Anda di halaman 1dari 4

Tiga Teori Etika Lingkungan: Egosentris, Homosentris, dan Ekosentris

19 January 2010 10:01 AM - oleh aprillins

Teori etika lingkungan hidup ini diharapkan mampu menimbulkan pemahaman baru terhadap masalah lingkungan hidup yang tidak terpisah dari kosmologi tertentu yang dalam kenyataannya tidak menumbuhkan sikap eksploitatif terhadap alam lingkungan. Pengembangan etika lingkungan hidup diperlukan utuk mengendalikan adanya perubahan secara mendasar dari pandangan kosmologi yang menumbuhkan sikap hormat dan bersahabat dengan alam lingkungan (J. Sudriyanto, 1992:13). Krisis ekologi dewasa ini telah meluas dan sangat berpengaruh pada pandangan kosmologi yang menimbulkan eksploitasi terhadap lingkungan. Relevansi pemikiran untuk memberikan landasan filosofis yang lebih mahal dan cocok semakin diperlukan. Semuanya ini terfokus pada manusia, sebagai peletak dasar dari semua permasalahan ini, serta mencari kedudukannya dalam seluruh keserasian alam yang menjadi lingkungan hidupnya. Maka, suatu etika yang mampu memberi penjelasan dan pertanggungjawaban rasional tentang nilai-nilai, asas dan norma-norma moral bagi perilaku manusia terhadap alam lingkungan ini akan sulit didapatkan tanpa melibatkan manusia. Masalah ekologi tidak cukup dihadapi dengan mengembangkan etika lingkungan hidup. Kalau sudah menyangkut kesejahteraan masyarakat, pemikiran etis saja tidak akan berdaya tanpa didukung oleh aturan-aturan hukum yang dapat menjamin pelaksanaan dan menindak pelanggarnya. Untuk itu perlu diketahui berbagai teori yang membangun pemikiran tentang etika lingkungan hidup (J. Sudriyanto, 1992:13).
Etika Egosentris

Etika yang mendasarkan diri pada berbagai kepentingan individu (self). Egosentris didasarkan pada keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan tindakan apa yang dirasa baik untuk dirinya. Egosentris mengklaim bahwa yang baik bagi individu adalah baik untuk masyarakat. Orientasi etika egosentris bukannya mendasarkan diri pada narsisisme, tetapi lebih didasarkan pada filsafat yang menitikberatkan pada individu atau kelompok privat yang berdiri sendiri secara terpisah seperti atom sosial (J. Sudriyanto, 1992:4) Inti dari pandangan egosentris ini, Sonny Keraf (1990:31) menjelaskan: Bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan diri sendiri Dengan demikian, etika egosentris mendasarkan diri pada tindakan manusia sebagai pelaku rasional untuk memperlakukan alam menurut insting netral. Hal ini didasarkan pada berbagai pandangan mekanisme terhadap asumsi yang berkaitan dengan teori sosial liberal.

1. Pengetahuan mekanistik didasarkan pada asumsi bahwa segala sesuatu merupakan bagian yang berdiri sendiri secara terpisah. Atom-atom merupakan komponen riil dari alam. Begitu juga manusia yang merupakan komponen riil dari masyarakat. 2. Keseluruhan adalah penjumlahan dari bagian-bagian. Hukum identitas logika (A=A) mendasari penggambaran alam secara matematis. Demikian pula masyarakat, yang tidak lain merupakan penjumlahan dari banyak pelaku rasional individu. 3. Mekanisme mempunyai asumsi bahwa banyak sebab eksternal berlaku dalam berbagai bagian internal. Serupa dengan masyarakat, hukum dan berbagai aturan yang dipaksakan oleh penguasa akan ditaati oleh rakyat secara positif. 4. Perubahan dapat terjadi dengan cara menyusun kembali bagian-bagiannya. Bangunan tuntutan masyarakat ditentukan oleh bagian-bagiannya. 5. Ilmu mekanis selalu dualistik, seperti, pengetahuan mekanis menempatkan bagian individu sebagai komponen utama dalam pembangunan timbul korporat. Etika egosentris menempatkan manusia sebagai individu paling utama dalam pembangunan lingkungan sosial (J. Sudriyanto, 1992:15)

Secara teoritis, terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.(Sony Keraf: 2002) Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satusatunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral, yang dilihat dalam istilah Frankena--sebagai satu-satunya moral patient (William K. Frankena:1979). Akibatnya, secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. Etika antroposentrisme ini dalam pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology (kepedulian lingkungan yang dangkal). Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan".(Fritjof Capra:1997) Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan

biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal sebagai Deep Ecology. Sebagai istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973. di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis. Etika ini dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekadar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme dan biosentrisme. Dengan demikian, Deep Ecology lebih tepat disebut sebagai sebuah gerakan diantara orang-orang yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan alam, dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan dan politik. Akar gerakan Deep Ecology telah ditemukan pada teori ekosentrisme pada umumnya dan kritik sosial dari Henry David Thoureau, John Muir, D.H. Lawrence, Robinson Jeffers, dan Aldo Huxley. Pengaruh Taoisme, Fransiskus Asisi, Zen Budhisme, dan Barukh Spinoza juga sangat kuat dalam teori-teori dan gerakan Deep Ecology (George Session:1995) Bagaimanapun keseluruhan organisme kehidupan di alam ini layak dan harus dijaga. Krisis alam yang terasa begitu mengkhawatirkan akan membawa dampak pada setiap dimensi kehidupan ini. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang hierarkis. Melainkan sebuah satu kesatuan organis yang saling bergantung satu sama lain. Sebuah jaring-jaring kehidupan yang harmonis. Antroposentrisme Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.

Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri Biosentrisme dan Ekosentrisme Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism) materi referensi: http://www.telapak.org/index.php?option=

Anda mungkin juga menyukai