Anda di halaman 1dari 25

EKOLOGI PEMBEBASAN

RICHARD PEET

Ekologi Pembebasan yang dieditori Peet dan Watt (2004)


menguraikan penjelasan politik-ekonomi yang diambil dari kemajuan
terbaru dalam teori sosial. Ekologi pembebasan mengintegrasikan
pendekatan kritis terhadap ekonomi politik dengan gagasan berasal dari
filsafat pascastruktural. Pencariannya adalah untuk memahami cara
manusia praktik mengubah Bumi dan cara praktik lingkungan, institusi,
dan pengetahuan mungkin ditumbangkan, diperebutkan, dan direformasi.

Di dalam sense Liberation Ecologies berbicara tentang analisis kritis


terhadap degradasi lingkungan dan rehabilitasi yang dibingkai oleh
sesuatu yang disebut pembangunan, dan juga pembebasan potensi
perjuangan dan konflik persis di sekitar proses ini. Ekologi pembebasan
dimulai dari anggapan Marx bahwa hubungan masyarakat alam adalah
hasil dari aktivitas metabolisme dari proses kerja yang dengannya alam
dimanusiakan dan manusia disosialisasikan tetapi menempatkan
metabolisme ini sebagai sosial, budaya, dan diskursif sebanyak itu sempit
"ekonomi." Kondisi produksi yang bertentangan dengan dorongan
komoditas yang digerakkan oleh laba ekonomi, cara-cara tertentu di mana
ia dikonfigurasi dan diubah harus, dalam pandangan kami, terkait dengan
cara kompleks di mana kekuasaan, pengetahuan dan institusi
mempertahankan rezim akumulasi tertentu. Ini yang disebut "kaki ketiga"
dari analisis modernitas pelengkap Foucauldian untuk Weber dan Marx
mewakili bagian dari ekologi pembebasan sebagai perusahaan teoretis.

Dalam hal ini, kritik poststruktural terhadap rasionalitas dan


modernitas Barat memberikan titik pandang kritis untuk menilai klaim
Pencerahan menjadi mutlak objektivitas ilmiah. Memang kita bisa
menambahkan kritik poststruktural terhadap nalar dan sains kritik utama
modernitas dari perspektif environmentalisme. Untuk kita tanggapan
terhadap tidak masuk akal harus menjadi jenis penalaran yang berbeda,
untuk memandu yang berbeda tatanan sosial praktik di alam, dengan
pengetahuan tentang proses alam, dan efek aktivitas manusia pada
mereka, secara sadar diintegrasikan ke dalam hubungan itu sendiri yang
membentuk masyarakat. Penyebab “pembalikan akal sehat”, dan sumber-
sumber resolusi krisis ekologi, keduanya harus dicari dalam hubungan
sosial yang menyatukan pemikiran dengan praktik material. Dalam hal ini,
teori ideologi masih berlaku daya tarik yang besar, bukan dalam arti
menentang klaim Marxian untuk tujuan kebenaran, tetapi dalam arti
bahwa semua sistem pemikiran dipahami sebagai melayani kepentingan
bentuk-bentuk kekuasaan sosial tertentu.

Jika kita menyebut "penalaran" proses konstruksi logika yang


diperebutkan dikontradiksi dengan "rasionalitas" sebagai penemuan logika
laten dalam berbagai hal maka penalaran sebagai proses aktif berarti
merenungkan konsekuensi dari berlatih apriori; "perilaku yang masuk akal"
berkaitan dengan alam melibatkan praktik didisiplinkan oleh pengetahuan
sebelumnya tentang efeknya. Kekurangan dalam kehidupan modern
adalah kemiskinan penalaran dan kurangnya perilaku disiplin daripada
berlebihan (Thompson 1979). Merugikan alam yaitu bertindak terhadap
alam dengan cara yang kita sudah tahu atau, mengingat kompleksitas
interaksi, sangat curiga, untuk menjadi destruktif secara fundamental
mencerminkan secara tepat kejenuhan tanpa alasan ini. Tapi cabang
pemikiran poststruktural dan ekologis yang mengabaikan akal dan ilmu
pengetahuan sebagai panduan untuk tindakan manusia, dalam
pandangan kami, menjalankan risiko besar dari idealisme yang
membuang bayi keluar dengan air mandi. Alasan harus beralasan ulang
bukan daripada ditolak, sains harus diubah dan digunakan secara
berbeda, tidak ditinggalkan. Ekologi pembebasan dengan demikian
mempertahankan gagasan modernis tentang tindakan yang beralasan
alam, menerima banyak kritik Marxian dan pascastruktural terhadap
kapitalis rasionalitas, namun ingin menggantikannya dengan proses
penalaran yang demokratis semacam ruang publik lingkungan dalam
sistem transformasi sosial dan alam.

Seperti yang kami kemukakan dalam bab pendahuluan kami,


gagasan Marxian tentang ideologi, pasca kritik struktural dari alasan
Pencerahan, dan pertanyaan postmodern seluruh proses pembangunan
Barat, membuka jalan untuk lebih serius pertimbangan bentuk alternatif
dari praktik dan pengetahuan lingkungan. kemungkinan muncul untuk
bergabung dengan kritik terhadap Barat, terutama lingkungannya
hubungan dan praktik, dengan apresiasi kritis terhadap rasionalitas
alternatif, hubungan produktif, dan praktik lingkungan dalam masyarakat
non kapitalis. Meskipun demikian, kami akan berhati-hati terhadap jenis
idealisme yang diungkapkan oleh Vandana Shiva (1991) ketika dia
mengklaim dengan yakin bahwa fitur universal India dan gerakan
lingkungan lainnya adalah bahwa mereka menciptakan nilai-nilai baru,
rasionalitas baru, dan “ekonomi baru untuk peradaban baru.” Gerakan
hijau selatan memiliki terlalu mudah dibingungkan, dimuliakan, dan
diidealkan sebagai bentuk hak pilihan yang “asli” dan pemelihara gaya
hidup hijau tradisional (Linkenbach 1994:70). Tidak ada solusi murni,
sempurna, atau mudah menunggu untuk ditemukan disimpan dalam
pikiran yang tidak tercemar dukun atau dipertahankan oleh agro ekologi
petani Dunia Ketiga yang serba tahu karenanya terbukanya pemikiran
materialis pascastruktural terhadap dunia lingkungan pengalaman sama
pentingnya dengan latihan kritik seperti halnya seruan pada kebajikan
pengetahuan lokal atau subaltern.
EKOLOGI ADMINISTRASI
Dr. Sahya Anggara, M.Si.

Ekologi administrasi merupakan lingkungan yang dipengaruhi dan


memengaruhi administrasi, yaitu politik, ekonomi, budaya, teknologi,
security (keamanan), dan natural resource (sumber daya alam).
Peran suatu masyarakat dalam bidang politik (infrastruktur),
ekonomi (pendapatan/institusi), sosial budaya (pendidikan dan agama),
dan hankam (tentram/tertib) jelas sangat memengaruhi jalannya roda
pemerintahan. Sebaliknya, administrasi negara jugaakan memengaruhi
faktor-faktor lingkungannya, dengan jalanmembina, menata, dan
memproses kelangsungan roda pemerintahanuntuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Secara etimologi (asal kata), ekologi berasal dari bahasa Yunani
yang terdiri atas dua akar kata, yaitu oikos berarti rumah, rumah tangga
atau tempat tinggal, dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, ekologi
adalah ilmu tentang rumah atau tempat tinggal makhluk. Umumnya
ekologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara mahluk hidup dan lingkungan.
Adapun administrasi secara sempit berasal dari kata administratie
(bahasa Belanda), meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat,
pembukuan ringan, pembuatan agenda, dan sebagainya yang bersifat
teknis ketatausahaan. Dalam arti sempit tersebut, administrasi adalah
kegiatan yang bersifat tulis-menulis.
Dengan demikian, administrasi dapat dipandang sebagai kegiatan
tata usaha, seperti mengetik, mengirim surat, dan menyimpan arsip.
Dalam arti luas, administrasi meliputi kegiatan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
organisme hidup/makhluk hidup dengan lingkungannya maka administrasi
dapat pula dipandang sebagai organisme hidup yang dipengaruhi dan
memengaruhi keadaan lingkungan. Dengan kata lain, ada hubungan
timbal balik antara administrasi dan lingkungan atau faktor-faktor ekologi.
Artinya, administrasi sebagai organisme hidup bersifat dinamis; berproses
ke arah pencapaiantujuan. Dalam proses inilah, faktor ekologi
menampakkan pengaruhnya, baik secara positif maupun negatif.
Sebaliknya, dalam menghadapi pengaruh tersebut, administrasi yang
tidak statis ini harus mampu memanfaatkan hal-hal yang negatif ke arah
yang positif, setidaknya tidak menghambat proses administrasi.
Administrasi sebagai organisme hidup mempunyai sifat-sifat tertentu agar
memanfaatkan dan mengendalikan faktor-faktor lingkungan.
Konsep dan paradigma administrasi negara mengalami
perkembangan yang cukup cepat. Banyak bermunculan teori kontemporer
dalam khazanah administrasi negara yang mengkritik dan memperkaya
teori-teori klasik, seperti teori tentang organisasi dan birokrasi.
Perkembangan itu wajar karena administrasi negara merupakan bagian
dari ilmu sosial yang memiliki karakteristik yang dinamis, tidak seperti
halnya ilmu-ilmu alam yang cenderung pasif dan positivistik.
Perkembangan teori, konsep, dan paradigma dalam administrasi juga
begitu beragam (distinct) dan unik. Administrasi negara mampu eksis di
tengah persoalan masyarakat yang semakin kompleks dan membutuhkan
solusi yang konkret.
Teori, konsep, dan paradigma administrasi negara telah terkooptasi
dengan ideologi globalisasi yang menginginkan setiap negara, menjadi
satu kesatuan teritorial secara non-fisik. Artinya tidak ada lagi sekat-sekat
atau batas negara yang terlalu jauh untuk dijangkau karena semuanya
dapat dijelajahi dalam waktu singkat dengan memanfaatkan media
teknologi informasi. Dinamika ini membawa pengaruh besar dalam
keilmuwan administrasi negara di berbagai belahan dunia.
Kondisi administrasi negara Indonesia saat ini belum sepenuhnya
berorientasi pada kepentingan publik. Hal ini dapat dinilai dari banyaknya
kritik yang dialamatkan pada instansi pemerintah, baik manajemen,
pelayanan, maupun organisasinya. Semua kritik dan keluhan yang
disampaikan banyak bermuara pada aparatur yang bertugas, mulai dari
tingkat atas sampai bawah. Untuk itu, pengembangan system administrasi
perlu mendapat perhatian yang besar. Hal ini karena pentingnya
pembangunan dan pengembangan sistem, baik dari segi kelembagaan,
prosedur, mekanisme koordinasi dan sinkronisasi, yang harus ditujukan
pada pembangunan tata kepemerintahan yang baik. Selain itu,
pembangunan sistem administrasi, baik dalam skala mikro maupun makro
perlu diarahkan pada terciptanya good governance.
Sejalan dengan itu, perbaikan administrasi negara tidak lepas dari
perbaikan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Semua prasyarat
yang harus dipenuhi untuk menciptakan kepemerintahan yang baik harus
diwujudkan, yaitu penciptaan iklim yang memprioritaskan mekanisme
pasar yang berkeadilan, kepastian hukum, pemakaian praktik-praktik yang
terbaik di bidang administrasi, menyediakan sistem insentif yang sepadan
agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan sehat, serta membuka
partisipasi publik dalam merumuskan kebijakan publik. Kedua, faktor
manusianya sebagai pelaku yang menjalankan.
Dalam praktiknya, administrasi publik memiliki dua peran kunci.
Pertama, dalam ruang publik, administrasi publik terlibat dalam
pengambilan keputusan yang di dalamnya wilayah politik lebih berperan.
Dalam ruang publik, semua keputusan politik dibuat dan bersifat mengikat
ke dalam ataupun keluar. Selanjutnya ruang public memberikan
kewenangan politik pada administrasi publik untuk membentuk perangkat
yang bertugas menegakkan regulasi yang dibuat. Kedua, berdasarkan
kewenangan politik yang diberikan oleh komponen ruang publik,
administrasi publik berhak untuk membentuk perangkat hukum serta
menegakkannya. Secara teoretis administrasi publik direposisi dengan
mendefinisikan “wilayah abu-abu” antara politik dan administrasi karena
memiliki tafsir yang sangat luas. Baik dalam lokus maupun fokus
administrasi publik, wilayah politik dan administrasi memiliki porsi yang
dominan. Wilayah politik dan administrasi yang selama ini menjadi
kelemahan ternyata sangat penting dalam menentukan langkah pada
masa datang.
EKOLOGI, PEMANASAN GLOBAL DAN KESEHATAN
Retno Adriyani dan Anita D.P. Sujoso
Lingkungan merupakan salah satu determinan status Kesehatan
masyarakat. Keberadaan lingkungan yang sehat akan mampu menopang
sumber daya yang ada di sekitarnya untuk menyediakan kebutuhan dasar
manusia dengan optimal. Lingkungan harus dijaga dari kerusakan yang
mengakibatkan daya dukungnya menjadi sirna. Sayangnya, manusia lalai
dalam menjalankan perannya sebagai salah satu penjaga keseimbangan
ekosistem. Berbagai penyakit yang bersumber dari lingkungan
bermunculan, yang jamak disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.
Sering kali lupa, bahwa suatu proses pembangunan itu harus selaras pula
dengan kelestarian lingkungan melalui suatu konsep pembangunan yang
berkelanjutan (sustainability development)
Ekologi biasanya didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya, dan antara
organisme tersebut dengan lingkungannya. Secara etimologi kata ekologi
berasal dari oikos (rumah tangga) dan logos (ilmu) yang diperkenankan
pertama kali dalam biologi oleh seorang biolog Jerman Ernst Hackel.
Definisi ekologi menurut Otto Soemarwoto adalah ilmu tentang hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Dalam kajian ekologi manusia dikenal dengan hubungan manusia
dengan alam yakni teori anthroposentris. Semua yang ada di alam ini
adalah untuk manusia. Namun tidak sedikit dari manusia yang sadar akan
pentingnya menjaga alam. Sebagaimana telah dipahami bahwa alam
merupakan tempat manusia untuk hidup dan berkembang biak. Hubungan
manusia dengan alam saling keterkaitan, dari alamlah manusia mendapat
penghidupan dan tanpa dukungan dari alam manusia dan makhluk lainnya
akan terancam. Ketidakramahan manusia terhadap alam akan berdampak
pada diri manusia dan mahluk lainnyapun akan terancam.
Seperti yang terjadi di udara, yakni pemanasan global. Pemanasan
global yang disebabkan oleh efek rumah kaca yang menyebabkan suhu di
bumi panas. Cahaya matahari penting bagi kehidupan di bumi, tetapi
dengan peningkatan gas di atmosfir bumi, panas yang tertangkap juga
bertambah banyak. Semakin banyak energi panas yang tertangkap, maka
temperaturnya semakin tinggi. Selain itu juga dengan membakar bahan
bakar dan mencegah sebagian cahaya matahari lolos hal tersebut akan
menyebabkan pemanasan global Faktor yang terpenting dalam
permasalahan lingkungan adalah besarnya populasi manusia. Dengan
tingkat pertambahan penduduk yang tinggi, kebutuhan akan bahan
pangan, bahan bakar, pemukiman dan kebutuhan dasar yang lainnya juga
meningkat. Pada gilirannnya juga akan meningkat limbah dosmetik dan
limbah industri sehingga mengakibatkan perubahan besar pada kualitas
lingkungan hidup. Permasalahan ini diperparah dengan ketergantungan
manusia terhadap penggunaan energi dan bahan baku yang tidak dapat
diperbaharui.
Perubahan iklim secara global dapat berpengaruh terhadap
perubahan risiko penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk seperti
malaria, Demam Berdarah Dengue (BDB) dan penyakit-penyakit arbovirus
lainnya. Penularan malaria sangat sensitive terhadap variasi perubahan
iklim. Kelompok masyarakat sensitif di daerah yang non endemis atau
unstable malaria tidak memiliki immunitas sebagai proteksi terhadap
penyakit sehingga kejadian epidemic mungkin terjadi apabila keadaan
iklim mendukung proses epidemi. Terdapat berbagai macam spesies
nyamuk Anopheles sp. Yang tersebar di seluruh Indonesia. Pembahasan
ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai
komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik, faktor abiotik
antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya dan topografi, sedangkan faktor
biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan,
dan mikroba. Hubungan keterkaitan malaria akan memengaruhi
komponen lainnya dan demam berdarah. Hendaknya dilakukan
pencegahan sejak dini terhadap kejadian malaria sehingga angka
kematian dapat diturunkan. Hendaknya dapat dilakukan peneitian lanjut
tentang pencegahan malarian khususnya daerah endimis malaria.
Ekologi nyamuk Aedes aegypty berhubungan dengan terjadinya
kasus DBD di suatu masyarakat. Oleh karena itu diperlukan upaya
pengendalian terhadap perkembang biakan nyamuk Aedes aegypti
sebagai vektor dengan tujuan utama adalah untuk menurunkan kepadatan
populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah–rendahnya sehingga
kemampuan sebagai vektor akan menghilang. Upaya pengendalian
nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor terjadinya DBD tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa cara, meliputi: perlindungan perseorangan,
mencegah nyamuk meletakkan telurnya, mencegah pertumbuhan jentik
dan membunuh telur, pemberian larvisida, melakukan fogging dan
pendidikan kesehatan masyarakat. Perlindungan perseorangan untuk
mencegah terjadinya gigitan nyamuk ini yaitu dengan memasang kawat
kasa di lubang angin; tidur dengan menggunakan kelambu; penyemprotan
dinding rumah dengan insektisida malathion dan penggunaan repellent
pada kulit saat berkebun. Mencegah nyamuk meletakkan telurnya dengan
cara membuang, membakar atau mengubur benda-benda di pekarangan
atau di kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, botol, ban
mobil dan tempat tempat lain yang menjadi tempat perindukan Aedes
aegypti. Mencegah pertumbuhan jentik dan membunuh telur dengan cara
mengganti air atau membersihkan tempat air secara teratur tiap minggu
sekali, pot bunga, tempayan dan bak air mandi. Pemberian larvisida
(abate) ke dalam tempat penampungan air atau penyimpanan air bersih
(abatisasi).
Kebutuhan yang paling penting untuk kelangsungan hidup manusia
adalah makanan dan minuman. Selain bergizi dan menyenangkan,
pangan juga harus aman dari bahaya fisik, kimia dan mikrobiologi. Saat
ini, produsen makanan kurang memperhatikan sisi keamanan dari produk
pangan yang dihasilkan dengan manambahkan bahan berbahaya pada
makanan. Kasus penambahan formalin pada produk ikan, tahu bakso dan
produk awetan lain mungkin sudah sering kita dengan. Selain dari bahan
pangan sendiri, sumber bahaya kimia bisa berasal dari kemasan primer
pangan tersebut. Kemasan pangan yang tidak sesuai dengan standar
keamanan dapat memungkinkan terjadinya migrasi bahan penyusun ke
pangan, sehingga membahayakan kesehatan konsumen. Melamin
(C3N6H6) adalah senyawa kimia organik antara monomer formaldehida
dan fenol yang berbentuk kristal putih dan mengandung 66% nitrogen.
Formaldehida akan muncul menjadi racun bila melamin mengalami
depolimerisasi Banyak peralatan rumah tangga dewasa ini, seperti piring,
mangkuk, cangkir dan lain sebagainya diproduksi dari bahan melamin dan
peralatan tersebut sangat populer dikalangan masyarakat. Hasil
investigasi, melamin juga terdapat dalam produk susu dan produk
berbahan baku susu yang diimpor dari China.
Formaldehida pada melamin dapat muncul dan menjadi racun yang
akan mengganggu kesehatan bila melamin mengalami depolimerisasi.
Dampak terhadap kesehatan akan lebih berat dialami jika melamin
dikombinasikan dengan asam sianurat. Paparan melamin pada manusia
dapat menyebabkan gangguan kesehatan berupa alergi, kanker,
kerusakan fungsi hati, ginjal dan otak. Pelaku usaha yang begerak
dibidang produksi makanan dan minuman dan pelaku usaha yang
bergerak dibidang produksi peralatan rumah tangga harus
mempertimbangkan keselamatan konsumen yang memanfaatkan produk
mereka dalam penggunaan melamin sebagai
bahan produksi.
POLITIK EKOLOGI SOSIAL
JANET BEIHL

Politik ekologi adalah cara pandang dalam memahami persoalan


hubungan antara manusia dan lingkungan. Cara pandang ini banyak
dipengaruhi dari pemikiran neo-marxian tentang underdevelopment,
sebagai kritik dari pendekatan Malthusian dan cultural ecology selama ini.
Oleh karenanya, cara pandang politik ekologi ini lebih menekankan bahwa
persoalan lingkungan bukan semata-mata disebabkan oleh persoalan
internal dalam lingkungan tersebut, tetapi karena pengaruh tekanan politik
dan ekonomi. Oleh karenanya, menurut pandangan politik ekologi,
konseskuensi pola hubungan manusia ddngan alam lebih dipengaruhi
oleh adanya pelabelan yang dilakukan oleh kelompok tertentu, untuk
kemudian dilegitimasi sebagai sebuah kebenaran. Pandangan ini relatif
berbeda dengan pandangan kaum ekologi sebelumnya yang memandang
relasi manusia dengan alam disebabkan karena tekanan internal, seperti
jumlah penduduk (Malthusian) dan persoalan ekplorasi dan konservasi.
Pandangan ekologi aliran Malthusian menyatakan bahwa jika
populasi penduduk bertambah, maka kebutuhan terhadap makanan akan
bertambah, dengan keterbatasan sumberdaya alam, maka akan terjadi
persaingan makanan, akibatnya berpotensi terjadi kelaparan dan
ekspolitasi berlebihan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, aliran
Malthusian berkesimpulan bahwa persoalan lingkungan adalah persoalan
daya dukung dan daya tampung lingkungan. Untuk mengatasi persoalan
tersebut, maka jumlah penduduk harus dikendalikan dengan berbagai
kebijakan.
Berbeda dengan Malthusian, menurut ekologi aliran politik ekologi,
pola hubungan manusia dengan lingkungannya bukanlah persoalan
kepadatan penduduk tetapi lebih disebabkan ketidakmerataan (inequality)
dan faktor tekanan kekuasaan. Oleh karenanya, politik ekologi lebih
mengarahkan cara pandangnya bawah persoalan kerusakan lingkungan
lebih disebabkan karena faktor eksternal yang sifatnya global.
Munisipalisme libertarian merupakan dimensi politis dari gagasan
utama ekologi sosial yang dikembangkan selama beberapa dekade oleh
Murray Bookchin, teoritisi anarkis sosial. Munisipalisme libertarian adalah
salah satu di antara sekian banyak teori politik yang memusatkan
perhatian pada prinsip-prinsip dan praktek-praktek demokrasi. Berbeda
dengan kebanyakan teori lainnya, munisipalisme libertarian tidak
menerima gagasan konvensional bahwa Negara beserta system
pemerintahan yang menjadi khas negara-negara barat dewasa ini adalah
betul-betul demokratis.
Munisipalisme libertarian mengembangkan sejenis demokrasi yang
bukan semata-mata kekuasaan Negara. Demokrasi yang
dikembangkannya adalah demokrasi langsung di dalamnya semua warga
dalam komunitas-komunitas mengelola urusan mereka sendiri melalui
proses pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam pertemuan
langsung (face to face), yang berbeda dengan yang dilakukan Negara
terhadap warganya. Tidak seperti teori-teori “demokrasi” perwakilan,
munisipalisme libertarian membedakan secara tajam antara politik dengan
ke-Negaraan.
Dalam penggunaannya yang konvensional, konsep- konsep ini
memang agak mirip. Politik, sebagaimana kita pahami seperti biasanya,
merupakan komponen penting bagi sistem perwakilan dalam
pemerintahan. Ia adalah seperangkat prosedur dan praktek yang
dengannyalah “rakyat” memilih sekelompok kecil individu para politisi
untuk berbicara dan mewakili mereka dalam lembaga legislative atau
eksekutif.
Munisipalisme libertarian mengembangkan bentuk kepemilikan yang
sepenuhnya bersifat publik. Ekonomi politik yang diajukannya adalah
ekonomi yang tidak dimiliki secara pribadi, juga tidak dipecah menjadi
kumpulan-kumpulan kecil dan tidak dinasionalisasi. Ia adalah ekonomi
yang dimunisipalisasi ditempatkan dibawah kontrol “kepemilikan”
komunitas. Munisipalisasi ekonomi ini berarti “kepemilikan” dan
manajemen ekonomi oleh warga komunitas. Properti termasuk tanah dan
pabrik tidak akan lagi dimiliki secara pribadi tetapi akan diletakkan
dibawah kontrol menyeluruh dari warga dalam majelis. Warga akan
menjadi para “pemilik” kolektif atas sumber-sumber daya ekonomi
komunitasnya dan akan merumuskan dan menyetujui kebijakan ekonomi
bagi komunitas. Merekalah, dan bukan para birokrat dan kapitalis, yang
akan membuat keputusan mengenai kehidupan ekonomi.
Kapitalisme dan ekologi global sama sekali tidak bisa hidup
berdampingan untuk jangka waktu tak terbatas. Pada awalan abad ini,
semata masalah pemanasan global saja toh telah menimbulkan
kekacauan iklim, yang menyebabkan naiknya permukaan air laut,
bencana karena ekstrimnya cuaca, mewabahnya penyakit menular dan
merosotnya lahan tanam sehingga melorotkan juga kapasitas pertanian.
Pada tingkat paling minimal, kelaparan dan penyakit akan meruyak,
sementara Negara akan malah semakin otoriter untuk membungkam
kerusuhan sosial. Pilihan tampaknya kian tegas: Rakyat akan mendirikan
masyarakat ekologis, atau jika tidak, tiang-tiang fondasi masyarakat akan
ambruk. Pemulihan politik dan kewargaan karenanya bukanlah sekedar
pra-kondisi menuju masyarakat bebas. Lebih genting dari itu, ia
tampaknya menjadi pra-kondisi bagi keberlangsungan hidup kita semua
sebagai spesies. Dengan kata lain, problema problema ekologis (itu
sendiri) mendesakkan Tindakan rekonstruksi fundamental dalam
masyarakat.
MEMAHAMI DAN MENEMUKAN JALAN KELUAR DARI PROBLEM
AGRARIA DAN KRISIS SOSIAL EKOLOGI
Laksmi Adriani Savitri, Mohamad Shohibuddin, Surya Saluang

Perubahan ekonomi politik yang terjadi satu dasawarsa terakhir ini


belum mampu menghasilkan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Masih banyak persoalan struktural yang dihadapi:
kemiskinan, pengangguran, kosentrasi kepemilikan aset oleh sekelompok
kecil masyarakat, sengketa dan konflik agraria, krisis pangan dan energi,
hingga penurunan kualitas lingkungan hidup. Berbagai problem struktural
ini telah menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak
dasar mereka.
Data kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada
Maret 2007 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia
mencapai 37,17 juta jiwa, atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia.
Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan tersebut adalah 13,36
persen, sedangkan di kawasan perdesaan mencapai 21,90 persen. Data
ini menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami oleh penduduk
pedesaan yang pada umumnya bekerja sebagai petani dan buruh tani.
Dari total penduduk miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di
pedesaan dan 56 persen di antaranya menggantungkan hidup dari
pertanian.
Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria dan
Krisis Sosial Ekologi ini, memaparkan empat persoalan masalah pokok
agrarian yang ditemukan di seluruh penjuru tanah air, yaitu : (1) konflik
klaim penguasaan dan pemilikan tanah dan sumber-sumber agraria
lainnya: (2) hilangnya penguasaan rakyat atas tanah dan sumber-sumber
lainnya: (3) terbatasnya akses rakyat terhadap sumber-sumberekonomi:
(4) terbatasnya kuasa dan kendali rakyat atas proses kerusakan ekologis.
Dihadapkan pada ragam kondisi dan problem di tiaptiap daerah,
maka penting agar agenda reforma agraria yang dijalankan BPN dapat
diterjemahkan menjadi “menu-menu program” yang spesifik yang dapat
menjawab masalah masalah agraria yang hendak diatasi melalui
pelaksanaan reforma agraria. Banyak masalah agraria ini mengemukakan
sebagai sebuah “kemiskinan yang kronis” melalui berbagai relasi dan
mekanisme sosial-politik tertentu.
Pelaksanaan reforma agraria sebagai gebrakan semacam di atas
hanya dapat dimungkinkan apabila pelaksanaan reforma agraria dapat
ditapakkan pada identifikasi problemproblem kemiskinan, agraria, ekologi,
produktivitas, dan perencanaan pembangunan di daerah bersangkutan,
dan proses pelaksanaannya dilakukan secara kolaboratif dengan
melibatkan multi-pihak. Hanya dengan proses yang demikianlah maka
urgensi pelaksanaan reforma agraria dapat diupayakan menjadi
kesadaran dan komitmen bersama di daerah, menjadi proses partisipatif
yang menjamin keterlibatan banyak pihak, yang pada akhirnya akan dapat
mengantarkan pada integrasi agenda reforma agraria dengan
perencanaan pembangunan di daerah.
Upaya penyelesaian dan penemuan jalan keluar dalam kerangka
reforma agrarian merupakan 4 kebijakan berikut : 1. Penyelesaian konflik-
konflik agrarian ; 2. Penataan ulang struktur agraria yang lebih adil ; 3.
Pengembangan basis-basis penghidupan rakyat yang berkelanjutan dan
4. Perlindungan keberlanjutan fungsi ekologis. Melakukan studi agraria
dipandang dan di posisikan oleh berbagai pihak, tidak serta-merta
menjadikan buku inisekedar berupaya melakukan rekonstruksi
pengetahuan, tetapi justru ingin menampilkan dimensi dari konstruksi
pengetahuan tersebut yang tidak pernah atau arang sekali diungkap.
Paradigma teoritis perlu digunakan sebagai titik berangkat. Cara-cara
partisipatoris akan dipilih untuk membangun ukuran, standart, dan kategori
yang tidak artifisial, sebagai usaha yang semakin mendekat pada paa
multi-realita kehidapan kaum marjinal perdesaan. Dalam keterbatasan
para peneliti yang sebagian besar belum memiliki sejarah keterlibatan
intensif dan panjang, lemahnya alas social semacam ini akan
menyebabkan posisi kritis yang dipilih memiliki resiko untuk disalah
fahami, dimanipulsi untuk mendukung bergam kepentingan yang sedang
bersitegang, maupun ditolak.
Riset sistematis ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan
menjadikan metode pengumpulan data kuantitatif sebagai penjelas kontek
local, terutama terkait pola penghidupan masyarakat pedesaan. Secara
umum, proses analisa data dan temuan-temuan disetiap kabupaten
menggunaan kehidupan keberlanjutan.Analisa dalam konteks pedesaan
dan wilayah mensyaratkan perhatian politik dan jejaring kuasa, gender
dan hubungan kapitalitik beropersi, bagaimana proses-proses pertukaran,
ekstraksi, eksploitasi dan pemberdayaan dari skala local samapai dengan
global terjadi. Kegiatan riset sistematis ini dilakukan di enam kabupaten
yang ditentukan secara purposif untuk dapat menangkap keragaman
masalah yang berkembang beserta ragam program intervensi dan inisiatif
yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Kegiatan riset sistematis dilakukan di enam kabupaten yang
ditentukan secara purposisif. Yaitu : Kabupaten Garut, Ciamis,
Tasikmalaya di Provinsi Jawa Barat, Cilacap di Provinsi Jawa Tengah,
Kulon Progo di Provinsi DIY dan Kabupaten Kendal di Provinsi Jawa
Tengah. Semua lokasi penelitian terdapat inisiatif rakyat untuk
mewujudkan akses petani,
inisiatif itu mencakup berbagai inovasi teknologi tepat guna untuk
peningkatan dan efisiensi produksi, dan bahkan ada pula yang telah
menjangkau tahapan pasca produksi, misalnya pasca produksi. Secara
konseptual, berbagai inisiatif rakyat tersebut dalam penelitian ini
dikonstruksikan sebagai bentuk-bentuk pelaksanaan land reform by
leverage (Pembaruan Agraria Berbasiskan Rakyat, atau disingkat PABR).
DEGRADASI LAHAN DAN MASYARAKAT
PIERS BLAIKIE, HAROLD BROOKFIELD

Produktivitas dan penyebab ketidaksetaraan, tetapi sejauh


lingkungan dianggap sama sekali di sebagian besar literatur ini, itu hanya
sebagai latar belakang pasif terhadap interaksi manusia. Sejauh mana hal
ini sangat luar biasa. Dia berjalan melalui hampir seluruh literatur yang
luas tentang masalah agraria di Amerika Latin, misalnya. Bahkan dalam
serangkaian laporan yang disiapkan di 1960-an untuk Komite Antar-
Amerika untuk Pembangunan Pertanian (CIDA), hasil utama dari
konferensi Punta del Este yang diadakan di setelah revolusi Kuba untuk
menemukan cara menyelesaikan agrarian ketidakpuasan tanpa revolusi,
aspek lingkungan statis dan dijelaskan secara singkat sebagai dasar
untuk informasi nyata tentang penggunaan lahan dan lahan masa jabatan.
Pekerjaan yang sangat substansial pada inventarisasi lingkungan
juga telah dilakukan di Amerika Latin, tetapi titik-titik hubungan antara
agrarian literatur dan literatur lingkungan sangat sedikit hingga hampir
menjadi diabaikan. Ada hubungan yang agak lebih dekat di Afrika, tetapi
tidak dengan titik yang mengarah pada jenis analisis terpadu yang dicari
buku ini.
Di Asia Selatan, telah terjadi curahan karya akademis yang luar
biasa, seperti serta debat politik di semua tingkatan, tentang proses
perubahan agrarian mengikuti inisiasi Revolusi Hijau pada pertengahan
tahun enam puluhan. Namun di sana hampir tidak ada pekerjaan yang
serius, atau setidaknya pekerjaan yang dianggap serius, pada apa yang
sekarang dianggap sebagai salah satu masalah paling serius yang
dihadapi oleh negara-negara Asia Selatan.
Degradasi lahan secara definisi seharusnya menjadi masalah sosial.
Murni proses lingkungan seperti pencucian dan erosi terjadi dengan atau
tanpa campur tangan manusia, tetapi untuk proses ini digambarkan
sebagai 'degradasi' mengimplikasikan kriteria sosial yang
menghubungkan tanah dengan penggunaan aktual atau kemungkinan
penggunaan. Lainnya proses, seperti pengasaman dan salinisasi, jarang
dikenali dalam kondisi alami, setidaknya dalam bentuk akut, dan memiliki
efek yang lebih langsung asal manusia. Kata 'degradasi', dari derivasi
bahasa Latin, menyiratkan 'pengurangan ke peringkat yang lebih rendah'.
'Peringkat' terkait dengan penggunaan aktual atau kemungkinan, dan
pengurangan menyiratkan masalah bagi mereka yang menggunakan
tanah. Saat mendarat menjadi terdegradasi, produktivitasnya menurun
kecuali diambil langkah-langkah untuk memulihkannya produktivitas itu
dan memeriksa kerugian lebih lanjut.
Dalam kedua kasus, hasil kerja dalam hal produksi terpengaruh.
Degradasi lahan, oleh karena itu, langsung mengkonsumsi produk tenaga
kerja, dan juga mengkonsumsi input modal ke dalam produksi. Hal-hal lain
dianggap sama, produk dari pekerjaan terdegradasi tanah kurang dari itu
di tanah yang sama tanpa degradasi.
Signifikansi sosial dari degradasi telah menjadi subyek dari berbagai
macam pandangan daripada debat yang terlibat karena alasan yang
diuraikan oleh Blaikie (1985a:12). Kami berpendapat bahwa dalam kondisi
yang ditentukan itu adalah masalah sebuah perintah utama. Penurunan
produktivitas lahan dan tenaga kerja dapat menjadi dipandang sebagai
'krisis yang tenang' yang bagaimanapun juga mengikis dasar peradaban.
Pertimbangan sederhana ini saja sudah cukup untuk membangun
lahan degradasi sebagai masalah signifikansi sosial. Tapi itu juga perlu
untuk kita argumen untuk menunjukkan bahwa degradasi lahan memiliki
penyebab sosial serta konsekuensi. Sedangkan penyebab fisik tanah
menjadi terdegradasi milik terutama di bidang ilmu alam, alasan mengapa
langkah-langkah yang memadai tidak diambil untuk melawan efek
degradasi terletak tepat di dalam ranah ilmu sosial. Namun masalah
kerusakan sumber daya telah anehnya diabaikan oleh yang terakhir.
Seckler menunjukkan dalam bab 5 bahwa masalah degradasi lahan
sama dapat diterima untuk analisis ekonomi seperti yang lainnya. Tapi,
karena berbagai alasan, ada sangat sedikit dalam cara kerja empiris atau
metodologis pada ekonomi konservasi tanah dan air, berbeda dengan
ekonomi polusi yang memiliki literatur besar. The Journal of Tanah dan Air
Konservasi dan output dari beberapa Departemen Ekonomi Pertanian mdi
Amerika Serikat Midwest mungkin merupakan pengecualian yang
terhormat. Salah satu dari kami (Blaikie 1985a) baru-baru ini berusaha
untuk membuka masalah tentang degradasi lahan sebagai masalah
sosial.
Pada dasarnya, buku itu membangun sebuah angka teori untuk
menjelaskan berbagai aspek degradasi dan konservasi, sebagian besar
diambil dari sudut pandang ekonomi politik. Volume saat ini menawarkan
keragaman pendekatan yang lebih besar, serta cakupan yang lebih luas
bahan studi kasus. Sejumlah isu sosial sentral dalam degradasi lahan
yang hanya menerima perlakuan tematik dalam buku sebelumnya dibahas
di sini secara terperinci. Ini termasuk masalah pengukuran dan ekonomi
menilai kerugian, dan pengaturan kelembagaan yang berbeda untuk
pengelolaan lahan, termasuk milik bersama dan lembaga milik pribadi dan
negara. Lebih khusus lagi, kami juga mengacu pada sejarah yang panjang
dan beragam perspektif untuk fokus pada alasan mengapa pengelolaan
lahan gagal menjadi efektif.
EKOLOGI POLITIK
PHILIP STOTT AND SIAN SULLIVAN
Ekologi Politik: Sains, Mitos, dan Kekuasaan. Ini adalah kumpulan
pengamatan dan analisis tentang penciptaan, legitimasi dan kontestasi
narasi lingkungan yang menarik kekuatan mereka dengan menggunakan
'Big Talk' dari sebuah 'ilmu' yang direifikasi. Semua esai menyelidiki
pandangan konsensus, terutama yang menginformasikan kebijakan di
tingkat nasional dan internasional, yang menarik legitimasi dengan
menggunakan bahasa, jika bukan praktik ilmu-ilmu alam, terutama ekologi
dan hidrologi. mengeksplorasi narasi yang diperebutkan di mana
metodologi 'sains' dapat dilihat sebagai memainkan peran kecil dalam
ikatan sosial yang melegitimasi narasi semacam itu.
Dengan kata lain, esai mencerminkan sejauh mana 'ilmu' lingkungan
secara sosial dan politik terletak, daripada tidak ambigu atau dapat
dipisahkan dari lokasi subjektif manusia. intinya, bagi kami ini
mendefinisikan 'ekologi politik' kontemporer. Ini adalah kekhawatiran
dengan menelusuri silsilah narasi tentang 'lingkungan', dengan
mengidentifikasi kekuatan hubungan yang didukung oleh narasi semacam
itu, dan dengan menegaskan konsekuensi dari hegemoni atas, dan di
dalam, narasi ini untuk pembangunan ekonomi dan sosial, dan terutama
untuk membatasi kemungkinan penentuan nasib sendiri.
Kajian ekologi politik sebelumnya merupakan hasil dari
perkembangan dari ilmu pengetahuan ecology manusia, dan sosiologi
lingkungan. Ekologi manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh
Haeckel pada tahun 1866 sebagai ilmu yang memiliki konsep tentang
hubungan manusia (human system) dengan alam (non‐ human system) di
biosfer. Ekologi manusia melakukan pengkajian-pengkajian pada isu
kehancuran alam dari perspektif konflik social dan mengkaji lembaga
fungsional dalam tata hubungan manusia dengan alam.
Bryant dan Bailey (1997) menjelaskan bahwa ekologi politik menjadi
bidang kajian yang mempelajari aspek-aspek sosial politik pengelolaan
lingkungan, dengan asumsi pokok bahwa perubahan lingkungan tidak
bersifat teknis, tetapi merupakan suatu bentuk politisasi lingkungan yang
melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan baik pada tingkat lokal,
regional, maupun global. Blaikie et al., (1987) mendefinisikan ekologi
politik ini sebagai kombinasi perhatian dari ekologi dan ekonomi politik
dalam
arti luas yakni dialektika antara masyarakat dan sumber daya berbasis
tanah dan termasuk juga dialektika antar kelas dan kelompok di dalam
masyarakat itu sendiri.
Muncul dari perspektif ini adalah berbagai konvensi internasional
tentang lingkungan, yang membatasi tindakan pembangunan para
penandatangan mereka (misalnya, Rio. 1992 Konvensi tentang
Desertifikasi dan Keanekaragaman Hayati, dibahas masing-masing di Bab
1 oleh Sullivan dan Bab 8 oleh Horta). Ini membentuk proses dan peluang
perkembangan dengan berbagai konsep yang telah mengasumsikan
sesuatu yang signifikansi totem di wacana donor dan kebijakan
internasional; di antaranya adalah gagasan tentang 'keberlanjutan',
'komunitas', 'keanekaragaman hayati', serta berbagai istilah yang
menggambarkan ulah manusia 'degradasi' lingkungan ('penggurunan',
'deforestasi', dan seterusnya).
Di Bagian 1 mengeksplorasi konteks spesifik pengetahuan
lingkungan 'ilmiah', 'bukti' yang mendukungnya, alternatif penjelasan untuk
fenomena yang dianggap terdiri dari 'degradasi' lingkungan, dan local
narasi sebagai lawan dari wacana 'resmi'. Deborah Potts, misalnya,
dengan meyakinkan menunjukkan bahwa narasi di Zimbabwe mengenai
degradasi musiman lahan basah yang tergenang air dan erosi tanah yang
meluas tidak didukung oleh penelitian independent mengenai produktivitas
pertanian dan tidak dapat dipisahkan dari posisi politik mereka
mendukung. Hal ini telah mengakibatkan pencemaran nama baik program
pemukiman kembali pemerintah karena bertentangan dengan gagasan
internasional mengenai kekuatan pasar, perdagangan, dan efisiensi
pertanian. Konsekuensinya sangat besar bagi penduduk yang haus akan
tanah. Daerah pedesaan Zimbabwe, yang tetap dilumpuhkan oleh situasi
ketidakadilan yang terus berlanjut dalam pembagian tanah.
Di Bagian 2 kami telah mengidentifikasi sumber daya utama air
sebagai 'kasus mani' yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi
masalah ini lebih lanjut. Bahwa buku berisi fokus pada air ini
mencerminkan keberadaan dari 'Kelompok Studi Masalah Air'"
internasional yang bertemu secara teratur di School of Studi Oriental dan
Afrika (SOAS) dan dipimpin oleh Tony Allan. Tony Allan Bab ini
menekankan pentingnya persepsi risiko bagi pembuatan kebijakan
lingkungan dan kelembaman dalam perubahan kebijakan yang terjadi
ketika pengetahuan lingkungan yang dominan bertahan. Dalam hal ini,
para politisi dari wilayah yang paling langka air di dunia, yaitu minyak-
negara-negara kaya di Timur Tengah dan Afrika Utara, mampu
mempertahankan ilusi bahwa wilayah tersebut cukup air karena memiliki
akses ke 'air virtual' bersubsidi berupa impor gandum melalui
perdagangan global. Situasi seperti itu bertentangan dengan penggunaan
air yang konservatif dan penetapan harga permintaan yang membebani
konsumen dan, berbeda dengan pergerakan lingkungan Barat, telah
muncul untuk mencegah munculnya konstituen regional yang peduli
tentang eksploitasi sumber daya air secara berlebihan.
Di Bagian 3, Hubungan Kekuasaan, Global ke Lokal', kita melihat
lebih cermat pada perbedaan skala 'hubungan kekuasaan' lingkungan
dunia. Dalam melakukan ini, kami membahas secara eksplisit implikasi
dari pengamatan bahwa banyak narasi lingkungan yang dominan,
termasuk yang berkaitan dengan deforestasi, penggurunan, hilangnya
keanekaragaman hayati, dan pemanasan global, telah menjadi semakin
ditegakkan melalui konvensi dan protokol internasional, dimediasi melalui
kontrol dan pengelolaan dana donor. Konvensi ini, didukung oleh meta-
narasi yang dilegitimasi oleh ilmu analitis barat, bertindak untuk
membatasi tertentu kegiatan pembangunan. Mengingat hubungan antara
Utara dan Selatan, kaya dan miskin, dan sebagainya pada, mereka
dengan demikian dapat mempertahankan dan bahkan memperburuk
ketidaksetaraan struktural yang ada.

Anda mungkin juga menyukai