Anda di halaman 1dari 6

TUGAS II : Menerapkan Fungsi Epidemiologi pada suatu kasus Penyakit : Polio

Virus Polio adalah Virus yang termasuk dalam golongan Human Enterovirus yang
bereplikasi di usus dan dikeluarkan melalui tinja. Virus Polio terdiri dari 3 strain yaitu strain-
1 (Brunhilde), strain-2 (Lansig), dan strain-3 (Leon), termasuk family Picornaviridae.
Penyakit ini dapat menyebabkan kelumpuhan dengan kerusakan motor neuron pada cornu
anterior dari sumsum tulang belakang akibat infeksi virus.

Virus polio yang ditemukan dapat berupa virus polio vaksin/sabin,  Virus polio
liar/WPV (Wild Poliovirus) dan VDPV (Vaccine Derived Poliovirus). VDVP merupakan
virus polio vaksin/sabin yang mengalami mutasi dan dapat menyebabkan kelumpuhan

A. Assesing the Community’s health (Menilai Kesehatan Masyarakat)

Polio dapat menyerang pada usia berapa pun, tetapi polio terutama menyerang
anak-anak di bawah usia lima tahun. Pada awal abad ke-20, polio adalah salah satu
penyakit yang paling ditakuti di negara-negara industri, melumpuhkan ratusan ribu anak
setiap tahun. Pada tahun 1950an dan 1960an polio telah terkendali dan praktis
dihilangkan sebagai masalah kesehatan masyarakat di negara-negara industry. Hal ini
setelah pengenalan vaksin yang efektif.

Kasus polio pertama kali pada 1580 – 1350 SM, Inskripsi Mesir kuno
menggambarkan pendeta muda dengan kaki sebelah kiri yang memendek dan mengecil,
telapak kaki pada posisi equinus, yang merupakan gambaran keadaan klinik lumpuh
layu.

Pada 1988, sejak Prakarsa Pemberantasan Polio Global dimulai, lebih dari 2,5
miliar anak telah diimunisasi polio. Sekarang masih terdapat 3 negara endemis yang
melaporkan penularan polio yaitu Afganistan, Pakistan dan Nigeria.

Total kasus kumulatif tahun 2018 sebanyak 50 kasus, 12 kasus WPV1 di


Afganistan, 3 Kasus WPV1 di Pakistan, 13 kasus cVDPV2 di Republik Demokratik
Kongo, 8 Kasus cDVDPV2 di Nigeria, 5 kasus cVDPV di Somalia dan 9 kasus cVDPV1
di Papua New Guinea. Jumlah kumulatif kasus polio tahun 2017 hingga tahun 2018
sebanyak 168 kasus.
Setelah dilaksanakan PIN Polio tiga tahun berturut-turut pada tahun 1995, 1996
dan 1997, virus polio liar asli Indonesia (indigenous) sudah tidak ditemukan lagi sejak
tahun 1996. Namun pada tanggal 13 Maret 2005 ditemukan kasus polio importasi
pertama di Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasus polio tersebut
berkembang menjadi KLB yang menyerang 305 orang dalam kurun waktu 2005 sampai
awal 2006. KLB ini tersebar di 47 kabupaten/kota di 10 provinsi. Selain itu juga
ditemukan 46 kasus Vaccine Derived Polio Virus (VDPV) yaitu kasus Polio yang
disebabkan oleh virus dari vaksin, yang terjadi apabila banyak anak yang tidak di
imunisasi, dimana 45 kasus di antaranya terjadi di semua kabupaten di Pulau Madura dan
satu kasus terjadi di Probolinggo, Jawa Timur. Setelah dilakukan Outbreak Response
Immunization (ORI), dua kali mop-up, lima kali PIN, dan dua kali Sub-PIN, KLB dapat
ditanggulangi sepenuhnya. Kasus Virus Polio Liar (VPL) terakhir yang mengalami
kelumpuhan ditemukan pada tanggal 20 Februari 2006 di Aceh. Sejak saat itu hingga
sekarang tidak pernah lagi ditemukan kasus Polio di Indonesia.

B. Making decisions about individual patients (Membuat keputusan tentang pasien


individu)

Tidak ada obat untuk polio, yang ada hanya perawatan untuk meringankan
gejala. terapi fisik digunakan untuk merangsang otot dan obat antispasmodic
diberikan untuk mengendurkan otot-otot dan meningkatkan mobilitas. Meskipun ini
dapat meningkatkan mobilitas, tapi tidak dapat mengobati kelumpuhan polio
permanen.

Apabila sudah terkena Polio, tindakan yang dilakukan yaitu tatalaksana kasus
lebih ditekankan pada tindakan suportif dan pencegahan terjadinya cacat, sehingga
anggota gerak diusahakan kembali berfungsi senormal mungkin dan penderita dirawat
inap selama minimal 7 hari atau sampai penderita melampaui masa akut.

Penemuan dini dan perawatan dini untuk mempercepat kesembuhan dan


mencegah bertambah beratnya cacat. Kasus polio dengan gejala klinis ringan di
rumah, bila gejala klinis berat diruju ke RS.

 
1. Faktor Risiko Kejadian Polio

a. Data cakupan imunisasi polio, di tingkat puskesmas, desa terjangkit dan


desa sekitar beresiko selama 3-5 tahun terakhir, dan tata laksana rantai
dingin vaksin

b. Frekuensi pelayanan imunisasi masyarakat setempat

c. Ketenagaan, ketersediaan vaksin dan kualitas vaksin diantaranya


penyimpanan vaksin dan control suhu penyimpanan

d. Daerah kumuh atau padat atau daerah pengungsi

e. Mobilitas penduduk dari dan ke daerah endemis poliomyelitis

f. Kontak adalah anak usia < 5 tahun yang berinteraksi serumah atau
sepermainan dengan kasus sejak terjadi kelumpuhan sampai 3 bulan
kemudian.

2. Faktor Risiko terhadap Kelumpuhan

Tidak ada yang tahu mengapa hanya sebagian kecil infeksi


menyebabkan kelumpuhan. Beberapa faktor risiko utama yang diidentifikasi 
yang meningkatkan kemungkinan kelumpuhan pada seseorang yang terinfeksi
polio, seperti diantaranya defisiensi imun, kehamilan, pengangkatan amandel
(tonsilektomi), suntikan intramuscular misalnya obat-obatan, olahraga berat
dan cedera.

 
C. Documenting the clinical picture of the illness (Mendokumentasikan gambaran klinis
penyakit)

Masa inkubasi virus polio biasanya memakan waktu 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi
dalam waktu 7-21 hari.

Kebanyakan orang terinfeksi (90%) tidak memiliki gejala atau gejala yang sangat
ringan dan biasanya tidak dikenali. Pada kondisi lain, gejala awal yaitu demam,
kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan di leher dan nyeri di tungkai.

Adapun gejala Penderita polio dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Polio non-paralisis dapat mnyebabkan muntah, lemah otot, demam, meningitis,


letih, sakit tenggorokan, sakit kepala serta kaki, tangan, leher dan punggung
terasa kaku dan sakit

2. Polio paralisis menyebabkan sakit kepala, demam, lemah otot, kaki dan lengan
terasa lemah, dan kehilangan refleks tubuh.

3. Sindrom pasca-polio menyebabkan sulit bernapas atau menelan, sulit


berkonsentrasi, lemah otot, depresi, gangguan tidur dengan kesulitan bernapas,
mudah lelah dan massa otot tubuh menurun.

D. Searching of causes to prevent future outbreaks (Mencari penyebab untuk mencegah


wabah di masa depan)

Dengan adanya kasus polio di Papua Nugini pada tahun 2018, Indonesia
sebagai negara tetangga meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi wabah Polio
yang kemungkinan terjadi. Untuk itu dalam rangka upaya kewaspadaan dan
kesiapsiagaan penanggulangan KLB/Wabah Polio di Indonesia, maka Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI melalui
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan (Surkarkes) melaksanakan
kegiatan Table Top Exercise Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio di Papua, pada tanggal
28 - 29 November 2018 dan beberapa strategi yang harus dilakukan adalah

1. Melindungi semua anak usia < 15 tahun dengan memberikan imunisasi;


2. Menemukan dan melaporkan semua anak usia < 15 tahun yang menderita lumpuh
layu akut/mendadak;
3. Meningkatkan pengawasan di pintu masuk saudara-saudara kita dari PNG agar
tidak membawa virus polio ke Papua khususnya dan Indonesia pada umumnya;
4. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam kesiapsiagaan Polio baik
melalui sosialisasi, pelatihan termasuk table top exercise ini;
5. Meningkatkan awareness masyarakat tentang pentingnya imunisasi – menerapkan
perilaku hidup bersih dan sehat – melaporkan jika ada yang lumpuh layu
mendadak, dengan pemberian informasi melalui semua jaringan baik itu tenaga
kesehatan, tokoh agama, tokoh adat, guru, kader dan lain-lain;
6. Mengajak semua sektor terkait seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat,
TNI-POLRI, PKK, forum anak untuk berperan aktif dalam kesiapsiagaan KLB
Polio ini.

Penyakit polio dapat dicegah melalui vaksinasi. Vaksinasi merupakan salah


satu tindakan kekarantinaan kesehatan melalui peningkatan kekebalan tubuh secara
aktif. Seiring dengan kampanye nasional imunisasi campak dan rubela, sejak Agustus
hingga September 2018 anakanak di lima kabupaten/kota di Provinsi Papua mendapat
vaksinasi Campak-Rubela-Polio atau Measles, Rubella dan Polio (MRP). Kampanye
nasional tersebut merupakan kelanjutan dari tahun sebelumnya dalam merespons
penyebaran penyakit campak di Kabupaten Asmat pada September 2017. Di mana
bulan Agustus hingga September 2017 kampanye imunisasi diutamakan di Pulau
Jawa dan Agustus hingga September 2018 kampanye imunisasi dilakukan di luar
Pulau Jawa. Kementerian Kesehatan memperpanjang kampanye imunisasi nasional
hingga 30 Oktober 2018.

Imunisasi merupakan tindakan yang paling efektif dalam mencegah


penyakit polio.  Vaksin polio yang diberikan berkali-kali dapat melindungi seorang
anak seumur hidup. Pencegahan penyakit polio dapat dilakukan dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya pemberian imunisasi polio pada anak-anak.

Pencegahan penularan ke orang lain melalui kontak langsung (droplet) dengan


menggunakan masker bagi yang sakit maupun yang sehat. Selain itu mencegah
pencemaran lingkungan (fecal-oral) dan pengendalian infeksi dengan menerapkan
buang air besar di jamban dan mengalirkannya ke septic tank.
Pencegahan dengan Vaksin Polio. Ada 4 jenis vaksin Polio, yaitu :

1. Oral Polio Vaccine (OPV), untuk jenis vaksin ini aman, efektif dan memberikan
perlindungan jangka panjang sehingga sangat efektif dalam menghentikan
penularan virus. Vaksin ini diberikan secara oral. Setelah vaksin ini bereplikasi di
usus dan diekskresikan, dapat menyebar ke orang lain dalam kontak dekat.

2. Monovalent Oral Polio Vaccines (mOPV1 and mOPV3), sebelum pengembangan


tOPV, OPV Monovalen (mopVs) dikembangkan pada awal tahun 1950an. Vaksin
polio ini memberikan kekebalan hanya pada satu jenis dari tiga serotipe OPV,
namun tidak memberikan perlindungan terhadap dua jenis lainnya. OPV
Monovalen untuk virus Polio tipe 1 (mopV1) dan tipe 3 (mOPV3) dilisensikan lagi
pada tahun 2005 dan akhirnya mendapatkan respon imun melawan serotipe yang
lain.

3. Bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV), setelah April 2016, vaksin virus Polio Oral
Trivalen diganti dengan vaksin virus Polio Oral Bivalen (bOPV). Bivalen OPV
hanya mengandung virus serotipe 1 dan 3 yang dilemahkan, dalam jumlah yang
sama seperti pada vaksin trivalen. Bivalen OPV menghasilkan respons imun yang
lebih baik terhadap jenis virus Polio tipe 1 dan 3 dibandingkan dengan OPV
trivalen, namun tidak memberikan kekebalan terhadap serotipe 2.

4. Inactivated Polio Vaccine (IPV), sebelum bulan April 2016, vaksin virus Polio
Oral Trival (topV) adalah vaksin utama yang digunakan untuk imunisasi rutin
terhadap virus Polio. Dikembangkan pada tahun 1950 oleh Albert Sabin, tOPV
terdiri dari campuran virus polio hidup dan dilemahkan dari ketiga serotipe
tersebut. tOPV tidak mahal, efektif dan memberikan perlindungan jangka panjang
untuk ketiga serotipe virus Polio. Vaksin Trivalen ditarik pada bulan April 2016
dan diganti dengan vaksin virus Polio Oral Bivalen (bOPV), yang hanya
mengandung virus dilemahkan vaksin tipe 1 dan 3.

Sehingga sampai saat ini untuk mencegah adanya wabah polio yang terjadi di
Indonesia, anak-anak di Indonesia wajib untuk vaksin polio dan sudah terjadwal pada
buku KMS yang dimiliki setiap anak di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai