Anda di halaman 1dari 16

13

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat


3.1.1 Definisi
Adiksi berasal dari bahasa Inggris addiction yang berarti ketagihan atau
kecanduan. Istilah adiksi banyak dicantumkan sebagai salah satu diagnosis. Adiksi
membuat seseorang, baik secara fisik maupun psikologis mengurangi
kapasitasnya sebagai manusia untuk berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga
membuatnya mengalami perubahan perilaku, menjadi obsesif kompulsif (dalam
menggunakan zat), sehingga mengganggu hubungannya dengan orang lain.4
Ketergantungan dan penyalahgunaan NAPZA adalah istilah kedokteran.
Seseorang disebut ketergantungan dan mengalami penyalahgunaan NAPZA, bila
memenuhi kriteria diagnostik tertentu. Menurut PPDGJ-III, Gangguan
Penggunaan NAPZA terdiri atas 2 bentuk:
1. Penyalahgunaan, yaitu yang mempunyai harmful effects terhadap kehidupan
orang, menimbulkan problem kerja, mengganggu hubungan dengan orang lain
(relationship) serta mempunyai aspek legal.
2. Adiksi atau ketergantungan, yaitu yang mengalami toleransi, putus zat,
tidak mampu menghentikan kebiasaan menggunakan, menggunakan dosis
NAPZA lebih dari yang diinginkan. 4
DSM-V mendefinisikan subtances related disorder sebagai suatu gangguan
yang berhubungan dengan penggunaan suatu zat yang dapat menimbulkan efek
samping sesuai dengan jenis zat/subtances yang digunakan. Zat-zat berupa
alcohol, kafein, kanabis, halusinogen (phencyclidine atau yang serupa dengan
arylcyclohexylamines), halusinogen lainnya seperti LSD, inhalan, opioid,
sedative, hipnotik, anxiolityk, stimulant (termasuk amphetamine-typesubtances,
kokain dan stimulant lainnya), tembakau dan zat lain yang tidak diketahui. Jadi
ketika ditemui zat dan efeknya serupa dengan zat lainnya dalam kelompok, maka
ia termasuk dalam gangguan terkait zat atau gangguan adiksi. 5
DSM-V menyatakan bahwa zat ini mengaktifkan system reward di otak.
Perasaan mendapatkan kesenangan sebagai umpan balik penggunaan demikian
14

dirasakan, sehingga keinginan mengulang penggunaan menjadi besar, membesar


dan kemudian sulit dikendalikan. Kesulitan mengendalikan penggunaan, membuat
penggunanya megabdikan hampir seluruh waktunya untuk mencari, menggunakan
dan mengatasi rasa tak nyaman jika tidak menggunakan. Dengan demikian waktu
bekerja/sekolah, bersosialisasi, menikmati masa santai/liburan terabaikan,
bersama dengan terabaikan hampir semua kewajiban dalam hidupnya. Pengaktifan
pusat system reward, membuat penggunanya eforia dan oleh kelompok mereka
disebut “high”. 5
Menurut ICD10 pedoman diagnosis untuk gangguan mental dan perilaku
yang diakibatkan oleh penggunaan zat masuk kedalam F1 (Gangguan Mental dan
Perilaku Akibat Penggunaan Zat). Adapun pembagiannya adalah6:
 F10 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Alkohol
 F11 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Opioida
 F12 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Kanabinoida
 F13 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Sedativa/Hipnotika
 F14 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Kokain
 F15 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Stimulansia (kafein)
 F16 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Halusinogenika
 F17 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat PenggunaanTembakau
 F18 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Pelarut yang Mudah
Menguap
 F19 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Multiple dan Zat
Psikoaktif Lainnya.
3.1.2 Epidemiologi
Dewasa ini diperkirakan di Indonesia terdapat lebih dari 3,5 juta pengguna
zat psikoaktif (Badan Narkotika Nasional, 2006). Dalam jumlah tersebut, hanya
kurang dari 10 ribu orang yang tersentuh layanan “terapi”: 1000 orang dalam
terapi substitusi metadon, 500 orang terapi substitusi buprenorfin, kurang dari
1000 orang dalam rehabilitasi (pesantren, theraupetic communities, kelompok
bantu diri/self-help group), 2000 orang dalam layanan medis lain dan sekitar 4000
orang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan dan tahanan polisi. Sedangkan
hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia (puslitkes-UI) pada tahun 2008 menunjukkan angka prevalensi pecandu
narkoba di Indonesia sebesar 1,9% atau sekitar 3,1-3,5 juta jiwa. Di tahun 2011
angka prevalensi itu naik menjadi 2,2% atau sekitar 3,7-4,7 juta orang4.
3.1.3 Etiologi
15

Penyebab dari penyalahgunaan zat Psikoaktif, diantaranya1:


a. Faktor Psikodinamik (teori psikososial dan psikodinamika)
Pendekatan psikodinamika untuk seseorang dengan penyalahgunaan
zat diterima dan dinilai secara lebih luas, daripada dalam pengobatan pasien
alkoholik. Berbeda dengan pasien alkoholik, mereka dengan penyalahgunaan
banyak zat disebabkan lebih mungkin memiliki masa anak-anak yang tidak
stabil, lebih mungkin mengobati diri sendiri dengan zat, dan lebih mungkin
mendapatkan manfaat dari psikoterapi. Penelitian yang cukup banyak
menghubungkan gangguan kepribadian dengan perkembangan ketergantungan
zat.
Teori psikososial lain menjelaskan hubungan dengan keluarga dan
dengan masyarakat pada umumnya. Terdapat banyak alasan untuk mencurigai
suatu peranan masyarakat dalam perkembangan pola penyalahgunaan dan
ketergantungan zat. Tetapi, dalam tekanan sosial tersebut, tidak semua anak
mendapatkan diagnosis penyalahgunaan atau ketergantungan zat, jadi
mengarahkan kemungkinan adanya keterlibatan faktor penyebab lainnya.
b. Teori Perilaku
Beberapa model perilaku penyalahgunaan zat memfokuskan pada
perilaku mencari zat dibanding pada gejala ketergantungan fisik. Sebagian
besar penyalahgunaan zat menimbulkan pengalaman positif setelah
penggunaan pertama, dan oleh karena itu zat tersebut bertindak sebagai
penguat positif perilaku mencari zat.
Prinsip pertama dan kedua adalah kualitas pendorong positif dan efek
merugikan dari beberapa zat. Sebagian besar zat yang disalahgunakan disertai
dengan suatu pengalaman positif setelah digunakan untuk pertama kalinya.
Jadi, zat bertindak sebagai suatu pendorong postitif untuk perilaku mencari zat
lain. Banyak zat juga disertai dengan efek merugikan, yang bertindak
menurunkan perilaku dalam mencari zat lagi. Ketiga, orang harus mampu
membedakan zat yang disalahgunakan dari zat lainnya. Keempat, hampir
semua perilaku mencari zat disertai dengan petunjuk lain yang menjadi
berhubungan dengan pengalaman menggunakan zat.
c. Faktor Genetik
Bukti-bukti kuat dari penelitian pada anak kembar, anak angkat, dan
saudara kandung yang dibesarkan secara terpisah mengindikasikan bahwa
penyalahgunaan alkohol mempunyai suatu komponen genetika dalam
16

penyebabnya. Tipe lain penyelahgunaan zat atau ketergantungan zat juga


memiliki pola genetic dalam perkembangannya. Baru-baru ini, peneliti telah
menggunakan teknologi RFLP (Restriction Fragment Length Polumorphism)
dalam meneliti penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat, dan beberapa
laporan hubungan RFLP telah diterbitkan.
d. Faktor Neurokimiawi
Dengan pengecualian alcohol, para peneliti telah mengidentifikasi
neurotransmitter atau reseptor neurotransmitter tertentu yang terlibat dengan
sebagian besar zat yang disalahgunakan. Sejumlah peneliti mendasarkan studi
mereka pada hipotesis tersebut. Sebagai contoh, opioid bekerja sebagai resptor
opioid. Seseorang dengan aktivitas opioid endogen yang terlalu sedikit
(contohnya konsentrasi endorfinyang rendah) atau dengan aktivitas antagonis
opioid endogen yang terlalu banyak mungkin beresiko mengalami
ketergantungan opioid. Bahkan pada orang dengan fungsi resptor endogen dan
konsentrasi neurotransmitter yang benar-benar normal, penyalahgunaan
jangka panjang suatu zat tertentu pada akhirnya mungkin akan memodulasi
sistem resptor di otak sehingga zat eksogen dibutuhkan untuk
mempertahankan homeostatis. Proses pada tingkat reseptor semacam itu
mungkin menjadi mekanisme untuk membentuk toleransi di dalam SSP.
Namun, untuk menunjukkan adanya modulasi pelepasan neurotransmitter dan
fungsi reseptor neurotransmitter terbukti sulit, dan penelitian terkini
memfokuskan efek zat pada sistem duta kedua dan pada regulasi gen.
e. Jaras dan Neurotransmitter

Neurotransmitter utama yang mungkin terlibat dalam perkembangan


penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat adalah sistem opiat, katekolamin
(khususnya dopamine), dan GABA. Dan yang memiliki kepentingan khusus
adalah neuron di daerah tegmental ventral yang berjalan ke daerah kortikal
dan limbic, khususnya nucleus akumbens. Jalur khusus tersebut diperkirakan
terlibat dalam sensasi menyenangkan (reward sensation) dan diperkirakan
merupakan mediator utama untuk efek dari zat tertentu seperti amfetamin dan
kokain. Lokus sereleus, kelompok terbesar neuron adrenergik, diperkirakan
terlibat dalam perantara efek opiat dan opioid.
17

3.1.4 Macam-macam NAPZA


NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif
lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan
perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan7.
NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa
bagian tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan
NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara
menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang
dikonsumsi7. NAPZA dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran dan hilangnya rasa nyeri. Zat ini dapat mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga
memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat
tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak
dapat lepas dari “cengkraman”-nya.
Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke
dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.
a. Narkotika golongan I adalah : narkotika yang paling berbahaya. Daya
adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk
kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan.
Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain.
b. Narkotika golongan II adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif kuat,
tetapibermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin
dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.
c. Narkotika golongan III adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif ringan,
tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein
dan turunannya.
2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun
sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan
perilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati
gangguan jiwa (psyche).
18

Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika dapat


dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu :
a. Golongan I adalah: psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum
diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya.
Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.
b. Golongan II adalah : psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin,
metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.
c. Golongan III adalah : psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina,
fleenitrazepam, dan sebagainya.
d. Golongan IV adalah : psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah nitrazepam (BK,
mogadon, dumolid), diazepam, dan lain-lain.
3. Bahan Adiktif Lainnya
Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan
psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya:
a. Rokok
b. Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan
ketagihan.

c. Thinner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin,
yang bila dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan.

3.1.5 Tahapan Pemakaian NAPZA


Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA yaitu sebagai berikut8:
1. Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental)
Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin tahu atau
coba-coba. Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau minum-minuman
beralkohol. Jarang yang langsung mencoba memakai putaw atau minum pil
ekstasi.
2. Tahap pemakaian social
Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat berkumpul atau pada
acara tertentu), ingin diakui/diterima kelompoknya. Mula-mula NAPZA
diperoleh secara gratis atau dibeli dengan murah. Ia belum secara aktif
mencari NAPZA.
3. Tahap pemakaian situasional
19

Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian atau stres.


Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini pemakai
berusaha memperoleh NAPZA secara aktif.
4. Tahap habituasi (kebiasaan)
Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur (sering),
disebut juga penyalahgunaan NAPZA, terjadi perubahan pada faal tubuh dan
gaya hidup. Teman lama berganti dengan teman pecandu. Ia menjadi sensitif,
mudah tersinggung, pemarah, dan sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab
narkoba mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-citanya
semula hilang. Ia sering membolos dan prestasi sekolahnya merosot. Ia lebih
suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.
5. Tahap ketergantungan
Ia berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan berbagai cara.
Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia sudah tidak dapat
mengendalikan penggunaannya. NAPZA telah menjadi pusat kehidupannya.
Hubungan dengan keluarga dan teman-teman rusak.
Pada ketergantungan, tubuh memerlukan sejumlah takaran zat yang
dipakai, agar ia dapat berfungsi normal. Selama pasokan NAPZA cukup, ia
tampak sehat, meskipun sebenarnya sakit. Akan tetapi, jika pemakaiannya
dikurangi atau dihentikan, timbul gejala sakit. Hal ini disebut gejala putus zat
(sakaw). Gejalanya bergantung pada jenis zat yang digunakan. Orang pun
mencoba mencampur berbagai jenis NAPZA agar dapat merasakan pengaruh zat
yang diinginkan, dengan risiko meningkatnya kerusakan organ-organ tubuh.

Gejala lain ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di mana jumlah


NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan pengaruh yang
sama seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu, jumlah yang diperlukan
meningkat. Jika jumlah NAPZA yang dipakai berlebihan (overdosis), dapat terjadi
kematian.

3.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyalahgunaan Zat


Faktor-faktor yang dapat memepengaruhi terjadinya penyalahgunaan
adalah NAPZA sebagai berikut :2
A. Lingkungan Sosial
1. Rasa ingin tahu
20

Pada masa remaja seseorang lazim mempunyai sifat selalu ingin tahu
segala sesuatu dan ingin mencoba sesuatu yang belum atau kurang diketahui
dampak negatifnya. Bentuk rasa ingin tahu dan ingin mencoba itu misalnya
dengan mengenal narkotika, psikotropika maupun minuman keras atau bahan
berbahaya lainnya.
2. Kesempatan
Masyarakat dan lingkungan yang memberi kesempatan pemakaian
NAPZA yaitu adanya situasi yang mendorong diri sendiri untuk mengggunakan
NAPZA dorongan dari luar adalah adanya ajakan, rayuan, tekanan dan paksaan
terhadap seseorang untuk memakai NAPZA.
Kesibukan kedua orang tua maupun keluarga dengan kegiatannya masing-
masing, atau dampak perpecahan rumah tangga akibat (broken home) serta
kurangnya kasih sayang merupakan celah kesempatan para remaja mencari
pelarian dengan cara menyalahgunakan narkotika, psikotropika maupun minuman
keras atau atau obat berbahaya, oleh karna itu kondisi dalam masyarakat juga
mempengaruhi prilaku remaja.
3. Kemudahan/Fasilitas atau prasarana dan sarana yang tersedia
Kemudahan mendapatkan NAPZA penyebab lain banyaknya orang yang
mengkonsumsi NAPZA adalah karena banyaknya remaja yang mengggunakan
NAPZA, selain itu Ungkapan rasa kasih sayang orangtua terhadap putra-putrinya
termasuk yang di berikan orang tua terhadap anak-ankanya seperti memberikan
fasilitas dan uang yang berlebih bisa jadi pemicu penyalah-gunakan uang saku
untuk membeli rokok untuk memuaskan segala mencoba ingin tahu dirinya.
Biasanya para remaja mengawalinya dengan merasakan merokok dan minuman
keras, baru kemudian mencoba-coba narkotika dan obat terlarang.
4. Faktor pergaulan
Pergaulan adalah merupakan proses interaksi yang dilakukan oleh individu
dengan individu, dapat juga oleh individu dengan kelompok pergaulan
mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian seorang
individu. Pergaulan yang ia lakukan itu akan mencerminkan kepribadiannya, baik
pergaulan yang positif maupun pergaulan yang negatif. Pergaulan yang positif itu
dapat berupa kerjasama antar individu atau kelompok guna melakukan hal–hal
yang positif. Sedangkan pergaulan yang negatif itu lebih mengarah ke pergaulan
bebas, hal itulah yang harus dihindari, terutama bagi remaja yang masih mencari
jati dirinya.
21

5. Konflik keluarga
Konflik keluarga yang dimaksud adalah Perceraian, dalam sebuah
pernikahan tidak bisa dilepaskan dari pengaruhnya terhadap anak. Banyak faktor
yang terlebih dahulu diperhatikan sebelum menjelaskan tentang dampak
perkembangan anak setelah terjadi suatu perceraian antara ayah dan ibu mereka.
Anak yang sudah menginjak remaja dan mengalami perceraian orang tua lebih
cenderung mengingat konflik dan stress yang mengitari perceraian itu sepuluh
tahun kemudian, pada tahun masa dewasa awal mereka. Mereka juga Nampak
kecewa dengan keadaan mereka yang tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh.

6. Lingkungan Pendidikan
Lingkungan Sekolah merupakan lingkungan di mana remaja mendapatkan
pengetahuan, pembinaan perilaku, dan keterampilan. Di sekolah, remaja
menemukan teman sebaya yang mendorong munculnya persaingan antar sesama.
Ada yang ingin berprestasi, terlihat bergengsi,”sok”jagoan, dan sebagainya. Jika
keadaan ini tidak bisa dibenahi dan diselesaikan oleh pengelola pendidikan di
sekolah, maka remaja yang cenderung pendiam, malas mengejar prestasi dan
beraktivitas akan mengalami stres dan berpotensi terjerumus ke dalam tindakan
penyimpangan seperti penyalahgunaan NAPZA.

Lingkungan sekolah datang sekolah hanya untuk ketemu teman, merokok,


lalu bolos. Transisi sekolah peralihan jenjang sekolah yang berakibat penurunan
prestasi memberi andil dalam penyalahgunaan NAPZA, terutama Remaja yang
menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan- harapan pendidikan yang
rendah dan nilai rapor yang rendah. Kemampuan-kemampuan verbal mereka
seringkali lemah.
7. Lingkungan di pemukiman masyarakatnya yang permisif
Lingkungan masyarakat yang permisif terhadap hukum dan norma kurang
patuh terhadap aturan, status sosial ekonomi. Faktor komunitas yang dimaksud
adalah tinggal di suatu daerah yang tingkat kejahatannya tinggi, yang juga
dicirikan oleh kondisi-kondisi kemiskinan dan kehidupan yang padat, menambah
kemungkinan bahwa seorang anak akan menjadi nakal. Masyarakat ini seringkali
memiliki sekolah-sekolah yang sangat tidak memadai. Komunitas juga dapat
berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan tingkat
22

kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang


melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas
aktivitas kriminal mereka.

B. Kepribadian
1. Kondisi kejiwaan
Orang-orang yang cukup mudah tergoda dengan penyalahgunaan NAPZA
adalah para remaja yang jiwa labil, pada masa ini mereka sedang mengalami
perubahan biologis, psikologis maupun social.

2. Perasaan
Perasaan rendah diri di dalam pergaulan bermasyarakat, seperti di
lingkungan sekolah, tempat kerja, lingkungan sosial dan sebagainya sehingga
tidak dapat mengatasi perasaan itu, remaja berusaha untuk menutupi
kekurangannya agar dapat menunjukan eksistensi dirinya melakukannya dengan
cara menyalahgunakan narkotika, psykotropika maupun minuman keras sehingga
dapat merasakan memperoleh apa-apa yang diangan-angankan antara lain lebih
aktif, lebih berani dan sebagainya.
3. Emosi
Kelabilan emosi remaja pada masa pubertas dapat mendorong remaja
melakukan kesalahan fatal. Pada masa -masa ini biasanya mereka ingin lepas dari
ikatan aturan-aturan yang di berlakukan oleh orang tuanya. Padahal disisi lain
masih ada ketergantungan sehingga hal itu berakibat timbulnya konflik pribadi.
4. Mental
Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri
sendiri, dengan orang lain dan masyarakat sera lingkungan tempat ia hidup.
Definisi ini lebih luas dan bersifat umum karena berhubungan dengan kehidupan
manusia pada umumnya. Menurut definisi ini seseorang dikatakan bermental
sehat bila dia menguasai dirinya sehingga terhindar dari tekanan-tekanan perasaan
atau hal-hal yang menyebabkan frustasi.
5. Faktor Individu
Selain faktor lingkungan, peran pada komponen yang berpengaruh
terhadap penyalahgunaan NAPZA, setidaknya untuk beberapa individu.
Sederhananya, orang tua pelaku penyalahgunaan NAPZA cenderung menurun
kepada anaknya, terlebih pada ibu yang sedang hamil. Faktor-faktor individu
23

lainnya adalah Sikap positif. Sifat mudah terpengaruh, kurangnya pemahaman


terhadap agama, pencarian sensasi atau kebutuhan tinggi terhadap “ekcitment”.
Beberapa pengaruh adanya NAPZA terhadap perilaku penyalahgunaan di
kalangan remaja adalah sebagai berikut:
a. Ingin menikmati yang cepat (praktis).
Pada awalnya orang memakai NAPZA kerena mengharapkan kenikmatan
misalnya, nikmat bebas dari rasa kesal, kecewa, stres, takut, frustrasi. Takala
mulai mencoaba, perasaan nikmat tersebut tidak datang yang datang justru
perasaan berdebar, kepala berat, dan mual.
b. Ketidaktahuan
Pemakai NAPZA yang berakibat buruk terjadi karena kebodohan
pemakainya sediri, dasar dari seluruh alasan penyebab peyalahgunaan NAPZA
adalah ketidaktahuan. Ketidaktahuan tersebut menyangkut banyak hal, misalnya
tidak tahu apa itu NAPZA atau tidak mengenali NAPZA, tidak tahu bentuknya,
tidak tahu akibatnya terhadap fisik, mental, moral, masa depan, dan terhadap
kehidupan akhirat, tidak paham akibatnya terhadap diri sendiri, keluarga
masyarakat, dan bangsa.
c. Alasan internal
Adalah ingin tahu, ingin di anggap hebat, rasa setia kawan, rasa kecewa,
frustrasi, dan kesal dapat terjadi karena kekeliruan dalam komunikasi. Antara lain
(1) komunikasi anak dengan orang tua (2) komunikasi antara anak (3) komunikasi
di lingkungan eksekutif muda (4) komunikasi suami istri (5) ingin menikmati rasa
gembira, tampil licah, enerjik, dan mengusir rasa sedih dan malas.
d. Alasan keluarga
Komunikasi yang buruk antar ayah ,ibu, dan anak sering kali menciptakan
konflik yang tidak berkesudahan. Penyebab konflik beragam konflik dalam
keluarga solusi yang baik adalah komunikasi yang baik, penuh pengertian saling
menghargai dan menyayangi serta ingin saling menghargai satu sama lainnya.
Konflik dalam keluarga dapat mendorong anggota keluarga merasa frustrasi,
sehingga terjebak memilih NAPZA sebagai solusi. Biasanya yang paling rentan
terhadap stres adalah anak,kemudian suami, istri sebagai benteng akhir.
e. Alasan orang lain
Banyak pengguna NAPZA yang awal dimulai kerena pengaruh dari orang
lain. Bentuk pengaruh orang lain itu dapat bervariasi muli dari bujuk rayu, tipu
daya, dan sampai paksaan.
f. Jaringan peredaran luas sehingga NAPZA mudah didapat
24

Penyebab lain banyaknya orang yang mengkonsumsi NAPZA adalah


karena NAPZA mudah didapat. Jaringan pengedar NAPZA di Indonesia dengan
cepat meluas, bukan hanya di kota besar tetapi di kota madya bahkan desa-desa.
Meluasnya jaringan NAPZA didorong oleh rendahnya kualitas intelektualitas dan
moralitas masyarakat dan buruknya kondisi sosial ekonomi. Perdagangan NAPZA
adalah bisnis yang menggiurkan banyak orang karena buruknya kondisi ekonomi
masyarakat Indonesia saat ini. Dengan peredaran yang demikian luas, NAPZA
mudah didapat dimana-mana. Oleh karena itu, perang melawan penyalahgunaan
di Indonesia akan berat sebelah. 2
3.1.5 Diagnosis Penyalahgunaan Zat
Diagnosis Penyalahgunaan Zat menurut DSM IV-TR:
a. Suatu pola maladaptif penggunaan zat yang menimbulkan hendaya atau
penderitaan yang secara klinis signifikan, seperti dimanifestasikan oleh satu
(atau lebih) hal berikut yang terjadi dalam periode 12 bulan:
1. Penggunaan zat berulang mengakibatkan kegagalan memenuhi kewajiban
peran utama dalam pekerjaan, sekolah, atau rumah (cth., absen berulang
atau kinerja buruk dalam pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan
zat; absen, skors, atau dikeluarkan dari sekolah terkait zat; penelantaran
anak atau rumah tangga)
2. Penggunaan zat berulang pada situasi yang secara fisik berbahaya (cth.,
mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin saat sedang mengalami
hendaya akibat penggunaan zat)
3. Masalah hukum berulang terkait zat (cth., penahanan karena perilaku
kacau terkait zat)
4. Penggunaan zat berlanjut meski memiliki masalah sosial atau interpersonal
yang persisten atau rekuren yang disebabkan atau dieksaserbasi oleh efek
zat (cth., berselisih dengan pasangan tentang konsekuensi intoksikasi,
perkelahian fisik)

b. Gejala tidak memenuhi kriteria ketergantungan Zat untuk kelas zat ini. 6

Kriteria DSM-IV-TR untuk ketergantungan zat


Suatu pola maladaptif penggunaan zat, yang menimbulkan hendaya atau
penderitaan yang secara klinis signifikan, yang dimanifestasikan oleh tiga (atau
lebih) hal berikut, terjadi dalam periode 12 bulan yang sama:
1. Toleransi, seperti didefenisikan salah satu di bawah ini:
25

a. Kebutuhan untuk terus meningkatkan jumlah zat untuk mencapai intoksikasi


atau efek yang diinginkan
b. Penurunan efek yang sangat nyata dengan berlanjutnya penggunaan zat dalam
jumlah yang sama
2. Putus zat, seperti didefenisikan salah satu di bawah ini:
a. Karakteristik sindrom putus zat untuk zat tersebut (mengacu kriteria A dan B
untuk keadaan purus zat dari suatu zat spesifik)
b. Zat yang sama (atau berkaitan erat) dikonsumsi untuk meredakan atau
menghindari gejala putus zat
3. Zat sering dikonsumsi dalam jumlah lebih besar atau dalam periode yang lebih
lama dari seharusnya
4. Terdapat keinginan persisten atau ketidakberhasilan upaya untuk mengurangi
atau mengendalikan aktivitas penggunaan zat
5. Menghabiskan banyak waktu melakukan aktivitas yang diperlukan untuk
memperoleh zat (cth., mengunjungi banyak dokter atau berkendara jarak jauh),
menggunakan zat (cth., merokok „seperti kereta api‟), atau untuk pulih dari
efeknya
6. Mengorbankan atau mengurangi aktivitas reaksional, pekerjaan, atau sosial
yang penting karena penggunaan zat

7. Penggunaan zat berlanjut meski menyadari masalah fisik atau psikologis


rekuren yang dialami mungkin disebabkan atau dieksaserbasi zat tersebut (cth.,
saat ini menggunakan kokain walau menyadari adanya depresi terinduksi kokain
atau minum berkelanjutan meski mengetahui bahwa ulkus akan menjadi lebih
parah dengan mengonsumsi alkohol). 6

3.1.6 Penatalaksanaan
1. Terapi
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan
detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau
menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu9:
a. Detoksifikasi Tanpa Subsitusi Klien ketergantungan putau (heroin) yang
berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi
obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya
dibiarkansaja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b. Detoksifikasi dengan Substitusi Putau atau heroin dapat disubstitusi
dengan memberikan jenisopiat misalnya kodein, bufremorfin, dan
26

metadon. Substitusi bagipengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari


jenis antiansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan
cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama
pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala
simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat
tidur atau sesuaidengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
2. Rehabilitasi
Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan
mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna NAPZA kembali sehat
dalam arti sehat fisik, psikologik, sosial, dan spiritual. Dengan kondisi
sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara
wajar dalam kehidupannya sehari-hari10.

Menurut Hawari jenis-jenis rehabilitasi antara lain :


a. Rehabilitasi Medik
Dengan rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan penyalahguna
NAPZA benar-benar sehat secara fisik. Termasuk dalam program
rehabilitasi medik ini ialah memulihkan kondisi fisik yang lemah, tidak
cukup diberikan gizi makanan yang bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan
olahraga yang teratur disesuaikan dengan kemampuan masing-masing
yang bersangkutan.
b. Rehabilitasi Psikiatrik
Rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi yang
semula bersikap dan bertindak antisosial dapat dihilangkan, sehingga
mereka dapat bersosialisasi dengan baik dengan sesama rekannya maupun
personil yang membimbing atau mengasuhnya. Termasuk rehabilitasi
psikiatrik ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap
sebagai “rehabilitasi” keluarga terutama bagi keluarga-keluarga broken
home. Konsultasi keluarga ini penting dilakukan agar keluarga dapat
memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang terlibat
penyalahgunaan NAPZA, bagaimana cara menyikapinya bila kelak ia telah
kembali ke rumah dan upaya pencegahan agar tidak kambuh.
c. Rehabilitasi Psikososial
Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta
rehabilitasi dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan
27

sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus dan di tempat kerja. Program


ini merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat. Oleh karena itu,
mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan keterampilan misalnya
berbagai kursus ataupun balai latihan kerja yang dapat diadakan di pusat
rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila mereka telah selesai
menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali ke
sekolah/kuliah atau bekerja.
d. Rehabilitasi Psikoreligius
Rehabilitasi psikoreligius memegang peranan penting. Unsur agama
dalam rehabilitasi bagi para pasien penyalahguna NAPZA mempunyai arti
penting dalam mencapai penyembuhan. Unsur agama yang mereka terima
akan memulihkan dam memperkuat rasa percaya diri, harapan dan
keimanan. Pendalaman, penghayatan dan pengamalan keagamaan atau
keimanan ini akan menumbuhkan kekuatan kerohanian pada diri seseorang
sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali
dalam penyalahgunaan NAPZA
e. Forum Silaturahmi
Forum silaturahmi merupakan program lanjutan (pascarehabilitasi)
yaitu program atau kegiatan yang dapat diikuti oleh mantan penyalahguna
NAPZA (yang telah selesai menjalani tahapan rehabilitasi) dan
keluarganya. Tujuan yang hendak dicapai dalam forum silaturahmi ini
adalah untuk memantapkan terwujudnya rumah tangga/keluarga sakinah
yaitu keluarga yang harmonis dan religius, sehingga dapat memperkecil
kekambuhan penyalahgunaan NAPZA.
f. Program Terminal
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka sesudah
menjalani program rehabilitasi dan kemudian mengikuti forum
silaturahmi, mengalami kebingungan untuk program selanjutnya.
Khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang karena keterlibatannya pada
penyalahgunaan NAPZA di masa lalu terpaksa putus sekolah menjadi
pengangguran; perlu menjalani program khusus yang dinamakan program
terminal (re-entry program), yaitu program persiapan untuk kembali
melanjutkan sekolah/kuliah atau bekerja.
3.2 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat dengan
Gejala Psikotik
28

Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dengan gejala


psikotik (F1x.5) mempunyai kriteria diagnosis, diantaranya6:
 Gangguan psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah penggunaan zat
psikoaktif (biasanya dalam waktu 48 jam), bukan merupakan manifestasi dari
keadaan putus zat dengan delirium (F1x.4) atau suatu onset lambat. Gangguan
psikotik dengan onset lambat (dengan onset lebih dari 2 minggu setelah
penggunaan zat dimasukkan dalam F1x.75.
 Gangguan psikotik yang disebabkan oleh penggunaan zat psikoaktif dapat
tampil dengan pola gejala yang bervariasi. Variasi ini akan dipengaruhi oleh
jenis zat yang digunakan dan kepribadian pengguna zat.
Diagnosis suatu keadaan psikotik dapat ditentukan lebih lanjut dengan
kode lima karakter berikut6:
 F1x.50 Lir-skizofrenia (Schizophrenic-like)
 F1x.51 Predominan waham
 F1x.52 Predominan polimorfik
 F1x.53 Predominan gejala depresi
 F1x.54 Predominan gejala manik
 F1x.55 Campuran

Anda mungkin juga menyukai