Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Narkoba atau Napza bersifat mempengaruhi kerja system otak dan memiliki risiko

kecanduan. Apabila dipakai tidak sesuai dengan aturannya, narkoba atau napza dapat

menimbulkan bahaya bagi pemakainya. Efek kecanduan yang dimiliki narkoba atau napza

akan membuat penggunanya ketagihan dan terus menggunakannya. Narkoba atau napza yang

dikonsumsi dalam jangka panjang, lambat laun akan merusak organ dalam tubuh dan tubuh

akan meminta dosis yang lebih besar. Jika narkoba atau napza yang dikonsumsi telah

melebihi takaran, akan menyebabkan overdosis dan akhirnya kematian.


Saat ini penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, terlihat

dengan makin banyaknya penggunaan narkoba/napza dari semua kalangan. narkoba sangat

mudah didapatkan, baik oleh kalangan dewasa, remaja, bahkan anak-anak. namun yang lebih

memprihatinkan penyalahgunaan narkoba saat ini justru banyak dilakukan oleh kalangan

remaja.
Masa remaja merupakan masa yang sangat penting, sangat kritis dan sangat rentan

karena bila manusia melewati masa remajanya dengan kegagalan akan dimungkinkan

menemukan kegagalan dalam perjalanan kehidupan pada masa berikutnya, dan sebaliknya

bila masa remaja diisi dengan penuh keberhasilan, kegiatan yang produktif dan berhasil guna

kan dimungkinkan manusia itu akan mendapatkan keberhasilan dalam perjalanan kehidupan

dimasa selanjutnya.
Menurut Word Health Organisation (WHO) batasan usia remaja adalah 12 sampai 24

tahun. Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh

Departemen Kesehatan Indonesia adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum

kawin. Sementara itu menurut Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi

(BKKBN) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun. Dalam rentang umur menurut

WHO, BKKBN maupun Departemen Kesehatan Indonesia tersebut, disimpulkan bahwa usia
remaja merupakan usia pelajar yang berada pada rentang pendidikan sekolah dasar sampai

dengan perguruan tinggi (Handayani S, 2011).


Berdasarkan data dari BNN Sejak 2010 sampai 2013 tercatat ada peningkatan jumlah

pelajar dan mahasiswa yang menjadi tersangka kasus narkoba. Pada 2010 tercatat ada 531

tersangka narkotika, jumlah itu meningkat menjadi 605 pada 2011. Setahun kemudian,

terdapat 695 tersangka narkotika, dan tercatat 1.121 tersangka pada 2013. Kecenderungan

yang sama juga terlihat pada data tersangka narkoba berstatus mahasiswa. Pada 2010, terdata

ada 515 tersangka, dan terus naik menjadi 607 tersangka pada 2011. Setahun kemudian,

tercatat 709 tersangka, dan 857 tersangka di tahun 2013. Sebagian besar pelajar dan

mahasiswa yang terjerat UU Narkotika, merupakan konsumen atau pengguna. Pada 2011

BNN juga melakukan survei nasional perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkoba pada kelompok pelajar dan mahasiswa. Dari penelitian di 16 provinsi di tanah air,

ditemukan 2,6 persen siswa SLTP sederajat pernah menggunakan narkoba, dan 4,7 persen

siswa SMA terdata pernah memakai barang haram itu. Sementara untuk perguruan tinggi, ada

7,7 persen mahasiswa yang pernah mencoba narkoba.


Data tersebut tentu sangat mengkhawatirkan, karena jumlah kasus penyalahgunaan

narkoba dikalangan remaja dari tahun ketahun semakin meningkat. Sebuah ungkapan

mengatakan jumlah anak-anak hanya 25% dari total penduduk, tetapi menentukan 100%

masa depan bangsa itu berarti bahwa maju tidaknya sebuah bangsa sangat tergantung pada

kualitas generasi mudanya. Oleh karena itu, apabila kasus penyalahgunaan narkoba/napza di

kalangan pelajar terus meningkat, maka kualitas generasi penerus akan rusak.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan

ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak

disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes,

2001). Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga

kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di

rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu
dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan

pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan

ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat) serta terapi modalitas.


A. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan napza ?
2. Sebutkan jenis-jenis napza?
3. Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan napza?
4. Bagaimana tahapan pemakaian napza?
5. Apa pengaruh narkoba bagi pecandu?
6. Gejala apa saja yang muncul akibat penyalahgunaan narkoba?
7. Apa gejala dan tanda remaja pecandu narkoba ?
8. Apa faktor resiko penyebab penyalahgunaan narkoba?
9. Apa akibat dari penyalahgunaan narkoba?
10. Bagaimana pencegahan penyalahgunaan napza?
11. Apa yang dimaksud dengan obat?
12. Bagaimana penggolongan obat?
13. Apa yang dimaksud dengan obat keras?
14. Apa yang dimaksud dengan obat keras tertentu ?

B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian napza
2. Mengetahui jenis-jenis napza
3. Mengetahui penyalahgunaan napza
4. Mengetahui tahapan pemakaian napza
5. Mengetahui pengaruh narkoba bagi pecandu
6. Mengetahui gejala yang muncul akibat penyalahgunaan narkoba
7. Mengetahui gejala dan tanda remaja pecandu narkoba
8. Mengetahui faktor resiko penyebab penyalahgunaan narkoba
9. Mengetahui akibat dari penyalahgunaan narkoba
10. Mengetahui pencegahan penyalahgunaan napza
11. Mengetahui pengertian obat
12. Mengetahui penggolongan obat
13. Mengetahui pengertian obat keras
14. Mengetahui pengertian obat keras tertentu
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 NAPZA

2.1.1. Pengertian NAPZA

NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya,

meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik

dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan (BNN, 2004). NAPZA adalah zat yang

memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh orang yang mengonsumsinya.

Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa

sering, cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang

dikonsumsi (Kemenkes RI, 2010).

2.1.2. JenisJenis NAPZA

NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya.

Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok.

1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik

sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika memiliki daya adiksi

(ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian)

dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang

menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari cengkraman-nya.

Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke dalam 3

kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.


a) Narkotika golongan I
Narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini

tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau

ilmu pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain.
b) Narkotika golongan II
Narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk

pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin dan turunannya, benzetidin,

betametadol, dan lain-lain.


c) Narkotika golongan III
Narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk

pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein dan turunannya.

2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis,

yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat

yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika

adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (psyche).

Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika dapat dikelompokkan ke

dalam 4 golongan, yaitu :


a) Golongan I
Psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum diketahui manfaatnya

untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya adalah MDMA,

ekstasi, LSD, dan STP.


b) Golongan II
Psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk pengobatan dan

penelitian. Contohnya adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan

sebagainya.
c) Golongan III
Psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk pengobatan dan

penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam, dan

sebagainya.
d) Golongan IV
Psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan

dan penelitian. Contohnya adalah nitrazepam (BK, mogadon, dumolid), diazepam,

dan lain-lain.

3. Bahan Adiktif Lainnya


Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang

dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya :


a) Rokok
b) Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan

ketagihan.
c) Thinner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin,

yang bila dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan.


Jadi, alkohol, rokok, serta zat-zat lain yang memabukkan dan menimbulkan

ketagihan juga tergolong NAPZA (Partodiharjo, 2008).

2.1.3. Penyalahgunaan NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis, paling

sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam

pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan

pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya

enak bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara salah, yaitu bukan untuk

pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat.


Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa

ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik ( Sumiati, 2009).

Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi yang ditandai oleh

dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang

meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau

dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Ketergantungan

terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu (Sumiati, 2009):

1. Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau menghentikan

penggunaan NAPZA tertentu yang biasa ia gunakan, ia akan mengalami gejala putus

zat. Selain ditandai dengan gejala putus zat, ketergantungan fisik juga dapat ditandai

dengan adanya toleransi.


2. Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan NAPZA

tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan

NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala fisik.

2.1.4. Tahapan Pemakaian NAPZA

Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA yaitu sebagai berikut :

1. Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental)


Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin tahu atau coba-coba.

Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau minum-minuman beralkohol. Jarang

yang langsung mencoba memakai putaw atau minum pil ekstasi.


2. Tahap pemakaian sosial
Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat berkumpul atau pada acara tertentu),

ingin diakui/diterima kelompoknya. Mula-mula NAPZA diperoleh secara gratis atau

dibeli dengan murah. Ia belum secara aktif mencari NAPZA.


3. Tahap pemakaian situasional
Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian atau stres. Pemakaian

NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini pemakai berusaha

memperoleh NAPZA secara aktif.


4. Tahap habituasi (kebiasaan)
Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur (sering), disebut juga

penyalahgunaan NAPZA, terjadi perubahan pada faal tubuh dan gaya hidup. Teman

lama berganti dengan teman pecandu. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung,

pemarah, dan sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab narkoba mulai menjadi bagian dari

kehidupannya. Minat dan cita-citanya semula hilang. Ia sering membolos dan prestasi

sekolahnya merosot. Ia lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.


5. Tahap ketergantungan
Ia berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan berbagai cara.

Berbohong,menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia sudah tidak dapat

mengendalikan penggunaannya. NAPZA telah menjadi pusat kehidupannya.

Hubungan dengan keluarga dan teman-teman rusak. Pada ketergantungan, tubuh

memerlukan sejumlah takaran zat yang dipakai, agar ia dapat berfungsi normal.

Selama pasokan NAPZA cukup, ia tampak sehat, meskipun sebenarnya sakit.

Akan tetapi, jika pemakaiannya dikurangi atau dihentikan, timbul gejala sakit.

Hal ini disebut gejala putus zat (sakaw). Gejalanya bergantung pada jenis zat yang

digunakan. Orang pun mencoba mencampur berbagai jenis NAPZA agar dapat

merasakan pengaruh zat yang diinginkan, dengan risiko meningkatnya kerusakan

organ-organ tubuh. Gejala lain ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di

mana jumlah NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan

pengaruh yang sama seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu, jumlah yang

diperlukan meningkat. Jika jumlah NAPZA yang dipakai berlebihan (overdosis),

dapat terjadi kematian (Harlina, 2008).

2.1.5. Pengaruh Narkoba Pada Pecandu


Gambaran kondisi remaja diatas, membuktikan betapa rentannya kondisi manusia
pada masa remaja. Berikut ini beberapa sebab umum yang mendorong remaja memakai

narkoba:
a. Ingin menghilangkan kejemuan/kebosanan, mencari perhatian orangtua dan

lingkungan.
b. Ingin melarikan diri dari kenyataan ke dunia khayal. Biasanya dialami oleh

remaja yang memiliki semangat hidup rendah, tertekan dengan dirinya yang

merasa selalu gagal.


c. Ingin merubah kepribadian.

Dari sebab sebab umum diatas, berkembang beberapa faktor yang lebih mendorong

remaja untuk menggunakan narkoba, diantaranya:


a. Tindakan protes,yang dirasa tidak sesuai dengan keinginannya
b. Meningkatkan keberanian untuk hal hal negatif seperti: berkelahi, tawuran,

ugal ugalan di jalan dll


c. Mengisi kekosongan
d. Solidaritas kawan (dipengaruhi)
e. Menghilangkan masalah
f. Rasa ingin tau, sekedar ingin mencoba

2.1.6. Gejala Gejala Yang Timbul Akibat Pemakaian Narkoba


Remaja yang terlibat narkoba biasanya mengalami gangguan fungsi kerja tubuh dan

perilaku dikarenakan oleh zat adiktif / candu yang terkandung dalam berbagai jenis narkoba.

Mereka tidak dapat mengendalikan diri untuk berhenti begitu saja, sehingga menghilangkan

kontrol sosial mereka. Keadaan seperti ini membuat mereka siap melakukan apa saja untuk

mendapatkan narkoba. Inilah yang membentuk karakteristuk para pemakai narkoba.


Ciri Pecandu narkoba secara umum:
1. Suka berbohong
2. Delusive (tidak biasa membedakan dunia nyata dan khayal)
3. Cenderung malas
4. Cendrung vandalistis (merusak)
5. Tidak memiliki rasa tanggung jawab
6. Tidak bisa mengontrol emosi dan mudah terpengaruh terutama untuk hal hal

yang negatif.

2.1.7. Gejala dan Ciri ciri remaja pecandu narkoba secara fisik
Ketergantungan fisik mencakup gejala gejala yang timbul pada fisik pasien
pengguna yang menyebabkan pasien tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungannya

pada narkoba. Hal ini dipengaruhi oleh sifat toleransi yang dibawa oleh obat obatan itu

sendiri ; yaitu keadaan dimana pemakaian obat secara berulang ulang membentuk pola dosis

tertentu yang menimbulkan efek turunnya fungsi organ organ sehingga untuk mendapatkan

fungsi yang tetap diperlukan dosis yang semakin lama semakin besar.
1) Ciri fisik yang sering timbul pada pasien antara lain:
a. Pusing/ sakit kepala
b. Mual
c. Badan panas dingin
d. Sakit pada tulang- tulang dan persendian
e. Sakit hampir pada seluruh bagian badan
f. Kejang
g. Pembesaran pupil mata
h. Hidung berlendir
i. Serangan panik
2) Ciri ciri pecandu narkoba secara psikologis:
a. Halusinasi
Pemakai biasanya merasakan dua perasaan berbeda yang intensitasnya sama

kuat. Akibat dari ini menimbulkan penglihatan penglihatan bergerak, warna

warna dan mata pemakai akan menjadi sangat sensitife terhadap cahaya

terang. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan terhadap hewan percobaan,

efek hallucinogen ini mempengaruhi beberapa jenis zat kimia yang

menyebabkan tertutupnya system penyaringan informasi.


Terblokirnya saluran ini yang menghasilkan halusinasi warna, suara gerak

secara bersamaan. Biasanya halusinasi ini merupakan efek dari penggunaan

narkotika yang bersifat organic (ganja) tetapi dapat juga ditimbulkan oleh

narkotika sintetis seperti putauw.


b. Paranoid
Penyakit kejiwaan yang biasanya merupakaan bawaan sejak lahir ini juga

dapat ditimbulkan oleh pengguna narkoba dengan dosis sangat besar pada

jangka waku berdekatan. Pengguna merasa depresi, merasa diintai setiap saat

dan curiga yang berlebihan. Keadaan ini memburuk bila pengguna merasa

putus obat, menyebabkan kerusakan permanen dalam system saraf utama.


Hasilnya adalah penyakit jiwa kronis dan untuk menyembuhkan

membutuhkan waktu sangat lama. Efek ini ditimbulkan oleh jenis shabu

shabu yang memancing keaktifan daya kerja otak sehingga melebihi porsi

kerja otak normal.


c. Ketakutan pada bentuk bentuk tertentu
Pengguna narkoba pada masa putus zat (sakau) memiliki kecenderungan

psikologis ruang yang serupa diantaranya:


Takut melihat cahaya
Mencari ruang sempit dan gelap
Takut pada bentuk ruang yang menekan
Mudah terpengaruh oleh warna warna yang merangsang
d. Histeria
Pengguna cenderung bertingkah laku berlebihan diluar kesadarannya. Ciri

cirinya adalah:
Berteriak teriak
Tertawa tawa diluar sadar
Menangis
Merusak

Efek ini dapat ditimbulkan dari berbagai macam jenis narkotika karena pada dasarnya,

efek pisikologis yang ditimbulkan narkotika juga dipengaruhi oleh pembawaan pribadi

pemakai.

2.1.8. Faktor Risiko Penyalahgunaan NAPZA

Menurut Soetjiningsih (2004), faktor risiko yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA

antara lain faktor genetik, lingkungan keluarga, pergaulan (teman sebaya), dan karakteristik

individu.

a. Faktor Genetik
Risiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian bahwa remaja dari orang tua

kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4 kali sebagai peminum alkohol dibandingkan

remaja dari orang tua angkat alkoholik. Penelitian lain membuktikan remaja kembar
monozigot mempunyai risiko alkoholik lebih besar dibandingkan remaja kembar

dizigot.
b. Lingkungan Keluarga
Pola asuh dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap penyalahgunaan

NAPZA. Pola asuh orang tua yang demokratis dan terbuka mempunyai risiko

penyalahgunaan NAPZA lebih rendah dibandingkan dengan pola asuh orang tua

dengan disiplin yang ketat. Fakta berbicara bahwa tidak semua keluarga mampu

menciptakan kebahagiaan bagi semua anggotanya. Banyak keluarga mengalami

problem-problem tertentu. Salah satunya ketidakharmonisan hubungan keluarga.

Banyak keluarga berantakan yang ditandai oleh relasi orangtua yang tidak harmonis

dan matinya komunikasi antara mereka. Ketidakharmonisan yang terus berlanjut

sering berakibat perceraian. Kalau pun keluarga ini tetap dipertahankan, maka yang

ada sebetulnya adalah sebuah rumah tangga yang tidak akrab dimana anggota

keluarga tidak merasa betah. Orangtua sering minggat dari rumah atau pergi pagi dan

pulang hingga larut malam. Ke mana anak harus berpaling? Kebanyakan diantara

penyalahguna NAPZA mempunyai hubungan yang biasa-biasa saja dengan orang

tuanya. Mereka jarang menghabiskan waktu luang dan bercanda dengan orang tuanya

(Jehani, dkk, 2006).


c. Pergaulan (Teman Sebaya)
Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA, teman kelompok sebaya

(peer group) mempunyai pengaruh yang dapat mendorong atau mencetuskan

penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang. Menurut Hawari (2006) perkenalan

pertama dengan NAPZA justru datangnya dari teman kelompok. Pengaruh teman

kelompok ini dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang

bersangkutan sukar melepaskan diri. Pengaruh teman kelompok ini tidak hanya pada

saat perkenalan pertama dengan NAPZA, melainkan juga menyebabkan seseorang

tetap menyalahgunakan NAPZA, dan yang menyebabkan kekambuhan (relapse). Bila


hubungan orangtua dan anak tidak baik, maka anak akan terlepas ikatan psikologisnya

dengan orangtua dan anak akan mudah jatuh dalam pengaruh teman kelompok.

Berbagai cara teman kelompok ini memengaruhi si anak, misalnya dengan cara

membujuk, ditawari bahkan sampai dijebak dan seterusnya sehingga anak turut

menyalahgunakan NAPZA dan sukar melepaskan diri dari teman kelompoknya.


Marlatt dan Gordon (1980) dalam penelitiannya terhadap para penyalahguna

NAPZA yang kambuh, menyatakan bahwa mereka kembali kambuh karena ditawari

oleh teman-temannya yang masih menggunakan NAPZA (mereka kembali bertemu

dan bergaul). Kondisi pergaulan sosial dalam lingkungan yang seperti ini merupakan

kondisi yang dapat menimbulkan kekambuhan. Proporsi pengaruh teman kelompok

sebagai penyebab kekambuhan dalam penelitian tersebut mencapai 34%.


d. Karakteristik Individu
1) Umur
Berdasarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna NAPZA adalah mereka

yang termasuk kelompok remaja. Pada umur ini secara kejiwaan masih sangat

labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan sedang mencari identitas diri

serta memasuki kehidupan kelompok. Hasil temuan Tim Kelompok Kerja

Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba Departemen Pendidikan Nasional

menyatakan sebanyak 70% penyalahguna NAPZA di Indonesia adalah anak usia

sekolah (Jehani, dkk, 2006).


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2004) proporsi penyalahguna

NAPZA tertinggi pada kelompok umur 17-19 tahun (54%).


2) Pendidikan
Menurut Friedman (2005) belum ada hasil penelitian yang menyatakan

apakah pendidikan mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA. Akan tetapi,

pendidikan ada kaitannya dengan cara berfikir, kepemimpinan, pola asuh,

komunikasi, serta pengambilan keputusan dalam keluarga. Hasil penelitian

Prasetyaningsih (2003) menunjukkan bahwa pendidikan penyalahguna NAPZA

sebagian besar termasuk kategori tingkat pendidikan dasar (50,7%). Asumsi


umum bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin mempunyai

wawasan/pengalaman yang luas dan cara berpikir serta bertindak yang lebih baik.

Pendidikan yang rendah memengaruhi tingkat pemahaman terhadap informasi

yang sangat penting tentang NAPZA dan segala dampak negatif yang dapat

ditimbulkannya, karena pendidikan rendah berakibat sulit untuk berkembang

menerima informasi baru serta mempunyai pola pikir yang sempit.


3) Pekerjaan
Hasil studi BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun

2009 di kalangan pekerja di Indonesia diperoleh data bahwa penyalahguna

NAPZA tertinggi pada karyawan swasta dengan prevalensi 68%,

PNS/TNI/POLRI dengan prevalensi 13%, dan karyawan BUMN dengan

prevalensi 11% (BNN, 2010).

2.1.9. Dampak Penyalahgunaan NAPZA


A. Kondisi fisik
a. Akibat zat itu sendiri
Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat, misalnya intoksikasi yaitu suatu

perubahan mental yang terjadi karena dosis berlebih yang memang diharapkan oleh

pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan terjadi kondisi putus zat.

Contohnya :
Ganja : pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga mudah terserang

infeksi. Ganja juga memperburuk aliran darah koroner.


Kokain : bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi sekat hidung, jangka

panjang terjadi anemia dan turunnya berat badan.


Alkohol : menimbulkan banyak komplikasi, misalnya : gangguan lambung,

kanker usus, gangguan hati, gangguan pada otot jantung dan saraf, gangguan

metabolisme, cacat janin dan gangguan seksual.


b. Akibat bahan campuran/pelarut
Bahaya yang mungkin timbul : infeksi, emboli.
c. Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril
Akan terjadi infeksi, berjangkitnya AIDS atau hepatitis.
d. Akibat pertolongan yang keliru
Misalnya dalam keadaan tidak sadar diberi minum.
e. Akibat tidak langsung
Misalnya terjadi stroke pada pemakaian alkohol atau malnutrisi karena

gangguan absorbsi pada pemakaian alkohol.


f. Akibat cara hidup pasien
Terjadi kurang gizi, penyakit kulit, kerusakan gigi dan penyakit kelamin.

B. Kehidupan mental emosional


Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik menimbulkan perubahan pada kehidupan

mental emosional yang bermanifestasi pada gangguan perilaku tidak wajar.

Pemakaian ganja yang berat dan lama menimbulkan sindroma motivasional. Putus

obat golongan amfetamin dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri.

C. Kehidupan sosial
Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan mengganggu fungsinya

sebagai anggota masyarakat, bekerja atau sekolah. Pada umumnya prestasi akan

menurun, lalu dipecat/dikeluarkan yang berakibat makin kuatnya dorongan untuk

menyalahgunakan obat. Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga dan

kawan dekat pada umumnya terganggu. Pemakaian yang lama akan menimbulkan

toleransi, kebutuhan akan zat bertambah. Akibat selanjutnya akan memungkinkan

terjadinya tindak kriminal, keretakan rumah tangga sampai perceraian. Semua

pelanggaran, baik norma sosial maupun hukumnya terjadi karena kebutuhan akan zat

yang mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan bersifat agresif dan

impulsif (Alatas, dkk, 2006).

2.1.10. Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA


Pencegahan penyalahgunaan NAPZA, meliputi (BNN, 2004) :
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada mereka, individu,

keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki risiko tinggi terhadap


penyalahgunaan NAPZA, untuk melakukan intervensi agar individu, kelompok, dan

masyarakat waspada serta memiliki ketahanan agar tidak menggunakan NAPZA.

Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor yang dapat

menghambat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik.


2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas yang sudah

menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar mereka tidak menggunakan

NAPZA lagi.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah pernah menjadi

penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program terapi dan rehabilitasi untuk

menjaga agar tidak kambuh lagi. Sedangkan pencegahan terhadap penyalaguna

NAPZA yang kambuh kembali adalah dengan melakukan pendampingan yang dapat

membantunya untuk mengatasi masalah perilaku adiksinya, detoksifikasi, maupun

dengan melakukan rehabilitasi kembali.

2.2. Obat Keras

2.2.1. Pengertian Obat

Obat adalah bahan atau zat yang berasal dari tumbuhan, hewan,mineral maupun zat

kimia tertentu yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit, memperlambat proses

penyakit dan atau menyembuhkan penyakit.

Obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan

dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan,

menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah

pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian

badan manusia termasuk obat tradisional.


Obat ada yang bersifat tradisional seperti jamu, obat herbal dan ada yang telah melalui

proses kimiawi atau fisika tertentu serta telah di uji khasiatnya. Yang terakhir inilah yang

lazim dikenal sebagai obat.Obat harus sesuai dosis agar efek terapi atau khasiatnya bisa

kita dapatkan.

2.2.2. Macam-Macam Obat


1. Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Pada kemasan ditandai

dengan lingkaran hitam, mengelilingi bulatan berwarna hijau. Dalam obat disertai

brosur yang berisi nama obat, nama dan isi zat berkhasiat, indikasi , dosis dan aturan

pakai, nomor batch, nomor registrasi, nama dan alamat pabrik serta cara

penyimpanannya.
2. Obat bebas terbatas yaitu obat yang digunakan untuk mengobati penyakit ringan yang

dapat dikenali oleh penderita sendiri. Obat bebas terbatas termasuk obat keras dimana

pada setiap takaran yang digunakan diberi batas dan pada kemasan ditandai dengan

lingkaran hitam mengelilingi bulatan berwarna biru serta sesuai dengan Surat

Keputusan Menteri Kesehatan No. 6355/Dirjen/SK/69 tanggal 5 November 1975 ada

tanda peringatan P. No.1 sampai P.No.6 dan harus ditandai dengan etiket atau brosur

yang menyebutkan nama obat yang bersangkutan, daftar bahan berkhasiat serta

jumlah yang digunakan, nomor batch, tanggal kadaluarsa, nomor registrasi, nama dan

alamat produsen, petunjuk penggunaan, indikasi, cara pemakaian, peringatan serta

kontraindikasi.
3. Obat keras adalah obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep dokter, dimana

pada bungkus luarnya diberi tanda bulatan dengan lingkaran hitam dengan dasar

merah yang didalamnya terdapat huruf "K" yang menyentuh lingkaran hitam tersebut.

Termasuk juga semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang digunakan secara

parenteral baik dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain dengan

jalan merobek jaringan.


4. Obat Narkotika dan Psikotropika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik

sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat

menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan.

Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang

berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

2.2.3. Obat Keras

Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat

keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, ditandai dengan lingkaran

merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat keras merupakan

obat yang hanya bisa didapat dengan resep dokter.

Obat keras adalah Obat yang hanya dapat diperoleh diapotek dengan resep dan atau

tanpa resep dokter yang diserahkan sendiri oleh apoteker (khusus untuk obat wajib

apotek /OWA), dengan tanda khusus lingkaran berwarna merah dan bergaris tepi hitam

dengan tulisan K warna hitam di dalam lingkaran warna merah tersebut.


Obat keras terdiri dari:

1. Daftar G atau Obat Keras seperti antibiotika, anti diabetes, anti hipertensi, dan

lainnya.
2. Daftar O atau Obat Bius/Anastesi adalah golongan obat-obat narkotika.
3. Obat Keras Tertentu (OKT) atau Psikotropik, seperti obat penenang, obat sakit

jiwa, obat tidur, dan lainnya.


4. OWA yaitu Obat Keras yang dapat dibeli dengan resep dokter, namun dapat pula

diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotik tanpa resep dokter dengan

jumlah tertentu, seperti anti histamine, obat asma, pil anti hamil, beberapa obat

kulit tertentu, dan lainnya.

Diantara peraturan mengenai OWA adalah antara lain :

Permenkes no.919/MENKES/PER/X/1993 tentang criteria OWA

Kepmenkes no.347/MENKES/SK/VII/1990 tentang OWA no.1

Permenkes no.924/MENKES/PER/X/1993 tentang OWA no.2

Permenkes no.925/MENKES/PER/X/1993 tentang perubahan golongan OWA no.1

obat-obat yang dapat digolongkan dalam golongan obat keras adalah

a. semua obat yang pada bungkusan luarnya oleh si pembuat disebutkan bahwa obat

itu hanya boleh diserahkan dengan resep dokter.


b. semua obat yang di bungkus sedemikan rupa yang jelas untuk digunakan secra

parenteral,baik dengan cara suntikan maupun cara pemakaian lain dengan cara

merobek rangkaian asli dari jaringan tubuh.


c. semua obat baru,kecuali jika telah dinyatakan secara tertulis oleh departemen

kesehatan bahwa obat baru tersebut tidak membahayakan manusia.


d. semua obat yang tercanum dalam daftar obat keras,baik dalam bentuk tunggal

maupun semua sediaan yang mengandungobat tersebut.pengecualian jika


dibelakang nama obat disebutkan nama lainatau jika ada pengecualian bahwa obat

tersebutmasuk kedalam obat bebas terbatas.


contoh: Acetanilidum

Adrenalinum

Antibiotic

Antihistamin

apomorphinum

Obat keras adalah obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep dokter, dimana

pada bungkus luarnya diberi tanda bulatan dengan lingkaran hitam dengan dasar merah

yang didalamnya terdapat huruf K yang menyentuh garis tepi. Obat yang masuk ke

dalam golongan obat keras ini adalah obat yang dibungkus sedemikian rupa yang

digunakan secara parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian

lain dengan jalan merobek jaringan, obat baru yang belum tercantum dalam

kompendial/farmakope terbaru yang berlaku di Indonesia serta obat-obat yang ditetapkan

sebagai obat keras melalui keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia. diperlukan

informasi lengkap terkait penggunaan obat ini karena jika tidak digunakan secara tepat

dapat menimbulkan efek samping yang tidak baik bagi tubuh sebaiknya konsultasikan

kepada Apoteker jika anda mendapatkan obat-obat berlabel obat keras dari resep dokter,

penggunaan obat yang terpat akan meningkatkan efektivitas obat terhadap penyakit dan

meminimalkan efek sampingnya.

Contoh :

1. Sediaan Antibiotik
(Ex : Amoxicillin, Ampicillin, Ciprofloxacin, Kloramfenicol, Tetracyclin, Sefadroksil,

Metronidazol dll)
2. Sediaan Obat Analgesik (Pereda Nyeri)
(Ex : Piroksikam, Meloksikam, Phenylbutazon dll)
3. Sediaan Obat Antihipertensi
(Ex : Captopril, Nifedipin, Amlodipin, Candesartan, HCT dll)
4. Sediaan Obat Antidiabet
(Ex : Glibenklamid, Metformin dll)
5. Sediaan Obat Kortikosteroid
(Ex : Dexamethason, Metilprednison dll)
6. Sediaan Obat Penyakit Gout/Asam Urat
(Ex : Allopurinol)
7. Sediaan Obat Penurun Kolesterol
(Ex : Simvastatin, Atorvastatin, Gemfibrozil, dll)

Sedangkan contoh beberapa obat yang masuk Obat Wajib Apotek (OWA) :

1. Sediaan Obat Kontrasepsi


(Ex : Lyndiol tablet, Mycrogynon tablet, Endometril tablet, dll)
2. Sediaan Obat saluran Cerna
(Ex : Decamag tab, Gastran tab, Dulcolax tab salut, Metoclopramide, Papaverin HCl tab,

dll)
3. Sediaan Obat Mulut dan Tenggorokan
(Ex : Hexadol solution, Bactidol solutio, dll)
4. Sediaan Obat Saluran Nafas
(Ex : Salbutamol tablet/sirup, Terbutaline tablet/inhaler, Bromheksin tablet dll)
5. Sediaan Obat Analgetik, depresan
(Ex : Asam mefenamat tablet, Aspirin+caffein tablet, Alvita kaplet (Antalgin + Vitamin

B1, B6, B12) dll)


6. Sediaan Obat Kulit Topikal
(Ex : Tetracycline salep, Kloramfenikol salep, Decoderm-3 krim, bufacort-N krim, New-

Kenacomb krim dll)


7. Sediaan Obat Antiparasit
(Ex : Albendazol tablet/suspensi (obat cacing) dll)
8. Sediaan Obat Antiradang-antireumatik
(Ex : Ibuprofen kaplet/tablet/sirup, Natrium diklofenak gel/krim dll)

2.4. Obat Keras Tertentu (Psikotropika)

OKT(Psikotropika-UU No. 5/ 1997) : Zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis

bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan

syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.

1. Psikotropika gol I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan

tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan

sindroma ketergantungan. Contoh:Brolamfetamine (DOB)


2. Psikotropika gol II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi

dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat,

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amfetamina, Sekobarbital


3. Psikotropika gol III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi

dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang,

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amobarbital, Pentobarbital


4. Psikotropika gol IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam

terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan,

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Bromazepam, Klordiasepoksida ,

Diazepam, Meprobamat, Klokzazolon, Nitrazepam

BAB III
TERAPI MODALITAS

A. Pengertian

Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini diberikan

dalam upaya mengubah perilaku pasien dari maladaptif menjadi adaptif (Keliat,2005). Terapi

modalitas adalah terapi dalam keperawatan jiwa dimana perawat mendasarkan potensi yang

dimiliki pasien (modal-modality) sebagai titik tolak terapi atau penyembuhan (sarka, 2008).

B. Dasar pemberian terapi modalitas


1. Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian atau perilaku manusia.
2. Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan dan dibina kearah kondisi yang

mengandung reaksi (respon yang baru).


3. Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada atau tidak adanya faktor-faktor yang

sifatnya menimbulkan tekanan sosial pada individu sehingga reaksi individu tersebut

dapat diprediksi.
4. Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam menunjang dan

menghambat perilaku individu dalam kelompok sosial.


5. Terapi modalitas adalah proses pemulihan fungsi fisik mental emosional dan sosial ke

arah keutuhan pribadi yang dilakukan secara holistik.

C. Jenis terapi modalitas

a) Terapi individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan

hubungan individu antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang

terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien.

Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi,

dilakukan dengan tahapan sistematis sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan

tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.
b) Terapi lingkungan
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi menata lingkungan agar terjadi perubahan

perilaku pada klien dari perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif. Perawat

menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti teraupetik. Bentuknya adalah

memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan

pada penilaian teraupetik dalam aktivitas dan interaksi. Tujuan dari terapi lingkungan

adalah memampukan klien dapat hidup di luar lembaga yang diciptakan melalui

belajar kompetensi yang diperlukan untuk beralih dari lingkungan rumah sakit ke

lingkungan rumah tinggalnya.


c) Terapi biologi atau terapi somatis
d) Terapi kognitif
e) Terapi keluarga
f) Terapi kelompok
g) Terapi perilaku
h) Terapi bermain

1. Terapi kognitif (cognititive behavior therapy)

Terapi kognitif merupakan salah satu terapi perilaku yang menggunakan kognisi

sebaga kunci dari perubahan perilaku. Terapis membantu klien dengan cara membantu klien

dengan cara membuang pikiran dan keyakinan buruk klien untuk kemudian diganti dengan

konstruksi pola pikir yang lebih baik. Model psikologi menggunakan konsep dari teori

psikologi bahwa kecanduan adalah buah dari emosi yang tidak berfungsi selayaknya sehingga

pecandu memakai obat pilihannya untuk meringankan dan melepaskan beban psikologis,

model ini mementingkan penyembuhan emosi. Interensi psikososial merupakan suatu

pendekatan yang mengutamakan pada masalah psikologis dan sosial yang disandang oleh

pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien menghadapi setiap masalah,

model intervensi psikososial yang dapat digunakan adalah cognitive behavior therapy (CBT)

dan konseling dasar. Terapi ini berusaha untuk mengintegrasikan teknik-teknik teraupetik

yang berfokus untuk membantu individu melakukan perubahan, tidak hanya pada perilaku

nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan, dan sikap yang mendasarinya. Terapi kognitif-

behavioral memiliki asumsi bahwa pola pikir dan keyakinan mempengaruhi perilaku dan

perubahan pada kognitif ini dapat menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan (Nevid,

et al, 2003).

Terapi kognitif merupakan strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang

mempengaruhi perasaan dan perilaku klien, dimana prosesnya yaitu membantu

mempertimbangkan stresor dan mengidentifikasi pola pikir dan keyakinan yang tidak akurat,

dengan fokus asuhan yaitu revluasi ide, nilai, harapan, dan memulai menyusun perubahan

kognitif.
2. Tujuan terapi kognitif:
a. Mengembangkan pola pikir yang rasional
b. Menggunakan pengetesan realita
c. Membantu perilaku dengan pesan internal

3. Intervensi:
a. Mengajar substitusi pikiran
b. Menyelesaikan masalah
c. Memodifikasi percakapan diri negatif
4. Teknik dalam terapi kognitif:

1. Cognitive restructuring methods

Konsep dasar cognitive restructuring method untuk membantu klien mengidentifikasi

pikiran-pikiran buruknya, kemudian menggantinya dengan pikiran-pikiran yang lebih

rasional dan realistis. Ada dua jenis cognitive restructuring metods:

a. Elliss rational emotive (behavior) therapy

1. Masalah emosi berasal dari pernyataan irrasional ketika menghadapi kejadian

yang tidak sesuai dengan harapannya.

2. Mengajarkan klien mengubah pikiran irrasional menjadi pikiran rasional yang

lebih positif dan realistis.

3. Menantang pikiran irrasional dengan memberikan interpretasi rasional

terhadap kejadian buruk yang menimpa klien.

4. Memberikan tugas rumah.

b. Becks cognitive therapy

1. Gangguan emosi karena adanya disfungsi berfikir

2. Mengidentifikasi disfungsi berfikir dan asumsi maladaptif yang menjelaskan

emosi yang tidak menyenangkan.


3. Menetralisir disfungsi berfikir menjadi testing realitas.

2. Self instructional coping methods

Konsep ini bertujuan untuk mengganti pikiran negatif menjadi positif.

Langkah-langkah

a. Mengidentifikasi stimulus yang menyebabkan stres

b. Melalui modeling atau behaviour rehearsal

c. Mengajarkan klien self instruction

d. Mengajarkan klien self reinforcing setelah berhasil menguasai situasi

3. Problem solving methods

Langkah-langkahnya terdiri dari:

Tahap problem solving

1. Orientasi umum

Menjelaskan dasar pikiran

Mengarahkan pemahaman yang merupakan bagian hidupnya

Menekankan pada klien bahwa ia harus belajar mengenali situasi yang

terajadi dan respinnya yang seharusnya tidak dimunculkan secara

otomatis.

Klien dapat bertanya


Klien menceritakan situasi problematis yang dialami dan reaksi yang

berhubungan dengan pemikiran dan perasaannya.

BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN

PENYALAHGUNAAN NAPZA

Tn. A 19 tahun sebagai mahasiswa salah satu PTS di Jakarta sudah 6 bulan terakhir
menggunakan sabu-sabu. Klien mengatakan sudah berusaha untuk menghentikan
kebiasaan mengkonsumsi sabu-sabu, tetapi keinginan ini tidak bertahan lama karena dia
sering bertemu dan berkumpul bersamateman-teman pemakai napza. Klien sulit untuk
menolak ajakan teman-temannya. Keluarga membawa klien ke panti rehabilitasi.

1. Pengkajian
A. Fisik : Sakau, nyeri, gangguan pola tidur, gelisah
B. Emosional : Perasaan gelisah, tidak percaya diri, curiga, dan tidak berdaya.
C. Sosial : Dikucilkan dari masyarakat
D. Intelektual : Sulit berkonsentrasi dan penurunan kemampuan berpikir
E. Spiritual : Tidak melakukan ibadah yang biasa dilakukan, perilaku berbohong

2. Diagnosa
1. Koping individu tidak efektif b.d tidak mampu mengatasi keinginan menggunakan
zat.
2. Intoleransi aktivitas (kuranga ktivitas) berhubungan dengan kurangnya motivasi
untuk sembuh
3. Perubahan pemeliharaan kesehatan dan ADL.

3. RencanaTindakan
MASALAH KEPERAWATAN INTERVENSI
Koping individu tidak efektif b.d tidak Tujuan:
mampumengatasi keinginan menggunakan zat.
Data Objektif: Klien mampu untuk mengatasi
Kliensakau keinginan menggunakan zat aditif.
Klien memaksa petugas untuk pemakaian Individu :
zat Mengidentifikasi situasi yang
Data Subjektif: menyebabkan timbulnya sugesti
Mengidentifikasi perilaku ketika
Klien tampak gelisah, tidak berdaya dan sugesti datang
tidak percaya diri Mendiskusikan cara mengalihkan
Klien mengeluh nyeri pikiran dari sugesti ingin
menggunakan zat dengan
menciptakan sugesti yang lebih
positif.
Berikan Latihan menggunakan
kata-kata ingin hidup sehat,
masa depan penting, masih
ada harapan.
Membantu klien untuk
mengekspresikan perasaannya.

Intoleransi aktivitas (kuranga ktivitas) Tujuan:


berhubungan dengan kurangnya motivasi untuk Klien mampu meningkatkan

sembuh aktivitas terutama mengisi waktu


luang
Data Subjektif: Klien:
Klien merasa bosan Mengidentifikasi potensi/
Klien merasa tidak percaya diri
hobi/aktivitas yang menyenangkan
Data Objektif: Mendiskusikan manfaat aktivitas
Membantu merencanakan aktivitas
Tidakbekerjadantidaksekolah
(susun jadwal)
Tidakterlibatpekerjaan di rumah Memberikan Motivasi untuk
Sulit berkonsentrasi
melakukan aktivitas secara teratur
Memberikan Motivasi untuk
mengatasi malas dengan memulai
segera
Memberikan Motivasi untuk
mengatasi bosan dengan selingan
istirahat saat beraktivitas
Kompensasikan dengan membaca
Perubahan pemeliharaan kesehatan dan ADL Tujuan:
Klien mampu mengambil keputusan
Data Objektif:
merubah dan memperbaiki gaya
Klien tidak berdaya
Klien tampak gelisah hidupnya
Klien:
Data Subjektif: Mengidentifikasi gaya hidup

Mengaku sulit berkonsentrasi selama menggunakan zat


Terjadi penurunan kemampuan berpikir Mendiskusikan kerugian gaya
hidup penggunaan zat
Membantu kebiasaan mengontrol
penggunaan zat
Membantu latihan gaya hidup
sehat: makan, mandi, tidur secara
teratur

Kalimat Aplikatif:

Fase Orientasi
Selamatpagi Dik, perkenalkan saya suster Y. Nama adik siapa? Lebih senang
dipanggil apa? Bagaimana keadaan adik pagi ini? Apa keluhan adik saat ini?
Kalau adik A tidak keberatan, bagaimana kalau kita berdiskusi mengenai cara
mengontrol keinginan menggunakan zat? Dimana adik ingin berdiskusi? Di ruang
tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau 20 menit?

Fase Kerja
Apa yang biasa adik A pakai sebelum masuk kepanti rehabilitasi ini? Dari mana
adik A peroleh sabu-sabu tersebut? Sejak kapan adik A menggunakan sabu-sabu
tersebut? Apakah keinginan untuk menggunakan zat tersebut sering kali muncul?
Pada saat kapan keinginan tersebut muncul? Apakah setiap kali berkumpul dengan
mereka, mereka selalu mengajak untuk menggunakan zat tersebut? Apakah respon
mereka jika adik menolak ajakan mereka untuk menggunakan zat tersebut? Lalu
bagaimana adik menanggapi ajakan mereka untuk menggunakan zat tersebut?
Apakah ada keluhan kesehatan selama adik A menggunakan sabu-sabu tersebut?
Bagaimana interaksi sosial adik di lingkungan masyarakat? Bagaimana dengan
kuliah adik? Dari mana adik A peroleh uang untuk membeli sabu-sabu tersebut?
Apakah adik tahu konsekuensi hukum bila menggunakan sabu-sabu?

Bagaimana pola tidur adik ketika menggunakan sabu-sabu? Lalu bagaimana


dengan pola makan adik? Bagaimana adik menjaga kebersihan diri? Apakah ada
zat adiktif lain yang adik A gunakan selain sabu-sabu? Seberapa seringa dik
merokok dan meminum alkohol tersebut dalam sehari?

Sekarang mari kita bicarakan apa saja dampak yang akan ditimbulkan jika adik
menggunakan sabu-sabu. Dari segi kesehatan, obat terlarang termasuk alkohol dan
rokokakan menyebabkan sesak nafas, sulit berpikir dan berkonsentrasi, dapat
menurunkan daya tahan tubuh, dapat meningkatkan tekanan darah bahkan
menyebabkan stroke dan kematian. Dari segi interaksi sosial, adik akan dikucilkan
dari lingkungan.... Dengan menurunnya kemampuan berpikir dan berkonsentrasi,
prestasi adik di bangku tentu akan mengalami penurunan juga. Kasian dengan orang
tua adik yang suka bekerja keras menyekolahkan adik tapi ternyata uang yang mereka
berikan, adik pergunakan untuk membeli sabu-sabu yang tidak ada manfaatnya.
Kehidupan di dalam penjara menjadi terbatas, adik tidak bertemu dengan keluarga
setiap waktu.... Dengan pola tidur dan pola makan seperti itu akan mengganggu
kerja tubuh, sehingga daya tahan tubuh adik dapat mengalami penurunan dan adik
menjadi gampang terserang penyakit Kebersihan diri harus dijaga dengan baik agar
kuman, jamur dan bakteri tidak menempel di tubuh yang mana dapat menyebabkan
penyakit seperti panu, kadas, kurap, dll. Oleh karena itu, adik A sebaiknya mandi
sehari 2 kali, menggosok gigi saat mandi, setelah makan dan sebelum tidur...

Apakah adik ingin berhenti menggunakan sabu-sabu? Bagus sekali adik! Berapa
kali adik mencoba untuk berhenti? Bagaimana perasaan adik A ketika tidak
menggunakan sabu-sabu?

Sekarang mari kita bicarakan bagaimana cara mengontrol keinginan untuk


menggunakan sabu-sabu. Ada beberapa cara, yaitu:
1. Hindari teman-teman yang menawarkan sabu-sabu
2. Kunjungi teman-teman yang tidak menggunakan sabu-sabu
3. Bicara pada teman-teman yang berhasil berhenti
4. Kalau pergi keluar rumah sebaiknya ditemani keluarga
Apakah adik A memiliki hobi tertentu? Bagus sekali adik A, dengan hobi adik
bermain alat musik, tidak menutup kemungkinan adik dapat menjadi musisi terkenal
suatu saat nanti. Coba adik A lihat aspek positif apalagi yang ada dalam diri adik
A. Iya, bagus sekali adik A. Adik A masih sangat muda, masa depan yang cerah
masih menunggu kamu, punya pendidikan yang masih adik A dapat lanjutkan. Selain
itu, adik A juga masih punya ayah, ibu dan keluarga yang begitu perhatian dan penuh
kasih sayang. Ternyata banyak sekali hal positif dalam kehidupan adik A
Sekarang bagaimana kalau adik A berlatih mensyukuri hal positif yang ada pada A
Katakan saya masih muda, saya harus berhenti!

Selain itu lakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Apa contohnya A?


Bagus! Mari kita buat jadwal kegiatannya.

Fase Terminasi

Bagaimana perasaan adik A setelah kita bercakap-cakap? Iya, bagus sekali. Nah,
suster mau tanya lagi:Coba adik A sebutkan kembali hal-hal positif yang masih adik
A miliki Ya, bagus sekali adik A Yang mana yang mau dilatih? Katakan saya
masih muda, saya harus berhenti. (Afirmasi).
Sekarang coba sebutkan kembali cara menghindari penggunaan sabu-sabu Ya,
Benar sekali Yang mana yang mau dilatih? Nah, masukkan dalam jadwal
latihannya dan dicoba Besok pagi suster akan datang kembali, kita akan diskusikan
lagi hasil latihannya dan kita latih cara yang lain. Bagaimana adik A Baiklah
kalau begitu besok jam 11.00 kita ketemu lagi ya. Sampai jumpa

Strategi pertemuan dengan pasien dan keluarga dengan penyalahgunaan dan


ketergantungan NAPZA

No. Kemampuan pasien Tanggal/bulan


dan keluarga
A. SP Pasien
SP 1
1. Membina hubungan
saling percaya
2. Mendiskusikan
dampak NAPZA
3. Mendiskusikan cara
meningkatkan
motivasi
4. Mendiskusikan cara
mengontrol keinginan
5. Latihan cara
meningkatkan
motivasi
6. Latihan cara
mengontrol keinginan
7. Membuat jadwal
SP 2
1. Mendiskusikan cara
menyelesaikan
masalah
2. Mendiskusikan cara
hidup sehat
3. Latihan cara
menyelesaikan
masalah
4. Latihan cara hidup
sehat
5. Mendiskusikan
tentang obat
B. Keluarga
SP 1
1. Mendiskusikan
masalah yang dialami
2. Mendiskusikan
tentang NAPZA
3. Mendiskusikan
tahapan penyembuhan
4. Mendiskusikan cara
merawat
5. Mendiskusikan
kondisi yang perlu
dirujuk
6. Latihan cara merujuk
SP 2
1. Mendiskusikan cara
meningkatkan
motivasi
2. Mendiskusikan
pengawasan dalam
minum obat

A. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari klien adalah sebagai berikut:
1. Klien mengetahui dampak NAPZA
2. Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti
menggunakan NAPZA
3. Klien mampu mengontrol kemampuan keinginan menggunakan NAPZA kembali
4. Klien dapat menerapkan cara hidup yang sehat
5. Klien mematuhi program pengobatan

Evaluasi yang diharapkan dari keluarga adalah sebagai berikut:

1. Keluarga mengetahui masalah yang dialami klien


2. Keluarga mengetahui tentang NAPZA
3. Keluarga mengetahui tahapan proses penyembuhan klien
4. Keluarga berpartisipasi dalam merawat klien
5. Keluarga memberikan motivasi pada klien untuk sembuh
6. Keluarga mengawasi klien dalam minum obat
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, H., Madiyono, B., 2006. Penanggulangan Korban Narkoba Meningkatkan Peran

Keluarga dan Lingkungan, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

____. 2004. Komunikasi Penyuluhan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, Jakarta: BNN.

Harlina, L., Joewana, S., 2008. Belajar Hidup Bertanggung Jawab, Menangkal Narkoba dan

Kekerasan, Jakarta : Balai Pustaka.

Jehani, L., Antoro, 2006. Mencegah Terjerumus Narkoba, Jakarta: Visimedia.

Partodiharjo, S., 2008. Kenali NARKOBA dan Musuh Penyalahgunaannya, Jakarta : Penerbit

Erlangga.

Soetjiningsih, 2004. Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya, Jakarta : CV.Sagung

Seto.

Sumiati, 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Penyalahgunaan dan Ketergantungan

Khair, Masykur. 2016. Modul Keperawatan Napza. Bogor. Akper Al-Ikhlas.

APZA, Jakarta : Trans Info Media (TIM).

Anda mungkin juga menyukai