Anda di halaman 1dari 42

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN

PEMBERIAN OBAT PENCEGAHAN MASSAL (POPM)


FILARIASIS DI KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN
TAHUN 2020

DHIKY HIDAYAT

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut tujuan ke-3 SDGs periode tahun 2015-2030 “menjamin

kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua orang disegala

usia”, pada target ke-3.3 ialah mengkahiri epidemi penyakit tropis yang

terabaikan. Filariasis merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan yang

masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Saat ini di dunia terdapat 893

juta orang di 49 negara di seluruh dunia yang berisiko tertular penyakit

filariasis atau yang dikenal juga dengan penyakit kaki gajah dan memerlukan

pengobatan preventif untuk menghentikan penyebaran infeksi parasit ini.

Sekitar 40 juta orang menjadi cacat dan lumpuh oleh penyakit tersebut. Dari

keseluruhan penderita, terdapat dua puluh lima juta penderita laki-laki yang

mengalami penyakit genital (umumnya menderita hydrocele) dan hampir lima

belas juta orang yang kebanyakan wanita menderita limfedema atau

elephantiasis pada kakinya. (WHO, 2018)

Ketika Filariasis berkembang menjadi kondisi kronis, hal ini

menyebabkan limfedema (pembengkakan jaringan) atau kaki gajah (penebalan

kulit/jaringan) pada tungkai dan hidrokel. Cacat tubuh ini sering kali

menimbulkan stigma sosial dan gangguan kesehatan mental, hilangnya peluang

memperoleh penghasilan, dan peningkatan biaya pengobatan bagi pasien serta

pengasuhnya, beban sosial ekonomi dan kemiskinan (WHO, 2018). Secara

1
tidak langsung penyakit ini berdampak pada penurunan produktivitas kerja

penderita dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara yang tidak sedikit

(Kementerian Kesehatan RI 2019)

Filariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh tiga spesies

cacing mikroskopis mirip benang yaitu Wuchereria bancrofti yang

menyebabkan 90% kasus, Brugia malayi yang menyebabkan sebagian besar

kasus lainnya, dan Brugia timori yang juga menyebabkan penyakit filaria.

Filariasis juga dapat menyebabkan sindrom eosinofilia paru tropis. Eosinofilia

lebih tinggi dari tingkat normal sel darah putih yang melawan penyakit.

Sindrom ini biasanya ditemukan pada orang yang terinfeksi di Asia.

Manifestasi klinis sindrom eosinofilia paru tropis termasuk batuk, sesak napas,

dan seringkali disertai dengan tingkat Immunoglobulin E (IgE) dan antibodi

antifilaria yang tinggi. (CDC, 2020)

Filariasis menyebabkan cacat permanen pada beberapa bagian tubuh

dan merupakan salah satu penyebab infeksi paling penting dari cacat anggota

tubuh permanen di seluruh dunia. Disability-adjusted life year (DALY)

filariasis adalah yang tertinggi di antara semua penyakit tropis lainnya.

Filariasis juga merupakan penyebab utama kemiskinan akibat hilangnya

produktivitas yang pada akhirnya menjadi beban ekonomi keluarga dan

masyarakat. Filariasis tidak menyebabkan mortalitas langsung tetapi

morbiditasnya yang parah hal ini menimbulkan beban fisik bagi pasien dan

stigma psikososial baik bagi pasien maupun keluarganya, perasaan tertekan,

2
malu, bersalah, penarikan diri, dan isolasi diri yang mempengaruhi kualitas

hidup pasien. (Widjanarko et al. 2018)

Penyakit Filariasis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat

yang serius di Indonesia. Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah

endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi

lebih tinggi. Hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota

yang ditindaklanjuti dengan survei endemisitas filariasis, sampai dengan tahun

2014 terdapat lebih dari 14 ribu orang menderita klinis kronis filariasis yang

tersebar di semua provinsi. Secara epidemiologis, lebih dari 120 juta penduduk

Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis. Di Indonesia

terdapat 235 kabupaten/kota endemis filariasis dari 514 kabupaten/kota di

seluruh Indonesia. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis ini dapat

bertambah karena masih ada beberapa kabupaten/kota yang belum terpetakan

(Kementerian Kesehatan RI, 2019)

Diketahui 233 kabupaten/kota di Indonesia yang endemis filariasis

dengan rata-rata angka mikrofilaria 3,61%, dan prevalensi infeksi kecacingan

di 173 kabupaten/kota dengan rata-rata 28,12%. Di antara 233 kabupaten/kota

endemis filariasis di Indonesia, 104 kabupaten/kota juga endemis infeksi

kecacingan; dan hanya 135 kabupaten/kota melaksanakan POPM. Dari 135

kabupaten/kota yang dilaporkan melaksanakan POPM, hanya 16

kabupaten/kota yang menjalankan POPM dengan prevalensi infeksi filariasis di

atas 30% (persyaratan pengobatan massal untuk penyakit kecacingan).

Rekomendasi yang diajukan adalah percepatan POPM di kabupaten/kota yang

3
endemis filariasis dan penyakit kecacingan yang endemisitasnya di atas 30%

(Marleta, Rita 2016).

Komitmen global baru-baru ini untuk mengendalikan atau

menghilangkan penyakit tropis terabaikan pada tahun 2020 (Bergquist et al.,

2015) telah mengharuskan mobilisasi sumber daya dan pendanaan untuk

penyakit tropis terabaikan seperti pemberian obat pencegahan dan kontrol

transmisi di semua negeri endemik (Seddoh et al., 2013; Lenk et al., 2016)

Pemberian obat pencegahan direkomendasi WHO dan merupakan

strategi utama program global yang diluncurkan tahun 2000 untuk mengurangi

kejadian, tingkat keparahan, dan konsekuensi jangka panjang dari morbiditas,

dan dalam kondisi epidemiologis tertentu berkontribusi pada penurunan

berkelanjutan dalam penularan. (WHO. 2006)

Program eliminasi filariasis di dunia dimulai tahun 2000 berdasarkan

deklarasi WHO, sedangkan di Indonesia program eliminasi mulai dilaksanakan

pada tahun 2002 dan menjadi salah satu program prioritas nasional dengan

maksud agar Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia pada tahun 2020. Menyikapi tujuan tersebut, dilakukan upaya

program untuk menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi

kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota, serta mencegah dan membatasi

kecacatan karena filariasis (Kemenkes, 2010). Untuk mencapai eliminasi,

Indonesia menetapkan dua pilar yaitu memutuskan rantai penularan dengan

pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP filariasis) di daerah

4
endemis serta mencegah dan membatasi kecacatan akibat filariasis (Data and

Epidemiologi, 2010)

Lebih dari 1,9 miliar orang di 125 negara memerlukan pemberian obat

massal atau Mass Drug Administration (MDA) untuk setidaknya satu dari

tujuh penyakit tropis terabaikan (NTD) (Webster et al., 2014). MDA adalah

distribusi pengobatan preventif yang diberikan ke seluruh populasi sasaran,

yaitu individu yang terinfeksi dan tidak terinfeksi di daerah yang sebagian

besar berisiko tinggi mengalami infeksi cacing. Mass Drugs Administration

(MDA) adalah pengobatan terbaik untuk penyakit menular kronis (Molyneux

et al., 2016) karena biaya rendah per perawatan, keberhasilan dalam

mengendalikan morbiditas, dan terbatasnya akses perawatan kesehatan formal

di daerah miskin pedesaan. Cacing yang ditularkan melalu tanah, limfatik

filariasis, dan schistosomiasis adalah infeksi yang paling umum diobati melalui

MDA (WHO, 2015).

Walaupun merupakan program pengobatan terbaik untuk penyakit

menular kronis, kenyataannya masih terdapat permasalahan dalam penerimaan

pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Massal. Seperti temuan dalam

penelitian Ramaiah tahun 2000 didapatkan bahwa alasan kurangnya tingkat

kepercayaan masyarakat kepada petugas pembagi obat terkait dengan informasi

mengenai Pemberian Obat Pencegahan Massal dapat membatasi penerimaan

dan kepatuhan masyarakat dalam pengobatan massal filariasis. Selain itu

kurangnya pengetahuan tentang efek samping pengobatan dapat mempengaruhi

keberhasilan Pemberian Obat Pencegahan Massal karena telah dilaporkan

5
bahwa efek samping dari pengobatan antifilaria adalah faktor utama dalam

penurunan kepatuhan pada tahun kedua dan selanjutnya Pemberian Obat

Pencegahan Massal untuk Eliminasi Filariasis dan penurunan prevalensi dan

intensitas infeksi Filariasis. Meskipun responden yang mengaku minum obat

jumlahnya cukup banyak tetapi sebagian minum obat tidak di depan petugas.

Pengawasan minum obat tetap perlu dilakukan untuk memastikan bahwa

masyarakat benar benar patuh dalam pengobatan. Data Puskesmas Panenggo

Ede menunjukkan beberapa responden telah diberi obat tetapi ketika ditanya

menjawab “ tidak” menerima obat dan “ tidak tahu” tentang pelaksanaan

pengobatan massal filariasis di desanya. Proses yang dilalui sebelum diberi

obat dan sedikitnya informasi yang diberikan dapat menyebabkan responden

tidak ingat adanya pengobatan massal filariasis (Patanduk, 2016).

Pengetahuan tentang Limfatik Filariasis (LF) secara signifikan terkait

dengan penerimaan program Pemberian Obat Pencegahan Massal atau Mass

Drug Administration (MDA). Proporsi yang lebih tinggi dari mereka yang

menerima obat dengan tingkat pengetahuan sedang, menelan obat

dibandingkan dengan mereka yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah.

Faktor-faktor lain seperti mampu membahas Limfatik Filariasis (LF) dan

Pemberian Obat Pencegahan Massal dengan orang lain dan didorong oleh

orang lain untuk minum obat tidak terkait dengan penerimaan Pemberian Obat

Pencegahan Massal. (Maria, 2008)

Masyarakat yang menyaksikan keberadaan penderita filariasis di

masyarakat akan menyadari bahwa setiap orang berisiko tertular filariasis dan

6
cenderung lebih patuh dalam mengonsumsi obat. Selain itu, persepsi bahwa

seseorang mungkin menderita filariasis mempengaruhi ekspresi kesediaan

individu untuk mengikuti program POMP berikutnya. Di daerah nonendemis,

masyarakat memberikan sedikit perhatian dan kurang memprioritaskan

filariasis. Oleh karena itu, cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal di

daerah tersebut umumnya rendah. Orang menganggap filariasis bukan penyakit

serius dan tidak merasa perlu minum obat selama Pemberian Obat Pencegahan

Massal. (Amarillo, 2008)

Beberapa hambatan utama yang terkait dengan cakupan Pemberian

Obat Pencegahan Massal atau Mass Drug Administration (MDA) yang adalah

kebijakan distribusi obat, aksesibilitas ke sekolah, penyimpanan catatan dan

pelaporan yang buruk, tindak lanjut, dan penyebaran informasi. Informasi yang

tidak memadai tentang dinamika populasi dan isu tentang efek samping obat

MDA berdampak buruk pada kepatuhan intervensi. Pelatihan para distributor

obat yang tidak memadai dan motivasi yang buruk di antara para pemangku

kepentingan juga menambah hambatan. Padahal Pengetahuan masyarakat

tentang penyakit filariasis serta upaya untuk pencegahannya akan membantu

dalam keberhasilan pelaksanaan pengobatan massal filariasis (Patanduk, 2016)

Penerimaan program pemberian obat pencegahan massal yang

bermasalah dapat menyebabkan cakupan pemberian obat yang rendah dan

tidak teratur sehingga menjadi ancaman dan hambatan dalam pelaksanaan

suatu program eliminasi.

7
Di Sulawesi Selatan tahun 2019, terdapat 81 kasus kronis penyakit

Filariasis, 2 kabupaten terbanyak dengan kasus Filariasis adalah Kabupaten

Luwu Timur dengan 30 kasus kronis dan Kabupaten Pangkep 20 Kasus.

Meskipun memiliki jumlah kasus kronis filariasis yang tinggi, Kabupaten

Luwu Timur sudah mendapatkan sertifikat eliminasi dari Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2017. Kabupaten Pangkajene

Kepulauan (Pangkep) masih menjadi daerah endemis filariasis di Provinsi

Sulawesi Selatan. (Dinkes Sulsel, 2019)

Di Kabupaten Pangkajene Kepulauan telah dilakukan survei penentuan

endemisitas filariasis melalui survei darah jari pada tahun 2012 dan dihasilkan

angka microfilaria rate sebesar 43,7%. Dari hasil tersebut dilakukan intervensi

dengan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis atau POPM selama 5

tahun berturut-turut. Pada tahun 2015 kembali dilakukan surey darah jari dan

diketahui terjadi penurunan angka microfilaria rate menjadi 8,4%. Tahun 2017

Kabupaten Pangkep belum dapat dikatakan bebas filariasis setelah hasil survei

pada tahun tersebut didapatkan angka mikrofilaria rate sebesar 5,7%, Adapun

jumlah sampel yang diperiksa adalah 315 sampel dengan hasil 16 orang positif.

Sebuah kabupaten/kota dapat dikatakan bebas filariasis jika angka mikrofilaria

rate berada dibawah 1%. Daerah yang Mf rate tinggi artinya di daerah tersebut

banyak ditemukan penduduk yang mengandung mikrofilaria di dalam

darahnya. Semakin tinggi Mf rate semakin tinggi pula risiko terjadi penularan

filariasis. (Dinkes Sulsel, 2019)

8
Eliminasi filariasis bukan hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan,

namun sangat ditentukan oleh bagaimana bersikap dalam melihat keberadaan

penyakit ini secara serius. Kegiatan intervensi kesehatan masyarakat dengan

melibatkan peran semua pihak, menjadi modal utama untuk mendukung

eliminasi filariasis. Harapan masa depan yang bebas dari filariasis akan

terwujud serta dengan sendirinya berdampak pada kehidupan yang lebih baik,

mengurangi dampak kemiskinan, mencegah kecacatan, memperkuat sistem

kesehatan dan membangun kemitraan.

Berdasarkan faktor masalah kesehatan yang telah diuraikan di atas,

selama ini belum pernah dilakukan penelitian terkait penerimaan program

Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) di Kabupaten yang ada di

Provinsi Sulawesi Selatan kemudian Kabupaten Pangkep Kepulauan menjadi

satu-satunya kabupaten yang endemis filariasis sehingga hal inilah yang

mendasari ketertarikan peneliti untuk meneliti faktor yang terkait dengan

penerimaan pemberian obat pencegahan massal filariasis terhadap upaya

penurunan prevalensi penyakit filariasis di Kabupaten Pangkep Kepulauan

9
B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor apa saja yang

berhubungan dengan penerimaan pemberian obat pencegahan massal (POPM)

filariasis di Kabupaten Pangkajene Kepulauan?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang

berhubungan dengan penerimaan pemberian obat pencegahan massal

(POPM) filariasis di Kabupaten Pangkajene Kepulauan.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan faktor kerentanan yang dirasakan terhadap

pemberian obat pencegahan massal (POPM) filariasis di Kabupaten

Pangkajene Kepulauan

b. Mengetahui hubungan faktor keseriusan yang dirasakan terhadap

pemberian obat pencegahan massal (POPM) filariasis di Kabupaten

Pangkajene Kepulauan

c. Mengetahui hubungan faktor manfaat yang dirasakan terhadap terhadap

pemberian obat pencegahan massal (POPM) filariasis di Kabupaten

Pangkajene Kepulauan

d. Mengetahui hubungan faktor hambatan terhadap pemberian obat

pencegahan massal (POPM) filariasis di Kabupaten Pangkajene

Kepulauan

10
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Institusi

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi

Instansi Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan umumnya dan

Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkajene Kepulauan pada khusunya

dalam rangka penentuan kebijakan untuk menanggulangi dan

mengeliminasi masalah filariasis serta sebagai evaluasi program

pelaksanaan program.

2. Manfaat Ilmiah

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah dan

ilmu pengetahuan serta dapat digunakan sebagai acuan untuk

melakukan penelitian selanjutnya.

3. Manfaat Praktis

Merupakan pengalaman berharga untuk memperluas wawasan dan

pengetahuan di bidang kesehatan secara umum, serta secara khusus

memperkaya pengetahuan mengenai masalah filariasis.

4. Manfaat Bagi Masyarakat

Memberikan informasi dan edukasi pada masyarakat mengenai

pentingnya menjaga pola hidup sehat terkait dengan pencegahan

penyakit Filariasis dan pelaksanaan pemberian obat pencegahan massal

filariasis secara massif agar terhindar dari masalah filariasis.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Filariasis


Di Indonesia upaya pemberantasan filariasis telah dilaksanakan sejak

tahun 1975 terutama di daerah endemis tinggi filariasis. Pada tahun 1977,

World Health Assembly menetapkan resolusi “Elimination of Lymphatic

Filariasis as a Public Health Problem”, yang kemudian pada tahun 2000

diperkuat dengan keputusan WHO dengan mendeklarasikan “The Global

Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by

the Year 2020”.

1. Pengertian Filariasis

Infeksi Lymphatic Filariasis dimulai dengan adanya cacing dewasa

yang hidup dalam kelenjar limphe dan mikrofilaria dalam darah manusia

walaupun tanpa menunjukkan gejala adanya gejala fisik. Penderita

filariasis tidak banyak ditemukan dalam masyarakatdan kalau pun ada

penderitanya tidak sering muncul di tempat umum tetapi lebih sering

bersembunyi ditengah-tengah masyarakat atau mengasingkan diri karena

beban penyakit yang berdampak pada kehilangan peran sosial termasuk

fungsi seksual dengan hidrokel pada laki-laki dan pembesaran payudara

pada perempuan serta aspek psikososial (E.A.Ottesen 1997)

Penyakit filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

cacing filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (limfe) serta

12
mengakibatkan gejala akut, kronis dan ditularkan oleh berbagai jenis

nyamuk. Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening

(adenomalimfanitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi

dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul

berulang kali, dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan

meninggalkan parut. Dapat terjadi limfedema dan hidrokel yang berlanjut

menjadi stadium kronis yang berupa elephantiasis yang menetap dan sukar

disembuhkan berupa pembesaran pada kaki (seperti kaki gajah) lengan,

payudara, buah zakar (scrotum) dan kelamin wanita (Kementerian

Kesehatan RI , 2006)

2. Diagnosis

Diagnosis dapat ditetapkan jika pada pemeriksaan darah (tetes

tebal) ditemukan mikrofilaria di dalam darah tepi. Terkadang mikrofilaria

juga ditemukan dalam kiluria, eksudat varises limfe dan cairan hidrokel.

Mikrofilaria tidak dapat dijumpai sesudah terjadinya limfangitis akibat

matinya cacing dewasa dan jika telah terjadi elephantiasis akibat obstruksi

limfatik. Pada biopsy kelenjar limfe terkadang dapat ditemukan cacing

dewasa. (Arsunan, 2016)

Selain itu pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan

diagnosis adalah sebagai berikut (Rampengan & Laurents, 1997).

1. Tes Provokasi DEC

13
Mikrofilaria yang bersifat nokturnal dapat ditemukan dalam darah tepi

yang diambil pada waktu siang hari, dengan pemberian DEC 2mg/kg

BB dan darahh diambil 45-50 menit setelah pemberian obat.

2. Menghitung Mikrofilaria

Mikrofilaria dihitung dengan mengambil 0,25 ml darah yang

diencerkan dengan asetat 3% sampai menjadi 0,5 cc dan dilihat di

bawah mikroskop dengan menggunakan Sdgwick Refler Counting

Cell.

Densitas tinggi : 50 mf/ml darah

Densitas rendah : 10-49 mf/ml darah

Densitas sangat rendah : 1-10 mf/ml darah

3. Cara konsentrasi

Metode Knotts dilakukan dengan cara mengencerkan 1 ml darah ke

dalam 9 ml air dan ditambahkan 1 ml formalin 2%, kemudian dikocok

dan disentrifus dan endapan diperiksa di bawah mikroskop.

4. Cara Filtrasi

Pembersihan partikel pada dari suatu fluida dengan melewatkannya

pada medium penyaringan, atau septum, yang di atasnya padatan akan

terendapkan.

5. Sero Diagnosis

Pemeriksaan serum dilakukan berupa skin test, complement fixtion

test, hemagglutination test, immonuflourescent test, indirect

fluorescent antibody test, dan ELISA.

14
6. Biopsi

Biopsi dillakukan pada kelenjar limfe yang membesar.

7. Mazotti test

8. Darah Rutin

Pemeriksaan darah rutin digunakan sebagai pedoman untuk

pemeriksaan lanjut.

Penderita dengan diagnosis klinis filariasis tidak menampakkan

gejala ataupun tanda-tanda spesifik, namun dalam perjalanan penyakit

dengan diagnosis klinis Lymphedema terutama pada bagian ektremitas

memberikan gambaran awal infeksi mikrofilaria. Identifikasi adanya

infeksi cacing filaria pada suatu populasi dapat dilihat melalui

pemeriksaan darah tepi atau dengan metode diagnosis cepat dengan

menggunakan rapid test.

Tanda-tanda umum yang menjadi ciri khas infeksi mikrofilaria

dengan Lymphadema adalah dengan pembengkakan unilateral atau

kadang-kadang bilateral tapi simetris dari anggota badan dan pada jangka

panjang menunjukkan adanya penebalan kulit, bersamaan dengan adanya

demam, nyeri berulang pada bagian yang menunjukkan serangan ADLA

(Melrose, 2004).

Pemeriksaan darah seperti Survei darah Jari (Blood finger) yang

digunakan untuk mendeteksi mikrofilaria dalam darah tepi yang aktif pada

malam hari, Immuno-cromatografi Card Test (ICT) untuk pemeriksaan

antigenemia dan ultrasonografi untuk mengetahui adanya cacing seperti

15
dikemukakan oleh Weil GJ et.el;1996, namun jarang digunakan (Shenoy,

2008). Untuk menilai adanya penebalan jaringan pada tungkai dapat

digunakan test Ultra Sonografy, sedangkan untuk membantu menilai

perubahan sturukral dan fungsional dalam jaringan limfatik dapat

digunakanlimfoskintigraf, sedangkan untuk menilai ukuran lymphedema

dan untuk mengamati peningkatan setelah intervensi. Pengukuran

dilakukan pada bagian tengah anggota badan yang mengalami

pembengkakan digunakan pita pengukur yang fleksibel.

3. Gejala klinis

Gejala filariasis dapat dibagi menjadi periode atau tahapan yang

berlangsung yaitu tahap akut dan kronis.

1. Gejala klinis akut

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis

yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses.

Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan

meninggalkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut

lebih sering terjadi pada infeksi B. malayi dan B. timori dibandingkan

karena infeksi W. bancrofti sering terjadi peradangan buat pelir

(orkitis), peradangan epididimus (epididymitis), dan peradangan

funikulus spermatikus (funiculitis) (Depkes RI, 2008)

2. Gejala klinis kronis

Gejala kronis terdiri dari limfedema, lymp scrotum, kiluria, dan

hidrokel (Depkes RI, 2008)

16
a. Limfedema

Pada infeksi W. bancrofti, terjadi pembengkakan seluruh kaki,

seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara,

sedangkan pada ngeksi Brugia, terjadi pembengkakan di bawa

lutut, lengan di bawah siku tetapi siku dan lutut masih normal.

b. Lymph Scrotum

Lymph Scrotum adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada

kulit skrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran

limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar

membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan

kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Hal ini

berisiko tinggi terhadap terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan

jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi

limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal

kadang-kadang sangat besar.

c. Kiluria

Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan

pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa

spesies W. bancrofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke

dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut :

1. Air kecing seperti susu karena air kencing banyak mengandung

lemak dan terkadang disertai darah,

2. Sukar kencing,

17
3. Kelelahan tubuh, dan

4. Kehilangan berat badan.

d. Hidrokel

Hidrokel adalah pelebaran kantung buah zakar karena

terkumpulnya cairan limfe di dalam tucina vaginalis testis.

Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantug buah zakar,

dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut :

1. Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang

sangat besar sehingga penis tertarik dan tersembunyi

2. Kulit pada skrotum normal, lunak, dan halus,

3. Terkadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi,

yaitu cyhlocele, haematocele, atau pyocele. Uji transiluminasi

dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan

komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi

ini dapat dikerjakan oleh dokter puskesmas yang sudah dilatih,

4. Hidrokel banyak ditemukan di daerah W. bancrofti dan dapat

digunakan sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti

(Depkes RI, 2008)

4. Epidemiologi filariasis

Secara epidemiologis Filariasis melibatkan banyak faktor yang

sangat kompleks, mulai dari faktor penyebab (agent) yaitu cacing filaria,

faktor manusia sebagai inang (host) dan nyamuk dewasa sebagai vektor

18
serta lingkungan fisik, biologik dan sosial termasuk ekonomi dan perilaku

penduduk setempat.

Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua dan paling

melemahkan, dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh Haga dan Van

Eecke pada tahun 1889. Dari ketiga jenis cacing filaria penyebab filariasis,

Brugia malayi mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. Brugia

timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores,

Rote, Alor dan beberapa pulua kecil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan

Wuchereria bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua.

Dalam perkembangannya, saat ini di Indonesia telah teridentifikasi ada 23

spesies nyamuk dari 5 genus yaitu: Mansonia, Anopheles, Cules, Aedes

dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. (Kementerian Kesehatan RI,

2010)

B. Distribusi Kasus Filariasis

1. Distribusi Global

Nyamuk penyebab filariasis ini disebabkan oleh tiga spesies

cacing filaria yaitu; W. bancrofti dimana hampir Sebagian besar

berada di daerah-daerah yang memiliki kelembaban yang cukup tinggi

seperti Amerika Latin dan Afrika, B. malayi endemis di daerah

pedesaan India, Asia Tenggara dan daerah pantai utara Cina, spesies

B. timori khusus ditemukan di Indonesia daerah Flores, Alor dan Rote

(WHO, 1992). Penanggulangan dampak penyakit ini memerlukan

pemahaman secara epidemiologis.perlunya memperhatikan faktor-

19
faktor seperti hospes, hospes reservoar, vektor, dan keadaan

lingkungan, tanpa mengabaikan faktor lain yang berperan terhadap

penerunan beban kesehatan masyarakat, strategi pengobatan massal

dan pengawasan vektor (Stolk, 2005).

Penderita Lymphatic filariasis tidak menjadi penyebab

kematian, namun dampak yang ditimbulkan cukup besar secara

individual maupun terhadap keluarganya, cacat seumur hidup, tingkat

produktivitas menurun , beban keluarga yang besar. Secara

epidemiologi telah banyak dilakukan kajian-kajian yang menunjukkan

peran parasit, vektor maupun pengobatan dan pemberantasannya.

Penanggulangan penularan penyakit secara massal pada daerah

endemis telah banyak dilakukan pada berbagai negara melalui

pengobatan massal (Drug mass Administration) dengan dua jenis obat

yakni; ivermectin + diethycarbamazine (DEC) atau albendazol

(E.A.Ottesen 1997).

Penyebaran Lymphatic filariasis yang isebabkan oleh cacing

filaria jenis Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan B. timori.Oleh

Michael.et.al (1996);umumnyainfeksi cacing filaria dapat ditemukan

pada negara-negara dengan iklim tropis dan sub tropis , bahkan

terdapat lebih dari 90 % dari 120 juta kasus disebabkan oleh

infeksiWushereria bancroftiyang banyak dijumpai pada negara-negara

di benua Afrika dan Amerika latin, sedangkan Brugia malayi

umumnya banyak ditemukan di Asia(Michael E, 1996), sedangkan

20
Brugia timori secara khusus ditemukan di Alor, Nusa Tenggara

Timur, Indonesia(WHO, 1992).

2. Distribusi di Indonesia

Pada tahun 2018, terdapat 10.681 kasus filariasis yang tersebar di 34

Provinsi. Angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini

dikarenakan, beberapa kasus dilaporkan meninggal dunia dan adanya

perubahan diagnosis sesudah dilakukan konfirmasi kasus klinis kronis

yang dilaporkan tahun sebelumnya (Kemenkes, 2019). Grafik berikut

menggambarkan peningkatan dan penurunan kasus filariasis di

Indonesia sejak tahun 2010.

Gambar 1. Jumlah Kasus Kronis Filariasis di Indonesia Tahun 2010-

2018

Sumber : Profil Kesehatan Indonesia 2018, Tahun 2019

Lima Provinsi dengan kasus kronis filariasis terbanyak pada tahun

2018 adalah Papua (3.615 kasus), Nusa Tenggara Timur (1..542

kasus), Jawa Barat (781 kasus), Papua Barat (622 kasus) dan Aceh

21
(578 kasus). Provinsi dengan jumlah kasus kronis filariasis terendah

adalah Yogyakarta (3 kasus).

Jumlah kasus kronis filariasis menurut provinsi tahun 2018 dapat

dilihat pada Gambar 4

Gambar … Jumlah Kasus Kronis Filariasis Menurut Provinsi


Tahun 2018

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2018, Tahun 2019

22
C. Penentuan Tingkat Endemisitas

Infeksi mikrofilariasis disebabkan karena adanya larva cacing W.

bancrofti, B. malayi dan B. timori, namun tidak langsung menimbulkan

gejala. Manifestasi klinik Lymphatic fialariasismulai dari tanpa gejala

sampai terjadinya limphadema atau hidrokelyang menjadi representasi dari

kasus kronis (Adhish Basu et al., 2006). Dampak multidimensi terhadap

kualitas hidup penderita akibat gangguan fisik, psokologis dan soail-

ekonomi menjadi alasan utama untuk melakukan upaya-upaya pencegahan

penularan yang lebih luas terutama daerah endemis. Secara epidemiologis

Lymphatic fialariasis melibatkan banyak faktor yang sangat kompleks

mulai dari cacing filaria sebagai agen penyakit, manusia sebagai inang

dan nyamuk sebagai vektror serta faktor lingkungan dan perilaku.

Siklus penularan Lymphatic filariasis digambarkan melalui siklus

penularan yang sangat kompleks.Anak dari cacing dewasa berupa

mikrofilaria bersarung, terdapat di dalam darah dan paling sering

ditemukan di aliran darah tepi. Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah

enam bulan sampai satu tahun kemudian dan dapat bertahan hidup hingga

5 – 10 tahun. Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilaria berukuran 250 –

300x7 – 8 mikron. Sedangkan pada Brugia malayi dan Brugia timori,

mikrofilaria berukuran 177 – 230 mikron (CDC, 2010).

23
Status endemisitas menjadi langkah awal yang penting ditetapkan

pada wilayah Kabupaten/Kota. Indikasi adanya penderita dengan kasus

kronis klinis yang ditemukan cacing filaria, serta didukung kondisi

lingkungan denganvektor sumber penularan. Seseorang yang mengindap

cacing filaria dsebagai dapat menjadi sumber penularanLymphatic

filariasis, walaupun proses penularan dianggap tidak mudah karena

nyamuk sebagai vektor dalam menularkan penyakit ke orang lain nyamuk

perlu menggigit berkali-kali untuk bisa memasukkan larva L3 kedalam

tubuh manusia(Sudomo, 1990).

Prevalen

Gambar 3 : Siklus Penularan Lymphatic filariasis

Kesulitan yang dialami oleh penderita kronis merupakan masalah

yang terjadi pada pasien dengan penyakityang memberikan dampak pada

gangguang fisik, mental dan sosial serta dapat menjadi pengembangan

24
penyidikan kasus dalam membedakan tingkat morbiditas dan jenis

penyakit yang dideritanya.

Prevalensi mikrofilaria rate ditetapkan berdasarkan

hasilpemeriksaan darah tepi atau pemeriksaan lainnya. Angka mikrofilaria

rate yang tinggi, semakin memperkuat dugaan endemisitas. Daerah yang

teridentifikasi adanyasumber penularan dapat dikatakan endemis

bilamanakabupaten/kota tingkat prevalensi mikrofilaria rate 1%atau

lebih(WHO, 2012).

Survei data dasar untuk mengetahui prevalensi mikrofilaria

dilakukan melalui Survei Darah Jari. Angka mikrofilaria rate dan densitas

mikrofilaria yang diperoleh pada Survei Prevalensi mikrofilaria digunakan

untuk pengukuran besarnya risiko penularan dan data sasaran serta

monitoring dan evaluasi keberhasilan POMP filariasis.

Eliminasi Lymphatic filariasis ditetapkan berdasarkan geografis

wilayah pemerintahan dalam mencapai Indonesia bebas filaria tahun

2020, maka diperlukan kajian termasuk dalam penetapan daerah endemis

yang berbasis wilayah Kabupaten/Kota berdasarkan hasil Survei Darah

Jari dengan kriteria sebagai berikut(KemenKes, 2012a);

Tabel 1
Kriteria Penetapan Endemisitas FilariasisKabupaten/Kota
Kab/ Penderita Penderita Lokaasi Hasil Status Tindak Lanjut
Kota filariasis filariasis SDJ SDJ
Kronis
A 100 % Ada 2 Lokasi Mf rate Endemis Pengobatan
Puskesmas penderita <1 % rendah selektif & MC
B 100 % Ada 2 Lokasi Mf rate Endemis POMP Filariasis
Puskesmas penderita >1 %
C* 100 % Ada 2 Lokasi Mf rate ? Lanjutkan SPK
Puskesmas penderita <1 %

25
D 100 % Ada 2 Lokasi Mf rate Endemis POMP Filariasis
Puskesmas penderita >1 %
E 100 % Ada < 2 Lokasi Mf rate Endemis Lanjutkan SDJ
Puskesmas penderita <1 % rendah
F 100 % Ada < 2 Lokasi Mf rate Endemis POMP Filariasis
Puskesmas penderita >1 %
G 100 % Ada < 2 Lokasi Mf rate ? Lanjutkan SPK &
Puskesmas penderita <1 % SDJ
H 100 % Tidak < 2 Lokasi Mf rate Endemis POMP Filariasis
Puskesmas Ada penderita >1 %
I 100 % Tidak < 2 Lokasi Mf rate ? Lanjutkan SDJ
Puskesmas Ada dicurigai <1 %
J 100 % Tidak < 2 Lokasi Mf rate Endemis POMP Filariasis
Puskesmas Ada dicurigai >1 %
K 100 % Tidak 2 Lokasi Mf rate Endemis POMP Filariasis
Puskesmas Ada dicurigai >1 %
L 100 % Tidak 2 Lokasi Mf rate Non
Puskesmas Ada dicurigai <1 % Endemis
Sumber : Pedoman Penentuan dan Evaluasi Daerah Endemis Filariasis (2012)
MC = Morbidity Control (Penatalaksanaan kasus)
SPK = Survei Penderita Filariasis Kronis
SDJ = Survei Darah Jari
PELF = Program Eliminasi Lymphatic Filariasis

Endemisitas ditentukan dalam lingkup wilayah Kabupaten/Kota

berdasarkan hasil Survei Darah Jari untuk menentukan mikrofilaria rate.

Setiap daerah yang terdapat penderita filariasis kronis, wajib

melaksanakan program penatalaksanaan penderita filariasis kronis.

Sedangkan kegiatan POMP filariasis hanya dilaksanakan pada

Kabupaten/Kota endemis(Kemenkes, 2012b).

26
Gambar 4 :Kabupaten/Kota Edemis Fiariasis dan Status
Pelaksanaan POMP Filariasis di Indonesia 2012

Kriteria endemisitas tersebut sebagai langkah awal untuk

menetapkan suatu daerah menjadi wilayah endemis berat dan endemis

ringan atau non endemis. Daerah dengan endemis ringan dilakukan

pengobatan selektif untuk kasus kronis sedangkan daerah dengan endemis

berat diharuskan melakukan POMP Filariasis.

D. Pengobatan Filariasis

Dietylcarbamazine (DEC) merupakan obat utama yang

digunakan untukmembunuh mikrofilaria dan makrofilaria dalam

tubuh manusia. DEC menjadi pilihan utama yang efektif, aman dan

dapat langsung untuk pengobatan dini orang tanpa gejala, sehingga

terjadinya kerusakan limpha akibat cacing filaria dewasa dapat

diatasi(David G. Addiss, 1999). Fungsi DEC dalam tubuh selain

membunuh cacing filaria yang terdapat dalam darah dan jaringan

27
limpha, sehingga mengurangi kesempatan untuk terjadinya

penularan dari nyamuk kepada orang lain, serta membalikkan

filaria terkait hematuria dan proteinuria.

Keberhasilan pengobatan dapat dinilai dengan melakukan

pengujian ulang mikrofilaria setelah perawatan 6 – 12 bulan. Pada

penderita laki-laki efek FEC terhadap cacing filaria dapat dilihat melalui

Ultrasonografy ( USG) pada daerah skrotum setelah pengobatan 2 – 4

minggu. Umumnya DEC hanya dapat memberi efek yang terbatas

terhadap cacing dewasa, sehingga pemberian obat secara berulang sangat

dimungkinkan sesuai dosis yang telah ditentukan (Dunyo et.al. 1999).

Setiap penderita klinis di daerah endemis mauapun daerah non

endemis mendapatkan pengobatan dengan atau tanpa adanya pengujian

antigen (ICT). Penderita Lymphatic filariasis positif diberikan DEC 3 x 1

tablet 100 mg selama 10 hari berturut-turut dan paracetamol 3 x 1 tablet

500 mg dalam 3 hari pertama untuk orang dewasa. Dosis anak-anak

disesuaikan dengan berat badan. Khusus untuk penderita klinis dengan

serangan akut atau penderita filariasis kronis yang sedang mengalami

serangan akut, harus mendahulukan penanganan serangan akut yang

dialaminya, demikian juga jika terjadi infeksi sekunder (KemenKes,

2013).

Penderita yang telah terinfeksi Lymphatic filariasis dengan

subklinis dengan pembesaran organ cenderung sudah mengalami

kerusakan pada saluran limfa, sehingga semua orang terinfeksi

28
W.bancrofti, B. malayi, termasuk B.timori dengan gejala klinis

yang jelas harus diberikan pemahaman tentang cara-cara perawatan

agar terjadi pembesaran jaringan yang lebih besar dapat dihindari.

Menjaga kebersihan dan senantiasa melakukan pembersihan dan

pencucian, melakukan perawatan kulit dan kuku, pengobatan yang

tepat akibat infeksi bakteri dan jamur, penggunaan alas kaki yang

sesuai untuk melindungi cedera kaki, serta olah raga ringan yang

teratur untuk mencegah keseimbangan cairan tubuh.

29
E. Tinjauan Umum Tentang Pemberian Obat Pencegahan Massal

Strategi eliminasi melalui Global Programme Elimination of

Lymphatic filariasis (GPELF) dengan melibatkan seluruh negara untuk

berperan dalam pengendalian dan evaluasi Lymphatic filariasis. Pemberian

Obat Massal Pencegahan filariasis (POMP) filariasis atau mass Drug

Administration (MDA) dengan obat Albendazole + Dietylcarbamazine (DEC)

selama 4 – 6 Tahun berturut-turut dapat memerikan dampak pada penurunan

tingkat prevaensi secara nyata (Ichimori and Ottesen, 2011). Berbagai studi

yang dilakukan untuk mendukung kegiatan ini termasuk uji coba klinis

berbasis rumah sakit tentang pengobatan dengan menggunakan DEC dan

Albendazole oleh infeksi Brugia timori dan Wuchereria bancrofti(ottesen,

2000a); uji cobaberbasis masyarakat tentang pengobatan dengan

menggunakan DEC dan Albendazole untuk penderita mikrofilaremi B.

Timori sesuai dengan dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan massal

(MDA); studi antropologis medis tentang persepsi masyarakat lokal terhadap

penyakit tersebut dalam satu kabupaten; pengembangan kampanye promosi

kesehatan untuk pengobatan massal (Thomas and Lafontant, 2008); serta

survei pengetahuan masyarakat, pada umumnya mendukung dilaksanakannya

kegiatan tersebut, bahkan sudah mendapat pengakuan secara lokal dan

Internasional. Hal inipun menjadi kontribusi bagi dimulainya program

eliminasi filariasis di Indonesia.

Strategi program eliminasi filariasis selama lima tahun (2010-2014)

terdiri dari lima strategi yaitu (Kemenkes, 2010):

30
a. Memantapkan perencanaan dan persiapan pelaksanaan termasuk

sosialisasi pada masyarakat.

b. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya serta dana operasional.

c. Meningkatkan peran Kepala Daerah dan para pemangku kepentingan

lainnya.

d. Memantapkan pelaksanaan POMP filariasis yang didukung oleh sistem

pengawasan dan pelaksanaan pengobatan dan pengamanan kejadian

ikutan pasca pengobatan.

e. Meningkatkan monitoring dan evaluasi.

Sejak diluncurkannya Program Eliminasi Lymphatic filariasis

(GPELF) oleh World Health Orgaization (WHO)tahun 2000, pada April

2012 dilaporkan sebanyak 73 negara endemistelah melaksanakan program

eliminasi dan melindungi sekitar 1,39 juta penduduk dari risiko tertular

Lymphatic filariasis melalui dua konponen kegiatan yakni; Memutuskan

rantai penularan penyakit dengan pemberian obat massal dan penatalaksanaan

penderita klinis dan pencegahan kecacatan(WHO, 2013).

1. Memutuskan rantai penularan

Pendekatan yang dilakukan untuk memutuskan rantai penularan

penyakit adalah melalui Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP)

filariasis atau Mass drug Administration (MDA) dengan dua jenis obat

yakni; Diethylcarbamazine (DEC) dan Albendazole pada daerah endemis

Lymphatic filariasis.

31
Indonesia menetapkan Eliminasi Filariasis sebagai salah satu

prioitas pemberantasan penyakit menular. Upaya pemberantasan

filariasis dilaksanakan sejak tahun 1975, terutama di daerah-daerah

endemis tinggi. Menteri kesehatan secara resmi mencanagkan

dimulainya Program Eliminasi Filariasis Global di Indonesia pada

tanggal 8 April 2002, di Desa Mainan, Banyuasin III Kabupaten Musi

Banyuasin. Kegiatan POMP Filarisis di Indonesia dilaksanakan dengan

menelan obat secara massal sekali dalam setahun selama lima tahun

berturut-turut kemudian dikuti dengan evaluasi dampak setelah POMP

Filariasis dihentikan dengan menetapkan sureilans ketat pada periode

stop POMP dengan tahapan berikut (KemenKes, 2012d);

Gambar 5
POMP Filariasis – Monitor dan Evaluasi
Dimulainya Mf Rate ≥1% atau
POMP Filariasis TAS (+) (ada risiko
penularan), POMP
Penu Filariasis diteruskan
Mf
Pemberian Obat Massal Rate laran
Pencegahan Filariasis ≥1% (+) 1 2 SDJ-3 TAS-1
Setiap Tahun, 5 tahun

1 2 3 4 5
Surveilans Periode Stop
POMP Filariasis Selama
5 tahun Terus Menenrus

Survei Mf 1 2 3 4 5
Cakupan Rate
Pengo- <1%
batan
Penu
SDJ-1 SDJ-2 SDJ-3 TAS-1 laran TAS-2 TAS-3
(≥13 th) (>5 th) (>5 th) (-)

Sertifikasi POMP Sertifikasi Verif ikasi


Pre Eliminasi Filariasis Eliminasi (WHO)
Filariasis dihentikan Filariasis

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4+5

Sumber : Dirjen PP & PL Kemenkes RI. 2012

32
Indikasi awal keberhasilan eliminasi Lymphatic filariasis

berdasarkan evaluasi tahap 3 yakni stop POMP Filariasis, dimana

pada tahap ini ditentukan berdasarkan hasil evaluasiTransmission

Assesment Survey (TAS-1) setelah SDJ-3 yang menunjukkan angka

mikrofilaria rate < 1 % dan dipastikan cakupan pengobatan POMP

filariasis setiap putaran selama minimal 5 tahun dengan cakupan

pengobatan > 65 % dari total penduduk, sehingga jika ditemukan tidak

ada penularan maka POMP filariasis dihentikan. Namun jika

ditemukan adanya penularan maka POMP filariasis diteruskan

minimal 2 tahun berturut-turut (KemenKes, 2012d).

2. Penatalaksanaan penderita kronis dan pencegahan kecacatan.

Infeksi kronis Lymphatic filariasismelalui suatu waktu yang

panjang dengan masa inkubasi seseorang terinfeksi memerlukan waktu

terpendek adalah 4 minggu dan terpanjang adalah 8 – 16 bulan (WHO,

1992). Akumulasi infeksi yang tidak disadari menyebabkan banyak orang

tidak menyadari bahwa penyakit tersebut semakin bertamabah parah yang

menyebabkan; akumulasi cairan pada sistem limphatik yang

menyebabkan kerusakan pada sistem limpha. Pembesaran skrotum

(Hydrocele)yang disebabkan oleh akumulasi cairan serosa dalam kantung

skrotum. Lymphoedema berupa pembengkakan ekstremitas,payudara yang

disebabkan karena kerusakan jaringan saluran getah bening, latihan fisik

dan elevasi pada bagian tubuh yang terinfeksi untuk mencegah

perkembanganLymphoedema dan pada tahap lanjut berkembang menjadi

33
Elephantiasis (kaki gajah) dimana kulit bagian tubuh yang membesar

menjadi menebal, kasar dan keras seperti kulit gajah yang tidak bisa

disembuhkan(Stolk, 2005).

Penanganan kasus Lymphoedema, kebersihan dan pengobatan lesi

meruapakan prioritas tindakan sedini mungkin pada bagian yang bengkak

(kaki, lengan, payudara, buah zakar, vulva). Tindakan ini akan mengurangi

jumlah dan kemampuan kuman menginfeksi kulit (Kemenkes, 2012c).

Sehingga dapat membatasi kecacatan dan penderita mampu hidup lebih baik

serta dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.

Pemberian Obat Pencegahan Massal atau yang disebut POPM Filariasis

adalah pemberian obat yang dilakukan untuk mematikan mikrofilaria secara

serentak kepada semua penduduk sasaran di wilayah endemis filariasis usia 2-

70 tahun. Wilayah endemis filariasis meliputi satuan kabupaten/kota yang

ditentukan berdasarkan hasil survei data dasar prevalensi mikrofilaria

menunjukkan angka mikrofilaria (microfilaria rate) lebih dari dan/atau sama

dengan 1% (satu persen) (Kementerian Kesehatan 2014)

Pengobatan massal dilakukan sekali setahun selama lima tahun

berturut-turut. Pengobatan massal dapat dilakukan serentak pada seluruh

wilayah kabupaten/kota, atau secara bertahap perkecamatan sesuai dengan

kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran daerah untuk kegiatan

pengobatan massal. Pengobatan massal secara bertahap harus dapat

diselesaikan di seluruh wilayah kabupaten/kota dalam waktu 5-7 tahun agar

reinfeksi tidak terjadi (Kemenkes, 2005). Apabila berdasarkan hasil survei

34
evaluasi penularan pada daerah kabupaten/kota menunjukkan angka

mikrofilaria (microfilaria rate) kurang dari 1% (satu persen), pemberian obat

filariasis hanya dilakukan terhadap penderita (Kemenkes, 2014)

Salah satu upaya eliminasi filariasis yaitu melakukan Pemberian Obat

Pencegahan Massal (POPM). Tujuan POPM untuk mematikan mikrofilaria

secara serentak kepada penduduk sasaran di wilayah endemis filariasis.

Mikrofilaria rate (MF rate) 1% atau lebih merupakan indikator suatu

kabupaten/kota menjadi daerah endemis filariasis. Hussain et al, mengatakan

untuk mencapai tujuan eliminasi filariasis, penting mengatasi masalah

kepatuhan masyarakat minum obat filariasis yang rendah. POPM filariasis

dilakukan dengan pemberian obat pemberian obat Diethylcarbamazine

Citrate (DEC) dan Albendazole yang terbukti efektif dalam memutus rantai

penularan pada daerah yang endemis filariasis. DEC bersama Albendazole

digunakan untuk mengontrol limfatik filariasis, yang dapat menurunkan

mikrofilaria dengan baik selama setahun. Pemberian sekali setahun selama

minimal lima tahun berturut-turut bertujuan untuk mempertahankan kada

mikrofilaria dalam darah tetap rendah sehingga tindak memungkinkan

terjadinya penularan. (Ritawati, 2016)

Mf rate dan spesies mikrofilaria diketahui dengan melakukan SDJ.

Besar sampel SDJ merujuk pada pedoman Kementerian Kesehatan untuk

survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Jumlah sampel 300 orang/desa dengan

sasaran penduduk >5 tahun. Pemeriksaan dilakukan pada malam hari mulai

35
pukul 20.00 sampai 24.00 terhadap seluruh penduduk desa yang dating pada

kegiatan SDJ, mf- rate dihitung dengan rumus

Jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif


Mikrofilaria rate ¿ x
jumlah sediaan darah yang diperiksa

100

Adapun rumus untuk menghitung kepadatan mikrofilaria dalam darah :

Jumlah mikrofilaria yang ditemukan


Kepadatan Mikrofilaria ¿ x 16,75
jumlah sediaandarah yang positif

Faktor pengali ditetapkan berdasarkan volume darah yang diambil.

Pada penelitian ini volume darah yang diambil sebanyak 60 µl, sehingga

faktor pengalinya adalah 16,75.

POPM Filariasis tidak dilakukan atau ditunda pemberiannya pada ibu

hamil, penderita gangguan ginjal, penderita gangguan fungsi hati, penderita

epilepsi, penderita penyakit jantung dan pembuluh darah, penduduk yang

sedang sakit berat, penderita filariasis klinis kronis sedang mengalami

serangan akut, dan/atau anak dengan marasmus atau kwashiorkor.

Pelaksanaan POPM Filariasis wajib diteruskan selama 2 (dua) tahun

apabila berdasarkan hasil survei evaluasi penularan filariasis menunjukkan

masih terjadi penularan dan/atau cakupan pengobatan tidak memenuh

persyaratan minimal 65% dari penduduk sasaran. Pelaksanaan POPM

filariasis dihentikan apabila berdasarkan hasil survei evaluasi penularan

filariasis menunjukkan tidak terjadi penularan. Setelah penghentian POPM

filariasis telah berlangsung selama 2 (dua) tahun, pada wilayah tersebut

36
dilakukan survei ulang evaluasi penularan filariasis. Jika hasil survei ulang

evaluasi penularan filariasis menunjukkan tidak terjadi penularan, POPM

filariasis tetap dihentikan dan dilakukan survei ulang penularan filariasis

kembali setelah 2 (dua) tahun (Kemenkes, 2014)

Jumlah kabupaten/kota yang masih melaksanakan POPM filariasis di

tahun 2018 adalah sebanyak 131 kabupaten/kota, sedangkan tahun 2017

sebanyak 152 kabupaten/kota. Penurunan jumlah kabupaten/kota yang masih

melaksanakan POPM filariasis disebabkan karena beberapa kabupaten/kota

telah selesai melaksanakan POPM filariasis selama 5 tahun dan sedang

memasuki tahap surveilans. Papua Barat, Maluku, Kalimantan Barat dan

Jawa Tengah adalah provinsi dengan semua kabupaten/kota endemis filariasis

melaksanakan POPM. Sementara itu, Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, dan

Sumatera Barat merupakan provinsi dengan kabupaten/kota yang tidak

melaksanakan POPM filariasis karena sedang dalam masa surveilans pasca

POPM filariasis (Kemenkes, 2019)

37
Gambar …. Jumlah Kabupaten/Kota yang Masih Melaksanakan POPM

Filariasis Menurut Provinsi Tahun 2018

38
F. Tinjauan Umum Tentang ‘’’’’’’’’’’’’’’’’’

Sumber : Profil Kesehatan Indonesia 2018, Tahun 2019

39
G. Kerangka Teori
Kerentanan
yang dirasakan

Variabel Demografi
- Jenis Kelamin
- Usia Keseriusan
- Status perkawinan
yang dirasakan
Pelaksanaan POPM
Karakter Psikologi
- Kepribadian

Health
Motivation

Persepsi
Hambatan

Manfaat yang
dirasakan

Gambar 1. Health Belief Model, Becker, 1974

40
BAB III
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian di daerah Liukang Kalmas di Pulau Doang-Doangan Caddi dan
Pulau Bangko-Bangkoan. Alasan pemilihan lokasi ini karena berdasarkan
keberadaan LF aktif atau kronis.

Multistage sampling, tahap I ditentukan 1 kecamatan tempat ditemukan kasus


(Liukang Kalmas). Tahap kedua dipilih dua desa berdasarkan jumlah kasus kronis
dan kasus aktif terbanyak. Tahap ketiga dipilih dua dusun dari masing-masing
desa, berdasarkan ada dan tidak ada kasus LF aktif

41

Anda mungkin juga menyukai