Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

LUMPUH LAYU AKUT


(ACUTE FLACCID PARALYSIS)

Pembimbing:
Dr. Ommy Ariansih, Sp.A

Disusun oleh:
Fabian Anfasa Razak
2017730042

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya Laporan Referat ini dapat terselesaikan dengan baik. Referat ini
disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase pediatri Fakultas
Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS. Islam
Jakarta Cempaka Putih.
Dalam penulisan laporan refrerat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang
diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ommy Ariansih Sp.A sebagai
dokter pembimbing.
Dalam penulisan laporan refrerat ini tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang
bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan
kasus ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan refrerat ini
telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah SWT
membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.

Jakarta, Januari 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah suatu sindrom klinis yang memerlukan
evaluasi segera dan hati-hati. Sindrom ini memberikan akibat berupa kelumpuhan
akut pada otot, saraf, neuromuscular junction, medula spinalis dan kornu anterior.
Sindrom ini dapat menyerang otot-otot pernapasan sehingga dapat mengakibatkan
kematian. Setiap kasus AFP merupakan suatu keadaan darurat sehingga diagnosis
akurat dari AFP penting untuk menentukan terapi dan mengetahui prognosis
penyakit pada pasien. Di akhir abad 20, Kongres Kesehatan Dunia (World Health
Assembly) menetapkan bahwa memasuki abad 21, seluruh dunia harus bebas dari
permasalahan polio, salah satu penyebab AFP. Namun pada faktanya, di seluruh
dunia minimal 30 negara merupakan daerah endemis polio. Sehingga eradikasi
polio menjadi suatu tugas berat bagi semua pihak.
WHO memperkirakan terdapat lebih 200 diagnosa yang dapat digolongkan kepada
kasus AFP, sebagian besar (30% — 60%) kasus AFP yang dilaporkan adalah GBS.
Di Indonesia sampai saat ini dilaporkan sekitar 32 diagnosa yang termasuk sebagai
kasus AFP. Secara internasional Indonesia sudah dinyatakan sebagai negara yang
bebas polio, seiring dengan dilaksanakannya program imunisasi tambahan dalam
rangka pencapaian Erapo (Eradikasi Polio) yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
sebanyak 6 kali dan sub PIN sebanyak 3 kali.
Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh
layuh akut (AFP) pada anak usia < 15 tahun, yang merupakan kelompok yang
rentan terhadap penyakit polio, dalam upaya untuk menemukan adanya transmisi
virus polio liar. Surveilans AFP merupakan indikator sensitivitas deteksi virus polio
liar. Surveilans AFP juga penting untuk dokumentasi tidak adanya virus polio liar
untuk sertifikasi bebas polio.
Non polio AFP adalah kasus lumpuh layuh akut yang diduga kasus polio sampai
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium bukan kasus polio. Kementerian
Kesehatan menetapkan non polio AFP rate minimal 2/100.000 populasi anak usia
<15 tahun. Pada tahun 2015, secara nasional non polio AFP rate sebesar
1,93/100.000 populasi anak <15 tahun yang berarti belum mencapai standar
minimal penemuan.
Dari 34 provinsi 16 di antaranya (47%) telah mencapai target non polio AFP rate
≥2 per 100.000 penduduk kurang dari 15 tahun pada tahun 2015, 17 provinsi masih
<2 dan 1 provinsi yaitu Papua Barat belum menyampaikan laporannya.
Setiap kasus AFP yang ditemukan dalam kegiatan intensifikasi surveilans, akan
dilakukan pemeriksaan spesimen tinja untuk mengetahui ada tidaknya virus polio
liar. Untuk itu diperlukan spesimen adekuat yang sesuai dengan persyaratan yaitu
diambil ≤14 hari setelah kelumpuhan dan suhu spesimen 0°C - 8°C sampai di
laboratorium.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah kelumpuhan yang terjadi secara
akut mengenai ‘final common path’, ‘motor end plate’ dan otot yaitu pada otot,
saraf, neuromuscular junction, medulla spinalis dan kornu anterior. Istilah
flaccid menunjukkan kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN).
Mengindikasikan tidak adanya tanda gangguan spastisitas seperti pada
gangguan susunan saraf pusat traktus motorik lainnya misalnya hipereflek,
klonus atau respon ekstensor pada plantar. Kelumpuhan ini ditandai dengan
adanya karakteristik gejala klinis kelemahan yang timbul dengan cepat
termasuk kelemahan otot-otot pernafasan dan otot menelan. Berkembang lebih
cepat dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan atau paralisis secara
fokal yang onsetnya akut tanpa penyebab lain yang nyata seperti trauma. Yang
ditandai dengan flaccid dan mengenai anak kelompok < 15 tahun termasuk
didalamnya Poliomielitis dan Sindrom Guillain-Barre. AFP disebabkan oleh
beberapa agen termasuk enterovirus, echovirus, atau adenovirus.
Untuk membuktikan bahwa virus polio liar sudah tidak ada lagi di
Indonesia, maka harus ditemukan gejala gejala yang menyerupai penyakit polio.
Dan gejala tersebut dijumpai pada penderita AFP. Diagnosa penyakit yang dapat
digolongkan ke dalam kasus AFP antara lain : Poliomyelitis, polioencephalitis,
GBS (Guillan Barre’s Syndrome), Paraplegia, transverse myelitis, dll.
Kelumpuhan pada penderita AFP dapat disertai dengan gejala penyakit lain,
seperti kejang, demam, diare, ataupun tanpa penyakit penyerta. Bersifat tidak
permanent, jadi akan menghilang seiring dengan hilangnya penyakit penyerta.
Jika masih ada sisa kelumpuhan setelah penyakit penyerta hilang, maka biasanya
diambil langkah fisioterapi untuk pemulihan syaraf-syaraf yang mengalami
kelumpuhan.
2. Epidemiologi
Penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 2 diantara anak usia < 15 tahun. Target
minimal penemuan penderita AFP pada tahun 2012 sebanyak 172 penderita. Di
Jawa Tengah menururut data pada tahun 2012 menemukan 196 penderita AFP, data
ini membuktikan bahwa terjadi penurunan penderita dibandingan pada tahun 2011
(215 orang). Menurut hasil pemeriksaan laboratorium, dari 196 kasus yang
diperiksa semua menunjukan negatif polio (berarti tidak ditemukan virus polio).
3. Etiologi
Penyebab utama lumpuh layu akut adalah virus. Penyebab tersering adalah virus
polio dan GBS (Guillane Bare Syndrom). Penyebab lain terjadinya lumpuh layu
akut atau AFP adalah mumps virus (gondongan), epstein-Barr virus, Humam
Immunodeficiency virus (HIV), dan West Neilevirus. Host atau faktor lingkungan
secara signifikan dapat mempengaruhi terjadinya AFP. Lingkungan yang tidak
sehat dan higienitas hidup yang kurang baik dapat menimbulkan AFP, selain faktor
‘immune regulated’. Lingkungan yang tidak sehat dan tidak higienis tersebut dapat
menyebabkan virus dan bakteri penyebab dengan mudah menyerang orang yang
tinggal di lingkungan tersebut.
Susunan saraf manusia terbagi menjadi dua, yaitu susunan saraf pusat atau upper
motor neuron/UMN ( dari batang otak hingga sumsum tulang belakang/medula
spinalis yang disebut dengan jaras kortikospinal), dan susunan syaraf tepi atau
lower motor neuron/ LMN (dari kornu anterior sampai otot).Kelumpuhan tipe
LMN mempunyai ciri-ciri flacid, atoni, atrofi, fasikulasi, reflek fisiologis menurun
tapi tidak ditemukan reflek patologis.

Lower Motor Neuron (LMN) Upper Motor Neuron (UMN)


flaccid Spasticity(kaku)
Reflek fisiologis menurun/hilang Reflek fisiologis meningkat
Reflek patologis negatif Reflek patologis positif
Pengecilan otot Tidak ada pengecilan otot kecuali sudah
lama

4. Patofisologi
Mulut adalah portal masuknya virus. Virus ada di bertahan di faring dan saluran
pencernaan. Virus ini biasanya ada di tenggorokan dan ditinja sebelum timbulnya
penyakit. Satu minggu setelah onset, ada sedikit virus di tenggorokan, tetapi virus
terus diekskresikan dalam tinja selama beberapa minggu. Virus menyerang jaringan
limfoid lokal, memasuki aliran darah, dan kemudian dapat menginfeksi sel-sel
sistem saraf.
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada AFP atau lumpuh layu akut adalah munculnya kelumpuhan yang
mendadak, gangguan gaya berjalana, kelemahan atau gangguan koordinasi dari satu
atau beberapa anggota gerak tubuh, lesi yang timbul berkaitan dengn LMN (Lower
Motor Neuron). Lesi pada LMN dapat mengenai kornu anterior (Poliomeilitis,
atrofi otot), radiks, akson, mielin (Sindrom Guillain Bare), neuromuscular junction
atau pada otot dan syaraf (Miastenia Gravis), ataupun mengenai otot itu sendiri
(Gambar1). Lesi tersebut merusak motor neuron, akson, motor end plate, dan otot
skeletal sehingga tidak terdapat gerakan atau rangsangan motorik yang
disampaikan ke motor neuron. Kelumpuhan tersebut sesuai dengan gejala lower
motor neuron yaitu :
1. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga reflek
tendon hilang dan reflek patologik tidak muncul.
2. Tonus otot hilang.
3. Musnahnya motor neuron beserta akson sehingga satuan
motorik hilang dan terjadi atrofi otot.

Gambar.1
Tanda-tanda AFP atau lumpuh layu akut harus dievaluasi klinis secara lengkap
dengan pemeriksaan neurologis, pemeriksaan kekuatan motorik, reflek tendon,
fungsi syaraf cranial, dan fungsi sensoris. Pemeriksaan laboratorium perlu
dilakukan untuk melihat laju sedimen sel darah merah dan pemeriksaan
elektrofisiologi diperlukan untuk kepentingan diagnosis dan prognosis dari
penyakit motor neuron.

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
 Menilai distribusi dan derajat kelemahan
o Skor kelemahan otot (0-5)
o Periksa otot-otot ekstraokular (ptosis), otot-otot fasial, leher,
lengan dan tungkai
o Gambarkan pola kelemahan yang terjadi (paraparesis,
multifokal)
 Gangguan sensorik
o Terhadap modalitas tertentu (getaran/propioseptif,
nyeri/protopatik)
 Refleks-refleks
o Adakah penurunan atau peningkatan refleks
 Gambaran umum
o Tes fungsi otonom (refleks pupil, keringat yang abnormal,
respons pupil, ileus)
o Kulit: ruam pada penyakit lyme (eritema kronis migrans),
garis-garis kuku pada keracunan arsen (Mee’s Line), foto-sensitif
dan tik
o Nyeri tekan spinal (pada abses epidural atau hematom, tumor
spinalis)
o Nyeri saat tungkai diangkat (radikulopati)
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fungsi lumbal dan cairan serebrospinal diindikasikan untuk
menyingkirkan adanya infeksi bakteri pada sistem saraf, infeksi bakteri ditunjukkan
dengan adanya netrofil, tingkat glukosa yang rendah dan kandungan protein yang
tinggi. Pemeriksaan kultur bakteri akan mengidentifikasi adanya mikroorganisme
spesifik. Pencitraan tulang belakang seperti radiografi, CT-Scan atau magnetic
resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menyingkirkan adanya kompresi
tulang belakang, mielopati, atau neoplasma poliradikulopati spondilosis.
Pemeriksaan elektrocardiogram dapat mengidentifikasi adanya gangguan
metabolisme elektrolit seperti kelumpuhan periodik yang diakibatkan oleh keadaan
hipovolemi.
Pada pemeriksaan kelumpuhan, harus ditentukan derajat (grading)
kelumpuhan. Kekuatan motorik dinilai dengan skala 0-5:
 Skala 5: kekuatan motorik normal, dapat berjalan, berlari,
dan sebagainya, serta dapat menahan tahanan maksimal yang
diberikan pemeriksa.
 Skala 4: dapat melawan tahanan namun tidak maksimal,
anak dapat berjalan dan berlari namun tidak cepat dan mudah
jatuh.
 Skala 3: anak dapat mengangkat tungkai namun tidak dapat
melawan tahanan.
 Skala 2: ekstremitas tidak dapat diangkat namun masih dapat
digeser.
 Skala 1: hanya terdapat kontraksi otot namun ektremitas
tidak dapat digerakan.
 Skala 0: tidak dapat digerakan sama sekali dan tidak terdapat
kontraksi otot.
Pada bayi atau balita, derajat kekuatan motorik lebih sulit ditentukan
karena belum kooperatif. Observasi dan pemeriksaan perlu dilakukan lebih
teliti dengan mengangkat ektremitas, melawan gravitasi, menilai tonus,
melihat simetrisitas gerakan. Untuk menilai kelemahan otot, anak dapat
diminta duduk dilantai dan kemudian berdiri. Anak yang tidak mampu
langsung berdiri, atau berdiri sambil merambat pada kakinya umumnya
menandakan kelemahan otot. Ini merupakan gower sign merupakan tanda
distrofi muskular (gambar 2).

Cara anak berjalan atau berdiri harus diperhatikan. Anak dapat diminta untuk
berjalan jinjit atau jalan bertumpu pada tumit. Anak yang mengalami lesi LMN atau
masalah neuromuskular umumnya tidak dapat jalan jinjit atau jalan dengan tumit.
Dalam posisi terlentang ditempat tidur, posisi seorang bayi yang mengalami
lumpuh layu akut terlihat seperti katak (frog leg posisition), dengan sedikit gerakan,
lutut menyentuh tempat tidur, hipotoni, dan tidak dapat melawan gravitasi (Gambar
3).
6. Tatalaksana
Tatalaksana bersifat suportif. Sindrom Gullian-Barre memerlukan terapi
IVIG 0,4 gram / kgBB/hari selama 5 hari bertutur-turut. Miastenia gravis
memerlukan terapi antikolinestrase yaitu piridostigmin bromide 4-7
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4-6 dosis. Pada paralisis karena toksin
botulinum, dapat diberikan antibiotik penisilin dan antibiotik untuk anak
yang lebih besar. Untuk kasus yang disebabkan oleh poliomyelitis akut,
tidak terdapat antivirus khusus. Myositis memerlukan terapi kortikosteroid.
Terapi penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
 Pemberian analgetik jika terdapat myalgia atau sakit kepala
 Ventilasi mekanik untuk pasien dengan paralisis bulbar
 Trakeostomi untuk pasien yang membutuhkan ventilasi
mekanik jangka Panjang
 Terapi fisik berupa mobilisasi untuk mencegah kontraktur
dan ulkus decubitus dan latihn gerakan pasif-aktif saat periode
konvalesen.
Diagnosis Banding AFP

1. POLIOMIELITIS

Sinonim : Acute anterior poliomeilytis, infantile paralysis, penyakit Heine dan


meidin. Poliomielitis (paralysis infantile, penyakit Heine Medin) pada masa
lampau, selama bertahun-tahun, merupakan salah satu penyakit infeksi yang sangat
ditakuti karena dapat mengakibatkan kelumpuhan menetap. Penyakit ini telah
dikenal sejak zaman purbakala, namun baru pada tahun 1840 dengan tegas
didefenisikan sebagai satu entitas klinis oleh seorang ahli ortopedi berkebangsaan
Jerman.
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan
oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus
(PV), masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan
melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis).
Virus polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka terhadap
formaldehid dan larutan klor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi pada
keadaan beku dapat bertahan bertahun-tahun. Ketahanan virus di tanah dan air
sangat bergantung pada kelembaban suhu dan mikroba lainnya. Virus ini dapat
bertahan pada air limbah dan air permukaan bahkan hingga berkilo-kilo meter dari
sumber penularan. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan
oleh virus polio dari penderita infeksius
Penularan virus terjadi melalui beberapa cara :
1. Secara langsung dari orang ke orang
2. Melalui percikan ludah penderita
3. Melalui tinja penderita
Virus masuk melalui mulut dan hidung, berkembang biak di dalam tenggorokan
saluran cerna, lalu diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan
pembuluh getah bening. Resiko terjadinya polio :
1. Belum mendapatkan imunisasi
2. Bepergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio
3. Kehamilan
4. Usia sangat lanjut atau sangat muda
5. Luka di mulut/ hidung/tenggorokan

Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan berkembangbiak


dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan sistem
retikuloendotelial. Dalam keadaan ini timbul perkembeangan virus, tubuh bereaksi
dengan membentuk antibodi spesifik. Bila pembentukan zat anti tubuh mencukupi
dan cepat maka virus akan dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang
ringan atau tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut.
Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti maka akan
timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan terdapat dalam feses untuk
(7)
beberapa minggu lamanya. Berlainan dengan virus-virus lain yang menyerang
susunan saraf, maka neuropatologi poliomeilitis biasanya patognomik. Virus hanya
menyerang sel-sel dan daerah tertentu susunan saraf. Tidak semua neuron yang
terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan sekali dapat terjadi
penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala. Daerah yang
biasanya terkena pada poliomeilitis :
1. Medulla spinalis terutama kornu anterior
2. Batang otak pada nukleus vestibularis dan inti-inti saraf kranial
serta formasio retikularis yang mengandung pusat vital
3. Serebelum terutama inti-inti pada vermis
4. Midbrain terutama pada masa kelabu, substansia nigra dan
kadang-kadang nukleus rubra.
5. Talamus dan hipotalamus
6. Korteks serebri, hanya daerah motorik

Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan medulla
spinalis dan batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe Brunhilde, Lansing
dan Leon yang menyebabkan penyakit ini, yang masing-masing tidak
mengakibatkan imunitas silang. Bila seorang mengalami infeksi dengan satu jenis
virus ia akan mendapat kekebalan yang menetap terhadap virus tersebut.
Jenis-jenis Polio

1. Asimptomatik yang mempunyai presentase terbesar hanya dapat dideteksi


dengan mengisolasi virus dari feses dan oro-faring atau pemeriksaan titer
antibody.
2. Poliomyelitis Abortif Merupakan bentuk yang paling sering dari penyakit
ini. Pasien hanya menderita gejala minor, yang di tandai oleh demam,
malaise, mengantuk, nyeri kepala, mual, muntah, konstipasi, dan nyeri
tenggorokan dalam beberapa kombinasi. Pasien sembuh dalam beberapa
hari.
3. Poliomyelitis Nonparalitik mengalami kekakuan dan nyeri punggung serta
leher. Penyakit berlangsung 2-10 hari dengan kesembuhan cepat dan
sempurna. Dalam presentase kecil kasus, penyakit berlanjut menjadi
paralisis. Virus polio hanya satu dari banyak virus yang menimbulkan
meningitis aseptic.

4. Poliomyelitis Spinal Paralitik menyerang saraf tulang belakang,


menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada
batang tubuh dan otot tungkai dan gejala ini dapat menyebablan
kelumpuhan permanen yang terjaid pada kaki. Setelah poliovirus
menyerang usus, virus akan diserap oleh kapiler darah pada dinding usus
dan diangkut seluruh tubuh hingga menyerang seluruh bagian batang saraf
tulang belakang dan batang otak. Infeksi ini akan mempengaruhi system
saraf pusat dan menyebar sepanjang serabut otak.
5. Poliomyelitis Bulbar polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan
alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung neuron
motor yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, Tanpa alat bantu
pemapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima hingga
sepuluh persen penderta yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika
otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi
setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirirn
perintah bernapas ke paru-paru. Tingkat kematian karena polio bulbar
berkisar 25-75% tergantung usia penderita. Hingga saat ini, mereka yang
bertahan hidup dari polio jenis ini harus hidup dengan paru-paru besi atau
alat bantu pernapasan.

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis penyakit polio dibagi atas beberapa jenis yaitu asimtomatik,
abortif, nonparalitik dan paralitik. Sebagian besar pasien infeksi polio adalah
asimtomatik atau terjadi dalam bentuk panyakit yang ringan dan sepintas.
Poliomielitis abortif, sakit demam singkat terjadi dengan satu atau lebih gejala-
gejala berikut : malaise, anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan,
konstipasi, dan nyeri perut. Koryza, batuk, eksudat faring, diare, dan nyeri perut
lokal serta kekakuan jarang. Demam jarang melebihi 39,5 C dan faring biasanya
menunjukkan sedikit perubahan walaupun sering ada keluhan nyeri tenggorok.
Poliomielitis nonparalitik, gejala-gejalanya adalah seperti poliomielitis abortif
kecuali pada nyeri kepala, mual, dan muntah lebih parah dan ada nyeri dan
kekakuan otot leher posterior, badan dan tungkai. Paralisis kandung kencing yang
cepat menghilang sering dijumpai dan konstipasi sering ada. Sekitar dua pertiga
anak mengalami jeda bebas gejala antara fase pertama (sakit minor) dan fase kedua
(sakit sistem saraf sentral atau sakit mayor).
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda kaku kuduk-spina dan perubahan pada
refleks superfisial dan dalam. Pada penderita yang kooperatif tanda-tanda kaku
kuduk-spina mulai dicari dengan tes aktif. Jika diagnosis masih tidak pasti, upaya
yang harus dilakukan untuk memperoleh kernig dan Brudzinki.
Poliomeilitis Paralitik, manifestasinya adalah manifestasi poliomeilitis nonparalitik
yang disebutkan satu per satu ditambah dengan satu atau lebih kelompok otot,
skelet atau cranial. Gejala-gejala ini dapat disertai dengan jeda tanpa gejala
beberapa hari dan kemudian pada puncak berulang dengan paralisis paralysis
flaksid merupakan ekspresi klinis cedera neuron yang paling jelas. Terjadinya atrofi
muskuler disebabkan oleh denervasi ditambah atrofi karena tidak digunakan. Nyeri,
spastisitas, kaku kuduk dan kekakuan spinal, serta hipertoni pada awal penyakit
mungkin karena lesi batang otak, ganglia spinalis, dan kolumna posterior
Pada pemeriksaan fisis distribusi paralysis khas kadang-kadang tidak. Untuk
mendeteksi kelemahan otot ringan, sering perlu memakai tahanan halus dalam
melawan kelompok otot yamh sedang diuji. Pada bentuk spinal ada kelemahan
beberapa otot leher, perut, batang tubuh, diafragma, thoraks, atau tungkai.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk
memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap contoh tinja untuk mencari
poliovirus dan pemeriksaan terhadap darah untuk menentukan titer antibodi.
Pembiakan virus diambil dari lendir tenggorokan, tinja atau cairan serebrospinal.
Pemeriksan rutin terhadap cairan serebrospinal memberikan hasil yang normal atau
tekanan, protein serta sel darah putihnya agak meningkat.

Pengobatan
Pengobatan belum ada pengobatan kausal pada penyakit polio, namun poliomielitis
dapat dicegah melalui vaksinasi. Vaksinasi polio dengan virus yang dinonaktifkan
(salk) mulai digunakan pada tahun 1955, dan vaksinasi dengan virus hidup yang
dijinakkan (sabin) mulai banyak dipakai sejak tahun 1962. vaksin oral trivalent
diperkenalkan pada tahun 1963 dan banyak digunakan sampai saat ini.
Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala ringan dan
menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang memiliki
sanitasi baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak menderita polio
ketika masih kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan
polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang
dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami
gejala tambahan di masa depan seperti layuh otot; gejala ini disebut sindrom post-
polio.

Komplikasi
Komplikasi yang paling berat adalah kelumpuhan yang menetap. Kelumpuhan
terjadi sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi kelemahan satu atau
beberapa otot, sering ditemukan. Kadang bagian dari otak yang berfungsi mengatur
pernafasan terserang polio, sehingga terjadi kelemahan atau kelumpuhan pada otot
dada. Beberapa penderita mengalami komplikasi 20-30 tahun setelah terserang
polio. Keadaan ini disebut sindroma post-poliomielitis, yang terdiri dari kelemahan
otot yang progresif, yang seringkali menyebabkan kelumpuhan.

2. SINDROMA GUILLAIN-BARRE (SGB)


Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup
sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan
penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa
keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai
prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini,
yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis,
Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

Definisi
Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending
dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.
Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk
mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur
dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun
didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan
dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan
Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi
sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai
usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan
paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data
di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d
Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain:
 Infeksi
 Vaksinasi
 Pembedahan
 Kehamilan atau dalam masa nifas
 Penyakit sistematik:
o Keganasan
o systemic lupus erythematosus
o Tiroiditis
o penyakit Addison

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.
Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling
sering adalah infeksi virus.
Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia

Gejala klinis dan kriteria diagnosa


Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului
parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung
cepat,maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu,
80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral.
Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-
otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler
atau saraf otak lain
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dangejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan
pada LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:
 Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu
 gejala
 Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:


 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang 60% dari normal
Terapi
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus
adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan\ melalui
sistem imunitas (imunoterapi).

Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).

Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
 6 merkaptopurin (6-MP)
 Azathioprine
 cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
Prognosa
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara
lian:
 pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
 mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
 progresifitas penyakit lambat dan pendek
 pada penderita berusia 30-60 tahun

3. MIASTENIA GRAVIS
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang mengganggu
sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi
tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung
acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari
saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan
menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu
dan menyebabkan kelemahan otot.

Penyebab
Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang menyerang reseptor
acetylcholine belum diketahui. Tapi pada sebagian besar pasien, kerusakan kelenjar
thymus menjadi penyebabnya. Maka itu kebanyakan si penderita akan menjalani
operasi thymus. Tapi setelah thymus diangkat juga belum ada jaminan penyakit
autoimun ini akan sembuh.
Thymus adalah organ khusus dalam sistem kekebalan yang memproduksi antibodi.
Organ ini terus tumbuh pada saat kelahiran hingga pubertas, dan akan menghilang
seiring bertambahnya usia. Tapi pada orang-orang tertentu, kelenjar thymus terus
tumbuh dan membesar, bahkan bisa menjadi ganas dan menyebabkan tumor pada
kelenjar thymus (thymoma). Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem
kekebalan belajar membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga
berisi sel otot (myocytes) dengan reseptor acetylcholine.

Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada
jumlah normal akan
Mengakibatkan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan
oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di
dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR
dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR
bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya,
yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita
Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada mencit
tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan penting
dalam etiology penyakit ini.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan
toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini,
Myasthenia Gravisdianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena
sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru
menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting
pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis.Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya penderita Myasthenic mengalami hiperplasiathymic dan thymoma.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran
presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena
kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar
sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate
dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat
ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih
kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar
timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda
cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan
neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial
unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus Pembuktian etiologi oto-
imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai
hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang
abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada
penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa
kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya5.

Klasifikasi
Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB)
of the Miastenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi
miastenia gravis menjadi 5 kelas utama dan beberapa subclass, sebagai
berikut :

 Kelas I : adanya keluhan otot-otot ocular, kelemahan pada saat


menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal
 Kelas II : terdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah,
serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot
ocular.

Kelas II a : mempengaruhi otot-otot aksial, anggota


tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot
orofaringeal yang ringan Kelas II b : mempengaruhi otot-
otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot
aksial lebih ringan dibandingkan kelas II a
 Kelas III : terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular,
sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami
kelemahan tingkat sedang
Kelas III a : mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-
otot aksial atau keduanya secara predominan. Terdapat
kelemahan otot orofaringeal yang ringan
Kelas III b : mempengaruhi otot faringeal, otot-otot
pernapasan, atau keduanya secara predominan.
Terdapatnya kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam
derajat ringan
 Kelas IV : otot-otot selain otot-otot ocular mengalami kelemahan
dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot ocular mengalami
kelemahan dalam berbagai derajat
Kelas IV a : secara predominan mempengaruhi otot-otot
anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal
mengalami kelemahan dalam derajat ringan
Kelas IV b : mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot
pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu
juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat
ringan.Penderita menggunakan feeding tube tanpa
dilakukan intubasi.
 Kelas V : penderita ter-intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik

Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi menjadi

1. Ocular miastenia : terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan


diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian
2. Generalized miastenia
a) Mild generalized miastenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan
meluas ke otot-otot skelet dan bulber.System pernafasan tidak
terkena.Respon terhadap otot baik.
b) Moderate generalized miastenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar, respon
terhadap obat tidak memuaskan
3. Severe generalized miastenia
Acute fulmating miastenia : permulaan cepat, kelemahan hebat dari
otot-otot pernapasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6
bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita
terbatas dan mortalitas tinggi.
4. Late severe miastenia : timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I
dan II progresif dari miastenia gravis dapat pelan- pelan atau mendadak,
presentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan
prognosis jelek

Tanda Dan Gejala


Myasthenia Gravis ditandai dengan kelemahan pada otot, yang memburuk ketika
digerakkan dan membaik ketika beristirahat. Karakteristik yang lain adalah sebagai
berikut : Kelemahan otot ekstra okular (Extra Ocular Muscle) atau biasa disebut
Ptosis. Kondisi ini terjadi pada lebih dari 50% pasien. Gejala ini seringkali menjadi
gejala awal dari Myasthenia Gravis, walaupun hal ini masih belum diketahui
penyebabnya. Kelemahan otot menjalar ke otot-otot okular, fascial dan otot-otot
bulbar dalam rentang minggu sampai bulan. Pada kasus tertentu kelemahan EOM
bisa tetap bertahan selama bertahun-tahun Sebagian besar mengalami kelemahan.
Perbaikan secara spontan sangat jarang terjadi, sedangkan perbaikan total hampir
tidak pernah ditemukan.

Gejala-gejala miastenia gravis pada pasein usia produktif antara lain


 Kelopak mata turun sebelah atau layu (asimetrik ptosis)
 Penglihatan ganda
 Kelemahan otot pada jari-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi
tidak disertai gejala stroke lainnya)
 Gangguan menelan
 Gangguan bicara
 Dan gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory
paralysis), yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir

 Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat, tetapi bisa


muncul kembali bila otot kembali beraktifitas. Penyakit miastenia gravis ini
bisa disembuhkan tergantung kerusakan sistem saraf yang dialami.
 Bisa terjadi kesulitan dalam berbicara dan menelan serta kelemahan pada
lengan dan tungkai.
 Kesulitan dalam menelan seringkali menyebabkan penderita tersedak.
 Yang khas adalah otot menjadi semakin lemah. Penderita mengalami
kesulitan dalam menaiki tangga, mengangkat benda dan bisa terjadi
kelumpuhan.
 Sekitar 10% penderita mengalami kelemahan otot yang diperlukan untuk
pernafasan (krisis miastenik).

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu jika seseorang mengalami
kelemahan umum, terutama jika melibatkan otot mata atau wajah, atau kelemahan
yang meningkat jika otot yang terkena digunakan atau berkurang jika otot yang
terkena diistirahatkan.
Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan
pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang paling sering digunakan untuk
pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena, maka untuk
sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada penderita miastenia gravis.
Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah penilaian fungsi otot dan saraf dengan
elektromiogram dan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi
terhadap asetilkolin.
Beberapa penderita memiliki tumor pada kelenjar timusnya (timoma), yang
mungkin merupakan penyebab dari kelainan fungsi sistem kekebalannya. CT scan
dada dilakukan untuk menemukan adanya timoma.
Pengobatan
Memberi obat-obatan yang bisa menekan reaksi autoimun atau antibodi yang
menyerang acetylcholine

 Cuci darah atau hemodialisis, dengan menyaring antibodi dan membuatnya


tidak aktif lagi
 Pada penderita thymoma, maka tumor pada kelenjar thymus harus dioperasi
 Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan
pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang paling sering digunakan untuk
pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena, maka
untuk sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada penderita
miastenia gravis.
Prognosis
Prognosis AFP berdasarkan masing-masing penyebab dan penanganan.
Penanganan yang baik akan memberikan prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Behman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of pediatrics,
17th edition. Philadelphia: WB Sauders company. 2004, page 833-40

Pedoman surveilans Acute Flaccide Paralysis . Departemen Kesehatan RI,


Jakarta, 2007

Handryastuti S, Menuju Tumbuh Kembang Anak Yang Optimal. IDAI.


2013

Soetomenggolo Taslim S. Ismael Sofyan. Buku Ajar Neurologi Anak.


Cetakan ke-2. Jakarta, 1999:190-241

Profil Kesehatan Indonesia. Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2015


Notulonsi diskusi untuk pertanyaan Referat

1. apa sajakah diagnosa penyakit yang dapat di golong kan dalam kasus AFP?
2. apa saja indikasi dari dilakukannya pemeriksaan penunjang pada kasus afp?
3. adakah terapi suportif yang di berikan pada kasus afp selain terapi penunjang ya
ng di lakukan?
4. pemeriksaan apa yang bisa dilakukan pada anak agar kita dapat mengetahui bah
wa lesi itu adalah lesi LMN
5. adakah penyebab lain selain polio virus dan gbs yang terjadi pada kasis afp?
6. apakah afp dapat menular?

Jawaban
1. poliomyelitis, GBS, parapeliga, toksin botolirum, miastenia gravis dan masih
banyak lagi
2. LP: menyngkirkan adanya infeksi bakteri pada system syaraf
KB : mengidentifikasi adanya mikroorganisme spesifek
CT/MRI : meningkirkan adanya kompresi tulang belakang, neoplasma dll
ECG: adanya gangguan metabolisme elektrolit , kelumpuhan periodic
3. terapi suportif dilakkan tergantung dari penyakit yang dialami dari kasus AFP
4. Anak I perintahkan untuk jalan jinjit atau jalan bertumpu dengan tumit jika
anak tidak bias melakukannya kemngkinan besar lesinya ada lesi LMN
5. Virus lain seperti virus HIV, MUMPS, EPSTEIN BAR, dan WEST NELLE
virus
6. bias jika dilihat dari penyebab tersering AFP adalah virus polio, virus polio
sendiri bias menular melalui droplet

Anda mungkin juga menyukai