Disusun Oleh :
Difa Adillah Syafana Putri Chandra
204201516032
RA
Latar Belakang
Di Indonesia pada tahun 2013 terdapat 11.521 kasus campak, lebih rendah 30%
dibandingkan tahun sebelumnya (15.987 kasus). Jumlah kasus meninggal sebanyak 2 kasus,
yang dilaporkan dari provinsi Aceh dan Maluku Utara. Angka kejadian kasus baru (Incidence
rate/IR) campak pada tahun 2013 sebesar 4,64 per 100.000 penduduk, menurun dibandingkan
tahun 2012 yang sebesar 6,53 per 100.000 penduduk.
Campak dinyatakan sebagai KLB apabila terdapat 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu
4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan
epidemiologis. Pada tahun 2013, jumlah KLB campak yang terjadi sebanyak 128 KLB dengan
jumlah kasus sebanyak 1.677 kasus. Berdasarkan konfirmasi laboratorium, 24 kejadian
(18,8%) diantaranya merupakan rubella. Frekuensi KLB campak tertinggi terjadi di Banten
sebanyak 36 KLB dengan 247 kasus. Namun provinsi dengan jumlah kasus terbanyak terjadi
di Lampung yaitu sebesar 309 kasus pada 8 KLB. Diikuti Jawa Barat sebanyak 18 KLB dengan
205 kasus dan Sumatera Barat serta Jawa Tengah masing-masing 9 KLB. Jumlah kasus yang
meninggal pada KLB campak tersebut hanya satu kasus yang dilaporkan dari Maluku Utara.
Analisis Situasi
Campak adalah salah satu penyakit yang paling menular bahkan dapat menyebabkan
komplikasi seumur hidup yang serius dan kematian. Sebelum ketersediaan vaksin campak,
campak menginfeksi lebih dari 90% anak-anak sebelum mereka mencapai usia 15 tahun.
Vaksin campak selama tahun 2000 hingga 2013 menurunkan angka kematian akibat campak
hingga 75 % atau sekitar 15,6 juta jiwa. Namun demikian, walaupun vaksin campak telah
tersedia dengan cakupan imunisasi mencapai 84 % anak-anak di dunia telah menerima satu
dosis vaksin sebelum ulang tahun pertamanya di pusat pelayanan kesehatan, campak masih
menjadi salah satu penyebab kematian pada anak-anak, 16 kematian setiap jam atau 400
kematian per hari atau 145700 kematian karena campak didunia pada tahun 2013.
Berikut adalah peta kasus campak selama Juni-November 2014. Berdasarkan peta di bawah
ini, ada tujuh negara di benua Afrika dan Asia termasuk Indonesia memiliki kasus campak
lebih dari 1000 kasus dan ada 28 negara yang memiliki kasus campak berkisar antara 100-999
kasus dalam 6 bulan terakhir (Juni 2014-November 2014) dan negara ini pun mempunyai
cakupan imunisasi campak masih dibawah 90 %. Cakupan imunisasi campak yang mencapai
lebih dari 90 % umumnya pada negara maju seperti benua Eropa, Australia dan Amerika, dan
sebagian di benua Asia dan Afrika pada tahun 2013. Dalam Rencana Aksi Vaksin Global,
campak dan rubella menjadi target untuk dihapuskan di 5 negara dalam regional WHO.
Kematian akibat campak berkurang lebih dari tiga perempat di semua wilayah WHO kecuali
Asia Tenggara.
Di Indonesia pada tahun 2013 terdapat 11.521 kasus campak, lebih rendah dibandingkan tahun
2012 yang sebesar 15.987 kasus. Jumlah kasus meninggal sebanyak 2 kasus, yang dilaporkan
dari provinsi Aceh dan Maluku Utara. Angka kejadian kasus baru (Incidence rate/IR) campak
pada tahun 2013 sebesar 4,64 per 100.000 penduduk, menurun dibandingkan tahun 2012 yang
sebesar 6,53 per 100.000 penduduk. Campak dinyatakan sebagai KLB apabila terdapat 5 atau
lebih kasus klinis dalam waktu 4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan
dibuktikan adanya hubungan epidemiologis. Pada tahun 2013, jumlah KLB campak yang
terjadi sebanyak 128 KLB dengan jumlah kasus sebanyak 1.677 kasus. Berdasarkan konfirmasi
laboratorium, 24 kejadian (18,8%) diantaranya merupakan rubella. Frekuensi KLB campak
tertinggi terjadi di Banten sebanyak 36 kejadian dengan 247 kasus. Namun provinsi dengan
jumlah kasus terbanyak terjadi di Lampung yaitu sebesar 309 kasus pada 8 KLB. Diikuti Jawa
Barat sebanyak 18 KLB dengan 205 kasus dan Sumatera Barat serta Jawa Tengah masing-
masing 9 KLB. Jumlah kasus yang meninggal pada KLB campak tersebut hanya satu kasus
yang dilaporkan dari Maluku Utara.
PENULARAN
Penularan dapat terjadi melalui udara dengan penyebaran droplet, batuk, bersin, kontak
langsung, sekret hidung atau tenggorokan dari orang-orang yang terinfeksi dan agak jarang
melalui benda-benda yang terkena sekresi hidung atau sekresi tenggorokan. yang telah
terkontaminasi oleh droplet (ludah) orang yang 74 telah terinfeksi.virus sangat aktif dan
menular di udara atau pada benda-benda yang terkena virus sampai 2 jam. Masa penularan
berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala prodromal (sekitar 4 hari
sebelum timbulnya ruam) sampai 4 hari setelah timbul ruam; minimal setelah hari kedua
timbulnya ruam. Semua orang yang belum pernah terserang penyakit ini dan belum pernah
diimunisasi rentan terhadap campak. Imunitas yang didapat setelah sakit bertahan seumur
hidup.
PENCEGAHAN
1. Pencegahan Primer
2. Pencegahan Sekunder
a. Pengobatan terpadu
Pengobatan terhadap campak sesuai dengan gejala yang muncul. Penderita
tanpa komplikasi diberikan antipiretik dan pemberian vitamin A dosis tinggi sesuai
usia. Jika ada komplikasi anjurkan penderita dirawat di Puskesmas atau di Rumah
Sakit. Pengobatan komplikasi di sarana pelayanan kesehatan dengan pemberian
antibiotik tergantung berat dan ringannya komplikasi, bila keadaan penderita cukup
penderita cukup berat segera rujuk ke Rumah Sakit. Kasus yang terkena penyakit
campak, diisolasi, untuk memutuskan rantai penularan pada orang lain.
Pemberian vitamin A :
Diberikan sebanyak 2 kapsul (kapsul pertama diberikan saat penderita diberikan
keesokan harinya, dosis sesuai umur penderita). Pemberian vitamin A diutamakan
untuk penderita campak, jika persediaan vitamin A mencukupi, sebaiknya juga
diberikan pada yang tidak terkena kasus campak seperti di bawah ini :
1) Umur 0-6 bulan, bagi bayi yang tidak mendapatkan ASI, diberikan vitamin
A sebanyak satu kapsul 50.000 IU pada saat penderita ditemukan, dan
kapsul ke dua diberikan keesokan harinya. 2
2) Umur 6-11 bulan, pada saat penderita ditemukan, diberikan vitamin A
sebanyak 100.000 IU, dan kapsul diberikan pada hari kedua.
3) Umur 12-59 bulan, saat penderita ditemukan, diberikan vitamin A sebanyak
1 kapsul 200.000 IU, dan kapsul kedua diberikan pada hari kedua b.
Imunisasi ulang Di Indonesia, pada tahap reduksi, dimana menurunkan
angka kematian campak sebesar > 95 % pada tahun 2015 dengan
meningkatkan cakupan imunisasi pertama > 90% dan imunisasi kedua pada
semua anak dilakukan.
Di Amerika Serikat sebagai tambahan terhadap imunisasi rutin imunisasi
ulang diberikan pada anak-anak yang baru masuk sekolah, SMA, perguruan
tinggi atau kepada mereka yang akan masuk ke fasilitas 77 perawatan penderita,
kecuali bagi mereka yang memiliki riwayat pernah terkena campak atau ada
bukti serologis telah memiliki imunitas terhadap campak atau telah menerima 2
dosis vaksin campak. Bagi mereka yang hanya menerima vaksin campak yang
telah diinaktivasi, imunisasi ulang dapat menimbulkan reaksi lebih berat seperti
bengkak lokal dan indurasi, limfadenopati dan demam, namun mereka akan
terlindungi terhadap sindrom campak atipik.
3. Pencegahan Tersier
Pecegahan tersier campak dapat dilakukan dengan pengobatan yang rutin dan
rehabilitasi terhadap penderita.
KESIMPULAN
Campak adalah salah satu penyakit yang paling menular dan dapat menyebabkan
komplikasi seumur hidup yang serius dan kematian. Disebabkan oleh virus campak golongan
Paramyxovirus dengan gejala demam tinggi, pilek,mata merah, bintik-bintik putih kecil di
bagian dalam mulut dan disertai ruam. Virus campak cepat tidak aktif oleh panas, cahaya, pH
asam, eter dan tripsin. Ditularkan melalui udara dengan penyebaran droplet, batuk, bersin,
kontak langsung, sekret hidung atau tenggorokan dari orang-orang yang terinfeksi.
Semua orang yang belum pernah menderita campak dan belum pernah imunisasi
campak rentan terhadap penularan penyakit ini, oleh karena itu dibutuhkan imunisasi agar
dapat menaikkan tingkat imunitas tubuh. Mayoritas kematian akibat campak terjadi di negara-
negara dengan pendapatan perkapita yang rendah dan infrastruktur kesehatan yang tidak
memadai . Pada anak-anak yang kekurangan gizi dan orang-orang dengan kekebalan tubuh
kurang, campak dapat menyebabkan komplikasi serius, termasuk kebutaan, ensefalitis, diare
berat, infeksi telinga dan pneumonia.
Cara pencegahan yang efektif untuk memberantas campak adalah dengan pemberian
imunisasi terutama pada semua anak-anak dan daerah yang endemik campak, serta pemberian
antipiretik dan vitamin A dosis tinggi sesuai usia.
SURVAILENS EPIDEMIOLOGI JANTUNG KORONER
FAKTOR RISIKO TERJADINYA PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PASIEN
RUMAH SAKIT UMUM MEURAXA BANDA ACEH
Latar belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan salah satu bentuk penyakit kardiovaskular yang
menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. PJK adalah suatu penyakit degeneratif yang
berkaitan dengan gaya hidup, dan sosial ekonomi masyarakat. 1 Penyakit ini merupakan
problem kesehatan utama di negara maju. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari
7 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002. Angka ini diperkirakan
meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Di Indonesia telah terjadi pergeseran
kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah dari urutan ke-l0 tahun 1980 menjadi urutan
ke-8 tahun 1986. Sedangkan penyebab kematian tetap menduduki peringkat ke-3. Meski belum
ada data epidemiologis pasti, angka kesakitan/kematiannya terlihat cenderung meningkat.
Hasil Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1.000 penduduk Indonesia
menderita PJK.
Penyempitan arteri koroner ini biasa disebut arteriosclerosis, dan salah satu bentuk
arteriosclerosis adalah penyempitan karena lemak jenuh, yang disebut atherosclerosis. Dalam
proses ini, lemak-lemak terkumpul di dinding arteri dan penebalan ini menghasilkan
permukaan yang kasar pada dinding arteri dan juga penyempitan arteri koroner. Hal ini
membuat kemungkinan adanya penggumpalan darah pada bagian arteri yang menyempit ini.
Jika darah terus menggumpal, maka tidak ada lagi darah yang bisa mengalir karena darah ini
diblok oleh gumpalan darah yang sudah menjadi keras.
Faktor risiko PJK dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu faktor risiko yang dapat
dikurangi, diperbaiki atau dimodifikasi, dan faktor risiko yang bersifat alami atau tidak dapat
dicegah. Faktor risiko yang tak dapat diubah adalah usia (lebih dari 40 tahun), jenis kelamin
(pria lebih berisiko) serta riwayat keluarga. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi, antara lain
dislipidemia, diabetes melitus, stres, infeksi, kebiasaan merokok, pola makan yang tidak baik,
kurang gerak, Obesitas, serta gangguan pada darah (fibrinogen, faktor trombosis, dan
sebagainya).
Makanan memegang peranan penting dalam kaitannya dengan kejadian PJK. Komposisi
kandungan zat-zat gizi dalam makanan dapat berpengaruh terhadap tingginya kadar lemak
dalam darah. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan pola makan dapat
mempengaruhi kadar lemak darah, berarti pula mempengaruhi terjadinya PJK. Penelitian yang
dilakukan di India terhadap 621 pasien dengan risiko utama PJK mendapat kenyataan bahwa
mengubah diet, meningkatkan aktifitas, dan menurunkan berat badan selama 1 tahun, dapat
mengurangi kejadian PJK sampai dengan 58,5%.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik. Pendekatan dengan
melakukan perbandingkan subjek yang menderita PJK dengan subjek yang bukan menderita
PJK, kemudian kedua kelompok tersebut dilakukan pengukuran Indek Masa Tubuh (IMT) dan
wawancara dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan data kadar kolesterol total, kolesterol
HDL, kolesterol LDL dan trigliserida diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium rumah
sakit setempat. Penelitian dilaksanakan pada Rumah Sakit Umum Meuraxa Banda Aceh pada
bulan Juli 2015. Populasi penelitian semua pasien yang datang ke Rumah Sakit Umum
Meuraxa Banda Aceh.
1. Subjek Penderita PJK
penelitian pada penelitian ini pasien yang ada di Rumah sakit Umum Meuraxa banda Aceh,
baik rawat Inap ataupun Rawat jalan dan mempunyai catatan rekam medik dengan diagnosis
menderita PJK yang dilakukan oleh dokter Rumah Sakit setempat. kriteria untuk responden
yang dijadikan sampel penelitian adalah:
a. Pasien dengan diagnosis PJK
b. Dapat dilakukan pengukuran antropometri.
c. Dapat berkomunikasi dengan baik.
2. Subjek Bukan Penderita PJK
Kontrol adalah orang yang tidak menderita PJK yang ada di Rumah Sakit Umum Meuraxa
Banda Aceh dilakukan matching umur dan jenis kelamin dengan kelompok penderita PJK dan
kriteria inklusi:
a. Orang yang tidak menderita Penyakit Jantung Koroner dan berada di Rumah Sakit
Umum Meuraxa Banda Aceh saat dulakukan penelitian.
b. Dapat dilakukan pengukuran antropometri
c. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini
Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Lameshow,dkk.
Hasil perhitungan diperoleh besar sampel untuk kelompok kasus dalam penelitian ini
adalah sebanyak 59 orang, Perbandingan jumlah sampel kasus dan kontrol adalah 1:1, maka
besar sampel minimal secara keseluruhan yang dibutuhkan adalah 118 orang. Pengambilan
sampel penelitian pada kasus dan kontrol masing-masing sebanyak 60 orang, diawali dengan
penelusuran catatan dari registrasi pasien rawat jalan dan rawat inap yang telah di dirujuk untuk
pemeriksaan kolesterol ke laboratorium Rumah Sakit Umum Meuraxa Banda Aceh.
Untuk mengetahui hubungan obesitas, aktifitas fisik, dan kebiasaan mengkonsumsi lemak,
kebiasaan merokok, dan profil lipid darah dengan Penyakit Jantung Koroner dilakukan uji
statistik Chi-square Test, Odd Rasio dan Untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara
pasien yang PJK dengan bukan penderita PJK adalah dengan menggunakan uji statistik Student
TTest. Dengan tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 95%. Kemudian dilanjutkan
dengan uji Regresi Binary Logistic untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap
PJK.
Hasil dan Pembahasan
1. Karakteristik Subjek
Hasil analisis data pada subjek penelitian ini tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
PJK di Rumah Sakit Umum Meuraxa Banda Aceh tahun 2015 akan disajikan berikut ini:
Berdasarkan Gambar 1 di atas, distribusi kelompok umur pada subjek antara penderita PJK
dengan yang bukan PJK di RSU Meuraxa Banda Aceh tidak ada perbedaan yang besar pada
setiap kelompoknya. Sebagian besar subjek mempunyai kelompok umur 50 – 69 tahun masing-
masing 46,7% pada subjek yang menderita PJK dan 50,0% pada subjek yang bukan penderita
PJK. Untuk subjek yang mempunyai kelompok umur ≥ 70 tahun sedikit lebih tinggi (11,7%)
pada subjek PJK dibandingkan dangan subjek yang bukan menderita PJK (8,3%). PJK adalah
penyakit jantung yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah koroner, sehingga terjadi
gangguan aliran darah ke otot jantung karena aterosklerosis.
Penelitian epidemiologis dapat membuktikan adanya hubungan yang jelas antara pengaruh
keadaan sosial, kebiasaan merokok, pola diet, exercise, kolesterol, obesitas, dan perilaku dan
kebiasaan lainnya yang dapat mempengaruhi terjadinya PJK. Penelitian Whitehall Civil
Servants pads 18-240 laki-laki antara umur 40-64 tahun mendapatkan hubungan antara
miokard iskemik, faktor resiko dan kematian akibat PJK. Faktor resiko PJK yang utama adalah:
Hipertensi, Hiperkolesterolemia, dan merokok. Ketiga faktor ini saling mempengaruhi dan
memperkuat resiko PJK akan tetapi dapat diperbaiki dan bersifat reversibel bila upaya
pencegahan betul-betul dilaksanakan.6 Karakteristik subjek yang menderita PJK dan yang
bukan penderita PJK menurut pendidikan, jenis pekerjaan, dan Indek Massa Tubuh (IMT) pada
penelitian di RSU Meuraxa Banda Aceh akan di sajikan pada Tabel 1 berikut ini:
Berdasarkan Tabel 1, tingkat pendidikan mempunyai tingkat pendidikan kebanyakan berada
antara Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menegah Atas, baik pada penderita PJK ataupun
yang bukan penderita PJK. Subjek yang mempunyai pendidikan SD atau tidak sekolah pada
yang menderita PJK lebih rendah (26,7%) dibandingkan dengan yang bukan menderita PJK
(35,0%) sedangkan yang mempunyai tingkat pendidikan SMA lebih rendah pada yang bukan
menderita PJK (41,7%) dibandingkan yang menderita PJK (26,7%). Untuk jenis pekerjaan,
subjek yang menderita PJK dan yang bukan penderita PJK sebagian besar pekerjaannya adalah
PNS, wiraswasta/pedagang, dan petani, masingmasing adalah (33,3%, 26,7%, 21,7% dan
26,7%, 25,8%, 25,0%).
Subjek yang PJK mempunyai Indek Massa Tubuh ≥25 m2 (status gizi lebih)
lebih tinggi (26,7%) dibandingkan dengan subjek bukan PJK (11,7%). Sedangkan
yang mempunyai Indek Massa Tubuh <25 m2 (status gizi normal) berbanding
terbalik antara subjek yang menderita PJK dengan subjek bukan penderita PJK.
Subjek yang menderita PJK Indek Massa Tubuh <25 m2 lebih rendah (73,3%)
dibandingkan dengan subjek yang bukan penderita PJK. Hasil analisa statistic
menggunakan Chi-quare test didapat nilai p<0,05 (p;0,037), berarti pada alfa 5%
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan Indek Massa Tubuh terhadap PJK di RSU
Meuraxa Banda Aceh. Subjek yang mempunyai Indek Massa Tubuh ≥25 m2
mempunyai Risiko 2,7 kali lebih tinggi terkena PJK dibandingkan dengan subjek
dengan Indek Massa Tubuh < 25 m2 (OR;2,7,CI;1,04-7,3).
b. Aktivitas Fisik
Distribusi aktifitas fisik pada subjek terhadap PJK di RSU Meuraxa Banda Aceh
pada Tabel 6 menunjukkan bahwa, pada subjek yang menderita PJK dengan aktifitas
fisik pasif lebih tinggi (25,0%) dari pada subjek yang bukan penderita PJK (15,0%),
sedangkan untuk aktifitas fisik aktif, subjek yang bukan penderita PJK lebih tinggi
(43,3%) dibandingkan dengan subjek yang menderita PJK (31,7%). Namun aktifitas
moderat, tidak ada perbedaan yang berarti antara subjek yang menderita PJK dengan
yang bukan penderita PJK.
c. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok pada subjek yang menderita PJK lebih tinggi (45,0%)
dibandingkan dengan subjek yang bukan penderita PJK (31,7%). Sedangkan yang tidak
merokok berbanding terbalik. Subjek dengan penderita PJK proporsi yang tidak
merokok lebih rendah dibandingkan dengan subjek bukan penderita PJK. Hasil uji
statistik menggunakan Chi-quare test didapat nilai p>0,05 (p; 0,13), berarti dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok
dengan PJK di RSU Meuraxa Banda Aceh. Namun pada uji OR merokok mempunyai
risiko 1,82 kali lebih tinggi terkena PJK dibandingkan dengan subjek yang tidak
merokok (OR;1,8, CI; 0,84-3,7).
Hasil analisis data T-test didapatkan nilai p < 0,05 (p; 0,015, CI; -4,33 - 2,92), ada
perbedaan rarata kadar LDL antara subjek penderita PJK dengan subjek yang tidak
menderita PJK , dengan perbedaan reratanya adalah sebesar 17,12 mg/dl lebih tinggi
pada subjek penderita PJK. Untuk kadar HDL didapat nilai p >0,05 (p; 0,69, CI;3,35-
30,88), tidak ada perbedaan rarata kadar HDL antara subjek penderita PJK dengan
subjek yang tidak menderita PJK di RSU Meuraxa Banda Aceh.
Kesimpulan
Indek Massa Tubuh berpengaruh terhadap PJK. Subjek yang mempunyai Indek Massa
Tubuh ≥25 m2 mempunyai Risiko 2,7 kali lebih tinggi terkena PJK dibandingkan dengan
subjek dengan Indek Massa Tubuh < 25 m2 . Subjek yang mempunyai aktifitas pasif
mempunyai risiko 2,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang mempunyai aktifitas
aktif, kebiasaan merokok setiap harinya > 4 batang mempunyai risiko 3,8 kali lebih tinggi
terkena PJK dibandingkan dengan subjek dengan kebiasaan merokok hanya 1 – 2 batang.
Mengkonsumsi lemak tinggi tidak ada hubungan yang bermakna dengan PJK. Ada pengaruh
perbedaan kadar LDL.
Kolesterol, dan trigliserida terhadap terjadinya PJK. Faktor yang paling berpengaruh
terhadap terjadinya PJK adalah kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah. Saran, usaha
untuk tindakan preventif terhadap risiko PJK adalah dengan mengetahuai profil lipid darah
tidak melebihi batas ambang normal, dengan demikian pemeriksaan dan pengontrolan lipid
darah perlu dilakukan agar pengelolaan terhadap profil lipid darah dapat dilakukan dengan
baik, sehingga kejadian terhadap PJK dapat dihindari.
SURVEILENS EPIDEMIOLOGI KESEHATAN LINGKUNGAN DAN PERILAKU
PENGAWASAN AIR BERSIH DAN LIMBAH CAIR RUMAH SAKIT UMUM HIDAYAH
PURWOKERTO
Latar Belakang
Rumah sakit sebagai sarana kesehatan tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang
sehat dan dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya
pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan (Depkes RI, 2009).
Kegiatan kesehatan lingkungan rumah sakit agar terpantau secara continue maka
diperlukan salah satu kegiatan yaitu surveilans. Kegiatan surveilans meliputi kegiatan
identifikasi, analisis, intervensi, evaluasi dan publikasi.
Berdasarkan observasi awal pada tanggal 19 November 2018 yang dilakukan di Rumah
Sakit Hidayah maka diperoleh informasi bahwa hasil pemeriksaan air bersih pada tanggal 2
Mei 2018 untuk kualitas mikrobiologi masih terdapat bakteri coliform yang melebihi NAB
yaitu sebesar >2400 coloni per 100 ml standar bakteri coliform pada air bersih yaitu 50 coloni
per 100 ml dan hasil pemeriksaan limbah cair untuk kualitas mikrobiologi masih terdapat
bakteri coliform yang melebihi NAB yaitu sebesar 11 x 103 MPN/100ml standar bakteri
coliform pada limbah cair yaitu 3000 MPN/100ml berdasarkan Kemenkes
1204/Menkes/SK/X/2004.
Berdasarkan dampak atau masalah sanitasi rumah sakit ini perlu mendapat perhatian dan
melihat besarnya peranan rumah sakit dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Hidayah yang meliputi
pengawasan air bersih dan pengawasan limbah cair. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui surveilans pengawasan air bersih dan limbah cair di Rumah Sakit Umum Hidayah
Purwokerto.
Kesimpulan
Hasil Penelitian menyimpulkan bahwa :
1. Pengawasan Air Bersih Rumah Sakit Umum Hidayah Purwokerto :
a. Tenaga pengelola air bersih dari tahun 2014 terdiri dari 1 orang sebagai sanitarian
dan 2 orang sebagai cleaning service, tahun 2016 ditambah lagi 2 orang karyawan
sebagai cleaning service. Namun tenaga celaning service belum ada pelatihan
khusus mengenai pengelolaan air bersih.
b. Pembiayaan operasional air bersih rumah sakit tahun 2014 sampai 2018
dikeluarkan untuk pembayaran PDAM, pajak sumur gali, pemeriksaan air bersih
dan air dispenser untuk kebutuhan konsumsi. Namun belum ada pencatatan oleh
unit kerja yang bertanggung jawab di kesehatan lingkungan rumah sakit sebagai
mekanisme pelaporan kepada direktur.
c. Sumber air bersih yang digunakan rumah sakit dari tahun 2014 sampai 2018
berasal dari sumur gali, PDAM dan air dispenser.
d. Pemeriksaan kualitas air bersih di rumah sakit belum dilakukuan secara rutin (6
bulan) dan berdasarkan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kualitasnya
mengalami naik turun namun berdasarkan pemeriksaan terakhir tahun 2018 untuk
parameter mikrobiologi masih melebihi standar sedangkan parameter kimia dan
fisik sudah memenuhi standar.
2. Pengawasan Limbah Cair Rumah Sakit Umum Hidayah Purwokerto :
a. Tenaga pengelola air bersih dari tahun 2014 terdiri dari 1 orang sebagai sanitarian
dan 2 orang sebagai cleaning service, tahun 2016 ditambah lagi 2 orang karyawan
sebagai cleaning service. Namun tenaga celaning service belum ada pelatihan
khusus mengenai pengelolaan air bersih.
b. Pembiayaan operasional limbah cair rumah sakit tahun 2014 sampai 2018
dikeluarkan untuk pemeriksaan outlet limbah cair, tahun 2015 dikeluarkan untuk
pembuatan bak chlorinasi dan tahun 2018 dibangun juga bak indikator yang diisi
dengan ikan Nila. Namun belum ada pencatatan oleh unit kerja yang bertanggung
jawab di kesehatan lingkungan rumah sakit sebagai mekanisme pelaporan kepada
direktur.
c. Pemeriksaan kualitas limbah cair di rumah sakit belum dilakukuan secara rutin (6
bulan) dan berdasarkan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kualitasnya
mengalami naik turun namun berdasarkan pemeriksaan terakhir tahun 2018
mengalami peningkatan kualitas dengan memenuhi syaratnya parameter COD,
BOD, TSS, NH3-N yang pemeriksaan tahun sebelumnya tidak memenuhi syarat
sedangkan untuk parameter mikrobiologi masih melebihi standar.
d. Skor dari Formulir inspeksi kesehatan lingkungan (IKL) rumah sakit Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 tentang Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit diperoleh hasil untuk air bersih adalah sebesar 87,5%
dalam kategori baik sedangkan untuk limbah cair sebesar 50% dengan kategori
kurang baik.
e. Kegiatan surveilans pengawasan air bersih dan limbah cair di Rumah Sakit Umum
Hidayah Purwokerto diperoleh skor 7 yang memiliki arti masuk dalam kategori
baik.
SURVAILENS EPIDEMIOLOGI MASALAH KESEHATAN
SURVAILENS GIZI DI INDONESIA
Latar Belakang
Surveilans Gizi adalah proses pengamatan masalah dan program gizi secara terus menerus
baik situasi normal maupun darurat, meliputi : pengumpulan, pengolahan, analisis dan
pengkajian data secara sistematis serta penyebarluasan informasi untuk pengambilan tindakan
sebagai respons segera dan terencana.
Surveilans Gizi pada awalnya dikembangkan untuk mampu memprediksi situasi pangan dan
gizi secara teratur dan terus-menerus sehingga setiap perubahan situasi dapat dideteksi lebih
awal (dini) untuk segera dilakukan tindakan pencegahan. Sistem tersebut dikenal dengan
Sistem Isyarat Tepat Waktu untuk Intervensi atau dalam bahasa Inggris disebut Timely
Warning Information and Intervention System (TWIIS), yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Sistem Isyarat Dini untuk Intervensi (SIDI).
Surveilans gizi sangat berguna untuk mendapatkan informasi keadaan gizi masyarakat secara
cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan, yang dapat digunakan untuk menetapkan kebijakan
gizi. Informasi yang digunakan mencakup indikator pencapaian gizi masyarakat serta
informasi lain yang belum tersedia dari laporan rutin.
Adanya surveilans gizi akan dapat meningkatkan efektivitas kegiatan pembinaan gizi dan
perbaikan masalah gizi masyarakat yang tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat jenis
tindakannya. Perkembangan Sejarah Surveilans Gizi Di Indonesia terjadi sebagai berikut.
1. Sejarah surveilans dimulai pada periode 1986-1990 yang disebut dengan istilah Sistem
Informasi Dini (SIDI), sebagai suatu respons dini munculnya masalah gizi. Semula SIDI
dikembangkan di beberapa provinsi, dan pada periode 1990-1997 berkembang mencakup
aspek yang lebih luas, dengan pertimbangan bahwa masalah gizi dapat terjadi setiap saat
tidak hanya diakibatkan oleh kegagalan produksi pertanian. Sistem yang dikembangkan
ini disebut Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) yang kegiatannya meliputi:
SIDI, Pemantauan Status Gizi, dan Jejaring Informasi Pangan dan Gizi.
2. Tahun 1990-an kegiatan SKPG sudah ada di seluruh provinsi, tetapi pamornya memudar.
Akhirnya, pada saat Indonesia mengalami krisis multidimensi pada tahun 1998 dilakukan
upaya revitalisasi sehingga SKPG meliputi:
➢ pemetaan situasi pangan dan gizi tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional,
➢ memperkirakan situasi pangan dan gizi di tingkat kecamatan,
➢ pemantauan status gizi kelompok rentan serta kegiatan Pemantauan Status Gizi
(PSG) dan Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG), dan
➢ Surveilans Gizi Buruk.
Berdasarkan sasaran Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat telah ditetapkan bahwa
target cakupan vitamin A dan D/S masing-masing 85%. Dari Tabel 5.5 di atas dapat dilihat
bahwa wilayah yang cakupan vitamin A dan D/S sudah mencapai target ada tiga puskesmas
yaitu Puskesmas “C”, Puskesmas “I”, dan Puskesmas “K”. Sementara Puskesmas yang belum
mencapai target adalah Puskesmas “A”, Puskesmas “G”, dan Puskesmas lainnya hanya
mencapai target salah satu indikator saja.
➢ Kuadran II
1. Puskesmas dengancakupan vitamin A tinggi (>78%) tetapi cakupan D/S rendah
(<70%).
2. Terdapat tiga puskesmas di kuadran II yang menunjukkan kemungkinan aktivitas
sweeping lebih tinggi dan kurang memanfaatkan kegiatan pemberian kapsul
vitamin A di posyandu.
➢ Kuadran III
1. Puskesmas dengan cakupan vitamin A rendah (<78%) tetapi cakupan D/S tinggi
(>70%).
2. Terdapat tiga puskesmas di kuadran III, hal itu menunjukkan dua kemungkinan
pertama perlu diklarifikasi apakah terjadi keterbatasan persediaan kapsul vitamin
A sehingga balita yang sudah datang ke posyandu tidak mendapat vitamin A.
kemungkinan kedua adalah jika ketersediaan vitamin A cukup berarti pemberian
kapsul vitamin A tidak terpadu dengan kegiatan penimbangan balita di posyandu.
➢ Kuadran IV
1. Puskesmas dengan cakupan kapsul vitamin A rendah (<78%) dan D/S juga rendah
(<70%).
2. Terdapat tiga puskesmas di kuadran IV yang memerlukan pendampingan dan
pembinaan kepada pengelola kegiatan gizi di puskesmas. Dari contoh grafik di
atas puskesmas pada kuadran IV perlu mendapat prioritas pembinaan.
Kesimpulan
Surveilans gizi adalah suatu proses pengumpulan, pengolahan dan diseminasi informasi hasil
pengolahan data secara terus menerus dan teratur tentang indikator yang terkait dengan kinerja
pembinaan gizi masyarakat.
Analisis data situasi gizi dapat berupa analisis dekriptif dan analisis analitik. Analisis
deskriptif ditujukan untuk memberi gambaran umum tentang data cakupan kegiatan
pembinaan gizi masyarakat. Dengan analisis deskriptif kita dapat menentukan daerah prioritas
untuk melakukan pembinaan wilayah dan menentukan kecenderungan antar waktu.
Analisis analitik dimaksudkan untuk memberi gambaran hubungan antar dua atau
lebih indikator yang saling terkait, baik antar indikator gizi maupun antar indikator gizi
dengan indikator program terkait lainnya.
Tujuan analisis analitik bertujuan antara lain untuk menentukan upaya yang harus
dilakukan jika terdapat kesenjangan cakupan antar dua indikator. Berikut adalah contoh
cakupan distribusi vitamin A dan D/S.
Pencatatan dan pelaporan bertujuan untuk mencatat dan melaporkan hasil pelaksanaan
surveilans gizi secara berjenjang. Ada beberapa jenis laporan hasil pelaksanaan surveilans
gizi baik yang bersifat rutin maupun laporan khusus sesuai dengan situasi dan kondisi, laporan
berbasis kinerja, dan diseminasi laporan.
SURVAILENS EPIDEMIOLOGI KESEHATAN MATRA
STUDI ANALITIS PENURUNAN FORCED EXPIRATORY VOLUME IN 1 SECOND
PADA PEKERJAAN PENYELAM
Latar Belakang
Menyelam adalah aktifitas bawah air yang erat kaitannya dengan manifestasi perubahan
tekanan air yang diterima oleh penyelam. Paru-paru sebagai alat ventilasi dalam sistem
pernafasan bagi tubuh dimana fungsi kerja paru dapat menurun akibat adanya gangguan pada
proses mekanisme faal yang salah satunya disebabkan oleh aktifitas penyelaman. Nilai Forced
Expiratory Volumein 1 second (FEV) sebagai parameter fungsi faal paru penting untuk
penanda kondisi gangguan faal paru agar penyelam tidak mengalami pecah paru pada kegiatan
bawah air.
Aktifitas menyelam berisiko terhadap beberapa organ karena gejala laten yang
mempunyai efek terhadap otak, medulla spinalis, mata, telinga dan paru-paru. Aktifitas
penyelaman tersebut dapat memicu barotrauma yaitu suatu kondisi kerusakan jaringan akibat
ketidakseimbangan antara tekanan air dengan rongga fisiologis tubuh. Untuk mengetahui
penurunan fungsi faal paru digunakan nilai Forced Expiratory Volume 1 second (FEV)
sebagai parameternya. Dalam meninjau kejadian penyakit paru akibat kerja dalam
penyelaman catatan medis tiap penyelam dapat digunakan untuk membantu melihat kesehatan
pra waktu penyelam tersebut sendiri.
FEV adalah besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama
ekspirasi orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat
mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai VitalCapacity. Fase detik pertama ini
dikatakan lebih penting dari fasefase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan
atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai
absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVC-nya. Bila terjadi penurunan FEV maka
dapat mempengaruhi rasio FVC hal ini dapat berarti bahwa FEV dapat digunakan sebagai
parameter yang paling umum untuk menilai kondisi paru dan memantau perjalanan penyakit.
Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan
Forced Expiratory Volume 1 second (FEV), dengan menggunakan bahan studi literature
sebelumnya dan juga pengamatan di lokasi penyelaman, sehingga memunculkan beberapa
faktor yang diduga berpengaruh. Faktor- faktor individu yang berhubungan dengan gangguan
faal paru.
1. Usia.
Menurunnya fungsi paru akan meningkat disertai dengan bertambahnya usia. Faktor
usia mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh
walaupun tidak dapat dideteksi hubungan umur dengan pemenuhan volume paru tetapi
rata-rata telah memberikan suatu perubahan penurunan yang besar terhadap volume
paru.
2. Kebiasaan Merokok.
Merokok menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran nafas dan jaringan paru-
paru
3. Status Gizi
4. Barotrauma
Adanya proses menyelam dan perubahan tekanan udara menyebabkan perubahan
struktur,fungsi saluran nafas dan jaringan paru-paru.