Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN MENINGITIS


AN.F DI RUANG KEPERAWATAN ANAK

Disusun Oleh :
Kelompok III Kelas Cilacap

Aan Permadi A22020160


Edy Prayitno A22020241
Eko Riyanto A22020242
Indaryanto A22020245
Khoerul Anwar A22020184
Machri Aji S A22020238
Sri Uji Yanti A02220220

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningitis Ensefalitis merupakan penyakit yang menyerang sistem saraf. Kebanyakan penyakit
ini menyerang pada anak-anak. Banyak yang tidak mengetahui sesungguhnya kedua penyakit ini berbeda
meskipun sebenarnya mirip.
Meningitis adalah radang membran pelindung system saraf pusat. Penyakit ini dapat disebabkan
oleh mikroorganisme, luka fisik, kanker, obat-obatan tertentu. Meningitis adalah penyakit serius karena
letaknya dekat dengan otak dan tulang belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak,
pikiran,bahkan kematian. Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus,
bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.
Meningitis tergolong penyakit serius dan bisa mengakibatkan kematian. Data WHO menunjukkan
bahwa dari sekitar 1,8 juta kematian anak balita di seluruh dunia setiap tahun, lebih dari 700.000 kematian
anak terjadi di negara kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Di Australia pada tahun 1995 meningitis
yang disebabkan Neisseria meningitidis 2,1 kasus per 100.000 populasi, dengan puncaknya pada usia 0 –
4 tahun dan 15 – 19 tahun . Sedangkan kasus meningitis yang disebabkan Steptococcus pneumoniae angka
kejadian pertahun 10 – 100 per 100.000 populasi pada anak kurang dari 2 tahun dan diperkirakan ada
3000 kasus per tahun untuk seluruh kelompok usia, dengan angka kematian pada anak sebesar 15%,
retardasi mental 17%, kejang 14% dan gangguan pendengaran 28%.
Sedangkan ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus. Terkadang
ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis, atau komplikasi dari penyakit lain
seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh bakteri). Penyakit parasit dan protozoa
seperti toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic meningoencephalitis, juga dapat menyebabkan
ensefalitis pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya kurang. Kerusakan otak terjadi karena otak
terdorong terhadap tengkorak dan menyebabkan kematian.
Di Hokkaido Jepang sepanjang tahun 1994-1995 terdapat 12 kasus acute onset brain dysfunction
yang secara klinis didiagnosis sebagai ensefalitis atau ensefalopati. Tidak ada satupun dari ke 12 kasus ini
yang memiliki riwayat penyakit kronis yang dapat memicu komplikasi infeksi virus Influenza. Togashi
melanjutkan penelitiannya selama kurun 1995 -2002 dan mendapatkan 89 penderita Influenza-associated
acute encephalopathy (51 laki-laki, 38 perempuan). Usia rata-rata penderita 3,8 tahun (rentang usia 9
bulan – 12 tahun) ; 78,7% terjadi pada usia 9 bulan hingga 5 tahun. Penyebab terbanyak adalah virus
Influenza tipe A subtipe H3N2. Insidens tertinggi acute onset brain dysfunction memiliki pola yang sama
dengan insidens tertinggi virus Influenza yang diisolasi dari pasien di Sapporo City General Hospital dan
kasus Influenza Like Illnesses yang dilaporkan di Hokkaido.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta didapatkan sebuah hasil bahwa dari 95
penderita ensefalitis karena infeksi virus. Dalam penelitian yang menggunakan metode yang spesifik dan
sensitive yaitu ELISA diketemukan hanya 9 spesimen yang positif artinya ensefalitis disebabkan oleh
virus Japanese Encephalitis. Angka kematian untuk ensefalitis masih tinggi, berkisar antara 35-50%.
Penderita yang hidup 20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa yang melibatkan sistem saraf pusat
yang dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatrik, epilepsi, penglihatan atau pendengaran bahkan
sampai sistem kardiovaskuler

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses pengkajian pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis?
2. Apakakah diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis?
3. Bagaimana perencanaan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis?
4. Bagaimana evaluasi pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis?

1.3  Tujuan
1. Mengetahui proses pengkajian pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis
2. Mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis
3. Mengimplementasikan perencanaan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis
4. Mengetahui evaluasi pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis        

1.4  Manfaat
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis yang
meliputi pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan dan evaluasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MENINGITIS
2.1.1 Definisi
Definisi dari meningitis adalah infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan.spinal
cord(Meningitis Foundation of America). Mengetahui meningitis disebabkan oleh bakteri atau
virus dapat membantu dalam menentukan keparahan penyakit dan pengobatannya. Viral
meningitisbiasanya kurang parah dan dapat sembuh tanpa pengobatan spesifik, sementara
bacterial meningitisbiasanya cukup parah dan dapat menimbulkan kesusakan fungsi otak
(Meningitis Foundation of America)
Meningitis adalah infeksi ruang subarakosid dan leptomeningen yang disebabkan oleh
berbagai organism pathogen. Meningitis adalah gangguan yang sangat serius yang terus memiliki
insidensi mortalitas dn morbiditas signifikan
Meningitis bakteri atau purulenta adalah bentuk yang paling penting di Amerika Serikat
dalam hal insidensi,gejala, usia dan akhirnya kehilangan kehidupan produktif.Meningitis aseptic ,
yang biasanya disebabkan oleh virus lebih sering terjadi namun gejala sisa yang bermakna jarang
ditemukan dan penyakit besifat sembuh spontan.Meningitis granulomatesa yang disebabkan oleh
M tuberculosis ata jamur adalah penyebab utama cedera neurologic dan kematian di bagian dunia
yang lain.
Memingitis adalah kegawatdaruatan medis dengan kebutuhan segera terhadap diagnosis
yang cepat dan pemberian antibiotic yang tepat, serta tindakan suportif.Indeks kecurigaan yang
tinggi haeus selalu dipertahankan bila menentukan anak yang febris atau anak yang mengalami
perubahan status mental karena beberapa jam pertama perawatan akan memberikan perbedaan
yang sangat penting dalam prognosis. (Rudolph,2006)
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
 2.1.2 Klasifikasi dan etiologi meningitis
. 1. Meningitis bakterial
Meningitis bacterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyerang susunan saraf
pusat, mempunyai resiko tinggi dalam menimbulkan ke matian dan kecacatan. Diagnosis yang
cepat dan tepat merupakan tujuan dari penanganan meningitis bakteri (Pradana, 2009).
Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta (Mardjono, 1981).Pada umumnya
meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septikemia. Pada meningitis meningokokus,
prodomnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di
nasofaring. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi kuman-
kuman tersebut (Mardjono, 1981).
Etiologi dari mening itis bakterial antara lain (Roos, 2005):
1. S. pneumonie
2. N. meningitis
3. Group B streptococcus atau S. agalactiae
4. L. monocytogenes
5. H. influenza
6. Staphylococcus aureus

. 2. Meningitis tuberkulosa
Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di Indonesia karena
morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi
penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di paru. Terjadinya meningitis tuberkulosa bukanlah
karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya
sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsung tulang belakang atau
vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga arakhnoid (Pradana, 2009).
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan
peningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama pada batang
otak tempat terdapat eksudat dan uberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan elatinosa dapat
menimbulkan obstruksi ada sisterna basalis (Pradana, 2009). Etiologi dari meningitis tuberkulosa
adalah Mycobacterium tuberculosis(Pradana, 2009)

3. Meningitis viral
Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir / sequel dari berbagai
penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, Mumps herpes simpleks, dan herpes zooster.
Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan pada pemeriksaan cairan serebrospinal(CSS)
tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter, dan
lapisan menigens. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada
herpes simpleks, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa
enyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmiter, dimana hal ini akan berlanjut
terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan neurologis (Pradana, 2009)
Etiologi dari meningitis viral antara lain :

Virus yang dapat menyebabkan meningitis (Swartz 2007)


COMMON
NONARTHROPOD VIRUSES
Picornavirus (RNA)
Enterovirus
Echovirus
Coxsackie A
Coxsackie B
nterovirus 70, 71
Poliovirus
Herpes
simplex type 2 (HSV-2) (DNA)
ARTHROPOD-BORNE VIRUSES (ARBOVIRUSES)
Togavirus (Alphavirus, RNA)
Eastern equine encephalitis (EEE)
Western equine encephalitis (WEE)
Venezuelan equine encephalitis (VEE)
Flavivirus (RNA)
St. Louis encephalitis (SLE)
West Nile virus (WNV)
Bunyavirus (RNA)
California encephalitis
UNCOMMON
Arenavirus (RNA)
Lymphocytic choriomeningitis (LCM)
Paramyxovirus RNA)
Mumps
Retrovirus (RNA)
Human Immunodeficiency virus (HIV-1)
RARE
Herpes virus (DNA)
Herpes simplex type 1 (HSV-1)
Epstein-Barr virus (EBV)
Cytomegalovirus (CMV)
Varicella-Zoster virus (VZV)
Human herpes virus type 6 (HHV-6)
Adenovirus (DNA)
Coltivirus (RNA)
Colorado tick fever
Bunyavirus (RNA)
Toscana virus (a Phlebovirus)

4.Meningitis jamur
Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang ditemukan, namun
dengan meningkatnya pasien dengan gangguan unitas, angka kejadian meningitis jamur semakin
meningkat. Problem yang hadapi oleh para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang
efektif. Sebagai contoh, jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab gejala penyakit infeksi
dan jamur tidaksering ditemukan dalam cairan serebrospinal (CSS) pasien yang terinfeksi oleh
karena jamur hanya dapat ditemukan dalam eberapa hari sampai minggu pertumbuhannya
(Pradana, 2009).
Etilogi dari meningitis jamur antara lain:
1. Cryptococcus neoformans
2. Coccidioides immitris

2.1.3  Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala meningitis secara umum:
1. Aktivitas / istirahat ;Malaise, aktivitas terbatas, ataksia, kelumpuhan, gerakan
involunter, kelemahan, hipotonia
2. Sirkulasi ;Riwayat endokarditis, abses otak, TD ↑, nadi ↓, tekanan nadi berat,
takikardi dan disritmia pada fase akut
3. Eliminasi ; Adanya inkontinensia atau retensi urin
4. Makanan / cairan ; Anorexia, kesulitan menelan, muntah, turgor kulit jelek, mukosa
kering
5. Nyeri / kenyamanan ; Sakit kepala hebat, kaku kuduk, nyeri gerakan okuler,
fotosensitivitas, nyeri tenggorokan, gelisah, mengaduh/mengeluh
6. Pernafasan ; Riwayat infeksi sinus atau paru, nafas ↑, letargi dan gelisah
7. Keamanan ; Riwayat mastoiditis, otitis media, sinusitis, infeksi pelvis, abdomen atau
kulit, pungsi lumbal, pembedahan, fraktur cranial, anemia sel sabit, imunisasi yang
baru berlangsung, campak, chiken pox, herpes simpleks. Demam, diaforesios,
menggigil, rash, gangguan sensasi.

2.1.3 Patofisiologi
Secara umum patofisiologi dari mening itis ada lah sebaga i berikut

Agen penyebab

Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah

Bermigrasi ke lapisan subarachnoid

Respon inflamasi di piamater, arakhnoid, cairan serebrospinal, dan entrikuler

Eksudat menyebar di seluruh saraf kranial dan saraf spinal

Kerusakan neurologis

Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point d’entrymasuknya
kuman juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang pecah. Penyebab
lainnya adalah adanya rhinorhea, otorheapada basis cranial yang memungkinkan kontaknya CSS
dengan lingkungan luar (Pradana, 2009).

1. Meningitis bakterial
Bacterial meningitis merupakan tipe meningitis yang paling sering terjadi. Tetapi
tidak setiap bakteri mempunyai cara yang sama dalam menyebabkan meningitis. H.
influenza dan N. meningitides biasanya menginvasi dan membentuk koloni di sel-sel
epitel faring. Demikian pula S. pneumonie, hanya saja S. pneumonie dapat menghasilkan
immunoglobulin A protease yang mennonaktifkan antibodi lokal (Swartz, 2007).
Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah S. pneumonie dan N.
meningitis. Bakteri tersebut menginisiasi kolonisasi di nasofaring dengan menempel di sel
epitel nasofaring. Bakteri tersebut berpindah menyeberangi sel epitel tersebut menuju ke
ruang intravaskular atau menginvasi ruang intravaskular dengan menciptakan ruang di
tight unction dari sel epitel kolumnar. Sekali masuk aliran darah, bakteri dapat
mnghindari fagositosis dari neutrofil dan komplemen dengan adanya apsul polisakarida
yang melindungi tubuh mereka. Bloodborne bacteria dapat mencapai fleksus koroideus
intraventrikular, menginfeksi langsung sel epitel fleksus koroideus, dan mencapai akses
ke cairan serebrospinal. Beberapa bakteri seperti S. pneumonie dapat menempel di sel
endotelial kapiler serebral dan bermigrasi melewati sel tersebut langsung menuju cairan
serebrospinal. Bakteri dapat bermultiplikasi dengan cepat di cairan serebrospinal karena
kurang efektifnya sistem imun di cairan serebrospinal (CSS). Cairan
serebrospinal(CSS)normal mengandung sedikit sel darah putih, sedikit protein
komplemen, dan immunoglobulin. Kekurangan komplemen dan immunoglobulin
mencegah opsonisasi dari bakteri oleh neutropil. Fagositosis bakteri juga diganggu oleh
bentuk cair dari cairan cerebrospinal itu sendiri (Roos, 2005).
Peristiwa yang penting dalam patogenesis meningitis bacterialadalah reaksi
inflamasi diinduksi oleh bakteri. Manifestasi-manifestasi neurologis yang terjadi dan
komplikasi akibat meningitis bacterial merupakan hasil dari respon imun tubuh terhadap
zat patogen yang masuk dibandingkan dengan kerusakan jaringan langsung oleh bakteri.
Sehingga cedera neurologis dapat terus terjadi meskipun bakteri telah ditangani dengan
antibiotik (Roos, 2005).
Lisis dari bakteri dan dilepaskannya komponen-komponen dinding sel di ruang
subaraknoid merupakan langkah awal dari induksi respon inflamasi dan pembentukan
eksudat di ruang subarakhnoid. Komponen dinding sel bakteri, seperti molekul
lipopolisakarida (LPS) bakteri gram negatif dan asam teikhoic dan peptidoglikan S.
pneumonie, menginduks i inflamasi selaput meningens dengan menstimulasi produksi
sitokin-sitokin inflamasi dan kemokin-kemokin oleh mikroglia, astrosit, monosit, dan sel
leuko sit CSS. Kemudian, setelah 1-2 jam LPS dilepaskan di cairan serebrospinal (CSS),
sel sel endotelial dan meningeal, makrofag, dan mikroglia akan mengeluarkan Tumor
Necrosis Factor(TNF) dan Interleukin-1(IL-1) (Swartz, 2007). Lalu kemudian setelah
dilepaskannya sitokin tersebut, akan terjadi peningkatan kandungan protein CSSdan
leukositosis. Kemokin (yang turut menginduksi migrasi leukosit) dan berbagai sitokin
inflamasi lainnya juga diproduksi dan diskresi oleh leukosit dan jaringan yang diinduks i
oleh IL-1dan TNF(Roos, 2005).
Kebanyakan patofisiologi dari bacterial meningitismerupakan akibat dari
meningkatnya sitokin CSSdan kemokin. TNFdan IL-1bekerja sinergis meningkatkan
permeabilitas Blood-Brain Barrier(BBB), yang mengakibatkan edema vasogenik,
bocornya protein serum ke ruang subarakhnoid. Eksudat di ruang subarakhnoid
mengganggu aliran CSS di sistem ventrikular dan mengurangi reabsorbsi dari CSS di
sinus dura, sehingga dapat menyebabkan communicating edema dan concomitant
interstitial edema(Roos, 2005).

2. Meningitis tuberkulosa

BTA masuk tubuh



Tersering melalui inhalasi, jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplika si

Infeksi paru/focus infeksi lain

Penyebaran homogen

Meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif/dorman Bila daya tahan tubuh lemah

Ruptur tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarakhnoid

Meningitis

Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (piamater dan


arakhnoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung terkumpul
di daerah basal otak (Pradana, 2009)
3. Meningitis viral
Ada 2 rute virus menyerang sistem saraf pusat manusia, yaitu hematogenus
(infeksi enterovirus) dan limfogenus (infeksi Herpes Simpleks Virus (HSV)). Enterovirus
pertama kali menuju ke lambung, bertahan dari keasaman asam lambung, dan berlanjut ke
saluran pencernaan di bawahnya lagi. Beberapa virus bereplikasi di nasofaring dan
menyebar ke kelenjar limfe regional. Setelah virus menempel ke reseptor di enterosit,
virus menembus lapisan epitelialnya dan melakuka n replikasi di sel enterosit tersebut.
Dari situ, virus menuju peyeatches, dimana replikasi yang lebih lanjut terjadi. Kemudian
dari situ viremia enterovirus berkembang ke sistem saraf pusat (SSP), hati, jantung, dan
sistem retikuloendotelial. Dan kemudian virus bereplikasi dengan cepat di tempat-tempat
tersebut. Mekanisme enterovirus memasuki SSP diduga dengan cara menembus BBBtight
junctiondan memasuki cairan serebrospinal (CSS) (Swartz, 2007).

Berlawanan dengan enterovirus, infeksi HSV mencapai SSP dengan jalur


neuronal. Pada HSV-1 ensepalitis, virus masuk lewat jalur oral menuju nervus trigeminal
dan olfaktori, sedangkan di HSV-2 aseptic meningitis, virus menyebar dari lesi genital
menuju sacral nerve rootsmenuju meninges. Dari situ, HSV-2 menjadi fase laten dan
menunggu untuk reaktivasi menjadi episode aseptikmeningitis (Swartz, 2007)

4.Meningitis jamur
Ada tiga pola dasar infeksi jamur pada susunan saraf pusat yaitu, meningitis
kronis, vaskulitis, dan invasi parenkimal. Pada infeksi Cryptococcaljaringan menunjukkan
adanya meningitis kronis pada leptomeningen basal yang dapat menebal dan mengeras
oleh reaksi jaringan penyokong dan dapat mengobstruksi aliran likuor dari foramen
luschkadan magendi sehingga terjadi hidrosepalus. Pada jaringan otak terdapat substansia
gelatinosa pada ruang subarakhnoid dan kista kecil di dalam parenkim yang terletak
terutama pada ganglia basalis pada distribusi arteri lentikulostriata. Lesi parenkimal terdiri
dari agregasi atau gliosis. Infiltrat meningens terdiri dari sel-sel inflamasi dan fibroblast
yang bercampur dengan Cryptococcus. Bentuk granuloma tidak sering ditemukan, pada
beberapa kasus terlihat reaksi inflamasi kronis dan reaksi granulomatosa sama dengan
yang terlihat pada Mycobacterium tuberculosadengan segala bentuk komplikasinya
(Pradana, 2009)

 Pada meningitis bakteri ditemukan bebagai gangguan patofisiologi dan ini mungkin terjadi
sebagai akibat respon penjamu terhadap organisme penginfeksi.Abnormalitas tersebut mungkin
memainkan peran dalam berkembangnya gejala usia neurologi pesca meningitis dan pemahaman atas hal
ini merupakan hal yang penting guna perawatan yang efektif bagi pasien meningitis.
Setela satu dekade menjalani studi intensif dengan model hewan suatu gambaran luas
mengenai dasar seluler dan molekuler perubahan patofisiologi ini telah diperoleh.Begitu bakteri
mencapai akses menuju ruang subaraknoid komponen-komponen dinding sel bakteri
(lipopolikardia , lipooligosakardika,asam telkost) merangsang pembuatan sitokin proinflamotorik
(TNF,II-Iß.II-6.PAF dan lain-lain. Ini semua pada gilirannya akan meningkatkan pelekatan
leukosit ke endotel pembuluh darah otak meningkatkan permeabilitas sawar darah otak serta
migrasi leukosit ke dalam ruang subarakosid.Spesies oksigen derivate sel darah putih serta endotel
dan mungkin reaktivitas serebrovaskuler. Hal ini bersama dengan peningkatan tekanan
intrakranium mengakibatkan iskemia serebrum dan perubahan metabolism otak.
Edema serebrum mempresentasikan suatu kombinasi edema vasigenik,sitotoksik dan
intersitisial. Jika berat edema ini mengakibatkan peningkatan besar pada tekanan intrakranium.
Abnormalitas metabolism otak meliputi hipoglikemia dan asidosis laktat CSS. Kadar
glukosa CSS yang rendah terjadi akibat terganggunya pengangkutan glukosa melewati sawar
darah otak dan mungkin akibat peningkatan penggunaan glukosa otak, Asidosis laktat CSS
mengidentifikasikan penggunaan glkosa secara anaerob si system saraf pusat.
Perfusi otak terbukti menurun pada sekitar 30% anak penderita meningitis yang telah
menjalai penilaian darah otak . Disamping itu gangguan vasoreaktifitas serebrum , factor lain uang
dapat mengakibatkan pengurangan erfusi mecakup vaskolitis serebrum dan arteri atau vena.
Peningkatan tekanan intrakranium hampir selalu ditemukan pada meningitis dan tidak
turut meyebabkan penurunan tekanan perfusi otak , tetapi juga dapat menyebabkan herniasi
serebrum.Patogenesis peningkatan tekanan intrakranium bersifat multi factor dan mencakup
keterlibatan edema otak , peningkatan volume CSS dan abnormalitas aliran darah sererum
Sawar darah otak terdiri atas pleksus konideus, mikrovaskulator sererumdn membrane
araksoid , memperlihatkan penigkatan permeabilitas dalam meningitis,Mikroskopi electron telah
memperlihatkan bahwa taut-taut ketat pada venula serebrum menjadi terpisah pada meningitis
sehingga memungkinkan masukya makromolekul dan elemen sel dari kapiler serebrum ke dalam
ruang intersisial.
Meskipun banyak pasien meningitis memiliki keluaran neurologic yang baik dengan
upaya suportif standart dan antibiotic pasien dengan gangguan system saraf pusat yang lebih berat
membutuhkan perawatan yang lebih intensif.(Rudolph ,2006)

2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak. Analisa
cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa Lumbal Pungsi. Lumbal
pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan protein.cairan cerebrospinal,
dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK. Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan
pada pasien dengan peningkatan tekanan intra kranial..
1. Meningitis bacterial: tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan protein
meningkat, glukosa menurun, kultur posistif terhadap beberapa jenis bakteri.
2. Meningitis virus : tekanan bervariasi, CSF jernih, leukositosis, glukosa dan protein
normal, kultur biasanya negative.
Kaku kuduk pada meningitis bisa ditemukan dengan melakukan pemeriksaan fleksi pada
kepala klien yang akan menimbulkan nyeri, disebabkan oleh adanya iritasi meningeal khususnya
pada nervus cranial ke XI, yaitu Asesoris yang mempersarafi otot bagian belakang leher, sehingga
akan menjadi hipersensitif dan terjadi rigiditas.
Sedangan pada pemeriksaan Kernigs sign (+) dan Brudzinsky sign (+) menandakan
bahwa infeksi atau iritasi sudah mencapai ke medulla spinalis bagian bawah.
Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya meningkat diatas nilai
normal. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya
ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi. Kadar glukosa darah dibandingkan dengan
kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum
glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
Glukosa serum: meningkat (meningitis) LDH serum: meningkat (meningitis bakteri) Sel
darah putih: sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri) Elektrolit darah:
Abnormal ESR/LED: meningkat pada meningitis MRI/CT-scan: dapat membantu dalam
melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.
Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine: dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi
atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.Ronsen dada/kepala/ sinus: mungkin ada indikasi
sumber infeksi intra kranialArteriografi karotis : Letak abses

2.1.5 Komplikasi
Komplikasi serta sequelle yang timbul biasanya berhubungan dengan proses inflamasi
pada meningen dan pembuluh darah cerebral (kejang, parese nervus cranial,lesi cerebral fokal,
hydrasefalus) serta disebabkan oleh infeksi meningococcus pada organ tubuh lainnya (infeksi
okular, arthritis, purpura, pericarditis, endocarditis, myocarditis, orchitis, epididymitis,
albuminuria atau hematuria, perdarahan adrenal). DIC dapat terjadi sebagai komplikasi dari
meningitis. Komplikasi dapat pula terjadi karena infeksi pada saluran nafas bagian atas, telinga
tengah dan paru-paru, Sequelle biasanya disebabkan karena komplikasi dari nervous system.

2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan efektif untuk meningitis tergantung pada terapi suportif agresif yang dini
dan pemilihan antibiotika empiric yang tepat untuk kemungkinan pathogen. Tindakan suportif
umum diindikasikan bagi setiap pasien yang menderita patologi intrakranium berat.Pasien koma
atau dengan gangguan reflex muntah harus dikosongkan isi lambungnya dan dipertimbangkan
untuk intubasi guna untuk melindungi jalan napasnya.Hipoksia harus di tanggulangi dengan
pemberian oksigen.Hiperventilasi merupakan kondisi yang secara khusus mencemaskan pada
kasus meningitis karena peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi serebrum dan
meningkatkan tekanan intrakranium.Hiperkabia harus dipikirkan sebagai indikasi lain untuk
intubasi dan bantuan pernafasan.
Pengelolaan cairan sangat penting bagi pasien meningitis.Sindrom sekresi hormone
antidiuretikyang tidak tepat (SIADH, syndrome of inppopriate antidiuretic hormone secretion)
terjadi pada sekitar 30% pasien meningitis, dan jika ditemukan harus dilakukan pembatasan cairan
Meskipun demikian,sebuah studi klinis telah membuktikan pentingnya menjaga tekanan perfusi
otak yang adekuat pada penyakit ini. Pembatasan cairan secara tidak tepat dapat menimbulkan
deplsi volume, yang jika ekstrem dapat menuju pada ketidakadekuatan volume sirkulasi.
Sebaiknya, cairan mula-mula dibatasi sementara menunggu pemeriksaan ekudat urine dan serum
bila terdapat SIADH pembatasan cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan
tindakan yag tepat, sampai kelebiha hormone antidiuretik pulih, bila tidak terdapat SIADH cairan
harus diberikan dalam jumlah yang sesuai dengan jumlah kehilangan cairan dan elektroli dewasa
secara seksama.
Terapi peningkatan tekanan intrakranium harus diarahkan pada pemeliharan derajat
tekanan perfusi otak yang adejuat , seperti pada kondisi lain yang dipersulit oleh hipertensi
intrakranium.Cara yang adabisa termasuk hiperventilasi, pengambilam CSS melalui kateter
intraventrikel atau mungkin pemakaian obat diuretic osmotic secara hati-hati.
Pada kecurigaan meningitis ,antibiotic intravena diberikan secara empirik sementara
menunggu hasil biakan.Pemilihan antibiotic awal didasarkan pada kemungkinan atogen menurut
kelopok usia, pajanan yang diketahui dan setiap factor resikoyang tidak lazim pada pasien,Prinsip
terapi antimikroba meningitis mencakup pemilihan antibiotic yang bersifat bekterisid terhadap
pathogen yang dicurigai dan yang mampu mencapai konsentrasi CSS setidaknya sepuluh kali
konsentrasi bakterisid minimal untu organism tersebut karena inilah konsentrasi yang dalam
penelitian hewan telah terbukti berkonfasi dengan sterilisasi CSS yang efektif.Anjuran pilihan
untuk terapi aseptic empiric disajikan dalam table 6-26
Terapi harus dipersempit dengan benar bila tersedia data sensitivitas.Selain terapi
antibiotic , penelitian klinis terbaru memperlihatkan sejumlah perbaikan pada keluaran neurologi
setelah pemberian kortikosteroid dan untuk anak dengan meningitis bakteri Deksamenton 0,15
mg/lg per dosis, diberikab serentak dengan penatalaksanaan antibiotic , dan diteruskan selama 6
jam selama 4 hari. Lama terapi adalah 14 hari untuk meningitis neonatus yang disebabkan oleh
streptokokus grup b dan 21 hari utyk organism enteric gram negative.Pengobatan meningitis pada
bayi lebih tua atau anak harus selama 7 hari untuk n meningituilid dan h influenza dan 10-14 hari
untuk s. pneunimuxiae (Rudolph ,2006)

Table 8-28 anjuran pilihan antibiotic empiric untuk pasien dengan mrningitis purulenta
Neonatus < 7 hari
amprresilin (100 mg.kg/hr terbagi q12)
Dan
Aminoglikosida (5.0 mg.kh/ht terbagi q12)
Atau
Ampisilin dan setotaksin (100 mg/kg.hr terbagi q12)
Neonatus >7 hari
-ampisilin (150 mg/kg/kr terbagi q8)
Dan
Aminoglikosida (7,5 mg.kh/ht terbagi q8)
Atau
Ampisilin dan setotaksin (100 mg/kg.hr terbagi q)
Bayi 1-3 bulan’
Ampisilin (300 mg/kg.hr terbagi q6)
dan
setotaksin (200 mg/kg.hr terbagi q6)
Bayi >3 bulan
setotaksin (200 mg/kg.hr terbagi q6j)
dan
seftriakson (100 mg/kg.hr terbagi q12)
anak >6 taun
penisilin G(300,000 unit/kg q4) bila dicurigai influinzae berdasaekan perwarnaan gram atau
metodedeteksi antigen , gunakkan regimen yang digariskan untuk bayi)
atau
seftriakson (100 mg/kg.hr terbagi q12)
PATHWAY MENINGITIS

MK: NYERI
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien

Nama : By. F

Umur/jemis kelamin : 9 bulan / laki-laki

Agama : islam

Pekerjaan :-

Pendidikan :-

No. Rekam Medik : 00XXXX

Tanggal pengkajian : 19 Mei 2021

Diagnosa Medis : Meningitis TB

2. Identitas Penanggungjawab

Nama : NY S

Umur : 40

Alamat :-

Hubungan dengan pasien : Ibu

3. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama

Pasien demam muntah dan diare.


b. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan demam disertai muntah dan diare selama 3 hari, frekuensi 3-4 kali, konsistensi
encer. Bayi mengalami kejang pada sebagian tubuh, frekuensi 1x lamanya 3 jam dan
penurunan kesadaran setelah kejang. GCS 10 (E 4V2M4), TD 160/120 mmHg, suhu 38,4 ºC
(36,5-37,5 ºC) , nadi 92 x/i (normal 60-100 x/i) RR 28 x/i dan CRT < 3 detik, Hb 10,1
(Normal 14-18) gr/dl. Badan teraba panas, kulit memerah. Pemeriksaan elektrolit serum
natrium 131 mmol/L (Normal 136-145), kalium 3,5 mmol/L (Normal 3,5-5,1), klorida serum
93 mmol/L (Normal 97-111).

c. Riwayat kesehatan Dahulu


Keluarga menagatakan Belum pernah mengalami sakit yang sama

d. Riwayat kesehatan Keluarga

Keluarga mengatakan dikeluarganya tidak terdapat riwayat penyakit seperti ini

e. 11 pola fungsional GORDON


1. Pola Persepsi
Kesehatan
Ibu pasien mengatakan tidak mengetahui sakit yang dialami anaknya
2. Pola Metabolic dan Nutrisi
DS: ibu ps mengatakan kebiasaan makan baik dan dengan menu bubur tim, Dan ASI ,
makan mau dan tidak ada kesulitan makan.
Do : BB : 8,5 Kg

3. Pola Eliminasi
Ds : smrs ibu ps mengatakan BAB normal 1x/hari
4. Pola Aktivitas Latihan
D0 : oleh ibu pasien
5. Pola Istirahat- Tidur
Ds : ibu pasien mengatakan bayi nya biasa tidur 14 jam / hari, kadang rewel ketika
malam hari.
6. Pola Persepsi-Kognitif
Do ; ps tidak menggunakan alat bantu
7. Pola Konsep Diri-Persepsi Diri
-
8. Pola Hubungan – Peran
-
9. Pola Reproduksi – Seksualitas
-
10. Pola Toleransi Terhadap Stress-Koping
Ds : ibu ps mengatakan selalu merundingkan dengan suami apabila terdapat masalah
kesehatan
11. Pola Keyakinan-Nilai
Ds : ibu pasien mengatakan pecaya sepenuhnya terhadap RS dan tim kesehatan yang
menangani

4. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : Lemah

Kesadaran / GCS : : GCS 10 (E4V2M4)

Tanda – tanda Vital :

Tekanan darah : 160/120 mmHg Nadi : 92x/menit


RR : 28x/menit Suhu : 38.4 0C

BB / TB : 8,5 Kg

Pemeriksaan Head To Toe:

a. Kepala: Kepala simetris, tidak ada lesi, bersih, rambut pendek, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.

b. Wajah : Sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis

c. Dada

Inspeksi : simetris
Palpasi : Simetris, tidak ada nyeri tekan,
Perkusi : Sonor
Aukultasi : Irama reguler
d. Abdomen

Inspeksi : simetris, cembung


Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hati
e. Extermitas

f. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium
elektrolit serum natrium 131 mmol/L (Normal 136-145), kalium 3,5 mmol/L (Normal 3,5-
5,1), klorida serum 93 mmol/L (Normal 97-111).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Problem Etiologi Symptom/Data Penunjang
D.0017 Risiko perfusi serebral Inlamasi penyakit Ds : ibu mengatakan kelopak mata
tidak efektif bayinya tidak simeteris, badan panas,
bayi hanya mampu merintih.
DO : GCS 10 (E4V2M4), TD 160/120
mmHg,
D.0130 Hipertermia Peningkatan laju DS : ibu mengatakan anak demam
metabolisme, proses dan gelisah
infeksi DO : badan teraba panas, kulit
memerah, TD 160/120 mmHg,
suhu 38,4 ºC

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Kode S Kode S
No SLKI SIKI
Keperawatan LKI IKI
D.0017 Risiko perfusi se L. 0201 Setelah dilakukan interv I.- Observasi :
rebral tidak efektif 4 ensi selama 1x24 jam Pe  Identikasi penyebab TIK
rfusi serebral meningkat  Monitor status pernafasan
dengan kriteria :  Monitor intake dan outout
 Tingkat kesadaran
meningkat  Monitir cairan cerebrospinalis
 gelisah menurun Terapeutik :
 TD membaik  Ciptakan lingkungan tenang
 Posisikan semifowler
Kolaboratif :
 Berikan sedasi JP
D.0130 Hipertemia L.14134 Setelah dilakukan interv I.15506 Oservasi :
ensi selama 1x24 jam m  identifikasi penyebab hiperter
aka termoregulasi memb mi
aik dengan kriteria :  monitor suhu tubuh
 suhu tubuh memb  monitor kadar elektrolit
aik  monitor keluaran urine
 kadar gula darah terpautik
membaik  sediakan lingkungan yang
 tekanan darah me dingin
mbaik  longgarkan pakaian
 suhu kulit membai  berikancairan oral
k kolaborasi :
 kolaborasi pemberian cairan
intravena dan elektrolit intra
vena

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No Tgl Diagnosa Implementasi
D.0017 Risiko perfusi serebral  Memberikan Terapi oksigen
tidak efektif  Memonitor aliran O2
 Memonitor tanda vital
 Memberikan tindakan kolaboratif intra
vena
Evaluasi :
S : ibu ps mengatakan sudah semakin baik
O:
- TD sistolik 130/80 mmHg, HR 78 x/mnt, RR 20-24 x/mnt
- ku tampak semakin membaik/meningkat
A: perfusi serebral meningkat
P : lanjutkan intervensi
D.0130 Hipertemia B.d proses Oservasi :
penyakit (infeksi)  mengidentifikasi penyebab hipertermi
 memonitor suhu tubuh pasien
terpeutik
 menyediakan lingkungan yang dingin
dengan cara menyesuaikan suhu AC
 melonggarkan pakaian pasien
 memberikancairan oral (membantu
memberikan minum)
kolaborasi :
kolaborasi pemberian cairan intravena (memonitor
cairan infus )

Evaluasi :
S : pasien mengatakan masih merasa panas
O : TD sistolik 120/80 mmHg, HR 78 x/mnt, RR 20-24 x/mnt,
Sebelum : S : 38.2 ºc
Sesudah : S 37.5 ºc
A: termoregulasi membaik
P : lanjutkan intervensi

Anda mungkin juga menyukai