Anda di halaman 1dari 7

Review 2

Kelas Paradigma dan Teori Antropologi


TINJAUAN ARTIKEL KARYA PROF. HEDDY SHRI AHIMSA PUTRA
ANTROPOLOGI EKOLOGI: BEBERAPA TEORI DAN PERKEMBANGANNYA

SITTI MONIRA FYENCI F. LAYA


22/500146/PSA/20167
PROGRAM STUDI MAGISTER ANTROPOLOGI BUDAYA
2022
Dalam artikel ini membahas dinamika wacana ilmiah antropologi ekologi yang muncu
l karena adanya berbagai peristiwa di dalam dan di luar disiplin ilmu ini sendiri. Dalam antrop
ologi ekologi, perpindahan dari analisis sistemik ke analisis proses tercermin pendekatan ya
ng lebih memusatkan pada pelaku (aktor). Dalam model ini fokus analisis adalah pada prose
s pengambilan keputusan dan seorang pelaku tertentu yang mencoba memecahkan masala
h yang dihadapinya berdasarkan atas pengetahuaanya mengenai situasi saat ini. menurut A
himsa Putra bahwa dalam antropologi ekologi analisis pengambilan keputusan individu ini tid
aklah sama dengan analisis proses. Analisis ini hanya sebagian kecil dari trend analysis pro
cess dalam disiplin ilmu antropologi.
Dalam paragraf awal studi antropologi ekologi dijelaskan, sebab kemunculannya kar
ena Steward menerbitkan essainya dan mengeluarkan pernyataan mengenai “bagaimana in
teraksi antara kebudayaan dan lingkungan dapat dianalisis dalam kerangka sebab-akibat ta
npa harus terpeleset ke dalam partikularnya”. Namun, lingkungan lokal itu sendiri bagi Stew
ard bukanlah faktor yang sangat menentukan. Menurut perspektif ekologi budaya unsur-uns
ur pokok adalah “pola-pola perilaku”, yakni kerja dan teknologi yang dipakai dalam proses ek
ologi budaya. Titik perhatiannya adalah pada analisis struktur sosial dan kebudayaan. Perha
tian baru diarahkan pada lingkungan bilamana lingkungan mempengaruhi atau menentukan
pola-pola tingkah laku atau organisasi kerja. Tujuan umum ekologi budaya dari Steward adal
ah “untuk menjelaskan asal-usul, ciri-ciri dan pola-pola budaya tertentu yang tampak di berb
agai daerah yang berlainan. Antorpologi ekologi berusaha menentukan apakah penyesuaian
diri berbagai masyarakat manusia pada lingkungannya memerlukan bentuk-bentuk perilaku t
ertentu ataukah penyesuaian diri tersebut bersifat luwes, artinya masih memberikan ruang d
an kemungkinan pada berbagai pola perilaku lain yang mungkin diwujudkan.
Menurut Ahimsa Putra kelemahan dari ekologi budaya yang dikembangkan oleh Ste
ward adalah terselipnya campuran dari determinasi teknologi. Vayda dan Rappaport meman
dang kebudayaan manusia sebagaimana kita memandang perilaku hewan. Kebudayaan har
us diperlakukan dan ditafsirkan dengan cara yang sama seperti perliaku atau bagian dari per
ilaku spesies l;ain, misalnya dalam aspek adaptifnya dan interaksi konsekuen dengan seleks
i alam. Perhatian pada unit-unit analitis seperti populasi manusia, ekosistem dan komunitas
biotik dimana populasi manusia tercakup di dalamnya, dan tidak lagi dipusatkan pada gejal
a-gejala budaya atau gejala yang bersifat ideologi. Ekologi budaya Steward terdapat empat
aliran, yakni: pendekatan etnoekologi, pendekatan ekologi silang-budaya, pendekatan kultur
al, ekosistemi materialistik.
Pendekatan etnoekologi yang dicetuskan dengan latar belakang linguistik yang kuat.
Tujuan dan metode dari pendekatan ini berasal dari etnosains. Tujuan etnosains, adalah mel
ukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Asumsi dasarnya adal
ah bahwa lingkungan atau “lingkungan efektif” bersifat kultural sebab lingkungan “obyektif” y
ang sama dapat, dan pada umumnya dilihat atau dipahami secara berlainan oleh masyaraka
t yang berbeda latar-belakang kebudayaanya. Dengan pendekatan etnoekologi ini diharapka
n kita akan mampu menebak perilaku orang dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan
lingkungan. Saya sepakat dengan pendapat Ahimsa Putra bahwa pandangan orang menge
nai lingkungan merupakan bagian dari mekanisme yang menghasilkan perilaku fisik yang ny
ata, lewat mana orang secara langsung menciptakan perubahan dalam lingkungan fisik mer
eka. Selain itu etnoekologi juga tidak memiliki prosedur-prosedur yang dapat diterapkan sec
ara universal pada etnosistematik untuk mendapatkan etnoekologi ataupun relasi-relasi yan
g nyata dalam suatu sistem ekologi. Menurut Ahimsa Putra kelemahan dari pendekatan ini a
dalah ketidakmampuannya untuk memberika berbagai informasi pada peneliti mengenai pro
ses-proses ekologi dan relasi-relasi dalam lingkungan yang secara tidak disadari mempenga
ruhi manusianya. Tujuan dari pendekatan etnoekologi melukiskan perilaku budaya dengan
memformulasikan apa yang harus diketahui oleh seseorang agar dapat memberikan tangga
pan yang secara kultural tepat dalam suatu konteks sosio-ekologis.
Pendekatan ekologi silang-budaya dimunculkan oleh Netting dan Goldschmidt, penel
itian yang dilakukan melalui pendekatan ini bersifat “ekologi budaya” sebab yang dipelajariny
a adalah populasi manusia yang ditentukan secara budaya dan perhatiannya lebih diarahka
n pada aspek budaya proses adaptasi suatu kelompok masyarakat daripada aspek fisiknya.
Strategi silang-budaya didefinisikan dengan jelas dan prosedurnya diikuti dengan seksama.
Menurut Ahimsa Putra kerangka teoritis dan strategis penelitian yang diadopsi dalam peneliti
an tampak masih berada dalam tradisi ekologi budaya Steward, yang membedakannya adal
ah ciri-ciri yang sikap dan kepribadian dari masyarakat yang diteliti.
Pendekatan ekosistemik: kultural dan materialistik, kerangka teori ekosistem mendap
atkan metodenya dari ilmu biologi dan ekologi umum. Istilah ekosistem untuk menunjukan s
etiap sistem yang berfungsi dan berinteraksi, yang terdiri dari satu atau lebih organisme dan
lingkungan efektifnya. Geertz mendefinisikan ekosistem sebagai suatu sistem di mana varia
bel-variabel budaya, biologis dan fisik yang sudah dipilih memang betul-betul saling berkaita
n. Aliran keempat dalam antropologi ekologi, yaitu versi yang materialistik dari analisis ekosi
stemik, adalah antropologi ekologi neo-fungsional. Kerang teori yang digunakan disini yaitu
penekanan yang lebih besar pada perilaku fisik yang nyata, lewat mana manusia secara lan
gsung mempengaruhi dan mengubah lingkungannya. Pendekatan ekologi umum dalam antr
opologi akan dapat mengungkapkan tidak hanya cara bekerjanya atau berfungsinya unsur-u
nsur kebudayaan namun juga asal-usulnya dan kehadirannya. Saya sepakat dengan penda
pat Ahimsa Putra bahwa kekurangannya adalah metode digunakan yang jarang menghasilk
an sesuatu yang maksimal.
Kritik terhadap pendekatan Ekosistemik Materialistik yang dituangkan oleh Ahimsa P
utra ialah model dari ekologi umum, mengajukan pertanyaan apakah suatu unsur kebudaya
an bersifat adaptif atau tidak. Yang terjadi masalah disini adalah bahwa seleksi alam atau te
kanan yang selektif memang dapat bekerja dengan baik dalam alam organisme, namun tida
k dalam dunia manusia. Ahli-ahli antropologi fungsional lebih tertarik untuk mengungkapkan
fungsi tersembunyi gejala-gejala yang dipelajari. Namun demikian, pernyataan mereka bahw
a beberapa praktek tertentu membawa akibat-akibat ekologis yang menguntungkan yang tid
ak disadari oleh manusianya, tidaklah menjelaskan praktek-praktek itu sendiri. Menurut saya
dari statment yang dikatakan diatas kejadian ini berawal dari fungsi yang seharusnya berlak
u sehingga praktek ekologis yang diuntungkan oleh manusia, oleh karena dalam praktek sua
tu masyarakat selalui memiliki sejumlah alternatif organisasi dan teknologi untuk menghadap
i lingkungannya, maka bila ditemukan bahwa suatu alternatif yang kemudia ditempuh ternyat
a adalah adaptif, hal itu tidak harus berarti bahwa kemungkinan tersebut adalah satu-satuny
a atau yang mutlah harus diikuti.
Ahimsa Putra memiliki asumsi salah lainnya adalah pandangan bahwa suatu pranata
sosial berfungsi terutama untuk mempertahankan stabilitas lingkungan yang lebih luas. Hal i
ni berarti bahwa ekosistem yang homeostatis mendahului sub-sub sistem yang membentukn
ya, dan fenomena evolusi akan dianggap sebagai hasil dari equilibrium yang bergerak dan b
ukannya hasil dari seleksi alam atau tekanan selektif, pandangan seperti ini tentu saja tidak
seluruhnya benar adanya. Semua kritik yang dilancarkan pada berbagai elemen dalam anali
sis neo-fungsional menyadari kelemahan yang mendasar dari pendekatan ini. Mengadopsi p
endekatan ekologi umum, ada tiga keuntungan yang bisa didapat, yakni: 1. hubungan-hubu
ngan fungsional atau bekerjanya suatu ekosistem dapat dideskripsikan, 2. variabel-variabel
yang dikemukakan dapat diukur dan dideskripsikan lewat istilah-istilah yang kuantitatif, 3. as
al-usul berbagai unsur kebudayaan juga dapat diperjelas.
Munculnya antropologi ekologi baru mengingat Vayda lebih memperhatikan masalah
bagaimana mekanisme-mekanisme budaya memberikan sumbangan pada terciptanya kesei
mbangan-keseimbangan antara populasi manusia dengan sumber-sumber daya mereka. Ke
rangka teori ini dilakukan pendekatan fungsional atau sistemik, Ahimsa Putra menuliskan ba
hwa Vayda mulai lebih tertarik pada masalah ketimpangan dalam hubungan manusia denga
n lingkungannya. Artkel yang dituliskan oleh Vayda berusaha merumuskan generalisasi-gen
eralisasi mengenai perang itu sendiri serta dinamika dalam sistem-sistem sosial dan ekologi.
Tujuannya adalah proses adaptasi manusia terhadap kekacauan yang terjadi dalam lingkun
gannya. Dalam analisis penekanan pada efisiensi penangkapan enerhu hanya bermanfaat d
alam suatu situasi di mana enerji merupakan faktor yang menentukan. Saya sepakat denga
n statment yang dituliskan oleh Ahimsa Putra ialah pandangan yang berpusat pada soal kes
eimbangan yang dianut oleh para ahli ekologi juga telah dikritik karena ketidakmampuannya
untuk menangani masalah-masalah kontemporer seperti pengotoran, kepunahan berbagai s
pesies flora dan fauna, pertambahan penduduk.
Berhubungan dengan unit analisis, beberapa ahli ekologi menolak pandangan bahwa
ekosistem merupakan suatu sistem yang mengatur dan menentukan dirinya sendiri dengan t
ujuan-tujuan seperti meningkatkan efisiensi enerji atau produktivitas, efisiensi daur-ulang ba
ha gizi, biomas. Melihat berbagai kritik dalam biologi dan ekologi, sama dengan berbagai cat
atan terhadap neo-fungsional dalam antropologi ekologi, serta perkembangan disiplin terkait.
Vayda dan McCay kemudian mengusulkan sebuah perspektif baru bagi antropologi ekologi,
yang lebih memusatkan perhatian pada masalah-masalah lingkungan dan berbagai tanggap
an atau respon yang diwujudkan untuk menghadapi masalah tersebut.
Banyaknya masalah yang ditimbulkan oleh pembangunan menciptakan kritik-kritik ter
hadap dampak yang dari hal modernisasi yang merugikan masyarakat meningkat. Pembang
unan pertanian dan pasang naik perspektif etnosains tidak selamanya menguntungkan. Pem
bukaan lahan yang membuat orang pada masa itu yakin bahwa masalah kelaparan dapat di
pecahkan dengan penerapan teknologi modern dalam pertanian. Ahimsa Putra mengutarak
an tentang masalah lain adalah arah pertumbuhan ternyata sangat tidak merata, sehingga ti
mbul ketimpangan yang makin lebar, selain itu program-program pembangunan ternyata tel
ah menyebabkan naiknya barang impor secara tajam di negara yang kurang maju. Hal ini m
endorong mereka untuk meninjau kembali strategi-strategi mereka, perubahan-perubahan k
ebijaksanaan pada tingkat mikro mulai dianggap penting, sebab hal semacam ini dapat men
gungkapkan berbagai proses adaptasi lokal dalam peristilahan sejarah dan fungsi, serta dap
at menampilkan bagian-bagian dari sistem pengetahuan setempat yang memainkan perana
n penting dalam proses pengetahuan yang memainkan peranan penting dalam pengambilan
keputusan.
Menurut Ahimsa Putra bahwa dilibatkannya masyarakat setempat dalam proses-pros
es pengambilan keputusan atau dalam perencanaan pembangunan dan penerapannya me
mpunyai implikasi bahwa konsep-konsep lokal, pandangan hidup dan berbagai kategori yan
g ada dalam bahasa masyarakat setempat haruslah dipahami. Dalam berbagai kesempatan
ini para ahli antropologi berhasil menunjukkan kearifan masyarakat setempat serta membua
tabir etnosentrisme yang tanpa disadari telah menghalangi pandangan para ahli atau perenc
ana dari kearifan lokal yang tersembunyi. Saya setuju dengan statment ini karena peran ma
syarakat sekitar memanglah penting untuk menghadapi masalah-masalah yang ingin dipeca
hkan.
Munculnya perspektif baru lainnya alam antropologi ekologi yang diusulkan Vayda da
n McCay. Pendekatan ini muncul sebagai reaksi atas berbagai masalah yang muncul dalam
rekayasa sosial dan pembangunan pedesaan, pengalaman Lees dengan sejumlah pemban
gunan menyadari bahwa tidak ada proyek hasilnya persis seperti yang diharapakan oleh per
ancang. Sosial-ekonomi suatu masyarakat bisa menghasilkan sesuatu yang justru merugika
n. Ahimsa Putra menyimpulkan bahwa selalu dan akan selalu ada dampak negatif atau berb
agai cacat dalam berbagai program pembangunan.
Setiap proses perubahan ekologis dapat dilihat atau ditafsirkan secara berbeda oleh
kelompok sosial yang berbeda. Mempelajari proses-proses sosial dan ekologis yang memba
ngkitkan imbalan tertentu dapat menghalangi berbagai keputusan yang merusak dalam pen
ggunaan sumber daya. Menurut saya kesadaran masyarakat mengenai variabel lingkungan,
mengenai bagaimana dan sampai di mana mereka menghubungkan kerusakan sumber day
a dengan pemanfaatan tertentu, tergantung dari strategi individual atau kolektif. Di tengah-te
ngah situasi semacam itulah sejumlah kajian yang menggunakan pendekatan etnoekologi d
an etno-pengambilan-keputusan muncul dalam antropologi ekologi.
menurut Ahimsa Putra skeptisme di kalangan ahli antropologi dan biologi terhadap m
anfaat konsep ekosistem dalam studi ekologi. Konsep ekosistem masih bermanfaat (1) seba
gai alat heuristik untuk konseptualisasi kemanunggalan sistem sosial dengan sistem biologi;
(2) dalam mendorong pengumpulan data kuantitatif yang teliti dari berbagai komponen dan r
elasi dalam sistem, serta (3) sebagai kerangka untuk merumuskan dan menguji hubungan a
ntara manusia dengan lingkungan. Masalah evolusi atau bilamana dia dihadapkan pada fakt
or-faktor manusia yang sangat bervariasi. Melihat keterbatasan-batasan pendeketan ekuilibri
um dalam ekologi manusia dan mempertanyakan berbagai asumsi penciptaan unit-unit sepe
rti kebudayaan, masyarakat, komunitas dan ekosistem sebagai unit analisis dalam ilmu ekol
ogi dan ilmu sosial.
Dalam artikel ini Ahimsa mengatakan mengenai Vayda mulai mengembangkan suatu
strategi penelitian untuk pendekatan problem-nya dengan cara progressive contexvialization
dan memfokuskan perhatian pada aktivitas manusia yang penting atau berbagai interaksi m
anusia - lingkungan dan kemudian menjelaskan interaksi ini dengan menempatkannya dala
m konteks yang makin lama makin luas dan padat. Metode ini adalah prinsip rasionalitas, ya
ng dimana berbagai aktivitas dan interaksi yang sedang dikaji secara rasional menggunakan
pengetahuan dan sumber daya yang ada untuk mencapai segala tujuan mereka dalam berb
agai situasi khusus. Ahimsa Putra berpendapat dengan pendekatan ini kita tidak perlu lagi b
eranggapan bahwa interaksi manusia-lingkungan yang menjadi perhatian si peneliti harus m
erupakan komponen atau wujud dari sistem yang sudah lebih dulu ditentukan. Memahami g
ejala yang dikaji secara empiris terus menerus dapat menempatkan interaksi yang diteliti dal
am konteks, kadang-kadang dengan jauh melampaui batas bangsa, negara, pulau, kadang-
kadang karena sudah puas sama sekali malah tidak melampaui batas-batas sebuah desa.
Saya setuju dengan pendapat yang disampaikan oleh Ahimsa Putra mengenai para
peneliti harusnya mengikuti kebiasaan dari masyarakat sekitar, dilihat dari cara mereka mem
hami berbagai kegiatan yang mereka amati serta sebab-akibatnya, tanpa harus membuat as
umsi mengenai kegiatan atau kelanggengan kelompok-kelompok yang melakukan berbagai
kegiatan tersebut. Vayda memandang pendekatannya sebagai pendekatan indvidualis di ma
na kepercayaan, pengetahuan, sumber daya, situasi, tujuan dan maksud indivisu semuanya
dimasukkan dalam penjelasan perilaku manusia. “Individualis” lainnya yang berasal dari ata
u dipengaruhi oleh antropologi kognitif dan ekonomi mikro, memperlakukan variabel-variabel
lingkungan sebagai bagian dari serangkaian kendala luar yang relatif statis. Persepektif indiv
idualis ini berbeda karena pendekatan ini menyatakan bahwa “tidak hanya tindakan namun j
uga akibat-akibatnya terhadap lingkungan dapat menjadi obyek-obyek penjelasan. Pada peri
laku yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, sedang akibat perilaku manusia terhada
p lingkungan agak terabaikan. Menurut Ahimsa Putra dengan dimasukkan unsur-unsur moti
vasi, kepercayaan, pengetahuan, sumber-sumber daya, tujuan dan maksud, dalam berbagai
penjelasan ekologi manusia, hal itu tidaklah berarti bahwa ahli antropologi harus memiliki as
umsi tentang tujuan atau maksud dari subyek yang perilakunya akan dijelaskan, sebab seba
gian dari asumsi ini secara teoritis atau empiris telah ditolak. Implikasi untuk hal diatas adala
h bahwa orang harus lebih berhati-hati dalam menggunakan konsep-konsep seperti adaptas
i strategi adaptif, pemecahan masalah, dan sebagainya, sebab konsep-konsep ini semua m
erupakan konsep yang tidak harusnya digunakan setidaknya bisa menunjukan efeksi.
Pendapat saya mengenai tulisan ini adalah banyak kritikan yang tajam mengenai an
alisis ekosistemik, analisis neo-fungsional dalam antropologi ekologi. Namun demikian, kriti
k-kritik yang ditimbulkan tidak membuat ditinggalkannya pendekatan neo-fungsional, ataupu
n membuat beberapa ahli antropologi enggan menggunakannya bilamana perlu. Mungkin m
etode yang dilakukan kurang cocok dengan realitas yang dihadapkan. Berdasarkan uraian y
ang dituliskan Ahimsa Putra membuka perspektif baru mengenai pendekatan ekologi sekara
ng tentang gejala dan peristiwa yang sedang terjadi. Tetapi dalam pendekatan antropologi e
kologi yang bertahan, kita masih menunggu metode yang pas dengan keadaan sekarang, s
ehingga menurut saya tulisan ini masih menggantungkan apa langkah yang harus dilakukan
calon antropologi selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai