Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit polio merupakan penyakit polio paralisis yang disebabkan oleh virus.
Agen pertama penyakit ini merupakan virus yang dinamakan poliovirus (PV) dan
masuk ke tubuh melalui mulut dan menginfeksi usus. Virus ini dapat memasuki aliran
darah dan mengalir ke sistem saraf pusat yang menyebabkan melemahnyaotot dan
terkadang kelumpuhan ( Chin, 2006 : 482 ). Polio termasuk penyakit menular melalui
kontak antar manusia, dapat menyebar luas secara diam-diam karena sebagian
penderita yang terinfeksi polio virus tidak memiliki gejala sehingga tidak tahu kalau
mereka sendiri sedang terjangkit (Cahyono, 2010).
Penyakit polio pertama kali terjadi di Eropa pada abad ke 18 dan menyebar ke
Amerika Serikat beberapa tahun kemudian. Penyakit polio juga menyebar ke negara
maju belahan bumi utara yang bermusim panas. Kejadian terjangkit penyakit polio
terus meningkat akibat penyakit ini. Penyakit polio terus menyebar luas di Amerika
Serikat pada tahun 1952 dengan penderita 20.000 orang (Miller,N.Z,2004). Sampai
tahun 1998, rata-rata 8-10 kasus yang terkait dengan virus polio dilaporkan setiap
tahun. Empat kasus dengan vaksin berasal dari polio virus diidentifikasi pada
kalangan anak-anak di sebuah masyarakat Amish yang tidak bervaksin di Minnessota.
Semenjak tahun 2004, hanya ada 5 negara dimana transmisi virus polio tidak pernah
putus, diantaranya adalah India, Mesir, Pakistan, Nigeria dan Afganistan. Meskipun
kemajuan signifikan telah dibuat dalam pemberantasan penyakit infeksi ini di negaranegara tersebut, peningkatan jumlah kasus pada tahu 2006 tetap ada dan terlapor.
(L.heymann,2004).
Sejak tahun 1923-1953, vaksin polio telah diperkenalkan dan diberikan tetapi
angka kematian penyakit polio di Amerika Serikat dan Inggris masih tinggi, sekitar
47% sampai 55&. Sedangkan pada data statistik, kejadian yang berbeda terjadi di
Eropa yang menunjukkan penurunan angka kematian. Ketika vaksin polio tersedia di
Eropa, banyak orang bertanya tentang manfaat dan efektifitas vaksin polio karena
banyak warga Eropa yang menggunakan vaksin polio namun masih terserang polio.
(L.Heyman,2004).
1

Di tahun 1995 Indonesia melancarkan kampanye besar-besaran lewat Pekan


Imunisasi Nasional (PIN) untuk memerangi penyakit infeksi virus ini. Setelah l.k 10
tahun Indonesia dinyatakan bebas polio, namun pada awal tahun 2005 di Indonesia
kembali timbul epidemi polio dengan l.k 15 kasus di Sukabumi, Jawa Barat, sehingga
DepKes menganggap perlu untuk di bulan Agustus 2006 melakukan vaksinansi
massal dengan vaksin polio oral (OPV,Sabin). Dalam rangka membebaskan Indonesia
dari virus polio, imunisasi terpadu terus digalakan. Sejak tahun 2005 sudah 5 kali
dilaksanakan PIN dan terakhir di tahun 2006 dengan target Indonesia harus bebas
polio pada tahun 2008. Virus polio yang timbul kembali di Indonesia pada tahun 2005
diperkirakan berasal dari negara Afrika-Asia dimana penyakit ini masih endemik,
seperti Sudan, Nigeria, Pakistan, India dan Afganistan.
Penyakit polio dapat menyerang semua kelompok umur, namun kelompok
umur yang paling rentan adalah 1-15 tahun dari semua kasus polio (Surya,2007).
Penelitian Soemiatno dalam Apriyatmoko (1999) menyebutkan bahwa 33,3% dari
kasus polio adalah anak-anak di bawah 5 tahun. Imfeksi oleh golongan enterovirus
lebih banyak terjadi pada laki-laki daipada wanita dengan perbandingan 1,5-2,5 :1.
Risiko kelumpuhan meningkat pada usia yang lebih tinggi, terutama bila menyerang
individu lebih dari 15 tahun (Sardjito,1997). WHO memperkirakan adanya 140.000
kasus baru dari kelumpuhan yang diakibatkan oleh polimyetis sejak tahun 1992
dengan jumlah keseluruhan penderita anak yang menderita lumpuh akibat polio
diperkirakan 10 sampai 20 juta orang.
Masalah keperawatan yang muncul meliputi nyeri, nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, ansietas serta gangguan mobilitas fisik, dimana hal tersebut menjadi
perhatian utama dalam penanganan dan pencegahan pnyakit polio. Pencegahan paling
efektif menanggulangi penyakit polio seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah
dengan pemberian vaksin. Pada saat ini terdapat dua jenis vaksin polio, yaitu OVP
(Oral Polio Vaccine) dan IPV (Inactivted Polio Vaccine). Namun kurangnya kesadaran
masyarakat tentang pentingya polio menjadi penyakit endemik di beberapa negara.
Dengan begitu, diharapkan tersusunnya makalah ini mampu menjawab berbagai
pertanyaan yang muncul di masyarakat tentang polio dan penanggualangannya.

1.2 Rumusan Masalah


2

Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kasus polio ?


1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami polio.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa

dapat

mengetahui,

memahami

dan

memberikan

asuhan

keperawatan klien dengan polio yang dihubungkan dengan imunisasi polio.

BAB II

TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Penyakit polio adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa
penyakit ini, sebuah virus dinamakan polivirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut,
menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke system
saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (QQ_Scarlet, 2008).
Infeksi virus poilo terjadi di dalam saluran pencernaan yang menyebar ke kelenjar limfa
regional sebagian kecil menyebar ke system syaraf (Chin, 2006:482).
Penyakit polio dapat menyerang smua kelompok umur, namun kelompok umur
yang paling rentan adalah 1-15 tahun dari semua kasus polio (Surya, 2007). Penelitian
Soemiano dalam Apriyatmoko (1999) menyebutkan bahwa 33.3% dari kasus polio adalah
anak di bawah 5 tahun. Infeksi golongan enterovirus lenih banyak terjadi pada laki-laki
dari pada wanita (1.5-2,5:1). Risiko kelumpuhan meningkat pada usia yang lebih tinggi,
terutama bila menyerang individu lebih dari 15 tahun (Sardjito,1997) dalam Utami 2006).
WHO memperkirakan adanya 140.000 kasus baru dari kelumpuhan yang diakibatkan oleh
poliomyelitis sejak tahun 1992 dengan jumlah keseluruhan penderita anak yang menderita
lumpuh akibat polio diperkirakan 10 sampai 20 juta orang (Biofarma, 2007).
Pemenuhan citeria telah ditetapkan WHO dan berhubungan persyaratan specimen
tinja untuk diuji di laboratorium. Hal yang berhubungan dengan specime tinja surverlans
AFP antara lain ketepatan waktu pengambilan stempel yang optimun yaitu tidak lebih dari
14 hari terjadinya paralysis, jumlah specimen yang diambil dengan jumlah yang cukup
sebanyak 2 kali, dengan selang waktu 24 jam, menggunakan wadah khusus untuk diuji di
laboratorium, penanganan dan pengiriman specimen harus diilakukan sedemikian rupa
sehingga suhunya terjaga 2-8 derajat dan tetap dalam keadaan segar (Ditjen PP & PL,
2006).
2. 2 Etiologi
Polio ini disebabkan oleh virus polio. Virus polio merupakkan virus yng termasuk
ke dalam genus enterovirus. Virus polio memiliki tiga tipe, yaitu tipe 1, 2 dan 3. Ketiga
virus tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan. Di alam bebas, virus polio dapat bertahan
selama 48 jam pada musim kemarau dan dua minggu pada musim hujan. Di dalam usus
manusia, virus dapat bertahan hidup sampai dua bulan. Virus polio tahan terhadap sabun,
4

detergen, alkohol, eter, dan kloroform, tetapi virus ini akan mati dengan pemberian
formaldelhida 0,3% klorin, pemanasan, dan sinar ultraviolet (Widoyono, 2011).
Virus poliomyelitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel. Dapat diidolasi 3
strain virus tersebut yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (lansing), tipe 3 (Leon). Infeksi dapat
terjadi oleh satu atau lebih tipe tersebut, yaitu dapat dibuktikan dengan dibuktikan dengan
ditemukannya 3 macam zat anti dalam serum seorang penderita. Epidemi yang luas dan
ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1, epidemi yang ringan oleh tipe 3 sedangkan
tipe 2 kadang-kadang menyebabkan kasus yang sporadik (Ngastiyah, 1997).
Polivirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat
menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terhjadi dalam
hitungan jam. Polio memnyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi
pada anak usia antara 3 hingga5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala pertama berkisar
dar 3 hingga 35 hari.
Polio adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit peradaban.
Polio menular melaluyi kontak antar manusia. Polio dapat, menyebar luas diam-diam
karena sebagian besar penderita yang terinfeksi poliovirus tidak memiliki gejala sehingga
tidak tahu kalau mereka sendiri sedang terjangkit.
Virus masuk kedalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan
atau minuman yang terkontaminasi feses. Setelah seseorang terkena infeksi, virus akan
keluar melalui feses selama beberapa minggu dan saat itulah dapat terjadi penyularan
virus. Virus polio adalah virus yang termasuk dalam famili picornaviridae dan merupakan
penyebab penyakit poliometis. Virus ini memiliki diameter -30 mm, tahan pada keadaan
asam (pH3 atau lebih rendah), dan berbentuk ekosahedral. Virion (partikel penyusun) virus
polio terdiri dari empat protein kapsid yang berbeda, disebut VP1, VP2, VP3 dan VP4.
Genom (materi genetik) dari virus polio terdiri dari RNA utas tunggal positif (+) yang
berukuran 7441 nukleotida.
2.3 Patofisiologi
Polivirus merupakan RNA yang di transmisikan melalui infeksi dropiet dari
oral-faring (mulut dan tenggorokan) atau feses penderita yang terinfeksi. Penularan
terutama terjadi langsung dari manusia ke manusia melalui fekal-oral (dari feses ke mulut)
atau yang agak jarang melalui oral-oral (dari mulut ke mulut). Melalui rute oral-fekal,
5

yaitu dari konsumsi dari air yang terkontaminasi feses (kotoran manusia). Sementara itu,
oral-oral adalah penyebaran dari air liur penderita yang masuk ke mulut manusia sehat
lainnya.
Apabila virus polio masuk kedalam tubuh melalui jalur makan (mulut) dan hidung,
berkembang biak di dalam tenggorokan dan saluran pencernaan, diserap dan disebarkan
melalui system pembuluh getah bening nasofaring atau usus, dan kemudian menyebar
melalui darah ke seluruh tubuh. Setelah virus masuk kedalam jaringan tubuh, virus akan
mengeluarkan neurotropik yang akan merusak akhiran saraf pada otot, yang menyebabkan
kelumpuhan dari organ gerak bahkan sampai otot mata.
Bila tertelan virus yang virulenm kira-kira 7-10 hari setelah tertelan virus,
keemudian terjadi penyebaran termasuk ke susunan syaraf pusat. Penyakit yang ringan
(minor illines) terjadi pada saat viremia, yaitu kira-kira hari ketujuh, sedangakan major
illness ditemuakn bila konsentrasi virus disusun syaraf pusat mencapai puncaknya yaitu
pada hari ke 12-14.
Daerah yang biasanya terken poliomyelitis adalah :
1. Medula spinalis terutama komu anterior.
2. Barang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta formasio
retikularis yang mengandung pusat vital.
3. Sereblum terutama inti-inti virmis.
4. Otak tengah midbrain terutama masa kelabu substansia nigra dan kadang-kadang
nucleus rubra.
5. Talamus dan hipoyalamus.
6. Palidium.
7. Korteks serebri, hanya daerah motorik.
Ketahanan virus di tanah dan air sangat bergantung pada kelembapan suhu dan
mikroba lainnya. Virus itu dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan,
bahkan hingga berkilo-kilometer dari sumber penularan. Meski penularan terutama
akibat tercernanya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, virus itu
hidup di lingkungan terbatas.

2.4 Manifestasi Klinis


Penyakit polio terbagi 3 jenis sebagai berikut (Suharjo, 2010) :
1. Polio non-paralisis yang menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, kram otot
pada leher dan punggung otot terasa lembek jika disentuh. Hal ini berlangsung 210 hari dan akan sembuh sempurna.
2. Polio paralisis spinal, yang menyerang saraf tulang belakang dan menghancurkan
sel pengontrol pergerakan tubuh. Kelumpuhan paling sering ditemukan pada kaki.
Namun, pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum di vaksinasi
virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian saraf tulang belakang dan batang
otak yang mengakibatkan kelumpuhan seluruh anggota gerak badan. Kelumpuhan
pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas kondisi ini disebut accute flaccid
paralysis (AFP). Kelumpuhan tersebut bersifat asimetris (salah satu sisi) sehingga
menimbulkan deformitas (gangguan bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau
bahkan menjadi lebih berat. Kelumpuhan itu berjalan bertahap dan memakan dua
hari hingga dua bulan. Sekitar 50%-70% fungsi otot pulih dalam waktu 609 bulan.
Kemudian setelah dua tahun, diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan kekuatan
7

otot. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami
gejala tambahan di masa depan seperti layu otot, gejala ini disebut sindrom postpolio. Bagi penderita dengan tanda klinik paralitik 30% akan sembuh 30%
menunjukkan kelumpuhan ringan, 30% menunjukkan kelumpuhan berat dan 10%
menimbulkan kematian.
3. Polio bulbar, yang disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga batang
otak ikut terserang. Batang otak mengandung sel pengatur pernafasan dan saraf
yang mengirim sinyal ke berbagai otot yang mengontrol pergerakan bola mata,
muka, pendengaran, proses menelan dan berbagai fungsi dikerongkongan,
pergerakan lidah dan rasa, saraf yang mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru
dan saraf tambahan pengatur pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio
bulbar dapat menyebabkan kematian.
2.5 Penatalaksaan
a. Upaya pencegahan
Cara pencegahan yang utama adalah dengan memberikan imunisasi polio,
mengatakan kebersihan diri dan lingkungan keluarga, serta kebersihan alat dan bahan
makanan serta minuman. Ada beberapa langkah upaya pencegahan penyakit polio ini,
diantaranya :
1. Eradikasi Polio
Dalam World Health Assembly tahun 1988 yang diikuti oleh sebagian besar
negara di seluruh penjuru dunia dibuat kesepakatan untuk melakukan Eradikasi
Polio (ERAPO) tahun 2000, artinya dunia bebas polio tahun 2000. Program ERAPO
yang pertama dilakukan adalah dengan melakukan cakupan imunisasi yang
menyeluruh.
2. PIN (Pekan Imunisasi Nasional)
Selanjutnya, pemerintah mengadakan PIN tahun 1995, 1996, dan 1997. Imunisasi
polio yang harus diberikan sesuai dengan rekomendasi WHO yaitu diberikan sejak
lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian diulang pada saat usia
1,5 tahun, 5 tahun, dn usia 15 tahun.
3. Survailance Acute Flaccidd Paralysis
Yaitu mencari penderita yang dicurigai lumpuh layu pada usia di bawah 15 tahun.
Mereka harus diperiksa tinjanya untuk memastikan apakah karena polio atau bukab.
Berbagai kasus yang diduga polio harus benar-benar diperiksa di laboratorium
karena bisa saja kelumpuhan yang terjadi bukan karena polio.
4. Mopping Up
Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak usia d bawah 5 tahun di daerah
ditemukannya penderita polio tanpa melihat statsus imunisasi polio sebelumnya.
8

Tampaknya di era globalisasi simana mobilitas penduduk antar negara sangat


tinggi dan cepat muncul kesulitan dalam mengendalikan penyebaran virus ini. Selain
pencegahan dengan vaksinasi polio, tentu harus disertai dengan peningkatan sanitasi
lingkungan dan sanitasi perorangan polio. Pengguanaan jamban keluarga, air bersih
memenuhi persyaratan kesehatan, serta memelihara kebersihan makanan merupakan
upaya pencegahan dan mengurangi resiko penularan virus polio yang kembali
mengkhawatirkan.
b. Pengobatan
Seorang penderita polio akan sulit diobati. Salah satu pengobatannya adalah dengan
pemberian imunisasii sejak balita. Pendertita polio dapat menular melalui air liur/feses.
Virus polio dapat tahan dengan alkohol dan lisol, tetapi peka terhadap fermoldehida dan
larutan klorin. Suhu yang tinggi dapat mematikan virus tersebut. Namun, suhu yang
rendah dapat membuat virus ini bertahan hingga bertahun-tahun. Pemberian imunisasi
polio saat balita sangat membantu pencegahan polio di masa depan. Penyakit polio akan
lebih berbahaya jika menyerang orang dewasa yang belum diimunisasi sama sekali. Tidak
ada pengobatan untuk orang yang terinfeksi hanya pengobatan suportif. Seperti :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Analgesik
Bed rest untuk penyembuhan
Diet bernutrisi
Minimalakan excersice
Kompres hangat pada nyeri otot
Perawatan di rumah sakit untuk paralitik
Komplikasi polio pad kelemahan lengan dan kaki

2.6. Komplikasi
Beberapa pasien mengidap poliomyelitis, selama 10-40 tahun kemudian akan
menampakkan puncak dari gejala seperti kelemahan otot, penurunan kemampuan
beraktifitas sehari-hari dan atrofi otot. Gejala ini didefinisikan sebagai atrofi otot postpolio yang berlanjut. Manifestasi lain dari post-polio sindrom termasuk nyeri otot,
deformitas tulang, kelelahan dan kram. Perkembangan kemunduran otot post-polio
sindrom umumnya lambat dan pada beberapa kasus tidak bisa dilihat hanya dalam 1-2
tahun (Berlin, 2012).
Beberapa komplikasi lain yang muncul mungkin terjadi, diantaranya :
9

1. Melena cukup berat sehingga memerlukan transfusi mungkin akibat dari satau atau
banyak erosi usus superficia, perforasi usus jarang..
2. Dilatasi lambumg akut dapat terajdi mendadal selama stadium akut atau konvalesen,
menyebabkan gangguan respirasi lebih lanjut, merupakan indikasi aspirasi lambung
segera dan pemakaian kantong eksternal.
3. Hipertensi ringan yang lamanya beberapa hari atau beberapa minggu biasa pada
stadium akut, mungkin akibat lesi pucat vasoregulator dalam medula dan terutama
akibat kurang ventilasi.
4. Pada stadium lebih lanjut, karena imobilisasi, hipertensi dapat terjadi bersama
hiperkalsemia, nefrokalsinosis, dan lesi vaskuler.
5. Penglihatan kurang terang, nyeri kepala, dan rasa agak pusing yang bersama dengan
hipertensi harus dipandang sebagai peringatan konvlusi yang nyata.
6. Ketidakteraturan jantung tidak biasa, tetapi kelainan elektrokardiografi yang
memberi kesan miokarditis sering.
7. Kadang-kadang terjadi edema paru akut, terutama pada penderita dengan hipertensi
arterial. Emboli paru tidak biasa meskipun ada immobilisasi.
8. Abnomal neurologis, saraf yang mungkin terjadi pada pasien pengidap polionndan
menyebabkan eksasebasi atropi otot dan kelemahan.
9. Dekalsifikasi skelet mulai segera sesudah immobilisasi dan menyebabkan
hiperkalsiuria, yang selanjutnya memberi kecenderungan terhadap kalkuli, terutama
bila ada stastis urin dan infeksi. Masukan cairan yang banyak merupakan satusatunya cara profilaksis yang efektif. Penderita harus di mobilisasi sebanyak dan
seawal mungkin.
2.7 Prognosis
Prognosis Poliomyelitis tergantung pada jenis polio (sub-klinis, non paralitik atau
paralitik) dan bagian tubuh yang terkena. Jika tidak menyerang otak dan korda spinalis,
merupakan suatu keadaan gawat darurat yang mungkin akan menyebabkan kelumpuhan
atau kematian (biasanya akibat gangguan pernafasan). (Behrman et al, 1999).
Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian mana yang terkena. Bentuk spiral
dengan paralisis pernafasan dapat ditolong dengan bantuan pernafasan mekanik. Tipe
bulber prognosis buruk, kematian biasanya karena kegagalan fungsi pusat pernafasan atau
infeksi sekunder pada jalan nafas. Otot-otot yang lumpuh dan tidak pulih kembali
menunnjukkan paralisis tipe flasid dengan atonia, arefleksia dan degenarasi.
Komplikasi residural tersebut ialah kontraktur terutama sendi, subluksasi bila otot
yang terkena sekita sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi yang kurang sempurna hingga
mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedi. (Widyono,
2008).
10

Masalah prognosis yang paling utama adalah seberapa rusaknya sel induk besar
bagian aterior di spinal cord. Otot-otot terserang polio yang telah menunjukkan awal dan
kembalinya kekuatan yang berkembang dengan pesat mungkin dapat sembuh total. Hal itu
dapat terjadi, namun pasien yang hanya memiliki sedikit kekuatan otot pada akhir periode
ini mungkin tidak akan pernah membuat pemulihan lengkap. Otot yang lumpuh pada akhir
periode ini mungkin akan selalu tetap demikian. Dengan kata lain, pada akhir periode ini,
sel-sel motorik tukang belakang telah atau belum pulih aktivitas fisiologis mereka dan
tidak ada perubahan di dalamnya yang dapat diharapkan lebih lanjut. (Shell, 2009).

11

BAB III
GAMBARAN KASUS
Anak W berumur 3 tahun dibawa oleh kakaknya ke RS. Kakak pasien
menyatakan bahwa adiknya tiba-tiba merasa lemas di sekujur tubuhnya, dan tungkai
kanan susah digerakkan. Gejala awal demam (Suhu 38,9 C), kemudian mual-mual dan
muntah disertai pusing, hingga sekarang tidak mampu berdiri dan berjalan.
Kakak pasien merasa cemas karena adiknya belum pernah mendapatkan vaksin polio
sejak kecil. Imunisasi Hepatitis B-1 diberikan waktu 12 jam setelah lahir, BCG
diberikan saat lahir, Polio oral belum pernah diberikan. Tahap perkembangan anak
menurut teori psikososial, An. W mencari kebutuhan dasarnya seperti kehangatan,
makanan dan minuman serta kenyamanan dari orang tua sendiri. Keluarga berperan
aktif terutama ibu klien An. W dalam merawat klien. Lingkungan sekitar rumah
berada di area pemukiman kumuh. Persepsi keluarga tentang penyakit anak, keluarga
menganggap penyakit anak sebagai cobaan Tuhan.
Sebelum sakit nafsu makan anak normal, namun. Sebelum sakit, BAB anak
normal 1X sehari, warna kulit kecoklatan, tekstur lunak, bau khas, sedangkan BAK
normal, warna kuning, aromatik, tidur dan istirahat 10 jam sehari, 2 jam tidur siang
dan 8 jam tidur malam. Selama sakit, nafsu makan berkurang, BAB konstipasi, BAK
normal, warna kuning, bau khas, selama sakit sering terbangun. Hasil pemeriksaan
fisik didapatkan data RR normal (19x/menit), tidak ada penggunaan otot bantu
pernafasan. Pada pemeriksaan sampel feses ditemukan adanya Poliovirus. Pada
pemeriksaan serum ditemukan adanya peningkatan antibody.
Kemampuan Perawatan Diri

Kemampuan melakukan ROM


Kemampuan Mobilitas di tempat tidur
Kemampuan makan/minum

12

Kemampuan toileting

Kemampuan Mandi

Kemampuan berpindah

Kemampuan berpakaian

Ket. : 0 = Mandiri

1= Menggunakan alat bantu 2 = dibantu orang lain

3 = Dibantu orang lain dan alat

4 = Tergantung Total

13

BAB IV
PEMBAHASAN
3.1

Pengkajian
3.1.1 Amannesis
A.

B.

Identifikasi klien
Nama

: An. W

Umur

: 3 Tahun

Jenis Kelamin

:Laki-laki

Agama

: Islam

Pendidikan

: PAUD

Suku / Bangsa

: Jawa / Indonesia

Alamat

: Sutorejo gang 20 No. 39, Surabaya

Tanggal MRS

: 31 Oktober 2014

Tanggal pengkajian

: 31 Oktober 2014

Diagnosa Medik

: Polio

Jam MRS : 14.00 WIB

Identitas Orang tua


1. Ayah

2. Ibu

a. Nama

: Tn. T

a. Nama

: Ny. s

b. Usia

: 35 tahun

b. Usia

: 33 tahun

c. Jenis Kelamin

: Laki-laki

c. Jenis Kelamin

: Perempuan

d. Pendidikan

: SLTA

d. Pendidikan

: SLTA

14

C.

Identitas Saudara Kandung

No.

Nama

Usia

Hubungan

Status
Kesehatan

1.

Tn. A

20 tahun

Kakak Kandung

Baik

3.1.2

Keluhan Utama : Lemas, tungkai kanan susah digerakkan

3.1.3

Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan saat ini : Kakak pasien menyatakan bahwa adiknya tiba-tiba
merasa lemas di sekujur tubuhnya, dan tungkai kanan susah digerakkan. Gejala awal
demam (Suhu 38,9 C), kemudian mual-mual dan muntah disertai pusing, hingga
sekarang tidak mampu berdiri dan berjalan.
Riwayat kesehatan masa lalu :
Imunisasi : Hepatitis B-1 diberikan waktu 12 jam setelah lahir, BCG diberikan saat
lahir, Polio oral belum pernah diberikan.
Status Gizi : Baik, Tahap perkembangan anak menurut teori psikososial : Klien An.
W mencari kebutuhan dasarnya seperti kehangatan, makanan dan minuman serta
kenyamanan dari orang tua sendiri.
Penyakit yang pernah dialami : Batuk : iya, Demam : iya, Diare : - , Kejang : Kecelakaan yang dialami : Jatuh : -, tenggelam : -, lalu lintas : -, keracunan : Pernah dioperasi : Allergi : makanan : -, obat-obatan : -, zat/substansi kimia : -, textil : Konsumsi obat-obatan bebas : -.
Perkembangan anak dibanding saudara-saudaranya : Sama
Riwayat Kesehatan Keluarga : alergi : -, asma : -, TBC : -, hypertensi : -, penyakit
jantung : -, stroke : -, anemia : -, hemopilia : -, arthritis : -, migrain : -, DM : -,
kanker : -, Jiwa : -.
15

3.1.4

Riwayat Imunisasi

No.

Jenis Imunisasi

Waktu Pemberian

Reaksi setelah
pemberian

1.

BCG

Saat lahir

Normal

2.

Polio (I,II,III,IV)

Belum pernah

Normal

3.

Hepatitis

12 jam setelah lahir

Normal

3.1.5

Pengkajian pola Gordon :


1.

Pola Persepsi Kesehatan : Kakak pasien tampak merasa cemas karena adiknya
belum pernah mendapatkan vaksin polio sejak kecil, Persepsi keluarga tentang

2.

penyakit anaknya itu karena cobaan Tuhan.


Pola Nutrisi Metabolik :
Sebelum sakit : Nafsu makan anak normal
Saat pengkajian : Nafsu makan berkurang

3.

Pola Eliminasi :
Sebelum sakit : BAB anak normal 1X sehari, warna kulit kecoklatan, tekstur
lunak, bau khas, sedangkan BAK normal, warna kuning, aromatik
Saat pengkajian : BAB konstipasi, BAK normal, warna kuning, bau khas

4.

Pola Aktivitas dan Latihan


Kemampuan Perawatan Diri

Kemampuan melakukan ROM

Kemampuan makan/minum

Kemampuan toileting

Kemampuan Mandi

Kemampuan berpindah

Kemampuan berpakaian

1 = Menggunakan alat bantu 2 = dibantu orang lain

3 = Dibantu orang lain dan alat


5.

Kemampuan Mobilitas di tempat tidur

Ket. : 0 = Mandiri

4 = Tergantung Total

Pola Tidur dan Istirahat :


16

Sebelum sakit : tidur dan istirahat 10 jam sehari,2 jam tidur siang dan 8 jam
tidur malam
Selama pengkajian : Sering terbangun
6.

Pola Persepsi :
Keluarga menganggap penyakit anak sebagai cobaan Tuhan.

3.1.6 Pemeriksaan Fisik


A. Keadaaan umum klien : Lemah dan lemas
: 38,9oC

B. Tanda-tanda vital : Suhu


Respirasi
C. B1 (pernafasan)

: Normal (19x/menit)

: Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, secret (-), polip


(-)
Leher : Pembesaran kelenjar (-), tumor (-)
Dada : Bentuk normal, gerakan dada simetris, retraksi (-), Otot
bantu pernafasan (-), ronchi (-), Wheezing (-)

D. B2 (kardiovaskuler)

: Konjungtiva : anemia (-), cianosis (-)


Ukuran jantung : normal, ictus cordis teraba
Suara jantung : S1 S2 tunggal

E. B3 (persyarafan)

: Nervus X : rangsangan muntah

F. B4 (perkemihan)

: Normal

G. B5 (pencernaan)

: Sklera : ikterus (-), bibir : lembab, mulut : stomatitis (-), gaster


: Mual-mual dan muntah, nafsu makan berkurang

H. B6 (musculoskeletal)

: Tidak mampu berdiri dan berjalan, tungkai kanan

susah digerakkan, kemampuan ROM dibantu orang lain.


3.1.7

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
17

Pada pemeriksaan sampel feses ditemukan adanya Poliovirus. Pada pemeriksaan


serum ditemukan adanya peningkatan antibody.
Analisis Data
Nama Klien

: An. W

Ruang Rawat

: Anak di kelas 2C

Diagnosa Medik

: Poliomyelitis

No. Data
Etiologi
1.
Do : Suhu tubuh 38,9oC, adanya Virus masuk kedalam
peningkatan antibodi

Masalah Keperawatan

tubuh

Ds : Kakak pasien mengatakan

belum pernah diimunisasi polio

Infeksi

Hipertermi

Inflamasi

2.

Do : Lemah, sulit berjalan

Suhu tubuh meningkat


Virus masuk kedalam

Ds : Kakak pasien mengatakan

tubuh

badan pasien lemas disekujur

tubuhnya dan tungkai kanan

Infeksi

sulit digerakan

Gangguan mobilitas
fisik

Gangguan saraf

3.

Do : terlihat lemas, mual


muntah dan konstipasi
Ds : -

Paralisis (kram otot)


Virus masuk kedalam

Perubahan nutrisi

tubuh

kurang dari kebutuhan

Virus menyerang
batang otak

Gangguan saraf pada


lambung
18


Intake nutrisi berkurang

3.2

Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi dan inflamasi
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, paralysis
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual dan muntah

3.3

Intervensi Keperawatan

1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeks idan inflamasi


NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pasien menunjukkan : Suhu
tubuh dalam batas normal dengan kriteria hasil:
-

Suhu 36 37C

Nadi dan RR dalam rentang normal

Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing.

Intervensi (NIC)
Pantau Tanda-tanda vital

Rasional
Mengetahui perubahan dan perkembangan

fisik pasien
Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi Mengurangi suhu panas dan pengap
pasien dengan selimut
Gunakan washlap dingin di aksila, kening, Mengurangi suhu pasien
tengkuk, dan lipat dada
Anjurkan kepada orang tua pasien agar Mengganti cairan yang menguap saat demam
member asupan cairan oral, sedikitnya 2000 dan cairan yang keluar melalui keringat agar
ml per hari
mencegah dehidrasi
Beritahu orang tua pasien agar anak tidak Bisa menyebabkan pasien menggigil
dimandikan dengan air biasa
Jelaskan pada orang tua bahwa demam Agar orang tua pasien tidak cemas
adalah tindakan perlindungan dan tidak
berbahaya kecuali demam > 41oC

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, paralisis


19

NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24jam. Gang. mobilitas fisik
teratasi dengan kriteria hasil:
-

Klien meningkat dalam aktivitas fisik.

Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas.

Tidak ada kontraktur sendi.

- Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker).


Intervensi (NIC)
Rasional
Fasilitasi penggunaan postur dan pergerakan Mencegah keletihan dan ketegangan atau
dalam aktivitas sehari hari
cedera musculoskeletal
Health education pada orang tua agar Mempertahankan
atau

meningkatkan

membimbing pasien untuk latihan rentang kekuatan otot


gerak aktif pada anggota gerak yang sehat
minimal 4 kali sehari
Ambulasi dengan cara meningkatkan dan Mempertahankan atau mengembalikan fungsi
membantu dalam berjalan

tubuh

autonom

dan

volunteer

selama

pengobatan dan pemulihan dari kondisi sakit


Mobilitas sendi menggunakan gerakan tubuh Mempertahankan
atau
mengembalikan
aktif dan pasif
Pengaturan posisi secara hati-hati

fleksibilitas sendi
Meningkatkan kesejahteraan fisiologis dan

psikologis
Bantu perawatan diri untuk berpindah posisi Mengubah posisi tubuh
untuk pasien

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


NOC : setelah 2 x 24 jam pasien memperlihatkan status gizi baik asupan cairan maupun
makanan baik
Kriteria Hasil :
- Pasien memperlihatkan peningkatan berat badan yang progresif.
- Nilai laboratorium pasien (albumin, protein, elektrolit) menunjukkan nilai normal
- Mual muntah berkurang dan nafsu makan bertambah.

Intervensi (NIC)

Rasional
20

Kaji status nilai secara kontinu, selama Memberikan kesempatan untuk observasi
perawatan setiap hari, perhatikan tingkat penyimpangan dari normal atau dasar pasien
energy : kondisi kulit, kuku, rambut, rongga dan mempengaruhi pilihan intervensi
mulut, keinginan untuk makan atau anoreksia
Timbang

berat

badan

setiap

hari

dan Membuat data dasar, membantu dalam

bandingkan dengan berat saat penerimaan

memantau keefektifan aturan teraupetik, dan


menyadarkan

perawat

terhadap

ketidaktepatan cara
Dokumentasikan, masukan oral selama 24 Mengidentifikasikan
jam, riwayat makanan, dan jumlah kalori antara

perkiraan

ketidakseimbangan

kebutuhan

nutrisi

dan

yang tepat

masukan actual

Beri suasana makan yang nyaman

Untuk mengurangi gangguan nafsu makan

Kaji fungsi Gastrointestinal dan toleransi Saluran Gastrointestinal berisiko tinggi pada
pada pemberian makanan enteral : catat disfungsi dini danatrofi dari penyakit dan
bising

usus,

keluhan

mual/

muntah, malnutrisi

ketidaknyamanan abdomen : adanya diare


atau konstipasi, terjadinya kelemahan, sakit
kepala, diaphoresis, takikardi, kram abdomen
Berikan porsi makan sedikit tetapi dengan Bila dijumlah maka masukan kalori perhari
frekuensi sering

akan sama dengan porsi dan frekuensi biasa

Kolaborasi rujuk pada ahli gizi

Membantu dalam identifikasi deficit nutrient


dan kebutuhan terhadap intervensi nutrisi
parenteral atau enteral

3.4
a.

Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier


Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah upaya memodifikasi faktor risiko atau mencegah berkembangnya
faktor risiko, sebelum dimulainya perubahan patologis, dilakukan pada tahap suseptibel dan
induksi penyakit, dengan tujuan mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit
(AHA Task Force, 1998).
21

Pencegahan primer pada penyakit polio yaitu


Melakukan cakupan imunisasi yang tinggi dan menyeluruh
Pekan Imunisasi Nasional yang telah dilakukan Depkes tahun 1995, 1996, dan 1997.
Pemberian imunisasi polio yang sesuai dengan rekomendasi WHO adalah diberikan sejak
lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian diulang usia 1 tahun, 5 tahun,
dan usia 15 tahun
Survailance Acute Flaccid Paralysis atau penemuan penderita yang dicurigai lumpuh layuh
pada usia di bawah 15 tahun harus diperiksa tinjanya untuk memastikan karena polio atau
bukan.
Melakukan Mopping Up, artinya pemberian vaksinasi massal di daerah yang ditemukan
penderita polio terhadap anak di bawah 5 tahun tanpa melihat status imunisasi polio
sebelumnya.
b.

Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan pada fase penyakit asimtomatis, tepatnya
pada tahap preklinis, terhadap timbulnya gejala-gejala penyakit secara klinis melalui deteksi
dini (early detection). Jika deteksi tidak dilakukan dini dan terapi tidak diberikan segera
maka akan terjadi gejala klinis yang merugikan. Deteksi dini penyakit sering disebut
skrining. Skrining adalah identifikasi yang menduga adanya penyakit atau kecacatan yang
belum diketahui dengan menerapkan suatu tes, pemeriksaan, atau prosedur lainnya, yang
dapat dilakukan dengan cepat. Tes skrining memilah orang-orang yang tampaknya
mengalami penyakit dari orangorang yang tampaknya tidak mengalami penyakit. Tes skrining
tidak dimaksudkan sebagai diagnostik. Orang-orang yang ditemukan positif atau
mencurigakan dirujuk ke dokter untuk penentuan diagnosis dan pemberian pengobatan yang
diperlukan (Last, 2001).
Pencegahan sekunder pada penyakit polio : Pengobatan pada penyakit polio sampai sekarang
belum ditemukan cara atau metode yang paling tepat. Sedangkan penggunaan vaksin yang
ada hanya untuk mencegah dan mengurangi rasa sakit pada penderita.

c.

Pencegahan Tersier
22

Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan progresi penyakit ke arah berbagai akibat
penyakit yang lebih buruk, dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup pasien. Pencegahan
tersier biasanya dilakukan oleh para dokter dan sejumlah profesi kesehatan lainnya (misalnya,
fisioterapis).
Pencegahan tersier pada penyakit polio : dilakukan dengan beristirahat dan menempatkan
pasien ke tempat tidur, memungkinkan anggota badan yang terkena harus benar-benar
nyaman. Jika organ pernapasan terkena, alat pernapasa terapi fisik mungkin diperlukan. Jika
kelumpuhan atau kelemahan berhubung pernapasan diperlukan perawatan intensif.
3.5

Aspek Legal Etis

Identifikasi Issu
Kasus Dilema Etik
Anak W berumur 3 tahun dibawa oleh kakaknya ke RS. Kakak pasien
menyatakan bahwa adiknya tiba-tiba merasa lemas di sekujur tubuhnya, dan tungkai
kanan susah digerakkan. Gejala awal demam (Suhu 38,9 C), kemudian mual-mual dan
muntah disertai pusing, hingga sekarang tidak mampu berdiri dan berjalan.
Kakak pasien merasa cemas karena adiknya belum pernah mendapatkan vaksin polio
sejak kecil. Imunisasi Hepatitis B-1 diberikan waktu 12 jam setelah lahir, BCG
diberikan saat lahir, Polio oral belum pernah diberikan. Tahap perkembangan anak
menurut teori psikososial, An. W mencari kebutuhan dasarnya seperti kehangatan,
makanan dan minuman serta kenyamanan dari orang tua sendiri. Keluarga berperan
aktif terutama ibu klien An. W dalam merawat klien. Lingkungan sekitar rumah
berada di area pemukiman kumuh. Persepsi keluarga tentang penyakit anak, keluarga
menganggap penyakit anak sebagai cobaan Tuhan. Keluarga meminta perawatan yang
terbaik untuk anaknya.
Analisa Kasus
Kasus diatas menjadi suatu dilema etik bagi perawat dimana dilema etik itu
didefinisikan sebagai suatu masalah yang melibatkan dua (atau lebih) landasan moral
suatu tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi
dimana setiap alternatif tindakan memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema
etik ini sukar untuk menentukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan
kebingungan pada tim medis yang dalam konteks kasus ini khususnya pada perawat
karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk
23

melakukannya. Menurut Thompson & Thompson (1981) dilema etik merupakan suatu
masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau situasi dimana
alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Untuk membuat
keputusan yang etis, seorang perawat harus bisa berpikir rasional dan bukan
emosional.
Perawat tersebut berusaha untuk memberikan pelayanan keperawatan yang
sesuai dengan etika dan legal yaitu dia menghargai keputusan yang dibuat oleh pasien
dan keluarga. Selain itu dia juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai perawat
dalam memenuhi hak-hak pasien salah satunya adalah memberikan informasi yang
dibutuhkan pasien dan keluarga atau informasi tentang kondisi dan penyakitnya. Hal
ini sesuai dengan salah satu hak pasien dalam pelayanan kesehatan menurut American
Hospital Assosiation dalam Bill of Rights. Memberikan informasi kepada pasien dan
keluarga merupakan suatu bentuk interaksi antara pasien dan tenaga kesehatan. Sifat
hubungan ini penting karena merupakan faktor utama dalam menentukan hasil
pelayanan kesehatan.
Penyelesaian kasus dilema etik seperti ini diperlukan strategi untuk
mengatasinya karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan pendapat
antar tim medis yang terlibat termasuk dengan pihak keluarga pasien. Jika perbedaan
pendapat ini terus berlanjut maka akan timbul masalah komunikasi dan kerjasama
antar tim medis menjadi tidak optimal. Hal ini jelas akan membawa dampak
ketidaknyamanan pasien dalam mendapatkan pelayanan keperawatan. Berbagai model
pendekatan bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah dilema etik ini antara lain
model dari Megan, Kozier.
Berdasarkan pendekatan model Megan, maka kasus dilema etik perawat yang
merawat An. A ini dapat dibentuk kerangka penyelesaian sebagai berikut :
1. Mengkaji situasi
Dalam hal ini perawat harus bisa melihat situasi, mengidentifikasi masalah/situasi dan
menganalisa situasi. Dari kasus diatas dapat ditemukan permasalahan atau situasi
sebagai berikut :
An. W yang diwakilkan keluarga menggunakan haknya sebagai pasien untuk
mengetahui penyakit yang dideritanya sekarang sehingga keluarga meminta
perawat tersebut memberikan informasi tentang hasil pemeriksaan kepadanya.
Rasa kasih sayang keluarga An. W terhadap An. W membuat keluarganya
berniat menyembunyikan informasi tentang hasil pemeriksaan tersebut dan

24

meminta perawat untuk tidak menginformasikannya kepada An. W dengan


pertimbangan keluarga takut jika An. W akan takut, tidak mau menerima
kondisinya dan dikucilkan/dijauhi oleh teman-temannya.
Perawat merasa bingung dan dilema dihadapkan pada dua pilihan dimana dia
harus memenuhi permintaan keluarga, tapi disisi lain dia juga harus memenuhi
haknya pasien untuk memperoleh informasi tentang hasil pemeriksaan atau
kondisinya.
2. Masalah Etik Moral
Berdasarkan kasus dan analisa situasi diatas maka bisa menimbulkan permasalahan
etik moral jika perawat tersebut tidak memberikan informasi kepada An. W terkait
dengan penyakitnya karena itu merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi
tentang kondisi pasien termasuk penyakitnya.
3. Membuat Tujuan dan Rencana Pemecahan
Alternatif-alternatif rencana harus dipikirkan dan direncanakan oleh perawat bersama
tim medis yang lain dalam mengatasi permasalahan dilema etik seperti ini. Adapun
alternatif rencana yang bisa dilakukan antara lain :
1. Perawat akan melakukan kegiatan seperti biasa tanpa memberikan informasi hasil
pemeriksaan/penyakit An. W kepada An. W saat itu juga, tetapi memilih waktu yang
tepat ketika kondisi pasien dan situasinya mendukung.
Hal ini bertujuan supaya An. W tidak panic yang berlebihan ketika
mendapatkan informasi seperti itu karena sebelumnya telah dilakukan
pendekatan-pendekatan oleh perawat. Selain itu untuk alternatif rencana ini
diperlukan juga suatu bentuk motivasi/support sistem yang kuat dari keluarga.
Keluarga harus tetap menemani An. W tanpa ada sedikitpun perilaku dari
keluarga yang menunjukkan denial ataupun perilaku menghindar dari An. W.
Dengan demikian diharapkan secara perlahan, An. W akan merasa nyaman
dengan support yang ada sehingga perawat dan tim medis akan

menginformasikan kondisi yang sebenarnya.


Ketika jalannya proses sebelum diputuskan untuk memberitahu An. W tentang
kondisinya dan ternyata An. W menanyakan kondisinya ulang, maka perawat
tersebut bisa menjelaskan bahwa hasil pemeriksaannya masih dalam proses

tim medis.
Alternatif ini tetap memiliki kelemahan yaitu perawat tidak segera
memberikan informasi yang dibutuhkan An. W dan tidak jujur saat itu
walaupun pada akhirnya perawat tersebut akan menginformasikan yang

25

sebenarnya jika situasinya sudah tepat. Ketidakjujuran merupakan suatu


bentuk pelanggaran kode etik keperawatan.
2. Perawat akan melakukan tanggung jawabnya sebagai perawat dalam memenuhi hakhak pasien terutama hak An. W untuk mengetahui penyakitnya, sehingga ketika hasil
pemeriksaan sudah ada dan sudah didiskusikan dengan tim medis maka perawat akan
langsung menginformasikan kondisi An. W tersebut atas seijin dokter.
Alternatif ini bertujuan supaya An.W merasa dihargai dan dihormati haknya
sebagai pasien serta perawat tetap tidak melanggar etika keperawatan. Hal ini
juga dapat berdampak pada psikologisnya dan proses penyembuhannya.
Misalnya ketika An. W mengetahui penyakitnya sendiri atau tahu dari anggota
keluarga yang membocorkan informasi, maka An. W akan beranggapan bahwa
tim medis terutama perawat dan keluarganya sendiri berbohong kepadanya.
Dia bisa beranggapan merasa tidak dihargai lagi atau berpikiran bahwa
perawat dan keluarganya merahasiakannya karena polio merupakan penyakit
menular . Kondisi seperti inilah yang mengguncangkan psikis An.W nantinya
yang akhirnya bisa memperburuk keadaan An.W. Sehingga pemberian
informasi secara langsung dan jujur kepada An. W perlu dilakukan untuk
menghindari hal tersebut.
4.

Melaksanakan Rencana
Dalam mengambil keputusan pada pasien dengan dilema etik harus berdasar

pada prinsip-prinsip moral yang berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah
suatu tindakan dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam situasi tertentu,yang meliputi
:
a. Autonomy / Otonomi :Memberikan kebebasan untuk klien dan keluarga
menentukan pilihan yang paling sesuai bagi klien dan didasari oleh pemahaman
klien yang baik. Bila diperlukan dalam mengamalkannya harus diawali dengan
upaya pemberian informasi yang lengkap.
Pada prinsip ini perawat harus menghargai apa yang menjadi keputusan pasien
dan keluarganya, tapi ketika pasien menuntut haknya dan keluarganya tidak
setuju maka perawat harus mengutamakan hak An. W tersebut untuk
mendapatkan informasi tentang kondisinya melalui orang tua karena anak
masih dalam hak asuh orang tua, dan anak masih belum cukup umur untuk
mengetahui semua informasi tentang penyakitnya.

26

b. Benefesience / Kemurahan Hati: Melakukan dan atau memberikan yang terbaik


dan paling dimungkinkan untuk dilakukan.
Prinsip ini mendorong perawat untuk melakukan sesuatu hal atau tindakan
yang baik dan tidak merugikan An. W. Sehingga perawat bisa memilih
diantara 2 alternatif diatas mana yang paling baik dan tepat untuk An. W dan
sangat tidak merugikan An. W.
c. Justice / Keadilan: Berlaku adil dan tidak membeda bedakan perlakuan terhadap
klien dengan klien lainnya. Memberikan segala sesuatu yang menjadi hak klien
dalam asuhannya sesuai dengan kondisi klien.
Perawat harus menerapkan prinsip moral adil dalam melayani pasien. Adil
berarti An. W mendapatkan haknya sebagaimana pasien yang lain juga
mendapatkan hak tersebut yaitu memperoleh informasi tentang penyakitnya
secara jelas sesuai dengan konteksnya/kondisinya.
d. Nonmaleficience / Tidak merugikan: Menghindari melakukan yang kurang atau
tidak baik dan tidak disukai klien.
Keputusan yang dibuat perawat tersebut nantinya tidak menimbulkan kerugian
e.

pada An. W baik secara fisik ataupun psikis nantinya.


Veracity / Kejujuran: Berlaku jujur, menghindari menyampaikan atau melakukan
yang tidak sesungguhnya atau tidak benar ( melakukan kebohongan)
Perawat harus bertindak jujur jangan menutup-nutupi atau membohongi An.
W tentang penyakitnya. Karena hal ini merupakan kewajiban dan tanggung
jawab perawat untuk memberikan informasi yang dibutuhkan Tn. A secara

benar dan jujur sehingga An. W akan merasa dihargai dan dipenuhi haknya.
f. Fedelity / Menepati Janji: Loyalitas dan komitment terhadap tugas dan
pekerjaannya sesuai dengan profesinya. Bersikap positif tentang dan terhadap
klien. Menjaga rahasia dan menjamin hubungan saling percaya dan saling
menghormati
Perawat harus menepati janji yang sudah disepakati dengan An. W sebelum
dilakukan pemeriksaan yang mengatakan bahwa perawat bersedia akan
menginformasikan hasil pemeriksaan kepada An. A jika hasil pemeriksaannya
sudah selesai. Janji tersebut harus tetap dipenuhi walaupun hasilnya
pemeriksaan tidak seperti yang diharapkan karena ini mempengaruhi tingkat
kepercayaan An.W terhadap perawat tersebut nantinya.
g. Confidentiality / Kerahasiaan
Perawat akan berpegang teguh dalam prinsip moral etik keperawatan yaitu
menghargai apa yang menjadi keputusan pasien dengan menjamin kerahasiaan
segala sesuatu yang telah dipercayakan pasien kepadanya kecuali seijin pasien.
27

Membuat Keputusan
Berdasarkan pertimbangan prinsip-prinsip moral tersebut keputusan yang bisa
diambil dari dua alternatif diatas lebih mendukung untuk alternatif ke-2 yaitu secara
langsung memberikan informasi tentang kondisi pasien setelah hasil pemeriksaan
selesai, namun karena anak masih dalam hak asuh orang tua dan anak belum cukup
umur untuk menerima informasi tetang penyakitnya maka kedua orang tualah yang
akan menjelaskan kepada sang anak dan juga perawat dengan pendekatan-pendekatan
dan caring serta komunikasi terapeutik.

BAB V
PENUTUP
4.1

Kesimpulan
Penyakit polio merupakan penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh virus. Agen

dan pembawa penyakit ini merupakan virus yang dinamakan polivirus (PV) dan masuk
ketubuh melalui mulut dan menginfeksi usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan
mengalir ke system saraf pusat yang menyebabkan melemahnya otot dan terkadang
kelumpuhan (Chin,2006 : 482).
Polio termasuk penyakit menular melalui kontak antar manusia, dapat menyebar luas secara
diam-diam karena sebagian penderita yang terinfeksi polio virus tidak memiliki gejala
sehingga tidak tahu kalau mereka sendiri sedang terjangkit (Cahyono, 2010).
Virus poliomyelitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel. Dapat diidolasi 3 strain virus
tersebut yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing), dantipe 3 (Leon). (Ngastyah, 1997).
Prognosis poliomyelitis tergantung pada jenis polio (sub-klinis), non paralitik atau paralitik)
dan bagian tubuh yang terkena. Jika tidak menyerang otak dan kordaspinalis, kemungkinan
akan terjadi pemulihan total. Jika menyerang otak atau kordaspinalis, merupakan suatu
keadaan gawat darurat yang mungkin akan menyebabkan kelumpuhan atau kematian
(biasanya akibat gangguan pernafasan). (Behrman et al, 1999).

28

4.2

Saran

Sebagai seorang perawat sebaiknya kita mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
polio dengan jelas agar dapat menunjang keahlian perawat dalam melaksanakan praktek
keperawatan, mampu menegakkan diagnosis dan intervensi secara tepat dan cepat, sehingga
dapat memperpendek masa patologis penyakit pada tubuh klien.

DAFTAR PUSTAKA

Behman, Richard E et al.1999. Ilmu Kesehatan Nelson Vol.2 Jakarta : EGC


Behman, et al.1999. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Hal 632-634. Jakarta: FKUI
Behman, Kliegman & Arvin, Nelson, 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.2. jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Cahyono, Suharjo B. 2010. Vaksinasi Cara Ampuh Cegah Pnyakit Infeksi. Yogyakarta:
Penerbit KANISUS
Carperito-Monyet, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatn edisi 10. Jakarta:
EGC
Doenges dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta: EGC
L. Heymann, David dan R. Bruce Aylward 2004. Polimyetis Switzerland : Geneva 12116
M.D, Paul E. Peach. 2004. Polimyrtis. Warm Springs: GA 31830
Pemeriksaandiagnostic

pada

polio

diakses

melalui

http://afie.staff.uns.ac.id/2009/02/24/diagnosis-infeksi-virius-polio pada 18 september 2013


Schwartz, M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC
29

Schwartz, M. William. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
Buku EGC
Shell, Marc. 2009. Polio and Its Aftermath: The Paralysis of Culture. Diakses dari google
book 18 september 2013
Widyono,

(2011). Penyakit Tropis : Epidemiologi,

Penuluran, Pencegahan &

Pemberantasannya, Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga


Widyono, 2008. Penyakit Tropik Epidemlogi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasan.
Jakarta: Penerbit Airlangga
Wilkinson, Judith dkk. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 9. Jakarta: EGC
Wilson, Walter R. 2001. Current Diagnosisand Treatmant in Infectious Disease. USA :
McGraw-Hill Companies, Inc
viasofiana29.wordpress.com/2013/05/03/poliomyelitis/

30

Anda mungkin juga menyukai