Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PBL

BLOK 17. KESEHATAN MENTAL DAN PERILAKU (MAC 305)


“ Hipnotif Sedatif ”

Kelompok PBL 13
Cindy Sanders 2012-060-082
Hosea Hariono 2012-060-103
Pricilia Donna E. Sea 2012-060-106
Cylla Revata 2012-060-107
Nathaniel Herlambang 2012-060-134
Andreas Steven 2012-060-136
Cindy 2012-060-138
Michael Lie 2012-060-149
Jopi Chandra 2012-060-153
Marcella Angelina 2012-060-155
Georgia Nadia Winardi 2012-060-170
Steffiany 2012-060-173
Juliana Rajagukguk 2012-060-264

Tutor :
Adrianne P. Regina Satya W., dr., M.Sc.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
JAKARTA

Kata Pengantar
Puji dan syukur kami hanturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hadiratNya dan
bimbinganNya laporan hasil diskusi Problem Based Learning yang ketiga ini dapat terselesaikan
dengan baik. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. Regina selaku pembimbing dalam
diskusi PBL yang ketiga ini sehingga diskusi PBL dapat berjalan dengan baik. Selain itu penulis
juga ingin berterima kasih pada pihak – pihak lain yang telah membantu penulis baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat membuat hasil laporan PBL ini.

Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat topik tentang obat hipnotic sedative
kaitannya sering dipakai untuk mengurangi depresi atau gangguan kesehatan mental lainnya
sehingga dapat menimbulkan efek intoksikasi maupun withdrawal pada penggunanya. Tak ada
gading yang tak retak. Demikian juga laporan PBL ini yang masih jauh dari sempurna. Karena itu,
penulis dengan senang hati akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
laporan ini. Pada akhirnya, penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam laporan yang
kurang berkenan. Semoga laporan ini dapat berguna bagi para pembaca.

Jakarta, 11 November 2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semua obat memiliki efek samping pada tubuh. Ada obat yang memberikan efek
sementara, tetapi ada juga obat yang memberikan efek selama pemakaian obat bahkan
lebih. Obat penenang atau yang dalam dunia medis lebih dikenal dengan sedatif adalah
jenis obat-obatan yang memberikan efek tidur dengan cara memberikan rasa tenang
kepada orang yang mengonsumsinya. Obat penenang biasanya tidak dijual bebas di
apotek, melainkan harus menggunakan resep dokter. Obat penenang sangat sering
disalahgunakan di masyarakat.
Jenis obat penenang ini tidak boleh dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama
(kecuali atas indikasi medis tertentu) karena dapat menimbulkan efek ketergantungan.
Penggunaan obat penenang ini sangat tidak disarankan untuk dikonsumsi bersama dengan
alkohol karena dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya over dosis, sebab kedua obat
ini dapat bekerja saling menguatkan efek masing-masing obat.

1.2 Skenario

Mr. Shaky went to see a doctor to get a prescription of sleeping pill he used
consume, those were 7 tablets of alprazolam 1 mg combined with 7 tablets clobazam 10
mg everyday. The latest use of those medicines were 3 days before. On medical
examination the doctor found Mr. Shaky was sweating, rapid pulse rate (>100/minute),
tremor on his hands, anxiety, a little bit agitative.
BAB II

HASIL DISKUSI

2.1 Klarifikasi Istilah


1. Sweating = berkeringat

2.2 Identifikasi Masalah


Setelah membaca kasus dari scenario-skenario yang telah diberikan, masing-masing
anggota kelompok memberikan pertanyaan tentang kasus yang diberikan. Berdasarkan
kasus diatas, pertanyaan yang timbul dari setiap skenario adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi, efek samping, dosis, dan
interaksi dari obat Alprazolam dan Clobazam ?
2. Bagaimana gejala intoksikasi dan withdrawal pada penggunaan obat golongan
Alprazolam dan Clobazam ?
3. Bagaimana mekanisme intoksikasi dan withdrawal sehingga dapat menimbulkan
gejala ? (secara umum)
4. Apa saja terapi yang dibutuhkan untuk mengurangi gejala intoksikasi maupun
withdrawal?
5. Bagaimana cara mencegahnya timbulnya efek intoksikasi juga withdrawal ini ?

2.3 Brainstorming
Pertanyaan yang diajukan dalam tahap identifikasi masalah akan dijawab dalam tahap ini
berdasarkan pengetahuan dasar yang telah dimiliki anggota kelompok. Dibawah ini adalah
jawaban-jawaban yang diberikan dari anggota kelompok :
1. Alprazolam dan Clobazam ini merupakan golongan obat hipnotik-sedative,
anxiolitik.
Obat golongan ini bekerja pada neurotransmitter GABA juga pada batang otak,
yang nanti akan memberikan efek menekan pola tidur juga membuat terjadinya
depresi pernapasan pada pengguna.
Indikasi dari penggunaan obat golongan ini adalah untuk anti anxietas, anti
konvulsan dan obat tidur.

2. Gejala intoksikasi penggunaan obat hipnotik-sedative :


- Nafas lambat
- Kewaspadaan menurun
- Terdapat hipoaktif otonom
- Somnolen (terjadi pada saat pemakaian obat melebihi dosis maksimal)
Gejala withdrawal penggunaan obat hipnotik-sedative :

- Takikardia
- Tremor
- Hipertensi
- Anxietas
- Agitatif

2.4 Skema

Mr. Shaky

menggunakan

Alprazolam 1 mg (7 - Berkeringat
keluhan
tablet) + - Tekanan nadi >>
- Tremor
Clobazam 10 mg (7 - Anxietas
tablet) - Agitasi

Farmakoki Indikasi Efek Dosis Interaksi


netik & obat
samping
Farmakodi
namik
Gejala Gejala
Intoksikasi Withdrawal

Definisi Mekanisme obat Dosis yang Terapi dan


dalam tubuh menyebabkan pencegahan
gejala
2.5 Learning Objectives

Pada tahap ini akan dirumuskan hal – hal yang belum dapat terjawab dalam diskusi dengan
menggunakan preknowledge atau pengetahuan umum. Oleh sebab itu, pertanyaan –
pertanyaan yang lebih mendalam tersebut akan dibahas lebih lanjut setelah data – data yang
konkret telah dikumpulkan. Berikut adalah LO dari PBL kami :
1. Mengetahui farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi, dosis, efek samping juga
interaksi golongan obat Alprazolam dan Clobazam
2. Mengetahui definisi dari intoksikasi dan withdrawal secara umum
3. Mengetahui definisi, gejala dan diagnosis dari intoksikasi dan withdrawal pada
penggunakan jenis obat hipnotic sedative.
4. Mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya intoksikasi dan withdrawal
5. Mengetahui terapi yang sesuai untuk kasus intoksikasi dan withdrawal pada
penggunaan jenis obat hipnotic sedative juga cara mencegahnya.
2.6 Report
1. Indikasi, Efek Samping, Farmakodinamik, Farmakokinetik dari
alprazolam dan clobazam
Alprazolam dan clobazam merupakan golongan obat dari golongan
hipnotik sedatif. Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi
susunan saraf pusat (SSP). Efeknya bergantung pada dosis, mulai dari yang
ringan yaitu menyebabkan kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu
hilangnya kesadaran, keadaan anstesi, dan koma.
Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktifitas mental, menurunkan
respon terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat hipnotik
menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur
yang menyrupai tidur fisiologis.
Efek sedasi juga merupakan efek samping beberapa golongan obat lain
yang tidak termasuk obat golongan anti depresan SSP. Walaupun obat tersebut
memperkuat SSP, secara tersendiri obat trsebut memperlihatkan efek yang
lebih spesifik pada dosis yang jauh lebih kecil dari dosis yang dibutuhkan
untuk mendepresi SSP secara umum.
Beberapa obat dalam golongan hipnotik sedatif khususnya golongan
benzodiazepin diindikasikan juga sebagai pelemas otot, anti epilepsi, anti
ansietas, dan sebagai penginduksi anestesi.

1.1 Farmakodinamik
Hampir semua efek benzodiazepin merupakan hasil kerja
golongan ini pada susunan saraf pusat (SSP) dengan efek utama :
sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas,
relaksasi otot, dan anti konvulasi. Hanya dua efek saja yang
merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer : vasodilatasi
korroner setelah pemberian dosis terapi benzodiazepin tertentu secara
IV, dan blokade neuromuscular yang hanya terjadi pada pemberian
dosis tinggi.
Berbagai efek yang menyerupai benzodiazepin yang diamati
secara invivo maupun invitro telah digolongkan sebagai : efek agonis
penuh yaitu senyawa yang sepnuhnya serupa efek benzodiazepin
misalnya diazepam, efek agonis parsial yaitu senyawa yang
menghasilkan efek maksimum yang kurang kuat dibandingkan
diazepam, efek inverse ahonis yaitu senyawa yang menghasilkan efek
kebaikan dari efek diazepam pada saat tidak adanya senyawa yang
mirip benzodiazepin (benzodiazepine like agonist) dan efek invers
agonis parsial. Sebagian besar efek agonis dan invers agonis dapat
dilawan atau dicegah oleh antagonis benzodiazepine flumazenil,
melalui persaingan ikatannya dengan reseptor benzodiazepine. Zat ini
mewakili berbagai golongan senyawa yang bekerja memblok secara
spesifik efek agonis dan inverse agonis benzodiazepine.

1.1.1 Susunan saraf pusat


Walaupun benzodiazepin mempengaruhi semua tingkatan
aktivitas saraf, namun beberapa drivat benzodazepin pengaruhnya
lebih besar terhadap SSP dari derivat lain. Benzodiazepin tidak
mampu menghasilkan tingkat dpresi saraf sekuat golongan barbiturat
atau turunan anestesi umum. Semua benzodiazepin memiliki profil
farnmakologi yang sama namun efek utamanya sangat bervariasi,
sehingga indikasi kliniknya dapat berbeda. Peningkatan dosis
benzodiazepin menyebabkan depresi SSP yang meningkat dari sedasi
ke hipnosis, dan dari hipnosis ke stupor, keadaan ini sering dinyatakan
sebagai efek anestesi tapi golongan obat ini tidak benar-benar
memperlihatkan efek anestesi umum yang spesifik, karena kesadaran
pasien tetap bertahan dan relaksasi otot yang diperlukan untuk
pembedahan tidak tercapai.

1.2 Mekanisme kerja dan tempat kerja


Kerja benzodiazepin terutama merupakan interaksinya
dengan reseptor penghambat neurotransmiter yang diaktifkan oleh
asam gamma amino butirat (GABA). Reseptor GABA merupakan
protein terikat pada membran dan dibedakan dalam 2 bagian besar
sub-tip, yaitu reseptor GABAA dan reseptor GABAB. Reseptor
ionotropik GABAA terdiri dari lima atau lebih subunit yang
membentuk suatu reseptor kanal ion klorida kompleks. Reseptor
GABAA berperan pada sebagian besar neurotransmitter di SSP.
Sebaliknya reseptor GABAB yang terdiri dari peptid tunggal dengan 7
daerah transmembran, digabung terhadap mekanisme signal
transduksinya oleh protein G. Benzodiazepine bekerja pada reseptor
GABAA tidak pada reseptor GABAB. Bnzodiazepin berikatan
langsung pada sisi subspesifik (subunit gamma) reseptor GABA A
(reseptor kanal ion klorida kompleks) sedangkan GABA beriakatan
dengan subunit alfa atau beta. Pengikatan ini akan menyebabkan
pembukaan kanal klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke
dalam sel, menyebabkan peningkatan potensial elektrik membran sel
dan menyebabkan sel sukar untuk tereksitasi.

 Alprazolam (Xanax)
Indikasi alprazolam adalah untuk anxioloitik, muscle-relaxant,
anticonvulsant, antidepresant dan memberikan efek untuk tidur.
Nama dagang adalah Xanax yaitu terapi gangguan cemas atau
untuk terapi short term gejala kecemasan.
Efek samping obat ini adalah drowsiness, pandangan kabur, kepala
terasa melayang, gangguan koordinasi. Pada saluran pencernaan
obat ini mempengaruhi efek autonomic. Dosis alprazolam adalah
0,5-1 mg diberikan sekali sehari.
Interaksi dengan obat lain: efek obat meningkat dengan penggunaan
CNS depressant, alkohol dan barbiturat. Simetidin memperlambat
pembersihan.
Golongan: tergolong obat narkotik. Dijual dengan resep dokter dan
dibawah pengawasan kementrian kesehatan.
Klasifikasi: derivat benzodiazepin.
Farmakodinamik: Bekerja dengan mengikat GABA spesifik sites di
CNS, menyebabkan peningkatan efek inhibitory GABA dalam
eksitasi neuron. Meningkatkan permeabilitas neuronal terhadap ion
klorida sehingga menghasilkan efek hiperpolarisasi dan
stabilisasi.
Farmakokinetik:
-Absorbsi: diabsorbsi baik di saluran pencernaan (oral), konsentrasi
di plasma setelah 1-2 jam.
-Distribusi: protein-binding: 70-80%
-Metabolisme: hepatik. Diubah menjadi alfahydroxyalprazolam dan
benzophenone.
-Eksresi: Urin. 11-15 jam.

 Clobazam
Indikasi dari clobazam adalah anxiety dan kondisi psikoneurotik yang
berhubungan dengan kecemasan. Efek samping: reaksi paradoxical,
mulut kering, konstipasi, nausea, tremor, perubahan libido. Dosis: 20-
30 mg perhari untuk orang dewasa. Untuk orang tua: 10-20 mg
perhari
Farmakodinamik: mengikat reseptor GABA di beberapa tempat di
CNS termasuk limbik sistem dan formasio retikularis. Meningkatkan
permeabilitas neuronal terhadap ion klorida sehingga menghasilkan
efek hiperpolarisasi dan stabilisasi.
Termasuk obat keras.
Farmakinetik:
- Absorbsi: Baik secara oral, konsentrasi di plasma setelah 1-4 jam
- Distribusi: secara cepat melewati BBB. Protein binding: 85%
- Metabolisme: hepatic dengan demetilasi dan hidroxilasi
- Eksresi: urin. 18-42 jam.

1. Interaksi golongan obat alprazolam dan clobazam


Alprazolam dan clobazam dapat menyebabkan efek depresi sistem saraf pusat
meningkat (depresi napas/meningkatkan efek sedasi)

2. Definisi, gejala dan diagnosis dari intoksikasi dan withdrawal pada penggunakan
jenis obat hipnotic sedative

3.1 Definisi intoksikasi dan withdrawal


Intoksikasi adalah keadaan dimana seseorang menggunakan suatu zat melebihi
dosis yang diperbolehkan dan memunculkan gejala-gejala tertentu
Withdrawal adalah keadaan dimana seseorang menggunakan suatu zat dalam
jangka waktu yang lama lalu dihentikan sepenuhnya/dosis diturunkan secara drastis dan
menimbulkan gejala
3.2 Gejala dan diagnosis intoksikasi dan withdrawal
Intoksikasi merupakan sebuah kondisi yang menyertai penggunaan zat psikoaktif
dan menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, penilaian, afek, atau perilaku,
atau pada fungsi dan respon psikofisiologi.
Manifestasi dari intoksikasi alcohol antara lain wajah yang memerah, bicara kacau, postur
tak stabil, euphoria, peningkatan aktivitas,perilaku kacau, reaksi lambat, penilaian
terganggu, inkoordinasi motoric, pingsan, sampai kelumpuhan.

DSM – IV – TR Diagnostic Criteria for Substance Intoxication


a. Terjadinya sindroma reversible zat spesifik karena baru saja menelannya atau terpapar
olehnya zat. Zat yang berbeda dapat memberi sindroma yang mirip atau sama.
b. Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perubahan psikologis
karena efek dari zat terhadap sistem saraf pusat (misalnya keadaan siap tempur,
labilitas mood, gangguan kognitif, penilaian, sosial, dan fungsi pekerjaan) yang terjadi
segera setelah penggunaan zat.
c. Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya.

Withdrawal syndrome ditandai dengan tremor, berkeringat, gelisah, agitasi,


depresi, mual, dan malaise. Biasanya terjadi 6-48 jam setelah penghentian konsumsi
alcohol. Jika kondisinya tidak terlalu buruk, sindrom akan mereda dalam waktu 2-5 hari.
Dapat diperburuk dengan kejang grand mal dan berlanjut ke delirium.

DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Substance Withdrawal

a. Terjadinya sindroma zat spesifik karena penghentian mendadak atau pengurangan


penggunaan zat yang lama dan berat.
b. Sindroma diatas menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam hal sosial, pekerjaan atau area fungsi-fungsi penting lainnya.
c. Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya.

Tanda dan gejala pada sindrom penghentian benzodiazepin


Terdapat beberapa tanda yang timbul pada keadaan penghentian penggunaan
benzodiazepin. Mereka menunjukkan gejala kecemasan yang sebenarnya (rekuren),
perburukan gejala kecemasan yang sebenarnya (rebound) atau kedaruratan gejala baru
(true withdrawal)
Terjadi perubahan mood dan kognisi diantaranta cemas, khawatir, disforia, pesimis,
iritabilitas, obsesif terhadap masa lalu, dan paranoid. Terjadi juga perubahan jam tidur
diantaranya insomnia, perubahan jam tidur dan mengantuk pada siang hari.
Tanda dan gejala fisik diantaranya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hiperefleksi,
ketegangan otot, gelisah, tremor, mioklonik, nyeri otot dan persendian, mual, coryza,
diaforesis, ataxia, tinitus dan kejang grand mal. Serta juga terjadi gangguan persepsi
seperti hiperakusis, depersonalisasi, penglihatan yang kabur, ilusi dan halusinasi.

3. Mekanisme terjadinya withdrawal dari benzodiazepine.


Benzodiazepine meningkatkan efek dari GABA dimana fungsi GABA yaitu untuk
membuka gerbang ion clorida, lalu ion tersebut masuk ke dalam sel saraf dan
menyebabkan hiperpolarisasi (sel saraf tak dapat dirangsang). Dengan adanya
benzodiazepine, gerbang yang terbuka semakin banyak sehingga ion klorida lebih banyak
yang menembus membrane sel. Penggunaan zat ini secara kronis menyebabkan tubuh
melakukan adaptasi dengan menurunkan kadar GABA, sehingga ketika penggunaan zat
tersebut tiba-tiba dihentikan sepenuhnya atau dosisnya diturunkan secara cepat akan
menimbulkan gejala putus zat dikarenakan kadar GABA yang rendah.

4. Terapi pada intoksikasi dan withdrawal dan cara mencegah


Intoksikasi
a. Diperlukan terapi kombinasi yang bertujuan :
- Mengurangi efek obat dalam tubuh
- Mengurangi absorbsi obat yang lebih lanjut
- Mencegah komplikasi jangka panjang
b. Langkah I. Mengurangi efek hipnotik sedatif :
- Pemberian Flumazemil (hanya bila diperlukan berhubungan dengan dokter
anestesi) obat ini merupakan antagonis benzodiazepin dengan dosis 0,2 mg i.v
kemudian setelah 30 detik diikuti dengan 0,3 mg dosis tunggal, setelah 60 detik
diberikan lagi 0,5 mg sampai total kumulatif 3,0 mg. Pada pasien yang
ketergantungan akan menimbulkan gejala putus zat.
- Untuk tingkat serum sedatif –hipnotik yang sangat tinggi dan gejala-gejala sangat
berat, pikirkan untuk atau haemoperfusion dengan Charcoal resin/Norit. Cara ini
juga berguna bila ada intoksikasi berat dari barbiturat yang lebih short acting.
- Tindakan suportif termasuk mempertahankan jalan nafas dan pernafasan buatan
bila diperlukan, perbaiki gangguan asam basa, dan alkalinisasi urin pH 8 untuk
memperbaiki pengeluaran obat dan untuk diuresis berikan Furosemid 20-40 mg
atau Manitol 12,5-25 mg untuk mempertahankan pengeluaran urin.
c. Langkah II. Mengurangi absorbsi lebih lanjut
Dengan cara merangsang muntah bila baru terjadi pemakaian, bila tidak, berikan
activated Charcoal. Perhatian selama perawatan harus diberikan supaya tidak terjadi
aspirasi.
d. Langkah III. Mencegah komplikasi
- Perhatikan tanda-tanda vital dan depresi pernafasan, aspirasi, dan edema paru.
- Bila sudah terjadi aspirasi, berikan antibiotik
- Bila pasien ada usaha bunuh diri, maka dia harus segera ditangani ditempat khusus
yang aman dan perlu pengawasan selama 24 jam, bila perlu dirujuk untuk masalah
kejiwaan.

Withdrawal
a. Abrupt withdrawal (pelepasan mendadak) dapat berakibat fatal karena itu tidak
dianjurkan
b. Gradual withdrawal (pelepasan bertahap) dianggap lebih rasional, dimulai dengan
memastikan dosis toleransi, disusul dengan pemberian suatu sedatif benzodiazepin atau
barbiturat (pentotal, luminal) dalam jumlah cukup banyak sampai terjadi gejala-gejala
intoksikasi ringan, atau sampai kondisi pasien tenang. Ini diteruskan selama beberapa
hari sampai keadaan pasien stabil, kemudian baru dimulai dengan penurunan dengan
kecepatan maksimal 10% per 24 jam sampai dosis sedatif nol. Bila penurunan dosis
menyebabkan pasien gelisah/insomnia/agitatif atau kejang, ditunda sampai keadaan
pasien stabil, setelah itu penurunan dosis dilanjutkan.
c. Untuk keadaan putus zat barbiturat, dapat diberikan obat yang biasa digunakan oleh
pasien. Penurunan dosis 10% per hari maksimal 100 mg/hari.
d. Teknik substitusi Fenobarbital (Luminal)
Digunakan Luminal sebagai substituen, atau barbiturat masa kerja lama yang lain. Sifat
long acting akan mengurangi fluktuasi pada serum yang terlalu besar, memungkinkan
digunakannya dosis kecil yang lebih aman. Waktu paruhnya antara 12-24 jam, dosis
tunggal sudah cukup. Dosis lethal 5 kali lebih besar daripada dosis toksis dan tanda-
tanda toksisitasnya lebih mudah diamati (sustained nystagmus, slurred speech dan
ataxia). Intoksikasi luminal biasanya tidak menimbulkan disinhibisi, karena jarang
menimbulkan problema tingkah laku yang umum dijumpai pada Barbiturat short acting.
Kadang-kadang pasien tidak bersedia diberikan luminal. Dosis luminal tidak boleh
melebihi 500 gram sehari. Kalau timbul toksisitas, 1-2 dosis luminal berikut dihapus,
lalu dosis harian dihitung kembali 30mg Luminal kira-kira setara dengan :
- 100 mg Phentonal – 500 mg Choloralydrate
- 400-600 mg Meprobamate – 250-300 mg Methaqualone
- 100 mg Chlordiazepoxide – 50 mg Chlorazepate
- 50 mg Diazepam – 60 mg Flurazepam
e. Penatalaksanaan dengan benzodiazepine tappering off:
- Berikan salah satu benzodiazepine (diazepam, klobazam, lorazepam) dalam jumlah
cukup.
- Lakukan penurunan dosis (kira-kira 5 mg) setiap 2 hari
- Berikan hipnotika malam saja (clozapine 25 mg, estazolam 1-2 mg)
- Berikan vitamin B komplek
- Injeksi diazepam intramuskuler/intravena 1 ampul (10 mg) bila pasien
kejang/agitasi dapat diulangi beberapa kali dengan selang waktu 30-60 menit.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada skenario ini Mr. Shaky mengalami gejala withdrawal atau gejala putus obat karena
sudah 3 hari tidak menggunakan obat yang biasa ia minum dengan dosis yang tinggi dan obat
yang diberikan merupakan obat yang dikombinasikan dalam 1 golongan yaitu golongan
benzodiazepin yang apabila diberikan bersamaan akan meningkatkan efek samping. Obat
golongan benzodiazepin dapat mengakibatkan toleransi sehingga dokter perlu hati-hati dalam
pemberian dosis untuk pasien. Apabila pasien sudah mengalami tolerasi, pemberhentian secara
mendadak tidak dianjurkan, melainkan dilakukan pemberhentian obat dengan cara dosis yang
diturunkan secara perlahan-lahan.

3.2 Saran
Pertemuan PBL pertama dan kedua sudah berjalan dengan cukup baik. Mahasiswa cukup
aktif mengikuti kegiatan diskusi dan dapat mencari bahan PBL dari sumber yang sahih.
Diharapkan di pertemuan selanjutnya mahasiswa bisa lebih aktif lagi dalam mencari informasi
terbaru mengenai topik PBL yang akan dibahas. Tutor PBL juga sudah bersikap kooperatif dan
mengikuti kegiatan PBL dari awal hingga selesai. Masukkan yang diberikan oleh tutor pada PBL
pertama sangat bermanfaat untuk PBL kedua.
Topik PBL yang diberikan bias memancing kami untuk mencari tahu lebih banyak dan
menambah wawasan kami. Tetapi data anamnesis dalam kasus ini menurut kami tidak cukup
lengkap untuk bisa menentukan working diagnosis sehingga kami agak kesulitan dalam
menentukannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J.A. 1991. Synopsis of psychiatry. 6th ed. Baltimore:

Williams & Wilkins.

2. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua, Fakultas Kedokteran Indonesia, 2013

3. Maslim R. 2013. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh

Jaya

4. Nafrialdi ; Setawati, A., 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi

dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

5. Maslim R. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Ketiga.

Jakarta: PT Nuh Jaya

6. WHO | Acute intoxication [Internet]. WHO. [cited 2014 Nov 17]. Available from:

http://www.who.int/substance_abuse/terminology/acute_intox/en/

7. WHO | Withdrawal state [Internet]. WHO. [cited 2014 Nov 17]. Available from:

http://www.who.int/substance_abuse/terminology/withdrawal/en/

Anda mungkin juga menyukai