Anda di halaman 1dari 35

 

 REFERAT

INFEKSI OTAK

           

Disusun oleh :
Andhika Dimas Adyatma     (2016730010)
Laela Fitriyah        (2016730058)

Pembimbing :
dr. Wiwin Sundawiyani, SpS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Infeksi
Otak” dengan baik dan tepat waktu. Presentasi referat ini disusun untuk memenuhi persyaratan
dalam menyelesaikan pendidikan Kepaniteraan Klinis Stase Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit
Islam Jakarta Cempaka Putih.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Wiwin Sundawiyani,
SpS sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada keluarga dan rekan-rekan sejawat yang telah memberikan dukungan, saran,
dan kritik yang membangun. Keberhasilan penyusunan ini tidak akan tercapai tanpa adanya
bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak tersebut.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Jakarta, Juni 2020

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR    ii
DAFTAR ISI    iii
DAFTAR GAMBAR    iv
BAB I PENDAHULUAN    1
Latar Belakang    1
BAB II PEMBAHASAN    2
A.    Infeksi Sistem Saraf Pusat    2
B.    Infeksi Intrakranial    2
1.    Meningitis    2
a.    Meningitis Bakteri    3
b.    Meningitis Tuberkulosa (TBM)    8
c.    Tuberkuloma Serebri    11
d.    Meningitis Viral    14
e.    Meningitis Kriptokokus    17
2.    Ensefalitis    19
a.    Ensefalitis Viral    22
b.    Ensefalitis Fungal    24
c.    Ensefalitis Toxoplasma    25
3.    Abses Otak    27
4.    Subdural Empiema (SDE)    29
C.    Infeksi Sumsum Tulang Belakang    34
1.    Mielitis    34
a.    Acute Transverse Myelitis (ATM)    36
b.    Polimielitis    43
BAB III SIMPULAN    45
DAFTAR PUSTAKA    46
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi meninges    3


Gambar 2 Teapi empiris meningitis bacterial    6
Gambar 3 Dosis antibiotik pada meningits bakteri    7
Gambar 4 Patogenesis meningitis TB    9
Gambar 5 Terapi lini pertama meningitis tuberculosis    11
Gambar 6 Gambaran MRI meningitis TB    13
Gambar 7 Kriteria diagnosis ensefalitis    20
Gambar 8 Algoritma diagnosis ensefalitis    21
Gambar 9 Tata laksana ensefalitis    21

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Infeksi sistem saraf pusat (SSP) — yaitu infeksi yang melibatkan otak (otak besar dan
otak kecil), sumsum tulang belakang, saraf optik, dan membran penutupnya — adalah
kedaruratan medis yang berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, atau sekuele jangka panjang
yang mungkin memiliki implikasi bencana bagi kualitas hidup individu yang terkena. Infeksi
SSP akut yang membutuhkan perawatan neurointensive (ICU) secara luas masuk ke dalam tiga
kategori - meningitis, ensefalitis, dan abses - dan umumnya hasil dari penyebaran
mikroorganisme yang ditularkan melalui darah.  

BAB II
PEMBAHASAN

A. Infeksi Sistem Saraf Pusat


Infeksi SSP diklasifikasikan berdasarkan lokalisasi anatominya. Infeksi meninges, otak
dan sumsum tulang belakang masing-masing menyebabkan meningitis, ensefalitis, abses
otak, dan mielitis. Infeksi mungkin terbatas pada kompartemen anatomi tunggal atau dapat
melibatkan beberapa tempat (mis., Meningoensefalitis dan ensefalomielitis). 
Berdasarkan lamanya, infeksi dapat diklasifikasikan sebagai akut, sub-akut, kronis atau
berulang. Meningitis ditandai oleh timbulnya demam, sakit kepala, leher kaku, dan fotofobia
selama beberapa jam hingga beberapa hari. Ensefalitis ditandai oleh peradangan parenkim
otak, dan ciri klinisnya adalah perubahan status mental, mulai dari kelesuan menjadi koma.
Myelitis ditandai oleh peradangan pada sumsum tulang belakang dengan gejala termasuk
demam, sakit kepala, dan paraparesis atau kelumpuhan.
B. Infeksi Intrakranial
1. Meningitis
Meningitis didefinisikan sebagai peradangan pada meninges. Meninges adalah
tiga selaput (dura mater, arachnoid mater, dan pia mater) yang melapisi kanal vertebra
dan tengkorak yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang. Ensefalitis adalah
radang otak itu sendiri.
Meningitis dapat disebabkan oleh proses infeksi dan non-infeksius (gangguan
autoimun, kanker / sindrom paraneoplastik, reaksi obat). Agen penyebab infeksi
meningitis meliputi bakteri, virus, jamur, dan parasit yang kurang umum.
Bakteri yang menyebabkan meningitis ditularkan dari orang ke orang melalui
tetesan droplet pernapasan atau tenggorokan dari carrier. Kontak yang dekat dan
berkepanjangan - seperti mencium, bersin, atau batuk pada seseorang, atau tinggal di
lingkungan yang dekat dengan orang yang terinfeksi mampu menyebarkan penyakit.
Masa inkubasi rata-rata adalah 4 hari tetapi dapat berkisar antara 2 dan 10 hari.
Gambar 1 Anatomi meninges 

Infeksi ini mencapai struktur intrakranial melalui salah satu dari dua jalur, baik
dengan penyebaran hematogen (emboli bakteri atau thrombi yang terinfeksi) atau dengan
perluasan dari struktur tengkorak yang berdekatan dengan otak (telinga, sinus paranasal,
fokus osteomielitik pada tengkorak, penetrasi tengkorak atau bawaan) saluran sinus).
a. Meningitis Bakteri
Definisi
Bakterial meningitis adalah infeksi bakteri pada meninges, yang merupakan
pelindung untuk otak dan sumsum tulang belakang yang mengakibatkan peradangan.
Merupakan kondisi serius dan mengancam jiwa yang membutuhkan diagnosis dan
perawatan yang cepat.
Epidemiologi
Diperkirakan keseluruhan insiden meningitis bakteri di Amerika Serikat menjadi
4.100 kasus setiap tahun, yang mengakibatkan 500 kematian. Tingkat kejadian
tahunan (per 100.000 populasi) dari patogen yang bertanggung jawab kira-kira
sebagai berikut: Streptococcus  pneumoniae (1,1); Neisseria  meningitides (0,6);
streptokokus grup B (terutama pada bayi baru lahir), (0,3); Listeria monocytogenes
(0,2); dan Haemophilus influenzae (0,2).
Etiologi
Penyebab umum meningitis bakteri bervariasi berdasarkan kelompok umur:
 Bayi baru lahir: Grup B Streptococcus, S. pneumoniae, L. monocytogenes, E.
coli
 Bayi dan anak-anak: S. pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae tipe b
(Hib), kelompok B Streptococcus
 Remaja dan dewasa muda: N. meningitidis, S. pneumoniae
 Orang dewasa yang lebih tua: S. pneumoniae, N. meningitidis, Hib,
kelompok B Streptococcus, L. monocytogenes
Patogenesis
Bakteri memerlukan akses ke meninges untuk menyebabkan meningitis. Ada
beberapa mekanisme untuk masuk: 
 Bakteremia, atau bakteri dalam darah, dapat menyebabkan bakteri melintasi
sawar darah-otak. (mis. N. meningitidis dan S. pneumoniae) 
 Perluasan langsung otitis media atau sinusitis ke sistem saraf pusat (SSP) juga
dapat terjadi. 
 Cacat dural, baik bawaan atau didapat, memungkinkan bakteri memasuki
SSP. 
 Meningitis bakteri nosokomial adalah hasil dari manipulasi meninges selama
prosedur bedah saraf. 
Invasi bakteri ke ruang subarachnoid menyebabkan peradangan pada meninges. Hal
ini dapat menyebabkan pasien mengalami sakit kepala dan demam.
Penyebaran
Umumnya, kuman yang menyebabkan meningitis bakteri menyebar dari satu
orang ke orang lain. Kuman tertentu, seperti L. monocytogenes, dapat menyebar
melalui makanan. Berikut adalah beberapa contoh paling umum tentang bagaimana
indievidu menyebarkan setiap jenis bakteri satu sama lain:
 Grup B Streptococcus dan E. coli: Ibu dapat menularkan bakteri ini kepada
bayi mereka selama kelahiran.
 Hib dan S. pneumoniae: Orang menyebarkan bakteri ini dengan batuk atau
bersin saat kontak dekat dengan orang lain, yang menghirup bakteri.
 N. meningitidis: Orang menyebarkan bakteri ini dengan berbagi sekresi
pernapasan atau tenggorokan (air liur atau ludah). Ini biasanya terjadi selama
kontak yang dekat (batuk atau berciuman) atau panjang (hidup bersama).
 E. coli: Orang bisa mendapatkan bakteri ini dengan memakan makanan yang
disiapkan oleh orang yang tidak mencuci tangan dengan baik setelah
menggunakan toilet. 

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Efek klinis awal dari meningitis bakterial akut adalah demam, sakit
kepala, biasanya parah, dan kaku pada leher (resistensi terhadap gerakan pasif
pada penekukan ke depan), dan lebih jarang pada awalnya, kejang umum dan
gangguan kesadaran (yaitu, kebingungan, kantuk, pingsan, dan koma).
Fleksi pada pinggul dan lutut sebagai respons terhadap fleksi leher ke
depan (tanda Brudzinski) dan resistensi untuk merentangkan kaki dengan pinggul
tertekuk (tanda Kernig) memiliki arti yang sama dengan kekauan leher  tetapi
kurang dapat diterima secara konsisten.
Pasien yang diduga menderita meningitis bakteri harus menerima tusukan
lumbar untuk mendapatkan sampel cairan serebrospinal (CSF). CSF harus dikirim
untuk pewarnaan Gram, kultur, jumlah sel lengkap (CBC), dan kadar glukosa dan
protein. Meningitis bakteri biasanya menghasilkan kadar glukosa dan protein
tinggi dalam cairan serebrospinal. Diperkirakan dominasi neutrofil pada jumlah
sel. Diagnosis akan dikonfirmasi dengan bakteri yang diidentifikasi pada
pewarnaan gram atau kultur. 
Pertimbangkan menunda pungsi lumbal jika pasien memiliki tanda-tanda
vital yang tidak stabil, kelainan koagulasi, atau mengalami kejang baru-baru ini.
Obati dengan antibiotik secara empiris jika pengujian akan ditunda. Kultur darah
harus diperoleh karena 53% pasien memiliki bakteremia bersamaan. Peningkatan
protein C-reaktif atau kadar prokalsitonin akan menyarankan etiologi bakteri
daripada virus.
CT scan non-kontras kepala harus dilakukan sebelum pungsi lumbal jika
pasien memiliki risiko herniasi (mis. papilledema pada pemeriksaan, kejang onset
baru, defisit neurologis fokal, atau immunocompromised). 
Tata Laksana
Meningitis bakteri adalah keadaan darurat medis. Langkah terapi pertama
bertujuan untuk menjaga tekanan darah dan mengobati syok septik (penggantian
volume, terapi pressor). Perawatan harus dimulai sambil menunggu hasil tes
diagnostik dan dapat diubah kemudian sesuai dengan temuan laboratorium.
Sebagian besar kasus meningitis bakteri harus diobati untuk jangka waktu
10 hingga 14 hari. Antibiotik harus diberikan dalam dosis penuh secara parenteral
(umumnya intravena) selama periode pengobatan.
 
Gambar 2 Teapi empiris meningitis bacterial 

Gambar 3 Dosis antibiotik pada meningits bakteri 

Profilaksis dan Pencegahan


Kontak orang di rumah pasien dengan meningitis meningokokus harus
dilindungi dengan pengobatan antibiotik. Dosis tunggal siprofloksasin efektif.
Alternatif lain adalah dosis oral harian rifampisin - 600 mg q12h pada orang
dewasa dan 10 mg / kg q12h pada anak-anak - selama 2 hari. Jika 2 minggu atau
lebih telah berlalu sejak kasus indeks ditemukan, tidak diperlukan profilaksis.
Vaksin adalah cara paling efektif untuk melindungi dari beberapa jenis
meningitis bakteri. Ada vaksin untuk 3 jenis bakteri yang dapat menyebabkan
meningitis:
 Vaksin meningokokus membantu melindungi terhadap N. meningitidis
 Vaksin pneumokokus membantu melindungi terhadap S. pneumoniae
 Vaksin Hib membantu melindungi terhadap Hib  

b. Meningitis Tuberkulosa (TBM)


Definisi
Meningitis Tuberkulosa (TBM) adalah manifestasi dari TB luar paru yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (MTB).
Epidemiologi
Meningitis TB (TBM) adalah bentuk TB paling parah, dengan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Sekitar 30% pasien dengan TBM meninggal walaupun
sudah diobati. Tingkat fatalitas kasus untuk TBM pada orang dewasa lebih tinggi di
antara pasien yang terinfeksi HIV daripada di antara pasien yang tidak terinfeksi.
Pada 2012, ada ~ 8,6 juta insiden TB secara global, dan di antaranya, 1,3 juta
kematian terjadi  
Patogenesis
Rich dan Mc Cordock menyarankan bahwa TB otak berkembang dalam dua
tahap. Awalnya lesi tuberkulosa kecil (Rich`s foci) berkembang di otak selama tahap
bakteremia TB primer atau tidak lama kemudian. Lesi tuberkulosis dini ini dapat
ditemukan di meninges, permukaan subpial atau subependymal otak, dan dapat tetap
tidak aktif untuk waktu yang lama. Kemudian, pecah atau tumbuhnya satu atau lebih
lesi kecil menghasilkan perkembangan berbagai jenis TB SSP. Ruptur ke dalam ruang
subarachnoideal atau ke dalam sistem ventrikel menghasilkan meningitis, bentuk
paling umum dari TB serebral.
Gambar 4 Patogenesis meningitis TB 

Patogenesis dan respons imun tuberculosis serebral: Paru-paru awalnya terinfeksi


oleh rute aereal (1); basil tumbuh di paru-paru dan menyebar setelah invasi pembuluh
darah (2) menghasilkan infeksi sistemik (3) mempengaruhi otak (4). Kelompok kecil
sel-sel inflamasi terletak di daerah subpial atau subependymal (Rich foci) setelah
bakteremia dini (5), di mana basil puas dan dapat tetap aktif untuk waktu yang lama.
Kemudian, pertumbuhan dan pecahnya lesi ini menghasilkan TBC meningeal (6).
Infeksi mikobakteri menginduksi produksi sitokin proinflamasi yang penting untuk
membunuh basil tetapi mereka juga dapat menghasilkan imunopatologi (7). Sitokin
antiradang juga sangat diproduksi; mereka melindungi kerusakan jaringan dengan
peradangan berlebihan dan menginduksi regenerasi jaringan saraf (7).
Manifestasi Klinis & Diagnosis
Manifestasi awal biasanya demam ringan, malaise, sakit kepala (lebih dari 50
persen kasus), lesu, letargi, dan leher kaku (75 persen kasus), dengan tanda-tanda
Kernig dan Brudzinski. Pada anak kecil dan bayi, apatis, hiperirritabilitas, muntah,
dan kejang adalah gejala yang biasa terjadi; Namun, leher yang kaku mungkin tidak
menonjol atau mungkin tidak ada sama sekali.
Sistem penilaian British Medical Research Council (MRC) telah menjadi
klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk tingkat keparahan TBM. Pasien
dibagi lagi, berdasarkan klinis menjadi: 
 Early: tidak ada tanda-tanda klinis meningitis atau neurologi fokus dan sadar
penuh, 
 Medium: kondisi pasien jatuh antara awal dan lanjut, dan 
 Advanced: sangat sakit, dalam koma yang dalam. 
Dengan diperkenalkannya Glasgow Coma Scale (GCS) pada tahun 1974, klasifikasi
MRC menjadi (Thao, et al., 2018): 
 Kelas I (skor GCS 15; tidak ada tanda-tanda neurologis fokal), 
 Kelas II (skor GCS 11-14 atau 15 dengan neurologis fokal tanda-tanda), atau 
 Kelas III (skor GCS ≤10).
Tes diagnostik yang paling penting adalah pungsi lumbal, yang sebaiknya
dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Pada awal penyakit mungkin ada jumlah
leukosit dan limfosit polimorfonuklear yang kurang lebih sama, tetapi setelah
beberapa hari limfosit mendominasi dalam sebagian besar kasus. Namun, dalam
beberapa kasus, M. tuberculosis menyebabkan pleocytosis polymorphonuclear yang
persisten, penyebab umum lainnya dari formula CSF ini adalah Nocardia,
Aspergillus, dan Actinomyces (Peacock).
Kandungan protein CSF selalu meningkat, antara 100 dan 200 mg / dL dalam
banyak kasus, tetapi jauh lebih tinggi jika aliran CSF tersumbat di sekitar sumsum
tulang belakang. Glukosa berkurang ke tingkat di bawah 40 mg / dL, tetapi jarang ke
nilai yang sangat rendah diamati pada meningitis bakteri konvensional.
Sekarang banyak digunakan adalah amplifikasi PCR dari cairan serebrospinal,
yang dengan cepat memungkinkan deteksi sejumlah kecil basil tuberkulum.
Sensitivitas tes ini dinyatakan mendekati 80 persen tetapi ada tingkat positif palsu 10
persen. Ada juga teknik kultur cepat yang memungkinkan identifikasi organisme
dalam waktu kurang dari 1 minggu.
Angiografi MR atau CT dapat menunjukkan penyakit oklusif vaskular dari
infiltrasi granulomatosa pada dinding arteri.

Tata Laksana
Pengobatan anti-TB lini pertama memiliki penetrasi CSF yang sangat baik.
Pengobatan untuk TBM terdiri dari dua bulan isoniazid harian (INH), rifampin (RIF),
pirazinamid (PZD) dan streptomisin (SM) atau etambutol (EMB). Rejimen ini
kemudian diikuti oleh 7 hingga 10 bulan INH dan RIF. Rencana perawatan ini
didasarkan pada asumsi bahwa MTB bukan jenis yang resisten. 
Gambar 5 Terapi lini pertama meningitis tuberculosis 

Pasien yang terinfeksi HIV yang menerima pengobatan TBM berisiko terhadap
penurunan klinis setelah memulai terapi antiretroviral (ART) karena immune
reconstitution inflammatory syndrome (TBM-IRIS). Beberapa pedoman
merekomendasikan menunda ART hingga 4-6 minggu setelah memulai pengobatan
anti-TB. Meskipun kortikosteroid tampaknya tidak mencegah TBM-IRIS, memulai
kembali atau meningkatkan dosis dan durasi pengobatan kortikosteroid
direkomendasikan untuk pengelolaan TBM-IRIS.

c. Tuberkuloma Serebri
Definisi
Cerebral Tuberculoma adalah bentuk TBC yang jarang dan serius karena
penyebaran hematogen Mycobacterium Tuberculosis (MT) (Monteiro, et al., 2013).
Cerebral Tuberculoma telah didefinisikan sebagai massa jaringan granulasi yang
terdiri dari konglomerasi tuberkel mikroskopis. TB mungkin tunggal atau kurang
umum multipel, dan ukurannya dapat bervariasi dari beberapa milimeter hingga
diameter 3-4 cm.
Epidemiologi
Manifestasi TBC sistem saraf pusat adalah: meningitis TBC yang paling sering,
diikuti oleh tuberkuloma dan abses serebral. Tuberkuloma masih mewakili 5 hingga
30% dari proses ekspansif intrakranial di negara-negara berkembang. Kontaminasi
dapat disebabkan oleh penyebaran tuberkulosis sistemik secara hematogen atau
melalui perluasan kedekatan TB meningeal atau vertebral. Tuberkuloma adalah
supratentoriel paling sering pada anak-anak, situs yang paling umum adalah belahan
otak.
Patogenesis
Pemahaman saat ini tentang patogenesis tuberkuoma pada SSP sebagian besar
tetap tidak berubah selama 80 tahun terakhir sejak karya perintis oleh Arnold Rich
dan Howard McCordock pada tahun 1933. Tuberkuloma SSP adalah proses dua
tahap. Pada tahap pertama, ada penyemaian basil tuberkulosis yang membentuk "Rich
foci" terutama di dalam parenkim otak setelah diseminasi secara hematogen selama
fase primer atau pasca infeksi primer infeksi. Setelah periode diam sekitar beberapa
bulan atau beberapa tahun, tahap kedua dimulai ketika basil dan komponen
antigeniknya dilepaskan ke ruang subaraknoid yang menyebabkan meningitis
tuberkulosis; atau bukannya pecah ke dalam ruang subarachnoid, tuberkel intrakranial
dapat membesar di dalam parenkim otak dan menimbulkan space occupying lesion
(SOL) yang dikenal sebagai tuberculoma. TBC berdinding dari parenkim otak oleh
kapsul berserat tebal.
Gambar 6 Gambaran MRI meningitis TB 

Manifestasi Klinis
Tuberkuloma kadang-kadang terdapat pada pasien yang sama dengan meningitis
tuberkulosis. Timbulnya gejala klinis dari tuberkuloma disebabkan oleh karena
adanya lesi yang mengisi ruang bukann karena bakteri penyebab dan antigennya.
Klinis yang biasa terjadi adalah episode kejang fokal tunggal ataupun berulang (60-
100%), tanda peningkatan tekanan intrakranial (56-93%) dan adanya defisit
neurologis fokal (33-68%). 
Lokasi, ukuran, dan jumlah lesi, dan tingkat peningkatan dari lesi pada
tuberkuloma menentukan sifat, distribusi dan frekuensi dari manifestasinya. Pada
orang dewasa, lokasi supratentorial adalah umum untuk TBC, tetapi pada anak-anak
infratentorial lokasi tersebut lebih umum.
Diagnosis
Prinsip diagnostik konvensional dapat secara luas dibagi menjadi:
 Mencari tuberkulosis di tempat lain di tubuh
 Pencarian teliti untuk limfadenopati perifer
 Rontgen dada untuk mencari bukti adanya tuberkulosis paru, bintik-bintik
militer, limfadenopati mediastinum, atau efusi pleura
 Sputum untuk pewarnaan Ziehl - Neelsen
 Ultrasonografi abdomen untuk mencari hepatosplenomegali atau
limfadenopati intraabdomen.
 CT Scan: lesi dengan ukuran> 20 mm, batas yang tidak teratur dan midline
shift di otak CT telah diusulkan untuk mendukung diagnosis tuberkuloma oleh
beberapa penulis
Tata Laksana
Perawatan utama tuberkuloma intrakranial mirip dengan meningitis tuberkulosis
dan termasuk terapi TB dan kortikosteroid. WHO, CDC for America dan The British
Thoracic Society merekomendasikan 9-12 bulan pengobatan TB untuk CNS TB
ketika jenis M.tb sensitif terhadap semua obat.
Beberapa pedoman menyarankan kortikosteroid sistemik tambahan dalam semua
bentuk TB SSP, termasuk yang ada kecurigaan kuat terhadap tuberkuloma. Terapi
adjuvant thalidomide (3-5 mg / kg / hari) telah terbukti bermanfaat pada pasien yang
mengembangkan abses TB yang membesar.
Biopsi untuk diagnosis dipertimbangkan: (1) pada permulaan jika diagnosis
definitif tidak jelas, dan (2) untuk persistensi atau pertumbuhan paradoks dari
tuberkuloma yang diperkirakan meskipun telah menjalani perawatan medis (untuk
diagnosa dan pengujian sensitivitas obat). 
Reseksi lesi dapat dipertimbangkan: (1) untuk mengurangi efek massa yang
simptomatis atau berpotensi mengancam jiwa dan / atau hidrosefalus, dan (2) untuk
mengobati kejang yang refrakter secara medis.

d. Meningitis Viral
Definisi
Meningitis virus adalah peradangan leptomening sebagai manifestasi dari infeksi
sistem saraf pusat (SSP). ‘Viral’ menamai agen penyebab, dan istilah ‘meningitis’
menyiratkan kurangnya keterlibatan parenkim dan sumsum tulang belakang (masing-
masing disebut ensefalitis dan mielitis). Meningitis virus juga sering disebut sebagai
meningitis aseptic (Wan, 2018). Meningitis aseptik, didefinisikan oleh kurangnya
pertumbuhan bakteri dalam kultur, adalah bentuk yang paling umum, dengan virus
menjadi penyebab yang sering.
Etiologi
Enterovirus (kelompok Coxsackie atau Echovirus) adalah penyebab paling umum
dari meningitis virus pada semua kelompok umur; parechovirus juga umum terjadi
pada anak-anak. Virus herpes yang menyebabkan meningitis termasuk virus herpes
simpleks (HSV) 1 dan 2, virus varicella-zoster (VZV), cytomegalovirus, virus
Epstein-Barr. Penyebab virus lainnya termasuk adenovirus, virus limfosit
choriomeningitis (LCMV), influenza, parainfluenza, dan gondong. Arbovirus yang
dapat menyebabkan meningitis virus termasuk virus West Nile (WNV), Zika,
chikungunya, demam berdarah, LaCross, Saint Louise ensefalitis, Powassan, dan
virus ensefalitis kuda bagian timur.
Epidemiologi
Meningitis aseptik adalah kejadian umum, dengan insidensi tahunan sekitar 20
kasus per 100.000 populasi. Sebagian besar disebabkan oleh infeksi virus. Dari
jumlah tersebut, yang paling umum adalah dari enterovirus — terutama virus
echovirus dan Coxsackie. HSV-2 mungkin frekuensi berikutnya pada orang dewasa,
diikuti oleh varicella, HIV, gondong pada anak-anak, lymphocytic choriomeningitis
(LCM), HSV-1, dan infeksi adenovirus.
Patofisiologi
Meningitis adalah patologi inflamasi dari meningens yang mengelilingi otak.
Virus dapat mencapai meningens dengan berbagai cara, termasuk penyebaran melalui
aliran darah, penyebaran retrograde dari ujung saraf, dan reaktivasi dari keadaan tidak
aktif dalam sistem saraf. Ketika virus mencapai sistem saraf pusat (SSP) dan
menyebar melalui ruang subarachnoid, ia menyebabkan respons peradangan yang
mengakibatkan meningitis.
Manifestasi Klinis
Temuan klinis meningitis virus dapat bervariasi berdasarkan usia dan status
kekebalan. Meningitis virus biasanya timbul dengan timbulnya demam akut, sakit
kepala, fotofobia, kekakuan leher, dan mual / muntah. Anak kecil dapat mengalami
demam dan iritabilitas tanpa bukti iritasi meningeal.
Meningitis virus pada orang dewasa lebih mungkin muncul dengan gejala
meningeal dan protein CSF yang lebih tinggi. Anak-anak dengan virus meningitis
lebih cenderung mengalami demam, gejala pernapasan, dan leukositosis.
Diagnosis
 Lumbal puncture diperlukan kecuali ada kontraindikasi seperti defisit
neurologis fokal, papilledema, kejang baru-baru ini, usia 60 tahun atau lebih. 
 Indikasi untuk pencitraan sebelum melakukan pungsi lumbal termasuk
tanda-tanda neurologis fokal, papilledema, kejang terus menerus atau tidak
terkontrol, atau Skor Koma Glasgow kurang dari 12.
 Analisis cairan serebrospinal (CSF), termasuk jumlah sel dan diferensial,
glukosa, protein, kultur, dan diagnostik molekuler sebagaimana tersedia, harus
dilakukan. Meningitis virus secara khas memiliki pleositosis mononuklear
CSF, meskipun pada awalnya mungkin ada dominasi neutrofilik. Dominasi
neutrofilik ini tidak terbatas pada 24 jam pertama penyakit dan bukan
merupakan indikator yang dapat diandalkan antara meningitis virus dan
bakteri.
 Tes Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk
mendiagnosis beberapa penyebab meningitis virus, seperti enterovirus, VZV,
dan HSV. Jumlah sel darah putih serum dan protein C-reaktif tidak dapat
diandalkan untuk membedakan meningitis virus dan bakteri.
Tata Laksana
Sebagian besar virus yang menyebabkan meningitis tidak memiliki pengobatan
khusus selain perawatan suportif cairan dan elektrolit dan kontrol nyeri adalah
andalan manajemen meningitis virus.
Karena kesulitan dalam membedakan virus dari meningitis bakteri pada awalnya,
terapi antibiotik empiris biasanya diindikasikan sampai meningitis bakteri
dikesampingkan. Pada pasien yang berusia satu bulan dan lebih tua, terapi empiris
untuk meningitis bakteri dapat diberikan dengan vankomisin dalam kombinasi
dengan ceftriaxone atau cefotaxime saat hasil kultur masih tertunda. 
Jika dicurigai ensefalitis, pengobatan antivirus empiris dengan asiklovir intravena
harus menjadi pertimbangan. Asiklovir harus menjadi pilihan untuk infeksi HSV atau
VZV yang dicurigai atau terbukti, walaupun telah terbukti memberikan manfaat pada
ensefalitis HSV, bukan meningitis.

e. Meningitis Kriptokokus
Definisi
Meningitis kriptokokus adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur
berkapsul genus Cryptococcus yaitu Cryptococcus neoformans yang mengenai sistem
saraf pusat dengan gejala meningitis dan meningoensefalitis. Penyakit ini muncul
sebagai kasus sporadis yang tersebar di seluruh dunia, merupakan infeksi oportunistik
terutama terjadi pada individu immunocompromised (umumnya pada penderita
HIV/AIDS), tetapi kasus dapat juga terjadi pada individu yang imunokompeten.
Epidemiologi
Sekitar 1 juta kasus meningitis kriptokokus dilaporkan setiap tahun. Sekitar 6%
dari pasien dengan AIDS mengembangkan infeksi cryptococcal, dan pasien dengan
cryptococcosis yang berhubungan dengan AIDS adalah 85% dari semua pasien yang
didiagnosis dengan cryptococcosis.
Etiologi
Ada lebih dari 50 spesies Cryptococcus; C. neoformans dan C. gattii
menyebabkan sebagian besar infeksi, dan beberapa menganggapnya satu-satunya
patogen pada manusia.
C. neoformans adalah ragi enkapsulasi yang dapat ditemukan pada kotoran
burung dara tua yang menyebabkan infeksi ringan, mulai dari kolonisasi jalan napas
atau yang asimptomatik pada pekerja laboratorium hingga infeksi parah seperti
meningitis atau penyakit yang menyebar. 
Faktor predisposisi utama infeksi kriptokokus adalah HIV.
Patofisiologi
Organisme diperoleh melalui inhalasi. Setelah diendapkan ke dalam alveoli paru,
spora ragi harus bertahan dari pH normal hingga tinggi dan konsentrasi fisiologis
karbon dioksida sebelum difagositosis oleh makrofag alveolar, lingkungan yang lebih
asam, dan disebarluaskan setelah periode laten penahanan dalam getah bening paru-
paru. Faktor penting dalam kelangsungan hidup C. neoformans dalam lingkungan
ekstraseluler ini adalah glucosylceramide synthase.
Respons host mencakup komponen seluler dan humoral. Mungkin, pemberantasan
Cryptococci bergantung pada sel-sel pembunuh alami dan pembunuhan yang
dimediasi-tergantung-antibodi.
Sementara semua organ bisa terlibat, Cryptococcus spp. memiliki afinitas yang
kuat untuk sistem saraf pusat. Neurotropisme ini terkait dengan beberapa faktor
spesifik-cryptococcal yang memfasilitasi permeabilitas sawar darah-otak; di antara
mereka, enzim metaloproteinase dan urease menyebabkan neuromodulasi dan
mekanisme memfasilitasi kelangsungan hidup di lingkungan otak yang kekurangan
nutrisi (autophagy dan transporter gula berafinitas tinggi).
Manifestasi Klinis
Pasien biasanya menunjukkan gejala neurologis seperti sakit kepala, perubahan
status mental, dan tanda dan gejala lain termasuk lesu bersamaan dengan demam,
leher kaku (keduanya berhubungan dengan respons inflamasi agresif), mual dan
muntah. Beberapa pasien yang HIV positif mungkin memiliki gejala minimal atau
tidak spesifik pada saat presentasi. Durasi gejala dari awal hingga presentasi biasanya
1 hingga 2 minggu pada kasus HIV dan 6 hingga 12 minggu pada kasus non-HIV.
Gejala visual termasuk diplopia dan fotofobia saat onset, dan berkurangnya
ketajaman penyakit (karena tekanan cairan serebrospinal (CSF) yang tinggi atau
kompresi saraf optik dan traktus). Temuan lain termasuk gangguan pendengaran,
ataksia, aphasia, kejang, dan chorea.
Diagnosis
Pemeriksaan pada evaluasi awal harus tergantung pada tes laboratorium CSF.
Namun, untuk mencegah herniasi serebral pasca pungsi dura, CT scan atau MRI otak
atau pemeriksaan fundus harus dipertimbangkan sebelum melakukan pungsi lumbal.
Darah dan CSF harus dibiakkan untuk jamur dan diuji untuk antigen kriptokokus
(Ruschel & Thapa, 2019). Cairan tulang belakang menunjukkan pleocytosis
limfositik variabel, biasanya kurang dari 50, tetapi mungkin ada sedikit atau tidak ada
sel pada pasien dengan HIV (dua pertiga memiliki 5 atau lebih sedikit sel / mm3).
Formula CSF awal dapat menampilkan sel polimorfonuklear tetapi dengan cepat
berubah menjadi dominasi limfositik. Glukosa berkurang dalam tiga per empat kasus
(sekali lagi, itu mungkin normal pada pasien HIV) dan protein dapat mencapai tingkat
tinggi.
Tata Laksana
Pada pasien tanpa HIV, terapi terdiri dari pemberian amfoterisin B intravena,
diberikan dalam dosis 0,7 hingga 1,0 mg / kg / hari, atau lipotomal amfoterisin 3-4
mg / kg / hari. Pemberian obat harus dihentikan jika nitrogen urea darah mencapai 40
mg / dL dan dilanjutkan ketika turun ke tingkat normal.
Pada pasien dengan HIV adalah amfoterisin yang ditambah dengan flucytosine
selama 2 minggu. Selanjutnya, flukonazol, zat antijamur triazol oral, diberikan (atau
kurang disukai, itrakonazol oral), hingga 1 tahun atau tanpa batas waktu untuk
mencegah kekambuhan 

2. Ensefalitis
Istilah "ensefalitis" secara harfiah berarti peradangan pada sebagian atau seluruh
"ensefalon" atau parenkim otak. Secara global, invasi oleh patogen yang menyebabkan
cedera neuronal langsung adalah penyebab paling umum dari ensefalitis. Disfungsi difus
serebrum non-inflamasi disebut sebagai "ensefalopati" dan penyebab umum termasuk
gangguan metabolisme, toksik, atau iskemik.
Ensefalitis mengacu pada peradangan parenkim otak yang biasanya hadir dengan
kombinasi gambaran termasuk demam, sakit kepala, pengaburan kesadaran, kejang,
perubahan kepribadian, defisit neurologis fokal, dan koma. Seringkali disertai dengan
meningitis dan radang selaput yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang.
Diagnosis
Semua pasien dengan dugaan ensefalitis harus menjalani kultur darah dan tes
HIV. Serum ekstra harus diambil selama fase akut penyakit dan disimpan untuk studi
serologis kemudian, dan jika diagnosis masih tidak pasti, serum pemulihan harus
dikumpulkan 10-21 hari kemudian. 
Tusukan lumbal (LP) direkomendasikan pada semua individu kecuali
dikontraindikasikan (mis., Efek massa / edema yang signifikan atau penipisan basal
cisterns pada neuroimaging, atau kulit yang dicurigai atau abses jaringan lunak di jalur
jarum tusukan).
Gambar 7 Kriteria diagnosis ensefalitis 

Gambar 8 Algoritma diagnosis ensefalitis 

Tata Laksana
Gambar 9 Tata laksana ensefalitis 

a. Ensefalitis Viral
Definisi
Ensefalitis virus adalah peradangan parenkim otak yang disebabkan oleh
virus. Ini adalah jenis ensefalitis yang paling umum dan sering berdampingan
dengan meningitis virus. Virus menyerang host di luar sistem saraf pusat (SSP)
dan kemudian mencapai sumsum tulang belakang dan otak secara hematogen atau
secara retrograde dari ujung saraf.
Etiologi
Virus Herpes Simplex (HSV)-1 adalah virus yang paling sering terlibat
dalam ensefalitis sporadis yang fatal; namun, virus lain yang terlibat dalam
ensefalitis termasuk herpesvirus (HSV-2, varicella-zoster, cytomegalovirus,
Epstein-Barr, dan HHV 6 dan 7); paramyxoviruses (campak, rubela);
orthomyxoviruses (virus influenza A); enterovirus (EV 70 dan 71, virus polio,
echo, dan coxsackie); flavivirus (West Nile, Japanese ensefalitis, demam berdarah
dan virus Zika); retrovirus (human immunodeficiency virus); alphaviruses (equine
Venezuela, equine- timur, equine-ensefalitis barat); bunyavirus (virus La Crosse);
rhabdoviruses (virus rabies); parvovirus (B19); dan astrovirus  .
Epidemiologi
Insiden ensefalitis virus adalah 3,5 hingga 7,5 per 100.000 orang, dengan
insidensi tertinggi pada usia muda dan lanjut usia. Penularan ke otak melalui
penyebaran hematogen. Di AS, herpes simpleks adalah penyebab paling umum
dari ensefalitis. Individu yang bekerja di lingkungan lembab yang hangat beresiko
terkena arbovirus karena keberadaan nyamuk (Said & Kang, 2019). Menurut
CDC, sekitar 20.000 kasus ensefalitis virus akut dilaporkan setiap tahun di
Amerika Serikat.
Patofisiologi
Virus menginvasi host di situs di luar CNS dan bereplikasi. Sebagian besar
kemudian mencapai sumsum tulang belakang dan otak secara hematogen. HSV,
rabies, dan virus herpes zoster adalah pengecualian penting untuk ini. Mereka
melakukan perjalanan ke SSP dari ujung saraf dengan cara retrograde. Begitu
berada di otak, virus dan respons peradangan inang mengganggu fungsi sel saraf. 
Pada pemeriksaan berat, biasanya ada edema serebral, kongesti vaskular,
dan perdarahan. Infiltrasi dengan leukosit atau sel mikroglial juga merupakan
gambaran umum  
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang paling umum adalah demam, sakit kepala, kejang,
dan perubahan status mental. Fitur neuropsikiatrik seperti perubahan perilaku,
halusinasi, dan / atau penurunan kognitif sering terlihat.
Diagnosis
Neuroimaging dan lumbar puncture (LP) adalah studi diagnostik awal yang
penting untuk mengevaluasi pasien dengan ensefalitis virus.
Cairan serebrospinal (CSF) harus dianalisis untuk opening pressure,
jumlah sel, glukosa, dan protein. Evaluasi CSF juga harus mencakup pengujian
reaksi rantai polimerase (PCR) untuk HSV-1, HSV-2, dan enterovirus. Pengujian
tambahan, seperti serologi arbovirus dan tes HIV, juga dapat dilakukan
berdasarkan riwayat dan presentasi klinis. Biopsi otak dan kultur spesimen
cairan tubuh dan PCR juga dapat membantu dalam membangun etiologi dalam
beberapa kasus.
CSF akan menunjukkan:
 Glukosa normal
 Protein yang sedikit meningkat
 Limfositosis sedang
 Sekitar 10% pasien akan memiliki studi CSF normal.
Computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI)
membantu menyingkirkan peningkatan tekanan intrakranial dan risiko herniasi
uncal sebelum melakukan LP. CT dapat menunjukkan lesi kepadatan rendah di
lobus temporal ketika HSV terlibat. Lesi ini biasanya muncul 3-5 hari setelah
infeksi. MRI juga merupakan modalitas pencitraan yang paling sensitif untuk
menunjukkan temuan yang konsisten dengan ensefalitis HSV, seperti keterlibatan
temporal dan lobus frontal.
EEG dapat menunjukkan kelainan pada pasien dengan kejang. Japanese
encephalitis (JE) sering dikaitkan dengan 3 pola EEG yang meliputi 1) aktivitas
delta difus dengan paku 2) aktivitas delta kontinyu difus dan 3) aktivitas koma
alfa.
Tata Laksana
Pengobatan ensefalitis virus terutama mendukung karena tidak ada terapi medis
khusus untuk sebagian besar infeksi virus sistem saraf pusat.
 Pasien ensefalitis HSV: memulai semua pasien dengan dugaan ensefalitis
pada asiklovir. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg / kg intravena (IV)
setiap 8 jam selama 14 hingga 21 hari. 
 Pada pasien ensefalitis VZV: Asiklovir 10 hingga 15 mg / kg IV setiap 8
jam selama 10 hingga 14 hari, dengan kemungkinan kortikosteroid
tambahan pada pasien imunokompeten
 Pasien ensefalitis CMV: kombinasi ganciclovir 5 mg / kg IV setiap 12
jam dan foscarnet 60 mg / kg IV setiap 8 jam atau 90 mg / kg IV setiap 12
jam selama 21 hari.
 Komponen penting lain dari manajemen pasien dengan ensefalitis virus
adalah pemantauan tekanan intrakranial serial (ICP). Peningkatan ICP
dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Meskipun ada data yang terbatas
tentang kemanjurannya dalam ensefalitis virus, steroid dan manitol dapat
diberikan untuk mengurangi peningkatan ICP. 
 Kejang mungkin perlu dikelola dengan asam valproat atau fenitoin. Untuk
status epileptikus, seseorang mungkin memerlukan benzodiazepin. Untuk
perubahan perilaku, seseorang mungkin perlu menggunakan antipsikotik
untuk waktu yang singkat.

b. Ensefalitis Fungal
Etiologi
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida albicans,
Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor
mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah
meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi adalah
daya imunitas yang menurun.
Tata Laksana
 Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali minimal 6 minggu 
 Mikonazol 30 mg/KgBB intra vena selama 6 minggu

c. Ensefalitis Toxoplasma
Definisi
Ensefalitis toksoplasma disebut juga toxoplasmosis otak, muncul pada
kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit
toksoplasma gondii.
Toxoplasma gondii merupakan protozoa intraseluler yang dapat
menginfeksi manusia. Toxoplasma gondii dapat masuk kedalam tubuh manusia
dengan cara ingesti (per oral) yaitu tertelan melalui daging yang kurang matang
seperti domba dan babi yang mengandung kista jaringan Toxoplasma gondii,
tertelan air yang terdapat ookista dan mengandung sporozoitnya, dan melalui
transmisi transplasental. Toxoplasma gondii bereplikasi di tubuh manusia sebagai
intermediete host dan kucing sebagai tubuh inang definitif. Toksoplasmosis
adalah penyebab tersering dari lesi sistem saraf pusat pada pasien AIDS dan
perkembangan dari pengakit ensefalitis toxoplasma dapat mengancam jiwa
Etiologi
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing,
burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja
kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit
masuk  ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem kekebalan
pada orang yang sehat dapat mela6an parasit tersebut hingga tuntas, mencegah
penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau
domba yang mentahyang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa
juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing.
Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan
transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya
asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi
reaktivasi dari infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi
opportunistik dengan predileksi di otak
Epidemiologi
Toxoplasmosis disebabkan oleh toksoplasma gondii, intraseluler obligat
distribusi di seluruh dunia. Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering
lesi otak fokal infeksi oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka
kejadiannya mencapai 15% sampai 29,2%, sedangkan di Eropa mencapai rata-rata
90%. Sekitar 10 - 20% dari pasien yang terinfeksi HIV di Amerika Serikat pada
akhirnya akan terkena ensefalitis toksoplasma.
Toxoplasma gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang tersebar
luas di seluruh dunia. Di Indonesia prevalensi terdapatnya antitoksoplasma positif
pada manusia sekitar antara 2-63%. Pasian dengan HIV positif terdapat sekitar
45% terinfeksi Toxoplasma gondii. Pada pasien dengan infeksi HIV, Toxoplasma
gondii dapat menyebabkan infeksi oportunistik berat sehingga diperlukan
penatalaksanaan yang tepat dan sesegera mungkin. Pada individu sehat
(immunokompeten) parasit ini menyebabkan infeksi kronik persisten yang
asimptomatik, namun pada immunocompromised akan terjadi reaktivasi sehingga
menimbulkan gejala klinis
Gejala Klinis
Gejala klinis pasien ensefalitis toxoplasma tersering adalah defisit serta
tanda neurologis fokal. Gejala klinis ini sering muncul sebagai onset subakut pada
58-89% pasien. Sakit kepala (85%), hemiparesis (48%), demam (47%),
penurunan kesadaran (37%), dan kejang (37%). 5

Terdapat pula gejala dengan kejang dan perdarahan yang muncul secara
tiba-tiba. Hemiparesis ringan tanpa atau disertai kelainan bicara merupakan
temuan awal yang paling umum. Temuan seperti sakit kepala, perubahan mental,
kelesuan, batang otak, dan gangguan serebelar juga telah dilaporkan. Chorea
diyakini menjadi salah satu tanda patognomik pada ensefalitis toxoplasma, tetapi
kejadiannya jarang.
Diagnosis
Pada diagnosis ensefalitis toxoplasma dapat dilakukan dengan melihat
temuan klinis, pemeriksaan serologi, analisis cairan otak, biopsi otak, dan
pencitraan otak. Pada pemeriksaan serologi mencari adanya IgG antitoksoplasma
untuk mengetahui adanya infeksi laten toksoplasma pada pasien . Magnetic
resonance imaging (MRI) merupakan prosedur yang lebih baik daripada CT scan
dan lebih sering menunjukkan lesi-lesi yang tidak terdeteksi jika dengan CT scan.
Oleh karena itu MRI merupakan prosedur baku jika memungkinkan terutama bila
CT scan menunjukkan gambaran lesi tunggal. Gambaran khas pada toxoplasmosis
otak adanya asymmetric target sign, yaitu abses menyangat kontras berbentuk
cincin.
Tata Laksana
Ensefalitis toksoplasma memerlukan pengobatan kombinasi sulfadizine
1000 mg empat kali per hari atau 1500 mg empat kali per hari jika berat badan
pasian > 60 kg) dan pirimetamin 200 mg yang diikuti dengan 50 mg setiap hari
atau 75 mg per hari jika berat badan > 60 kg. Untuk mencegah terjadinya
toksisitas hematologis diberikan leukovorin (asam folinat) 10 mg per hari. Pada
pasien dengan sulfadiazine yang tidak toleransi dapat diganti dengan klindamisin
600 mg empat kali per hari.

3. Abses Otak
Definisi
Abses otak adalah infeksi intraserebral fokal yang merupakan kumpulan nanah
yang terkapsulasi oleh mikroorganisme ataupun parasit.
Etiologi
Abses serebri yang terjadi umumnya disebabkan oleh Streptococci virulen.
Bakteri penyebab yang sering menyebabkan adalah Streptococcus dan Staphylococcuss.
Mikroorganisme tersering penyebab abses otak antara lain Streptococcus pada 2.000
(34%) dan Staphylococcuss pada 1.076 (18%) dari 5.894 bakteri yang dikultur pada
pasien dengan abses otak. Distribusi geografis dari mikroorganisme penyebab yang
terdapat dibenua-benua di dunia ialah sama. Bakteri penyebab abses otak bervariasi
berdasarkan sumber anatomic.
Jamur yang sering berkaitan dengan terjadinya abses otak adalah Aspergillus, dan
ada spesies jamur lain antara lain Candida , jamur dematiaceous, atau phaeohyphomyctes
yang dapat menyebabkan infeksi lokal juga. Penyebaran sistem saraf pusat akibat
penyebaran sekunder dari infeksi paru primer dapat menghasilkan abses tunggal atau
multiple.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada pasien dengan abses otak antara lain sakit kepala,
demam, gejala meurologis fokal, perubahan status mental, mual dan muntah, kaku kuduk
serta ditemukannya juga papilledema. Tanda yang sering ditemukan pasien adalah
dengan sakit kepala, demam, perubahan status mental, gejala neurologis fokal, dan mual
dan muntah, serta kejang. Abses otak dengan status epilepticus jarang terjadi. Kaku
kuduk dan meningismus. Pada pemeriksaan fisik mungkin harus dicari adanya
papilledema. Triad klinis klasik demam, sakit kepala, dan defisit neurologis fokal
menunjukkan abses.
Diagnosis
Kultur darah harus dilakukan lebih awal pada semua pasien dengan dugaan abses
karena abses mudah mengalami penggumpalan. Analisis cairan serebrospinal (CSS)
dapat menunjukan adanya pleositosis, peningkatan protein, dan penurunan glukosa.
Kultur cairan serebrospinal jarang positif (0% -43%). Pada pungsi lumbal menjadi sulit
apabila terjadi penurunan neurologis yang cepat yang biasanya disebabkan oleh herniasi
otak ke bawah.
Neuroimaging sangat penting untuk mendiagnosis dan manajemen pada abses
otak. Neuroimaging juga sangat penting untuk meningkatkan prospek abses otak.
Serebritis awal muncul pada CT scan dengan area yang kerapatannya rendah. Pada
serebritis lanjut akan membentuk abses otak. Peningkatan kontras adalah variabel dalam
tahap ini dan ketika ada dapat menunjukkan pola nodular atau seperti cincin. Pencitraan
resonansi magnetik (MR) memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih besar daripada
CT dalam mengidentifikasi infeksi piogenik.

4. Subdural Empiema (SDE)


Definisi
Empiema subdural adalah infeksi purulen rongga subdural yang seringkali dapat
menjadi progresif dan berakibat fatal bila tidak diobati. Empiema subdural adalah koleksi
suatu penimbunan nanah diantara otak dan jaringan disekitarnya (meningen). Infeksi
darah yang berasal dari infeksi paru-paru. Bakteri penyebab abses dan otak bisa
menyebabkan empiema subdural.
Epidemiologi 
Empiema subdural adalah kasus yang lebih jarang terjadi dibandingkan dengan abses
serebri dengan perbadingan abses empyema 5:1.  Sedangkan perbandingan antara pria
dan wanita adalah 3:1. Lokasi yang sering terjadi empiema subdural adalah pada konveks
(70-80%), dan parafalcine (10-20%).
Etiologi 
Empyema subdural sering disebabkan oleh monomicrobial & tetapi
infeksi polymicrobial   juga sering ditemukan. Mikroorganisme yang ditemukan pada
kultur sinus paranasalis sering tidak sama dengan kult tidak sama dengan kultur pada
subdural. Streptococcus aerobik dan anaerobik merupakan  patogen  patogen yang paling
sering terisolasi. Staphylococcus  lebih jarang didapatkan& diikuti dengan bacilli gram
negatif aerobik dan nonstreptococcal anaerob. Contohnya   Propionibacterium
acnes dilaporkan didapatkan pada trauma kepala yang berpenetrasi ke dalam dan setelah
tindakan bedah yang menggunakan dural allograft. 
Patofisiologi
Empiema subdural adalah infeksi terutama pada intrakranial yang terletak antara
duramater dan arachnoidmater. Ini memiliki ke!enderungan untuk menyebar cepat di
ruang subdural sampai suatu lokasi yang dibatasi oleh batas-batas tertentu (misalnya, falx
cerebri, cerebelli tentorium,  dasar otak, foramen magnum). Ruang subdural tidak
memiliki sekat kecuali di daerah-daerah dimana arachnoid granulations melekat pada
dura mater. Subdural empiema biasanya hanya terjadi pada satu lokasi atau unilateral. 
Dengan kemajuan, subdural empiema memiliki kecenderungan untuk bereaksi
seperti lesi massa yang berkembang disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial dan
penetrasi intraparenkim serebral. Edema serebral dan hidrosefalus juga mungkin ada
karena adanya gangguan aliran darah atau aliran cairan serebrospinal (CSF) yang
disebabkan oleh   peningkatan tekanan tekanan intrakranial. Infark serebri serebri
mungkin mungkin didapatkan didapatkan dari trombosis vena kortikal atau sinus
cavernous atau dari sepsis vena trombosis vena yang berdekatan di daerah empiema
subdural.
Pada bayi dan anak-anak, subdural empiema paling sering terjadi akibat
komplikasi dari meningitis. Dalam kasus tersebut, subdural empiema harus dibedakan
dari efusi subdural reaktif (yaitu, penumpukan cairan steril karena peningkatan
pengeluaran cairan intravaskuler dari dinding kapiler ke ruang subdural). Pada anak-anak
dan orang dewasa, hal itu terjadi sebagai komplikasi dari sinusitis paranasal, otitis media
atau mastoiditis.
Infeksi biasanya masuk melalui sinus frontal atau ethmoid; jarang terjadi yaitu
jika masuk melalui telinga tengah, sel-sel mastoid atau sinus sphenoidalis. Hal ini sering
terjadi dalam waktu 2 minggu episode sinusitis, dengan infeksi menyebar intrakranial
melalui tromboflebitis di sinus vena. Infeksi juga dapat meluas se!ara langsung melalui
tempurung kepala dan kepala dan duramater dari ter dari erosi pada dinding erosi pada
dinding posterior sinus frontali rior sinus frontalis atau tulang mastoid. Perluasan
langsung juga bisa dari abses intraserebral. Jarang terjadi, infeksi menyebar se!ara
hematogen dari fokus infeksi yang jauh, paling sering dari paru atau sebagai komplikasi
dari trauma, pembedahan atau septikemia. Sinus sphenoidalis juga bisa menjadi sumber 
infeksi.
Diagnosis 
Diagnose pasti ditegakkan berdasarkan gambaran CT Scan otak berupa area
hipodensitas  berbentuk bulan  berbentuk bulan sabit yang sabit yang menunjukkan efek
massa serta pada pemberian zat  kontras akan menampakkan adanya suatu pita pembatas
yang hiperdens dekat parenkim otak.
Dalam hal ini selain dapat menunjukkan keberadaan dan lokasi koleksi
ekstraserebral, ia  juga dapat menampilkan menampilkan derajat  dan ekstensi edema
serebri yang terjadi. Pemeriksaan angiografi yang invasive hanya dipakai sebagai
pemeriksaan penunjang diagnostic tambahan yang menampilkan gambaran avaskular di
daerah ekstraserebral.
Pemeriksaan MRI adalah adalah salah satu pemeriksaan penunjang pilihan untuk 
memperlihatkan lesi pada empyema subdural abses epidural kepala. Pada MRI empiema
tampak sebagai akumulai cairan ekstra-aksial dengan T1 dan T2 namun tampilan ini
tidak  spesifik mengingat gambaran empiema subdural dan epidural kadang-kadang
identik. Pasien dengan empiema subdural bisa hadir dengan salah satu gejala berikut: 
 Demam - suhu di atas 38 C (100.5 F)
O O

 Sakit kepala - awalnya fokal dan umum kemudian 


 Riwayat penyakit (<2 minggu): sinusitis, otitis media, mastoiditis, meningitis, trauma
kranial atau pembedahan, pebedahan sinus, atau infeksi pulmonal
 Kebingungan, mengantuk, pingsan, ataukoma 
 Hemiparesis atau hemiplegia 
 Seizure- Fokal atau keseluruhan 
 Nausea atau muntah
 Penglihatan ganda (amblyopia)
 Kesulitan berbicara (dysphasia)
 Riwayat intracerebral abscess (recent or in the past)
Manifestasi Klinis
Empiema subdural menyebabkan penderitanya terlihat tampak sakit berat dan
menunjukkan gejala sepsis dan toksik. Gejala khas lainnya adalah nyeri kepala hebat,
penurunan kesadaran, perubahan mental status dari kebingungan, kantuk, pingsan dan
koma, meningismus atau tanda-tanda meningeal, hemiparesis atau hemisensory deficits,
aphasia atau dysarthria, sinus nyeri, bengkak, atau infeksi, papil edema dan peningkatan
tekanan intracranial, mual/muntah, perubahan mental status dan gangguan cara berjalan,
homonymous hemianopsia,  fixed, dilatasi pupil murid di sisi ipsilateral karena kompresi
saraf kranial III. 
Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung darah lengkap mungkin menunjukkan leukocytosis 
2. Erythrocyte sedimentation rate (ESR), mungkin meningkat
3. Darah harus dikultur untuk mengetahui aerobik atau anaerobik  
4. Prabedah tes harus mencakup electrolytes, BUN, liver function tests,  dan hitung
darah lengkap jika intervensi bedah diperlukan 
5. Gambaran radiologis

MRI kranial adalah sekarang studi pencitraan pilihan, yang lebih baik dari CT scan
tengkorak  dalam menguraikan luasnya empiema subdural.MRI juga menunjukkan
lebih rinci morfologi daripada CT scan. Sensitivitas dari MRI ditingkatkan dengan
menggunakan media kontras gadolinium. Lihat gambar di bawah.

6. Scan MRI pada empyema sudural di areap parietal sinistra 


CT scan kranial adalah teknik standar untuk  cepat diagnosis sebelum munculnya
MRI. Penggunaan resolusi tinggi, kontras ditingkatkan CT scan meningkatkan hasil
diagnostic, meskipun kadang-kadang memberikan hasil equivocal atau normal. Pada
CT scan, subdural empiema menunjukkan sebagai hypodense area atas  belahan  atau
sepanjang falx; margin lebih  baik digambarkan dengan infus bahan kontras.
Keterlibatan otak juga terlihat. Osteomielitis kranial dapat dilihat. CT scan
merupakan modalitas pilihan jika pasien sakit kritis atau koma dan MRI tidak 
dimungkinkan atau merupakan kontraindikasi.
7. Scan MRI pada empyema sudural di area temporo parietal sinistra 
7. Tes lainnya 
7. Preoperative –ECG, chest radiograph
Tatalaksana
Empyema subdural merupakan penyakit infeksi yang membutuhkan operasi segera.
Prinsip tata laksana untuk empyema subdural adalah: 
1. Tata laksana adekuat pada sumber infeksi penyebab enyebab empyema subdural. 
2. Drainase pus, baik dengan burr-hole maupun dengan kraniotomi atau kraniektomi
jika dibutuhkan 
3. Identifikasi mikroorganisme penyabab infeksi
4. Tata laksana antibiotik adekuat yang sesuai dengan mikroorganisme  penyebab
infeksi
Sebagian besar kasus empyema subdural ditata laksana dengan drainase. Hanya
sedikit sekali kasus yang dilaporkan dapat diselesaikan hanya dengan pemberian obat-
obatan yang adekuat. Pada empyema yang belum lama terjadi, pus yang ada biasanya
lebih cair, sehingga drainase pus bisa pus bisa dilakukan dengan burr-hole dan bila
diperlukan, dilakukan pengulangan tindakan. Sedangkan pada empyema subdural yang
sudah lanjut, maupun pada kasus dengan posisi pus isi pus tidak terlokalisasi dan tidak
berada di perifer, pilihan teknik yang dilakukan adalah kraniotomi maupun kraniektomi
untuk melakukan debridemen dan drainase.
Pada saat operasi berlangsung, rongga subdural harus diirigasi dengan cairan
antibiotic, lalu diletakkan kateter pada rongga subdural agar drainase dapat terus
berlangsung setelah operasi selesai dilakukan. Kateter ini dapat pula digunakan untuk
irigasi antibiotik pasca operasi. Terapi antibiotik yang adekuat harus tetap diberikan
meskipun tata laksana operasi drainase sudah dilakukan. Jika bakteri penyebab belum
diketahui, pada pasien dapat diberikan penisilin dan generasi ketiga sefalosporin.
Pemberian metronidazole dilakukan  bila dicurigai adanya infeksi bakteri anaerob.
Modifikasi pemberian antibiotik dilakukan bila hasil kultur sudah selesai, sehingga
antibiotik yang diberikan dapat disesuaikan dengan  bakteri   penyebab infeksi.
Pemberian antibiotik pasca operasi biasanya berlangsung selama 4-6 minggu. Obat-
obatan lain yang diberikan adalah anti konvulsan bila pada pasien ditemukan kejang.
Prognosis 
Prognosis empyema subdural tergantung kepada seberapa cepat tatalaksana
emergensi dilakukan dan seberapa berat empyema subdural yang terjadi. Pada 55%
pasien yang dipulangkan setelah perawatan dari rumah sakit didapatkan defisit
neurologis. Sekitar 34%  pasien ditemukan kejang yang menetap. Diikuti dengan
hemiparese yang menetap pada 17% pasien. Sedangkan angka kematian mencapai 10%
yang didapatkan pada pasien yang telah terjadi infark.
C. Infeksi Sumsum Tulang Belakang
1. Mielitis
Definisi
Menurut NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) tahun
2012, myelitis adalah kelainan neurologi pada medulla spinalis (myelopati) yang
disebabkan proses inflamasi.
Beberapa literatur sering menyebut beberapa inflamasi yang menyerang medulla
spinalis sebagai myelitis transverse atau myelitis transverse akut. Bahkan bentuk subakut
dari myelitis juga disebut sebagai myelitis transverse akut. Makna “transversa” pada
kasus myelitis menggambarkan secara klinis adanya band like area horizontal perubahan
sensasi di daerah leher atau toraks. Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif karena
inflamasi di medulla spinalis dikenal sebagai myelitis transversalis. Inflamasi berarti
adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial menimbulkan
kerusakan. Jadi tidak ada keterlibatan saraf tulang belakang baik dari segi patologi
maupun pencitraan, tapi hingga hari ini masih sering literatur yang menggunakannya.
Klasifikasi
1. Menurut Onset 
Menurut Sema et al (2007) perjalanan klinis antara onset hingga munculnya
gejala klinis myelitis dibedakan atas:
 Akut
Gejala berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam waktu
beberapa hari saja.
 Sub Akut
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2 minggu. 
 Kronik
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 2 minggu. 
2. Menurut NINDS 
Adapun beberapa jenis dari myelitis menurut NINDS 2012:
a. Myelitis yang disebabkan oleh virus. 
 Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus. 
 Herpes zoster. 
 Rabies. 
 Virus B2. 
b. Myelitis yang merupakan akibat sekunder dari penyakit pada meningens dan
medula spinal. 
 Myelitis sifilitika 
 Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis) 
 Meningomielitis kronik 
 Myelitis piogenik atau supurativa 
 Meningomielitis subakut 
 Myelitis tuberkulosa 
 Meningomielitis tuberkulosa 
 Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural,
meningitis lokalisata atau meningomielitis dan abses. 
c. Myelitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui. 
Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi. 
Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik 
Degeneratif atau nekrotik 
3. Menurut Lokasi dan Distribusi Myelitis 
 Myelitis transversa apabila mengenai seluruh potongan melintang medula
spinalis 
 Poliomyelitis apabila mengenai substansia grisea 
 Leukomyelitis apabila mengenai substansia alba 

a. Acute Transverse Myelitis (ATM) 


Definisi 
Definisi Acute Transverse Myelitis (ATM) menurut NINDS (National Institute of
Neurological Disorders and stroke) 2012 adalah kelainan neurologi yang disebabkan oleh
peradangan sepanjang medulla spinalis baik melibatkan satu tingkat atau segmen dari
medulla spinalis. Istilah mielitis menunjukkan peradangan pada medulla spinalis,
trasversa menunjukkan posisi dari peradangan sepanjang medulla spinalis.
Beberapa literature sering menyebutnya sebagai myelitis transverse maupun myelitis
transverse akut. Bahkan bentuk subakut dari myelitis juga disebut sebagai myelitis
transverse akut. Sebagai hasilnya, makna “Acute Transverse Myelitis” sering tumpang
tindih dengan “Myelitis Transverse”.
Menurut Varina (2012), Acute Transverse Myelitis (ATM) adalah sekumpulan
kelainan neurologi yang disebabkan oleh proses inflamasi pada saraf tulang belakang dan
berakibat hilangnya fungsi motorik dan sensorik di bawah tingkat lesi.
Epidemiologi 
Insiden ATM dari seluruh usia anak hingga dewasa dilaporkan sebanyak 1-8 juta
orang di Amerika Serikat, sekitar 1400 kasus baru ATM per tahun yang didiagnosis di
Amerika Serikat. Sebanyak 34000 orang dewasa dan anak-anak menderita gejala sisa
ATM berupa cacat sekunder. Sekitar 20 % dari ATM terjadi pada anak-anak.
ATM mungkin timbul dari berbagai penyebab, tetapi paling sering terjadi sebagai
fenomena autoimun setelah infeksi atau vaksinasi (jumlah 60% kasus pada anak-anak)
atau karena infeksi langsung, penyakit dasar seperti autoimun sistemik, atau diperoleh
penyakit demielinasi seperti multiple sclerosis atau spektrum dari gangguan yang
berhubungan dengan neuromyelitis optica (penyakit Devic, penyakit demielinasi yang
dikenal sebagai gabungan penyakit myelitis transversa dan neuritis optik).
Etiologi 
ATM terjadi karena berbagai etiologi seperti infeksi langsung oleh virus, bakteri,
jamur, maupun parasit, human immunodeficiency virus ( HIV ), varicella zoster,
cytomegalovirus, dan TBC. Namun juga dapat disebabkan oleh proses non - infeksi atau
melalui jalur inflamasi. ATM sering terjadi setelah infeksi atau setelah vaksinasi. ATM
dapat juga terjadi sebagai komplikasi dari syphilis, campak, penyakit lyme, dan beberapa
vaksinasi seperti chikenpox dan rabies.
Faktor etiologi lain yang dikaitkan dengan kejadian ATM adalah penyakit
autoimmune sistemik (SLE, multiple sklerosis, Sjogren’s syndrome), sindrom
paraneoplastik, penyakit vaskuler, iskemik sumsum tulang belakang meskipun tidak
jarang tidak ditemukannya faktor penyebab ATM sehingga disebut sebagai "idiopatik".
Manifestasi Klinis
ATM Medula spinalis adalah struktur yang relatif sempit di mana traktus motorik,
sensorik , dan otonom berada saling berdekatan. Oleh karena itu, lesi di medulla spinalis
dapat memiliki efek dalam semua modalitas ini. Namun, efek tersebut tidak selalu
seragam dimana tingkat keparahan atau simetris di seluruh modalitas berbeda.
Pemeriksaan klinis dengan fokus pada penyelidikan untuk sensorik tulang belakang dan
tingkat motorik, akan membantu dalam lokalisasi lesi.
ATM terjadi secara akut (terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari) atau
subakut (terjadi dalam satu atau dua minggu). Gejala umum yang muncul melibatkan
gejala motorik, sensorik dan otonom. Beberapa penderita juga melaporkan mengalami
spasme otot, gelisah, sakit kepala, demam, dan hilangnya selera.
Dari beberapa gejala, muncul empat gejala klasik ATM yaitu kelemahan otot atau
paralisis kedua lengan atau kaki, nyeri, kehilangan rasa pada kaki dan jari – jari kaki,
disfungsi kandung kemih dan buang air besar.  

Gejala sensorik pada ATM: 


1. Nyeri adalah gejala utama pada kira- kira sepertiga hingga setengah dari semua
penderita ATM. Nyeri terlokalisir di pinggang atau perasaan yang menetap seperti
tertusuk atau tertembak yang menyebar ke kaki, lengan atau badan . 
2. Gejala lainnya berupa parastesia yang mendadak (perasaan yang abnormal seperti
terbakar, gatal, tertusuk, atau perasaan geli) di kaki, hilangnya sensorik. Penderita
juga mengalami gangguan sensorik seperti kebas, perasaan geli, kedinginan atau
perasaan terbakar. Hampir 80 % penderita ATM mengalami kepekaan yang tinggi
terhadap sentuhan misalnya pada saat perpakaian atau sentuhan ringan dengan jari
menyebabkan ketidaknyamanan atau nyeri (disebut allodinia). Beberapa penderita
juga mengalami pekaan yang tinggi terhadap perubahan temperatur atau suhu
panas atau dingin. 
Gejala motorik pada ATM: Beberapa penderita mengalami tingkatan kelemahan yang
bervariasi pada kaki dan lengan. Pada awalnya penderita dengan ATM terlihat bahwa
mereka terasa berat atau menyerat salah satu kakinya atau lengan mereka karena terasa
lebih berat dari normal. Kekuatan otot dapat mengalami penurunan. Beberapa minggu
penyakit tersebut secara progresif berkembang menjadi kelemahan kaki secara
menyeluruh, akhirnya menuntut penderita untuk menggunakan suatu kursi roda. Terjadi
paraparesis (kelemahan pada sebagian kaki). Paraparesis sering menjadi paraplegia
(kelemahan pada kedua kaki dan pungung bagian bawah).
Gejala otonom pada ATM berupa gangguan fungsi kandung kemih seperti retensi
urin dan buang air besar hingga gangguan pasase usus dan disfungsi seksual sering
terjadi. Tergantung pada segmen medulla spinalis yang terlibat, beberapa penderita
mengalami masalah dengan sistem respiratori.  
Pemulihan dapat tidak terjadi, sebagian atau komplit dan secara umum dimulai dalam
satu sampai tiga bulan. Dan pemulihan tampaknya tidak akan terjadi, jika tidak ada
perkembangan dalam tiga bulan. ATM biasanya adalah penyakit monofasik dan jarang
rekuren. 

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


ATM memiliki diagnosis diferensial yang luas. Riwayat medis, tinjauan sistem
medis, sosial serta riwayat perjalanan, dan pemeriksaan fisik secara umum dapat
memberikan petunjuk saat itu terhadap kemungkinan infeksi maupun penyebab
paraneoplastik, serta penyebab terkait dengan inflamasi sistemik atau penyakit autoimun
seperti lupus eritematosus sistemik, Sindrom Sjögre, dan sarkoidosis.  

Dari anamnesis didapatkan riwayat kelemahan motorik berupa kelemahan pada tubuh
seperti paresis pada kedua tungkai yang terdai secara progesif dalam beberapa minggu.
Kelainan fungsi sensorik berupa rasa nyeri terutama di daerah pinggang, lalu perasaan
kebas atau seperti terbakar yang terjadi secara mendadak pada tangan maupun kaki. Lalu
kelainan fungsi otonom seperti retensi urin, urinary urgency maupun konstipasi. Kelainan
neurologis berupa defisit motorik, sensorik dan otonom adalah suatu titik terang untuk
diagnosis mielopati. Gejala dan tanda-tanda myelitis biasanya berkembang selama jam
sampai hari dan biasanya bilateral, namun unilateral atau nyata presentasi asimetris dapat
terjadi.
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis ATM berupa MRI dan pungsi lumbal. MRI
direkomendasikan untuk menyingkirkan adanya lesi struktural, terutama yang setuju
untuk intervensi bedah saraf mendesak. Seluruh saraf tulang belakang harus dicitrakan
sehingga hasil negatif dapat dihindari
Langkah pertama dalam evaluasi diagnostik ATM untuk menyingkirkan lesi akibat
compression (penekanan). Jika dicurigai mielopati, MRI spinal cord harus diperoleh
sesegera mungkin dengan pemakain kontras godalinium. Jika tidak ada lesi struktural
seperti massa tulang belakang atau spondylolisthesis, maka langkah kedua adalah untuk
mengidentifikasi ada atau tidaknya peradangan saraf tulang belakang dengan pungsi
lumbal . Tidak adanya pleositosis akan mengarah pada pertimbangan penyebab
peradangan dari mielopati seperti arteriovenous malformation (AVM), emboli
fibrocartilaginous, radiasi. Pungsi lumbal dengan pengambilan sampel cairan
cerebrospinal (CSF) untuk menentukan adanya peradangan. Analisis isi seluler CSF akan
menentukan jumlah sel darah putih yang dapat terakumulasi dalam cairan, yang nantinya
dapat berfungsi sebagai indikator dari besarnya peradangan.
Selain neuroimaging dari spinal cord dan laboratorium CSF, darah/ tes serologi sering
membantu dalam mengesampingkan adanya gangguan sistemik seperti penyakit
rematologi (misalnya, penyakit Sjogren atau lupus eritematosa sistemik ), gangguan
metabolisme. Tes laboratorium seperti : indeks IgG, vPCR virus, antibodi lyme dan
mikoplasma, dan VDRL terjadinya myelitis setelah infeksi atau vaksinasi tidak
menghalangi kebutuhan untuk evaluasi lebih lanjut dalam menentukan etiologinya seperti
infeksi sifilis, HIV, campak, rubella dan lainnya, karena infeksi atau imunisasi juga dapat
memicu serangan myelitis.  
Tata Laksana
Ada beberapa literature merujuk pada penatalaksanaan ATM:
Rujukan Terapi
1) The new Imunoterapi awal 
England Journal Hasil terapi pemberian imunoterapi selama fase akut myelitis
of Medicine adalah menghambat progresif dan permulaan resolusi lesi inflamasi
(NEJM) 2010. sumsum tulang dan mempercepat pemulihan klinis. Kortikosteroid
merupakan pengobatan standard lini pertama. Sekitar 50-70 %
mengalami pemulihan sebagian atau lengkap.
Plasma exchange 
Terapi plasma pengganti mungkin menguntungkan bagi pasien
yang tidak berespon pada pemberian kortikosteroid. Hati-hati
terhadap pemberian plasma exchange karena dapat menyebakan
hipotensi, koagulopati, trombositopenia, elektrolit tidak seimbang.

Penanganan gejala dan komplikasi ATM


Bantuan pernapasan dan orofaringeal 
Myelitis dapat menyebabkan kegagalan pernafasan dengan
melibatkan sumsum tulang belakang bagian atas dan batang otak
stem, sehingga penilaian ulang secara regular fungsi pernapasan
dan oropharyngeal diperlukan selama proses perubahan myelitis.
Intubasi untuk ventilasi mekanik diperlukan untuk beberapa pasien. 
Kelemahan motorik dan Komplikasi Imobilisasi 
Pemberian heparin berat molekul rendah untuk profilaksis terhadap
trombosis vena disarankan untuk semua pasien dengan immoblitas.
Kolaborasi dengan tim kedokteran fisik harus dipertimbangkan
sehingga multidisiplin neurorehabilitasi dapat dimulai sejak dini. 
Kelainan tonus otot 
Myelitis yang parah dapat berhubungan dengan hipotonia pada fase
akut (selama syok spinal ), tapi ini biasanya diikuti oleh munculnya
peningkatan resistensi terhadap gerakan (tonik spastisitas), bersama
dengan kejang otot tak sadar (spastik phasic). Data dari percobaan
terkontrol mendukung manfaat baclofen, Tizanidine, dan
benzodiazepin untuk pengobatan pasien dengan spastik yang
berhubungan dengan gangguan otak dan saraf tulang belakang. 
Nyeri 
Nyeri adalah umum selama dan setelah serangan myelitis dan dapat
disebabkan oleh cedera saraf langsung (nyeri neuropatik), faktor
ortopedi (misalnya, nyeri karena kekacauan postural), spastik atau
beberapa kombinasi dari faktor-faktor ini. Nyeri neuropatik dapat
berespon dengan pengobatan agen antikonvulsan, obat antidepresan
(antidepresan trisiklik dan reuptake inhibitor serotonin dan
norepinefrin), nonsteroid analgesik dan narkotik. 
Disfungsi kandung kemih dan usus 
Penempatan kateter uretra biasanya diperlukan selama fase akut
myelitis karena retensi urin di kandung kemih. Setelah fase akut,
otot detrusor vesica urinara mengalami hyperreflexia yang biasanya
berkembang dan ditandai oleh frekuensi berkemih, urgensi, urge
incontinence. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian agen
antikolinergik (misalnya , oxybutynin dan tolterodine).
NINDS 2012.  Sementara tiap kasus berbeda pada semua pasien , berikut ini
adalah kemungkinan pengobatan pada pasien ATM . 
Steroid intravena : 
Pasien dengan ATM diberikan dosis tinggi metilprednisolon
intravena elama 3-5 hari. Keputusan untuk steroid lanjutan atau
menambahkan pengobatan baru sering didasarkan pada perjalanan
klinis dan penampilan MRI pada hari ke 5 setelah pemberian steroid

Plasma Exchange 
Hal ini sering digunakan untuk pasien-pasien dengan ATM moderat
dan bentuk agresif yang tidak menunjukkan banyak perbaikan
setelah dirawat dengan steroid intravena dan oral 
Perawatan lain untuk ATM : 
Bagi pasien yang tidak beresponi baik steroid atau Plex dan terus
menunjukkan peradangan aktif di saraf tulang belakang, bentuk lain
dari intervensi berbasis kekebalan mungkin diperlukan. Penggunaan
imunosupresan atau agen imunomodulator mungkin diperlukan.
Salah satunya penggunaan siklofosfamid intravena (obat
kemoterapi sering digunakan untuk limfoma atau leukemia). Terapi
rehabilitasi (physical therapy, occupational therapy, vocational
therapy)
American 1) Dosis tinggi metilprednisolon ( 1 g IV setiap hari selama 3-7 hari
Academy of ) biasanya lini pertama treatment pada awal serangan ATM.
Neurology 2011. Keputusan untuk memperpanjang steroid atau memberikan
modalitas pengobatan tambahan didasarkan pada perjalanan klinis
dan gambaran MRI setelah selesai pemberian steroid. 
2) Plasma exchange sering ditambahkan ke rejimen jika pasien
menunjukkan sedikit perbaikan klinis setelah pemberian steroid
standar. Plasma exchange dapat dianggap sebagai pengobatan awal
jika pasien memiliki gejala ATM yang sedang sampai parah. 
3) Pilihan terapi lainnya adalah imunomodulator dan obat sitotoksik
seperti rituxima, azathioprine, dan siklofosfamid, meskipun tidak
ada bukti literatur yang cukup untuk mendukung penggunaanya
secara rutin 
4) Dalam satu studi retrospektif pada pasien dewasa dengan ATM ,
pasien dengan tingkat yang paling parah disertai kecacatan dan
mereka yang memiliki riwayat penyakit autoimun menunjukkan
beberapa manfaat penggunaan siklofosfamid IV setelah
kortikosteroid . 
5) Dalam penelitian yang sama, subkelompok lain di mana pasien
yang menerima kortikosteroid IV diikuti pemberian plasma
exchange bernasib lebih baik daripada mereka yang menerima IV
kortikosteroid saja. Selanjutnya lebih mendukung penggunaan
steroid diikuti oleh plasma exchange sebagai standar terapi yang
diterima secara luas.
b. Polimielitis
Definisi
Poliomyelitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dan sering
dikenal dengan nama Acute Flaccid Paralysis (AFP). Infeksi virus polio terjadi didalam
saluran pencernaan yang menyebar ke kelenjar limfe regional dan sebagian kecil
menyebar ke sistem saraf dengan predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang
belakang dan inti motorik batang otak dan akibat kerusakan bagian susunan saraf pusat
tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot
Etiologi 
Penyebab polio adalah virus polio. Virus polio merupakan RNA virus dan
termasuk famili Picornavirus dari genus Enterovirus. Virus polio tahan terhadap Ph asam
tetapi mati terhadap bahan panas, formalin, klorin dan sinar ultraviolet. Selain itu,
penyakit ini mudah berjangkit di lingkungan dengan sanitasi yang buruk, melalui
peralatan makan, bahkan melalui ludah.
Secara serologi virus polio dibagi menjadi 3 tipe, yaitu: 
1. Tipe I Brunhilde 
2. Tipe II Lansing dan 
3. Tipe III Leoninya 
Penularan virus terjadi melalui:
1. Secara langsung dari orang ke orang 
2. Melalui tinja penderita 
3. Melalui percikan ludah penderita 
Tata Laksana
Tidak ada obat untuk polio, hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Vaksin polio,
diberikan beberapa kali, hampir selalu melindungi anak-anak seumur hidup. Imunisasi
lengkap sangat mengurangi risiko terkena polio paralitik. Mengenai vaksin polio akan
dibahas di bab berikutnya. Tidak ada antivirus yang efektif melawan poliovirus. Terapi
utamanya adalah suportif.
Tujuan pengobatan adalah mengontrol gejala selagi infeksi berlangsung. Dalam
kasus-kasus tertentu, beberapa membutuhkan tindakan lifesaving , terutama bantuan
nafas. Berikut pengobatan non spesifik untuk setiap manifest klinis dari polio 
1. Silent infection : istirahat 
2. Poliomielitis abortif : istirahat 7 hari, bila tidak terdapat gejala apa-
apa, aktifitas dapat dimulai lagi. Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih teliti
terhadap kemungkinan kelainan musculoskeletal. 
3. Poliomielitis paralitik/non-paralitik : istirahat mutlak sedikitnya 2
minggu; perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralysis
pernafasan. 

Pengobatan sesuai dengan gejalanya, meliputi : 


A. Fase akut 
 Antibiotik untuk mencegah infeksi pada otot yang flaccid 
 Analgetik untuk mengurangi nyeri kepala, myalgia, dan spasme 
 Antipiretik untuk menurunkan suhu. 
 Foot board, papan penahan pada telapak kaki, agar kaki terletak pada sudut yang
tetap terhadap tungkai 
 Bila terjadi paralysis pernafasan seharusnya dirawat di unti perawatan khusus
karena penderita memerlukan bantuan pernafasan mekanis. 
 Pada poliomyelitis tipe bulber kadang-kadang refleks menelan terganggu dengan
bahaya pneumonia aspirasi. Dalam hal ini kepala anak diletakkan lebih rendah
dan dimiringkan ke salah satu sisi. 
B. Fase post-akut 
Kontraktur, atrofi dan atoni otot dikurangi dengan fisioterapi. 
Tindakkan ini dilakukan setelah 2 minggu. Penatalaksanaan fisioterapi yang
dilakukan : 
1. Heating dengan menggunakan IRR ( infra red radiation ) 
2. Exercise (active/passive) terutama pada ekskremitas yang mengalami
kelemahan atau kelumpuhan 
3. Breathing exercise jika diperlukan
4. Bila perlu pemakaian braces, bidai, hingga operasi ortopedik.

BAB III
SIMPULAN

Infeksi sistem saraf pusat (SSP), termasuk meningitis, ensefalitis, dan abses otak, dan
mielitis. Pasien dengan infeksi SSP dapat datang ke UGD dengan sejumlah tanda dan gejala
yang tidak spesifik, termasuk sakit kepala, demam, perubahan status mental, dan perubahan
perilaku. 
Pada meningitis, trias klasik demam, leher kaku, dan status mental yang berubah hanya
terjadi pada sebagian kecil pasien. Manuver pemeriksaan fisik klasik, seperti tanda-tanda Kernig
dan Brudzinski, hingga pengambilan cairan CSF dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosis
pasien. 
Diagnosis dan pengobatan infeksi SSP membutuhkan kewaspadaan dan indeks
kecurigaan yang tinggi berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik yang harus dikonfirmasi
dengan pencitraan yang tepat dan evaluasi laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Archibald, L. K. & Quisling, R. G., 2013. Central Nervous System Infections. Textbook of
Neurointensive Care, p. 427–517.
Atkinson W, Hamborsky J, McIntyre L, Wolfe S. 2009. "Poliomyelitis" Epidemiology and Prevention of
Vaccine-Preventable Diseases (The Pink Book) (11th ed.). Washington DC: Public Health
Foundation. pp. 231–44.
Bruner DI, Littlejohn , Pritchard A (2012). Subdural empyema presenting with seizure, confusion, and
focal weakness. West J Emerg Med, 13 (6): 509-511.
Cantu, R. M. & Das, J. M., 2019. Viral Meningitis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Our Progress Against Polio. 2013. 
Centers for Disease Control and Prevention, 2019. Bacterial Meningitis. [Online]  Available at:
https://www.cdc.gov/meningitis/bacterial.html [Accessed 3 July 2020].
Chang, C. C. and Clezy, K. (2016) Toxoplasmosis, ashm hiv management in Australasia. Available at:
https://hivmanagement.ashm.org.au/index.php/clinical-manifestation-of-hiv/key-opportunistic-
infection/toxoplasmosis
Chin, J. H., 2014. Tuberculous meningitis; Diagnostic and therapeutic challenges. Neurol Clin Pract,
4(3), p. 199–205.
Dawodu ST (2015). Subdural empyema. Diakses dari:  http://emedicine.medscape.com/article/1168415-
overview#a5 
Douglas Kerr. The history of TM : The Origins Of The Name And The Identification Of The Disease.
The transverse myelitis association. 2013.
Ebaugh, Franklin, G., Neuropsychiatric Sequelae of Acute Epidemic Encephalitis in Children. Journal of
Attention Disorders. 2007. SAGE Publication.
Efrida & Ekawati, D., 2012. Kriptokokal meningitis: Aspek klinis dan diagnosis laboratorium. Jurnal
Kesehatan Andalas, 1(1).
Elliot M. Frohman and Dean M. Wingerchuk. Transverse Myelitis. N Engl J Med. 2010: 363;6. 
Erdevickii L, Belic B, Arsenijevic S, Milojevic I, Stojonavic J (2012). Subdural empyema,
retropharyngeal and parapharyngel space abscess: unusual complications of chronic otitis media.
Vojnosanit pregl. 69 (5): 449-552.
Greenlee JE (2003). Subdural empyema. Curr Treat Options Neurol, 5(1): 13-22. 
He, T., Kaplan, . S., Kamboj, M. & Tang, Y.-W., 2016. Laboratory Diagnosis of Central Nervous
System Infection. Curr Infect Dis Rep, 18(11), p. 35.
Hendaus MA (2013). Subdural Empyema in Children. Global journal of health science. 5(6): 54-59.
Hersi, K., Gonzalez, F. J. & Kondamudi, N. P., 2020. Meningitis. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.
Hom, Jeffrey. Pediatric Meningitis and Encephalitis. Departmen of Pediatrics/ Emergency Seervice.
2011. New York University School of Medicine. Available from 
http://emedicine.medcape.com/article/802760
Imran, D., Estiasari, R. and Maharani, K. (2017) ‘Infeksi Oportunistik Susunan Saraf Pusat Pada AIDS’,
in Aninditha, T. and Wiratman, W. (eds) Buku 1 Buku Ajar Neurologi. Departemen Neurologi
Fakultas Kedakteran Universitas Indonesia, pp. 239–247
Isabel, B. E. & RogelIo, H. P., 2014. Pathogenesis and Immune Response in Tuberculous Meningitis.
Malays J Med Sci, 21(1), p. 4–10.
Jeffrey AM (2008). “Subdural Empyema”. Neurology and genera medicine. 4th ed. Philadelphia:
Churcill Livingstone Elsevier, p: 782.
Kennedy, P. G. E., Quan, P.-L. & Lipkin, W. I., 2017. Viral Encephalitis of Unknown Cause: Current
Perspective and Recent Advances. Viruses, 9(6), p. 138.
Kumar, R., 2020. Understanding and managing acute encephalitis. F1000Research, Volume 9, pp.
F1000 Faculty Rev-60.
Lazoff, M.,et al, Encephalitis. Medscape Refference. 2011. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/791896
Lee, S. and Lee, T. (2017) ‘Toxoplasmic Encephalitis in Patient with Acquired Immunodeficiency
Syndrome’, 5(1), pp. 34–36.
Luo, M. et al., 2018. Tuberculous meningitis diagnosis and treatment in adults: A series of 189
suspected cases. Exp Ther Med, 16(3), p. 2770–2776.
Marais, S. et al., 2020. Management of intracranial tuberculous mass lesions: how long should we treat
for?. Wellcome Open Research 2019, Volume 4, p. 158.
Mardjono,Mahar dan Sidarta,Priguna. NEUROLOGI KLINIS DASAR. Dian Rakyat. 2003. Hal. 313-
314, 421, 327-333.
Markam,Soemarmo. KAPITA SELEKTA NEUROLOGI. Gajah Madah University Press. Edisi Ke
Dua.2003. Hal.155-162
Monteiro, R., Carneiro, J. C., Costa, C. & Duarte, R., 2013. Cerebral tuberculomas – A clinical
challenge. Respir Med Case Rep, Volume 9, p. 34–37.
Mukherjee, S., Das, R. & Begum, S., 2015. Tuberculoma of the brain - A diagnostic dilemma: Magnetic
resonance spectroscopy a new ray of hope. The Journal of Association of Chest Physicians, 3(1),
pp. 3-8.
Muzaffer Keklik, Leylagul Kaynar, Afra Yildirim, et al. An Acute Transverse Myelitis Attack after
Total Body Irradiation: A Rare Case. Case Reports in Hematology. 2013. 
Nica DA, Constantinescu RM, Copaciu R, Nica M (2011). Multidisciplinary management and outcome
in subdural empyema-a case report. Chirurgia 106(5): 673-676.
Pormohammad, A., Nasiri, M. J., Riahi, S. M. & Fallah, F., 2018. Human Immunodeficiency Virus in
Patients With Tuberculous Meningitis: Systematic Review and Meta-Analysis. Trop Med Int
Health, 23(6), pp. 589-595.
Ranuh, I G N, dkk. Infeksi Virus : Poliomyelitis. 2008. Dalam : Pedoman Imunisasi Di Indonesia.
Satgas Imunisasi IDAI. Jakarta
Ropper, A. H., Samuels, M. H., Klein, J. P. & Prasad, S., 2019. Adams and Victor's Principle of
Neurology. 11 ed. s.l.:McGraw-Hill.
Runde, T. J. & Hafner, J. W., 2019. Meningitis, Bacterial. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Ruschel, M. . A. P. & Thapa, B., 2019. Meningitis, Cryptococcal. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.
Said, S. & Kang, M., 2019. Viral Encephalitis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Schlossberg D (2015). Clinical infectious disease second edition. United Kingdom: Cambridge
University Press.  http://emedicine.medscape.cm/article/1168415-overview.
Sehgal, I. & Das, J. M., 2019. Anatomy, Back, Spinal Meninges. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.
Sema Y et al. Transverse Myelitis caused by varicella zoster : case report.Braz J Infect Dis. 2007 ; 11 :
1. 
Slane, V. H. & Unakal., C. G., 2020. Tuberculous Meningitis. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Poliomyelitis. 2005. Dalam : Rusepno Hassan, Husein Alatas
(ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta.
T.F. Scott, E.M. Frohman, J. De Seze, et al. Evidence-based guideline: Clinical evaluation and treatment
of transverse myelitis: Report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of
the American Academy of Neurology .Neurology. 2011;77;2128-2134. 
Thao, L. T. P. et al., 2018. Prognostic Models for 9-Month Mortality in Tuberculous Meningitis.
Clinical Infectious Diseases, 66(4), p. 523–532.
Timothy W West. Transverse Myelitis- A Review Of The Presentation, Diagnosis And Initial
Management. 2013. 
Transverse Myelitis fact sheet. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2012. 
Varina L. Wolf, Pamela J. Lupo and Timothy E. Lotze. Pediatric Acute Transverse Myelitis Overview
and Differential Diagnosis. J Child Neurol. 2012; 27: 1426.
Venkatesan, A. & Geocadin, R. G., 2014. Diagnosis and management of acute encephalitis A practical
approach. Neurol Clin Pract, 4(3), p. 206–215.
Wan, C., 2018. Viral Meningitis. [Online]  Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview [Accessed 3 July 2020].
World Health Organization, n.d. Meningitis. [Online]  Available at: https://www.who.int/health-
topics/meningitis#tab=tab_1 [Accessed 3 July 2020].
World Health Organization. The Disease and The Virus. Dalam : Global Polio Eradication Initiative.
available from : www.who.int/topics/poliomyelitis/en/
Yostila D and Armen A (2018) ‘Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS’, Jurnal Kesehatan Andalas,
7(Supplement 4), pp. 96–99. Available at: http://jurnal.fk.unand.ac.id

Anda mungkin juga menyukai