Disusun Oleh:
HABIB SYAPUTRA RAHMANSYAH (201320100003)
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah “Epidemiologi Penyakit Polio dan Meningitis” untuk memenuhi tugas di
fakultas ilmu kesehatan Masyarakat Universitas Bakti Indonesia Banyuwamgi.
Penyusunan makalah ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................3
A. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR POLIO ......................................3
1. Pengertian......................................................................................................3
2. Pendekatan ....................................................................................................3
3. Faktor Risiko.................................................................................................4
4. Riwayat Alamiah...........................................................................................4
5. Etiologi..........................................................................................................5
6. Pencegahan....................................................................................................6
B. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR MENINGITIS ...........................8
1. Pengertian......................................................................................................8
2. Pendekatan ....................................................................................................8
3. Faktor Risiko.................................................................................................9
4. Riwayat Alamiah...........................................................................................9
5. Etiologi........................................................................................................10
6. Pencegahan..................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Pada makalah kali ini kita akan membahas tentang Epidemiologi Penyakit
Menular Polio dan Meningitis, mulai dari pengertian hingga bagaimana upaya
pencegahan yang dapat kita lakukan agar kita dapat terhindar dari penyakit
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Mempelajari Epidemiologi Penyakit Polio
2. Mempelajari Epidemiologi Penyakit Meningitis
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Epidemiologi Penyakit Polio
2. Mengetahui Epidemiologi Penyakit Meningitis
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR POLIO
1. Pengertian
Polio berasal dari bahasa Yunani yang berarti abu-abu dan myelon dari
sumsum tulang belakang). Kata polio ini berasal dari istilah medis untuk efek
polio-virus pada sumsum tulang belakang (Hulu et al., 2020). Polio adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh polio-virus yang dapat merusak saraf
motorik di kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyerang sistem saraf
sehingga menyebabkan kelumpuhan secara permanen dalam beberapa jam
(Najmah, 2016).
2. Pendekatan
a. Agen (agent)
Agent polio yakni polio-virus, yaitu golongan virus dari genus Enterovirus.
Ada tiga jenis polio-virus, yaitu tipe 1, 2, dan 3, dan ketiganya dapat menjadi
penyebab kelumpuhan. Polio-virus tipe 1 merupakan tipe yang paling mudah
untuk diisolasi, kemudian diikuti polio-virus tipe 3. Tipe 2 polio-virus adalah jenis
yang paling jarang untuk diisolasi. Adapun kasus polio yang sering dihubungkan
dengan vaksin yakni yang disebabkan oleh polio-virus tipe 2 dan 3 (WHO,2014).
Tipe 1, 2 dan 3 polio-virus tersusun dari materi RNA yang tertutup oleh
kapsid (bagian terluar virus). Pada prinsipnya, terdapat dua jenis polio-virus yakni
polio-virus liar dan polio-virus bersumber dari imunisasi polio. Polio-virus tipe 1
diisolasi dari hampir semua kelumpuhan dan menyebabkan perkembangan polio.
Polio-virus liar tipe 2 diberantas pada tahun 1999, sedangkan kasus polio-virus
liar tipe 3 sangat jarang terjadi. Sebagian besar kasus yang terkait dengan atau
disebabkan oleh vaksin polio itu sendiri disebabkan oleh tipe 2 dan 3. Polio-virus
hanya bisa hidup di usus manusia, yang nantinya akan bereplikasi memenuhi
dinding usus dalam waktu ± 8 minggu. Beberapa virus dikeluarkan setiap hari
melalui feses. Makanan dan minuman yang terkontaminasi feses dapat menulari
orang lain secara langsung atau melalui tangan yang terkontaminasi oleh feses
(Najmah, 2016).
b. Pejamu (host)
Host dari polio-virus adalah manusia, dimana kelompok yang rentan terkena
virus ini adalah anak usia di bawah lima tahun. Manusia merupakan satu-satunya
reservoir dan sumber penularan pada umumnya adalah penderita tanpa gejala. Di
sebagian besar negara endemik, sekitar 70-80% penderitanya berusia di bawah 3
tahun, dan 80-90% berusia di bawah 5 tahun. Kelompok resisten vaksin,
3
minoritas, migran musiman, anak-anak yang tidak terdaftar, pengembara,
pengungsi, dan orang miskin perkotaan berisiko tinggi terinfeksi vaksin. Anak-
anak yang tidak memiliki imunitas yang cukup dapat terinfeksi, dan hanya
sebagian kecil dari mereka yang lumpuh atau meninggal (1 dari 100). Sekitar 100
sampai 1000 anak yang lumpuh karena infeksi polio terinfeksi tetapi tidak
lumpuh. Namun, anak-anak ini dapat menginfeksi anak-anak lain dengan polio-
virus (Hulu et al., 2020).
c. Lingkungan (environment)
Epidemi polio terutama disebabkan oleh konsentrasi feses dari pasien polio.
Secara khusus, kasus polio terjadi di daerah dengan kondisi sanitasi buruk melalui
rute faecal-oral dan droplet dari oral ke oral. Infeksi melalui rute faecal-oral
adalah makanan atau minuman yang terkontaminasi polio-virus dari feses
penderita dan masuk ke mulut orang sehat. Sementara untuk infeksi dengan rute
oral ke oral adalah penyebaran saliva pada pasien yang masuk ke mulut orang
yang sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap penularan polio-virus jika infeksi dari oral ke oral terus
meningkat (Polio Eradication Organization, 2015).
Agent Host
Environment
Sanitasi
3. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko kejadian polio (CDC, 2016; Mammas et al., 2016;
WHO, 2017) adalah sebagai berikut.
a. Orang yang tidak pernah atau tidak lengkap memperoleh imunisasi polio
b. Orang yang mengalami gangguan imunitas tubuh
c. Orang yang bermukim di daerah dengan kondisi sanitasi buruk
d. Orang yang bepergian atau dari daerah endemik polio
4. Riwayat Alamiah
4
Riwayat alamiah penyakit polio dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap prepatogenesis,
patogenesis, dan pasca-patogenesis.
a. Tahap pre-patogenesis
b. Tahap patogenesis
Tahapan patogenesis terdiri atas dua, yaitu masa inkubasi, dan masa
penyakit dini. Masa inkubasi penyakit polio umumnya berlangsung selama 6-20
hari, dengan rentang waktu antara 3-35 hari (Simbolon, 2019). Pada masa
penyakit dini, kebanyakan orang yang terinfeksi polio biasanya tanpa gejala atau
hanya memperlihatkan gejala seperti flu ringan seperti malaise, demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, dan muntah (Irwan, 2019).Tingkat virulensi menurun
90% setiap 20 hari di media tanah ketika musim dingin, setiap 1,5 hari di musim
panas, setiap 26 hari di air limbah dengan temperatur 23°C, setiap 5,5 hari di air
bersih, dan setiap 2,5 hari di air laut (Soegijanto, 2016).
c. Tahap pasca-patogenesis
5. Etiologi
Penyakit polio disebabkan oleh virus RNA yang termasuk dalam kelompok
Enterovirus dari keluarga Picornaviridae, yang merupakan subkelompok dengan
Coxsackie virus dan Echovirus. Ada tiga strain poliovirus, yakni tipe 1
(Brunhilde), tipe 2 Lansing, dan tipe 3 Leon. Polio-virus tipe 1 adalah yang paling
paralitogenik dan sering menyebabkan wabah, sedangkan tipe 2 adalah yang
paling jinak. Polio-virus tipe 3 sudah tidak terdeteksi sejak November 2012. Oleh
karena itu, diasumsikan bahwa hanya tipe 1 WPV yang beredar saat ini. Tidak ada
kekebalan silang antara subtipe polio-virus (WHO, 2017).
5
Polio-virus dominan di sel tanduk anterior sumsum tulang belakang, bagian
core motorik brainstem (batang otak), dan bagian motorik korteks serebral,
sehingga berakibat pada kelumpuhan dan atrofi otot. Polio-virus dapat bertahan
hidup selama beberapa bulan pada suhu kamar, tahan dengan alkohol 70%, eter,
dan dapat mati jika terkena klorin, formaldehid, serta suhu di atas 50 °C serta
paparan sinar UV (Irwan, 2019).
6. Pencegahan
a) Pencegahan primer
Beberapa upaya yang dapat dilakukan pada tahap primer dalam mencegah
kasus polio adalah sebagai berikut.
3) Imunisasi polio reguler dan tambahan menuju eradikasi polio. Jenis vaksin
yang digunakan untuk Pekan Imunisasi Nasional (PIN) adalah monovalent
6
OPV (mOPV) yang hanya mengandung polio-virus tipe 1 dan lebih aman
karena lebih imunogenik daripada trivalent OPV (tOPV) yang umumnya
digunakan pada imunisasi dasar. Polio-virus ada yang disebut dengan P1,
P2, dan P3 yang menyebabkan penyakit, dengan tipe P1 yang paling
dominan. Sehubungan dengan eradikasi polio, maka dibutuhkan kerjasama
dari berbagai pihak dan olehnya itu terdapat empat strategi dalam
pemberantasan polio. Pertama, imunisasi polio dilakukan pada semua
anak sebelum usia satu tahun dengan frekuensi empat kali. Kedua, PIN
pada semua anak di bawah lima tahun. Ketiga, sistem pengamatan dibuat
sesuai standar sertifikasi sehingga tidak ada kasus yang tidak
teridentifikasi. Keempat, mengirim tim untuk melakukan imunisasi secara
door to door di daerah suspek polio (Najmah, 2016).
b) Pencegahan sekunder
Upaya yang dapat dilakukan pada tahap sekunder dalam pencegahan kasus
polio adalah sebagai berikut.
1) Isolasi di rumah sakit bagi penderita polio akibat polio-virus liar. Isolasi di
rumah sakit lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan di rumah karena
anggota keluarga sudah terinfeksi terlebih dahulu sebelum diagnosis polio
ditegakkan, mengingat penyakit ini sangat mudah menular.
2) Pengobatan khusus
3) Desinfeksi tenggorokan. Keadaan di Indonesia, di mana beberapa orang
masih memiliki toilet tanpa tangki septik, sangat diperlukan disinfeksi
pada tempat pembuangan ekskreta yang terbuka. Dalam komunitas dengan
sistem pembuangan yang modern dan dilengkapi dengan baik, ekskreta
dapat dialirkan langsung ke sistem pembuangan tanpa terlebih dahulu
dilakukan disinfeksi.
4) Penyakit polio tidak dapat sembuh, oleh karena itu merawat pasien polio
akut perlu pengetahuan dan keterampilan yang tepat, serta peralatan yang
cukup, terutama bagi pasien yang butuh alat bantu napas (Hulu et al.,
2020).
c) Pencegahan tersier
7
B. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR MENINGITIS
1. Pengertian
Penyakit meningitis adalah penyakit infeksi akut pada selaput otak dan
sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
virus, bakteri, jamur, atau parasit (CDC, 2017), yang ditandai dengan gejala
gangguan kesadaran, peningkatan rangsang, tekanan intracranial meningkat, dan
defisit neurologis (Husni, 2020). Penyakit meningitis bakterial umumnya
disebabkan oleh Neisseria meningitidis (Kemenkes, 2019).
2. Pendekatan
Pendekatan epidemiologi dalam proses terjadinya penyakit meningitis
diuraikan dalam konsep triad epidemiologi berikut.
a. Agen (agent)
Bakteri dan virus biasanya menjadi penyebab penyakit meningitis. Bakteri
yang paling sering menjadi penyebab meningitis adalah Neisseria meningitidis.
Meningitis purulenta umumnya disebabkan oleh Meningococcus, Haemophilus
influenzae dan Pneumococcus, sedangkan untuk meningitis serosa yang menjadi
penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis dan virus. Bakteri
Pneumococcus merupakan adalah penyebab meningitis yang paling serius. Sekitar
20-30% pasien meninggal karena meningitis hanya dalam kurun waktu 24 jam,
dimana bayi dan lansia memiliki angka kematian tertinggi. Sementara itu,
meningitis yang disebabkan oleh virus tergolong penyakit ringan, dengan gejala
seperti Gejalanya mirip flu biasa dan termasuk self-limiting disease (penyakit
yang dapat sembuh dengan sendiri) (Husni, 2020).
b. Pejamu (host)
Host dari meningitis adalah manusia. Usia dan sistem kekebalan tubuh
berkorelasi kuat terhadap kejadian meningitis. Distribusi penyakit paling tinggi
ditemukan pada jenis kelamin laki-laki dibanding perempuan, dan frekuensi
terbanyak pada usia bayi. Meningitis purulenta sering menyerang bayi dan anak-
anak oleh karena imunitasnya yang belum sempurna terbentuk. Insidensi
meningitis oleh Haemophilus influenzae memuncak di Amerika Serikat yaitu pada
anak usia 6-12 bulan dan negara berkembang pada anak di bawah 6 bulan.
Meningitis karena Pneumococcus umumnya terjadi pada anak usia kurang dari
dua tahun, dan memiliki risiko 3,4 kali lebih besar pada anak berkulit hitam
dibanding kulit putih. Sementara itu, meningitis serosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis paling sering terjadi pada kelompok usia 6 bulan
sampai 5 tahun. Pada kondisi non epidemi, meningitis juga dapat terjadi pada
kelompok remaja dan dewasa muda (Kemenkes, 2019).
c. Lingkungan (environment)
Risiko penularan penyakit meningitis biasanya terjadi pada kondisi sosial-
ekonomi rendah (umumnya pada negara berkembang), lingkungan dengan kondisi
sanitasi buruk dan padat penduduk, dan kontak dengan penderita ISPA. Kasus
8
meningitis paling sering terjadi pada musim panas seiring dengan peningkatan
kasus ISPA.
Agent Host
Environment
3. Faktor Risiko
Faktor risiko yang berkontribusi terhadap penyakit meningitis (Kemenkes,
2019) adalah sebagai berikut.
a. Kondisi pemukiman yang padat penduduk
b. Kontak erat dengan penderita
c. Paparan asap rokok (perokok aktif maupun pasif)
d. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah
e. Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk
f. Perubahan iklim
g. Riwayat ISPA
h. Pelaku perjalanan ke negara epidemic
4. Riwayat Alamiah
Riwayat alamiah penyakit meningitis dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap
pre patogenesis, patogenesis, dan pasca-patogenesis.
a. Tahap pre-patogenesis
Agent meningitis hanya dapat menginfeksi manusia, dan tidak ditemukan
reservoir pada hewan. Penularan dari manusia ke manusia terjadi melalui droplet
dan saliva dari carrier (pembawa) seperti merokok dan kontak erat dengan
carrier.
b. Tahap pathogenesis
Masa inkubasi penyakit meningitis yaitu berlangsung selama 1-10 hari,
paling sering kurang dari 4 hari, dengan gejala klinis demam, sakit kepala yang
hebat, mual, muntah, kaku kuduk, fobia cahaya, serta gangguan syaraf seperti
9
letargi, delirium, koma, dan bahkan disertai dengan kejang. Pada kelompok usia
kurang dari 1 tahun gejala klinisnya tidak spesifik, dan agak sulit untuk dikenali,
misalnya bayi menjadi tidak aktif, irritable, gangguan napsu makan, dan kejang.
c. Tahap pasca-patogenesis
Penyakit meningitis akan dengan cepat memburuk menjadi syok sepsis,
perdarahan kelenjar adrenal akut, dan diakhiri dengan gagal multi-organ. 10-30%
kasus meningitis dapat sembuh, dan komplikasi yang dapat muncul pada anak
yakni sebagai berikut:
1) Efusi sub-dural yaitu adanya cairan pada lapisan sub-dural oleh karena
2) dorongan intrakranial yang menyebabkan masuknya cairan dari lapisan
3) otak menuju ke area sub-dural
4) Inflamasi pada area ventrikel otak
5) Hidrosefalus
6) Abses serebri
7) Kejang
8) Keterbelakangan mental (gangguan fungsi kognitif)
9) Serangan meningitis yang berulang akibat pengobatan yang tidak tuntas
10) atau karena resisten antibiotik (Husni, 2020).
5. Etiologi
6. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit meningitis dibedakan dalam tiga
tahapan (Husni, 2020) yakni sebagai berikut.
10
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah faktor risiko meningitis pada
individu yang belum memiliki faktor risiko melalui pola hidup sehat. Tindakan
pencegahan bisa dilakukan melalui pemberian imunisasi meningitis pada bayi
untuk merangsang imunitas tubuh. Jenis vaksin meningitis yang bisa diberikan
yaitu Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal polysaccaharide
vaccine (PPV), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), MMR (Measles dan
Rubella), dan Meningococcal conjugate vaccine (MCV4).
Jenis imunisasi Hib Conjugate vaccine diberikan sejak umur 2 bulan dan
bisa digunakan secara bersama dengan pemberian imunisasi lain seperti Polio,
DPT, dan MMR. Imunisasi Hib bertujuan untuk memberikan proteksi hingga 97%
terhadap bayi dari kemungkinan tertular oleh meningitis Hib. WHO
merekomendasikan jadwal imunisasi Hib pada anak usia 2-6 bulan dengan
frekuensi 3 dosis dalam rentang waktu 1 bulan, anak usia 7-12 bulan sebanyak 2
dosis dalam rentang waktu 1 bulan, serta anak usia 1-5 tahun sebanyak 1 dosis.
Pemberian jenis imunisasi ini tidak disarankan pada anak usia di bawah 2 bulan
karena zat kekebalan tubuh belum terbentuk.
b. Pencegahan sekunder
Tujuan pencegahan sekunder yaitu untuk mengidentifikasi penyakit sejak
dini (saat belum terlihat gejala) dan saat terapi pengobatan awal yang dapat
memutuskan rantai penularan penyakit. Tindakan pencegahan sekunder dilakukan
dengan cara diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt
treatment). Deteksi dini dapat ditingkatkan dengan cara menginformasikan kepada
tenaga kesehatan dan keluarga supaya dapat mengenali tanda dan gejala awal dari
meningitis. Sementara itu, untuk mendiagnosis penyakit meningitis dilakukan
dengan melakukan cek fisik, cek cairan otak, tes laboratorium seperti cek darah
dan rontgen paru. Selain itu, surveilans yang ketat pada anggota keluarga
penderita, penitipan anak, dan kontak erat untuk identifikasi dini penderita juga
dapat dilakukan. Penderita meningitis juga diberi terapi antibiotik sesuai dengan
penyebabnya.
c. Pencegahan tersier
Tindakan pencegahan tersier adalah kegiatan klinik yang bertujuan untuk
mencegah kerusakan lanjut atau meminimalisasi komplikasi yang mungkin terjadi
saat penyakit berhenti. Pencegahan tersier juga bertujuan untuk mengurangi
kelemahan dan cacat akibat meningitis, dan membantu penderita dalam
menyesuaikan kondisi yang tidak terobati, dan mencegah kemungkinan
mengalami dampak neurologis kronik seperti tuli ataupun berkurangnya
11
kemampuan belajar. Tindakan fisioterapi ataupun rehabilitasi dapat diberikan
guna mencegah dan mengurangi tingkat kecacatan.
12
DAFTAR PUSTAKA
CDC. (2016). Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.
Poliomyelitis.” Tersedia pada:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/polio.html.
CDC. (2017). Meningococcal disease. Tersedia pada
https://www.cdc.gov/meningococcal/index.html.
CDC. (2019). Meningococcal photo. Tersedia pada
https://www.cdc.gov/meningococcal/about/photos.html.
CDC. (2020). Polio disease and poliovirus. Tersedia pada
https://www.cdc.gov/cpr/polioviruscontainment/diseaseandvirus.htm.
Hulu, V. T. et al. (2020). Epidemiologi Penyakit Menular Riwayat, Penularan dan
Pencegahan. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Husni, M. (2020). Proses Asuhan Gizi Terstandar Pada Pasien Anak (Studi
Kasus).”. Pekan Baru: Politeknik Kesehatan Kemenkes Riau.
Irwan. (2019). Epidemiologi Penyakit Menular. Yogyakarta: CV. Absolute
Media.
Kemenkes. (2014). Profil Kesehatan RI 2013. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes. (2019). Panduan Deteksi dan Respon Penyakit Meningitis
Meningokokus. Jakarta: Kemenkes RI.
13