Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“EPIDEMIOLOGI PENYAKIT DIFTERI DAN CAMPAK”


Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
Epidemiologi Penyakit Menular
Dosen Pembimbing : Ns. Eko Prabowo S.kep M,.Kes

Disusun Oleh:
HABIB SYAPUTRA RAHMANSYAH (201320100003)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BAKTI INDONESIA BANYUWANGI
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah “Epidemiologi Penyakit Difteri dan Campak” untuk memenuhi tugas di
fakultas ilmu kesehatan Masyarakat Universitas Bakti Indonesia Banyuwamgi.
Penyusunan makalah ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada

1. Ns. Eko Prabowo S.kep M,.Kes selaku dosen mata kuliah


”Epidemiologi Penyakit Menular”

2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang


membantu dalam menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah


ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran semua pihak demi
kesempurnaan penyusunan makalah ini.

Habib Syaputra Rahmansyah

Banyuwangi 24 November 2022


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Poliomyelitis atau Polio merupakan penyakit yang sangat menular yang


disebabkan oleh genus Enterovirus dan Picorna viridae [1]. Secara historis
penyakit ini hampir hilang dari belahan bumi bagian barat pada pertengahan abad
ke-20. Polio telah menjangkit manusia sejak zaman kuno, wabah yang paling luas
terjadi pada pertengahan tahun 1900 sebelum adanya vaksinasi yang dibuat oleh
Jonas Salk pada tahun 1952, dan tersedia secara meluas pada tahun 1955 [2].

Penyakit poliomyelitis dapat menyerang pada semua usia, namun sebagian


besar yang terserang penyakit ini adalah anak-anak di bawah tiga tahun (lebih dari
50% dari semua kasus). Penyakit ini menyerang sistem saraf, kaki, otot, otak dan
dapat mengakibatkan kelumpuhan total dalam hitungan jam. Virus polio masuk ke
dalam tubuh melalui ludah dan berkembang biak diusus dan menyebar melalui
kontak langsung dari orang-ke-orang. Selain itu, virus ini juga dapat menular
melalui kotoran (feses).

Berdasarkan data dari WHO, penyebaran penyakit polio dapat ditekan


dengan program vaksinasi. Sampai saat ini, program vaksinasi masih dipercaya
sebagai cara yang paling efektif dalam menekan penyebaran penyakit polio. Oleh
karena itu, vaksinasi perlu diperhatikan dalam model sebagai upaya untuk
mencegah meluasnya penyakit.Perpindahan populasi (migrasi) dari suatu wilayah
ke wilayah lain merupakan fenomena yang dapat terjadi di suatu wilayah. Adanya
migrasi dapat memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit polio yang dibawa
oleh populasi yang masuk atau keluar dari suatu wilayah. Oleh karena itu, migrasi
perlu diperhatikan dalam model.

Meningitis merupakan peradangan pada meningen yaitu membran yang


melindungi otak dan cairan serebrospinal. Meningitis dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, infeksi parasit dan obat-obatan tertentu. Meningitis bakterial merupakan
SSP (Sistem Saraf Pusat) yang paling berat dan sering masih menjadi masalah
kesehatan di dunia yang mematikan dan menyebabkan gangguan neurologis
permanen di kemudian hari (Boyles, 2014).
Gejala penyakit meningitis biasanya didahului komplikasi SSP, misalnya
edema otak, hidrosefalus, abses otak, yang mempengaruhi vaskularisasi
serebrovaskular disertai dengan satu atau lebih gejala kaku kuduk, sakit kepala,
penurunan kesadaran, tanda Kernig atau Brudzinski dan peradangan selaput otak
yang ditandai dengan demam dengan awitan akut dengan suhu (>38,5ºC rektal
atau 38ºC aksilar) (Novariani, 2008) sedangkan bila parenkim otak terkena, pasien
memperlihatkan penurunan tingkat kesadaran, kejang, defisit neurologis fokal,
dan kenaikan tekanan intrakranial (Harsono, 2005).
Pada makalah kali ini kita akan membahas tentang Epidemiologi Penyakit
Menular Polio dan Meningitis, mulai dari pengertian hingga bagaimana upaya
pencegahan yang dapat kita lakukan agar kita dapat terhindar dari penyakit
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Mempelajari Epidemiologi Penyakit Polio
2. Mempelajari Epidemiologi Penyakit Meningitis
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Epidemiologi Penyakit Polio
2. Mengetahui Epidemiologi Penyakit Meningitis
A. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR POLIO

1. Pengertian

Polio berasal dari bahasa Yunani yang berarti abu-abu dan myelon dari
sumsum tulang belakang). Kata polio ini berasal dari istilah medis untuk efek
polio-virus pada sumsum tulang belakang (Hulu et al., 2020). Polio adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh polio-virus yang dapat merusak saraf
motorik di kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyerang sistem saraf
sehingga menyebabkan kelumpuhan secara permanen dalam beberapa jam
(Najmah, 2016).

2. Pendekatan

Pendekatan epidemiologi dalam proses terjadinya penyakit polio dijelaskan


dalam konsep triad epidemiologi berikut.

a. Agen (agent)
Agent polio yakni polio-virus, yaitu golongan virus dari genus Enterovirus.
Ada tiga jenis polio-virus, yaitu tipe 1, 2, dan 3, dan ketiganya dapat menjadi
penyebab kelumpuhan. Polio-virus tipe 1 merupakan tipe yang paling mudah
untuk diisolasi, kemudian diikuti polio-virus tipe 3. Tipe 2 polio-virus adalah jenis
yang paling jarang untuk diisolasi. Adapun kasus polio yang sering dihubungkan
dengan vaksin yakni yang disebabkan oleh polio-virus tipe 2 dan 3 (WHO,2014).

Tipe 1, 2 dan 3 polio-virus tersusun dari materi RNA yang tertutup oleh
kapsid (bagian terluar virus). Pada prinsipnya, terdapat dua jenis polio-virus yakni
polio-virus liar dan polio-virus bersumber dari imunisasi polio. Polio-virus tipe 1
diisolasi dari hampir semua kelumpuhan dan menyebabkan perkembangan polio.
Polio-virus liar tipe 2 diberantas pada tahun 1999, sedangkan kasus polio-virus
liar tipe 3 sangat jarang terjadi. Sebagian besar kasus yang terkait dengan atau
disebabkan oleh vaksin polio itu sendiri disebabkan oleh tipe 2 dan 3. Polio-virus
hanya bisa hidup di usus manusia, yang nantinya akan bereplikasi memenuhi
dinding usus dalam waktu ± 8 minggu. Beberapa virus dikeluarkan setiap hari
melalui feses. Makanan dan minuman yang terkontaminasi feses dapat menulari
orang lain secara langsung atau melalui tangan yang terkontaminasi oleh feses
(Najmah, 2016).

b. Pejamu (host)
Host dari polio-virus adalah manusia, dimana kelompok yang rentan terkena
virus ini adalah anak usia di bawah lima tahun. Manusia merupakan satu-satunya
reservoir dan sumber penularan pada umumnya adalah penderita tanpa gejala. Di
sebagian besar negara endemik, sekitar 70-80% penderitanya berusia di bawah 3
tahun, dan 80-90% berusia di bawah 5 tahun. Kelompok resisten vaksin,
minoritas, migran musiman, anak-anak yang tidak terdaftar, pengembara,
pengungsi, dan orang miskin perkotaan berisiko tinggi terinfeksi vaksin. Anak-
anak yang tidak memiliki imunitas yang cukup dapat terinfeksi, dan hanya
sebagian kecil dari mereka yang lumpuh atau meninggal (1 dari 100). Sekitar 100
sampai 1000 anak yang lumpuh karena infeksi polio terinfeksi tetapi tidak
lumpuh. Namun, anak-anak ini dapat menginfeksi anak-anak lain dengan polio-
virus (Hulu et al., 2020).

c. Lingkungan (environment)
Epidemi polio terutama disebabkan oleh konsentrasi feses dari pasien polio.
Secara khusus, kasus polio terjadi di daerah dengan kondisi sanitasi buruk melalui
rute faecal-oral dan droplet dari oral ke oral. Infeksi melalui rute faecal-oral
adalah makanan atau minuman yang terkontaminasi polio-virus dari feses
penderita dan masuk ke mulut orang sehat. Sementara untuk infeksi dengan rute
oral ke oral adalah penyebaran saliva pada pasien yang masuk ke mulut orang
yang sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap penularan polio-virus jika infeksi dari oral ke oral terus
meningkat (Polio Eradication Organization, 2015).

Agent Host

Polio virus 1,2,3. Usia imunitas

Environment

Sanitasi

Gambar 9.1 Triad epidemiologi penyakit polio

3. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko kejadian polio (CDC, 2016; Mammas et al., 2016;
WHO, 2017) adalah sebagai berikut.
a. Orang yang tidak pernah atau tidak lengkap memperoleh imunisasi polio
b. Orang yang mengalami gangguan imunitas tubuh
c. Orang yang bermukim di daerah dengan kondisi sanitasi buruk
d. Orang yang bepergian atau dari daerah endemik polio

4. Riwayat Alamiah

Riwayat alamiah penyakit polio dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap prepatogenesis,
patogenesis, dan pasca-patogenesis.
a. Tahap pre-patogenesis

Infeksi berulang dapat terjadi pada berbagai jenis polio-virus. Poliovirus


dapat bertahan pada pengaruh fisik dan kimia serta mampu bertahan hidup kurang
lebih 90-100 hari dalam feses penderita polio. Polio-virus mampu bertahan lama
di air limbah dan air permukaan, bahkan beberapa kilometer dari sumber
penularan. Infeksi utamanya disebabkan oleh kontaminasi (Hulu et al., 2020).

b. Tahap patogenesis

Tahapan patogenesis terdiri atas dua, yaitu masa inkubasi, dan masa
penyakit dini. Masa inkubasi penyakit polio umumnya berlangsung selama 6-20
hari, dengan rentang waktu antara 3-35 hari (Simbolon, 2019). Pada masa
penyakit dini, kebanyakan orang yang terinfeksi polio biasanya tanpa gejala atau
hanya memperlihatkan gejala seperti flu ringan seperti malaise, demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, dan muntah (Irwan, 2019).Tingkat virulensi menurun
90% setiap 20 hari di media tanah ketika musim dingin, setiap 1,5 hari di musim
panas, setiap 26 hari di air limbah dengan temperatur 23°C, setiap 5,5 hari di air
bersih, dan setiap 2,5 hari di air laut (Soegijanto, 2016).

c. Tahap pasca-patogenesis

Pada masa penyakit lanjutan, polio-virus dapat bereplikasi di system


pencernaan dan dapat dapat menyerang sistem saraf yang menyebabkan kerusakan
sel-sel saraf secara permanen pada beberapa orang. Virus ini pertama kali
menyebar di dinding faring (di dalam tenggorokan) atau di saluran pencernaan
bagian bawah, menyebar ke jaringan limfoid baik lokal maupun regional, dan
menyebar ke aliran darah sebelum menyerang dan menyebar di jaringan saraf.
Pada stadium lanjut ini tidak semua orang biasanya mengalami kelumpuhan atau
bahkan kematian. Satu dari 200 anak polio akan lumpuh secara permanen, dan 5-
10% orang yang lumpuh tersebut meninggal ketika otot-otot pernapasannya juga
lumpuh (Polio Eradication Organization, 2015).

5. Etiologi

Penyakit polio disebabkan oleh virus RNA yang termasuk dalam kelompok
Enterovirus dari keluarga Picornaviridae, yang merupakan subkelompok dengan
Coxsackie virus dan Echovirus. Ada tiga strain poliovirus, yakni tipe 1
(Brunhilde), tipe 2 Lansing, dan tipe 3 Leon. Polio-virus tipe 1 adalah yang paling
paralitogenik dan sering menyebabkan wabah, sedangkan tipe 2 adalah yang
paling jinak. Polio-virus tipe 3 sudah tidak terdeteksi sejak November 2012. Oleh
karena itu, diasumsikan bahwa hanya tipe 1 WPV yang beredar saat ini. Tidak ada
kekebalan silang antara subtipe polio-virus (WHO, 2017).

Polio-virus dominan di sel tanduk anterior sumsum tulang belakang, bagian


core motorik brainstem (batang otak), dan bagian motorik korteks serebral,
sehingga berakibat pada kelumpuhan dan atrofi otot. Polio-virus dapat bertahan
hidup selama beberapa bulan pada suhu kamar, tahan dengan alkohol 70%, eter,
dan dapat mati jika terkena klorin, formaldehid, serta suhu di atas 50 °C serta
paparan sinar UV (Irwan, 2019).

Gambar 9.2 Polio-virus

6. Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit polio dibedakan menjadi tiga tahapan,


yakni sebagai berikut :

a) Pencegahan primer

Beberapa upaya yang dapat dilakukan pada tahap primer dalam mencegah
kasus polio adalah sebagai berikut.

1) Edukasi dan promosi kesehatan, dilakukan dengan cara memberi informasi


tentang polio kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran
dan kepedulian mereka untuk menjaga kesehatan, misalnya dengan
menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene,
memantau status gizi anak, dan edukasi terkait imunisasi polio pada anak.

2) Surveilans acute flaccid paralysis (AFP), yakni bentuk perlindungan


terhadap penyakit polio yang sangat penting bagi keluarga, dan menjadi
program kewaspadaan terhadap penyakit polio di daerah di seluruh
Indonesia dan dunia. Apabila terdapat tanda-tanda lemah pada bagian
ekstremitas atas (lengan) atau bawah (kaki) anak, maka segera
menghubungi petugas kesehatan agar dapat dilakukan pengambilan
spesimen feses untuk dapat diperiksa lebih lanjut, sehingga dapat
menegakkan diagnosis untuk selanjutnya dilakukan perawatan. Spesimen
feses yang sesuai dan memenuhi syarat yakni diambil ≤14 hari setelah
kelumpuhan dan temperatur spesimen berkisar 0-8°C sampai diambil
laboratorium (Kemenkes, 2014).

3) Imunisasi polio reguler dan tambahan menuju eradikasi polio. Jenis vaksin
yang digunakan untuk Pekan Imunisasi Nasional (PIN) adalah monovalent
OPV (mOPV) yang hanya mengandung polio-virus tipe 1 dan lebih aman
karena lebih imunogenik daripada trivalent OPV (tOPV) yang umumnya
digunakan pada imunisasi dasar. Polio-virus ada yang disebut dengan P1,
P2, dan P3 yang menyebabkan penyakit, dengan tipe P1 yang paling
dominan. Sehubungan dengan eradikasi polio, maka dibutuhkan kerjasama
dari berbagai pihak dan olehnya itu terdapat empat strategi dalam
pemberantasan polio. Pertama, imunisasi polio dilakukan pada semua
anak sebelum usia satu tahun dengan frekuensi empat kali. Kedua, PIN
pada semua anak di bawah lima tahun. Ketiga, sistem pengamatan dibuat
sesuai standar sertifikasi sehingga tidak ada kasus yang tidak
teridentifikasi. Keempat, mengirim tim untuk melakukan imunisasi secara
door to door di daerah suspek polio (Najmah, 2016).

b) Pencegahan sekunder

Upaya yang dapat dilakukan pada tahap sekunder dalam pencegahan kasus
polio adalah sebagai berikut.

1) Isolasi di rumah sakit bagi penderita polio akibat polio-virus liar. Isolasi di
rumah sakit lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan di rumah karena
anggota keluarga sudah terinfeksi terlebih dahulu sebelum diagnosis polio
ditegakkan, mengingat penyakit ini sangat mudah menular.
2) Pengobatan khusus
3) Desinfeksi tenggorokan. Keadaan di Indonesia, di mana beberapa orang
masih memiliki toilet tanpa tangki septik, sangat diperlukan disinfeksi
pada tempat pembuangan ekskreta yang terbuka. Dalam komunitas dengan
sistem pembuangan yang modern dan dilengkapi dengan baik, ekskreta
dapat dialirkan langsung ke sistem pembuangan tanpa terlebih dahulu
dilakukan disinfeksi.
4) Penyakit polio tidak dapat sembuh, oleh karena itu merawat pasien polio
akut perlu pengetahuan dan keterampilan yang tepat, serta peralatan yang
cukup, terutama bagi pasien yang butuh alat bantu napas (Hulu et al.,
2020).

c) Pencegahan tersier

Upaya pencegahan tersier terhadap penyakit polio yakni dengan melakukan


fisioterapi yang dapat membantu dalam rehabilitasi fungsi tubuh pasca lumpuh
akibat polio dan mencegah kelainan bentuk tubuh yang biasanya terjadi kemudian.
B. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR MENINGITIS

1. Pengertian
Penyakit meningitis adalah penyakit infeksi akut pada selaput otak dan sumsum
tulang belakang yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus,
bakteri, jamur, atau parasit (CDC, 2017), yang ditandai dengan gejala gangguan
kesadaran, peningkatan rangsang, tekanan intracranial meningkat, dan defisit
neurologis (Husni, 2020). Penyakit meningitis bakterial umumnya disebabkan
oleh Neisseria meningitidis (Kemenkes, 2019).

2. Pendekatan
Pendekatan epidemiologi dalam proses terjadinya penyakit meningitis diuraikan
dalam konsep triad epidemiologi berikut.

a. Agen (agent)
Bakteri dan virus biasanya menjadi penyebab penyakit meningitis. Bakteri yang
paling sering menjadi penyebab meningitis adalah Neisseria meningitidis.
Meningitis purulenta umumnya disebabkan oleh Meningococcus, Haemophilus
influenzae dan Pneumococcus, sedangkan untuk meningitis serosa yang menjadi
penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis dan virus. Bakteri
Pneumococcus merupakan adalah penyebab meningitis yang paling serius. Sekitar
20-30% pasien meninggal karena meningitis hanya dalam kurun waktu 24 jam,
dimana bayi dan lansia memiliki angka kematian tertinggi. Sementara itu,
meningitis yang disebabkan oleh virus tergolong penyakit ringan, dengan gejala
seperti Gejalanya mirip flu biasa dan termasuk self-limiting disease (penyakit
yang dapat sembuh dengan sendiri) (Husni, 2020).
b. Pejamu (host)
Host dari meningitis adalah manusia. Usia dan sistem kekebalan tubuh berkorelasi
kuat terhadap kejadian meningitis. Distribusi penyakit paling tinggi ditemukan
pada jenis kelamin laki-laki dibanding perempuan, dan frekuensi terbanyak pada
usia bayi. Meningitis purulenta sering menyerang bayi dan anak-anak oleh karena
imunitasnya yang belum sempurna terbentuk. Insidensi meningitis oleh
Haemophilus influenzae memuncak di Amerika Serikat yaitu pada anak usia 6-12
bulan dan negara berkembang pada anak di bawah 6 bulan. Meningitis karena
Pneumococcus umumnya terjadi pada anak usia kurang dari dua tahun, dan
memiliki risiko 3,4 kali lebih besar pada anak berkulit hitam dibanding kulit putih.
Sementara itu, meningitis serosa yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis paling sering terjadi pada kelompok usia 6 bulan sampai 5 tahun.
Pada kondisi non epidemi, meningitis juga dapat terjadi pada kelompok remaja
dan dewasa muda (Kemenkes, 2019).
c. Lingkungan (environment)
Risiko penularan penyakit meningitis biasanya terjadi pada kondisi sosial-
ekonomi rendah (umumnya pada negara berkembang), lingkungan dengan kondisi
sanitasi buruk dan padat penduduk, dan kontak dengan penderita ISPA. Kasus
meningitis paling sering terjadi pada musim panas seiring dengan peningkatan
kasus ISPA.
Agent Host

Neisseria meningitidis Usia imunitas

Environment

Sanitasi, iklim, social-ekonomi

Gambar 9.3 Triad epidemiologi penyakit meningitis

3. Faktor Risiko
Faktor risiko yang berkontribusi terhadap penyakit meningitis (Kemenkes, 2019)
adalah sebagai berikut.
a. Kondisi pemukiman yang padat penduduk
b. Kontak erat dengan penderita
c. Paparan asap rokok (perokok aktif maupun pasif)
d. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah
e. Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk
f. Perubahan iklim
g. Riwayat ISPA
h. Pelaku perjalanan ke negara epidemic

4. Riwayat Alamiah
Riwayat alamiah penyakit meningitis dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap pre
patogenesis, patogenesis, dan pasca-patogenesis.

a. Tahap pre-patogenesis
Agent meningitis hanya dapat menginfeksi manusia, dan tidak ditemukan
reservoir pada hewan. Penularan dari manusia ke manusia terjadi melalui droplet
dan saliva dari carrier (pembawa) seperti merokok dan kontak erat dengan
carrier.
b. Tahap pathogenesis
Masa inkubasi penyakit meningitis yaitu berlangsung selama 1-10 hari, paling
sering kurang dari 4 hari, dengan gejala klinis demam, sakit kepala yang hebat,
mual, muntah, kaku kuduk, fobia cahaya, serta gangguan syaraf seperti letargi,
delirium, koma, dan bahkan disertai dengan kejang. Pada kelompok usia kurang
dari 1 tahun gejala klinisnya tidak spesifik, dan agak sulit untuk dikenali,
misalnya bayi menjadi tidak aktif, irritable, gangguan napsu makan, dan kejang.
c. Tahap pasca-patogenesis
Penyakit meningitis akan dengan cepat memburuk menjadi syok sepsis,
perdarahan kelenjar adrenal akut, dan diakhiri dengan gagal multi-organ. 10-30%
kasus meningitis dapat sembuh, dan komplikasi yang dapat muncul pada anak
yakni sebagai berikut:

1) Efusi sub-dural yaitu adanya cairan pada lapisan sub-dural oleh


karena dorongan intrakranial yang menyebabkan masuknya cairan dari lapisan
otak menuju ke area sub-dural
2) Inflamasi pada area ventrikel otak
3) Hidrosefalus
4) Abses serebri
5) Kejang
6) Keterbelakangan mental (gangguan fungsi kognitif)
7) Serangan meningitis yang berulang akibat pengobatan yang tidak tuntas atau
karena resisten antibiotik (Husni, 2020).

5. Etiologi

Gambar 9.4 Neisseria meningitidis


(Sumber: https://www.cdc.gov/meningococcal/about/photos.html)

Penyebab meningitis adalah bakteri Neisseria meningitidis yaitu bakteri


gram negatif, berbentuk diplokokus, dan tidak bergerak (nonmotil). Bakteri
Neisseria meningitidis adalah satu-satunya bakteri pathogen yang sering dikaitkan
dengan epidemi penyakit meningitis. Menurut kapsul polisakarida, maka bakteri
Neisseria meningitidis dibedakan menjadi 13 serogrup, yaitu A, B, C, D, H, I, K,
L, X, W, Z, 29E, dan W135. 6 dari 13 serogrup tersebut menyebabkan epidemi
dengan angka prevalensi bervariasi sesuai letak geografis. Keenam serogrup
tersebut yaitu A, B, C, W, X, Y. Tujuan dilakukan identifikasi serogrup yaitu
untuk kepentingan surveilans dan respon kesmas (Kemenkes, 2019).

6. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit meningitis dibedakan dalam tiga tahapan
(Husni, 2020) yakni sebagai berikut.
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah faktor risiko meningitis pada
individu yang belum memiliki faktor risiko melalui pola hidup sehat. Tindakan
pencegahan bisa dilakukan melalui pemberian imunisasi meningitis pada bayi
untuk merangsang imunitas tubuh. Jenis vaksin meningitis yang bisa diberikan
yaitu Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal polysaccaharide
vaccine (PPV), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), MMR (Measles dan
Rubella), dan Meningococcal conjugate vaccine (MCV4).

Jenis imunisasi Hib Conjugate vaccine diberikan sejak umur 2 bulan dan bisa
digunakan secara bersama dengan pemberian imunisasi lain seperti Polio, DPT,
dan MMR. Imunisasi Hib bertujuan untuk memberikan proteksi hingga 97%
terhadap bayi dari kemungkinan tertular oleh meningitis Hib. WHO
merekomendasikan jadwal imunisasi Hib pada anak usia 2-6 bulan dengan
frekuensi 3 dosis dalam rentang waktu 1 bulan, anak usia 7-12 bulan sebanyak 2
dosis dalam rentang waktu 1 bulan, serta anak usia 1-5 tahun sebanyak 1 dosis.
Pemberian jenis imunisasi ini tidak disarankan pada anak usia di bawah 2 bulan
karena zat kekebalan tubuh belum terbentuk.

Tindakan preventif juga bisa dilakukan dengan cara menghindari interaksi


langsung dengan penderita dan meminimalisasi angka kepadatan di perumahan
dan lingkungan seperti sekolah, tenda, atau kapal. Pencegahan terhadap
meningitis juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kebersihan perorangan
seperti cuci tangan di ari bersih dan mengalir dengan menggunakan sabun saat
sebelum makan dan setelah dari WC.

b. Pencegahan sekunder
Tujuan pencegahan sekunder yaitu untuk mengidentifikasi penyakit sejak dini
(saat belum terlihat gejala) dan saat terapi pengobatan awal yang dapat
memutuskan rantai penularan penyakit. Tindakan pencegahan sekunder dilakukan
dengan cara diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt
treatment). Deteksi dini dapat ditingkatkan dengan cara menginformasikan
kepada tenaga kesehatan dan keluarga supaya dapat mengenali tanda dan gejala
awal dari meningitis. Sementara itu, untuk mendiagnosis penyakit meningitis
dilakukan dengan melakukan cek fisik, cek cairan otak, tes laboratorium seperti
cek darah dan rontgen paru. Selain itu, surveilans yang ketat pada anggota
keluarga penderita, penitipan anak, dan kontak erat untuk identifikasi dini
penderita juga dapat dilakukan. Penderita meningitis juga diberi terapi antibiotik
sesuai dengan penyebabnya.

c. Pencegahan tersier
Tindakan pencegahan tersier adalah kegiatan klinik yang bertujuan untuk
mencegah kerusakan lanjut atau meminimalisasi komplikasi yang mungkin terjadi
saat penyakit berhenti. Pencegahan tersier juga bertujuan untuk mengurangi
kelemahan dan cacat akibat meningitis, dan membantu penderita dalam
menyesuaikan kondisi yang tidak terobati, dan mencegah kemungkinan
mengalami dampak neurologis kronik seperti tuli ataupun berkurangnya
kemampuan belajar. Tindakan fisioterapi ataupun rehabilitasi dapat diberikan
guna mencegah dan mengurangi tingkat kecacatan.

DAFTAR PUSTAKA
CDC. (2016). Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.
Poliomyelitis.” Tersedia pada:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/polio.html.
CDC. (2017). Meningococcal disease. Tersedia pada
https://www.cdc.gov/meningococcal/index.html.
CDC. (2019). Meningococcal photo. Tersedia pada
https://www.cdc.gov/meningococcal/about/photos.html.
CDC. (2020). Polio disease and poliovirus. Tersedia pada
https://www.cdc.gov/cpr/polioviruscontainment/diseaseandvirus.htm.
Hulu, V. T. et al. (2020). Epidemiologi Penyakit Menular Riwayat, Penularan dan
Pencegahan. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Husni, M. (2020). Proses Asuhan Gizi Terstandar Pada Pasien Anak (Studi
Kasus).”. Pekan Baru: Politeknik Kesehatan Kemenkes Riau.
Irwan. (2019). Epidemiologi Penyakit Menular. Yogyakarta: CV. Absolute
Media.
Kemenkes. (2014). Profil Kesehatan RI 2013. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes. (2019). Panduan Deteksi dan Respon Penyakit Meningitis
Meningokokus. Jakarta: Kemenkes RI.

Anda mungkin juga menyukai