Anda di halaman 1dari 20

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Saraf Fasialis


Saraf fasialis (Nervus.VII) memiliki serabut somato-motorik, serabut visero-
motorik (parasimpatis), serabut visero-sensorik dan serabut somato-sensorik. Saraf
fasialis merupakan saraf kranial ketujuh yang bertugas mempersarafi otot - otot
wajah, indera perasa 2/3 bagian ventral dorsum lidah dan sekresi beberapa kelenjar
seperti kelenjar lakrimalis, submandibularis, sublingualis, dan palatina.1

Serat Upper Motor Neuron saraf fasialis berasal dari korteks, daerah motorik
pertama berasal dari satu pertiga bawah girus presentralis menuju genu dari kapsula
interna (traktus kortikopotin), sementara daerah motorik kedua terletak di lobus
temporalis.1
Serat Lower Motor Neuron saraf fasialis terletak pada bagian ventrolateral
formatio retikularis di pons yang memiliki tiga nuklei diantaranya, nuklei motorik,

15
nuklei salivatorius superior, dan nuklei traktus solitarius. Cabang sensorik dan
motorik bergabung membentuk saraf besar yang melewati meatus acoustic interna
dari tulang temporal.1
Saraf fasialis terbagi menjadi dua divisi, yaitu saraf fasialis propius
merupakan saraf fasialis yang murni untuk mempersarafi otot-otot ekspresi wajah,
otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah,
dan saraf intermediet (pars intermedius wisberg), yaitu subdivisi saraf yang lebih
tipis yang membawa serabut somato-motorik, serabut visero-motorik (parasimpatis),
serabut visero-sensorik dan serabut somato-sensorik.Secara anatomis, bagian motorik
saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang
terakhir ini sering dinamai saraf intermediet atau pars intermedius wisberg.
Berberapa ahli menganggap sebagian saraf terpisah, namun pada umumnya saraf
intermedius ini dianggap sebagai bagian dari saraf fasialis.1

Gambar 3.1 Saraf Kranialis


Serabut viseoro-sensorik mempersarafi indera perasa 2/3 bagian depan lidah
yang dihantarkan melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion
genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius.1
Serabut visero-motorik (parasimpatik eferen) berasal dari nukleus salivatorius
superior terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleus ini, berpisah

16
dari saraf fasilalis pada tingkat ganglion genikulatum dan diperjalanannya akan
bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok
akson lain akan berjalan terus ke kaudal dan menyertai korda timpani serta saraf
lingualis ke ganglion submandibularis, dari sana, impuls berjalan ke glandula
sublingualis dan submandibularis, dimana impuls merangsang salivasi.1
Serabut somato-sensorik bertugas mempersarafi rasa nyeri (rasa suhu dan
raba) berasal dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh saraf
trigeminus, terdapat daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf) di lidah,
palatum, meatus akustikus eksterna, dan bagian luar membran timpani.1
Saraf fasialisterbagi dalam beberapa segmen yaitu, saat memasuki tulang
temporal, yaitu segmen labirin, segman timpani dan segmen mastoid.2 Segmen labirin
terletak antara akhir kanal akustik internus dan ganglion genikulatum . panjang
segmen ini 2-4 milimeter.2 Segmen timpani (segmen vertikal), terletak di antara
bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan ke arah posterior telinga tengah,
kemudian naik ke arah tingkap lonjong (venestra ovalis) dan stapes, lalu turun
kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis horizontal. Panjang segmen ini
kira-kira 12 milimeter.2
Segmen mastoid (segmen vertikal) mulai dari dinding medial dan superior
kavum timpani, perubahan posisi dari segman timpani menjadi segmen mastoid,
disebut segman piramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling
posterior dari saraf fasialis, sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi.
Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah kaudal menuju segmen stilomaoid, panjang
segmen ini 15-20 milimeter.2

17
Gambar 3.2 Skema Saraf Fasialis (Nervus VII)

3.2 Definisi
Bells’palsy adalah paralisis fasialis perifer idiopatik, yang merupakan penyebab
tersering dari paralisis fasialis perifer unilateral. Bells’ palsy muncul mendadak
(akut), unilateral, berupa paralisis saraf fasialis perifer, yang secara gradual dapat
mengalami perbaikan pada 80-90% kasus.3
Bells’ palsy merupakan salah satu dari penyakit neurologis tersering yang
melibatkan saraf fasialis, dan penyebab tersering (60-75%) dari kasus paralisis
fasialis unilateral akut di dunia.3

18
3.3 Etiologi dan Patofisiologi
Penyebab terjadinya Bell’s palsy masih tidak jelas atau masih menjadi
perdebatan. Pada masa lalu, paparan dingin secara terus menerus dianggap sebagai
satu-satunya penyebab Bell’s palsy. Secara luas teori yang diyakini sebagai etiologi
penyebab Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik saraf, reaksi autoimun, trauma
dan kongenital.3
Pada beberapa teori dugaan penyebab terjadinya Bell’s Palsy teori ischemia
vaskuler, teori ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan sirkulasi darah ke saraf
fasialis. Kondisi Lingkungan dingin, sering terkena angin malam, terpapar kipas
angin dan AC, diperkirakan membuat pembuluh darah ke saraf fasialis tersebut
menyempit atau vasospasme. Penyempitan itu mengakibatkan iskemia atau
berkurangnya suplai oksigen, sehingga terjadi kelumpuhan. Teori Infeksi Virus,
beberapa ahli menyatakan penyebab Bell’s palsy berupa virus herpes yang membuat
saraf menjadi bengkak akibat infeksi. Virus yang dianggap paling banyak
bertanggung jawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses
reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1). Teori Herediter, menjelaskan bahwa Bell’s
palsy bisa disebabkan karena keturunan, dimana kelainannya berupa kanalis fasialis
yang sempit.1,3
Beberapa literatur juga melaporkan tindakan kedokteran gigi dapat menyebabkan
Bell’s palsy salah satunya tindakan kedokteran gigi yang diduga menyebabkan Bell’s
palsy, komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada pencabutan gigi, dimana
terjadi paralisis nervus fasialis perifer (Bell’s palsy) yang umumnya bersifat
sementara. Paralisis dapat terjadi secara segera ataupun lambat, berdasarkan waktu
penyuntikan hingga onset dari gejala.1,3
Patofisiologi terjadinya bell’s palsy hingga saat ini hanya dijelaskan terjadi
entrapment syndrome, dimana letak saraf fasialis terdapat pada lokasi jepitan yang
terbentuk oleh tulang sehingga jepitan tersebut terjadi secara mendadak. Kerentanan
serabut saraf terhadap kompresi bervariasi tergantung dengan ukuran dan topografi
intrafasikular sehingga tiap saraf yang mengalami trauma kompresi menunjukkan lesi
yang berbeda.2,3

19
Stadium trauma kompresi saraf dibagi menjadi tiga diantaranya, neuropraksis,
terjadi hambatan pada konduksi saraf namun kontinuitas akson masih utuh dan tidak
terdapat degenerasi, hal ini bersifat reversibel setelah beberapa minggu atau bulan. 2,3
Aksonotomosis terjadi hilangnya kontinuitas akson tetapi tabung endonerium
tetap utuh. Lesi ini terjadi akibat trauma yang cukup berat. Neurotomosis,
menunjukkan hilangnya kontinuitas akson, termasuk endoneurium, perineurium, dan
epineurium, mengakibatkan saraf mengalami kerusakan total dan membentuk
jaringan parut. 2,3
3.4 Epidemiologi
Insiden pada laki-laki dan perempuan sama, namun rata-rata muncul pada usia
40 tahun meskipun penyakit ini dapat timbul di semua umur. Insiden terendah adalah
pada anak di bawah 10 tahun, meningkat pada umur di atas 70 tahun. Frekuensi
kelumpuhan saraf fasialis kanan dan kiri sama. Kausa tumor merupakan hal yang
jarang, hanya sekitar 5% dari semua kasus kelumpuhan saraf fasialis.4
Foester melaporkan bahwa kerusakan saraf fasialis sebanyak 120 dari 3907
kasus (3%) dari seluruh trauma kepala saat Perang Dunia I. Friedman dan Merit
menemukan sekitar 7 dari 430 kasus trauma kepala. Adapun kelumpuhan saraf
fasialis yang tidak diketahui penyebabnya (Bell’s Palsy) sekitar 20-30 kasus per
100.000 penduduk pertahun, sekitar 60-75% dari semua kasus merupakan paralysis
nervus fasialis unilateral.4
3.5 Manifestasi Klinis
Lesi di kanalis fasialis yang melibatkan korda timpani, gejala dan tanda yang
muncul akan terjadi seperti gejala pada lesi di luar foramen stilomastoideus, ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi
yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan
terlibatnya saraf intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik
dimana korda timpani bergabung dengan saraf fasialis di kanalis fasialis, sementara
jika terjadi lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi yang melibatkan muskulus
stapedius maka gejala dan tanda klinik yang akan muncul seperti pada lesi diluar
foramen stilomastoideus dan lesi di kanalis fasialis, serta muncul gejala hiperakusis.4

20
Gambar 3.3 Sklema Lesi Saraf fasialis Perifer dan gangguannya, Keterangan
1).Gangguan pendengaran dan vestibular, 2).Gangguan.pengecapan, lakrimasi, &
salivasi, 3). Gangguan.pengecapan, salivasi, dan pendengaran, 4).Gangguan
pengecapan, & salivasi, 5). Gangguan otot ekspresi wajah

Gejala dan tanda klinik yang akan muncul jika terjadi lesi ditempat yang lebih
tinggi lagi yang melibatkan ganglion genikulatumdiantaranya seperti gejala yang
terjadi di luar foramen stilomastoideus, di kanalis fasialis dan disertai dengan nyeri di
belakang dan didalam liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti ini dapat
terjadi pascaherpes di membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah
kelumpuhan fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum. Tanda-tandanya adalah herpes zoster otikus, dengan nyeri dan
pembentukan vesikel dalam kanalis auditorius dan dibelakang aurikel (saraf

21
aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalan pendengaran, gangguan pengecapan,
pengeluaran air mata dan salivasi.4,5
Lesi di meatus akustikus internus, gejala dan tanda klinik seperti diatas
ditambah dengan tuli akibat terlibatnya nervus akustikus. Lesi ditempat keluarnya
saraf fasialis dari pons. Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala
dan tanda terlibatnya saraf trigeminus, saraf akustikus dan kadang – kadang juga saraf
abdusen, saraf aksesorius dan saraf hipoglossus.4,5
3.6 Klasifikasi Kelumpuhan Saraf Fasialis3
Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari
kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak
pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan .pada
klasifikasi ini grade I merupakan fungsi yang normal dan grade VI merupakan
kelumpuhan yang komplit. Karakteristik dari grade I-VI pada kelumpuhan saraf
fasialis akan dijelaskan pada tabel berikut :
Tabel 3.1 Karakteristik Grade House-Brackmann untuk penilaian kelumpuhan saraf
fasialis.
Grade Keterangan Karakteristik
I Normal Fungsi saraf fasialis normal
II Disfungsi  Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi
ringan dekat, bisa ada sedikit sinkinesis.
 Pada istirahat simetri dan selaras.
 Pergerakan dahi sedang sampai baik
 Menutup mata dengan usaha yang minimal
 Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika melakukan
pergerakan
III Disfungsi  Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara
sedang kedua sisi
 Adanya sinkinesis ringan
 Dapat ditemukam spasme atau kontraktur hemifasial
 Pada istirahat simetris dan selaras
 Pergerakan dahi ringan sampai sedang
 Menutup mata dengan usaha
 Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
maksimum

22
IV Disfungsi  Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan
sedang asimetri
berat  Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
 Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
 Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.
V Disfungsi  Wajah tampak asimetris
berat  Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
 Dahi tidak dapat digerakkan
 Tidak dapat menutup mata
 Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI Total Tidak ada pergerakkan


parese

3.7 Diagnosa Banding,6,7


Anamnesa yang bai, serta pemeriksaan fisik yang teliti sangat penting untuk
menegakkan diagnosa bell’s palsy. Pada setiap kelainan paresis saraf fasialis harus
ditentukan lesi tersebut merupakan lesi UMN atau lesi LMN, hal ini akan
menentukan sekali diagnosis dan terapi.
Tabel 3.2 Sifat-sifat klinis perbedaan lesi parese saraf fasialis
Sifat Lesi UMN Sifat Lesi LMN
 Parese unilateral dari gerakan  Parese unilateral dari
volunter wajah bagian bawah semua otot wajah
(kec. M.frontalis)  Derajat kelemahan otot
 Kelemahan otot wajah kurang wajah serupa gerakan
nyata pada gerakan volunter volunter dan gerakan
dan gerakan emosional emosional
 Facial reflex, terpelihara atau  Facial reflex, terpelihara
meningkat atau tertekan
 Gangguan indera perasa 2/3  Gangguan indera perasa
bagian anterior lidah 2/3 bagian anterior lidah
terpelihara menurun
 Lakrimasi normal  Lakrimasi terganggu

23
 Otitis media akut atau kronik
Disamping kemungkinan adanya paresis fasialis, maka ditemukan adanya rasa
nyeri di dalam atau di belakang telinga. Pada foto mastoid ditemukan gambaran
infeksi. Pada otitis media terjadi proses radang di dalam kavum timpani sehingga
dinding tulang kanalis fasialis ikut mengalami kerusakan sehingga terjadi paresis
fasialis.
 Sindroma Ramsay Hunt (adanya lesi vesicular pada telinga atau bibir)
Penyebabnya adalah reaktivasi dari herpes zooster virus yang terdpat pada
ganglion genikulatum, hal ini akan menganggu dari saraf fasialis. Pemeriksaan
yang dilakukan pada lubang telinga dan oropharynx kemungkinan akan
ditemukan vesikel8
 Sindroma Guillain Bare dan Miastenia Gravis
Pada kedua penyakit ini, perjalanan dan gambaran penyakitnya khas dan paresis
hampir selalu bilateral.
 Trauma kepala
Paresis fasialis terdapat pada trauma kapitis (misalnya fraktur os temporal,
fraktur basis kranii atau trauma lahir/forceps) atau karena operasi. Pada cedera
kepala sering terjadi fraktura os temporale pars petrosus yang selalu terlihat pada
foto rontgen.
 Tumor Intrakranial
Semua neoplasma yang mengenai sepanjang perjalanan N.VII dapat
menyebabkan paresis fasialis. Tumor intra kranial yang tersering yaitu tumor
sudut serebelo pontis. Di sini selain terdapat paresis N.VII juga biasanya
ditemukan adanya lesi N.V dan N.VIII. tumor yang lain misalnya Ca-nasofaring
(biasanya disertai dengan kelainan saraf kranialis lain) dan tumor kelenjar
parotis.

24
3.8 Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dari Bell’s Palsy dapat diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang jika diperlukan.9
3.8.1 Anamnesis.
Data subyektif yang dikeluhkan pasien berupa gejala berikut: Pasien datang
dengan keluhan: Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral secara tiba-tiba
dengan onset akut (periode 72 jam), rasa nyeri sering dikeluhkan dan dapat terjadi
pada daerah telinga, yang menyebar luas pada kepala, leher ataupun mata. Rasa nyeri
biasaya muncul setelah beberapa hari dan dapat mengawali terjadinya kelumpuhan
hingga 72 jam, tetapi terkadang rasa nyeri muncul setelah beberapa hari terjadi
paralisis dan dapat menjadi lebih parah dan menetap. 1,6,7,9
Temuan klinis paling sering dijumpai adalah alis mata turun, tidak dapat
menutup mata dan jika dusahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata
memutar ke atas (Bell’s phenomenon), lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut
tertarik ke sisi yang sehat gejala lain Bell’s palsy adalah rasa kebas pada sisi wajah
yang terkena, terutama pada bagian dahi, mastoid area, dan sudut mandibula. Rongga
mulut dapat menjadi kering akibat berkurangnya sekresi saliva dan perubahan sensasi
rasa pada 2/3 anterior lidah dan hyperaesthesia sebagian pada nervus trigeminal serta
hiperakusis. 1,6,7,9
3.8.2 Pemeriksaan Fisik
Data obyektif pada pemeriksaan fisik dapat mencakup sebagai berikut:
Pemeriksaan fungsi saraf fasialisbertujuan pemeriksaan fungsi saraf fasialis adalah
untuk menentukan letak lesi dan menentukan derajat kelumpuhannya. 1,6,7,9
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk membentuk
mimik dan ekspresi wajah seseorang, diantaranya yaitu :
a. M. Occipitofrontalis : pemeriksaan dengan cara mengangkat alis ke atas.
b. M. Corrugator Supercilii : pemeriksaan dengan cara mengerutkan alis
c. M. Procerus + tranverse part of nasalis : pemeriksaan dengan cara
mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas

25
d. M. Orbicularis Oculi : pemeriksaan dengan cara memejamkan kedua
mata kuat-kuat
e. M. Risorius + levator labii superioris : pemeriksaan dengan cara tertawa
lebar sambil memperlihatkan gigi
f. M. Levator labii superioris + depressor labii : pemeriksaan dengan cara
memoncongkan mulut kedepan sambil memperlihatkan gigi
g. M. Buccinator + orbicularis oris : Pemeriksaan dengan cara
menggembungkan kedua pipi
h. M. Orbicularis Oris : Pemeriksaan dengan cara menyuruh penderita
bersiul
i. M. Depressor anguli oris : Pemeriksaan dengan cara menarik kedua sudut
bibir ke bawah
j. M. Mentalis : Pemeriksaan dengan cara memoncongkan mulut yang
tertutup rapat ke depan
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan
kiri, penilaian untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga (3),
Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu (1), diantaranya dinilai dengan angka
dua (2), dan jika tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol (0). Seluruh
otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga puluh
(30).2
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap
kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan fungsi tonus
sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan
pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan
gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15)
yaitu seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan.
Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua
(-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.2
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda timpani,
salah satu cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum percabangan korda

26
timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan).3
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,
kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah
penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk
ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan
tersebar melalui ludah ke sisis lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang
persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh untuk menyatakan pengecapan
yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3
untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.3
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang
antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah
patologis.2
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar
submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no 50 kedalam
duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus lemon
ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua
tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah
sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini
dan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh saraf korda timpani.3
Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex dianggap sebagai pemeriksaan
terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-serabut pada simpatis dari saraf fasialis
yang disalurkan melalui saraf petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion
genikulatum. Kerusakan pada atau di atas saraf petrosus mayor dapat menyebabkan
berkurangnya produksi air mata.2,3
Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara
pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-10
cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip yang
menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan bahwa kalau ada
beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis.2,3

27
Refleks Stapedius untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik
impedans meter, yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius
yang bertujuan untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.7,8
Uji audiologik, pada pasien yang menderita paralisis saraf fasialis terkadang
perlu menjalani pemeriksaan audiogram untuk menyingkirkan adanya otitis media
akut. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantaran tulang, timpanometri dan
reflex stapes. Fungsi saraf cranial kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji
respon auditorik yang dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat dalam
mendeteksi patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat
memberikan kesan suatu kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang
saraf fasialis yang terpapar pada daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber
infeksi. Jika terjadi kelumpuhan saraf ketujuh pada waktu otitis media akut, maka
mungkin gangguan saraf pada telinga tengah.6,7
Pengujian reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral
dengan menggunakan suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu
gerakan reflek dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membran timpani
dan menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut
diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada perangsangan
kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen saraf kranialis.3
Synkenesis (associated movement) merupakan suatu komplikasi dari
kelumpuhan saraf fasialis yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya
sinkinesis adalah sebagai berikut :2
a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau
pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi
normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari
gradasinya.

28
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai
satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak
simetris.
Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai pada
penyembuhan kelumpuhan fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita
diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedip-ngedipkan
mata berulang-ulang maka bibir akan jelas tampak gerakan otot-otot pada sudut bibir
bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang berat kadang-kadang otot-otot
platisma di daerah leher juga ikut bergerak. Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai
dengan angka (-1).2
Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya berjumlah
lima puluh (50) atau 100%. Gradasi paresis fasialis dibandingkan dengan nilai
tersebut dikalikan dua untuk persentasenya.2
3.8.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya Elektromigrafi
(EMG), Elektroneuronografi (ENOG), dan uji stimulasi maksimaluntuk mengetahui
kelumpuhan saraf fasialis. 1,9,12
Elektromiografi (EMG) bermanfaat untuk menentukan perjalanan respon
reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola
denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati
atau neuropati, namunnilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah
paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan
memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif
yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21
hari.3

29
Elektroneuronografi (ENOG) memberi informasi lebih awal dibandingkan
dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada
satu titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan,
bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam
sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch
Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 % berakibat penyembuhan
tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 % pasien yang mampu
mempertahankan respon di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal
saraf fasialis.3
Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakkan sonde ditekankan pada
wajah di daerah saraf fasialis.Arus akan dinaikkan perlahan-lahan hingga 5 ma, atau
sampai pasien merasa tidak nyaman, dahi, alis, daerah periorbital, pipi, ala nasi, dan
bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda secara perlahan. setiap gerakan pada
daerah-daerah ini menunjukkan suatu respons normal. 3
Perbedaan respon yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang lumpuh
dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila
terjadi kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25 % dari arus yang
digunakan pada sisi yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari, 92 % penderita
Bell’s Palsy kembali dapat melakukan beberapa fungsi. Bila respon elektris hilang,
maka 100 % akan mengalami pemulihan fungsi yang tidak lengkap. Statistik
menganjurkan bahwa bentuk pengujian yang paling dapat diandalkan adalah uji
fungsi saraf secara langsung.3
3.9 Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson dan kerusakan
N.VII dapat diberikan antivirus dan kortikosteroid. 1
- Antivirus
Acyclovir 400mg selama 10 hari. Acyclovir berguna jika diberikan pada 3
hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus. 1

30
- Kortikosteroid
Berbagai aritkel telah diterbitkan mengenaik keuntungan dan kerugian
pemberian steroid pada kasus Bell’s Palsy. Pada peneliti lebih cenderung
memilih menggunakan steroid untuk mempeoleh hasil yang lebih baik.
Prednisone dengan dosisi 40-60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari
selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya
untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien. 1
b. Non farmakologi
Terapi rehabilitasi medik pada Bell’s Palsy adalah untuk mengurangi,
mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial
serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan
sehari-hari. 1
1. Modalitas Terapi1
a) Pemanasan superfisial dengan infra red (IR)1, 10
Infrared pengaruh fisiologis sinar infrared jika diabsorsikan kekulit
maka kulit akan timbul pada tempat dimana sinar tadi diabsorsikan
berpengaruh terhadap peningkatan proses metabolisme, vasodilatasi
pembuluh darah terhadap pengaruh jaringan otot, efek terapeutik IR
secara garis besar dapat merelaksasikan otot, meningkatkan suplai
darah.
b) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy (SWD) atau
Microwave Diathermy (MWD)
c) Electrical Stimulation (ES) adalah arus bolak-balik yang tidak simetris,
digunakan untuk menstimulasi otot1,8
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses
regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan
kumparan faradik kini telah digantikan oleh stimlator elektronik yang
hampir memiliki efek fisiologis untuk memberikan kontraksi otot yang

31
kuat tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot,
melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta
mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
2. Terapi Latihan
Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan
berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan
kaca dengan konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh
dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy
diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage
memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan
mempertahankan tonus otot.1,3 Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading
Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading
Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan
limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi
edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan
intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.11 Massage daerah wajah
dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan
keatas, lamanya 5-10 menit.
3. Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah.
Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk
permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi
penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan
berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,
latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.5

32
4. Terapi Ortotik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut
mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu
diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y”
plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada
penderita setelah menjalani terapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah
teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya
kontraktur.
5. Terapi Edukasi
1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan
dari sisi wajah yang sehat
3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang
sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata :
1. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
2. Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
3. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur
3.10 Komplikasi.
Komplikasi yang umum terjadi pada Bell’s palsy, antara lain: Sindroma air
mata buaya (Crocodile Tears Syndroma) merupakan gejala tersebut pertama timbul
karena konyungtiva bulbi tidak dapat penuh di tutupi kelopak mata yang lumpuh,
sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu dan sebagainya. 1
Kontraktur otot wajah kondisi dimana terlihat dari tertariknya otot, sehingga
plika nasolabialis lebih jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat. Synkenesis
(associated movement) terjadi pada kondisi dimana otot-otot wajah tidak dapat
digerakan satu persatu atau tersendiri, selalu timbul gerakan bersama, jika pasien
disuruh memejamkan mata, maka otot obicularis oris akan ikut berkontraksi dan
sudut mulut terangkat, sementara jika disuruh mengembungkan pipi, kelopak mata
ikut merapat. 1

33
Spasme spontan otot-otot wajah akan bergerak secara spontan, dan tidak
terkendali. Hal ini disebut juga tic fasialis, namun tidak semua tic fasialis merupakan
gejala sisa dari bell’s palsy.1
3.11 Prognosis.
Prognosis bell’s palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan
derajat kelumpuhan. Perjalanan alamiah bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit
dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik
dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan
5% mengalami sekuele yang berat serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat
mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat
rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post aurikular, gangguan pengecapan, refleks
stapedius, wanita hamil dengan bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari
(penyembuhan lambat) dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.1,2
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial
inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal dan perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama. Untuk
menentukan prognosis, House Brackmann Facial Nerve Grading System dapat
digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis
pasien bell’s palsy 1,2

34

Anda mungkin juga menyukai