Pembimbing:
Dr. Ommy Ariansih, Sp.A
Disusun oleh:
Fabian Anfasa Razak
2017730042
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya Laporan Referat ini dapat terselesaikan dengan baik. Referat ini
disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase pediatri Fakultas
Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS. Islam
Jakarta Cempaka Putih.
Dalam penulisan laporan refrerat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang
diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ommy Ariansih Sp.A sebagai
dokter pembimbing.
Dalam penulisan laporan refrerat ini tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang
bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan
kasus ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan refrerat ini
telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah SWT
membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah suatu sindrom klinis yang memerlukan
evaluasi segera dan hati-hati. Sindrom ini memberikan akibat berupa kelumpuhan
akut pada otot, saraf, neuromuscular junction, medula spinalis dan kornu anterior.
Sindrom ini dapat menyerang otot-otot pernapasan sehingga dapat mengakibatkan
kematian. Setiap kasus AFP merupakan suatu keadaan darurat sehingga diagnosis
akurat dari AFP penting untuk menentukan terapi dan mengetahui prognosis
penyakit pada pasien. Di akhir abad 20, Kongres Kesehatan Dunia (World Health
Assembly) menetapkan bahwa memasuki abad 21, seluruh dunia harus bebas dari
permasalahan polio, salah satu penyebab AFP. Namun pada faktanya, di seluruh
dunia minimal 30 negara merupakan daerah endemis polio. Sehingga eradikasi
polio menjadi suatu tugas berat bagi semua pihak.
WHO memperkirakan terdapat lebih 200 diagnosa yang dapat digolongkan kepada
kasus AFP, sebagian besar (30% — 60%) kasus AFP yang dilaporkan adalah GBS.
Di Indonesia sampai saat ini dilaporkan sekitar 32 diagnosa yang termasuk sebagai
kasus AFP. Secara internasional Indonesia sudah dinyatakan sebagai negara yang
bebas polio, seiring dengan dilaksanakannya program imunisasi tambahan dalam
rangka pencapaian Erapo (Eradikasi Polio) yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
sebanyak 6 kali dan sub PIN sebanyak 3 kali.
Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh
layuh akut (AFP) pada anak usia < 15 tahun, yang merupakan kelompok yang
rentan terhadap penyakit polio, dalam upaya untuk menemukan adanya transmisi
virus polio liar. Surveilans AFP merupakan indikator sensitivitas deteksi virus polio
liar. Surveilans AFP juga penting untuk dokumentasi tidak adanya virus polio liar
untuk sertifikasi bebas polio.
Non polio AFP adalah kasus lumpuh layuh akut yang diduga kasus polio sampai
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium bukan kasus polio. Kementerian
Kesehatan menetapkan non polio AFP rate minimal 2/100.000 populasi anak usia
<15 tahun. Pada tahun 2015, secara nasional non polio AFP rate sebesar
1,93/100.000 populasi anak <15 tahun yang berarti belum mencapai standar
minimal penemuan.
Dari 34 provinsi 16 di antaranya (47%) telah mencapai target non polio AFP rate
≥2 per 100.000 penduduk kurang dari 15 tahun pada tahun 2015, 17 provinsi masih
<2 dan 1 provinsi yaitu Papua Barat belum menyampaikan laporannya.
Setiap kasus AFP yang ditemukan dalam kegiatan intensifikasi surveilans, akan
dilakukan pemeriksaan spesimen tinja untuk mengetahui ada tidaknya virus polio
liar. Untuk itu diperlukan spesimen adekuat yang sesuai dengan persyaratan yaitu
diambil ≤14 hari setelah kelumpuhan dan suhu spesimen 0°C - 8°C sampai di
laboratorium.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah kelumpuhan yang terjadi secara
akut mengenai ‘final common path’, ‘motor end plate’ dan otot yaitu pada otot,
saraf, neuromuscular junction, medulla spinalis dan kornu anterior. Istilah
flaccid menunjukkan kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN).
Mengindikasikan tidak adanya tanda gangguan spastisitas seperti pada
gangguan susunan saraf pusat traktus motorik lainnya misalnya hipereflek,
klonus atau respon ekstensor pada plantar. Kelumpuhan ini ditandai dengan
adanya karakteristik gejala klinis kelemahan yang timbul dengan cepat
termasuk kelemahan otot-otot pernafasan dan otot menelan. Berkembang lebih
cepat dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan atau paralisis secara
fokal yang onsetnya akut tanpa penyebab lain yang nyata seperti trauma. Yang
ditandai dengan flaccid dan mengenai anak kelompok < 15 tahun termasuk
didalamnya Poliomielitis dan Sindrom Guillain-Barre. AFP disebabkan oleh
beberapa agen termasuk enterovirus, echovirus, atau adenovirus.
Untuk membuktikan bahwa virus polio liar sudah tidak ada lagi di
Indonesia, maka harus ditemukan gejala gejala yang menyerupai penyakit polio.
Dan gejala tersebut dijumpai pada penderita AFP. Diagnosa penyakit yang dapat
digolongkan ke dalam kasus AFP antara lain : Poliomyelitis, polioencephalitis,
GBS (Guillan Barre’s Syndrome), Paraplegia, transverse myelitis, dll.
Kelumpuhan pada penderita AFP dapat disertai dengan gejala penyakit lain,
seperti kejang, demam, diare, ataupun tanpa penyakit penyerta. Bersifat tidak
permanent, jadi akan menghilang seiring dengan hilangnya penyakit penyerta.
Jika masih ada sisa kelumpuhan setelah penyakit penyerta hilang, maka biasanya
diambil langkah fisioterapi untuk pemulihan syaraf-syaraf yang mengalami
kelumpuhan.
2. Epidemiologi
Penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 2 diantara anak usia < 15 tahun. Target
minimal penemuan penderita AFP pada tahun 2012 sebanyak 172 penderita. Di
Jawa Tengah menururut data pada tahun 2012 menemukan 196 penderita AFP, data
ini membuktikan bahwa terjadi penurunan penderita dibandingan pada tahun 2011
(215 orang). Menurut hasil pemeriksaan laboratorium, dari 196 kasus yang
diperiksa semua menunjukan negatif polio (berarti tidak ditemukan virus polio).
3. Etiologi
Penyebab utama lumpuh layu akut adalah virus. Penyebab tersering adalah virus
polio dan GBS (Guillane Bare Syndrom). Penyebab lain terjadinya lumpuh layu
akut atau AFP adalah mumps virus (gondongan), epstein-Barr virus, Humam
Immunodeficiency virus (HIV), dan West Neilevirus. Host atau faktor lingkungan
secara signifikan dapat mempengaruhi terjadinya AFP. Lingkungan yang tidak
sehat dan higienitas hidup yang kurang baik dapat menimbulkan AFP, selain faktor
‘immune regulated’. Lingkungan yang tidak sehat dan tidak higienis tersebut dapat
menyebabkan virus dan bakteri penyebab dengan mudah menyerang orang yang
tinggal di lingkungan tersebut.
Susunan saraf manusia terbagi menjadi dua, yaitu susunan saraf pusat atau upper
motor neuron/UMN ( dari batang otak hingga sumsum tulang belakang/medula
spinalis yang disebut dengan jaras kortikospinal), dan susunan syaraf tepi atau
lower motor neuron/ LMN (dari kornu anterior sampai otot).Kelumpuhan tipe
LMN mempunyai ciri-ciri flacid, atoni, atrofi, fasikulasi, reflek fisiologis menurun
tapi tidak ditemukan reflek patologis.
4. Patofisologi
Mulut adalah portal masuknya virus. Virus ada di bertahan di faring dan saluran
pencernaan. Virus ini biasanya ada di tenggorokan dan ditinja sebelum timbulnya
penyakit. Satu minggu setelah onset, ada sedikit virus di tenggorokan, tetapi virus
terus diekskresikan dalam tinja selama beberapa minggu. Virus menyerang jaringan
limfoid lokal, memasuki aliran darah, dan kemudian dapat menginfeksi sel-sel
sistem saraf.
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada AFP atau lumpuh layu akut adalah munculnya kelumpuhan yang
mendadak, gangguan gaya berjalana, kelemahan atau gangguan koordinasi dari satu
atau beberapa anggota gerak tubuh, lesi yang timbul berkaitan dengn LMN (Lower
Motor Neuron). Lesi pada LMN dapat mengenai kornu anterior (Poliomeilitis,
atrofi otot), radiks, akson, mielin (Sindrom Guillain Bare), neuromuscular junction
atau pada otot dan syaraf (Miastenia Gravis), ataupun mengenai otot itu sendiri
(Gambar1). Lesi tersebut merusak motor neuron, akson, motor end plate, dan otot
skeletal sehingga tidak terdapat gerakan atau rangsangan motorik yang
disampaikan ke motor neuron. Kelumpuhan tersebut sesuai dengan gejala lower
motor neuron yaitu :
1. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga reflek
tendon hilang dan reflek patologik tidak muncul.
2. Tonus otot hilang.
3. Musnahnya motor neuron beserta akson sehingga satuan
motorik hilang dan terjadi atrofi otot.
Gambar.1
Tanda-tanda AFP atau lumpuh layu akut harus dievaluasi klinis secara lengkap
dengan pemeriksaan neurologis, pemeriksaan kekuatan motorik, reflek tendon,
fungsi syaraf cranial, dan fungsi sensoris. Pemeriksaan laboratorium perlu
dilakukan untuk melihat laju sedimen sel darah merah dan pemeriksaan
elektrofisiologi diperlukan untuk kepentingan diagnosis dan prognosis dari
penyakit motor neuron.
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Menilai distribusi dan derajat kelemahan
o Skor kelemahan otot (0-5)
o Periksa otot-otot ekstraokular (ptosis), otot-otot fasial, leher,
lengan dan tungkai
o Gambarkan pola kelemahan yang terjadi (paraparesis,
multifokal)
Gangguan sensorik
o Terhadap modalitas tertentu (getaran/propioseptif,
nyeri/protopatik)
Refleks-refleks
o Adakah penurunan atau peningkatan refleks
Gambaran umum
o Tes fungsi otonom (refleks pupil, keringat yang abnormal,
respons pupil, ileus)
o Kulit: ruam pada penyakit lyme (eritema kronis migrans),
garis-garis kuku pada keracunan arsen (Mee’s Line), foto-sensitif
dan tik
o Nyeri tekan spinal (pada abses epidural atau hematom, tumor
spinalis)
o Nyeri saat tungkai diangkat (radikulopati)
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fungsi lumbal dan cairan serebrospinal diindikasikan untuk
menyingkirkan adanya infeksi bakteri pada sistem saraf, infeksi bakteri ditunjukkan
dengan adanya netrofil, tingkat glukosa yang rendah dan kandungan protein yang
tinggi. Pemeriksaan kultur bakteri akan mengidentifikasi adanya mikroorganisme
spesifik. Pencitraan tulang belakang seperti radiografi, CT-Scan atau magnetic
resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menyingkirkan adanya kompresi
tulang belakang, mielopati, atau neoplasma poliradikulopati spondilosis.
Pemeriksaan elektrocardiogram dapat mengidentifikasi adanya gangguan
metabolisme elektrolit seperti kelumpuhan periodik yang diakibatkan oleh keadaan
hipovolemi.
Pada pemeriksaan kelumpuhan, harus ditentukan derajat (grading)
kelumpuhan. Kekuatan motorik dinilai dengan skala 0-5:
Skala 5: kekuatan motorik normal, dapat berjalan, berlari,
dan sebagainya, serta dapat menahan tahanan maksimal yang
diberikan pemeriksa.
Skala 4: dapat melawan tahanan namun tidak maksimal,
anak dapat berjalan dan berlari namun tidak cepat dan mudah
jatuh.
Skala 3: anak dapat mengangkat tungkai namun tidak dapat
melawan tahanan.
Skala 2: ekstremitas tidak dapat diangkat namun masih dapat
digeser.
Skala 1: hanya terdapat kontraksi otot namun ektremitas
tidak dapat digerakan.
Skala 0: tidak dapat digerakan sama sekali dan tidak terdapat
kontraksi otot.
Pada bayi atau balita, derajat kekuatan motorik lebih sulit ditentukan
karena belum kooperatif. Observasi dan pemeriksaan perlu dilakukan lebih
teliti dengan mengangkat ektremitas, melawan gravitasi, menilai tonus,
melihat simetrisitas gerakan. Untuk menilai kelemahan otot, anak dapat
diminta duduk dilantai dan kemudian berdiri. Anak yang tidak mampu
langsung berdiri, atau berdiri sambil merambat pada kakinya umumnya
menandakan kelemahan otot. Ini merupakan gower sign merupakan tanda
distrofi muskular (gambar 2).
Cara anak berjalan atau berdiri harus diperhatikan. Anak dapat diminta untuk
berjalan jinjit atau jalan bertumpu pada tumit. Anak yang mengalami lesi LMN atau
masalah neuromuskular umumnya tidak dapat jalan jinjit atau jalan dengan tumit.
Dalam posisi terlentang ditempat tidur, posisi seorang bayi yang mengalami
lumpuh layu akut terlihat seperti katak (frog leg posisition), dengan sedikit gerakan,
lutut menyentuh tempat tidur, hipotoni, dan tidak dapat melawan gravitasi (Gambar
3).
6. Tatalaksana
Tatalaksana bersifat suportif. Sindrom Gullian-Barre memerlukan terapi
IVIG 0,4 gram / kgBB/hari selama 5 hari bertutur-turut. Miastenia gravis
memerlukan terapi antikolinestrase yaitu piridostigmin bromide 4-7
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4-6 dosis. Pada paralisis karena toksin
botulinum, dapat diberikan antibiotik penisilin dan antibiotik untuk anak
yang lebih besar. Untuk kasus yang disebabkan oleh poliomyelitis akut,
tidak terdapat antivirus khusus. Myositis memerlukan terapi kortikosteroid.
Terapi penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
Pemberian analgetik jika terdapat myalgia atau sakit kepala
Ventilasi mekanik untuk pasien dengan paralisis bulbar
Trakeostomi untuk pasien yang membutuhkan ventilasi
mekanik jangka Panjang
Terapi fisik berupa mobilisasi untuk mencegah kontraktur
dan ulkus decubitus dan latihn gerakan pasif-aktif saat periode
konvalesen.
Diagnosis Banding AFP
1. POLIOMIELITIS
Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan medulla
spinalis dan batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe Brunhilde, Lansing
dan Leon yang menyebabkan penyakit ini, yang masing-masing tidak
mengakibatkan imunitas silang. Bila seorang mengalami infeksi dengan satu jenis
virus ia akan mendapat kekebalan yang menetap terhadap virus tersebut.
Jenis-jenis Polio
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis penyakit polio dibagi atas beberapa jenis yaitu asimtomatik,
abortif, nonparalitik dan paralitik. Sebagian besar pasien infeksi polio adalah
asimtomatik atau terjadi dalam bentuk panyakit yang ringan dan sepintas.
Poliomielitis abortif, sakit demam singkat terjadi dengan satu atau lebih gejala-
gejala berikut : malaise, anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan,
konstipasi, dan nyeri perut. Koryza, batuk, eksudat faring, diare, dan nyeri perut
lokal serta kekakuan jarang. Demam jarang melebihi 39,5 C dan faring biasanya
menunjukkan sedikit perubahan walaupun sering ada keluhan nyeri tenggorok.
Poliomielitis nonparalitik, gejala-gejalanya adalah seperti poliomielitis abortif
kecuali pada nyeri kepala, mual, dan muntah lebih parah dan ada nyeri dan
kekakuan otot leher posterior, badan dan tungkai. Paralisis kandung kencing yang
cepat menghilang sering dijumpai dan konstipasi sering ada. Sekitar dua pertiga
anak mengalami jeda bebas gejala antara fase pertama (sakit minor) dan fase kedua
(sakit sistem saraf sentral atau sakit mayor).
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda kaku kuduk-spina dan perubahan pada
refleks superfisial dan dalam. Pada penderita yang kooperatif tanda-tanda kaku
kuduk-spina mulai dicari dengan tes aktif. Jika diagnosis masih tidak pasti, upaya
yang harus dilakukan untuk memperoleh kernig dan Brudzinki.
Poliomeilitis Paralitik, manifestasinya adalah manifestasi poliomeilitis nonparalitik
yang disebutkan satu per satu ditambah dengan satu atau lebih kelompok otot,
skelet atau cranial. Gejala-gejala ini dapat disertai dengan jeda tanpa gejala
beberapa hari dan kemudian pada puncak berulang dengan paralisis paralysis
flaksid merupakan ekspresi klinis cedera neuron yang paling jelas. Terjadinya atrofi
muskuler disebabkan oleh denervasi ditambah atrofi karena tidak digunakan. Nyeri,
spastisitas, kaku kuduk dan kekakuan spinal, serta hipertoni pada awal penyakit
mungkin karena lesi batang otak, ganglia spinalis, dan kolumna posterior
Pada pemeriksaan fisis distribusi paralysis khas kadang-kadang tidak. Untuk
mendeteksi kelemahan otot ringan, sering perlu memakai tahanan halus dalam
melawan kelompok otot yamh sedang diuji. Pada bentuk spinal ada kelemahan
beberapa otot leher, perut, batang tubuh, diafragma, thoraks, atau tungkai.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk
memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap contoh tinja untuk mencari
poliovirus dan pemeriksaan terhadap darah untuk menentukan titer antibodi.
Pembiakan virus diambil dari lendir tenggorokan, tinja atau cairan serebrospinal.
Pemeriksan rutin terhadap cairan serebrospinal memberikan hasil yang normal atau
tekanan, protein serta sel darah putihnya agak meningkat.
Pengobatan
Pengobatan belum ada pengobatan kausal pada penyakit polio, namun poliomielitis
dapat dicegah melalui vaksinasi. Vaksinasi polio dengan virus yang dinonaktifkan
(salk) mulai digunakan pada tahun 1955, dan vaksinasi dengan virus hidup yang
dijinakkan (sabin) mulai banyak dipakai sejak tahun 1962. vaksin oral trivalent
diperkenalkan pada tahun 1963 dan banyak digunakan sampai saat ini.
Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala ringan dan
menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang memiliki
sanitasi baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak menderita polio
ketika masih kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan
polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang
dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami
gejala tambahan di masa depan seperti layuh otot; gejala ini disebut sindrom post-
polio.
Komplikasi
Komplikasi yang paling berat adalah kelumpuhan yang menetap. Kelumpuhan
terjadi sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi kelemahan satu atau
beberapa otot, sering ditemukan. Kadang bagian dari otak yang berfungsi mengatur
pernafasan terserang polio, sehingga terjadi kelemahan atau kelumpuhan pada otot
dada. Beberapa penderita mengalami komplikasi 20-30 tahun setelah terserang
polio. Keadaan ini disebut sindroma post-poliomielitis, yang terdiri dari kelemahan
otot yang progresif, yang seringkali menyebabkan kelumpuhan.
Definisi
Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending
dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.
Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk
mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur
dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun
didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan
dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan
Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi
sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai
usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan
paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data
di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d
Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Kehamilan atau dalam masa nifas
Penyakit sistematik:
o Keganasan
o systemic lupus erythematosus
o Tiroiditis
o penyakit Addison
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.
Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling
sering adalah infeksi virus.
Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).
Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
6 merkaptopurin (6-MP)
Azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
Prognosa
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara
lian:
pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
progresifitas penyakit lambat dan pendek
pada penderita berusia 30-60 tahun
3. MIASTENIA GRAVIS
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang mengganggu
sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi
tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung
acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari
saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan
menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu
dan menyebabkan kelemahan otot.
Penyebab
Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang menyerang reseptor
acetylcholine belum diketahui. Tapi pada sebagian besar pasien, kerusakan kelenjar
thymus menjadi penyebabnya. Maka itu kebanyakan si penderita akan menjalani
operasi thymus. Tapi setelah thymus diangkat juga belum ada jaminan penyakit
autoimun ini akan sembuh.
Thymus adalah organ khusus dalam sistem kekebalan yang memproduksi antibodi.
Organ ini terus tumbuh pada saat kelahiran hingga pubertas, dan akan menghilang
seiring bertambahnya usia. Tapi pada orang-orang tertentu, kelenjar thymus terus
tumbuh dan membesar, bahkan bisa menjadi ganas dan menyebabkan tumor pada
kelenjar thymus (thymoma). Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem
kekebalan belajar membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga
berisi sel otot (myocytes) dengan reseptor acetylcholine.
Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada
jumlah normal akan
Mengakibatkan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan
oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di
dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR
dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR
bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya,
yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita
Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada mencit
tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan penting
dalam etiology penyakit ini.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan
toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini,
Myasthenia Gravisdianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena
sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru
menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting
pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis.Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya penderita Myasthenic mengalami hiperplasiathymic dan thymoma.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran
presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena
kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar
sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate
dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat
ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih
kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar
timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda
cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan
neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial
unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus Pembuktian etiologi oto-
imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai
hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang
abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada
penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa
kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya5.
Klasifikasi
Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB)
of the Miastenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi
miastenia gravis menjadi 5 kelas utama dan beberapa subclass, sebagai
berikut :
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu jika seseorang mengalami
kelemahan umum, terutama jika melibatkan otot mata atau wajah, atau kelemahan
yang meningkat jika otot yang terkena digunakan atau berkurang jika otot yang
terkena diistirahatkan.
Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan
pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang paling sering digunakan untuk
pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena, maka untuk
sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada penderita miastenia gravis.
Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah penilaian fungsi otot dan saraf dengan
elektromiogram dan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi
terhadap asetilkolin.
Beberapa penderita memiliki tumor pada kelenjar timusnya (timoma), yang
mungkin merupakan penyebab dari kelainan fungsi sistem kekebalannya. CT scan
dada dilakukan untuk menemukan adanya timoma.
Pengobatan
Memberi obat-obatan yang bisa menekan reaksi autoimun atau antibodi yang
menyerang acetylcholine
Behman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of pediatrics,
17th edition. Philadelphia: WB Sauders company. 2004, page 833-40
1. apa sajakah diagnosa penyakit yang dapat di golong kan dalam kasus AFP?
2. apa saja indikasi dari dilakukannya pemeriksaan penunjang pada kasus afp?
3. adakah terapi suportif yang di berikan pada kasus afp selain terapi penunjang ya
ng di lakukan?
4. pemeriksaan apa yang bisa dilakukan pada anak agar kita dapat mengetahui bah
wa lesi itu adalah lesi LMN
5. adakah penyebab lain selain polio virus dan gbs yang terjadi pada kasis afp?
6. apakah afp dapat menular?
Jawaban
1. poliomyelitis, GBS, parapeliga, toksin botolirum, miastenia gravis dan masih
banyak lagi
2. LP: menyngkirkan adanya infeksi bakteri pada system syaraf
KB : mengidentifikasi adanya mikroorganisme spesifek
CT/MRI : meningkirkan adanya kompresi tulang belakang, neoplasma dll
ECG: adanya gangguan metabolisme elektrolit , kelumpuhan periodic
3. terapi suportif dilakkan tergantung dari penyakit yang dialami dari kasus AFP
4. Anak I perintahkan untuk jalan jinjit atau jalan bertumpu dengan tumit jika
anak tidak bias melakukannya kemngkinan besar lesinya ada lesi LMN
5. Virus lain seperti virus HIV, MUMPS, EPSTEIN BAR, dan WEST NELLE
virus
6. bias jika dilihat dari penyebab tersering AFP adalah virus polio, virus polio
sendiri bias menular melalui droplet