)
KERING TERHADAP FAAL HATI, MORFOLOGI HATI,
SERTA GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus)
LAPORAN PROYEK
Oleh
Halaman
ii
2.7 Hipotesis ............................................................................................. 22
BAB 3. METODE PENELITIAN ................................................................... 23
3.1 Jenis Penelitian ..................................................................................... 23
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 23
3.3 Identifikasi Variabel ............................................................................. 23
3.2.1 Variabel Bebas .......................................................................... 23
3.2.2 Variabel Terikat ........................................................................ 23
3.2.3 Variabel Kontrol........................................................................ 24
3.4 Definisi Operasional ............................................................................ 24
3.5Jumlah Sampel ...................................................................................... 25
3.6 Alat dan Bahan Penelitian .................................................................. 26
3.6.1 Alat Penelitian .......................................................................... 26
3.6.2 Bahan Penelitian ....................................................................... 27
iii
BAB 5. Kesimpulan Dan Saran ....................................................................... 55
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 55
5.2 Saran ............................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 56
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB I. PENDAHULUAN
1
2
g. Hewan coba tikus putih (Rattus norvegiccusB.) yang digunakan adalah tikus
putih jantan dan betina (Rattus norvegiccusB.) dengan strain wistar berumur
6-8 bulan dan berat badan 175-200 gram.
h. Variasi dosis cacing tanah(Pheretima javanica K.) kering yang digunakan
untuk uji toksisitas yaitu 0,4 g; 0,8 g; 1,6 g dan 3,2 g
1.4 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.)
kering terhadap faal hatitikus putih (Rattus norvegiccus)
b. Untuk mengetahui pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanicaK.)
kering terhadap morfologi hati tikus putih (Rattus norvegiccus)
c. Untuk mengetahui pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanicaK.)
kering terhadap histopatologihati tikus putih (Rattus norvegiccus)
6
7
Phylum : Annelida
Kelas : Chaetopoda
Ordo : Oligochaeta
Family : Megascolecidae
Genus : Pheretima
Spesies : Pheretima javanica K. (ITIS.gov)
Setiap segmen memiliki 4 pasang seta kecuali pada segmen pertama dan
terakhir, yang mana seta ini berfungsi sebagai pelekat pada permukaan tanah
ketika cacing berjalan atau menggali tanah, seta digerakkan oleh otot-otot
protaktor dan retraktor (Sunarto, 2008).
2.2.1 Klasifikasi
Rattus norvegiccus B. termasuk dalam golongan kelompok binatang
vertebrata yaitu pada kelas mamalia. Adapun klasifikasinya adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicusB. (ITIS.gov)
c. Bagian telinga: Relatif kecil, setengah tertutup oleh bulu yang jarang lebih
dari 20-23 cm
d. Bagian bulu: Pada bagian punggung berwarna abu-abu kecoklatan sedangkan
pada bagian perut berwarna keabu-abuan.
e. Bagian reproduksi: terjadi pada umur 75 hari, masa bunting 22-24 hari,
dimana waktu kebuntingannya sangat pendek dan berulang-ulang dengan
jumlah anak yang banyak setiap melahirkannya (Smith, 1998).
Gambar 2.2 Tikus putih (Rattus norvegiccus) wistar (Sumber: Zikrul, 2015)
yang memiliki dosis terendah yang mana tidak sampai mematikan seluruh hewan
uji. Untuk pengujian toksisitas akut biasanya pengamatan biasanya dilakukan
selama 24 jam kecuali untuk kasus tertentu dapat dilakukan selama 7-14 hari.
Sedangkan uji toksisitas sub akut atau biasa disebut sub kronik (pengujian jangka
panjang), dilakukan dengan memberikan bahan toksik secara berulang-ulang yang
biasanya dilakukan setiap hari atau lima kali dalam seminggu, selama jangka
waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan uji. Selama kurang lebih 3 bulan
atau 90 hari (Clarke & Clarke, 1975).
Prinsip dari uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis yang diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji
dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari.Selama waktu pemberian
sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas.
Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk memperoleh informasi adanya
efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi
kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang
dalam jangka waktu tertentu (BPOM, 2014).
Menurut permenkes no.761/1992 dan 56/2000 menyebutkan bahawa uji
toksisitas subakut dibuat berdasarkan hasil uji dari toksisitas akut. Uji toksisitas
subakut dapat memberikan gambaran mengenai toksisitas fitofarmaka pada
penggunaan berulang untuk jangka waktu yang relatif lebih lama. Kecenderungan
kumulasi dan reversibilitas efek toksik calon fitofarmaka dapat dinyatakan dari
hasil uji toksisitas subakut (Priyanto, 2010).
hati yaitu diantaranya Aspartat Aminotransferase (AST) yang biasa disebut SGOT
dan Alanine Aminotransferase (ALT) yang biasa disebut SGPT.Dengan
dilakukannya pengukuran enzim SGOT dan SGPT dapat mengidentifikasi
keamanan suatu zat yang masuk dan dimetabolisme oleh hati.Sekecil apapun
aktivitas aminotransferase di dalam darah tetap dapat terdeteksi. Apabila terjadi
gangguan dengan fungsi hati, enzim aminotransferase akan masuk ke peredaran
darah karena telah terjadi perubahan permeabilitas membrane sel sehingga kadar
enzim aminotransferase dalam darah akan meningkat (Tjokroprawiro, 2007:121).
SGOT dan SGPT akan mengalami peningkatan yang biasanya melebihi
batas normal karena adanya gangguan acute hepato cellular. Kadar SGPT
umumnya lebih tinggi dari kadar SGOT. Walaupun SGOT bukan merupakan
enzim yang spesifik yang berada pada hati, karena enzim ini dapat dijumpai pada
jantung dan juga otot, tetapi peningkatan aminotransferase lebih cepat dengan
diikuti oleh hiperbilirubinemia dibandingkan dengan albumin serum yang ada
pada hati.Hal ini disebabkan karena albumin serum umunya tidak menurun,
kecuali pada subakut yang lebih berat setelah minggu pertama penyakit.
a. SGOT/AST
Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) merupakan suatu
enzim yang mengkatalisir pemindahan reversible gugus alfa amino alanine
menjadi asam glutamate dan asam piruvat. Dimana enzim ini diperoleh
dengan kadar yang paling tinggi pada bagian sel hati dibandingkan dengan
sel-sel jantung dan otot. Sehingga lebih akurat untuk pemeriksaan dugaan
suatu acute hepato cellular.
Umumnya SGOT/AST diperiksa secara fotometri atau secara
spektofotometri,semi otomatis menggunakan fotometer atau
spektrofotometer, atau secara otomatis menggunakan chemistry analyzer.
Menurut Witri, 2014 Terdapat perbedaan nilai rujukan pada manusia dan
tikus untuk nilai SGOT yaitu sebagai berikut:
Kisaran untuk Laki-laki: 8-48 U/L
Kisaran untuk Perempuan: 10-36 U/L
Kisaran untuk Tikus: 67,4-141 U/L
18
b. SGPT/ALT
Serum Glutamic Piruvic Transminase (SGPT) merupakan enzim yang
paling banyak ditemukan pada sel hati serta paling efektif untuk
mendiagnosis destruksi hepatoselular.
Kadar SGOT dan SGPT sangat mudah mengalami naik turun oleh
karena itu kadar SGOT dan SGPT yang berada di atas normal tidak selalu
menunjukkan adanya gangguan pada liver. Oleh karena itu perlunya
pengulangan lebih dari 2 kali dalam percobaan sangatlah penting untuk
dijadikan syarat dalam membuat kesimpulan.
Menurut Witri (2014), terdapat perbedaan nilai rujukan pada manusia
dan tikus untuk nilai SGP yaitu sebagai berikut:
Kisaran untuk Laki-laki: 10-40 U/L
Kisaran untuk Perempuan: 7-35 U/L
Kisaran untuk Tikus: 40,5-90,7 U/L
Kadar SGOT dan SGPT sangat mudah mengalami naik turun oleh
karena itu kadar SGOT dan SGPT yang berada di atas normal tidak selalu
menunjukkan adanya gangguan pada liver. Perlunya pengulangan lebih dari 2
kali dalam percobaan sangatlah penting untuk dijadikan syarat dalam
membuat kesimpulan. SGPT umumnya diperiksa secara fotometri atau
spektrofotometri, secara semi otomatis atau otomatis (Wibowo, 2014).
gangguan pengaturan ion dan volume karena kehilangan ATP (Chandrasoma &
Taylor, 2005).
Saat air berlanjut tertimbun dalam sel, vakuol-vakuol kecil jernih tampak
berada dalam sitoplasma yang diduga merupakan retikulum endoplasma yang
melebar dan menonjol keluar atau segmen pecahannya.Gambaran jejas nonletal
ini kadang-kadang disebut degenerasi hidropik atau degenerasi vakuol (Robbins et
al., 2007).
b. Perlemakan Hati
Perlemakan hati merupakan akumulasi trigliserida dalam sel-sel parenkim
hati.Kerusakan hati ditandai dengan adanya jejas sel. Kematian sel-sel hati diawali
dengan adanya degenerasi sel pada hati.Degenerasi sel adalah perubahan struktur
sel normal sebelum terjadi kematian sel. Yang mana terdapat perubahan
morfologi sel akibat dari luka yang tidak mematikan (non letal injury) yang
bersifat reversible. Disebut reversible karena apabila rangsangan menimbulkan
cidera dapat dihentikan, maka nantinya sel akan kembali seperti semula. Tetapi
apabila prosesnya secara terus-menerus tanpa henti dan dengan dosis yang
berlebihan, maka hal tersebut dapat menyebabkan nekrosis dan kematian (Price &
Wilson, 1995).
Degenerasi terjadi akibat jejas sel dan kemudian baru timbul perubahan
metabolisme.Pada pemeriksaan, luas degenerasi lebih penting daripada jenis
degenerasi (Bhara, 2009). Berikut kerusakan-kerusakan pada hati meliputi:
20
b. Fibrosis
Fibrosis merupakan akumulasi matriks ekstraseluler yang merupakan
respon dari cedera akut atau kronik pada hati.Pada tahap awal, fibrosis
mungkin terbentuk di dalam atau di sekitar saluran porta atau vena sentralis
atau mungkin mengendap langsung didalam sinusoid (Robbins et al., 2007).
c. Sirosis
Sirosis merupakan berlanjutnya fibrosis dan cedera parenkim yang
dapat menyebabkan hepar terbagi-bagi menjadi nodus hepatosit yang
mengalami regenerasi dan dikelilingi oleh jaringan parut (Robbins dkk.,
2007).
Tetapi apabila obat tersebut digunakan dalam jangka panjang dapat menimbulkan
resiko efek samping seperti resistensi bakteri terhadap antibiotik dan kerusakan hati.
Upaya untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh obat kimia yaitu dengan cara
mulai dilakukan penelitian obat tradisional mengenai kandungan yang terdapat di
dalam cacing tanah yaitu adanya zat antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri pathogen dan menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif(Sudiarto, 1999).
Cacing tanah yang paling banyak ditemukan di pulau jawa yaitu spesies Pheretima
javanica(Waluyo, 1994).
Cacing tanah (Pheretima javanica K.) berpotensi untuk mengobati demam yang
disebabkan oleh bakteri salah satunya bakteri Salmonella typhi karena adanya
kandungan senyawa bioaktif antimikroba peptide yang disebut Lumbricin (Waluyo,
2010).
22
Sebelum serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) dijadikan obat, perlu dilakukan
uji praklinik yaitu uji toksisitas subakut untuk mengetahui pengaruh serbuk tersebut
terhadap organ spesifik seperti hati.
Sebelum diujikan terhadap manusia, dilakukan pengujian terhadap hewan uji yaitu
tikus putih (Rattus norvegiccus) karena hewan ini termasuk dalam kelompok
mamalia, sehingga pengaruh yang ditimbulkan terhadap tikus putih ini hampir sama
dengan pengaruh yang akan diperoleh manusia nantinya.
Hati merupakan salah satu organ vital yang merupakan kelenjar terbesar yang paling
sensitive dalam mendeteksi adanya senyawa toksik yang masuk ke dalam tubuh.
Penentuan efek toksik ini dapat dilakukan dengan melihat gambaran histopatologi
hati dan kadar SGOT serta SGPT pada hati serta di dukung dengan pengamatan
morfologi pada tikus putih (Amir, 2014).
2.7 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) kering
terhadap faal hatitikus putih (Rattus norvegicusB.).
b. Tidak ada pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) kering
terhadap morfologi hati tikus putih (Rattus norvegicusB.).
c. Tidak ada pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) kering
terhadap histopatologi hatitikus putih (Rattus norvegicusB.).
BAB 3. METODE PENELITIAN
23
24
Tabel 3.1 Rancangan Penelitian Uji Toksisitas Subakut Serbuk Cacing Tanah
(Pheretima javanicaK.) Kering Pada Tikus Putih (Rattus norvegicusB.)
Jantan.
Perlakuan Pengualangan
1 2 3 4 5
K(-) K(-). U1 K(-). U2 K(-). U3 K(-). U4 K(-). U5
P1 P1. U1 P1. U2 P1. U4 P1. U4 P1. U5
P2 P2. U1 P1. U2 P1. U4 P1. U4 P1. U5
P3 P3. U1 P1. U2 P1. U3 P1. U4 P1. U5
P4 P4. U1 P1. U2 P1. U3 P1. U4 P1. U5
Keterangan:
K(-) : Kontrol negatif
P1 : Perlakuan 1 (Induksi cacing tanah kering dengan dosis 1x g/KgBB)
P2 : Perlakuan 2 (Induksi cacing tanah kering dengan dosis 2x g/KgBB)
P3 : Perlakuan 3 (Induksi cacing tanah kering dengan dosis 4x g/KgBB)
P4 : Perlakuan 1 (Induksi cacing tanah kering dengan dosis 6x g/KgBB)
U : Ulangan
Tabel 3.2 Rancangan Penelitian Uji Toksisitas Subakut Serbuk Cacing Tanah
(Pheretima javanicaK.) Kering Pada Tikus Putih (Rattus norvegicusB.)
Betina.
Perlakuan Pengualangan
1 2 3 4 5
K(-) K(-). U1 K(-). U2 K(-). U3 K(-). U4 K(-). U5
P1 P1. U1 P1. U2 P1. U4 P1. U4 P1. U5
P2 P2. U1 P1. U2 P1. U4 P1. U4 P1. U5
P3 P3. U1 P1. U2 P1. U3 P1. U4 P1. U5
P4 P4. U1 P1. U2 P1. U3 P1. U4 P1. U5
Keterangan:
K(-) : Kontrol negatif
P1 : Perlakuan 1 (Induksi cacing tanah kering dengan dosis 1x g/KgBB)
P2 : Perlakuan 2 (Induksi cacing tanah kering dengan dosis 2x g/KgBB)
P3 : Perlakuan 3 (Induksi cacing tanah kering dengan dosis 4x g/KgBB)
P4 : Perlakuan 1 (Induksi cacing tanah kering dengan dosis 6x g/KgBB)
U : Ulangan
spuid, tempat pakan tikus, tempat minum tikus, blender, saringan simplisia cacing
tanah, dan kamera digital
3.8Analisis Data
3.8.1 Analisis Data Penelitian
Teknik analisis data untuk mengetahui nilai LD50 dan kisaran nilainya
dengan menggunaka metode metode Thomson dan Weil, metode ini mulai
32
lama) (Sudatri,2016)
4. Nekrosis (perubahan pada sel-sel hepatosit tersusun irreguler, tampak
tanda nekrosis). Meliputi piknosis, karioksis dankariolisis.
Pembahasan Kesimpulan
34
35
Pada tabel 4.1 diatas diperoleh hasil kematian hewan uji yang telah diberi perlakuan
berupa pemberian serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) selama 90 hari.
Dalam hal ini tiap hewan uji yang mati, didata jumlah kematian tiap kelompok uji,
waktu kematian serta analisis penyebab kematian di pembahasan. Data ini sangat
diperlukan untuk dalam perhitungan nilai LD50 maupun kisaran LD50 dengan selang
waktu 90 hari. Dapat terlihat pada tabel diatas, tidak terdapat tikus yang mati pada
semua kelompok perlakuan sehingga nilai LD50 dalam selang waktu 90 hari yang
didapatkan merupakan nilai LD50 semu. Tanpa dilakukan perhitungan menggunakan
metode Thomson dan Weil, nilai LD50 sudah dapat ditentukan yakni lebih dari 5000
mg/KgBB yang menurut Globally Harmonized Classification System (GHS) masuk
ke dalam kategori praktis tidak toksik sehingga aman untuk dikonsumsi. Hasil
pengujian LD50 serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) kering dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya strain, spesies, keragaman
36
individu, jenis kelamin, umur, berat badan, cara pemberian, kesehatan hewan, dan
lingkungan (Balls et al, 1991).
Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa nilai sig. (2-tailed)>0,05,
maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
kadar SGOT tikus putih betina (Rattus norvegicus B.) dengan taraf kepercayaan
95%. Oleh karena itu H0 diterima yang artinya tidak ada pengaruh serbuk cacing
tanah (Pheretima javanica K.) kering terhadap kadar SGOT tikus putih betina
(Rattus norvegicus B.)
Tabel 4.4HasilUji PairedSample T-test Kadar SGPT Betina
H0 = tidak ada pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) kering
terhadap kadar SGPT tikus putih betina (Rattus norvegicus B.)
H1 = ada ada pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) terhadap
kadar SGPT tikus putih betina (Rattus norvegicus B.)
Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa nilai sig. (2-tailed)>0,05,
maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
kadar SGPT tikus putih betina (Rattus norvegicus B.) dengan taraf kepercayaan
95%. Oleh karena itu H0 diterima yang artinya tidak ada pengaruh serbuk cacing
tanah (Pheretima javanica K.) kering terhadap kadar SGPT tikus putih betina
(Rattus norvegicus B.).
Tabel 4.5 Hasil pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT tikus jantan sebelum dan
sesudah pemberian serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) selama 90 hari
No Kode tikus tiap Nilai SGOT (U/L) Nilai SGPT (U/L)
perlakuan
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1 K- 86,8 87 55 55,8
2 P1 83,6 84,8 58,8 58,6
3 P2 96,6 96 63,6 62,4
4 P3 90,2 90,8 63,8 64,8
5 P4 76,8 78,2 68 66,4
38
(a) (b)
(c)
(d) (e)
Gambar 4.1.Morfologi hati tikus betina. a=kontrol, b=0,4 gr/Kg BB, c=0,8 gr/Kg
BB, d=1,6 gr/Kg BB, e= 3,2 gr/ Kg BB.
(d) (e)
Gambar 4.2.Morfologi hati tikus jantan. a=kontrol, b=0,4 gr/Kg BB, c=0,8 gr/Kg
BB, d=1,6 gr/Kg BB, e= 3,2 gr/ Kg BB.
4.1.4 Gambaran histopatologi sel hati tikus putih (Rattus norvegicus B.)
Pemeriksaan histopatologi sel hati meliputi pemeriksaan ada atau tidaknya
kerusakan sel hati dengan adanya tanda-tanda degenerasi sel yang meliputi
degenerasi hidrofobik, degenerasi parenkimatosa, dan degenerasi lemak serta adanya
kerusakan sel yang berupa nekrosis yang kemudian dapat ditarik kesimpulan
terhadap kesan derajat kerusakan sel hati yang dapat dianalisis secara deskriptif.
Hasil pemeriksaan histopatologi hati tikus putih setelah diberi serbuk cacing
tanah (Pheretima javanica K.) kering secara oral dapat dilihat pada tabel berikut:
41
Tabel 4.9 Hasil pemeriksaan perubahan histopatologi hati tikus putih setelah perlakuan
Perlakuan Ulangan Skoring
1 2 3 4 5
K- jantan - 1 - - - 1
K- betina - - 1 - - 1
P1 jantan 1 - - - - 1
P1 betina - - - 1 - 1
P2 jantan - - - - 1 1
P2 betina 1 - - - - 1
P3 jantan - - - 1 - 1
P3 betina - 1 - - - 1
P4 jantan - - 1 - - 1
P4 betina - - - - 1 1
Gambar 4.3 Gambaran histopatologi sel hati Kelompok Kontrol (-) jantan
perbesaran 400x (A: Vena sentralis, B: Sinusoid, C: Hepatosit)
Gambar 4.4 Gambaran histopatologi sel hati Kelompok Kontrol (-) betina
perbesaran 400x (A: Vena sentralis, B: Sinusoid, C: Hepatosit)
43
Gambar 4.5 Gambaran histopatologi sel hati Kelompok Dosis 0,4 gram/ Kg BB
jantan perbesaran 400x (A: Vena sentralis, B: Sinusoid, C: Hepatosit)
Gambar 4.6 Gambaran histopatologi sel hati Kelompok Dosis 0,4 gram/ Kg BB
betina perbesaran 400x (A: Vena sentralis, B: Sinusoid, C: Hepatosit)
44
Gambar 4.7 Gambaran histopatologi sel hati Kelompok Dosis 0,8 gram/ Kg BB
jantan perbesaran 400x (A: Vena sentralis, B: Sinusoid, C: Hepatosit)
Gambar 4.9 Gambaran histopatologi sel hati Kelompok Dosis 1,6 gram/ Kg BB
jantan perbesaran 400x (A: Vena sentralis, B: Sinusoid, C: Hepatosit)
Gambar 4.10 Gambaran histopatologi sel hati Kelompok Dosis 1,6 gram/ Kg BB
betina perbesaran 400x (A: Vena sentralis, B: Sinusoid, C: Hepatosit)
46
Gambar 4.11 Gambaran histopatologi sel hati Kelompok Dosis 3,2 gram/ Kg BB
jantan perbesaran 400x (A: Vena sentralis, B: Sinusoid, C: Hepatosit)
Gambar 4.12 Gambaran histopatologi sel hati Kelompok Dosis 3,2 gram/ Kg BB
betina perbesaran 400x (A: Vena sentralis, B: Sinusoid, C: Hepatosit)
4.2 Pembahasan
4.2.1 Nilai Kisaran Potensi Ketoksikan (LD50) Serbuk Cacing Tanah (Pheretima
javanica K.)
Salah satu tahapan uji toksisitas sub akut adalah pengujian LD50. Tahap
pengujian ini berfungsi untuk mengetahui tingkat ketoksikan suatu bahan alami.
Dalam hal ini penentuan nilai LD50 merupakan tahap awal untuk mengetahui
47
tingkat toksisitas suatu bahan, dalam hal ini bahan yang dimaksud adalah serbuk
cacing tanah (Pheretima javanica K.). Terdapat banyak kandungan di dalam
cacing tanah, salah satunya yaitu terdapat protein, yang diantaranya terdiri dari 26
macam asam amino serta memiliki senyawa bioaktif antimikroba peptide yaitu
lumbricin I yang mengandung prolin 15% dari total berat kering. Dalam hal ini
diketahui bahwa protein bukanlah merupakan senyawa yang bersifat toksik bagi
tubuh, melainkan suatu senyawa yang diperlukan oleh tubuh. Tetapi dalam hal ini,
apabila jumlah protein yang terdapat dalam tubuh terlalu berlebihan
dikhawatirkan dapat memberikan suatu efek tertentu bagi tubuh. Oleh karena itu
perlu dilakukan uji toksisitas sub akut yang merupakan uji lanjutan dari uji
toksisitas akut untuk mengetahui kelayakan penggunaan serbuk cacing tanah
(Pheretima javanica K. ) kering sebagai suatu obat yang dapat dikatakan efektif
apabila digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Berdasarkan hasil penelitian nilai LD50 dalam selang waktu sekitar 90 hari
menunjukkan bahwa tidak ada hewan uji yang mati, hal ini menunjukkan bahwa
dosis yang diberikan merupakan dosis yang aman serta tidak menimbulkan efek
toksik walaupun hewan uji deberi dosis tertinggi yaitu dosis keempat sebesar 3,2
gram Kg/BB. Dalam penelitian ini tidak ada kematian pada hewan uji.
Dapat disimpulkan berdasarkan uraian di atas bahwa hasil dari pengujian
LD50 dengan selang waktu 90 hari serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.)
pada tikus secara oral lebih besar dari 5000 mg/KgBB yang berdasarkan kategori
Globally Harmonized Classification System (GHS) termasuk ke dalam kategori
praktis tidak toksik. Dalam hal ini bukan hanya pengujian LD50 yang digunakan
untuk menilai toksisitas suatu bahan obat atau zat. Pengujian ini juga di dukung
oleh pengujian morfologi hati tikus, faal hati tikus putih, yang berupa pengukuran
kadar SGOT dan SGPT yang bertujuan untuk mengetahui efek dari pemberian
serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) terhadap fungsi hati. Serta di dukung
pula dengan gambaran histopatologi yang terlihat adanya degenerasi dan nekrosis
pada sel hati.
48
4.2.2 Nilai kadar SGOT dan SGPT Tikus Putih (Rattus norvegicus B.)
Dalam penelitian ini, organ yang paling peka terhadap adanya kerusakan
yang ditimbulkan oleh zat toksik adalah organ hati. Hati merupakan salah satu
organ vital yang memiliki peranan penting dalam metabolisme melalui sifat
beberapa sistem enzim yang terlibat dalam transformasi biokimia. Apabila terjadi
kerusakan pada organ hati dapat dilihat melalui peningkatan kadar SGOT dan
SGPT yang mengalami peningkatan secara signifikan yaitu 3-5 kali dari nilai
normal, sehingga dapat diketahui adanya gangguan pada hati. Apabila dalam
kondisi normal kadar SGOT dan SGPT berada dalam jumlah yang stabil. Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh sebuk cacing tanah (Pheretima javanica K.)
terhadap tubuh, apakah terdapat efek yang ditimbulkan pada salah satu organ
spesifik seperti hati, maka perlu dilakukan pengujian kadar SGOT dan SGPT.
Dalam penelitian ini digunakan 30 ekor tikus, yang terbagi menjadi 5
kelompok, satu kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan. Yang terdiri dari 15
jantan dan 15 betina. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri dari beberapa
varian dosis yaitu mulai dari 0,4, 0,8, 1,6 dan 3,2 gram Kg/BB. Seluruh hewan uji
memperoleh perlakuan selama 90 hari. Pada awal mula setelah tikus sampai di
Lab. Farmakologi tikus di letakkan dalam kandang, lalu kemudian tikus
diaklimatisasi selama sekitar 7 hari agar tikus dapat beradaptasi dengan
lingkungan yang baru. Pada hari kedelapan sebelum dilakukan perlakuan tikus
diambil darahnya pada bagian vena mata untuk melihat nilai SGOT dan SGPT
awal sebelum dilakukannya perlakuan. Terlihat pada hasil pengukuran SGOT dan
SGPT bahwa hasil yang diperoleh normal. Nilai rata-rata SGOT dan SGPT
menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan yang signifikan sebelum dan
sesudah perlakuan. Apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol hasil yang
diperoleh kelompok perlakuan tidak jauh berbeda dengan kelompok kontrol dan
masih berada dalam kisaran yang normal. Untuk mengetahui peningkatan yang
terjadi cukup signifikan atau tidak, maka perlu dilakukan uji Paired Sampel T-test
untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian serbuk cacing tanah
(Pheretima javanica K.) kering terhadap kadar SGOT dan SGPT awal maupun
akhir.
49
Dari uji Paired Sampel T-test, diperoleh nilai signifikansi pada tikus betina
antara nilai SGOT awal dan akhir sebesar 0,439>0,05. Karena nilai signifikansi
sebesar 0,439 lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pemberian
serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kadar SGOT sehingga tidak dapat menyebabkan peningkatan nilai
SGOT dan tidak berpengaruh terhadap fungsi hati dengan kata lain tidak
menyebabkan efek toksik terhadap fungsi hati. Sedangkan uji Paired Sampel T-
Test pada nilai SGPT betina awal dan akhir diperoleh nilai sebesar 0,102>0,05.
Karena nilai signifikansi sebesar 0,102 lebih besar dari 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa pemberian serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kadar SGPT sehingga tidak dapat
menyebabkan peningkatan nilai SGPT dan tidak berpengaruh terhadap fungsi hati
dengan kata lain tidak menyebabkan efek toksik terhadap fungsi hati.
Sedangkan hasil dari uji Paired Sampel T-test pada tikus jantan, diperoleh
nilai signifikansi antara nilai SGOT awal dan akhir sebesar 0,427>0,05. Karena
nilai signifikansi sebesar 0,427 lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa pemberian serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap kadar SGOT sehingga tidak dapat menyebabkan
peningkatan nilai SGOT dan tidak berpengaruh terhadap fungsi hati dengan kata
lain tidak menyebabkan efek toksik terhadap fungsi hati. Sedangkan uji Paired
Sampel T-testpada nilai SGPT jantan awal dan akhir diperoleh nilai sebesar
0,797>0,05. Karena nilai signifikansi sebesar 0,797 lebih besar dari 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa pemberian serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.)
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar SGPT sehingga tidak dapat
menyebabkan peningkatan nilai SGPT dan tidak berpengaruh terhadap fungsi hati
dengan kata lain tidak menyebabkan efek toksik terhadap fungsi hati.
Dalam penelitian ini, kelompok kontrol merupakan kelompok yang tidak
diinduksi oleh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) kering dan hanya
diinduksi oleh aquaedes saja. Hasil penelitian pada kelompok kontrol betina
diperoleh nilai kadar SGOT sebelum sebesar 99,2 dan sesudah sebesar 98,4 U/L,
nilai kadar SGPT sebelum sebesar 70,8 dan sesudah sebesar 67,8 U/L. Sedangkan
50
pada kelompok kontrol jantan diperoleh nilai kadar SGOT sebelum sebesar 86,8
dan sesudah sebesar 87 U/L, nilai kadar SGPT sebelum sebesar 55 dan sesudah
sebesar 55,8 U/L. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol nilai SGOT
dan SGPT terlihat normal. Pada kadar SGOT kelompok betina terlihat penurunan
antara sebelum dan sesusah perlakuan, begitu pula dengan pada SGPT juga
terlihat penurunan antara sebelum dan sesudah perlakuan. Sedangkan pada
kelompok kontrol jantan antara sebelum dan sesudah terdapat kenaikan pada
kadar SGOT yaitu sebesar 0,2, begitu pula pada kadar SGPT terdapat kenaikan
sekitar 0,8. Kenaikan pada kadar SGOT dan SGPT ini masih wajar terjadi, karena
kenaikan tidak sampai 3 kali lipat nilai aslinya.
Pada kelompok perlakuan dalam penelitian ini digunakan 4 kelompok
dosis, yaitu pada perlakuan pertama digunakan dosis 0,4 gram Kg/BB. Pada
kelompok betina diperoleh nilai SGOT sebelum sebesar 67,6 dan sesudah sebesar
69 U/L, nilai kadar SGPT sebelum sebesar 59,2 dan sesudah sebesar 58,8 U/L.
Sedangkan pada kelompok jantan diperoleh nilai SGOT sebelum sebesar 83,6 dan
sesudah sebesar 84,8 U/L, nilai kadar SGPT sebelum sebesar 58,8 dan sesudah
sebesar 58,6 U/L. Diperoleh hasil pada kelompok betina untuk kadar SGOT
mengalami kenaikan sekitar 1,4, begitupun dengan kadar SGPT mengalami
kenaikan sekitar 0,6. Sedangkan pada kelompok jantan untuk kadar SGOT
mengalami kenaikan sekitar 1,2, dan untuk kadar SGPT mengalami penurunan
sekitar 0,2. Hal ini terlihat bahwa pada perlakuan pertama menunjukkan kadar
nilai SGOT dan SGPT berada dalam keadaan yang normal, karena nilai pada
sebelum dan sesudah perlakuan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
Pada kelompok perlakuan yang kedua digunakan dosis 0,8 gram Kg/BB.
Pada kelompok betina diperoleh nilai SGOT sebelum sebesar 77,8 dan sesudah
sebesar 76,8 U/L, nilai kadar SGPT sebelum sebesar 63,4 dan sesudah sebesar
59,6 U/L. Sedangkan pada kelompok jantan diperoleh nilai SGOT sebelum
sebesar 96,6 dan sesudah sebesar 96 U/L, nilai kadar SGPT sebelum sebesar 63,6
dan sesudah sebesar 62,4 U/L. Diperoleh hasil pada kelompok betina untuk kadar
SGOT mengalami penurunan sekitar 1, begitupun dengan kadar SGPT mengalami
penurunan sekitar 3,8. Sedangkan pada kelompok jantan untuk kadar SGOT
51
mengalami penurunan sekitar 0,6, dan untuk kadar SGPT mengalami penurunan
sekitar 1,2. Hal ini terlihat bahwa pada perlakuan kedua menunjukkan kadar nilai
SGOT dan SGPT berada dalam keadaan yang normal, karena nilai pada sebelum
dan sesudah perlakuan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
Pada kelompok perlakuan yang ketiga digunakan dosis 1,6 gram Kg/BB.
Pada kelompok betina diperoleh nilai SGOT sebelum sebesar 88 dan sesudah
sebesar 89,8 U/L, nilai kadar SGPT sebelum sebesar 59,4 dan sesudah sebesar
55,2 U/L. Sedangkan pada kelompok jantan diperoleh nilai SGOT sebelum
sebesar 90,2 dan sesudah sebesar 90,8 U/L, nilai kadar SGPT sebelum sebesar
63,8 dan sesudah sebesar 64,8 U/L. Diperoleh hasil pada kelompok betina untuk
kadar SGOT mengalami kenaikan sekitar 1,8, dan kadar SGPT mengalami
penurunan sekitar 4,2. Sedangkan pada kelompok jantan untuk kadar SGOT
mengalami kenaikan sekitar 0,6, dan untuk kadar SGPT mengalami kenaikan
sekitar 1. Hal ini terlihat bahwa pada perlakuan ketiga menunjukkan kadar nilai
SGOT dan SGPT berada dalam keadaan yang normal, karena nilai pada sebelum
dan sesudah perlakuan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
Pada kelompok perlakuan yang keempat digunakan dosis 3,2 gram
Kg/BB. Pada kelompok betina diperoleh nilai SGOT sebelum sebesar 96,4 dan
sesudah sebesar 99 U/L, nilai kadar SGPT sebelum sebesar 63,4 dan sesudah
sebesar 64,4 U/L. Sedangkan pada kelompok jantan diperoleh nilai SGOT
sebelum sebesar 76,8 dan sesudah sebesar 78,2 U/L, nilai kadar SGPT sebelum
sebesar 68 dan sesudah sebesar 66,4 U/L. Diperoleh hasil pada kelompok betina
untuk kadar SGOT mengalami peningkatan sekitar 2,6, begitupun dengan kadar
SGPT mengalami peningkatan sekitar 1. Sedangkan pada kelompok jantan untuk
kadar SGOT mengalami peningkatan sekitar 1,4, dan untuk kadar SGPT
mengalami penurunan sekitar 1,6. Hal ini terlihat bahwa pada perlakuan keempat
menunjukkan kadar nilai SGOT dan SGPT berada dalam keadaan yang normal,
karena nilai pada sebelum dan sesudah perlakuan tidak menunjukkan perubahan
yang signifikan.
Peningkatan kadar SGOT dan SGPT yang terjadi dapat dikarenakan
banyak faktor penyebab,antara lain karena pengaruh hormonal dan metabolisme
52
yang berbeda pada tiap hewan uji juga mempengaruhi perbedaan kadar SGOT dan
SGPT, faktor lainnya, bisa dari faktor luar tubuh seperti faktor pengambilan
sampel darah, cara pengambilan darah pada area jalur intra-vena dapat
menurunkan kadar. karena pada saat hewan uji diambil darahnya melalui vena
reorbitalis pada mata dengan menggunakan hematocrit, kemungkinan kadar
SGOT dan SGPT dapat menurun. Namun pengambilan darah ini juga dapat
meningkatkan kadar SGOT dan SGPT dikarenakan trauma pada hewan uji yang
ditimbulkan akibat pengambilan darah tidak sekali tusuk (Donatus, 2005).
4.2.4 Gambaran Histopatologi Sel Hati Tikus Putih (Rattus norvegicus B.)
Dapat dipaparkan hasil pengamatan histopatologi hati tikus putih (Rattus
norvegiccus B.), diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok
kontrol dengan kelompok perlakuan (P1, P2, P3, P4) yang dapat dilihat pada hasil
pengamatan gambar 4.2-4.11. Secara umum tidak terdapat pengaruh yang
diberikan oleh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.) kering terhadap
gambaran histopatologi hati tikus putih (Rattus norvegicus B.). Hal ini terlihat
pada semua preparat mulai dari kelompok kontrol hingga kelompok perlakuan
mulai dari dosis yang paling rendah 0,4 gram Kg/BB hingga dosis yang paling
tinggi yaitu 3,2 gram Kg/BB diperoleh hasil bahwa seluruh sel hati tikus putih
dalam kondisi yang normal dan tidak terdapat kerusakan berupa degenerasi
maupun nekrosis. Hal ini menunjukkan bahwa serbuk cacing tanah (Pheretima
javanica K.) kering aman untuk di konsumsi (tidak menimbulkan efek toksik)
dalam jangka waktu yang lama.
Proses pemeriksaan preparat histopatologi dilakukan secara mikroskopik
dengan menggunakan perbesaran 100x hingga 400x. Berdasarkan hasil penelitian
yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa tidak terdapat perubahan pada sel hati
pada kelompok kontrol maupun pada kelompok perlakuan. Dapat terlihat pada
preparat histopatologi bahwa sel terlihat normal tanpa adanya kerusakan. Pada sel
hati tampak terlihat adanya vena porta, sinusoid dan hepatosit di dalam sel hati.
Dalam pembuatan preparat histopatologi hati dari kelompok kontrol hingga
kelompok perlakuan menunjukkan preparat yang baik. Hal ini terlihat bahwa
dalam proses fiksasi tidak terjadi kesalahan. Fiksasi merupakan langkah awal
yang menjadi penentu keberhasilan dalam pengolahan suatu jaringan. Apabila
dalam tahap awal ini terjadi kerusakan untuk masuk pada proses selanjutnya akan
sulit untuk diperbaiki kembali. Sehingga hasil yang diperoleh tentu tidak sesuai
dengan yang diharapkan (Astiwulan, 2011).
Menurut Yunalda (2016), terdapat suatu cara fiksasi yang benar
diantaranya adalah segera memasukkan jaringan yang telah diangkat dari tubuh
untuk dimasukkan ke dalam cairan fiksasi. Volume dari cairan fiksasi sebaiknya
54
15-20 kali volume jaringan. Untuk jaringan yang kecil dapat langsung
dimasukkan ke dalam pot yang telah berisi cairan fiksasi kemudian ditutup rapat,
sedangkan untuk jaringan yang besar dibuat sejajar terlebih dahulu sebelum
dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi cairan fiksasi. Hal ini bertujuan
agar fiksasi jaringan dapat terpejar secara merata sehingga proses autolisis dan
pembusukan jaringan dapat dihindari. Apabila organ direndam terlalu lama dalam
larutan formalin dapat menyebabkan kerapuhan pada jaringan sehingga saat akan
dipotong menggunakan mikrotom akan mengalami kesusahan (Pratiwi, 2015).
Dapat terlihat pada preparat kelompok kontrol betina dan jantan, terlihat
sel sehat dan tampak adanya vena sentralis, sinusoid dan hepatosit. Pada
gambaran histopatologi kelompok kontrol betina memperoleh skor 1 yang artinya
tidak terjadi degenerasi maupun nekrosis (sel hati normal, sel hepatosit tersusun
reguler). Begitupun dengan pada kelompok perlakuan, dengan dosis 0,4, 0,8, 1,6
dan 3,2 diperoleh hasil yang sama dengan pada kelompok kontrol. Terlihat pada
preparat kelompok perlakuan dengan skor 1 yang artinya tidak terjadi degenerasi
maupun nekrosis (sel hati normal, sel hepatosit tersusun reguler).
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
a. Hasil dari pengujian LD50 serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.)
pada tikus dengan selang waktu 90 hari lebih besar dari 5000 mg/KgBB
yang berdasarkan kategori GHS termasuk kategori praktis tidak toksik.
b. Tidak terdapat pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.)
kering terhadap kadar SGOT dan SGPT tikus putih (Rattus norvegicus B.)
c. Tidak terdapat pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.)
kering terhadap morfologi hati tikus putih (Rattus norvegiccus B.)
d. Tidak terdapat pengaruh serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.)
kering terhadap gambaran histopatologi hati tikus putih (Rattus
norvegiccus B.)
5.1 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai serbuk cacing tanah
(Pheretima javanica K.) yaitu berupa uji klinik fase 1 untuk mengetahui
keamanan serbuk cacing tanah (Pheretima javanica K.).
55
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Nursinah. 2014. Keamanan Pangan Produk Jambal Roti Ikan Manyung
(Arius thalassinus Ruppel) yang terpapar Sipermetrin. Proposal
Penelitian Disertasi. Malang: Program Study Ilmu Perikanan dan
Kelautan Minat Teknologi Hasil Perikanan Universitas Brawijaya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2014.
Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Jakarta: BPOM RI.
Bhara, Makna L.A. 2009. Pengaruh Pemberian Kopi Dosis bertingkat per oral 30
hari Terhadap gamabaran Hisropatologi hepar Tikus Wistar. Artikel
Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
Bredo, RM. 2011. Anatomy of the Liver In Wistar Rat (Rattus norvegicus). Jurnal
International J. Morphol. Hal 77.
56
57
Clarke, E.G.C. and M.L. Clarke. 1975. Veterinary Toxicology Cassell and
Collver. Mc Millan Publishers Ltd, London.
Green, L. Earl. 1996. Biology of the Laboratory Mouse Second Revised Edition.
New York: Dover Publication Inc.
Guyton, A. C & Hall, J.E. 2008.Buku Ajar fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Harmita, Maksum kadji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Edisi ke 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran. ECG.
Jothy L. Subramanion., Lau Ling Yee. 2011. Acute Oral Toxicity of Methanolic
Seed Extract Of Casia Fistula in Mice. Journal of Molecules. 16,
5268-5282. Issn 1420-3049.
Juhryyah S. 2008. Gambaran Histopatologi Organ Hati dan Ginjal Tikus pada
Intoksikasi Akut Insektisida (Metofluthrin, D-phenothrin, D- Alletrin)
dengan Dosis Bertingkat.Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan IPB;
Bogor .Hal 43.
Price, Sylvia Anderson & Wilson, Lorraine McCarty. 2006. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. Ed 4 Buku 1&2. Terjemahan dari
Pathophysiologhy. Clinical Consepts Of Disease Processes. Alih
Bahasa. Peter Anugerah. Jakarta: Penerbit Buku EGC.
Robbins, A.A dan Kumar, V.M.D. 2007.Buku ajar Patologi 1 Edisi 4. Jakarta:
EGC.
Rofina, Afira, et al. 2014. PROFIL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
YANG DIINFEKSIKAN Trypanosoma evansi DAN DIBERIKAN
EKSTRAK KULIT BATANG JALOH (Salix tetrasperma
Roxb).Jurnal Kedokteran Hewan. 8(2).
Schnellman, RG. 2001. Toxic responses of the kidney In klassen CD casarett and
doull’s toxicology the basic science of poisons 6th ed. Kansas: Mc graw Hill.
Sherlock S. Penyakit hati dan saliran empedu, cetakan kedua. Jakarta: PT. Arkans,
2004.
60
Sunarto. 2008. Cacing tanah sebagai obat Alternatif penurunan demam Typoid
pada tikus putih (Rattus novegiccus). Skripsi. Jember: Universitas
Jember.
Syahruddin. 2013. Penentuan Aktivitas Enzim SGOT dan SGPT pada Hewan Uji
Kelinci yang telah diberi Ekstrak Tiram Crassostrea iredelei Asal Pantai
Takalar Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Kefarmasian II oleh STIF A
Makassar.
Waluyo J, 2003. Uji potensi berbagai macam pelarut ekstrak dan berbagai spesies
cacing tanah terhadap pertumbuhan berbagai macam bakteri.Jurnal
Saintifika. 4(3): 218-226.
61
Waluyo J, 2004. Uji potensi di berbagai macam pelarut ekstrak dan berbagai
spesies cacing tanah terhadap pertumbuhan berbagai macam
bakteri.Jurnal Saintifika. 5(1): 155-163. Jember: Universitas Jember.
Waluyo. 2006. Karakterisasi Protein Antibakteri dari cacing tanah Pheretima
javanica. Jurnal Saintifika. 7(2): 165-178. Jember: Universitas
Jember.