortif jarang mengakibatkan kematian dan tanpa gejala
sisa. Prognosis polio paralitik ditentukan terutama oleh derajat dan beratnya
keterlibatan SSP. Dalam poliomyelitis bulbar yang parah, angka kematian mungkin
setinggi 60%, sedangkan pada polio bulbar yang kurang parah tingkat kematian
14 | P a g e

bervariasi dari 5 sampai 10%, dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi lain selain
infeksi virus polio.

Pencegahan
Upaya pencegahan polio dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat pemberian imunisasi
sedini mungkin semasa anak-anak.
2. Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Imunisasi dilakukan untuk memberikan
vaksin polio kepada balita. Vaksin polio yang diberikan ada dua jenis vaksin
polio yaitu:
Vaksin polio oral (OPV)
OPV diberikan ke dalam mulut yang berisi virus polio hidup yang
telah dilemahkan. OPV merangsang pembentukan antibodi baik
antibodi di dalam darah maupun antibodi lokal pada jonjot (vili) usus.
OPV dapat memberikan perlindungan kepada individu sebab jika
diberikan berulang kali, vaksin ini merangsang pembentukan antibodi
dalam darah yang memblokir penyebaran virus ke sistem saraf pusat
dan melindungi seorang anak seumur hidup. Cara memberikannya
adalah dengan meneteskan vaksin polio sebanyak dua tetes langsung
kedalam mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang dicampur
dengan gula manis.
Vaksin polio yang dinonaktifkan/dimatikan (IPV)
Vaksin polio ini mengandung virus polio yang telah dimatikan dan
diberikan dengan cara disuntikkan. Baik OPV maupun IPV kedua-
duanya merangsang pembentukan kekebalan intestinal. Di beberapa
15 | P a g e

negara dikenal pula Tetravaccine yaitu kombinasi DPT dan polio.
Pemberian vaksin polio dapat dilakukan bersamaan dengan BCG,
vaksin hepatitis B, dan DPT.
Imunisasi Polio Dasar yang lengkap adalah 4 kali, yaitu saat bayi lahir
(Polio-), usia 3 bln (Polio-1), usia 4 bln (Polio-2) dan usia 5 bln (Polio-
3). Dengan lengkap 4 kali dimaksudkan bayi dapat menyusun
antibodinya dengan maksimal, untuk suatu proteksi 5-10 thn. Imunisasi
polio diberikan sebanyak empat kali dengan selang waktu tidak kurang
dari satu bulan. Imunisasi ulangan dapat diberikan sebelum anak
masuk sekolah (56 tahun) dan saat meninggalkan sekolah dasar (12
tahun)
Survailance Acute Flaccid Paralysis atau penemuan penderita yang
dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun harus diperiksa
tinjanya untuk memastikan karena polio atau bukan.
Melakukan Mopping Up
pemberian vaksinasi masal di daerah yang ditemukan penderita polio
terhadap anak usia di bawah 5 tahun tanpa melihat status imunisasi
polio sebelumnya.
Peningkatan sanitasi lingkungan dan higiena sanitasi perorangan.
Karena penyebaran virus polio ini melalui tinja, maka masyarakat
dihimbau menjaga kebersihan lebih baik lagi, terutama pada jamban di
rumah-rumah mereka serta selalu melakukan cuci tangan dengan air
mengalir dan menggunakan sabun bila akan melakukan sesuatu
pekerjaan seperti makan.
16 | P a g e

Konsumsi makanan yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh
seperti vitamin C.

2.2 Ilustrasi Kasus
Data Administrasi Pasien
a. Nama / Umur : -
b. No register : -
c. Status Kepegawaian : -
d. Status Sosial : -

Data Demografis
a. Alamat : -
b. Agama : -
c. Suku : -
d. Pekerjaan : -
e. Bahasa Ibu : -
f. Jenis Kelamin : -

Data Biologik
a. Tinggi Badan : -
b. Berat Badan : -
c. Habitus : -



17 | P a g e

Data Klinis
a. Anamnesis
Keluhan utama : demam dan kaki kanan terasa lemah
Anamnesis Khusus :
Os datang dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu. Keluhan disertai
dengan mual muntah, sakit perut, malaise, nyeri kepala. Os juga merasakan
adanya kaku dan kram pada otot leher, punggung, serta kaki sebelah kanan.
Menurut ibu os, os tampak terlihat kurus dan tidak nafsu makan sejak os sakit,
karena tenggorokannya terasa sakit ketika menelan. Keluhan juga disertai dengan
air liur yang berlebih pada bibir pasien dan kesadaran pasien yang semakin
menurun, selain itu os terlihat lemas, lesu dan malas bergerak. Menurut ibu os,
satu minggu sebelumnya os mengalami diare dan sempat dirawat di rumah sakit.
Os lahir dari ibu G1P0A0, dengan kehamilan cukup bulan dan saat
persalinan ditolong oleh bidan. Menurut ibu, os selama ini os tidak mendapatkan
imunisasi dasar yang lengkap, os hanya mengikuti imunisasi sampai umur 4
bulan. Riwayat penyakit yang sama di keluarga os tidak ada.

b. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum: Tampak sakit berat
Kesadaran : Somnolen
Tanda-Tanda Vital : T 90/60 mmHg, N 60x/menit, RR 16x/menit
Kepala
Kuduk kaku : +
Wajah : Simetris
18 | P a g e

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Hidung : Sekret hidung (-)
Telinga : Sekret telinga (-)
Mulut : Tidak ada lesi
Leher : KGB tidak teraba membesar.
Thorax : Bentuk dan pergerakan simetris.
Paru-paru dan Jantung: dalam batas normal.
Abdomen : datar dan lembut, BU + normal, nyeri tekan abdomen +
Genitalia : Tidak diperiksa
Ekstremitas : edema -/-, CRT <2
Status neurologis :
a. Tonus otot : Ekstremitas atas : normotonus
Ekstremitas bawah : flaccid, hipotonus
b. Kekuatan motorik :

c. Sensorik : Ekstremitas atas : normal, Ekstremitas bawah : hipesthesia
(-)
d. Refleks Fisiologis
Refleks Biceps/Triceps/Wrist Joint : positif/positif
Refleks Patella & Achilles : negatif/positif
e. Refleks Patologis : positif/negatif



5 5
5 0
19 | P a g e

Pemeriksaan Laboratorium
1. Lab darah rutin
Hb : 12.8 gr/dl
Ht : 35%
Leukosit : 30.000 sel/mm3
Trombosit : 300.000 sel/mm3
2. Apus tenggorok : + virus polio

Diagnosa Banding
1. Poliomyelitis tipe paralitik
2. Sindrom Guillain Barre
3. Ensefalitis

Diagnosa Kerja
1. Poliomyelitis tipe paralitik









20 | P a g e

BAB III
PERENCANAAN DAN INTERVENSI MASALAH

3.1 Perencanaan
Perencanaan intervensi dilakukan dengan menggunakan metode penyuluhan
yang bersifat individu. Metode penyuluhan individu dilakukan dibalai pengobatan
dengan sasaran utama pasien dan keluarga pasien.

3.2 Intervensi Masalah
Metode penyuluhan individu dapat dilakukan di balai pengobatan dengan
memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya. Edukasi yang diberikan dapat
berupa :
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya merupakan
infeksi yang disebabkan oleh virus polio. Mula-mula ditandai dengan gejala-gejala
prodormal kemudian diikuti dengan timbulnya kelumpuhan pada ekstrimitas
tungkai bawah
b. Menjelaskan hubungan kejadian poliomielitis dengan kesehatan lingkungan
kepada keluarga pasien terutama ibu pasien, dengan memperhatikan dan menjaga
kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene, menggunakan air yang
bersih, kebiasaan mencuci tangan dengan air mengalir dan memakai sabun setelah
membersihkan anak yang mengidap polio setelah BAB dan sebelum makan.
c. Memberikan motivasi kepada keluarga untuk melakukan latihan fisioterapi



21 | P a g e

BAB IV
PELAKSANAAN INTERVENSI

1.1 Strategi Penanganan Masalah
Diagnosis Klinis : Poliomielitis
Penanganan masalah :
a. Promotif :
Memberikan informasi mengenai PHBS, terutama mengenai kebiasaan
cuci tangan sebelum makan, atau memberi makan anak yang sehat.
Memberikan informasi mengenai penyebab penyakit, pencegahan dan
komplikasi yang bisa terjadi
b. Preventif :
Berikan edukasi kepada orang tua pasien tentang manfaat pemberian
imunisasi sedini mungkin semasa anak-anak, guna mencegah anak
selanjutnya mengidap polio.
Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Imunisasi dilakukan untuk memberikan
vaksin polio kepada balita. Vaksin polio yang diberikan ada dua jenis
vaksin polio yaitu Vaksin polio oral (OPV) dan Vaksin polio yang
dinonaktifkan/dimatikan (IPV).
Survailance Acute Flaccid Paralysis
Melakukan Mopping Up
Peningkatan sanitasi lingkungan dan higien sanitasi perorangan. Karena
penyebaran virus polio ini melalui tinja, maka masyarakat dihimbau
menjaga kebersihan lebih baik lagi, terutama melakukan cuci tangan bila
akan melakukan sesuatu pekerjaan seperti makan atau setelah
membersihkan anak setelah BAB.
22 | P a g e

Konsumsi makanan yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh seperti
vitamin C.
c. Kuratif
Memberikan obat-obatan untuk mengurangi gejala, seperti obat
penurun panas Parasetamol 3x1 sendok.
d. Rehabilitasi
Kelumpuhan ditatalaksana dengan cara rehabilitasi medik, yaitu
latihan-latihan tertentu, bila keadaan sudah stabil. Untuk memulihkan fungsi
tubuh setelah mengalami kelumpuhan akibat poliomyelitis dan dapat
mencegah terjadinya deformitas dapat dilakukan dengan cara fisioterapi ,
menggunakan sepatu khusus yaitu bidai (alat batu berjalan) dan operasi
ortopedik.









Gambar 4.1 Imunisasi polio pada anak

23 | P a g e











Gambar 4.2 Contoh leaflet polio

Gambar 4.3 Pekan Imunisasi Nasional
24 | P a g e











Gambar 4.4 Teknik mencuci tangan yang benar














25 | P a g e





















Gambar 4.5 Penjelasan mengenai perjalanan penyakit polio kepada keluarga pasien
26 | P a g e


Gambar 4.6 Peran Pasien dan Keluarga dalam Pencegahan Penyakit Polio








Gambar 7. Peran pasien dan keluarga dalam upaya rehabilitasi penyakit polio



27 | P a g e

BAB V
MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring difokuskan pada aspek promotif dan preventif dengan
mewujudkan kesehatan lingkungan yang dapat mencegah penyebaran penyakit polio.
Peran serta keluarga dan masyarakat merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan,
kelangsungan dan kemandirian pembangunan kesehatan, terutama dalam hal ini
mengenai pengobatan pasien dan pencegahan penyebaran penyakit polio. Peran serta
keluarga dan masyarakat dalam pencegahan penyakit polio diwujudkan antara lain
dengan menjalankan cara hidup sehat dan penyelenggara berbagai upaya / pelayanan
kesehatan. Penerapan PHBS oleh keluarga pasien dan pasien sendiri sebaiknya juga
dievaluasi dengan mengadakan kunjungan rumah untuk menilai kesehatan
lingkungan tempat tinggal pasien













28 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

1. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: ECG; 2009.
2. Merdjania A, Syoeib AA, Tumbelaka AR, Chaerulfatah A, Kaspan F,
Setiabudi D. Buku ajar infeksi dan pediatric tropis. Edisi kedua. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2002.
3. Corwin E.J Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009.
4. Marcdante KJ, Kleigman RM, Jenson HB, Behrman RE, Alpert JJ, Bishop
WP. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Edisi keenam. Singapura: Saunders
Elsevier; 2011.
5. Jawetz, E., 1995, Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, edisi 16. EGC,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai