Anda di halaman 1dari 8

Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1501/Menkes/Per/x/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan


Wabah dan Upaya Penanggulangan, disebutkan bahwa Penemuan penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah dapat dilakukan secara pasif dan aktif.
Penemuan secara pasif dilakukan melalui penerimaan laporan/informasi kasus dari fasilitas
pelayanan kesehatan meliputi diagnosis secara klinis dan konfirmasi laboratorium. Sedangkan 
penemuan secara aktif melalui kunjungan lapangan untuk melakukan penegakan diagnosis secara
epidemiologi berdasarkan gambaran umum penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan
wabah yang selanjutnya diikuti dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Dalam
hal kasus AFP, strategi penemuan kasus AFP dilaksanakan melalui surveilans berbasis Rumah

Sakit dan berbasis masyarakat.


Sebagai pengingat kembali tentang kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB), sesuai Permenkes diatas,
bahwa suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:
Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada
suatu daerah.
Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau
minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya
dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya.
Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun
sebelumnya.
Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu
menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka
kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Secara Etiologi, virus polio terdiri dari 3 strain yaitu strain-1 (Brunhilde), strain-2 (Lansig), dan
strain-3 (Leon), termasuk family Picornaviridae. Perbedaan tiga jenis strain terletak pada sekuen
nukleotidanya.  Strain-1 adalah yang paling paralitogenik dan sering menimbulkan wabah,
sedang strain-2 paling jinak. Masa Inkubasi Masa inkubasi biasanya memakan waktu 3-6 hari,
dan kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari.
Sumber dan Cara Penularan Polio, dapat dijelaskan bahwa virus ditularkan oleh infeksi droplet
dari orofaring (saliva) atau tinja penderita yng infeksius. Penularan terutama terjadi dari
penularan langsung manusia ke manusia (fekal – oral atau oral-oral) pada waktu 3 hari sebelum
dan sesudah masa prodmal.
Jika ditemukan penderita, tatalaksana kasus lebih ditekankan apada tindakan suportif dan
pencegahan terjadinya cacat, sehingga anggota gerak diusahakan kembali berfungsi senormal
mungkin. Sebaiknya penderita dirawat inap selama minimal 7 hari atau sampai penderita
melampaui masa akut.
Secara epidemiologi ditemukan, bahwa Polio merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang
dapat dibasmi. Strategi untuk membasmi polio dengan meniadakan virus polio dari tubuh
manusia dengan cara pemberian imunisasi. Strategi yang sama telah digunakan untuk membasmi
penyakit cacar (smallpox) pada tahun 1977, sehingga penyakit Cacar adalah satu-satunya
penyakit yang telah berhasil dibasmi.
Dengan upaya keras yang telah dilakukan, polio telah berhasil dibasmi pada tiga di dunia, yaitu
benua Amerika (1998), Pasifik Barat (2000) dan Eropa (2002) . Di wilayah selebihnya, seperti
Asia Tenggara, Mediterania Timur dan Afrika, polio telah sangat terfokus dan hanya terjadi di
beberapa negara yang menjangkiti beberapa propinsi saja
Kejadian Luar Biasa Polio
Definisi KLB Polio, adalah ditemukannya satu kasus polio liar. Kejadian KLB polio dapat
dinyatakan berakhir setelah paling sedikit selama enam bulan sejak ditemukan virus polio
terakhir, tidak ditemukan virus polio. Keadaan tersebut sebagai hasil dari serangkaian upaya
penanggulangan dan berdasarkan pemantauan ketat melalui pelaksanaan surveilans AFP dan
virus polio.
Prosedur jika terjadi KLB,  harus dilakukan Penyelidikan Epidemiologi polio, yang merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis (pengumpulan data dan informasi,
pengolahan dan analisis) di lokasi kejadian. Tujuan kegiatan ini antara lain untuk :
Identifikasi adanya penularan setempat
Identifikasi wilayah dan populasi berisiko terjadinya kasus atau daerah risiko tinggi terjadinya
penularan
Identifikasi desa yang perlu segera dilaksanakan Imunisasi Polio Terbatas (ORI)
Identifikasi Provinsi yang akan melaksanakan imunisasi mopping up
Jika terjadi KLB polio, berbagai upaya penanggulangan harus dilakukan. Upaya ini merupakan
serangkaian kegiatan untuk menghentikan transmisi virus polio liar atau cVDPV di seluruh
wilayah serta upaya pencegahan kecacatan yang lebih berat karena menderita poliomielitis
anterior akuta. Benanggulangan KLB meliputi tatalaksana kasus dan pemberian imunisasi. Pada 
upaya penatalaksaaan Kasus Polio, terutama dilakukan sebagai untuk penemuan dan perawatan
dini untuk mempercepat kesembuhan dan mencegah bertambah beratnya cacat serta yang
penting lagi  untuk mencegah terjadinya penularan ke orang lain melalui kontak langsung
(droplet) dan pencemaran lingkungan (fecal-oral) – pengendalian infeksi
Sementara, berbagai bentuk upaya penanggulangan melalui  kegiatan munisasi dilakukan dengan
strategi :
Respon Imunisasi OPV Terbatas (Outbreak Response Immunization/ORI), Merupakan
pemberian 2 tetes vaksin polio oral (OPV) kepada setiap anak berumur <5 tahun di
desa/kelurahan berisiko penularan virus polio (terutama desa tempat tinggal kasus dan desa¬desa
sekitarnya) tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya, sesegera mungkin (3×24 jam
pertama) dan selambat-lambatnya minggu pertama sejak terdeteksi adanya kasus atau virus
polio. Imunisasi OPV Terbatas (ORI) tidak dilakukan lagi dalam seminggu terakhir sebelum
pelaksanaan Imunisasi Mopping up. Tujuan Imunisasi OPV Terbatas untuk mencegah timbulnya
penyakit polio pada anak-anak yang kontak erat serumah, sepermainan (penularan langsung) dan
anak-anak yang kemungkinan tertular virus polio melalui pencemaran virus polio secara fekal-
oral
Pelaksanaan Imunisasi Mopping Up, yang dilaksanakan pada wilayah yang telah bebas polio,
yang kemudian terjadi transmisi virus polio secara terbatas yang dibuktikan melalui surveilans
AFP yang memenuhi standar kinerja WHO. Imunisasi mopping-up adalah pemberian 2 tetes
vaksin OPV (Oral Polio Vaccine) monovalen yang spesifik untuk satu tipe virus polio (mOPV)
yang diberikan secara serentak pada setiap anak berusia < 5 tahun tanpa melihat status imunisasi
polio sebelumnya serta dilaksanakan sebagai kampanye intensif dari rumah ke rumah dan
mencakup daerah yang sangat luas. Seringkali untuk memudahkan pemahaman masyarakat
tentang tindakan imunisasi ini, maka Imunisasi mopping-up pada satu atau beberapa Provinsi
disebut sebagai Sub Pekan Imunisasi Nasional (Sub-PIN), sementara Imunisasi Mopping Up di
seluruh wilayah Indonesia disebut sebagai Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
Sistem Kewaspadaan Dini KLB Polio
Untuk meningkatkan sensitifitas dalam
mengidentifikasi kemungkinan masih adanya kasus polio dan penularan virus polio liar di suatu
wilayah, maka pengamatan dilakukan pada semua kelumpuhan yang terjadi secara akut dan
sifatnya layuh (flaccid), seperti sifat kelumpuhan pada poliomielitis, dan terjadi pada anak
berusia kurang dari 15 tahun. Penyakit-penyakit yang mempunyai sifat kelumpuhan seperti
poliomielitis disebut kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP). Dan pengamatannya disebut
Surveillans AFP (SAFP).  Secara garis besar, tujuan surveilans AFP adalah untuk Identifikasi
daerah risiko tinggi, Monitoring program eradikasi polio, dan Sertifikasi bebas polio.
Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis)
Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis, merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk
membebaskan Indonesia dari penyakit polio (Eradikasi Polio). Beberapa upaya penting lain yang
dilaksanakan antara lain dengan pemberian imunisasi polio secara rutin, pemberian imunisasi
tambahan (PIN, Sub PIN, Mopping-up) pada anak balita, serta pengamanan virus polio di
laboratorium (Laboratory Containtment).
Sebagian besar kasus poliomielitis bersifat non-paralitik atau tidak disertai manifestasi klinis
yang jelas. Sebagian kecil ( 1 %) saja dari kasus poliomielitis yang menimbulkan kelumpuhan
(Poliomielitis paralitik). Dalam surveilans AFP, pengamatan difokuskan pada kasus poliomielitis
yang mudah diidentifikasikan, yaitu poliomielitis paralitik. Ditemukannya kasus poliomielitis
paralitik di suatu wilayah menunjukkan adanya penyebaran virus-polio liar di wilayah tersebut.
Untuk meningkatkan sensitifitas penemuan kasus polio, maka pengamatan dilakukan pada semua
kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya flaccid (layuh), seperti sifat kelumpuhan pada
poliomielitis. Penyakit-penyakit ini—yang mempunyai sifat kelumpuhan seperti poliomielitis—
disebut kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP) dan pengamatannya disebut sebagai Surveilans AFP
(SAFP). Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh layuh
akut (AFP) pada anak usia < 15 tahun yang merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit
polio.
Kasus AFP
Kasus AFP : Semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid
(Iayuh), terjadi secara akut (mendadak), bukan disebabkan oleh ruda paksa
Yang dimaksud kelumpuhan terjadi secara akut adalah: perkembangan kelumpuhan yang
berlangsung cepat (rapid progressive) antara 1 — 14 hari sejak terjadinya gejala awal (rasa nyeri,
kesemutan, rasa tebal/kebas) sampai kelumpuhan maksimal.
Yang dimaksud kelumpuhan flaccid adalah: Kelumpuhan bersifat lunglai, lemas atau layuh
bukan kaku, atau terjadi penurunan tonus otot.
Dalam hal ada keraguan dalam menentukan sifat kelumpuhan apakah akut dan flaccid, atau ada
hubungannya dengan ruda paksa/kecelakaan, laporkanlah kasus tersebut sebagai kasus AFP.
Semua penderita berusia 15 tahun atau lebih yang diduga kuat sebagai kasus poliomyelitis oleh
dokter, dilakukan tatalaksana seperti kasus AFP.
Kasus polio pasti (confirmed polio case): Kasus AFP yang pada hasil pemeriksaan tinjanya di
laboratorium ditemukan virus polio liar, cVDPV, atau hot case dengan salah satu spesimen
kontak positif VPL.
Kasus Polio Kompatibel : Kasus AFP yang tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan sebagai
kasus non polio secara laboratoris (virologis) yang dikarenakan antara lain: a). Spesimen tidak
adekuat dan terdapat paralisis residual pada kunjungan ulang 60 hari setelah terjadinya
kelumpuhan. b). Spesimen tidak adekuat dan kasus meninggal atau hilang sebelum dilakukan
kunjungan ulang 60 hari. Kasus polio kompatibel hanya dapat ditetapkan oleh Kelompok Kerja
Ahli Surveilans AFP Nasional berdasarkan kajian data/dokumen secara klinis atau epidemiologis
maupun kunjungan lapangan.
Secara umum tujuan surveilans AFP adalah :
Mengidentifikasi daerah risiko tinggi, untuk mendapatkan informasi tentang adanya transmisi
VPL, VDPV, dan daerah dengan kinerja surveilans AFP yang tidak memenuhi standar/indikator.
Memantau kemajuan program eradikasi polio. Surveilans AFP memberikan informasi dan
rekomendasi kepada para pengambil keputusan dalam rangka keberhasilan program ERAPO.
Membuktikan Indonesia bebas polio. Untuk menyatakan bahwa Indonesia bebas polio, harus
dapat dibuktikan bahwa: Tidak ada lagi penyebaran virus-polio liar maupun Vaccine Derived
Polio Virus (cVDPV) di Indonesia.Sistem surveilans terhadap polio mampu mendeteksi setiap
kasus polio paralitik yang mungkin terjadi.
Sedangkan tujuan Khusus
Menemukan semua kasus AFP yang ada di suatu wilayah.
Melacak semua kasus AFP yang ditemukan di suatu wilayah.
Mengumpulkan dua spesimen semua kasus AFP sesegera mungkin setelah kelumpuhan.
Memeriksa spesimen tinja semua kasus AFP yang ditemukan di Laboratorium Polio Nasional.
Memeriksa spesimen kontak terhadap Hot Case untuk mengetahui adanya sirkulasi VPL.
Untuk membuktikan apakah kelumpuhan disebabkan oleh polio atau bukan, dilakukan
pemeriksaan tinja penderita di laboratorium polio nasional yang telah ditentukan. Namun apabila
spesimen tinja penderita tidak bisa diambil atau tidak memenuhi syarat (tidak adekuat), maka
perlu dilakukan pemeriksaan klinis apakah masih terdapat sisa kelumpuhan setelah 60 hari
kelumpuhan. Oleh sebab itu bagi penderita dengan spesimen tidak adekuat tersebut dilakukan
pemeriksaan residual paralisis setelah 60 hari kelumpuhan, bukan 60 hari sejak ditemukan.
Untuk mengukur sensitifitas penemuan kasus AFP, ditetapkan indikator Non polio AFP rate 2
per 100.000 anak berusia kurang 15 tahun pertahun dan spesimen adekuat 80 %. Kedua indikator
ini lebih akurat untuk mengukur kinerja surveilans AFP di daerah berpenduduk besar yaitu
dengan jumlah populasi anak usia kurang 15 tahun 50.000 orang, disamping indikator pelaporan
rutin termasuk zero reporting. Dalam surveilans AFP berlaku pelaporan nihil (zero reporting) ,
yaitu laporan harus dikirimkan dengan teratur dan tepat waktu pada saat yang telah ditetapkan,
walaupun tidak dijumpai kasus AFP selama periode waktu tersebut.
Laporan yang dikirim dalam keadaan tidak ada kasus tersebut adalah dengan menuliskan jumlah
kasus “0” (nol), “tidak ada kasus”, atau “kasus nihil”. Zero reporting merupakan suatu
pembuktian ada/tidaknya kasus AFP di rumah sakit dan wilayah kerja puskesmas setelah
dilakukan pemantauan. Di daerah dengan populasi anak usia kurang 15 tahun < 50.000 orang,
untuk mengukur sensitifitas penemuan kasus AFP dapat menggunakan indikator zero reporting
rumah sakit dan puskesmas.
Surveilans AFP mencari kasus AFP bukan mencari kasus polio.
Setelah kasus AFP ditemukan, maka dilakukan tatalaksana kasus, yaitu pemeriksaan kasus dan
pengisian format pelacakan (FP1), pengambilan spesimen tinja, pemeriksaan laboratorium dan,
bila diindikasikan, pemeriksaan residual paralisis.
Dalam pemeriksaan kasus dibutuhkan keterampilan yang memadai untuk menentukan lokasi,
sifat, waktu kelumpuhan, dan status imunisasi polio. Hasil pemeriksaan kasus tersebut dicatat
kedalam format FP1. Apabila terdapat kesulitan dalam menentukan lokasi, sifat, dan waktu
kelumpuhan, maka diperlukan peran dokter ahli termasuk dalam menentukan diagnosis klinis.
Semua kasus AFP dengan kelumpuhan < 2 bulan dilakukan pengambilan tinja 2 kali dengan
interval waktu minimal 24 jam. Apabila pengambilan spesimen tinja yang pertama dan kedua
dilakukan 14 hari pertama kelumpuhan dan spesimen tersebut diterima di laboratorium dalam
kondisi baik, maka disebut spesimen adekuat. Pada periode < 14 hari pertama kelumpuhan masih
mungkin ditemukan virus polio di dalam tinja sebesar 63-96%, sehingga hasil laboratorium dapat
digunakan sebagai alat bukti yang kuat untuk menentukan kasus AFP ini disebabkan karena
polio atau bukan polio.
Apabila hasil virus polio liar negatif dari spesimen yang diambil lebih dari 14 hari sampai kurang
dari 2 bulan, maka kasus AFP belum dapat dipastikan bukan karena polio karena konsentrasi
virus polio dalam tinja sebesar ± 35%. Apabila kelumpuhan lebih dari 2 bulan, maka virus polio
kecil kemungkinan ditemukan dalam tinja (5-10%), sehingga kasus AFP tersebut tidak perlu
dilakukan pengambilan spesimen tinja.
Spesimen yang telah diambil segera dimasukkan dalam specimen carrier dan dikirim ke
laboratorium polio nasional dengan menjaga suhu tetap pada temperatur 2-8° Celcius. Kasus
AFP dengan spesimen tidak adekuat atau hasil laboratorium positif virus polio vaksin (sabin
like), maka dilakukan pemeriksaan ulangan 60 hari setelah kelumpuhan untuk memastikan
ada/tidaknya residual paralysis. Bila perlu melibatkan dokter yang melakukan pemeriksaan awal.
Beberapa kebijakan terkait AFP ini antara lain :
Satu kasus AFP merupakan suatu Kejadian Luar Biasa (KLB).
Semua kasus yang terjadi pada tahun yang sedang berjalan harus dilaporkan. Sedangkan kasus
AFP yang kelumpuhannya terjadi pada tahun lalu, tetap dilaporkan sampai akhir bulan Mei pada
tahun yang sedang berjalan.
Laporan rutin mingguan termasuk laporan nihil, memanfaatkan laporan mingguan PWS-KLB
(W2) untuk puskesmas dan surveilans aktif rumah sakit (FP-PD).
Mengintegrasikan laporan rutin bulanan dengan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I).
Kasus AFP yang tidak bisa diklasifikasikan secara laboratoris dan atau masih terdapat sisa
kelumpuhan pada kunjungan ulang 60 hari, maka klasifikasi final dilakukan oleh Kelompok
Kerja Ahli Surveilans AFP Propinsi/Nasional.
Melakukan pemeriksaan spesimen tinja terhadap 5 orang kontak Hot Case.
AFP (Acute Flaccid Paralysis) adalah Setiap kasus kelemahan atau kelumpuhan yang bersifat layuh
dan terjadi secara mendadak pada usia kurang dari 15 tahun. Pelacakan ini dilakukan untuk dapat
menemukan kemungkinan masih ada anak yang berumur kurang dari 15 Tahun yang mengalami
kelumpuhan, lemas atau layu terutama pada bagian alat pergerakan tubuh yang dialami secara
mendadak. 
Berdasarkan penyisiran yang dilakukan oleh Tim Dinas Kesehatan bersama Surveilans, Gizi dan
Bidan Desa Puskesmas Salak, ditemukan ada anak yang mengalami lumpuh layuh di wiliyah kerja
Puskesmas, segera petugas menghimbau kepada orangtua anak untuk membawa ke Puskesmas
untuk dapat dilakukan pemeriksaan oleh Dokter dan selanjutnya nanti akan dilakukan pengambilan
spesimen Tinja untuk dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium sehingga hasil pemeriksaan ini
dapat membantu Dokter dalam penegakan Diagnosa. 
Melalui kegiatan pelacakan ini kita juga sangat berharap agar masyarakat dapat sesegera mungkin
membawa anaknya apabila mengalami lumpuh layuh secara mendadak ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Pelacakan AFP ini juga sangat berperan dalam surveilans penyakit PD3I (Penyakit
Yang Dapat Disembuhkan Dengan Imunisasi). Pelacakan Kasus AFP ini akan terus berlanjut
kewilayah kerja puskesmas lainnya di Kabupaten Pakpak Bharat. Salam Sehat.

Anda mungkin juga menyukai