Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO

TOKSIKOLOGI NARKOBA

Oleh :

SURYANI RAHMAN N 111 18 061


PUTU GITA DIAH SAVITRI N 111 18 066

Pembimbing :

Dr. dr. Annisa Anwar Muthaher, SH., M.Kes.,Sp.F

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN
MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU

1
2020

BAB 1

PENDAHULUAN

Kasus penyalahgunaan narkotika semakin hari semakin meningkat.


Diperkirakan antara 153-300 juta jiwa atau sebesar 3,4% - 6,6%
penyalahguna narkotika di dunia usia 15-64 tahun pernah mengkonsumsi
narkotik sekali dalam setahun, dimana hampir 12% (15,5 juta jiwa sampai
dengan 38,6 juta jiwa) dari pengguna adalah pecandu berat. Menurut data
terakhir dari Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2012, jumlah
pecandu narkotika yang mendapatkan pelayanan terapi dan rehabilitasi
diseluruh Indonesia tahun 2012 menurut data Deputi Bidang Rehabilitasi
BNN adalah sebanyak 14.510 orang, dengan jumlah terbanyak pada
kelompok usia 26-40 tahun yaitu sebanyak 9.972 orang. Jenis narkoba
yang paling banyak digunakan oelh pecandu yang mendapatkan pelayanan
terapi dan rehabilitasi adalah shabu (4.697 orang), selanjutnya secara
berurutan adalah jenis ganja (4.175 orang), heroin (3. 455 orang), ekstasi
(1.536 orang) dan opiat (736 orang)1.
Kasus Narkoba DI Kota Palu 3 tahun terakhir yang ditangani oleh
Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Palu ditemukan data kasus
penyalahgunaan narkotika di Kota Palu pada tahun 2012 berjumlah 85
Kasus. Berbeda dengan kasus pada tahun 2012, angka ini menurun
menjadi 49 kasus pada tahun 2013. Namun, hingga bulan November
Tahun 2014 jumlah kasus penyalahgunaan narkotika justru bertambah
menjadi 55 kasus.Hal ini menunjukkan bahwa kasus penyalahgunaan
narkotika masih sangat mengkuatirkan, apalagi data yang terkumpul
merupakan jumlah yang terdata, bukan tidak mungkin angka yang tidak
terdeteksi (terdata) jauh lebih tinggi jumlahnya. Sehingga nampak bahwa
peredaran dan penyalahgunaan Narkotika di Kota Palu masih cukup tinggi,

2
walaupun sudah menurun jika dibandingkan pada tahun 2012, namun lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tahun 20132.

Narkotika menurut UU no 35 tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana yang terlampir dalam
Undang-Undang. Sedangkan penyalah guna adalah orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum1.
Toksikologi forensik mempelajari tentang ilmu dan aplikasi toksikologi
untuk kepentingan hukum. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah
melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun sebagai bukti fisik
serta melakukan interpretasi hasil analisis racun tersebut baik pada korban hidup
maupun pada korban yang telah meninggal1.
Untuk memperoleh hasil pemeriksaan yang dapat dipertanggung-
jawabkan, maka syarat-syarat pengambilan, pemilihan, penyimpanan, dan
pengiriman sampel toksikologi ke laboratorium harus dipenuhi dan benar-benar
diperhatikan. Hal ini penting karena setiap obat memiliki stabilitas yang
berbedabeda sehingga nantinya akan mempengaruhi hasil analisis racun1.
Pada saat pemilihan sampel untuk toksikologi untuk korban penyalahguna
narkotika beberapa hal harus dipertimbangkan yaitu sampel mudah untuk
dianalisis, sampel mudah didapatkan, pertimbangkan juga apakah yang dicari obat
induk atau metabolitnya, waktu deteksi obat, stabilitas obat pada spesimen,
volume sampel yang diperlukan serta apakah referensi data kuantitatif obat
terhadap sampel yang kita pilih tersedia1.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta
khasiat racun, gejala-gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan
yang didapatkan pada korban yang meninggal3.
Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi
seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam
tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik,
intravena, dan lain sebagainya. Narkoba dibagi dalam 3 jenis : Narkotika,
psikotropika, zat adiktif lainnya4.
Narkotika berasal dari bahasa yunani : Narkosis ialah setiap obat
yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan suatu
keadaan stupor3.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis,
bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas
mental dan prilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa3.
Zat adiktif dapat dikatakan suatu zat yang resiko pemakaiannya
dapat menimbulkan ketergantungan fisik yang kuat dan ketergantungan
psikologis yang panjang. Jika individu mengkonsumsi zat tersebut secara
berlebihan akan menimbulkan kadar zat yang semakin meningkat sehingga
terjadi suatu ketidak seimbangan kimiawi dalam tubuh dan biasanya
disebut dengan keracunan, perubahan perilaku, memori kognitif, alam
perasaan dan kesadaran yang disebut sebagai intoksikasi5.
2.2 Epidemiologi

4
Penyalahgunaan NAPZA di dunia terus mengalami kenaikan
dimana hampir 12% (15,5 juta jiwa sampai dengan 36,6 juta jiwa) dari
pengguna adalah pecandu berat. Menurut World Drug Report tahun 2012,
produksi NAPZA meningkat salah satunya diperkiraan produksi opium
meningkat dari 4.700 ton di tahun 2010 menjadi 7.000 ton di tahun 2011
dan menurut penelitian yang sama dari sisi jenis narkotika, ganja
menduduki peringkat pertama yang disalahgunakan di tingkat global
dengan angka pravalensi 2,3% dan 2,9% per tahun6.
Kasus penyalahgunaan NAPZA di Indonesia dari tahun ke tahun
juga terus mengalami kenaikan berdasarkan survei Penyalahgunaan
Narkoba Tahun 2019 menunjukkan bahwa angka prevalensi penyalahguna
narkoba di Indonesia mencapai 1,80% atau sekitar 3.419.188 jiwa atau
bisa dikatakan 180 dari 10.000 Penduduk Indonesia berumur 15 – 64 tahun
terpapar memakai narkoba selama satu tahun terakhir. Narkoba yang
paling banyak digunakan adalah shabu, ganja diikuti oleh ATS dan zat
psikotropika lainnya dengan cara penggunaannya adalah disuntik, dirokok,
dihirup, disuntik & dihirup, ditelan dan sublingual. Angka kematian karena
narkotika dan obat terlarang (narkoba) di Indonesia mencapai taraf yang
mengkhawatirkan. Dalam sehari, jumlahnya mencapai 40-50 orang.

Kasus Narkoba DI Kota Palu 3 tahun terakhir yang ditangani oleh


Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Palu ditemukan data kasus
penyalahgunaan narkotika di Kota Palu pada tahun 2012 berjumlah 85
Kasus. Berbeda dengan kasus pada tahun 2012, angka ini menurun
menjadi 49 kasus pada tahun 2013. Namun, hingga bulan November
Tahun 2014 jumlah kasus penyalahgunaan narkotika justru bertambah
menjadi 55 kasus.Hal ini menunjukkan bahwa kasus penyalahgunaan
narkotika masih sangat mengkuatirkan, apalagi data yang terkumpul
merupakan jumlah yang terdata, bukan tidak mungkin angka yang tidak
terdeteksi (terdata) jauh lebih tinggi jumlahnya. Sehingga nampak bahwa
peredaran dan penyalahgunaan Narkotika di Kota Palu masih cukup tinggi,

5
walaupun sudah menurun jika dibandingkan pada tahun 2012, namun lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tahun 20132.
2.3 Klasifikasi
1. Narkotika
Jenis narkotika di bagi atas 3 golongan :
a Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling
berbahaya, daya adiktif sangat tinggi menyebabkan
ketergantunggan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan
apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan.
Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin tidak
murni berupa bubuk.
b Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memiliki
daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan
penelitian. Contoh : petidin dan turunannya, benzetidin,
betametadol.
c Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki
daya adiktif ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk
pengobatan dan penelitian. Contoh: kodein dan turunannya
2. Psikotropika
Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan :
a Golongan I : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang
sangat kuat untuk menyebabkan ketergantungan, belum
diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti
khasiatnya seperti esktasi (menthylendioxy
menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul), sabu-
sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin).
b Golongan II : adalah psikotropika dengan daya aktif yang
kuat untuk menyebabkan Sindroma ketergantungan serta
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh :
ampetamin dan metapetamin.

6
c Golongan III : adalah psikotropika dengan daya adiktif
yang sedang berguna untuk pengobatan dan penelitian.
Contoh: lumubal, fleenitrazepam.
d Golongan IV : adalah psikotropika dengan daya adiktif
ringan berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh:
nitra zepam, diazepam8.
3. Zat adiktif
Zat adiktif juga termasuk dalam golongan narkoba yang
dikategorikan menjadi 3 :
a Sedative-Hipnotik merupakan penekan susunan saraf pusat.
Dalam dosis kecill dapat mengatasi ansietas (perasaan
cemas) sedangkan dalam jumlah besar dapat menginduksi
tidur. Contohnya antara lain : sedatin/pil BK, rohypnol,
magadon, valium dan mandrax (MX). SedativeHipnotik
yang banyak disalahgunakan adalah golongan
Benzodiazepin yang dapat dikonsumsi secara oral (ditelan).
b Amfetamin (Stimulan) Amfetamin adalah suatu bahan
sintetik (buatan) yang tergolong perangsang susunan saraf.
Ada tiga jenis amfetamin yaitu laevoamfeamin (benzedrin),
dekstroamfetamin (deksedrin), dan metilamfetamin
(metedrin). Golongan amfetamin yang banyak
disalahgunakan adalah MDMA (3,4, metilan-di-oksi met-
amfetamin) atau lebih dikenal dengan ekstasi dan
metamfetamin (shabu-shabu). Amfetamin dapat dikonsumsi
dengan cara ditelan, yang kemudian akan diabsorbsi
seluruhnya ke dalam darah. Pada penggunaan secara
intravena dalam beberapa detik akan sampai di otak.
c Halusinogen berpengaruh terhadap persepsi bagi
penggunanya. Orang yang mengkonsumsi obat tersebut
akan menjadi orang yang sering berhalusinasi, misalnya
mereka mendengar atau merasakan sesuatu yang ternyata

7
tidak ada. Pengaruh halusinogen ini sangat bervariasi,
sehingga sulit diramalkan bagaimana atau kapan mereka
mulai berhalusinasi. Halusinogen alami antara lain ganja,
kecubung, meskalin yang berasal dari kaktus Liphophora
williamsii dan psilocybin yang berasal dari jamur Psilocybe
mexicana dan halusinogen sintetik antara lain adalah LSD
(Lysergic acid Diethylamide). Ganja akan menimbulkan
halusinogen bila pada dosis yang tinggi9.

2.4 Tanda dan gejala keracunan


1. Narkotika
Keracunan dapat terjadi secara akut maupun kronik. Keracunan
akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri, tetapi dapat pula
terjadi pada kecelakaan dan pembunuhan. Gejala keracunan
diawali dengan eksitasi susuan saraf yang kemudian disusul oleh
narkosis. Penderita merasa ngantuk, yang makin lama makin dalam
dan berakhir dengan keadaan koma, terdapat relaksasi otot-otot
sehingga lidah dapat menutupi saluran nafas, nadi kecil dan lemah,
pernafasan sukar, irregular, pernafasan dangkal – lambat, suhu
badan turun, muka pucat, pupil miosis (pin-head size) yang akan
melebar kenbali setelah terjadi anoksia, tekanan darah menurun
hingga syok4.
2. Psikotropika
Untuk barbiturat, gejala akutnya adalah ataksia, vertigo,
pembicaraan kacau, nyeri kepala, parestesi, halusinasi, gelisan dan
delirium. Bila sudah kronis (adiksi), dapat berupa kelainan
psikiatrik seperti depresi melankolik, regresi psikik, wajah kusut,
emosi tidak stabil4.
2.5 Faktor yang mempengaruhi keracunan
Berbagai faktor memengaruhi terjadinya keracunan :

8
1. Cara masuk Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun
secara inhalasi. Cara masuk lain berturut-turut adalah intravena,
intramuskular, intraperitoneal, subkutan, peroral dan palig lambat
ialah melalui kulit yang sehat.
2. Umur. Kecuali untuk beberaoa jenis racun tertentu orang tua dan
anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat, bayi prematur
lebih rentan terhadap obat karena ekskresi melalui ginjal berlum
sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup
3. Kondisi tubuh. Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah
mengalami keracunan. Pada penderita demam dan penyakit
lambung, absorbsi dapat terjadi dengan lambat. Bentuk fisik dan
kondisi fisik, misalnya lambung berisi atau kosong.
4. Kebiasaan sangat berpengaruh pada racun golongan alkohol dan
morfin, sebab dapat terjadi toleransi, tetapi toleransi tidak dapat
menetap, jika pada suatu hari dihentikan, maka suatu hari akan
menurun lagi.
5. Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran. Makin tinggi
takaran maka akan makin tinggi atau ceoat keracunan, konsentrasi
berpengaruh pada racun yang bekerja secara lokal, misalnya asam
sulfat.
6. Waktu pemberian. Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum
makan absorbsi terjadi lebih baik sehingga efek akan timbul lebih
cepat, jangka pemberian untuk waktu lama atau waktu singkat3.
2.6 Penanganan Keracunan
Untuk penderita keracunan akut narkotika dapat digunakan
antagonis narkotik seperti nalorfin HCl (nalline 0,1 mg/kg/iv) atau
naloxone HCl (narcan) 0,005 mg/kg/iv. Diantara keduanya, yang paling
baik untuk diberikan pada keracunan akut ialah naloxone karena obat-obat
ini benar-benar bersifat antagonis sedangkan nalorfin mempunyai sifat
antagonis dan agonis (depresi pusat pernafasan). Nalorfin bukan
merupakan antagonis barbiturat, alkohol dan penghambat SSP lainnya,

9
bahkan dapat memperberat depresi pernafasan yang diakibatkan oleh
barbiturat atau alkohol. Selain itu pernafasan dipelihara dengan
memberikan oksigen serta pembilasan lambung, pemberian norit dan
pemberian katartik seperti larutan natrium sulfat (30mg NaSO4 dalam
200ml air)3.
2.7 Penyebab kematian (mekanisme kematian) dan Mekanisme kematian
Cara kematian hanya dapat ditentukan jika kita melakukan
penyelidikan ke tempat kejadian. Kecelakaan adalah cara terbanyak dan
biasanya akibat ketidaktahuan besarnya takaran, baik yang seharusnya
dipakai maupun kadar obat yang dipakai saat itu, atau akibat kehilangan
toleransi. Cara kematian yang lain adalah pembunuhan. Pembunuhan
dengan suntikan biasanya menggunakan morfin atau heroin yang dicampur
dengan racun lain seperti sianida atau strichnin. Cara kematian juga dapat
bersifat bunuh diri yang biasanya akibat sindrom abstinensi. Kematian
biasanya terjadi pada mereka yang menggunakan morfin secara intravena.
Mekanisme kematian melalui:
1. Depresi pusat pernafasan. Dalam hal ini pusat pernafasan menjadi
kurang sensitif terhadap stimulus CO2 atau H+.
2. Edema paru. Terjadinya edema paru diakibatkan oleh peningkatan
tekanan cairan serebrospinal dan tekanan intrakranial serta
berkurangnya sensitifitas pusat pernafasan terhadap CO2. Kedua
keadaan ini menyebabkan menurunnya ventilasi paru dan
gangguan permeabilitas.
3. Syok anafilaktik terjadi akibat hipersensitifitas terhadap morfin
atau heroin atau terhadap bahan pencampurnya.
4. Kematian pada pemakaian narkotika dapat pula diakibatkan oleh
berbagai hal yang lain, seperti: pemakaian alat suntik dan bahan
yang tidak steril sehingga menimbulkan infeksi misalnya
pneumonia, endokarditis, hepatitis, tetanus, AIDS, malaria, sepsis
dan sebagainya. Bila cara penyuntikan tidak benar atau jarum
terlepas dari semprit maka saat yang bersangkutan telah berada

10
dalam keadaan fly dapat terjadi masuknya udara sehingga
menimbulkan emboli udara3.
2.8 Pemeriksaan forensik (pengambilan sampel, wadah dan cara pengiriman)
Pemeriksaan forensik pada korban hidup yang menunjukkan gejala
keracunan narkotika, perlu dilakukan pengambilan darah dan urin untuk
pemeriksaan laboratorium. Apabila hasil pemeriksaan laboratorim
memastikan adanya narkotika, maka kita wajib melaporkannya kepada
pihak yang berwenang.
Pemeriksaan forensik pada jenasah:
1. Bekas-bekas suntikan
Kelainan ini,menurut frekuensi tersering terdapat pada lipatan siku,
lengan atas punggung tangan dan tungkai. Tempat-tempat yang
jarang digunakan tetapi tetap harus kita teliti leher, dibawah lidah
atau pada daerah perineum. Bekas suntikan yang masih baru
biasanya disertai perdarahan sub-kutan atau perdarahan peri-vena,
selain itu untuk menentukan baru/lamanya suatu bekas suntikan
dilakukan penekanan disekitar bekas suntikan tersebut jika masih
baru dari lubang suntikan keluar darah atau serum. Pada keadaan
yang meragukan kita dapat melakukan insisi kulit sepanjang vena
tersebut dan membebaskannya secara tumpul untuk memeriksa
keadaan dinding vena dan jaringan disekitarnya apakah ditemukan
perdarahan atau jaringan paru. Bila bekas suntikan tidak ditemukan
maka mungkin korban menggunakan cara lain misalnya
menghirup, menghisap rokok yang dicampur heroin atau dengan
cara cashing the dragon (menghisap uap yang dihasilkan dari
pemanasan heroin). Pada kasus seperti ini perlu diambil apusan
selaput lendir hidung atau nasal swab untuk pemeriksaan
toksikologi.
2. Pembesaran kelenjar getah bening setempat
Terutama pada korban yang disertai dengan bekas suntikan
didaerah ketiak menandakan bahwa korban tersebut seorang

11
pecandu yang kronis. Kelainan ini merupakan fenomenal drainase
akibat penyuntikan yang berulang pada vena atau jaringan
sekitarnya, dengan memakai alat-alat suntikan yang tidak steril.
3. Lepuh kulit (skin blister)
Kelainan ini biasanya terdapat pada kulit di daerah telapak tangan
dan kaki, dan biasanya terdapat pada kematian karena penyuntikan
morfin atau heroin dalam jumlah besar. Lepuh kulit juga bisa
didapatkan pada keracunan CO atau barbiturat.
4. Kelainan-kelainan lain
Kelainan-kelainan lain biasanya merupakan tanda-tanda asfiksia
seperti keluarnya busa halus dari lubang hidung dan mulut, yang
mula-mula berwarna putih dan lama kelamaan karena adanya
autolisis akan berwarna kemerahan. Kelainan ini juga dapat
dianggap sebagai edema paru. Sianosis pada ujung-ujung jari dan
bibir, perdarahan ptechial pada konjungtiva dan pada pemakaian
narkotika dengan cara sniffing atau menghisap kadang-kadang
dijumpai perforasi septum nasi.
5. Kelainan paru akut
Kelainan digolongkan berdasarkan jarak waktu antara suntikan
terakhir dan saat kematian. Pada perubahan awal (sampai 3 jam)
didapatkan edema dan kongesti saja, atau hanya dapat terdapat sel
mononuklear serta makrofag didalam atau dinding alveoli. Pada
gambaran mikroskopis terlihat paru membesar, lebih berat, bagian
posterior lebih padat hingga tidak teraba krepitasi, bagian anterior
sering memperlihatkan emfisema akut. Pada jangka waktu 3-12
jam akan dijumpai narkotik lungs. Pada 12-24 jam akan terlihat
proses pneumonia luas dengan gambaran sel-sel PMN yang lebih
menonjol. Perubahan lanjut terjadi bila jangka waktu lebih dari 24
jam paru menunjukkan gambaran pneumonia lobularis difus,
penampangnya tampak berwarna coklat kemerahan, padat seperti
daging dan menunjukkan gambaran granuler.

12
6. Kelainan paru kronik
Gambaran berupa granulomatosis vaskular paru sebagai
manifestasi reaksi jaringan terhadap talk (magnesium silikat) yang
digunakan sebagai bahan pencampur. Mungkin perubahan tersebut
terjadi sebagai akibat bahan yang tidak larut pada penggunaan
parenteral3.
2.9 Pemeriksaan laboratorium
Bahan terpenting yang harus diambil adalah urin (jika tidak ada
dapat diambil ginjal), cairan empedu dan cairan disekitar suntikan. Isi
lambung diambil jika ia menggunakan narkotika peroral, demikian pula
apusan mukosa hidung pada cara sniffing. Semprit bekas pakai dan sisa
obat yang ditemukan harus pula dikirim ke laboratorium, pemeriksaan
laboratorium untuk memeriksa adanya narkotika minimal adalah
kromatografi lapis tipis (TLC). Cara pemeriksaan lain adalah
menggunakan teknik GLC (Kromatografi gas) dan RIA
(Radioimunoassay). Pada pemakaian cara oral morfin akan cepat
dikonjugasi oleh asam glukoronat dalam sel mukosa usus dan hati,
sehingga bahan baiknya dihidrolisis terlebih dahulu. Untuk mendeteksi
seseorang apakah ia pecandu atau bukan, dapat diketahui melalui :
1. Uji Nalorfin : Pemberian nalorfin pada pecandu morfin akan
memperlihatkan gejala putus obat lainya. Tetapi bila midriasis
tidak terjadi , maka belum tentu ia bukan pecandu. Caranya : Ukur
diameter pupil dengan pupilometer, dan lakukan pemeriksaan ini
pada ruangan khusus yang tidak dipengaruhi cahaya. Pemeriksaan
dilakukan lagi 30 menit setelah diberikan 3 mg nalorfin subkutan.
2. Analisis urin dapat dikerjakan sendiri atau sama-sama dengan uji
nalorfin bila masih meragukan hasil uji nalorfin. Analisa urin ini
sekurang-kurangnya dilakukan dengan kromatografi lapis tipis
(TLC). Gejala putus obat terjadi bila pemakaian narkotika
dihentikan secara mendadak. Gejala tersebut dapat berupa
menggigil, mual, kehilangan nafsu makan, kelelahan, insomnia,

13
hiperhidrosis, lakrimasi, kedutan otot, muntah, diare dan dilatasi
pupil. Pada bayi dapat juga terjadi kejang-kejang.

Dari kedua cara tersebut diatas, cara yang paling baik dan paling sering
digunakan adalah analisa urin.

3. Uji Marquis : kepekaan uji ini adalah sebesar 1-0,025 ug.


Umumnya semua narkotika akan memberikan reaksi warna ungu3.

14
BAB III

KESIMPULAN

Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi


seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam
tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik,
intravena, dan lain sebagainya. Narkoba dibagi dalam 3 jenis : Narkotika,
psikotropika, zat adiktif lainnya. Jumlah kasus penyalahgunaan narkotika
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penggunaan narkoba dalam
jumlah yang berlebihan akan menimbulkan kadar zat yang semakin
meningkat sehingga terjadi suatu ketidak seimbangan kimiawi dalam
tubuh dan biasanya disebut dengan keracunan, perubahan perilaku,
memori kognitif, alam perasaan dan kesadaran.

15
DAFTAR PUSTAKA
1. Manela C. Pemilihan, penyimpanan, dan stabilitas sampel toksikologi pada
korban Penyalahgunaan narkotika.Jurnal kesehatan andalas. 2015.
2. Aidil M. 2015. Efektifitas penerapan undang-undang nomor 35 Tahun 2009
tentang narkotika di Kota Palu.
3. FKUI. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
4. Kurniawan, J, 2008. Arti Definisi & Pengertian Narkoba Dan Golongan/Jenis
Narkoba Sebagai Zat Terlarang.
5. Rinenggo AG. Universitas muhamadiah surakarta. 2017. Pengalaman pasien
ketika terjadi intoksikasi obat pada pengguna zat adiktif stimulan yang
dirawat di RSJ Arif Zainudin Surakarta
6. Andriyani, T. Upaya Pencegahan Tindak Penyalahgunaan Narkoba di
Kalangan Mahasiswa Politeknik Negeri Sriwijaya. Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis.
2011
7. Sholihah, Qomariyatus. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 9 (1) (2013) 153-159.
EFEKTIVITAS PROGRAM P4GN TERHADAP PENCEGAHAN
PENYALAHGUNAAN NAPZA
8. Martono. 2006. Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba
Berbasis Sekolah. Jakarta: Balai Pustaka
9. Ramlawati. ZAT ADITIF DAN ADIKTIF SERTA SIFAT BAHAN DAN
PEMANFATANNYA.

16

Anda mungkin juga menyukai