Oleh
Yosepina Paelongan
C175172001
Pembimbing:
Prof. Dr. dr. Nurpudji A. Taslim, MPH, SpGK(K)
dr. Andi Yasmin Syauki, M.Sc, Sp.GK (K), Ph.D
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
DAFTAR TABEL..................................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................vi
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................5
2.1 Fisiologi Hati...............................................................................................5
2.2 Fisiologi dan Fungsi Hati...........................................................................7
2.3 Sirosis Hepatis............................................................................................9
2.3.1 Defenisi..............................................................................................9
2.3.2 Epidemiologi...................................................................................10
2.3.3 Etiologi............................................................................................11
2.3.4 Patofisiologi.....................................................................................11
2.3.5 Manifestasi Klinis...........................................................................13
2.3.6 Diagnosis...........................................................................................1
2.3.7 Komplikasi........................................................................................2
2.3.8 Prognosis...........................................................................................4
2.4 Ensefalopati hepatikum (EH) Pada Sirosis Hepatis...............................4
2.4.1 Pengertian.........................................................................................4
2.4.2 Faktor Resiko...................................................................................4
2.4.3 Patofisiologi.......................................................................................5
2.4.4 Klassifikasi dan Gejala Klinik........................................................6
2.4.5 Assesmen...........................................................................................7
2.5 Branched-Chain Amino Acid (BCAA)....................................................11
2.5.1 Pengertian.......................................................................................11
ii
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
iv
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR SINGKATAN
ALB Albumin
ALP Alkaline phosphatase
ALT Alanine transaminase
AST Aspartate aminotransferase
BCAA Branched-Chain Amino Acid
BMC Body Mass Cell
CPT Child-Pugh-Turcotte Score
EH Ensefalopati Hepatikum
FFM Fat Free Mass
HBV virus hepatitis B
HCV virus hepatitis C
HGS Hangrip Strenght
HSC sel stellate hepatik
KCs sel Kupffer
LC Liver Chirrhosis/sirosis hati
MCP-1 protein kemotaktik monosit 1
NASH steatohepatitis non-alkohol
PT Protrombin Time
SEC sel endotel sinusoidal
SGA Subjectif Global Assesment
SH Sirosis Hati
TGF-β faktor pertumbuhan β
TNF-α Tumor Necrosis Faktor alfa
1
BAB I
PENDAHULUAN
jarang dilakukan pada pasien dengan sirosis karena tidak adanya alat skrining
"cepat" yang divalidasi, terhadap berbagai definisi tentang apa yang
dimaksud dengan malnutrisi, dan tantangan dalam menafsirkan komposisi
tubuh dan hasil laboratorium dalam pengaturan kelebihan volume dan
disfungsi hati.(McClave et al., 2016)
Pasien sirosis hati, mengalami malnutrisi energi protein tipe
campuran berhubungan dengan stadium klinisnya, dimana prevalensinya
meningkat dari 20% pada pasien dengan penyakit yang terkompensasi baik,
menjadi lebih dari 60% pada pasien dengan sirosis berat.(Bischoff et al.,
2020)
Terapi nutrisi dibutuhkan oleh pasien sirosis. Konseling nutrisi khusus
berperan mengubah perilaku pasien tentang manfaat diet sehat sesuai kondisi
klinisnya. Sebuah studi retrospektif oleh Iwasa M, et al tentang peran terapi
nutrisi dalam tim penanganan pasien sirosis dalam memperbaiki
kelangsungan hidupnya menunjukkan bahwa terapi nutrisi dapat
memperbaiki kelangsungan hidup pasien sirosis.(Bischoff et al., 2020)
Branched-Chain Amino Acid (BCAA) yaitu valin, leusin, dan
isoleusin adalah asam amino esensial, yang dapat mempromosikan jalur
anabolik. BCAA merupakan substrat untuk sintesis protein atau produksi
energi dan melakukan beberapa fungsi metabolisme dan pensinyalan,
terutama melalui aktivasi jalur pensinyalan mammalian target of rapamycin
(mTOR). Penurunan rasio BCAA terhadap AAA berperan dalam patogenesis
ensefalopati hepatikum. (Holeček, 2018)
Cairan asam amino "formula hati" khusus yang berperan untuk
memperbaiki ketidakseimbangan asam amino plasma adalah larutan asam
amino lengkap yang tinggi BCAA (35-45%) tetapi rendah triptofan, asam
amino aromatik dan belerang, dapat diberikan pada pasien sirosis dengan
ensefalopati hepatikum (EH) yang jelas gejala klinisnya (Overt). Peran
BCAA atau cairan yang mengandung BCAA telah diteliti, dengan hasil
diantaranya bahwa penggunaan BCAA pada pasien encefalopati hepatikum
memiliki efek menguntungkan terhadap gejala klinik ensefalopati, dapat
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
(penghilangan gugus amino dari asam amino atau senyawa lain) adalah dua
jalur yang mengubah asam amino menjadi substrat yang digunakan dalam
produksi energi dan glukosa serta dalam sintesis asam amino nonesensial.
Faktor pembekuan darah seperti fibrinogen dan protrombin serta protein
serum termasuk albumin, alfa-globulin, beta-globulin, transferin,
ceruloplasmin, dan lipoprotein dibentuk oleh hati. Asam lemak dari makanan
dan jaringan adiposa diubah di hati menjadi asetil-koenzim A melalui proses
oksidasi beta untuk menghasilkan energi dan keton juga diproduksi. Hati
mensintesis dan menghidrolisis trigliserida, fosfolipid, kolesterol, dan
lipoprotein. Hati terlibat dalam penyimpanan, aktivasi, dan pengangkutan
banyak vitamin dan mineral. Hati menyimpan semua vitamin yang larut
dalam lemak selain vitamin B12 dan mineral seng, besi, tembaga, dan
mangan. Protein yang disintesis di hati mengangkut vitamin A, zat besi, seng,
dan tembaga dalam aliran darah. Karoten diubah menjadi vitamin A, asam
folat menjadi asam 5-metil tetrahidrofolik, dan vitamin D menjadi bentuk
aktif (25-hidroksi- kolekalsiferol) oleh hati. (JANICE L. RAYMOND and
MORROW, 2021)
2.3.2 Epidemiologi
Secara global, sirosis menyebabkan lebih dari 1.32 juta
kematian pada tahun 2017, dengan kematian 440000 (33.3%) pada
wanita dan 883000 (7%) pada laki-laki. Kematian ini merupakan 2.4%
dari semua kematian secara global pada tahun 2017 meningkat dari
1.9% pada tahun 1990. Tingkat kematian berdasarkan usia di tingkat
global menurun dari 21.0 per 100.000 penduduk pada tahun 1990
menjadi 16.5 per 100.000 penduduk pada tahun 2017.(Sepanlou et al.,
2020)
Di Indonesia, data mengenai prevalensi sirosis hepatis masih
sangat terbatas. Terdapat 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di
bangsal penyakit dalam atau rata – rata 47,4% dari seluruh pasien
penyakit hati yang dirawat di bangsal rumah sakit umum pemerintah
di Indonesia yang merupakan pasien sirosis. Di Makassar, khususnya
di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo selama Januari 2011 – Juni 2013
terdapat kurang lebih 139 kasus penderita sirosis hepatis yang dirawat
di rumah sakit tersebut (Rasyid, 2013). Penelitian di RSUP Dr. M.
Djamil Padang, pasien sirosis hepatis yang dirawat di ruang rawat
inap Padang periode 1 Januari 2011 sampai 31 Desember 2013,
11
2.3.3 Etiologi
Sirosis hati biasanya berkembang dari penyakit hati kronis. Di
negara maju, penyebab paling umum adalah virus hepatitis C (HCV),
penyakit hati alkoholik, dan steatohepatitis non-alkohol (NASH) ,
sedangkan virus hepatitis B (HBV) dan HCV adalah penyebab paling
umum di negara berkembang. Penyebab lain dari sirosis termasuk
hepatitis autoimun, kolangitis bilier primer, kolangitis sklerosis primer,
hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi antitripsin alfa-1,
sindrom Budd-Chiari, sirosis hati akibat obat, dan gagal jantung kronis
sisi kanan.(Suva, 2018) Di Indonesia penyebab utama sirosis hepatis
adalah Hepatitis B (40%-50%) dan Hepatitis C (30%-40%).
Berdasarkan penelitian di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 1
Januari 2011 sampai 31 Desember 2013, penyebab terbanyak adalah
Hepatitis B (51,0%).(Lovena, Miro and Efrida, 2017)
2.3.4 Patofisiologi
Beberapa sel berperan dalam sirosis hati termasuk hepatosit dan
sel lapisan sinusoidal seperti sel stellate hepatic (HSC), sel endotel
sinusoidal (SEC) dan sel Kupffer (KCs). HSCs membentuk bagian dari
dinding sinusoid hati, dan fungsinya untuk menyimpan vitamin A.
Ketika hepatosit yang rusak mati, enzim lisosom, melepaskan sitokin
dari matriks ekstraseluler. Sitokin-sitokin ini dan puing-puing sel
hepatosit yang mati mengaktifkan sel-sel Kupffer dalam sinusoid hati
dan menarik sel-sel inflamasi (granulosit, limfosit, dan monosit).
(Marcia Nahikian Nelms, Kathryn Sucher, Karen Lacey, 2017)
12
2.3.6 Diagnosis
Satu-satunya tes diagnosis sirosis hati yang paling akurat adalah
biopsi hati. Namun, biopsi hati dapat menimbulkan komplikasi serius,
meskipun sangat jarang. Biopsi hati dianggap sebagai standar emas
untuk diagnosis, dan penilaian histologis dari fibrosis dan untuk
memastikan jenis dan tingkat keparahan penyakit hati(Mahan, Escott-
Stump and Raymond, 2012; Suva, 2018)
Diagnosis kemungkinan sirosis dapat dibuat berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium rutin.
(Procopet and Berzigotti, 2017)
a. Anamnesis
Perlu tanyakan konsumsi alkohol jangka panjang, penggunaan
narkotik suntikan, juga adanya penyakit hati menahun. Pasien
dengan hepatitis virus B atau C mempunyai kemungkinan tertinggi
untuk mengidap sirosis
b. Pemeriksaan fisik
Hepatomegali dan atau splenomegali. Pada palpasi, hati teraba
lebih keras dan berbentuk lebih ireguler daripada hati yang normal.
Spider telangiectasias, terutama pada pasien dengan sirosis
alkoholik. Spider ini terutama ditemukan di kulit dada. Namun
spider juga dapat dijumpai pada mereka yang tidak mempunyai
penyakit hati. Ditemukan adanya ikterus, asites dan edema.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Aspartate aminotransferase (AST), Alanine
transaminase (ALT), Alkaline phosphatase (ALP), bilirubin, waktu
protrombin, Gamma-glutamyl transpeptidase, albumin,
imunoglobulin terutama IgG, tingkat kreatinin dan kadar natrium
merupakan tes darah sederhana digunakan dalam diagnosis dan
prognostic pasien dengan penyakit hati lanjut.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya:`
2
- Pemeriksaan endoskopi
Untuk deteksi dan pengobatan hipertensi portal gastropati dan
varises
- Pemeriksaan USG, CT Scan atau MRI
Dapat dipakai untuk evaluasi kemungkinan penyakit hati. Pada
pemeriksaan ini dapat ditemukan hepatomegali, nodul dalam
hati, splenomegali, dan cairan dalam abdomen, yang dapat
menunjukkan sirosis hati. Kanker hati dapat ditemukan dengan
pemeriksaan CT scan, MRI, maupun USG abdomen.(Suva,
2018)
Tabel 1Algoritme Diagnosis Sirosis
2.3.7 Komplikasi
1. Hipertensi Portal
Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan gradien
tekanan vena hepatika menjadi > 5 mmHg. Hipertensi porta
disebabkan oleh kombinasi dua proses hemodinamik yang
berlangsung bersamaan: 1) meningkatnya resistensi intrahati terhadap
aliran darah melalui hati akibat sirosis dan nodus-nodus regeneratif,
dan 2) meningkatnya aliran darah splanknik akibat vasodilatasi di
dalam jaringan pembuluh splanknik.(Nusrat et al., 2014)
2. Splenomegali dan Hipersplenisme
3
2.3.8 Prognosis
Prognosis pasien sirosis tergantung ada tidaknya komplikasi
sirosis. Pasien sirosis kompensata mempunyai harapan hidup lebih
lama, bila tidak berkembang menjadi sirosis dekompensata.
Kelangsungan hidup rata-rata pasien dengan sirosis kompensata lebih
lama dari pada pasien sirosis dekompensata dan sekitar 9 tahun.(Nusrat
et al., 2014)
Prognosis sirosis hati sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh
beberapa faktor meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi,
dan penyakit penyerta lainnya. Klasifikasi Child-Pugh banyak
digunakan untuk menilai prognosis dan kelangsungan hidup pasien
sirosis hati yang akan menjalani operasi dan untuk menilai survival.
(Peng, Qi and Guo, 2016)
2.4.3 Patofisiologi
Ensefalopati hepatikum (EH) didefinisikan sebagai komplikasi
neurologis atau neuropsikologis yang disebabkan oleh penyakit hati
atau pirau portosistemik, yang diduga disebabkan oleh adanya
keadaan hiperamonemia atau inflamasi.(Weiss, Jalan and Thabut,
2018)
Bingung
Disorientasi berat
Perubahan perilaku
Grade IV Koma
2.4.5 Assesmen
Pada sirosis hati, prevalensi dan beratnya malnutrisi energi
protein tipe campuran berhubungan dengan stadium klinis penyakit hati
kronis. Prevalensinya meningkat dari 20% pada pasien dengan penyakit
yang terkompensasi baik, menjadi lebih dari 60% pada pasien dengan
sirosis berat.(Bischoff et al., 2020)
Komposisi tubuh penderita sirosis sangat berubah, ditandai
dengan adanya deplesi protein dan akumulasi total cairan tubuh disertai
retensi natrium. Dapat juga disertai penurunan kadar kalium,
magnesium, fosfat dan mineral intrasel lainnya, serta vitamin larut air
(terutama vitamin B) dan vitamin larut lemak jika terdapat steatorrhea
akibat kolestasis, defisiensi garam empedu, dan pada pecandu alkohol.
Malnutrisi pada sirosis berhubungan dengan meningkatnya prevalensi
munculnya asites dan sindrom hepatorenal, peningkatan lama rawat inap
dan biaya rumah sakit, serta mortalitas.(Bischoff et al., 2020)
Pada sirosis pasca absorptif, laju oksidasi glukosa berkurang dan
laju produksi glukosa hepatik rendah, meskipun glukoneogenesis
meningkat karena menurunnya glikogen hepatik. Resistensi insulin
mempengaruhi metabolisme otot rangka dimana pengambilan glukosa
dan pembuangan glukosa non-oksidatif seperti sintesis glikogen
berkurang, sedangkan oksidasi glukosa dan produksi laktat normal
setelah pemberian glukosa. Adanya peningkatan penggunaan bahan
bakar oksidatif, menyebabkan peningkatan laju oksidasi lipid dalam
keadaan puasa dan sering terjadinya resistensi insulin (bahkan pada
pasien Child-Pugh kelas A). Kadar plasma asam lemak esensial dan tak
jenuh ganda menurun pada sirosis dan penurunan ini berkorelasi dengan
status gizi dan tingkat keparahan penyakit hati. Pada sirosis dapat terjadi
peningkatan atau normalnya protein turn over akibat peningkatan
9
suplemen BCAA baik intravena (Tabaru et al., 1998) dan cairan asam amino
"formula hati" khusus yang berperan untuk memperbaiki ketidakseimbangan
asam amino plasma adalah larutan asam amino lengkap yang tinggi BCAA
(35-45%) tetapi rendah triptofan, asam amino aromatik dan belerang, dapat
diberikan pada pasien sirosis dengan ensefalopati hepatikum (EH) yang jelas
(overt). Peran BCAA atau cairan yang mengandung BCAA telah diteliti,
diantaranya penelitian RCT oleh Vilstrup et al (1990) tentang penggunaan
BCAA dan glukosa pada pasien ensefalopati hepatikum (EH), menunjukkan
perbaikan status cerebral dan homeostatis nitrogen pada pasien yang diberi
BCAA dibanding yang di beri glukosa saja; penelitian RCT multicenter oleh
Wahren J et al (1983) tentang peran pemberian BCAA intravena pada pasien
ensefalopati hepatikum (EH), menunjukkan bahwa BCAA 40 g/hari dapat
mengurangi konsentrasi asam amino aromatic pada pasien ensefalopati
hepatikum (EH) tetapi tidak memperbaiki fungsi cerebral dan menurunkan
mortalitas. Systematic review oleh Gluud LL et al (2020) tentang peran
BCAA pada pasien ensefalopati hepatikum (EH) menyimpulkan bahwa
BCAA tidak berpengaruh terhadap mortalitas, tetapi memiliki efek
menguntungkan terhadap gejala klinik ensefalopati pasien.(Bischoff et al.,
2020; LL et al., 2020)
BAB III
KERANGKA PENELITIAN
Ensefalopati
hepatic
Ggn profil
BCAA asam
amino,
BCAA↓
Mortalitas
Keterangan:
Variabel bebas
Variabel Antara
Variabel terikat
Variabel Perancu
Variabel kendali
18
BAB IV
METODE PENELITIAN
yang dikonsul ke bagian gizi klinik maupun tidak dikonsul dan tidak rawat
bersama, namun memenuhi kriteria inklusi.
Dinyatakan dalam satuan gram/ kgBB/ hari yaitu sebesar 0.2 - 0.25
g/kgBB/hari atau 25 g/hari.
4.8.2 Ensefalopati hepatikum (EH)
Ensefalopati hepatikum (EH) adalah komplikasi signifikan dari insufisiensi
hati akut atau kronis yang berat yang ditandai dengan adanya perubahan
kepribadian, kesadaran, kognitif dan fungsi motorik.(Weissenborn, 2019)
Kriteria Obyektif:
Dinyatakan dengan grade I-IV (The West Haven Criteria) yang ditandai
adanya perubahan mental tersamar (covert) dan jelas (overt), kemudian
dikelompokkan sebagai ensefalopati hepatikum (EH) ringan (grade I-II) dan
ensefalopati hepatikum (EH) berat (grade III-IV).
4.8.3 Mortalitas
Mortalitas adalah terjadinya kematian pada pasien selama perawatan.
Kriteria Obyektif:
Dinyatakan dalam nominal meninggal atau hidup dalam ≤ 28 hari perawatan
Populasi
Total sample
Kriteris inklusi
Sampel -Usia > 18 tahun
- Pasien sirosis yang
dirawat di RSWS
- Terdapat gejala klinis
Ensefalopati hepatikum
Pemgumpulan - Meninggal ≤ 28 hari
Data - Data ditemukan dan
lengkap
Analisa data
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1. Analisis Univariat
Berdasarkan hasil analisis statistic pada tabel 5.1 diketahui data karakteristik
tahun 2018-2022 dari 269 pasien, berdasarkan data rekam medis didapatkan
jumlah tertinggi pada tahun 2019 dengan jumlah pasien yang menderita sirosis
sebanyak 76 (28,3%) pasien. dan pada tahun 2018 sebanyak 63 (23,4%) pasien
penderita sirosis, sedangkan pada tahun 2022 hanya sebanyak 25 (9,3%) pasien
sirosis.
Pada karakteristik usia dari 269 pasien sirosis diketahui jumlah tertinggi
dengan rata-rata usia 41-60 tahun sebanyak 170 (63,2%) pasien yang menderita
25
sirosis dan jumlah penderita sirosis terkecil pada kategori usia 18-40 tahun
sebanyak 27 (10,0%) pasien. Pada variabel jenis kelamin sebagian besar penderita
sirosis dengan kategori laki-laki sebanyak 196 (72,9%) dan dengan kategori
(7,4%).
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui rata-rata jumlah hari pasien sirosis rawat
inap di rumah sakit (LOS) sebagian besar berada pada kategori 7-14 hari sebanyak
104 (38,7%), sedangkan lama rawat inap dengan proporsi terkecil pada kategori
>28 hari sebanyak 1 (0,4%) pasien. Dan diketahui pada variabel Rawat Gizi
sebagian besar pasien dilakukan perawatan rawat gizi dengan kategori tidak KJS
sebanyak 196 (72,9%) dan lama rawat < 7 hari sebanyak 38 (14,1%) pasien,
26
sedangkan perawatan rawat gizi dengan jumlah rawat proporsi terkecil pada
sirosis pada kategori luaran hidup sebanyak 158 (58,7%) pasien, sedangkan
kategori luaran yang meninggal sebanyak 111 (41,3%) pasien. Dan kategori lama
rawat yang meninggal <28 hari sebanyak 107 (96,4%) pasien, sedangkan yang
Pada tabel 5.4 diketahui pada variable Subject Global Assesment (SGA)
dari 269 pasien, Sebagian besar pasien dengan kategori tidak mengalami
malnutrisi sebanyak 198 (73,6%) dan pasien dengan kategori skor C (gizi buruk)
Global Assesment (SGA) pada kategori skor B (gizi sedang) sebanyak 33 (12,3%)
pasien.
Pada variabel KJS dari 269 pasien. Sebagian besar pasien tidak mengalami
KJS sebanyak 198 (73,6%), sedangkan pasien yang mengalami KJS sebanyak
269 pasien. Sebagian besar pasien denagan kategori lama pemberian Branched-
Chain Amino Acid (BCAA) <7 hari sebanyak 155 (61,2%), sedangkan pemberian
Branched-Chain Amino Acid (BCAA) dengan lama pemberian >14 hari sebanyak
11 (5,9%) pasien.
28
Uji Mann Whitney disebut juga dengan Wilcoxon Rank Sum Test adalah uji
bebas apabila skala data variabel terikatnya adalah ordinal atau interval/ratio
sebesar 165±122 dengan nilai median 125.00, sedangkan dengan kategori hidup
memiliki nilai rata-rata sebesar 188±451 dengan nilai median 100.00. sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan tetapi tidak signifikan dengan
nilai p 0,702>0,05.
29
memiliki nilai rata-rata sebesar 183±423 dengan nilai median 125.00, sedangkan
dengan kategori berat memiliki nilai rata-rata sebesar 173±125 dengan nilai
median 125.00. sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tetapi tidak
Berdasarkan hasil analisis statistic pada tabel 5.6 diketahui pada variable
Assesment (SGA) dari 153 pasien, Sebagian besar pasien dengan kategori tidak
memiliki gizi buruk yang dinyatakan hidup sebanyak 120 (78,4%) pasien, yang
dinyatakan meninggal <28 hari sebanyak 32 (20,9%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal >28 hari sebanyak 1 (0,7%) pasien. Sedangkan distribusi terkecil pada
pengukuran Subject Global Assesment (SGA) pada kategori skor B (gizi sedang)
dinyatakan meninggal < 28 hari sebanyak 7 (43,8%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal > 28 hari sebanyak 0 (0,0%) pasien. Dari hasil analisis korelasi bahwa
didaptkan nilai p = 0,003 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
KJS dari 153 pasien, Sebagian besar pasien dengan kategori tidak KJS yang
dinyatakan hidup sebanyak 120 (78,4%) pasien, dan yang dinyatakan meninggal
<28 hari sebanyak 32 (20,9%) pasien, dan yang dinyatakan meninggal >28 hari
meninggal < 28 hari sebanyak 19 (48,7%) pasien, dan yang dinyatakan meninggal
> 28 hari sebanyak 1 (2,6%) pasien. Dari hasil analisis korelasi bahwa didaptkan
31
nilai p = 0,001 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi
sirosis.
BCAA dari 155 pasien, Sebagian besar pasien dengan kategori mendapatkan
BCAA yang dinyatakan hidup sebanyak 123 (79,4%) pasien, dan yang
dinyatakan meninggal <28 hari sebanyak 30 (19,4%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal >28 hari sebanyak 2 (1,3%) pasien. Sedangkan distribusi terkecil pada
pasien, yang dinyatakan meninggal < 28 hari sebanyak 21 (56,8%) pasien, dan
yang dinyatakan meninggal > 28 hari sebanyak 0 (0,0%) pasien. Dari hasil
analisis korelasi bahwa didaptkan nilai p = 0,000 < 0,05 sehingga dapat
pemberian BCAA dari 98 pasien, Sebagian besar pasien dengan kategori Lama
BCAA <7 hari yang dinyatakan hidup sebanyak 78 (79,6%) pasien, dan yang
dinyatakan meninggal <28 hari sebanyak 20 (20,4%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal >28 hari sebanyak 0 (0,0%) pasien. Sedangkan distribusi terkecil pada
> 14 hari dari 8 pasien, yang dinyatakan hidup sebanyak 5 (62,5%) pasien, yang
dinyatakan meninggal < 28 hari sebanyak 3 (37,5%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal > 28 hari sebanyak 0 (0,0%) pasien. Dari hasil analisis korelasi bahwa
didaptkan nilai p = 0,152 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
Ensefalopati Hepatikum Ringan dari 269 didaptkan bahwa sebanyak 123 (79,4%)
pasien yang dinyatakan hidup, yang dinyatakan meninggal <28 hari sebanyak 30
(19,4%) pasien, dan yang dinyatakan meninggal >28 hari sebanyak 2 (1,3%)
Ringan pada kategori SGA, JKS, dan BCAA memiliki hubungan yang bermakna
pada ketegori lama pemberian BCAA tidak memiliki hubungan bermakna dengan
Berdasarkan hasil analisis statistic pada tabel 5.7 diketahui pada variable
Assesment (SGA) dari 45 pasien, sebagian besar pasien dengan kategori tidak
memiliki gizi buruk yang dinyatakan hidup sebanyak 13 (28,9%) pasien, yang
dinyatakan meninggal <28 hari sebanyak 31 (68,9%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal >28 hari sebanyak 1 (2,2%) pasien. Sedangkan distribusi terkecil pada
pengukuran Subject Global Assesment (SGA) pada kategori skor C (gizi buruk)
dinyatakan meninggal < 28 hari sebanyak 12 (80,0%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal > 28 hari sebanyak 0 (0,0%) pasien. Dari hasil analisis korelasi bahwa
didaptkan nilai p = 0,708 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
dari 45 pasien, Sebagian besar pasien dengan kategori tidak KJS yang
<28 hari sebanyak 31 (68,9%) pasien, dan yang dinyatakan meninggal >28 hari
meninggal < 28 hari sebanyak 25 (78,1%) pasien, dan yang dinyatakan meninggal
> 28 hari sebanyak 1 (3,1%) pasien. Dari hasil analisis korelasi bahwa didaptkan
nilai p = 0,589 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi
BCAA dari 44 pasien, Sebagian besar pasien dengan kategori tidak diberikan
BCAA yang dinyatakan hidup sebanyak 7 (15,9%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal <28 hari sebanyak 36 (81,8%) pasien, dan yang dinyatakan meninggal
>28 hari sebanyak 1 (2,3%) pasien. Sedangkan distribusi terkecil pada variable
dinyatakan meninggal < 28 hari sebanyak 20 (60,6%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal > 28 hari sebanyak 1 (3,0%) pasien. Dari hasil analisis korelasi bahwa
didaptkan nilai p = 0,110 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
sirosis.
pemberian BCAA dari 17 pasien, Sebagian besar pasien dengan kategori Lama
BCAA <7 hari yang dinyatakan hidup sebanyak 6 (35,3%) pasien, dan yang
dinyatakan meninggal <28 hari sebanyak 10 (58,8%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal >28 hari sebanyak 1 (5,9%) pasien. Sedangkan distribusi terkecil pada
variable Ensefalopati Hepatikum berat pada kategori yang mendapatkan BCAA >
14 hari dari 3 pasien, yang dinyatakan hidup sebanyak 1 (33,3%) pasien, yang
dinyatakan meninggal < 28 hari sebanyak 2 (66,7%) pasien, dan yang dinyatakan
meninggal > 28 hari sebanyak 0 (0,0%) pasien. Dari hasil analisis korelasi bahwa
didaptkan nilai p = 0,910 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
Hepatikum berat pada kategori SGA, JKS, BCAA, Lama pemberian BCAA tidak
sirosis hepatis.
5.2 Pembahasan
36
hidup, namun juga memberikan prognosis buruk pada pasien dengan sirosis hepar.
failure. Pada kasus yang berat dapat menjadi koma atau meninggal.
Salah satu teori dalam proses terjadinya ensefalopati hepatikum ini adalah
adanya keterlibatan imbalans rasio protein diantara Branched Chain Amino Acids
(BCAA) dan Aromatics Amino Acids (AAA). BCAA merupakan bagian dari asam
amino essensial yang terdiri dari leusin, isoleusin, dan valin, sedangkan AAA
terdiri atas fenilalanin dan tirosin. Rasio ini dapat disebut Rasio Fischer.
Penurunan rasio fischer ini merupakan salah satu tanda terjadinya Sirosis Hepatis.
5.3
DAFTAR PUSTAKA
Ellis, H. (2011) ‘Anatomy of the liver’, Surgery, 29(12), pp. 589–592. doi:
10.1016/j.mpsur.2011.09.012.
Holeček, M. (2018) ‘Branched-Chain Amino Acids in health and disease:
metabolism, alterations in blood plasma, and as supplements’, Nutrition &
Metabolism, 15(3), pp. 1647–1652. doi: 10.1186/s12986-018-0271-1.
Huynh, D. K. et al. (2015) ‘Nutritional care in hospitalized patients with chronic
liver disease’, World Journal of Gastroenterology, 21(45), pp. 12835–12842. doi:
10.3748/wjg.v21.i45.12835.
JANICE L. RAYMOND and MORROW, K. (2021) Krause and Mahan’s Food
& The Nutrition Care Process. 15th edn, Elsevier. 15th edn. Canada: Elsevier.
Kornerup, L. S. et al. (2018) ‘Update on the Therapeutic Management of Hepatic
Encephalopathy’, pp. 18–23.
LL, G. et al. (2020) ‘Branched-Chain Amino Acids for People with Hepatic
Encephalopathy’, Cochrane Database of Systematic Review, 101(1). doi:
10.1002/14651858.CD001939.pub4.www.cochranelibrary.com.
Lovena, A., Miro, S. and Efrida, E. (2017) ‘Karakteristik Pasien Sirosis Hepatis di
RSUP Dr. M. Djamil Padang’, Jurnal Kesehatan Andalas, 6(1), p. 5. doi:
10.25077/jka.v6i1.636.
Mahan, K., Escott-Stump, S. and Raymond, J. (2012) Krause’s Food and the
Nutrition Care Process.
Mann, G. et al. (2021) ‘Branched-Chain Amino Acids : Catabolism in Skeletal
Muscle and Implications for Muscle and Whole-Body Metabolism’, 12(July). doi:
10.3389/fphys.2021.702826.
Marcia Nahikian Nelms, Kathryn Sucher, Karen Lacey, S. L. R. (2017) Nutrition
Th erapy and Pathophysiology, 2e. second edi. Edited by Y. Cossio. canada:
Cengage Learning. doi: 10.5005/jp/books/12923_26.
McClave, S. A. et al. (2016) ‘ACG clinical guideline: Nutrition therapy in the
adult hospitalized patient’, American Journal of Gastroenterology, 111(3), pp.
315–334. doi: 10.1038/ajg.2016.28.
Nusrat, S. et al. (2014) ‘Cirrhosis and its complications: Evidence based
treatment’, World Journal of Gastroenterology, 20(18), pp. 5442–5460. doi:
38
10.3748/wjg.v20.i18.5442.
Peng, Y., Qi, X. and Guo, X. (2016) ‘Child-pugh versus MELD score for the
assessment of prognosis in liver cirrhosis a systematic review and meta-analysis
of observational studies’, Medicine (United States), 95(8), pp. 1–29. doi:
10.1097/MD.0000000000002877.
Procopet, B. and Berzigotti, A. (2017) ‘Diagnosis of cirrhosis & portal
hypertension: Imaging, non-invasive markers of fibrosis & liver biopsy’,
Gastroenterology Report, 5(2), pp. 79–89. doi: 10.1093/gastro/gox012.
Saunders, J. et al. (2010) ‘Malnutrition and nutrition support in patients with liver
disease’, Frontline Gastroenterology, 1(2), pp. 105–111. doi:
10.1136/fg.2009.000414.
Schuppan, D. and Afdhal, N. H. (2008) ‘Liver cirrhosis’, The Lancet, 371(9615),
pp. 838–851. doi: 10.1016/S0140-6736(08)60383-9.
Sepanlou, S. G. et al. (2020) ‘The global, regional, and national burden of
cirrhosis by cause in 195 countries and territories, 1990–2017: a systematic
analysis for the Global Burden of Disease Study 2017’, The Lancet
Gastroenterology and Hepatology, 5(3), pp. 245–266. doi: 10.1016/S2468-
1253(19)30349-8.
Sherwood, L. (2014) Human Physiology From Cells to Systems. 7th edn, Human
Physiology from cells to system. 7th edn. Canada: Cengage Learning.
Sidiq T, K. N. (2015) ‘Nutrition as a Part of Therapy in the Treatment of Liver
Cirrhosis’, Journal of Nutrition & Food Sciences, 5(S11). doi: 10.4172/2155-
9600.1000S11004.
Silbernagl, S. and Lang, F. (2019) Color Atlas of Pathophysiology, Color Atlas of
Pathophysiology. doi: 10.1055/b-005-148940.
Suva, M. (2018) ‘REVIEW ARTICLE A Brief Review on Liver Cirrhosis :
Epidemiology, Etiology, Pathophysiology, Symptoms, Diagnosis and Its
Management’, 2014(July), pp. 1–5.
Victor, P. R. (2010) Nutrition, Diet Therapy, and the Liver. NU. USA: aylor &
Francis Group, LLC.
Vilstrup, H. et al. (2014) ‘Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: 2014
39
Practice Guideline by the American Association for the Study Of Liver Diseases
and the European Association for the Study of the Liver’, Hepatology, 60(2), pp.
715–735. doi: 10.1002/hep.27210.
Weiss, N., Jalan, R. and Thabut, D. (2018) ‘Understanding hepatic
encephalopathy’, Intensive Care Medicine, 44(2), pp. 231–234. doi:
10.1007/s00134-017-4845-6.
Weissenborn, K. (2019) ‘Hepatic Encephalopathy : Definition , Clinical Grading
and Diagnostic Principles’, Drugs, 79(s1), pp. 5–9. doi: 10.1007/s40265-018-
1018-z.