Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

PENYALAHGUNAAN NAPZA

Pembimbing:

dr. Timbang, Sp.KJ

Disusun oleh :

dr. Juliana R

SMF KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU

RSUD TARAKAN

KALIMANTAN UTARA

1
GANGGUAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

I. DEFINISI NAPZA

NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif


lainnya, dan biasa dikenal masyarakat awam dengan sebutan narkoba. NAPZA
dapat didefinisikan sebagai setiap zat atau bahan kimia yang bila masuk ke tubuh
akan mempengaruhi fungsi tubuh secara fisik dan psikologis. NAPZA dapat
berasal dari tumbuh-tumbuhan alami seperti ganja, sintesis misalnya shabu, serta
semi sintesis yaitu putauw.
Saat ini di Indonesia diperkirakan terdapat peningkatan jumlah
penyalahgunaan NAPZA. Pada tahun 2008 prevalensi penyalahgunaan NAPZA
sebesar 1,99% dari penduduk Indonesia pada kelompok umur 10-59 tahun (kira-
kira 3,6 juta jiwa). Pada tahun 2010 prevalensinya naik menjadi 2,21% sedangkan
tahun 2015 naik lagi menjadi 2,8% yaitu setara dengan 5,1-5,6 juta jiwa. Namun,
dari seluruh penyalahguna NAPZA hanya kurang dari 10 ribu orang yang
mendapat layanan terapi. Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan
terdapat 15% penyalahguna NAPZA yang menggunakan jarum suntik sehingga
berisiko terkena infeksi HIV dan diketahui prevalensi penyalahguna NAPZA
dengan jarum suntik HIV adalah sebesar 41% pada penyalahgunaan NAPZA
dengan cara suntik.
Menurut WHO, zat psikoaktif dibagi sebagai berikut
- Alkohol-barbiturat seperti ethanol, barbiturat, obat-obatan dengan efek
sedatif seperti chloralhidrat, diazepam, dan metilkualon.
- Amfetamin, metamfetamin, metilfenidat, dan phenmetrazine
- Canabis: marijuana, ganja, dan charas
- Kokain
- Opiat: morfin, heroin, kodein, dan zat yang efekmya mirip morfin
contohnya metadon, dan petidin
- Inhalan/volatile solvent: aseton, toluene, dan carbon tetrachloride.

Sedangkan menurut Synder, zat psikoaktif dibagi menjadi

2
- Opiat atau opioid: morfin dan heroin
- Neuroleptik (anti psikotik): haloperidol dan khlorpromazin
- Stimulan: amfetamin dan kokain
- Anti ansietas: diazepam dan khlordiazepoksid
- Anti depresan: amitriptilin dan imipramin
- Psikedeliks: LSD, meskalin
- Sedatif hipnotik: fenobarbital dan kloralhidrat

Berdasarkan penelitian terbaru, zat nikotin, kafein dan analgetik sudah


digolongkan sebagai zat psikoaktif. Menurut UU No 22 tahun 1997, narkotika
diklasifikasikan sebagai berikut

1. Golongan 1
Narkotika yang hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan
dan berpotensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, yaitu tanaman
Poppy, opium, kokain, ganja, heroin.
2. Golongan 2
Narkotika yang berkhasiat pengobatan, dapat digunakan dalam terapi dan
atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan, yaitu metadon, morfin,
petidin.
3. Golongan 3
Narkotika yang berkhasiat pengobatan, dapat digunakan dalam terapi dan
atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi rendah mengakibatkan ketergantungan, yaitu kodein, etilmorfina.

Menurut UU No 5 tahun 1997, yang termasuk Psikotropika adalah


1. Golongan 1
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan, yaitu MDMA, LSD, meskalin.

3
2. Golongan 2
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalan terapi
dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan, yaitu amfetamine, PCP.
3. Golongan 3
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan, yaitu alprazolam,
diazepam, bromazepam, norpseudoefedrin.

Berdasarkan cara kerjanya, NAPZA dapat diklasifikasikan sebagai berikut


- Golongan depresan: alkohol (dosis tinggi), benzodiazepin, opioid, solven,
barbiturat, dan kanabis (dosis rendah).
- Golongan stimulan: amfetamin, metamfetamin, kokain, nikotin, khat,
kafein, MDMA.
- Golongan halusinogen: LSD, DMT, meskalin, PCP, ketamin, kanabis
(dosis tinggi), MDMA, magic mushroom.

II. ADIKSI, KETERGANTUNGAN DAN PENYALAHGUNAAN ZAT


Kata adiksi (dalam Bahasa Inggris: addiction) memiliki arti ketagihan atau
kecanduan. Adiksi membuat seseorang menurun kapasitas fisik dan psikologisnya
untuk berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga mengalami perubahan perilaku,
menjadi obsesif kompulsif dalam menggunakan zat yang akan mengganggu
hubungan dengan orang lain.
Seseorang disebut mengalami ketergantungan dan penyalahgunaan NAPZA
bila memenuhi kriteria diagnostik tertentu. Ada 2 bentuk gangguan penggunaan
NAPZA, yaitu:
1. Penyalahgunaan: memiliki efek berbahaya terhadap kehidupan orang,
menimbulkan problem kerja, mengganggu hubungan dengan orang lain
dan memiliki aspek legal.
2. Adiksi atau ketergantungan: mengalami toleransi, putus zat, tidak mampu
menghentikan kebiasaan menggunakan dosis NAPZA lebih dari yang
diinginkan.

4
Ketergantungan NAPZA merupakan gangguan yang ditandai dengan adanya
perubahan dalam proses kimiawi otak sehingga memberikan efek ketergantungan
(craving, withdrawal, tolerance). Sedangkan, penyalahgunaan dihubungkan
dengan tingkah laku bereksperimentasi, mengalami rasa kecewa, perilaku
membangkang, masalah keuangan, dan self medication.

III. PATOFISIOLOGI ADIKSI


Metode imaging menunjukkan bahwa neurobiologi adiksi ditandai dengan
aktivasi thalamo-orbitofrontal circuit dan anterior cingulate di korteks frontalis,
yang menyebabkan perasaan craving dan penurunan kontrol inhibisi terhadap
stimulus yang disebabkan oleh substansi.
Proses terjadinya adiksi merupakan suatu efek dari gangguan regulasi sistem
reward di otak. Konsumsi substansi adiktif menyebabkan hiperaktivasi sistem
reward yang meningkatkan set point sistem reward, yang disebut keadaan
allostatic. Penghentian penggunaan substansi adiktif menyebabkan hipoaktivitas
berkepanjangan, yang berlanjut menjadi distress emosional, meningkatkan kadar
glukokortikoid yang menyebabkan berbagai efek negatif lainnya. Keadaan
hipoaktif berkepanjangan juga meningkatkan sensitivitas terhadap efek reward
dari substansi adiktif. Penggunaan substansi kembali akan mengatasi efek
dysphoric yang disebabkan hipoaktivitas sistem reward.
Substansi adiktif memiliki kemampuan untuk mengubah organisasi otak,
terutama sistem yang memengaruhi motivasi dan reward. Perubahan yang penting
adalah sensitisasi sistem reward di otak terhadap substansi adiktif dan stimulus
yang dipicu oleh substansi tersebut. Hipersensitivitas lebih dominan terjadi pada
komponen otak yang berperan dalam rasa menginginkan yang dipicu stimulus dari
substansi, dibandingkan dengan komponen yang memediasi reward terhadap
penggunaan substansi atau euphoria. Hal ini menyebabkan seorang addict tidak
memerlukan gejala withdrawal ataupun keinginan untuk mengalami euphoria
untuk mengkonsumsi substansi. Stimulus dari substansi akan menjadi semakin
menarik bagi seorang addict dengan konsumsi berkepanjangan.

5
GANGGUAN PENYALAHGUNAAN AMFETAMIN

I. DEFINISI AMFETAMIN

Amfetamin adalah suatu stimulan dan menekan nafsu makan. Amfetamin


menstimulasi sistem saraf pusat melalui peningkatan zat-zat kimia tertentu di
dalam tubuh. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan heart rate dan tekanan
darah, menekan nafsu makan serta berbagai efek yang lain. Penggunaan
amfetamin dengan suatu kelainan psikiatri berhubungan dengan ketergantungan
dan penyalahgunaannya.

II. EPIDEMIOLOGI

Pada banyak Negara, penggunaan obat terlarang lebih sering terjadai pada
orang yang berusia muda, laki-laki lebih sering dari pada perempuan, dan pada
orang dengan social ekonomi yang rendah, pada daerah dengan rata-rata masalah
social yang lebih tinggi. Dilaporkan pada masa anak usia SMA (senior high
school) penggunaan stimulan lebih tinggi dari pada penggunaan kokain.

National Household Survey and Drug Abuse (NHSDA) melporkan pada


tahun 1997 terdapat 4,5% dari orang yang berusia 12 tahun atau lebih
menggunakan stimulan bukan atas indikasi medis, hal ini menunjukkan
peningkatan yang drastic dari pada tahun sebelumnya. Persentasi yang paling
tinggi setelah penggunaan dalam 1 tahun (1,5%) antara umur 18-25 tahun,
kemudian diikuti oleh umur 12-17 tahun. Sample ini tidak cukup luas untuk
mendeteksi peningkatan dalam penggunaan amfetamin ini disesuaikan dengan
data dari ruang emergensi untuk keracunan yang berkaitan dengan amfetamin
atau program tes panghentian obat.

III. ETIOLOGI

Ketergantungan obat, termasuk amfetamin dan zat yang mirip amfetamin


dipandang sebagai suatu hasil dari sebuah proses interaksi dari banyak factor
(social, psikologi, kultural, dan biologi) yang mempengaruhi kebiasaan
penggunaan obat. Proses ini pada beberapa kasus, kehilangan fleksibilitas yang
berkaitan dengan penggunaan obat merupakan tanda ketergantungan obat. Tetapi,

6
tidak semua orang sama tergantung bagaimana biasanya efek dari obat yang
diberikan apakah sama atau dari kesamaan faktor yang dipengaruhi. Faktor
farmakologi diyakini sangat penting dalam kelanjutan penggunaan dan menuju ke
arah ketergantungan dari obat tersebut. Amfetamin memiliki potensi untuk
meningkatkan mood dan efek euforigenik pada manusia dan efek menguatkan
pada hewan percobaan. Faktor sosial, kultural, dan ekonomi merupakan factor
penentu yang sangat berpengaruh terhadap alasan pemakaian, pemakaian yang
berkelanjutan, dan relaps. Pemakaian yang berlebihan lebih jauh berkaitan
dengan ketersediaan amfetamin atau obat yang mirip amfetamin.

Metabolisme amfetamin dan metamfetamin terutama oleh hati, tapi banyak


yang dihirup diekskresikan tanpa diubah dahulu melalui urin. Waktu paruh
amfetamin dan metamfetamin akan sangat dipersingkat jika urin dalam keadaan
asam. Waktu paruh amfetamin pada dosis terapi berkisar antara 7-19 jam dan
untuk metamfetamin sedikit lebih panjang. Setelah dosis toksik, perbaikan dari
gejala mungkin akan lebih lama (sampai beberapa hari) dengan amfetamin
dibandingkan kokain, tergantung pada pH urine. Toleransi dan sensitisasi dari 3
kebanyakan pengguna amfetamin untuk terapi memerlukan dosis yang semakin
tinggi untuk memperoleh efek euforik yamg sama, pada mereka terjadi
peningkatan toleransi.

IV. MEKANISME KERJA

Amfetamin bekerja merangsang susunan saraf pusat melepaskan


katekolamin (epineprin, norepineprin, dan dopamin) dalam sinaps pusat dan
menghambat dengan meningkatkan rilis neurotransmiter entecholamin, termasuk
dopamin. Sehingga neurotransmiter tetap berada dalam sinaps dengan konsentrasi
lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya. Semua system
saraf akan berpengaruh terhadap perangsangan yang diberikan.

Efek klinis amfetamin akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah
penggunaan. Senyawa ini memiliki waktu paruh 4-24 jam dan dieksresikan
melalui urin sebanyak 30% dalam bentuk metabolit. Metabolit amfetamin terdiri
dari p-hidroksiamfetamin, p-hidroksinorepedrin, dan penilaseton. Karena waktu
paruhnya yang pendek menyebabkan efek dari obat ini relative cepat dan dapat
segera terekskresikan, hal ini menjadi salah satu kesulitan tersendiri untuk

7
pengujian terhadap pengguna, bila pengujian dilakukan lebih dari 24 jam jumlah
metabolit sekunder yang terdapat pada urin menjadi sangat sedikit.

IV. GAMBARAN KLINIK


Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin,
jumlah yang digunakan, dan cara menggunakannya. Dosis kecil semua jenis
amfetamin akan meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut nadi,
melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euforia,
menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa lapar,
meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat.
Dosis sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi
pernafasan,menimbulkan tromor ringan, gelisah, meningkatkan aktivitas
montorik, insomnia, agitasi, mencegah lelah, menekan nafsu makan,
menghilangkan kantuk, dan mengurangi tidur.
Penggunaan amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat
menimbulkan perilaku stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang terus-menerus
tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba agresif, melakukan tindakan kekerasan,
waham curiga, dan anoneksia yang berat.

V. METAMFETAMIN

Metamfetamin, juga dikenal sebagai methylamphetamine, N-


methylamphetamine, desoxyephedrine, dan bahasa sehari-hari sebagai "meth" atau
"crystal Meth", adalah psikostimulan dari golongan obat phenethylamine dan
amfetamin, yang meningkatkan kewaspadaan, konsentrasi, energi, dan dalam
dosis tinggi, dapat menyebabkan euforia, meningkatkan harga diri, dan
meningkatkan libido. Metamfetamin digunakan oleh individu dari segala umur,
namun paling umum digunakan sebagai "obat klub", digunakan saat berpesta di
klub malam.
Metamfetamin memiliki potensi peyalahgunaan dan kecanduan yang
tinggi dengan mengaktifkan sistem penghargaan psikologis dengan cara memicu
pelepasan pelepasan dopamin, norepinephrine dan serotonin di otak.
Metamfetamin adalah FDA yang disetujui untuk pengobatan ADHD dan obesitas
eksogen, dipasarkan di Amerika Serikat dengan merek dagang Desoxyn.

8
Metamfetamin disintesis secara tidak sah dan kemudian dijual dalam
bentuk kristal yang menyerupai pecahan kecil yang tidak berbau, kristal rasa
pahit; Yang mengarah ke nama panggilan sehari-hari "crystal meth". Setelah
periode penggunaan berat juga dikenal sebagai "bingeing", yang biasanya
berlangsung beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu, sindrom penarikan
yang parah berlangsung hingga sepuluh hari bisa terjadi, terutama terdiri dari
depresi, kelelahan, tidur berlebihan dan nafsu makan meningkat. Kronis
penyalahgunaan methamphetamine dapat menyebabkan gangguan kejiwaan
berkepanjangan, gangguan kognitif, dan juga meningkatkan risiko terkena
penyakit Parkinson. Sebagai akibat dari neurotoksisitas akibat methamphetamine
terhadap neuron dopaminergik, penyalahgunaan kronis juga dapat menyebabkan
gejala yang bertahan di luar periode penarikan selama berbulan-bulan, dan bahkan
sampai satu tahun. Penelitian telah menemukan bahwa 20% pecandu
metamfetamin mengalami psikosis yang menyerupai skizofrenia yang
berlangsung lebih dari enam bulan pasca penggunaan pasca-metamfetamin;
Psikosis amphetamine ini bisa tahan terhadap pengobatan tradisional. Selain
bahaya psikologis, kerusakan fisik, terutama yang terdiri dari kerusakan
kardiovaskular, dapat terjadi dengan penyalahgunaan kronis atau overdosis akut.

Sediaan dan Cara Penggunaan


Sediaan: bubuk, pill
Cara penggunaan:
 Merokok
 Menelan (pil)
 Mendengus (menghirup melalui hidung)
 Menyuntikkan bubuk yang telah dilarutkan dalam air / alcohol

Nama Lain

9
METH: CRYSTAL METH:
Beannies Batu
Brown Blade
Chalk Cristy
Crank Crystal
Chicken feed Crystal glass
Cinnamon Glass
Crink Hot ice
Crypto Ice
Fast Quartz
Getgo Shabu
Methlies Quik Shards
Mexican crack Stove top
Pervitin (Czech Republic) Tina
Redneck cocaine Ventana
Speed
Tick tick Sejarah
Tweak
Wash
Yaba (Southeast Asia)
Yellow powder

Metamfetamin pertama kali disintesis dari efedrin di Jepang tahun1893 oleh


ahli kimia Nagai Nagayoshi. Istilah "methamphetamine" berasal dari unsur struktur
kimia yang baru dari senyawa ini: metil alfa-methylphenylethylamine. Pada tahun
1919, metamfetamin kristal disintesis oleh Akira Ogata dengan cara mereduksi
efedrin menggunakan fosfor merah dan yodium. Pada tahun 1943,Abbott Laboratories
meminta persetujuan dari A.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk
pengobatan narkolepsi, ringan depresi, parkinson postenfalitik, alkoholisme kronis,
arteriosklerosis serebral, dan demam. Metamfetamin adalah disetujui untuk semua
indikasi ini pada bulan Desember 1944. Semua ini persetujuan indikasi akhirnya
dihapus Hanya dua yang disetujui indikasi pemasaran yang tersisa untuk
methamphetamine adalah untuk Attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan
jangka pendek pengelolaan obesitas eksogen, walaupun obat ini secara klinis
ditetapkan efektif dalam pengobatan narkolepsi.

Farmakologi
Anggota keluarga phenethylamines, methamphetamine adalah kiral, dengan
dua isomer, levorotary dan dextrorotatory. Bentuk levorotary, yang disebut
levomethamphetamine, adalah obat over-the-counter yang digunakan pada

10
inhaler.Untuk decongestion hidung,levomethamphetamine tidak memiliki aktivitas
sistem saraf pusat yang signifikan atau sifat adiktif. Metamfetamin adalah stimulan
sistem saraf pusat yang kuat yang mempengaruhi mekanisme neurokimia yang
bertanggung jawab untuk mengatur denyut jantung, suhu tubuh, tekanan darah, nafsu
makan, perhatian, mood dan respon emosional
Terkait dengan kewaspadaan atau kondisi yang mengkhawatirkan. Efek fisik
akut obat sangat mirip dengan efek fisiologis dan psikologis dari respons fight-or-
flight yang dipicu oleh epinefrin, termasuk peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah, vasokonstriksi (penyempitan dinding arteri), bronkodilasi, dan hiperglikemia
(peningkatan gula darah). Pengguna mengalami peningkatan fokus, meningkatnya
kewaspadaan mental, dan penghapusan kelelahan, serta penurunan nafsu
makan.Kelompok metil bertanggung jawab atas potentiasi efek dibandingkan dengan
senyawa amfetamin terkait, rendering zat di satu sisi lebih larut lipid, meningkatkan
transportasi melintasi sawar darah-otak, dan di sisi lain lebih stabil terhadap degradasi
enzimatik oleh monoamine oxidase (MAO).Metamfetamin menyebabkan transporter
norepinephrine, dopamine, dan serotonin (5HT) untuk membalikkan arah alirannya.
Inversi ini menyebabkan pelepasan pemancar ini dari vesikula ke sitoplasma dan dari
sitoplasma ke Sinaps (melepaskan monoamina pada tikus dengan rasio sekitar NE:
DA = 1: 2, NE: 5HT = 1:60), menyebabkan peningkatan stimulasi reseptor pasca
sinaptik. Metamfetamin juga secara tidak langsung mencegah reuptake ini
Neurotransmitter, menyebabkan mereka tetap berada di celah sinaptik untuk
waktu yang lama (menghambat reuptake monoaminapada tikus dengan rasio sekitar:
NE: DA = 1: 2.35, NE: 5HT = 1: 44.5).
Metamfetamin adalah racun
neurotoksin yang potensial
menyebabkan degenerasi
dopaminergik. Dosis tinggi
metamfetamin berdampak pada
hilangnya beberapa neuron dopamin
dan serotonin otak. Konsentrasi
dopamin dan serotonin, dopamin dan
pusat uptake 5HT, dan aktivitas
hidroksilase tirosin dan triptofan berkurang setelah administrasi methamphetamine. Telah
diusulkan bahwa dopamine memainkan peran dalam methamphetamine-induced
11
neurotoxicity, karena eksperimen tersebut mengurangi produksi dopamin atau
menghalangi pelepasan dopamine mengurangi efek toksik dariadministrasi
methamphetamine. Saat dopamin dipecah, ia menghasilkan spesies oksigen reaktif seperti
hidrogen peroksida.
Kemungkinan kenaikan kira-kira dua belas kali lipat tingkat dopamin dan stres
oksidatif berikutnya yang terjadisetelah mengkonsumsi methamphetamine yang
memediasi neurotoksisitasnya. Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of
Pharmacology And Experimental Therapeutics (2007) menunjukkan bahwa
metamfetamin mengikat dan mengaktifkan reseptor protein G yang disebut TAAR1.
TAAR adalah keluarga reseptor yang baru ditemukan yang anggotanya diaktifkan oleh
sejumlah molekul mirip amfetamin disebut jejak amina, tirronamin, dan beberapa wangi-
wangian yang tidak stabil. Telah ditunjukkan bahwa suhu lingkungan yang tinggi
meningkatkan efek neurotoxic dari methamphetamine.

Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, methamphetamine mudah diserap dengan konsentrasi
metamfetamin puncak terjadi pada 3,13 sampai 6,3 jam setelah konsumsi. Metabolit
amphetamine memuncak pada 10 sampai 24 jam. Metamfetamin juga terserap dengan
baik setelah terhirup dan mengikuti pemberian intranasal. Didistribusikan ke sebagian
besar bagian tubuh. Karena methamphetamine memiliki lipophilicity yang tinggi, ini
didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk melewati sawar darah otak dan melintasi
plasenta.
Metamfetamin dimetabolisme di hati dengan metabolit utama menjadi amfetamin
(aktif) dan 4-hidroksimetametamin; Metabolit minor lainnya termasuk 4-
hydroxyamphetamine, norephedrine, dan4-hydroxynorephedrine. Obat lain
dimetabolisme menjadi amfetamin dan metamfetamin termasuk benzphetamine,
furfenorex, dan famprofazone.Selegilin (dipasarkan sebagai Deprenyl, EMSAM, dan
lainnya) dimetabolisme menjadi L-isomer amfetamin yang kurang aktif dan isomer L
metamfetamin yang tidak aktif. Meskipun hanya D-Isomer selegilin yang akan
dimetabolisme menjadi metabolit aktif, kedua isomer tersebut dapat menyebabkan hasil
positifuntuk methamphetamine dan amfetamin pada tes narkoba, dalam kasus tertentu.
Metamfetamin diekskresikan oleh ginjal, dengan tingkat ekskresi ke dalam urine
sangat dipengaruhi oleh pH urin. Antara30-54% dosis oral diekskresikan dalam urin
sebagai metamfetamin yang tidak berubah dan 10-23% sebagai amfetamin yang tidak
12
berubah. Setelah dosis intravena, 45% diekskresikan sebagai obat induk yang tidak
berubah dan amfetamin 7%. Waktu paruh methamphetamine bervariasi dengan nilai
rata-rata antara 9 dan 12 jam.

Efek Neurobiologi pada pengguna Metamfetamin


Metamfetamin menghalangi reuptake dari pelepasan dopamine pada celah
sinaptik sehingga menghasilkan peningkatan kadar dopamine pada sinapsis neuron di
nucleus accumbens dan daerah mesolimbik otak lainnya. Penggunaan metamfetamin
kronis dan jangka panjang menurunkan tersedianya reseptor dopamine dan dikaitkan
dengan ketergantungan obat (hilangnya control dan penggunaan obat secara kompulsif).
Hilangnya transporter dopamin yang signifikan dikaitkan dengan penurunan fungsi
motorik dan penurunan daya ingat, perhatian serta fungsi kognitif. Metamfetamin juga
meningkatkan konsentrasi sitoplasma dopamine dan meningkatkan produksi oksidatif
yang beracun terhadap terminal saraf.

Efek Penggunaan Akut dan Kronis dari Metamfetamin


Efek akut penggunaan metamfetamin dapat berupa euforia, peningkatan tekanan
darah, peningkatan suhu tubuh, takikardi, tidak mudah lelah, menekan nafsu makan,
meningkatkan energi, meningkatkan dorongan seksual, dan meningkatkan rasa percaya
diri. Bergantung pada sifat dan tingkat penyalahgunaannya, efek fisiologis akut yang
negative dapat mencakup kram perut yang intens, gemetar, bruxism, siklus haid yang
terganggu, sensasi serangga yang merayap pada kulit, dan insomnia.
Penggunaan metamfetamin kronis berat dan jangka panjang dapat menyebabkan
banyak penyakit medis dan kecacatan yang mengancam jiwa. Salah satunya dapat
muncul sebagai penyakit kardiopulmoner dengan gejala berupa nyeri dada, hipertensi,
sesak napas, dan takikardia. Komplikasi pada system kardiopulmoner dapat berupa
penyakit jantung koroner, cardiomiopati, edema pulmonal.
Komplikasi oral dapat berupa adanya "Meth mouth" dan sering ditemukan karies,
fraktur tulang gigi, penyakit periodontal (misalnya gingivitis, periodontitis), dan sindrom
sendi temporomandibular yang terkait dengan bruxism. Komplikasi pada kulit dapat
berupa ekskoriasi atau ulserasi sebagai respons terhadap sensasi serangga yang merayap
di bawah kulit. Luka yang ditimbulkan sendiri telah dicatat pada pengguna den
gangangguan hiperkinetik dan motorik stereotipik. Selulitis dan abses akibat bekas jalur
suntikan.
13
Banyak pengguna menderita gangguan neurokognitif dan komorbiditas kejiwaan,
terutama psikosis berat, depresi, dan ide bunuh diri. Pengguna metamfetamin yang
datang keinstalasi gawat darurat telah tercatat dengan empat alasan medis yakni
berkaitan dengan kesehatan mental (18,7%), trauma (18,4 %), infeksi kulit (11,1%), dan
gangguan gigi (9,6%).

Kriteria Diagnosis Menurut DSM-IV


A. Intoksikasi amfetamin
Dikatakan sebagai intoksikasi apabila akhir- akhir ini menggunakan amfetamin
atau substansi yang menyerupai amfetamin dalam kurun waktu yang dekat. Atau
secara klinis mengalami kelainan perilaku yang signifikan yang berkembang
selama, segera setelah, penggunaan amfetamin atau substansi yang menyerupai
amfetamin.
Dua atau lebih dari tanda-tanda berikut, muncul selama, atau segera setelah
penggunaan amfetamin atau substansi lain yang menyerupai amfetamin:
1. Tachycardia atau bradycardia
2. Dilatasi pupil
3. Peningkatan atau penurunan tekanan darah
4. Menggigil
5. Mual atau muntah
6. Adanya bukti dari penurunan berat badan
7. Agitasi atau retardasi psychomotor
8. Lemah otot, depresi sistem pernafasan, nyeri dada, atau aritmia jantung
9. Linglung, kejang, dyskinesia, dystonia, koma
Dan gejala- gejala yang timbul tidak dikarenakan karena kondinisi medis umum.

B. Gejala putus zat amfetamin


Pengurangan dari penggunaan amfetamin setelah penggunaan yang lama dan berat.
Terdapat disforia dan dua atau lebih dari perubahan psikologis berikut, yang timbul
setelah beberapa jam sampai beberapa hari setelah pengurangan zat ini:
1. Lemah
2. Mimpi yang tidak menyenangkan, dan buram
3. Insomnia atau hypersomnia
4. Nafsu makan yang meningkat
14
5. Retardasi atau agitasi psikomotor
Perlu dicatat bahwa gejala- gejala di atas harus menyebabkan adanya kerusakan
dalam fungsi social dan fungsi- fungsi lain yang penting. Dan gejala ini tidak
dikarenakan kondisi medis lain dan tidak dihubungkan dengan kelainan mental
yang lain.

Tatalaksana:
1. Detoksifikasi
 Keadaan intoksikasi:
- Apabila suhu tubuh tinggi diberi air dingin, kompres, dan diberikan minum
- Apabila pasien kejang dapat diberikan diazepam
- Apabila tekanan darah tinggi dapat beri antihipertensi (ß blocker)
- Apabila timbul gejala psikosis beri antipsikosis (haloperidol)

 Keadaan putus zat/withdrawal:


- Rawat pasien di tempat yang tenang
- Bila ada ide bunuh diri/depresi diberikan anti-depressan

 Keadaan overdosis:
- Periksa tanda-tanda vital (denyut nadi, tekanan darah, respirasi, dan suhu
tubuh)
- Periksa jalur pernapasan
- Pemeriksaan fisik
- Pemasangan infus
- Pemeriksaan lab (periksa toksikologi pada darah dan urin)
- Terapi simptomatik

2. Rehabilitasi pasca-detoksifikasi dan after care


− Rehabilitasi di tempat yang menampung masalah ketergantungan zat (RSKO,
BNN)
− Diberikan konseling, edukasi
− Diberikan ketrampilan life skills, komunikasi

15
− Harm reduction: penanggulangan HIV/AIDS, Hepatitis B dan C, metode
substitusi, pembagian jarum suntik steril
− Pemulihan adiksi berbasis masyarakat.

REFERENSI

1. Johnson BA, editor. Addiction Medicine [Internet]. New York, NY: Springer New
York; 2011 [cited 2017 Aug 17]. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/978-1-4419-0338-9

2. World Health Organization, editor. Neuroscience of psychoactive substance use and


dependence. Geneva: World Health Organization; 2004. 264 p

3. Giannini A. An Approach to Drug Abuse, Intoxication and Withdrawal [Internet].


Aafp.org. 2017 [cited 13 July 2017]. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2000/0501/p2763.html

4. Silvia D. E. Buku Ajar Psikiatri. 2nd ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2013.

5. Sadock B, Kaplan H, Sadock V. Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry.


Philadelphia: Wolter Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

6. Black D, Grant J. DSM-5® Guidebook. Washington: American Psychiatric


Publishing; 2014.

7. Rusdi Salim. (2003). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari
PPDGJ – III. Edisi : Dr. Rusdi Maslim. Jakarta : PT. Nuh Jaya.

16

Anda mungkin juga menyukai