Disusunoleh:
Nurmaniar Majid
(11 16 77714 093)
PEMBIMBING:
dr. Christian Lopo, Sp. THT-KL
1
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing Mahasiswa
2
DAFTAR ISI
halaman
Judul i
..................................................................................................................
Lembar Pengesahan ii
..........................................................................................
Daftar Isi iii
...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN 1
.................................................................................
BAB II ANATOMI, FISIOLOGI, DAN HISTOLOGI
2.1 Anatomi Nasofaring 3
................................................................................
2.2 Fisiologi Nasofaring 5
................................................................................
2.3 Histologi Nasofaring 5
..............................................................................
BAB III ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL
3.1 Definisi 6
....................................................................................................
3.2 Epidemiologi 6
...........................................................................................
3.3 Etiologi 6
....................................................................................................
3.4 Patogenesis 7
..............................................................................................
3.5 Derajat (Staging) 8
.....................................................................................
3.6 Gambaran Klinis 10
3
....................................................................................
3.7 Gambaran Nasoendoskopi
.......................................................................
3.8 Gambaran Radiologi
................................................................................
3.9 Gambaran Histopatologi
..........................................................................
3.10 Diagnosis Banding 10
..................................................................................
BAB IV DIAGNOSIS ANGIFIBROMA NASOFARING JUVENILE
4.1 Diagnosis 13
.................................................................................................
4.2 Penatalaksanaan 19
.......................................................................................
4.3 Komplikasi
..............................................................................................
4.4 Prognosis 21
.................................................................................................
Daftar Pustaka 23
...................................................................................................
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan
perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial
(sublabial mid-facial degloving) atau kombinasi dengan kraniotomi
frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. Selain itu, operasi melalui bedah
endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan dipandu CT-Scan 3 dimensi
dan pengangkatan tumor dapat dibantu dengan laser. 4,6,9
6
BAB II
Nasofaring adalah bagian paling atas dari faring sehingga disebut juga
sebagai epifaring. Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, yakni
diantara basis kranial dan palatum molle, atau tingkat berjalannya sejajar
bidang horizontal yang melalui palatum durum. Rongga nasofaring
menyerupai sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas-bawah dan kiri
kanan masing-masing sekitar 3 cm, diameter depan-belakang 2-3 cmn, dapat
dibagi menjadi dinding anterior, superior, posterior, inferior dan 2 dinding
lateral yang simetris. Atap dari nasofaring dibentuk oleh dasar sphenoid dan
dasar oksiput. 1,2
Dinding supero-posterior
Dinding superior dan posterior bersambung dan miring membentuk
lengkungan, di antara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis yang jelas.
Maka secara klinis sering disebut sebagai dinding supero-posterior, yaitu dari
batas atas lubang hidung ke posterior (koana) hingga palatum mole. Lapisan
submukosa area ini kaya akan jaringan limfatik membentuk tonsil faring,
dimasa anak hiperplasia nyata membentuk adenoid. Dinding posterior
setinggi vertebra servikal 1 dan 2, kedua sisinya adalah batas posteior resus
faring. 1
Dinding lateral
Dinding lateral mencakup (1) pars anterior tuba timpanofaringeus, (2)
area tuba timpanofaringeus, terdapat ostium faringeus tuba timpanofaringeus
(membentuk segitiga, sekitar 1 cm dari ujung posterior konka nasalis inferior)
dan torus tubarius di sebelah postero-superiornya (terbentuk dari lipatan
lempeng kartilago berbentuk segitiga) bersama jaringan ikat di bawahnya
membentuk pars kartilago tuba timpanofaringeus, (3) pars posterior tuba
timpanofaringeus, yaitu resesus faringeus (disebut juga fossa Rosenmulleri)
7
terletak di sebelah posterior torus tubarius, berhubungan dengan dinding
posterior atap nasofaring. Resesus ini dalamnya sekitar 1 cm, membentuk
lekukan berbentuk kerucut. 1
Dinding anterior
Margin posterior septum nasalis dan ostium posteiror nasalis di kedua
sisinya, langsung berhubungan dengan kavum nasalis. 1
Dinding dasar
Dorsum palatum mole dan ismus orofaring dibelakangnya. 1
Drainase limfatik
Area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke
kelenjar limfe faringeal posterior paravertebralis servikal (disebut juga
kelenjar limfe rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal pertama drainase
kanker nasofaring), kemudian masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda
servikal, terutama meliputi (1) rantai kelenjar limfe jugularis interna (2) rantai
kelenjar limfe nervi asesorius (terletak dalam segitiga posterior leher) (3)
rantai kelenjar limfe arteri dan vena transversalis koli (di fossa
supraklavikularis. 1
Vaskularisasi
Berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis eksterna,
masing-masing adalah (1) arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri
karotis eksterna (2) arteri palatina asendens (3) arteri faringeal, salah satu
cabang terminal dari arteri maksilaris interna (4) arteri pterigoideus, juga
adalah cabang akhir arteri maksilaris interna. 1
Inervasi
Saraf sensorik berasal dari nervi glosofaringeal dan nervi vagus. Saraf
motorik berasal dari nervus vagus yang mempersarafi sebagian otot faring
dan palatum mole. 1
8
Gambar 1. Anatomi Nasofaring
9
BAB III
3.1 Definisi
3.2 Epidemiologi
3.3 Etiologi
10
abnormal jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os
sphenoidalis. 4,6
Sedangkan berdasarkan teori hormonal, angiofibroma nasofaring
diduga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan hormonal yakni adanya
defisiensi hormon androgen atau kelebihan hormon estrogen. Anggapan ini
didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan
usia penderita, dimana insiden angiofibroma nasofaring banyak ditemukan
pada anak atau remaja laki-laki. Oleh karena itu tumor ini disebut juga
angiofibroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal angiofibroma).
Namun, adanya keterlibatan hormon tersebut masih kontroversial. 4,6
3.4 Patogenesis
11
Gambar 2. Jalur Invasi Angiofibroma Nasofaring Juvenil. 9
12
A. Berdasarkan klasifikasi menurut Session :
Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau
nasofaringeal voult.
Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau
nasofaringeal voult dengan meluas sedikitnya 1
sinus paranasal.
Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila.
Stadium IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa
mengerosi tulang orbita.
Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan
meluas sedikit ke intrakranial.
Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau
tanpa meluas ke sinus kavernosus. 4
13
3.6 Manifestasi klinis
14
Pada pemeriksaan fisik, tampak hidung mekar oleh karena pada
polip nasi yang masif terjadi pelebaran batang hidung yang kemudian
menimbulkan deformitas hidung luar (hidung mekar). Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal
dari meatus medius dan mudah digerakkan. 4
Pemeriksaan radiologi foto polos sinus paranasalis posisi waters
(waters position), anterior-posterior (AP), Caldwell dan lateral dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di
dalam sinus, namun kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan
computer tomography (CT-Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan
jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang,
kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal.
Computer tomography (CT-Scan) terutama diindikasikan pada kasus polip
yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah. 4
2) Papiloma skuamosa
Papiloma skuamosa merupakan tumor hidung dan sinonasal jinak
tersering. Secara makroskopik tumor ini mirip dengan polip, tetapi lebih
vaskuler, padat dan tidak mengkilat. Sering dijumpai pada laki-laki usia
tua. 4
3) Karsinoma sel skuamosa
Merupakan tumor ganas tersering pada kelompok tumor hidung dan
sinonasal yakni sekitar (70%). Sinus maksilla adalah yang tersering
terkena (65%-80%), disusul oleh sinus ethmoid (15%-25%), dan hidung
(24%). 4
4) Karsinoma nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan
leher terbanyak. Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4
kelompok yakni gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf,
serta gejala di leher (bila metastase). Gejala nasofaring dapat berupa
epistaksis ringan atau sumabatan hidung, oleh karena itu nasofaring harus
15
diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan pemeriksaan
nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada namun tumor sudah
tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa
(creeping tumor). 4
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rusenmuller).
gangguan dapat berupa mendengung (tinitus), rasa tidak nyaman di telinga
sampai rasa nyeri pada telinga (otalgia). 4
Oleh karena letak nasofaring berhubungan dekat dengan rongga
tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf kranial
dapat terjadi sebagai gejala lanjut dari karsinoma nasofaring. Penjalaran
melalui foramen laserum akan mengenai saraf kranial ke III, IV, VI, dan
mungkin juga V sehingga timbul gejala neuralgia trigeminal. 4
16
BAB IV
4.1 Diagnosis
17
Gambar 3. Tampak massa tumor melalui cavum nasi dextra. 4,8
C. Pemeriksaan radiografi
Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam
menegakkan diagnosis, penentuan stadium, dan penatalaksanaan.
Pemeriksaan radiologi berperan dalam menunjukkan perluasan tumor.
Beberapa pemeriksaan radiologi pada angiofibroma nasofaring juvenil :
1) Foto polos
Gambaran foto polos didapatkan massa jaringan lunak di
nasofaring dan dinding posterior sinus maksillaris melengkung ke
depan. 6
2) Computed Tomography Scanner (CT-Scan)
Pada CT-Scan kepala lebih superior untuk mengevaluasi
struktur tulang dari dasar tengkorak, termasuk melihat erosi tulang,
lebih spesifik untuk kedalaman invasi pada tulang sphenoid sebagai
prediktor utama dari rekurensi ataupun residu dari tindakan operatif.
CT-Scan kepala potongan coronal (antero-posterior), akan
menunjukkan adanya massa jaringan lunak pada rongga nasal
posterior bersamaan dengan pembesaran foramen sphenopalatina dan
erosi batang tulang posterior. Pada potongan axial, akan tampak
gambaran khas angiofibroma nasofaring juvenil yang disebut sebagai
tanda “Holman Miller” yaitu melengkungnya dinding maksillaris
posterior ke arah anterior akibat adanya massa di rongga
pterygomaksillaris. Massa akan mendorong prosesus pterigoideus ke
18
belakang, sehingga fissura pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga
adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat
mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar
nasofaring. 4,9
A B
Gambar 4. CT-Scan kepala
A. CT-Scan kepala potongan axial menunjukkan adanya lesi yang
melibatkan rongga hidung kanan dan sinus paranasal, B. CT-Scan
kepala potongan coronal menunjukkan adanya lesi mengisi rongga
hidung kiri dan sinus ethmoidalis serta menghalangi sinus maksila dan
deviasi septum nasi ke sisi kanan. 7
19
Pada CT-Scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat
perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya. 4
4) Arteriografi
Pada pemeriksaan arteriografi (DSA) cerebral melalui injeksi
arteri karotis eksterna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor
(tumor blush yang mendapat suplai darah) yang biasanya berasal dari
cabang arteri maksila interna hemolateral/ipsilateral. Arteri maksilaris
interna terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor
dari posteior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fossa
pterigomaksila. Selain itu, massa tumor juga akan terisi kontras pada
fase kapiler dan akan mencapai maksimum 3-6 detik setelah kontras
disuntukan. 4,8
20
Selain itu, dilakukan pula embolisasi tumor menggunakan PVA
partikel 300-500 mikron pada arteri maksillaris interna dengan tujuan
agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang
dan tumor blush tidak lagi mendapatkan suplai darah. Hal ini akan
mempermudah pengangkatan tumor. Selanjutnya dapat dilakukan
operasi pengangkatan tumor (ekstirpasi tumor) dan pemeriksaan
4,8
patologi anatomi.
A.Pre embolisasi : tampak adanya tumor blush yang mendapat suplai darah
(feeding arteri) dari arteri maksillaris interna dextra (panah kuning), B.Tampak
tumor blush (panah biru), C.Post embolisasi : dengan menggunakan PVA partikel
pada arteri maksillaris interna dextra hingga tumor blush pada sisi dextra tidak
lagi mendapat suplai darah (panah merah). 8
21
D. Pemeriksaan histologi pasca pembedahan.
Secara makroskopis, angiofibroma nasofaring tampak sebagai massa
yang tidak teratur, warna kemerah-merahan, dan permukaan licin. Dapat
berbentuk nodular, kokoh, tidak memiliki kapsul dengan dasar biasanya
bertangkai. 6
Secara mikroskopis angiofibroma nasofaring terdiri dari komponen
pembuluh darah yang predominan di dalam stroma yang fibrous (gambar
a). Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial tunggal
yang melapisi stroma fibrous (gambar b). Hal ini menimbulkan perdarahan
yang masif. Pembuluh darah dalam bisa memiliki suatu lapisan muskular.
Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang memiliki ciri-
ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu. 6,8
A B
22
4.2 Penatalaksanaan
23
operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan
dipandu CT-Scan 3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat dibantu
dengan laser. Pendekatan transpalatal dilakukan untuk tumor yang berada
di nasofaring meluas ke daerah nasal posterior atau tumor yang sudah
mendorong palatum ke bawah. Pendekatan rinotomi sublabial (sublabial
mid-facial degloving) dilakukan untuk tumor yang berada di nasofaring
dan meluas ke kavum nasi. Pendekatan rinotomi lateral dilakukan untuk
tumor yang sudah meluas ke sinus paranasalis atau yang sudah
mendestruksi dinding sinus. Kekurangan dari pendekatan rinotomi lateral
adalah gangguan kosmetik yakni berupa jaringan parut pada wajah bekas
operasi. 4,6
Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor, selain dilakukan
embolisasi untuk mengurangi pendarahan yang banyak, dapat pula
dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anastesi. 4
24
4.3 Prognosis
25
BAB V
PENUTUP
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Desen Wan, Japaries. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta :
FKUI.
2. Muslim. Peran Radiasi dalam Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring
Belia dengan Perluasan Intrakranial. Universitas Indonesia. Diakses dari
https://www.kankertht-kepalaleher.info.
3. Salma Shelly. 2011. Slide Kuliah Histologi Sistem Respirasi. Bagian Histologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makssar
4. Soepardi Efiaty, Iskandar Nurbaiti, dkk.. 2012. Angiofibroma Nasofaring
Belia dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokam Kepala
dan Leher Edisi ke VII. Jakarta : FKUI.
5. Desen Wan. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta : FKUI.
6. Siti Hajar dan Hafni. 2005. Angifibroma Nasofaring Belia dalam Majalah
Kedokteran Nusantara Volume 38. Departemen Ilmu Penyakit THT-KL. FK
USU/RSUP H. Adam Malik. Diakses dari http://repository.usu.ac.id.
7. Tewfik Ted L, Meyers Arlen D, at all. 2016. Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma. Diakses dari http://emedicine.medscape.com.
8. Amran Yunus, dan Bahar Ashari. 2016. Embolisasi PVA Partikel Foam-
Prasyarat Preoperatif pada Pasien Angifibroma Nasofaring : Laporan Kasus
Seral Dari Lima Pasien. Makassar. Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dan RSP UNHAS. Diakses dari
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/.../Embolisasi.
9. Primasari Mirna, Sekarutami Sri M. 2013. Radioterapi dan Onkologi
Indonesia : Laporan Kasus Peran Radiasi Eksterna pada Tata Laksana
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Journal of the Indonesian Radiation
Oncology Society. Departemen Radioterapi RSUPN Dr.Cipto
Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Diakses
dari www.pori.or.id/wp-content/uploads/2015/08/jori-9-jadi-1.pdf
27
10. Rahman Sukri, Budiman Bestari, dan Azani Surya. Angiofibroma Nasofaring
pada Dewasa. Bagian Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher
(THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang. Diakses dari
http://repository.unand.ac.id.
28