Anda di halaman 1dari 28

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL REFERAT

FK Universitas Alkhairaat Palu, 17 Oktober 2017


Rumah Sakit Umum Anutapura

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL

Disusunoleh:
Nurmaniar Majid
(11 16 77714 093)

PEMBIMBING:
dr. Christian Lopo, Sp. THT-KL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT
RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA
PALU
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Nurmaniar Majid


No. Stambuk : 11 16 777 14 093
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat
Judul Referat : Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Bagian : Ilmu Kesehatan THT-KL

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL


RSU ANUTAPURA Palu
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, 17 Oktober 2017

Pembimbing Mahasiswa

dr. Christian Lopo, Sp.THT-KL Nurmaniar Majid, S.Ked

2
DAFTAR ISI

halaman
Judul i
..................................................................................................................
Lembar Pengesahan ii
..........................................................................................
Daftar Isi iii
...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN 1
.................................................................................
BAB II ANATOMI, FISIOLOGI, DAN HISTOLOGI
2.1 Anatomi Nasofaring 3
................................................................................
2.2 Fisiologi Nasofaring 5
................................................................................
2.3 Histologi Nasofaring 5
..............................................................................
BAB III ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL
3.1 Definisi 6
....................................................................................................
3.2 Epidemiologi 6
...........................................................................................
3.3 Etiologi 6
....................................................................................................
3.4 Patogenesis 7
..............................................................................................
3.5 Derajat (Staging) 8
.....................................................................................
3.6 Gambaran Klinis 10

3
....................................................................................
3.7 Gambaran Nasoendoskopi
.......................................................................
3.8 Gambaran Radiologi
................................................................................
3.9 Gambaran Histopatologi
..........................................................................
3.10 Diagnosis Banding 10
..................................................................................
BAB IV DIAGNOSIS ANGIFIBROMA NASOFARING JUVENILE
4.1 Diagnosis 13
.................................................................................................
4.2 Penatalaksanaan 19
.......................................................................................
4.3 Komplikasi
..............................................................................................
4.4 Prognosis 21
.................................................................................................
Daftar Pustaka 23
...................................................................................................

4
BAB I

PENDAHULUAN

Nasofaring merupakan bagian faring paling atas. Nasofaring terletak di


belakang rongga hidung, yakni diantara basis kranial dan palatum molle, yang
menyerupai sebuah kubus tidak beraturan. Vaskularisasi nasofaring berasal dari
percabangan level I atau level II arteri karotis eksterna, dengan berasal dari nervi
glosofaringeal dan nervi vagus. Nasofaring berfungsi sebagai saluran untuk
mengalirkan udara menuju laring dan trakea. 1,2
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak pembuluh darah
nasofaring yang jarang ditemukan. Tumor iniu dapat mendestruksi tulang, dan
meluas ke jaringan sekitarnya. umumnya terjadi pada anak laki-laki usia
remaja/usia muda yakni antara usia 7-19 tahun. 4,6,9
Etiologi angiofibroma nasofaring belum diketahui secara pasti, diduga
bahwa angiofibroma nasofaring terjadi oleh karena pertumbuhan abnormal
jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os sphenoidalis atau adanya
ketidakseimbangan hormonal yakni adanya defisiensi hormon androgen atau
kelebihan hormon estrogen. 4,6
Manifestasi klinis angiofibroma nasofaring juvenil dapat berupa obstruksi
hidung unilateral yang disertai epistaksis berulang dan masif, keluar cairan dari
hidung (rinorrhea), gangguan penciuman baik hiposmia maupun anosmia,
cephalgia hebat, pembengkakan palatum dan deformitas pipi, gangguan telinga
seperti otitis media dan gangguan pendengaran. 4,6,7,9
Penatalaksanaan terdiri dari beberapa yakni terapi hormonal dapat diberikan
pada pasien dengan stadium IIC - IIIB menurut klasifikasi Radkowski,
arteriografi diikuti embolisasi preoperatif untuk menurunkan risiko perdarahan
yang banyak serta membantu visualisasi yang lebih baik saat dilakukan
pengangkatan tumor. Tindakan operasi (pembedahan) merupakan pilihan utama
penatalaksanaan angiofibroma nasofaring juvenil. Operasi harus dilakukan di
rumah sakit dengan fasilitas cukup, oleh karena resiko perdarahan yang hebat.

5
Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan
perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial
(sublabial mid-facial degloving) atau kombinasi dengan kraniotomi
frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. Selain itu, operasi melalui bedah
endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan dipandu CT-Scan 3 dimensi
dan pengangkatan tumor dapat dibantu dengan laser. 4,6,9

6
BAB II

ANATOMI, FISIOLOGI, DAN HISTOLOGI NASOFARING

2.1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring adalah bagian paling atas dari faring sehingga disebut juga
sebagai epifaring. Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, yakni
diantara basis kranial dan palatum molle, atau tingkat berjalannya sejajar
bidang horizontal yang melalui palatum durum. Rongga nasofaring
menyerupai sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas-bawah dan kiri
kanan masing-masing sekitar 3 cm, diameter depan-belakang 2-3 cmn, dapat
dibagi menjadi dinding anterior, superior, posterior, inferior dan 2 dinding
lateral yang simetris. Atap dari nasofaring dibentuk oleh dasar sphenoid dan
dasar oksiput. 1,2
Dinding supero-posterior
Dinding superior dan posterior bersambung dan miring membentuk
lengkungan, di antara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis yang jelas.
Maka secara klinis sering disebut sebagai dinding supero-posterior, yaitu dari
batas atas lubang hidung ke posterior (koana) hingga palatum mole. Lapisan
submukosa area ini kaya akan jaringan limfatik membentuk tonsil faring,
dimasa anak hiperplasia nyata membentuk adenoid. Dinding posterior
setinggi vertebra servikal 1 dan 2, kedua sisinya adalah batas posteior resus
faring. 1
Dinding lateral
Dinding lateral mencakup (1) pars anterior tuba timpanofaringeus, (2)
area tuba timpanofaringeus, terdapat ostium faringeus tuba timpanofaringeus
(membentuk segitiga, sekitar 1 cm dari ujung posterior konka nasalis inferior)
dan torus tubarius di sebelah postero-superiornya (terbentuk dari lipatan
lempeng kartilago berbentuk segitiga) bersama jaringan ikat di bawahnya
membentuk pars kartilago tuba timpanofaringeus, (3) pars posterior tuba
timpanofaringeus, yaitu resesus faringeus (disebut juga fossa Rosenmulleri)

7
terletak di sebelah posterior torus tubarius, berhubungan dengan dinding
posterior atap nasofaring. Resesus ini dalamnya sekitar 1 cm, membentuk
lekukan berbentuk kerucut. 1
Dinding anterior
Margin posterior septum nasalis dan ostium posteiror nasalis di kedua
sisinya, langsung berhubungan dengan kavum nasalis. 1
Dinding dasar
Dorsum palatum mole dan ismus orofaring dibelakangnya. 1

Drainase limfatik
Area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke
kelenjar limfe faringeal posterior paravertebralis servikal (disebut juga
kelenjar limfe rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal pertama drainase
kanker nasofaring), kemudian masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda
servikal, terutama meliputi (1) rantai kelenjar limfe jugularis interna (2) rantai
kelenjar limfe nervi asesorius (terletak dalam segitiga posterior leher) (3)
rantai kelenjar limfe arteri dan vena transversalis koli (di fossa
supraklavikularis. 1

Vaskularisasi
Berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis eksterna,
masing-masing adalah (1) arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri
karotis eksterna (2) arteri palatina asendens (3) arteri faringeal, salah satu
cabang terminal dari arteri maksilaris interna (4) arteri pterigoideus, juga
adalah cabang akhir arteri maksilaris interna. 1

Inervasi
Saraf sensorik berasal dari nervi glosofaringeal dan nervi vagus. Saraf
motorik berasal dari nervus vagus yang mempersarafi sebagian otot faring
dan palatum mole. 1

8
Gambar 1. Anatomi Nasofaring

2.2 Fisiologi Nasofaring

Fungsi Nasofaring adalah sebagai saluran untuk udara yang telah


dihangatkan dan dilembabkan di hidung, dialirkan menuju laring dan trakea. 2

2.3 Histologi Nasofaring

Mukosa nasofaring tersusun atas lapisan epitel bertingkat bersilia dan


epitel berlapis gepeng tidak bertanduk. 3

9
BAB III

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL

3.1 Definisi

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di


nasofaring yang secara histologik jinak, dan secara klinis bersifat ganas,
karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang, dan meluas ke jaringan
sekitarnya seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat
mudah berdarah yang sulit dihentikan. 4

3.2 Epidemiologi

Angiofibroma nasofaring juvenil jarang ditemukan, frekuensinya


1/5000 – 1/60.000 dari pasien THT, dan diperkirakan hanya merupakan
0,05%-0,5% dari tumor kepala dan leher. 4,6,9
Angiofibroma nasofaring juvenil umumnya terjadi pada anak laki-laki
usia remaja/usia muda yakni antara usia 7-19 tahun. Usia rata-rata diagnosis
adalah pada usia 15 tahun. Angiofibroma nasofaring juvenil jarang terjadi
pada usia lebih dari 25 tahun. Pada beberapa kasus meskipun sangat jarang,
angiofibroma dapat terjadi pada anak laki-laki di atas usia 25 tahun dan pada
beberapa remaja perempuan. 4,6,9

3.3 Etiologi

Etiologi angiofibroma nasofaring belum diketahui secara pasti, berbagai


macam teori telah diajukan oleh para ahli, diantaranya adalah teori
berdasarkan jaringan tempat asal tumbuhnya tumor dan adanya gangguan
hormonal. 4,6
Pada teori berdasarkan jaringan asal tempat tumbuhnya angiofibroma
nasofaring yang spesifik pada dinding posterolateral atap rongga hidung,
diduga bahwa angiofibroma nasofaring terjadi oleh karena pertumbuhan

10
abnormal jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os
sphenoidalis. 4,6
Sedangkan berdasarkan teori hormonal, angiofibroma nasofaring
diduga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan hormonal yakni adanya
defisiensi hormon androgen atau kelebihan hormon estrogen. Anggapan ini
didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan
usia penderita, dimana insiden angiofibroma nasofaring banyak ditemukan
pada anak atau remaja laki-laki. Oleh karena itu tumor ini disebut juga
angiofibroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal angiofibroma).
Namun, adanya keterlibatan hormon tersebut masih kontroversial. 4,6

3.4 Patogenesis

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior


dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di
bawah mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan
meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung
posterior. Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong
septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah
lateral, tumor melebar ke arah foramen spenopalatina, masuk ke fissura
pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila
massa tumor terus meluas, maka massa tumor akan masuk ke fosa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan rasa penuh di
wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka
akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”. Massa
tumor juga dapat meluas ke intrakranial melalui fosa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fosa serebri anterior atau dari sinus spenoid ke sinus
kavernosus dan fosa hipofise. 4

11
Gambar 2. Jalur Invasi Angiofibroma Nasofaring Juvenil. 9

3.5 Perluasan dan Derajat (staging) Angiofibroma Nasofaring

Tempat asal angiofibroma pertama kali tumbuh adalah pada bagian


posterior atap nasofaring. Tumor kemudian meluas ke kavum nasi, sinus
paranasalis, fossa pterigopalatina, kavum orbita, fossa infra temporal, pipi,
dasar tengkorak dan rongga intrakranial. 4
Beberapa sistem staging telah diusulkan, namun hingga saat ini belum
ada satupun yang menjadi standar universal. Angiofibroma nasofaring juvenil
diklasifikasikan berdasarkan dari ekstensi tumor dan ekstensi intrakranial.
sistem staging yang sering digunakan adalah Andrews (modifikasi dari
Fisch), Chandler, dan Radkowsi (modifikasi dari Session). 9

12
A. Berdasarkan klasifikasi menurut Session :
Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau
nasofaringeal voult.
Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau
nasofaringeal voult dengan meluas sedikitnya 1
sinus paranasal.
Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila.
Stadium IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa
mengerosi tulang orbita.
Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan
meluas sedikit ke intrakranial.
Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau
tanpa meluas ke sinus kavernosus. 4

B. Berdasarkan klasifikasi menurut Fisch :


Stadium I : Tumor terbatas di cavum nasi dan nasofaring tanpa
mendestruksi tulang.
Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus
paranasal (maksilla, sphenoid, atau sinus ethmoid)
dengan destruksi tulang.
Stadium III : Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita
dengan regio paraselar.
Stadium IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio 4

13
3.6 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis angiofibroma nasofaring juvenil terkait perluasan


tumor ke hidung, orbita, dan basis kranii. Gejala yang khas adalah obstruksi
hidung unilateral. Pasien akan mengeluh hidung tersumbat yang berlangsung
progresif. Ini merupakan gejala paling sering dikeluhkan yakni sekitar 80%-
90%. Obstruksi hidung juga disertai dengan epistaksis berulang yang masif
(45%-60%). Epistaksis yang berulang menyebabkan penderita sering datang
dengan keadaan umum yang lemah dan anemia. Keluhan lain yang mungkin
dapat timbul adalah keluar cairan dari hidung (rinorrhea). Pada rhinorrea
kronis dapat diikuti dengan keluhan gangguan penciuman baik hiposmia
maupun anosmia, yang diakibatkan penimbunan sekret oleh karena obstruksi
hidung. Gejala lainnya adalah cephalgia (25%) hebat yang menunjukkan
bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial, pembengkakan palatum dan
deformitas pipi, gangguan telinga seperti otitis media dan gangguan
pendengaran. 4,6,7,9

3.7 Diagnosis banding

Diagnosis banding angiofibroma dapat berupa :


1) Polip Hidung
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun
perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Keluhan utama
penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat, rinore baik jernih maupun
purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri
pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi
sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau,
halitosis, gangguan tidur. 4

14
Pada pemeriksaan fisik, tampak hidung mekar oleh karena pada
polip nasi yang masif terjadi pelebaran batang hidung yang kemudian
menimbulkan deformitas hidung luar (hidung mekar). Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal
dari meatus medius dan mudah digerakkan. 4
Pemeriksaan radiologi foto polos sinus paranasalis posisi waters
(waters position), anterior-posterior (AP), Caldwell dan lateral dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di
dalam sinus, namun kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan
computer tomography (CT-Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan
jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang,
kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal.
Computer tomography (CT-Scan) terutama diindikasikan pada kasus polip
yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah. 4
2) Papiloma skuamosa
Papiloma skuamosa merupakan tumor hidung dan sinonasal jinak
tersering. Secara makroskopik tumor ini mirip dengan polip, tetapi lebih
vaskuler, padat dan tidak mengkilat. Sering dijumpai pada laki-laki usia
tua. 4
3) Karsinoma sel skuamosa
Merupakan tumor ganas tersering pada kelompok tumor hidung dan
sinonasal yakni sekitar (70%). Sinus maksilla adalah yang tersering
terkena (65%-80%), disusul oleh sinus ethmoid (15%-25%), dan hidung
(24%). 4
4) Karsinoma nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan
leher terbanyak. Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4
kelompok yakni gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf,
serta gejala di leher (bila metastase). Gejala nasofaring dapat berupa
epistaksis ringan atau sumabatan hidung, oleh karena itu nasofaring harus

15
diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan pemeriksaan
nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada namun tumor sudah
tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa
(creeping tumor). 4
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rusenmuller).
gangguan dapat berupa mendengung (tinitus), rasa tidak nyaman di telinga
sampai rasa nyeri pada telinga (otalgia). 4
Oleh karena letak nasofaring berhubungan dekat dengan rongga
tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf kranial
dapat terjadi sebagai gejala lanjut dari karsinoma nasofaring. Penjalaran
melalui foramen laserum akan mengenai saraf kranial ke III, IV, VI, dan
mungkin juga V sehingga timbul gejala neuralgia trigeminal. 4

16
BAB IV

DIAGNOSIS, PENATALAKSAAN, DAN PROGNOSIS

4.1 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


(rinoskopi), nasofaringoskopi, dan pemeriksaan radiologi (CT-Scan dan MRI).
Diagnosis pasti dibuat berdasarkan pemeriksaan histopatologis jaringan tumor
pasca bedah. pemeriksaan biopsi transnasal pada angiofibroma nasofaring
juvenil sangat tidak dianjurkan karena dapat mencetuskan perdarahan cepat
dan masif. 6,9
A. Anamnesis
Saat anamnesis hal penting untuk diketahui adalah riwayat adanya
keluhan epistaksis berulang yang masif dan tanpa sebab yang menandakan
adanya kecenderungan massa tumor yang rapuh. Keluhan lain yang
mungkin muncul adalah adanya hidung tersumbat yang progresif,
rinorrhea kronis yang diikuti gangguan penciuman dan cephalgia. 4,6,7
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor
dengan konsistensi kenyal, dan warna bervariasi dari warna abu-abu
sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya
diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang
meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda
warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan karena
lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi 4,8

17
Gambar 3. Tampak massa tumor melalui cavum nasi dextra. 4,8

C. Pemeriksaan radiografi
Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam
menegakkan diagnosis, penentuan stadium, dan penatalaksanaan.
Pemeriksaan radiologi berperan dalam menunjukkan perluasan tumor.
Beberapa pemeriksaan radiologi pada angiofibroma nasofaring juvenil :
1) Foto polos
Gambaran foto polos didapatkan massa jaringan lunak di
nasofaring dan dinding posterior sinus maksillaris melengkung ke
depan. 6
2) Computed Tomography Scanner (CT-Scan)
Pada CT-Scan kepala lebih superior untuk mengevaluasi
struktur tulang dari dasar tengkorak, termasuk melihat erosi tulang,
lebih spesifik untuk kedalaman invasi pada tulang sphenoid sebagai
prediktor utama dari rekurensi ataupun residu dari tindakan operatif.
CT-Scan kepala potongan coronal (antero-posterior), akan
menunjukkan adanya massa jaringan lunak pada rongga nasal
posterior bersamaan dengan pembesaran foramen sphenopalatina dan
erosi batang tulang posterior. Pada potongan axial, akan tampak
gambaran khas angiofibroma nasofaring juvenil yang disebut sebagai
tanda “Holman Miller” yaitu melengkungnya dinding maksillaris
posterior ke arah anterior akibat adanya massa di rongga
pterygomaksillaris. Massa akan mendorong prosesus pterigoideus ke

18
belakang, sehingga fissura pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga
adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat
mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar
nasofaring. 4,9

A B
Gambar 4. CT-Scan kepala
A. CT-Scan kepala potongan axial menunjukkan adanya lesi yang
melibatkan rongga hidung kanan dan sinus paranasal, B. CT-Scan
kepala potongan coronal menunjukkan adanya lesi mengisi rongga
hidung kiri dan sinus ethmoidalis serta menghalangi sinus maksila dan
deviasi septum nasi ke sisi kanan. 7

Gambar 5. Tanda Holman-Miller. 9

19
Pada CT-Scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat
perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya. 4

3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dilakukan
untuk menentukan batas tumor terutama yang telah meluas ke
intrakranial. Pada potongan coronal Magnetic Resonance Imaging
(MRI) menunjukkan perluasan lesi ke sinus kavernosa. 4,7

Gambar 6. Potongan coronal Magnetic Resonance Imaging (MRI)


menunjukkan perluasan lesi ke sinus kavernosa. 7

4) Arteriografi
Pada pemeriksaan arteriografi (DSA) cerebral melalui injeksi
arteri karotis eksterna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor
(tumor blush yang mendapat suplai darah) yang biasanya berasal dari
cabang arteri maksila interna hemolateral/ipsilateral. Arteri maksilaris
interna terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor
dari posteior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fossa
pterigomaksila. Selain itu, massa tumor juga akan terisi kontras pada
fase kapiler dan akan mencapai maksimum 3-6 detik setelah kontras
disuntukan. 4,8

20
Selain itu, dilakukan pula embolisasi tumor menggunakan PVA
partikel 300-500 mikron pada arteri maksillaris interna dengan tujuan
agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang
dan tumor blush tidak lagi mendapatkan suplai darah. Hal ini akan
mempermudah pengangkatan tumor. Selanjutnya dapat dilakukan
operasi pengangkatan tumor (ekstirpasi tumor) dan pemeriksaan
4,8
patologi anatomi.

Gambar 7. Digital Subtracting Arteriografi (DSA) cerebral melalui injeksi arteri


karotis eksterna dextra (RECA)

A.Pre embolisasi : tampak adanya tumor blush yang mendapat suplai darah
(feeding arteri) dari arteri maksillaris interna dextra (panah kuning), B.Tampak
tumor blush (panah biru), C.Post embolisasi : dengan menggunakan PVA partikel
pada arteri maksillaris interna dextra hingga tumor blush pada sisi dextra tidak
lagi mendapat suplai darah (panah merah). 8

21
D. Pemeriksaan histologi pasca pembedahan.
Secara makroskopis, angiofibroma nasofaring tampak sebagai massa
yang tidak teratur, warna kemerah-merahan, dan permukaan licin. Dapat
berbentuk nodular, kokoh, tidak memiliki kapsul dengan dasar biasanya
bertangkai. 6
Secara mikroskopis angiofibroma nasofaring terdiri dari komponen
pembuluh darah yang predominan di dalam stroma yang fibrous (gambar
a). Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial tunggal
yang melapisi stroma fibrous (gambar b). Hal ini menimbulkan perdarahan
yang masif. Pembuluh darah dalam bisa memiliki suatu lapisan muskular.
Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang memiliki ciri-
ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu. 6,8

A B

Gambar 8. Histologi Angiofibroma


A.Tampak proliferasi –proliferasi pembuluh darah berisi eritrosit diantara
proliferasi jaringan ikat (tanda panah), B.tampak struktur vaskuler yang bedinding
tipis berisi eritrosit dengan lapisan endothelium dari komponen fibrous yang
banyak (panah biru) dengan pembesaran 10x. 6,8

22
4.2 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan angiofibroma nasofaring juvenil dapat dilakukan


dengan berbagai cara yakni :
A. Hormonal
Terapi hormonal dapat diberikan pada pasien dengan stadium IIC -
IIIB menurut klasifikasi Radkowski dengan tujuan mengecilkan ukuran
dan mengurangi vaskularisasi tumor. Preparat flutamid (nosteroidal
testoteron receptor blocker) dapat diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB
dibagi dalam 3 dosis selama 6 minggu sebelum pembedahan. Ukuran
tumor kemudian dievaluasi dengan MRI sebelum dan sesudah terapi. 4,6,10
B. Embolisasi
Embolisasi preoperatif pada angiofibroma nasofaring juvenil terbukti
menurunkan perdarahan serta membantu visualisasi yang lebih baik saat
dilakukan pengangkatan tumor. Pada umumnya, embolisasi dilakukan
terlebih dahulu sebelum tindakan operatif, yakni kurang lebih 24-48 jam
sebelum operatif. Beberapa mengusulkan 24-72 jam pre-operatif. 9
Tindakan embolisasi tidak dapat dilakukan pada semua tindakan pre-
operatif karena selain memiliki keuntungan, embolisasi juga memiliki
kerugian yakni tindakan embolisasi dapat mengakibatkan defisit
neurologis, stroke, kebutaan, bahkan dapat mengaburkan batas-batas
tumor sehingga dapat menyebabkan reseksi inkomplit dan rekurensi
dikemudian hari. Presentasinya dapat mencapai sekitar 20% dari semua
tindakan embolisasi yang pernah dilakukan. 9
C. Pembedahan
Tindakan operasi (pembedahan) merupakan pilihan utama
penatalaksanaan angiofibroma nasofaring juvenil. Operasi harus dilakukan
di rumah sakit dengan fasilitas cukup, oleh karena resiko perdarahan yang
hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi
tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral,
rinotomi sublabial (sublabial mid-facial degloving) atau kombinasi dengan
kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. Selain itu,

23
operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan
dipandu CT-Scan 3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat dibantu
dengan laser. Pendekatan transpalatal dilakukan untuk tumor yang berada
di nasofaring meluas ke daerah nasal posterior atau tumor yang sudah
mendorong palatum ke bawah. Pendekatan rinotomi sublabial (sublabial
mid-facial degloving) dilakukan untuk tumor yang berada di nasofaring
dan meluas ke kavum nasi. Pendekatan rinotomi lateral dilakukan untuk
tumor yang sudah meluas ke sinus paranasalis atau yang sudah
mendestruksi dinding sinus. Kekurangan dari pendekatan rinotomi lateral
adalah gangguan kosmetik yakni berupa jaringan parut pada wajah bekas
operasi. 4,6
Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor, selain dilakukan
embolisasi untuk mengurangi pendarahan yang banyak, dapat pula
dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anastesi. 4

Gambar 9. Massa tumor yang telah diangkat. 10

24
4.3 Prognosis

Angka kekambuhan pada angiofibroma nasofaring juvenil berkisar


antara 30-40%. Besarnya angka kekambuhan sangat tergantung kepada
luasnya tumor. Sekitar 93% dari angka rekurensi terjadi pada pasien dengan
gambaran radiologi adanya invasi ke sinus sphenoid melalui kanalis pterigoid,
dan sekitar 7% pada pasien dengan angiofibroma nasofaring juvenil stadium I
dan II setelah pembedahan, 23% pada tehnik operasi transpalatal. 10

25
BAB V

PENUTUP

Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak pembuluh darah


nasofaring dengan manifestasi utama berupa obstruksi hidung unilateral disertai
epistaksis berulang dan masif. Penatalaksanaan pilihan utama adalah tindakan
operasi (pembedahan) tumor angiofibroma nasofaring di rumah sakit dengan
fasilitas cukup, oleh karena resiko perdarahan yang hebat.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Desen Wan, Japaries. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta :
FKUI.
2. Muslim. Peran Radiasi dalam Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring
Belia dengan Perluasan Intrakranial. Universitas Indonesia. Diakses dari
https://www.kankertht-kepalaleher.info.
3. Salma Shelly. 2011. Slide Kuliah Histologi Sistem Respirasi. Bagian Histologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makssar
4. Soepardi Efiaty, Iskandar Nurbaiti, dkk.. 2012. Angiofibroma Nasofaring
Belia dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokam Kepala
dan Leher Edisi ke VII. Jakarta : FKUI.
5. Desen Wan. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta : FKUI.
6. Siti Hajar dan Hafni. 2005. Angifibroma Nasofaring Belia dalam Majalah
Kedokteran Nusantara Volume 38. Departemen Ilmu Penyakit THT-KL. FK
USU/RSUP H. Adam Malik. Diakses dari http://repository.usu.ac.id.
7. Tewfik Ted L, Meyers Arlen D, at all. 2016. Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma. Diakses dari http://emedicine.medscape.com.
8. Amran Yunus, dan Bahar Ashari. 2016. Embolisasi PVA Partikel Foam-
Prasyarat Preoperatif pada Pasien Angifibroma Nasofaring : Laporan Kasus
Seral Dari Lima Pasien. Makassar. Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dan RSP UNHAS. Diakses dari
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/.../Embolisasi.
9. Primasari Mirna, Sekarutami Sri M. 2013. Radioterapi dan Onkologi
Indonesia : Laporan Kasus Peran Radiasi Eksterna pada Tata Laksana
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Journal of the Indonesian Radiation
Oncology Society. Departemen Radioterapi RSUPN Dr.Cipto
Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Diakses
dari www.pori.or.id/wp-content/uploads/2015/08/jori-9-jadi-1.pdf

27
10. Rahman Sukri, Budiman Bestari, dan Azani Surya. Angiofibroma Nasofaring
pada Dewasa. Bagian Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher
(THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang. Diakses dari
http://repository.unand.ac.id.

28

Anda mungkin juga menyukai