Disusun Oleh :
Kelompok III Kelas Cilacap
1.3 Tujuan
1. Mengetahui proses pengkajian pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis
2. Mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis
3. Mengimplementasikan perencanaan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis
4. Mengetahui evaluasi pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis
1.4 Manfaat
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis yang
meliputi pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan dan evaluasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 MENINGITIS
2.1.1 Definisi
Definisi dari meningitis adalah infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan.spinal
cord(Meningitis Foundation of America). Mengetahui meningitis disebabkan oleh bakteri atau
virus dapat membantu dalam menentukan keparahan penyakit dan pengobatannya. Viral
meningitisbiasanya kurang parah dan dapat sembuh tanpa pengobatan spesifik, sementara
bacterial meningitisbiasanya cukup parah dan dapat menimbulkan kesusakan fungsi otak
(Meningitis Foundation of America)
Meningitis adalah infeksi ruang subarakosid dan leptomeningen yang disebabkan oleh
berbagai organism pathogen. Meningitis adalah gangguan yang sangat serius yang terus memiliki
insidensi mortalitas dn morbiditas signifikan
Meningitis bakteri atau purulenta adalah bentuk yang paling penting di Amerika Serikat
dalam hal insidensi,gejala, usia dan akhirnya kehilangan kehidupan produktif.Meningitis aseptic ,
yang biasanya disebabkan oleh virus lebih sering terjadi namun gejala sisa yang bermakna jarang
ditemukan dan penyakit besifat sembuh spontan.Meningitis granulomatesa yang disebabkan oleh
M tuberculosis ata jamur adalah penyebab utama cedera neurologic dan kematian di bagian dunia
yang lain.
Memingitis adalah kegawatdaruatan medis dengan kebutuhan segera terhadap diagnosis
yang cepat dan pemberian antibiotic yang tepat, serta tindakan suportif.Indeks kecurigaan yang
tinggi haeus selalu dipertahankan bila menentukan anak yang febris atau anak yang mengalami
perubahan status mental karena beberapa jam pertama perawatan akan memberikan perbedaan
yang sangat penting dalam prognosis. (Rudolph,2006)
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
2.1.2 Klasifikasi dan etiologi meningitis
. 1. Meningitis bakterial
Meningitis bacterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyerang susunan saraf
pusat, mempunyai resiko tinggi dalam menimbulkan ke matian dan kecacatan. Diagnosis yang
cepat dan tepat merupakan tujuan dari penanganan meningitis bakteri (Pradana, 2009).
Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta (Mardjono, 1981).Pada umumnya
meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septikemia. Pada meningitis meningokokus,
prodomnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di
nasofaring. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi kuman-
kuman tersebut (Mardjono, 1981).
Etiologi dari mening itis bakterial antara lain (Roos, 2005):
1. S. pneumonie
2. N. meningitis
3. Group B streptococcus atau S. agalactiae
4. L. monocytogenes
5. H. influenza
6. Staphylococcus aureus
. 2. Meningitis tuberkulosa
Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di Indonesia karena
morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi
penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di paru. Terjadinya meningitis tuberkulosa bukanlah
karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya
sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsung tulang belakang atau
vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga arakhnoid (Pradana, 2009).
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan
peningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama pada batang
otak tempat terdapat eksudat dan uberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan elatinosa dapat
menimbulkan obstruksi ada sisterna basalis (Pradana, 2009). Etiologi dari meningitis tuberkulosa
adalah Mycobacterium tuberculosis(Pradana, 2009)
3. Meningitis viral
Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir / sequel dari berbagai
penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, Mumps herpes simpleks, dan herpes zooster.
Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan pada pemeriksaan cairan serebrospinal(CSS)
tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter, dan
lapisan menigens. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada
herpes simpleks, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa
enyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmiter, dimana hal ini akan berlanjut
terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan neurologis (Pradana, 2009)
Etiologi dari meningitis viral antara lain :
4.Meningitis jamur
Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang ditemukan, namun
dengan meningkatnya pasien dengan gangguan unitas, angka kejadian meningitis jamur semakin
meningkat. Problem yang hadapi oleh para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang
efektif. Sebagai contoh, jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab gejala penyakit infeksi
dan jamur tidaksering ditemukan dalam cairan serebrospinal (CSS) pasien yang terinfeksi oleh
karena jamur hanya dapat ditemukan dalam eberapa hari sampai minggu pertumbuhannya
(Pradana, 2009).
Etilogi dari meningitis jamur antara lain:
1. Cryptococcus neoformans
2. Coccidioides immitris
2.1.3 Patofisiologi
Secara umum patofisiologi dari mening itis ada lah sebaga i berikut
Agen penyebab
↓
Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah
↓
Bermigrasi ke lapisan subarachnoid
↓
Respon inflamasi di piamater, arakhnoid, cairan serebrospinal, dan entrikuler
↓
Eksudat menyebar di seluruh saraf kranial dan saraf spinal
↓
Kerusakan neurologis
Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point d’entrymasuknya
kuman juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang pecah. Penyebab
lainnya adalah adanya rhinorhea, otorheapada basis cranial yang memungkinkan kontaknya CSS
dengan lingkungan luar (Pradana, 2009).
1. Meningitis bakterial
Bacterial meningitis merupakan tipe meningitis yang paling sering terjadi. Tetapi
tidak setiap bakteri mempunyai cara yang sama dalam menyebabkan meningitis. H.
influenza dan N. meningitides biasanya menginvasi dan membentuk koloni di sel-sel
epitel faring. Demikian pula S. pneumonie, hanya saja S. pneumonie dapat menghasilkan
immunoglobulin A protease yang mennonaktifkan antibodi lokal (Swartz, 2007).
Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah S. pneumonie dan N.
meningitis. Bakteri tersebut menginisiasi kolonisasi di nasofaring dengan menempel di sel
epitel nasofaring. Bakteri tersebut berpindah menyeberangi sel epitel tersebut menuju ke
ruang intravaskular atau menginvasi ruang intravaskular dengan menciptakan ruang di
tight unction dari sel epitel kolumnar. Sekali masuk aliran darah, bakteri dapat
mnghindari fagositosis dari neutrofil dan komplemen dengan adanya apsul polisakarida
yang melindungi tubuh mereka. Bloodborne bacteria dapat mencapai fleksus koroideus
intraventrikular, menginfeksi langsung sel epitel fleksus koroideus, dan mencapai akses
ke cairan serebrospinal. Beberapa bakteri seperti S. pneumonie dapat menempel di sel
endotelial kapiler serebral dan bermigrasi melewati sel tersebut langsung menuju cairan
serebrospinal. Bakteri dapat bermultiplikasi dengan cepat di cairan serebrospinal karena
kurang efektifnya sistem imun di cairan serebrospinal (CSS). Cairan
serebrospinal(CSS)normal mengandung sedikit sel darah putih, sedikit protein
komplemen, dan immunoglobulin. Kekurangan komplemen dan immunoglobulin
mencegah opsonisasi dari bakteri oleh neutropil. Fagositosis bakteri juga diganggu oleh
bentuk cair dari cairan cerebrospinal itu sendiri (Roos, 2005).
Peristiwa yang penting dalam patogenesis meningitis bacterialadalah reaksi
inflamasi diinduksi oleh bakteri. Manifestasi-manifestasi neurologis yang terjadi dan
komplikasi akibat meningitis bacterial merupakan hasil dari respon imun tubuh terhadap
zat patogen yang masuk dibandingkan dengan kerusakan jaringan langsung oleh bakteri.
Sehingga cedera neurologis dapat terus terjadi meskipun bakteri telah ditangani dengan
antibiotik (Roos, 2005).
Lisis dari bakteri dan dilepaskannya komponen-komponen dinding sel di ruang
subaraknoid merupakan langkah awal dari induksi respon inflamasi dan pembentukan
eksudat di ruang subarakhnoid. Komponen dinding sel bakteri, seperti molekul
lipopolisakarida (LPS) bakteri gram negatif dan asam teikhoic dan peptidoglikan S.
pneumonie, menginduks i inflamasi selaput meningens dengan menstimulasi produksi
sitokin-sitokin inflamasi dan kemokin-kemokin oleh mikroglia, astrosit, monosit, dan sel
leuko sit CSS. Kemudian, setelah 1-2 jam LPS dilepaskan di cairan serebrospinal (CSS),
sel sel endotelial dan meningeal, makrofag, dan mikroglia akan mengeluarkan Tumor
Necrosis Factor(TNF) dan Interleukin-1(IL-1) (Swartz, 2007). Lalu kemudian setelah
dilepaskannya sitokin tersebut, akan terjadi peningkatan kandungan protein CSSdan
leukositosis. Kemokin (yang turut menginduksi migrasi leukosit) dan berbagai sitokin
inflamasi lainnya juga diproduksi dan diskresi oleh leukosit dan jaringan yang diinduks i
oleh IL-1dan TNF(Roos, 2005).
Kebanyakan patofisiologi dari bacterial meningitismerupakan akibat dari
meningkatnya sitokin CSSdan kemokin. TNFdan IL-1bekerja sinergis meningkatkan
permeabilitas Blood-Brain Barrier(BBB), yang mengakibatkan edema vasogenik,
bocornya protein serum ke ruang subarakhnoid. Eksudat di ruang subarakhnoid
mengganggu aliran CSS di sistem ventrikular dan mengurangi reabsorbsi dari CSS di
sinus dura, sehingga dapat menyebabkan communicating edema dan concomitant
interstitial edema(Roos, 2005).
2. Meningitis tuberkulosa
4.Meningitis jamur
Ada tiga pola dasar infeksi jamur pada susunan saraf pusat yaitu, meningitis
kronis, vaskulitis, dan invasi parenkimal. Pada infeksi Cryptococcaljaringan menunjukkan
adanya meningitis kronis pada leptomeningen basal yang dapat menebal dan mengeras
oleh reaksi jaringan penyokong dan dapat mengobstruksi aliran likuor dari foramen
luschkadan magendi sehingga terjadi hidrosepalus. Pada jaringan otak terdapat substansia
gelatinosa pada ruang subarakhnoid dan kista kecil di dalam parenkim yang terletak
terutama pada ganglia basalis pada distribusi arteri lentikulostriata. Lesi parenkimal terdiri
dari agregasi atau gliosis. Infiltrat meningens terdiri dari sel-sel inflamasi dan fibroblast
yang bercampur dengan Cryptococcus. Bentuk granuloma tidak sering ditemukan, pada
beberapa kasus terlihat reaksi inflamasi kronis dan reaksi granulomatosa sama dengan
yang terlihat pada Mycobacterium tuberculosadengan segala bentuk komplikasinya
(Pradana, 2009)
Pada meningitis bakteri ditemukan bebagai gangguan patofisiologi dan ini mungkin terjadi
sebagai akibat respon penjamu terhadap organisme penginfeksi.Abnormalitas tersebut mungkin
memainkan peran dalam berkembangnya gejala usia neurologi pesca meningitis dan pemahaman atas hal
ini merupakan hal yang penting guna perawatan yang efektif bagi pasien meningitis.
Setela satu dekade menjalani studi intensif dengan model hewan suatu gambaran luas
mengenai dasar seluler dan molekuler perubahan patofisiologi ini telah diperoleh.Begitu bakteri
mencapai akses menuju ruang subaraknoid komponen-komponen dinding sel bakteri
(lipopolikardia , lipooligosakardika,asam telkost) merangsang pembuatan sitokin proinflamotorik
(TNF,II-Iß.II-6.PAF dan lain-lain. Ini semua pada gilirannya akan meningkatkan pelekatan
leukosit ke endotel pembuluh darah otak meningkatkan permeabilitas sawar darah otak serta
migrasi leukosit ke dalam ruang subarakosid.Spesies oksigen derivate sel darah putih serta endotel
dan mungkin reaktivitas serebrovaskuler. Hal ini bersama dengan peningkatan tekanan
intrakranium mengakibatkan iskemia serebrum dan perubahan metabolism otak.
Edema serebrum mempresentasikan suatu kombinasi edema vasigenik,sitotoksik dan
intersitisial. Jika berat edema ini mengakibatkan peningkatan besar pada tekanan intrakranium.
Abnormalitas metabolism otak meliputi hipoglikemia dan asidosis laktat CSS. Kadar
glukosa CSS yang rendah terjadi akibat terganggunya pengangkutan glukosa melewati sawar
darah otak dan mungkin akibat peningkatan penggunaan glukosa otak, Asidosis laktat CSS
mengidentifikasikan penggunaan glkosa secara anaerob si system saraf pusat.
Perfusi otak terbukti menurun pada sekitar 30% anak penderita meningitis yang telah
menjalai penilaian darah otak . Disamping itu gangguan vasoreaktifitas serebrum , factor lain uang
dapat mengakibatkan pengurangan erfusi mecakup vaskolitis serebrum dan arteri atau vena.
Peningkatan tekanan intrakranium hampir selalu ditemukan pada meningitis dan tidak
turut meyebabkan penurunan tekanan perfusi otak , tetapi juga dapat menyebabkan herniasi
serebrum.Patogenesis peningkatan tekanan intrakranium bersifat multi factor dan mencakup
keterlibatan edema otak , peningkatan volume CSS dan abnormalitas aliran darah sererum
Sawar darah otak terdiri atas pleksus konideus, mikrovaskulator sererumdn membrane
araksoid , memperlihatkan penigkatan permeabilitas dalam meningitis,Mikroskopi electron telah
memperlihatkan bahwa taut-taut ketat pada venula serebrum menjadi terpisah pada meningitis
sehingga memungkinkan masukya makromolekul dan elemen sel dari kapiler serebrum ke dalam
ruang intersisial.
Meskipun banyak pasien meningitis memiliki keluaran neurologic yang baik dengan
upaya suportif standart dan antibiotic pasien dengan gangguan system saraf pusat yang lebih berat
membutuhkan perawatan yang lebih intensif.(Rudolph ,2006)
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi serta sequelle yang timbul biasanya berhubungan dengan proses inflamasi
pada meningen dan pembuluh darah cerebral (kejang, parese nervus cranial,lesi cerebral fokal,
hydrasefalus) serta disebabkan oleh infeksi meningococcus pada organ tubuh lainnya (infeksi
okular, arthritis, purpura, pericarditis, endocarditis, myocarditis, orchitis, epididymitis,
albuminuria atau hematuria, perdarahan adrenal). DIC dapat terjadi sebagai komplikasi dari
meningitis. Komplikasi dapat pula terjadi karena infeksi pada saluran nafas bagian atas, telinga
tengah dan paru-paru, Sequelle biasanya disebabkan karena komplikasi dari nervous system.
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan efektif untuk meningitis tergantung pada terapi suportif agresif yang dini
dan pemilihan antibiotika empiric yang tepat untuk kemungkinan pathogen. Tindakan suportif
umum diindikasikan bagi setiap pasien yang menderita patologi intrakranium berat.Pasien koma
atau dengan gangguan reflex muntah harus dikosongkan isi lambungnya dan dipertimbangkan
untuk intubasi guna untuk melindungi jalan napasnya.Hipoksia harus di tanggulangi dengan
pemberian oksigen.Hiperventilasi merupakan kondisi yang secara khusus mencemaskan pada
kasus meningitis karena peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi serebrum dan
meningkatkan tekanan intrakranium.Hiperkabia harus dipikirkan sebagai indikasi lain untuk
intubasi dan bantuan pernafasan.
Pengelolaan cairan sangat penting bagi pasien meningitis.Sindrom sekresi hormone
antidiuretikyang tidak tepat (SIADH, syndrome of inppopriate antidiuretic hormone secretion)
terjadi pada sekitar 30% pasien meningitis, dan jika ditemukan harus dilakukan pembatasan cairan
Meskipun demikian,sebuah studi klinis telah membuktikan pentingnya menjaga tekanan perfusi
otak yang adekuat pada penyakit ini. Pembatasan cairan secara tidak tepat dapat menimbulkan
deplsi volume, yang jika ekstrem dapat menuju pada ketidakadekuatan volume sirkulasi.
Sebaiknya, cairan mula-mula dibatasi sementara menunggu pemeriksaan ekudat urine dan serum
bila terdapat SIADH pembatasan cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan
tindakan yag tepat, sampai kelebiha hormone antidiuretik pulih, bila tidak terdapat SIADH cairan
harus diberikan dalam jumlah yang sesuai dengan jumlah kehilangan cairan dan elektroli dewasa
secara seksama.
Terapi peningkatan tekanan intrakranium harus diarahkan pada pemeliharan derajat
tekanan perfusi otak yang adejuat , seperti pada kondisi lain yang dipersulit oleh hipertensi
intrakranium.Cara yang adabisa termasuk hiperventilasi, pengambilam CSS melalui kateter
intraventrikel atau mungkin pemakaian obat diuretic osmotic secara hati-hati.
Pada kecurigaan meningitis ,antibiotic intravena diberikan secara empirik sementara
menunggu hasil biakan.Pemilihan antibiotic awal didasarkan pada kemungkinan atogen menurut
kelopok usia, pajanan yang diketahui dan setiap factor resikoyang tidak lazim pada pasien,Prinsip
terapi antimikroba meningitis mencakup pemilihan antibiotic yang bersifat bekterisid terhadap
pathogen yang dicurigai dan yang mampu mencapai konsentrasi CSS setidaknya sepuluh kali
konsentrasi bakterisid minimal untu organism tersebut karena inilah konsentrasi yang dalam
penelitian hewan telah terbukti berkonfasi dengan sterilisasi CSS yang efektif.Anjuran pilihan
untuk terapi aseptic empiric disajikan dalam table 6-26
Terapi harus dipersempit dengan benar bila tersedia data sensitivitas.Selain terapi
antibiotic , penelitian klinis terbaru memperlihatkan sejumlah perbaikan pada keluaran neurologi
setelah pemberian kortikosteroid dan untuk anak dengan meningitis bakteri Deksamenton 0,15
mg/lg per dosis, diberikab serentak dengan penatalaksanaan antibiotic , dan diteruskan selama 6
jam selama 4 hari. Lama terapi adalah 14 hari untuk meningitis neonatus yang disebabkan oleh
streptokokus grup b dan 21 hari utyk organism enteric gram negative.Pengobatan meningitis pada
bayi lebih tua atau anak harus selama 7 hari untuk n meningituilid dan h influenza dan 10-14 hari
untuk s. pneunimuxiae (Rudolph ,2006)
Table 8-28 anjuran pilihan antibiotic empiric untuk pasien dengan mrningitis purulenta
Neonatus < 7 hari
amprresilin (100 mg.kg/hr terbagi q12)
Dan
Aminoglikosida (5.0 mg.kh/ht terbagi q12)
Atau
Ampisilin dan setotaksin (100 mg/kg.hr terbagi q12)
Neonatus >7 hari
-ampisilin (150 mg/kg/kr terbagi q8)
Dan
Aminoglikosida (7,5 mg.kh/ht terbagi q8)
Atau
Ampisilin dan setotaksin (100 mg/kg.hr terbagi q)
Bayi 1-3 bulan’
Ampisilin (300 mg/kg.hr terbagi q6)
dan
setotaksin (200 mg/kg.hr terbagi q6)
Bayi >3 bulan
setotaksin (200 mg/kg.hr terbagi q6j)
dan
seftriakson (100 mg/kg.hr terbagi q12)
anak >6 taun
penisilin G(300,000 unit/kg q4) bila dicurigai influinzae berdasaekan perwarnaan gram atau
metodedeteksi antigen , gunakkan regimen yang digariskan untuk bayi)
atau
seftriakson (100 mg/kg.hr terbagi q12)
PATHWAY MENINGITIS
MK: NYERI
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama : By. F
Agama : islam
Pekerjaan :-
Pendidikan :-
2. Identitas Penanggungjawab
Nama : NY S
Umur : 40
Alamat :-
3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
3. Pola Eliminasi
Ds : smrs ibu ps mengatakan BAB normal 1x/hari
4. Pola Aktivitas Latihan
D0 : oleh ibu pasien
5. Pola Istirahat- Tidur
Ds : ibu pasien mengatakan bayi nya biasa tidur 14 jam / hari, kadang rewel ketika
malam hari.
6. Pola Persepsi-Kognitif
Do ; ps tidak menggunakan alat bantu
7. Pola Konsep Diri-Persepsi Diri
-
8. Pola Hubungan – Peran
-
9. Pola Reproduksi – Seksualitas
-
10. Pola Toleransi Terhadap Stress-Koping
Ds : ibu ps mengatakan selalu merundingkan dengan suami apabila terdapat masalah
kesehatan
11. Pola Keyakinan-Nilai
Ds : ibu pasien mengatakan pecaya sepenuhnya terhadap RS dan tim kesehatan yang
menangani
4. Pemeriksaan fisik
BB / TB : 8,5 Kg
a. Kepala: Kepala simetris, tidak ada lesi, bersih, rambut pendek, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
c. Dada
Inspeksi : simetris
Palpasi : Simetris, tidak ada nyeri tekan,
Perkusi : Sonor
Aukultasi : Irama reguler
d. Abdomen
f. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
elektrolit serum natrium 131 mmol/L (Normal 136-145), kalium 3,5 mmol/L (Normal 3,5-
5,1), klorida serum 93 mmol/L (Normal 97-111).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Problem Etiologi Symptom/Data Penunjang
D.0017 Risiko perfusi serebral Inlamasi penyakit Ds : ibu mengatakan kelopak mata
tidak efektif bayinya tidak simeteris, badan panas,
bayi hanya mampu merintih.
DO : GCS 10 (E4V2M4), TD 160/120
mmHg,
D.0130 Hipertermia Peningkatan laju DS : ibu mengatakan anak demam
metabolisme, proses dan gelisah
infeksi DO : badan teraba panas, kulit
memerah, TD 160/120 mmHg,
suhu 38,4 ºC
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Kode S Kode S
No SLKI SIKI
Keperawatan LKI IKI
D.0017 Risiko perfusi se L. 0201 Setelah dilakukan interv I.- Observasi :
rebral tidak efektif 4 ensi selama 1x24 jam Pe Identikasi penyebab TIK
rfusi serebral meningkat Monitor status pernafasan
dengan kriteria : Monitor intake dan outout
Tingkat kesadaran
meningkat Monitir cairan cerebrospinalis
gelisah menurun Terapeutik :
TD membaik Ciptakan lingkungan tenang
Posisikan semifowler
Kolaboratif :
Berikan sedasi JP
D.0130 Hipertemia L.14134 Setelah dilakukan interv I.15506 Oservasi :
ensi selama 1x24 jam m identifikasi penyebab hiperter
aka termoregulasi memb mi
aik dengan kriteria : monitor suhu tubuh
suhu tubuh memb monitor kadar elektrolit
aik monitor keluaran urine
kadar gula darah terpautik
membaik sediakan lingkungan yang
tekanan darah me dingin
mbaik longgarkan pakaian
suhu kulit membai berikancairan oral
k kolaborasi :
kolaborasi pemberian cairan
intravena dan elektrolit intra
vena
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No Tgl Diagnosa Implementasi
D.0017 Risiko perfusi serebral Memberikan Terapi oksigen
tidak efektif Memonitor aliran O2
Memonitor tanda vital
Memberikan tindakan kolaboratif intra
vena
Evaluasi :
S : ibu ps mengatakan sudah semakin baik
O:
- TD sistolik 130/80 mmHg, HR 78 x/mnt, RR 20-24 x/mnt
- ku tampak semakin membaik/meningkat
A: perfusi serebral meningkat
P : lanjutkan intervensi
D.0130 Hipertemia B.d proses Oservasi :
penyakit (infeksi) mengidentifikasi penyebab hipertermi
memonitor suhu tubuh pasien
terpeutik
menyediakan lingkungan yang dingin
dengan cara menyesuaikan suhu AC
melonggarkan pakaian pasien
memberikancairan oral (membantu
memberikan minum)
kolaborasi :
kolaborasi pemberian cairan intravena (memonitor
cairan infus )
Evaluasi :
S : pasien mengatakan masih merasa panas
O : TD sistolik 120/80 mmHg, HR 78 x/mnt, RR 20-24 x/mnt,
Sebelum : S : 38.2 ºc
Sesudah : S 37.5 ºc
A: termoregulasi membaik
P : lanjutkan intervensi