Anda di halaman 1dari 30

KUMPULAN ARTIKEL

1. KONTRADIKSI DAN TITIK TEMU ANTARA EKOSENTRISME DAN


ANTROPOSENTRISME
2. PERAN SOSIOLOGI LINGKUNGAN DAN EKOLOGI MANUSIA DI DALAM
KONSEP DAN IMPLEMENTASI SUSTAINABLE DEVELOPMENT
3. DETERMINISME KARAKTERISTIK LINGKUNGAN ALAM TERHADAP CORAK
INTERAKSI KOMUNITAS

Disusun sebagai tugas terstruktur Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Sosiologi Lingkungan

Dosen Pengampu:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Iwan Efendi

NIM : L1C018044

Prodi/Kelas : Sosiologi/B

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLIITIK

UNIVERSITAS MATARAM

2021

1
Daftar Isi

Halaman Judul

Daftar Isi……………………………………………………………………………………2

A. KONTRADIKSI DAN TITIK TEMU ANTARA EKOSENTRISME DAN


ANTROPOSENTRISME…………………………………………….………………….3
B. PERAN SOSIOLOGI LINGKUNGAN DAN EKOLOGI MANUSIA DI DALAM KONSEP
DAN IMPLEMENTASI SUSTAINABLE DEVELOPMENT…………………………………9
C. DETERMINISME KARAKTERISTIK LINGKUNGAN ALAM TERHADAP CORAK
INTERAKSI KOMUNITAS………………………………………………..………………..24

Daftar Pustaka………………………………………………………………………..39

2
A. KONTRADIKSI DAN TITIK TEMU ANTARA EKOSENTRISME DAN
ANTROPOSENTRISME

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak luput dari perdebatan intelektual yang sering
terjadi pada ilmu pengetahuan untuk mengembangkan teori atau konsep. Suatu konsep agar
bisa bertahan dalam dunia keilmuan perlu adanya proses kritis terhadap pandangan para
ilmuan yang membuat teori tersebut. Perlu pahami bahwa teori merupakan konsep yang
digunakan untuk menganalisis semua gejala sosial yang ada. Menurut Gibbs, menyatakan
bahwa “Teori adalah sejumlah pertanyaan yang saling berhubungan secara logis dalam
bentuk penegasan empiris tentang berbagai jenis peristiwa yang tidak terbatas ” (Damsar,
2017) . Teori sangat penting dipahami oleh setiap akademisi untuk melihat realitas yang
ada dengan kacamata teori.

Dalam perseteruan ilmu pengetahun terjadi dialektika ideal yang didasarkan atas
pertentangan antara ide-ide. Pertentangan tersebut terjadi proses antara tesis (ide asal) dan
antithesis (ide tandingan) di mana pada dua titik tersebut terjadi sintesis, kemudian sistensis
tersebut mengalami giliranya mengalami tranformasi menjadi tesis baru. Dalam
pertentangan dengan tesis baru tersebut , muncul antithesis baru lagi,dan akhiranya kedua
tesis yang bertentangan ini bergabung menjadi sintesis baru yang lebih tinggi tingkatannya
(Johnson, 1986 dalam Damsar,2015).

Etika Lingkungan

Etika lingkungan adalah suatu tindakan yang mengatur tingkah laku manusia terhadap
alam. Menurut Keraf (2002), etika lingkungan adalah refleksi kritis tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi kongkret, situasi khusus tertentu. Jika
dalam filsafat memandang bahwa etika linkungan adalah filsafat moral atau ilmu yang
membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, dan
bagaimana harus bertindak dalam situasi kongkret. Salam (1997) menjelaskan bahwa
pengertian etika adalah sebuah refleksi kritis yang dan rasional mengenai nilai dan norma

3
moral yang menentukan dan terwujudnya dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia,
baik secara pribadi maupun kelompok. Etika betjuan untuk membantu manusia bertindak
secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan. Setiap tindakan memiliki kosekuensi atas
apapun yang dilakukan terhadap alam tersebut. Adapun prinsip etia lingkungan menurut
Keraf, yaitu 1) sikap hormat terhdap alam, 2) prinsip tangungjawab, 3) solidaritas kosmis,
4) prinsip kasih saying dan kepedulian terhadap alam, 5) prinsip tidak merugikan terhadap
alam, 6) prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, 7) Prinsip keadilan, 8) Prinsip
demokrasi, 9) Prinsip intergrasi moral. Kesembilan prinsip etika lingkungan tersebut
diharapkan mampu memfilter lingkungan hidup sebagai bentuk mewujudkan pembangunan
yang berkelanjutan untuk menjaga sumber daya alam agar tetap seimbang sehingga bisa
dikelola oleh generasi-generasi selanjutnya.

antroposentrisme dan ekosentrisme

Perbedaan penpatan antar ilmuan sering kali terjadi untuk mendapatkakn suatu kesimpulan
dari suatu konsep atau teori yang dicetuskan oleh seorang tokoh. Sebelum itu kitas harus
memahami dua perspektif etika lingkungan yang menjadi landasan berkembangannya ilmu
tentang lingkungan. Adapun teori tentang lingkungan hidup sebagai berikut:

1. Teori Antroposentrisme
Antropsentrisme adalah teori lingkungan hidupo yang memandang manusia sebagai
pusat dari alam semesta. Perspektif ini juga merupakan teori filsafat yang
mengatakan bahwa nilai dan prinsip moralnya hanya berlaku bagi manusia dan
bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia mempunyai nilai yang tinggi. Jadi
manusia dijadikan tingkatan tertinggi dalam ekosistem lingkungan hidup sehingga
semua kepentingan manusia bisa dilakukan tanpa perlu memperhatikan lingkungan
alam sekitar terlebih dahulu. Maksudanya ketika manusia ingin mengekploitasi
alam bisa saja berdasarkan kepentinganya sendiri tanpa mementingkan alam yang
ada sekitarnya sehingga dapat menimbulkan dampak bagi manusia sendiri jika
terlaly berlibahan dalam mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDM).

4
Bagi teori ini etika hanya berlaku pada manusia. Dengan demikian segala tuntutan
mengenai perlunya kewajiban dan tangungjawab moral manusia terhadap
lingkungan hidup sekitar di annggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak
relevan, dan tidak pada tempatnya.

Kewajiban dan tangung jawab manusia lebih kepada sama jenisnya.kewajiban dan
tangungjawab terhdap alam hanya merupakan perwujudan kewajiban dan tangung
jawab moral terhadap manusia, bukan pada perwujudan dan kewajiban dan tangung
jawab moral manusia terhadap alam. Antroposentrisme memaparkan bahwa hanya
manusia yang berhak mendapat pertimbangan moral sedangkan makhluk lainnyahanya
digunakan sebagai sarana dalam pencapaian berbagai macam tujuan manusia.Etika ini
dianggap hanya berlaku bagi komunitas manusia, etika dalam aliran ini meman-dang
bahwa manusia adalah pusat dari alamsemesta, memiliki nilai lebih, dan alam
dilihathanya sebagai objek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia (Nurkamilah, 2018).

2. Teori Ekosentrisme

Teori Ekosentrisme adalah perpekstif pemakaian etika lingkungan untuk mencangkup


komunitas ekosistem secara menyeluruh. Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari
teori etika lingkungan biosentrisme. Jadi teori ini sering disamakan begitu saja karena
pendapat banyak kesamaan.Seperti teori antroposentrisme yang memiliki kesmaan
dengan ekosentrisme, namun memiliki perbedaan dalam cara pandang tentang moralitas
terhadap alam. Seperti etika lingkungan ekosentrisme memiliki konsep Deep Ecology
untuk menjelaskan kepedulian manusia terhadap lingkungan. Menurut penafsiran
(Nurkamilah, 2018), Paham ekosentrisme atau deep ecology memiliki kesamaan
dengan biosentrisme, perjuangan , penyelamatan, dan kepedulian terhdap alam tidak
hanya mengutamkan penghormatan atas spesies, melainkan perhatian setara atas
seluruh kehidupan. Artinya etika ini berlaku untuk semua komponen kehidupan
ekologis yang ada pada eskosistem lingkungan.

5
Kemudian kepedulian yang diusulkan manusia terhdap lingkungan dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendalam dan mendasar,ketika dia (manusia)
melakukan tindakan. Perlnya kesadaran ekologis yang mendalam untuk memperhatikan
lingkungan sebagai suatu moralitas kehidupan. Kesadaran ekologis mendalam adalah
kesadaran spiritual atau religious, karena ketika kosnep tentang jiwa manusia
dimengerti sebagai pola kesadaran di mana individu merasakan suatu rasa memiliki
kepada kosmos/alam semesta sebagai suatu keseluruhan.

Deep ecology merupakan gerakan nyata yang disarkan pada perubahan paradigm
secara revolusioner, yaitu perubahan cara pandang, nilai dan gaya hidup. Penkanan
yang diberikan konsep lebih kepada kepentingan dan kelestarian lingkungan alam.
Pandangan juga berdasarkan etika lingkungan yang kritikal dan mendudukkan
lingkungan tidak saja objek moral, tetapi subjek moral. Maka semua yang hidum dalam
komunitas lingkungan maupun manusia atau mahluk hidup lainnya memiliki perlakuan
yang haruss sama dalam penegakan prinsisp-prinsip keadilan kontesknya pada
hubungan manusia dan lingkungan sesame moral subjek.

Kontradiksi Antroposentrisme dengan Ekosentrisme

Pada Kontestasi paradigma antroposentrisme-Ekosentrisme memberikan pandangan


yang berbeda pada etika lingkungan. Kontestasi merupakan kontroversi, pertikaian,
perdebatan, tantangan, perselisihan untuk bersaing dan berjuang menentang (Paxson,
2007). Dalam konteks penelitian ini makna kata kontestasi lebih mendekati pada persaingan
gagasan yaitu paradigma antroposentrisme dan ekosentrisme pada masyarakat.

Persaingan gagasan tersebut menentukan bagaimana kebijakan, tindakan dan sikap


atas kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Menurut Fritjof Capra dalam Keraf (2014)
karena krisis pemahaman maka menyebabkan terjadinya bencana lingkungan hidup. Krisis
pemahaman ini bersumber dari kenyataan bahwa manusia secara khusus institusi-institusi
sosial yang ada menganut cara pandang yang sudah tidak sesuai dengan jaman, sebuah
pemahaman tentang realitas yang sudah tidak memadahi lagi dalam memahami dunia yang

6
semakin global. Oleh penganut ekosentrisme kehadiran investasi sawit dianggap sebagai
ancaman bagi manusia dan alam. Sejumlah penelitian memberikan kritik terhadap praktik
perkebunan sawit yang merusak keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem dan
menyebabkan pemanasan global, konflik sosial, pelanggaran HAM dan konflik dengan
satwa liar, potensi kelangkaan bahan makanan (Cahyandito & Ramadhan, 2015; Li, 2015;
Budidarsono, Susanti & Zoomers, 2013; Nantha & Tisdell, 2009). Sedangkan penganut
Antroposentrisme menganggap bahwa investasi sawit merupakn keuntungan tersendiri
yang dimiliki manusia sehingga kepentingan manusia lebih di utamakan dari pada
kepentingan alam itu sendiri. Alam semesta tidak memiliki nilai instrinsik pada dirinya
sendiri, selain nilai pada dirinya sendiri, selain nilai instrumental ekonomis bagi
kepentingan manusia sendiri.

Perbedaan perspektif sangat berimplikasi pada tindakan manusia terhadap melalui


kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengelola alam sekitar. Paradigma Anprosentrisme
sering berseberangan dengan paradigama Ekosentrisme sekarang ini. Antroposentrisme
memiliki kesalahan mendasar yaitu: Pertama, manusia hanya dipandang sebagai mahluk
sosial, identitas manusia dibentuk dalam komunitas sosialnya tidak dipandang sebagai
suatu kesatuan ekologis dimana manusia menjadi bagian dari alam juga dibentuk oleh alam.
Kedua, etika hanya berlaku bagi komunitas manusia saja, alam dan isinya merupakan alat
bagi kepentingan manusia. Ketiga, pemisahan secara tegas bahwa manusia sebagai subjek
ilmu pengetahuan dana lam merupakan objek (Sutoyo,2013 dalam Haryono).

Dengan melihat kontradiksi antar antroposentrisme dengan ekosentrisme dapat


menjadi perhatian lebih bagi ilmuan dalam mencari titik temu antar kedua paradigm ini
sehingga dapat memberikan paradigm baru dalam etika lingkungan. Hasil peneliitan yang
dilakukan Haryono dalam tesisnya berjudul : “Kontestasi Antroposentrisme-ekosentrisme
pada masuknya investasi sawit di Laman Santong, Ketapang, Kalimantan Barat”
menyatakan bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ada satu dari dua belas
subjek yang mempunyai informasi yang cukup tentang sawit, sebelas lainnya hanya
mendengar. Ketidakcukupan informasi tentang sawit menciptakan kekhawatiran tentang
nasib dan masa depan mereka jika investasi sawit masuk, sehingga ada aksi penolakan

7
berupa penggalangan petisi. Kontestasi antroposentrisme-ekosentrisme terjadi secara
personal dan simbolik, perbendaharaan pengetahuan menjadi lebih esensial daripada
kontestasinya. Investasi sawit akhirnya diterima dengan berbagai syarat. Terjadinya
kontradiksi tersebut membrikan dampak dari paradigma yang tidak konsisten dengan alam.

Titik temu paradigma antroposentrime-ekosentrisme

Pertentangan-pertangan yang terjadi dalam suatu paradigma pasti memiliki titik temu yang
menengahi kontradiksi yang terjadi dalam suatu paradigma yang berbeda. Capra dalam
Haryono (2020) menyebutkan bahwa antroposentrisem adalah ekologi dangkal (shallow
ecology) yang berbeda dengan ekosentrisme yang merupakan ekologi mendalam (deep
Ecology). Ekologi dangkal adalah antroposentris yang melihat manusia berada di atas atau di luar
alam, sebagai sumber dari semua nilai, dan menganggap alam hanya sebagai suatu instrumen,
atau menggunakan nilai kepada alam. Ekologi mendalam tidak memisahkan manusia dari
lingkungan alam, maupun tidak memisahkan segala sesuatunya dari lingkungan alam.

Simpulan yang bisa diambil dari perbedaan paradigma diatas adalah pemisahan
antara kepentingan manusia dan alam menjadi cikal bakal dari adanya kontradiksi
paradigma. Jadi titik temu paradigma antropesentrisme-ekosentrisme terdapat munculnya
paradigma baru untuk menghubungkan kedua paradigma tersebut, yaitu: paradigma non
antroposentrisme berpandangan bahwa tidak saja manusia, semua mahluk hidup bahkan
seluruh ekosfer juga memiliki nilai pada dirinya. Alam dan seluruh mahluk perlu pula
mendapatkan pertimbangan moral. Untuk menemukan solusi dari kontradiksi antar
paradigma dengan memakai perspektif baru biosentrisme yang memandang bahwa “
Manusia bernilai dan berharga karena nilai kehidupannya (Ohoiwutun,2020).
Kosekuensinya,alam secara keseluruhan sebagai sebuah komunitas kehidupan adalah
sebuah komunitas moral. Jadi etika tidak lagi bukan sekadar dimengerti secara terbatas dan
sempit yang berlaku pada manusia saja, namun mencakup seluruh komunitas kehidupan.

8
B. PERAN SOSIOLOGI LINGKUNGAN DAN EKOLOGI MANUSIA DI
DALAM KONSEP DAN IMPLEMENTASI SUSTAINABLE
DEVELOPMENT

Pembangunan berkenlanjutan adalah upaya manusia untuk memperbaiki mutu


kehidupan dengan tetap berusaha tidak melampaui ekosistem mendukung kehidupnnya.
Tujuan pembangunan ini pada dasarnya untuk menjaga kelestarian Sumber Daya Alam
(SDA) sehingga dapat diperuntukan kepada generasi selanjutnya . Kemudian sistem
pembangunan di dunia dapat berubah dengan mementingkan etika lingkungan agar alam
tidak tereskploitasi oleh manusia itu sendiri karena sistem kapitalis yang sudah mengakar
pada manusia yang hanya mengambil keuntungan untuk kepentingan sendiri.

Seluruh dunia sudah menggunakan sistem pembangunan berkelanjutan yang dapat


menjaga eksistensi alam tetap ada sesuai dengan rantai ekosistem yang ada di alam
liar.Pembangunan Berkelanjutan merupakan kesepakatan pembangunan yang masih
digunakan oleh dunia yang dicanangkan sejak tahun 2015 untuk menuju pembangunan
yang berkelanjutan di tahun 2030 mendatang, kemudian ini menjadi basis untuk
memformulasikan kebijkan pembangunan yang sesuai dengan tujuan Sustainable
Development 2030 yang disepakati oleh dunia internasional.

SDGS 2030 berlandasankan kesamaan atas hak asasi manusia untuk mendorong
pembangunan sosial , ekonomi , dan lingkungan hidup. Adapun tujuan munculnya Tema
pembangunan keberlanjutan yaitu: 1) Mengkaji sejauh mana sasaran-sasaran SDGs dapat
tercapai di wilayah Indonesia; 2) Memetakan di bidang-bidang SDGs apa dan provinsi-
provinsi yang memerlukan perhatian lebih besar. Ini menjadi landasan semua negara untuk
menjaga keberlanjutan pembangunan sesuai visi dan misi SDGs.

Pembangunan Berkelanjutan dapat segera tercapai dengan peran dari sosiologi lingkungan
dan ekologi manusia. Perlu adanya penggunan konsep tersebut untuk dapat mempercepat

9
tujuan pembangunan pada bidang lingkungan atau alam. Sebagaimana diketahui bahwa
akhir-akhir ini beragam bencana alam dapat dikatakan ‘rutin’ terjadi di berbagai belahan
dunia, tanpa terkecuali di Indonesia. Melalui beragam media massa kita dapat mengetahui
beragam bencana alam hampir selalu terjadi setiap hari. Mulai dari banjir, tanah longsor
dan lain sebagainya. Aneka ragam bencana alam ini tentu menjadi persoalan bagi manusia,
tanpa terkecuali bagi masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal sebagai kawasan yang
memiliki beragam sumberdaya alam, seperti hutan dan sungai. Dengan memiliki
sumberdaya-sumberdaya alam tersebut seharusnya Indonesia menikmati beragam
keuntungan dan jauh dari bencana alam. Bencana alam seperti banjir bandang yang terjadi
di Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat (Bima), seharusnya tidak terjadi karena
Indonesia memiliki sumberdaya hutan yang luas membentang di sepanjang kawasan
Nusantara ini. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, untuk keperluan beragam
kepentingan hutan ditebang dan kawasannya digunduli serta lingkungan menjadi rusak
sehingga mengemukalah banjir dan tanah lonsor.

Sosiologi sebagai sebuah kajian ilmu pengetahuan dituntut untuk mampu


menganalisis dan memahami-memahami persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Lingkungan merupakan aspek yang dikatakan dapat terlambat menjadi bagian dari objek
kajian (the subject matter) oleh sosiologi di bandingkan yang lainnya. Beberapa pakar
menilai bahwa keterlambatan perhatian sosiologi pada lingkungan dapat dikatan sangat
terlambat. Ilmu sosiolologi hanya mengkaji hubungan antar manusia tanpa memasukkan
unsur lingkungan. Kenyataan ini dapat dimengerti karena kehadiran sosiologi lingkungan
untuk membantu mewujudkan Sustainable Devlopment di tahun 2030 mendatang.

Begitupun dengan ekologi manusia menjadi sangat penting dalam perannya


mencapai tujuan SDGs. Menurut Soerjani, ekologi manusia menganut falsafah, yaitu

a. Manusia harus mampu mempertahankan kelangsungan kehidupan dirinya,


keturunannya serta sesama manusia yang lain;
b. Yang baik untuk manusia juga harus baik untuk Alam, dan baik untuk makhluk hidup
lain karena perolehan serta manfaat yang diperolehnya sangat tergantung pada Alam itu

10
sendiri, baik secara langsung ataupun melalui kebutuhan serta ketergantungan manusia
akan makhluk hidup lain.

Ini menjadi cukup jelas bahwa ekologi manusia dapat memiliki peran aktif untuk
memberikan kontribusi dalam pembangunan keberlanjutan dalam konsep ataupun
pratiknya. Maka hubungan manusia dengan alam tidak terlepas dari simbiosis mutualisme
atau saling menguntungkan, bukan hanya berdasarkan kepentingan manusia saja.

Peran penting sosiologi lingkungan dan ekologi manusia

1. Sosiologi Lingkungan

Sosiologi lingkungan adalah cabang ilmu yang memusatkan perhatian dan mengkaji pada
keterkaitan manusia dengan lingkungan (alam). Menurut Dunlop dan Catton (2012) ,
sosiologi lingkungan berdiri dengan beberapa konsep yang saling berkaitan:

Persoalan-persoalan lingkungan dan ketidakmampuan sosiologi konvensional untuk


membicarakan persoalan-persoalan tersebut merupakan cabang dari pandangan dunia yang
gagal menjawab dasar-dasar biofisik struktur sosial dan kehidupan sosial.

a. Masyarakat modern tidak berkelanjutan (unsustainable) karena mereka hidup pada


sumberdaya yang sangat terbatas dan penggunaan di atas pelayanan ekosistem jauh
lebih cepat jika dibandingkan kemampuan ekosistem memperbaharui dirinya. Dan
dalam tataran global, proses ini diperparah lagi dengan pertumbuhan populasi yang
pesat.
b. Masyarakat menuju tingkatan lebih besar atau lebih kurang berhadapan dengan
kondisi yang rentan ekologis.
c. Ilmu lingkungan modern telah mendokumentasikan kepelikan persoalan lingkungan
tersebut dan menimbulkan kebutuhan akan penyelesaian besar-besaran jika krisis
lingkungan ingin dihindari.
d. Pengenalan dimensi-dimensi krisis lingkungan yang menyumbang pada
‘pergeseran paradigma’ dalam masyarakat secara umum, seperti yang terjadi dalam

11
sosiologi berupa penolakan terhadap pandangan dunia Barat yang dominan dan
penerimaan sebuah paradigma ekologi baru.
e. Perbaikan dan reformasi lingkungan akan dilahirkan melalui perluasan paradigma
ekologi baru di antara publik, massa dan akan dipercepat oleh pergeseran paradigma
yang dapat dibandingkan antara ilmuan sosial dan ilmuan alam.

Lebih lanjut, dalam kajian sosiologi lingkungan, beragam perilaku sosial seperti
konflik dan integrasi yang berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan, adaptasi
terhadap perubahan lingkungan atau adanya pergeseran nilai-nilai sosial yang merupakan
efek dari perubahan lingkungan harus dapat dikontrol. Hal ini dilakukan agar kemunculan
pengaruh-pengaruh berupa faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan kondisi lingkungan
(eksogen) dapat terdeteksi atau dikenali dengan jelas. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa sosiologi lingkungan adalah cabang sosiologi yang mengkaji aspek-aspek
lingkungan, seperti pemanfaatan sumberdaya alam serta pencemaran dan kerusakan
lingkungan yang dilakukan oleh manusia dengan beragam alasan sebagai dampak
ikutannya.

Konseptualisasi Alam·Menurut Sosiologi Llngkungan

'Koppen (2000) mengidentifikasi tiga konsepsi dalam memandallg alam yang kini
tengah berkembang dalam sosiologi lingkungan. Tiga konsepsi tersebut merupakan hasil
induksi Van Koppen terhadap berbagai karyc sosiC'!og lingkungan. dan para ilmu'van yang
berkecimpung di arena yang berhubungan erat dengan sosiologi lingkungan ,seperti
sosiologi pedesaan. sejarah lingkungan hidup. dan filsafat lingkungan). serta para ilmuwc.n
sosial yang memberi pengaruh terhadap debatlingkungan hidup (seperti Habermas.
Luhmann. Beck). Tiga konsepsi teisebut masing-masing berangkat dari . pendekatan dan
fokus yang berbeda dalam memandang alam. yakni;

1'. pendekatan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.

2. pendekatan interpretasi "arcadian" terhadap alam

3.pendekatan konstruksi sosial alam.

12
Munculnya sosiologi lingkungan sebagai cabang dari ilmu sosiologi sangat
relevan dengan tujuan dari pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dicanangkan
oleh para pemimpin dunia , termasuk Indonesia guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi
kesenjangan dan melindungi lingkungan. Peran sosiologi lingkungan dalam memberikan
gagasan serta kajian dapat terakomodir sehingga memberikan percepatan dalam
pengimplentasi SDGs 2030.

2. Ekologi Manusia

ekologi berasal dari kata oikos (Yunani) yang artinya “rumah tangga” dan logos, yang
artinya studi atau mempelajari. Jadi ekologi adalah ilmu yang membahas rumah tangga
(makhluk hidup). Dengan kata lain, ekologi mempelajari lingkungan rumah tangga dari
seluruh makhluk hidup di dalam rumah tangganya, serta seluruh proses yang berfungsi
untuk memungkinkan rumah itu dihuni para penghuninya (Odum,1983 dalam Soerjani).
Ekologi mengungkapkan secara utuh menyeluruh pola, tatanan dan hubungan timbal-
balik antara makhluk hidup sesamanya dengan semua faktor dalam lingkungan
hidupnya itu.

Pada mulanya ekologi manusia dibagi dalam dua cabang yang terpisah: ekologi
tumbuhan (plant ecology) dan ekologi hewan (animal ecology) yang sebenernya
kurang tepat karena konsepnya tentang komunitas manusia, tumbuhan dan hewan.
Hubungan antara hewan juga tidak dapat dipisahkan pada konsep rantai makanan.
Ekologi manusia juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan dan
interaksi antara manusia, biologi, kebudayaan, dan lingkungan tempat kebudayaan
tersebut berkembang.

Pembagian ekologi yang lain adalah membedakan studi ekologi yang memusatkan
perhatian pada satu jenis makhluk hidup yang disebut autekologi, sedang yang
membahas lebih dari satu jenis disebut sinekologi. Jadi salah satu autekologi, misalnya
ekologi dengan pembahasan yang terpusat pada manusia disebut ekologi manusia.

13
Ekologi manusia yang memusatkan permasalahan pada dan di sekitar manusia, tentu
tidak mungkin meninggalkan pembicaraan tentang makhluk hidup lain di luar manusia.
Misalnya, tumbuhan, padi, sayur, hewan, kucing, nyamuk, dan kambing yang ada
hubungannya dengan manusia tidak akan luput dari pembahasan. Demikian pula halnya
autekologi dari kucing, nyamuk atau kambing, manusia mungkin juga dibahas
hubungannya dengan kucing, nyamuk atau kambing, dan sebagainya. Dalam sinekologi
masalahnya berbeda karena tidak ada satu jenis makhluk hidup yang akan menjadi
pusat pembahasan. Contohnya, ekologi hutan lindung karena di dalamnya terdapat
berbagai jenis hewan dan tumbuhan, jenis-jenis itu akan dibahas hubungannya satu
dengan yang lain.

Konsep ekologi dimaknai sebagai peluang kehidupan keserasian, godaan kehidupan


yang menimbulkan bencana sehingga mengancam peradaban. Ini merupakan konsep,
prinsip maupun hukum dasar ekologi manusia menjadi perpektif yang membantu
tercapinya tujuan pembangunan berkelanjutan. Istilah ekologi manusia pertama kali
diperkenalkann oleh Ernst Hacckel, seorang alhi biologi Jerman yang menekankan ekologi
manusia dengan adanya hubungan timbal balik antarsemua komponen kehidupan dalam
satu sistem. Sedangkan Menurut Abdoellah, Secara filosofis, ekologi manusia bertumpu
pada pandangan ontologies yang menyatakan bahwa manusia dan lingkungan bukanlah dua
entitas yang dipisahkan satu dengan lainnnya. Jadi Konsep teori yang berkembanng dalam
ekologi manusia memadukan banyak disiplin dari tradisi ilmu sosial maupun ilmu alam,
terutama ekologi itu sendiri.

Ekologi manusia menyelidiki tentang kehidupan manusia seperti


perekonomian,pola hubungan sosial terstruktur antarindividu, kekuasaan dan perpoloitikan,
serta nilai dan tatanan norma yang ada dalam masyarakat yang membentuk lingkungannya
dalam timbal balik yang dialektis. Untuk memahami hubungan ini, sosial budaya ekologi
manusia tidak hanya menyasar pada tatanan sosial budaya, tetapi juga aspek-aspek

14
ekologis sebagai satu kesatuan yang yang holistik dengan dengan kehidupan sosial budaya.
Dasar kajiann ekologi manusia adalah konsep perubahan dan adaptasi lingkungan hidup.
Lingkungan hidup senantiasa selalu berubah dengan cepat dengan perkembangan teknologi
yang pesat memberikan perubahan ekologi sangat dinamis. Perubahan lingkungan hidup
mengharuskan setiap organisme beradaptasi. Dalam proses beradaptasi terhadap habitatnya.
Jadi manusia memerlukan yang namanya mekanisme biologis sekaligus kultural.
Dalam ekologi manusia, lingkungan fisik manusia di pahami sebagai ekosistem
atau kesatuan ekologis. Seperti udara, air, tanah, organisme hidup, dan konstelasi unsur-
unsur terhubung melalui jaringan energi yang menginformasikan segala aktivitas manusia
di dalamnya termasuk ekosistem. Sebagai aktor manusia selalu berada dalam interaksi
timbal balik atau metabolistik dengan alam, baik lingkungan alamiah maupun lingkungan
buatan untuk melangsungkan hidupnya. Terkait dengan sistem sosiokulturalnya, manusia
berinteraksi dengan manusia lainnya di dalam fisik ini. Hubungan manusia dengan
lingkungannya dan sesame akan berdampak lingkungan karena manusia adalah bagian
yang dinamis dari suatu ekosistem.

Secara ekologis manusia melihat dirinya sebagai bagian integral dari suatu
ekosistem atau “ruang hidup” dengan hubungan fungsionalnya yang tak terpisahkan antara
sistem sosial dan biofisik. Kehidupan masyarakat, terutama masyarakat premodern, sangat
tergantung pada fungsi ekosistemya. Dalam konteks masyarakat pramodern, pranata-
pranata sosial tradisional, seperti ritual, sepertinya hanya terkait dengan sistem sosial.
Namun, nyatanya juga terkait dengan tindakan mereka terhadap alam, terutama
pemeliharaan lingkungan. Ritual yang melibatkan materu dan energi dari lingkungan
misalnya menebang pohon, berburu, menangkap ikan, dan memanen tanaman pangan tidak
hanya terkait dengan keyakinan ritual yang dilaksanakan untuk kesalamatan dari gangguan
kekuatan gaib, tetapi juga memperkuat ikatan emonsional dengan materi dan energy yang
di mamfaatkan sehingga ketidakseimbangan yang berujung pada bencana alam bisa
dihindari (Reichel-Dolmatoff,1976 dalam Soerjani,2017).

15
Melalui makna dan nilai sosial budaya, manusia dapat membentuk lingkungan
sekaligus dipenagruhi oleh kondisi lingkungan dengan cara yang berbeda dari spesies
lainnya. Manusia menyadari bahwa kehidupannya sangat berbeda bergantung pada
lingkungan. Lingkungan alam adalah sumber daya utama bagi kehidupan sehingga
pengelolaannya pun harus dijaga agar sesuai dengan kebutuhan sistem sosial dan ekosistem
untuk mencapai keberlanjutan hidup.
Pembangunan berkelanjutan tidak akan terlepas dari konsep yang memberikan
pandangan bahwa pentingnya lingkungan atau alam bagi keberlanjutan hidup manusia.
Interaksi mahluk dan alam selalu ada dalam kehidupan sehingga memberikan dorongan
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Perlu untuk diketahui bahwa sumber daya
alam tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri tanpa bantuan manusia. Contohnya ketika
ada penebangan hutan semua ekosistem yang ada di hutan tersebut menjadi terganggu
sehingga harus diperbaiki untuk menjaga stabilitas alam. Manusia sebagai mahluk yang
memiliki pikiran atau akal yang harus memiliki peranan dalam memperbaiki itu semua.

Konsep ekologi manusia menyadarkan kita bahwa dalam pengimplementasian


pembangunan keberlanjutan perlu adanya perpektif ekologis untuk membentuk simbiosis
mutalisme dalam kehidupan bersama di muka bumi ini. Mengacu pada ekologi yang
memperlajari berbagai jenis hubungan timbal balik timbal-balik antarberbagai kompenen
yang membentuk suatu lingkungan yang kompleks.

Filsafat ilmu pengetahuan mengajarkan pendekatan menyeluruh dari suatu sistem


yang utuh yang disebut pemikiran yang holistik. Artinya, mempelajari ekologi berarti harus
mengenal bagian-bagian atau komponen-komponen dalam sistem; dan bagaimana bagian
atau komponen yang ada itu terkait satu dengan yang lain, baik langsung maupun tidak
langsung. Semua bagian memiliki maknanya sendiri-sendiri dan bagian-bagian itu dapat
direduksi sampai yang sekecil-kecilnya. Bagian-bagian ini dipelajari dalam merologi
(meros = bagian) dan hal ini berkembang dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang
disebut reduksionisme atau atomisme yang dipelopori oleh Isaac Newton.

16
Dalam ekologi, bagian-bagian ini dilihat dalam satu kesatuan. Keutuhan sistem ini
sangat penting karena dalam mengelola sistem, upaya untuk mengatur bagian-bagian
sebagai satu kesatuan menjadi dasar utama dalam mengatur perilaku kita. Misalnya, saja
kalau di rumah kita merasa terganggu oleh Tikus, dan cicak maka secara utuh harus dilihat
mengapa tikus dan cicak itu begitu banyak jumlahnya sehingga menimbulkan gangguan.
Upaya mengatasi gangguan tikus dan cicak menggunakan zat beracun untuk membunhnya
tidak akan menuntaskan masalah karena kehadiran mereka mempunyai makna yang sering
kali tidak terpikirkan dan tidak terduga.

Kehadiran mereka dalam arti positif adalah untuk memanfaatkan adanya ceceran
makanan, sisa minuman, gangguan nyamuk,dan lain-lain. Makna positif dari kehadiran
mereka adalah membersihkan lingkungan yang “kotor dan serangan Nyamuk”. Jadi, dalam
pendekatan holistik, cara yang terbaik adalah menjaga kebersihan karena, dalam sistem
yang bersih, “bantuan” Tikus dan cicak untuk membersihkannya dan terhindar dari gigitan
nyamuk . Dengan adanya pendekatan holistik ini tidak berarti bahwa pendekatan atomisme
atau reduksionisme tidak penting. Berbagai macam penyakit kanker misalnya hanya dapat
dikenal kalau dipelajari anatomi sel, bahkan dipelajari secara subseluler, molekuler atau
submolekuler sehingga dapat diketahui seluk-beluknya untuk dapat dicegah serta diatasi.

Menurut Lawrence (2003), ada empat asumsi pokok dalam ekologi manusia. Pertama,
semua organisme memeberikan dampak terhadap lingkungannya, baik anorganik maupun
organik. Organisme tersebut merupakan bagian dari suatu sistem ekologis, keberadaannya
juga memenagruhi organisme lainnya. Interaksi antara organisme dan lingkungannya
memengaruhi volume dan kualitas sumber daya alam yang ada. Keluaran atau limbah, dan
penciptaan sumber daya baru.

Prinsip Kedua, ekosistem manusia bersifat terbuka. Artinya, ekosistem dipengaruhi


oleh factor eksternal, baik yang sifatnya ekobiologis maupun sosial budaya. Terkait prinsip
ini, sulit memahami anggapan ekosistem manusia yang bersifat otonom dan transenden.

17
Prubahan di dalam dan diluar ekosistem bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Pemilahan
antara “dalam” dan “Luar” di sini hanya dalam arti analitis, bukan ontologies. Pada
dasarnya, tidak ada yang terpisah dari ekosistem manusia.

Prinsip Ketiga, manusia dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidup biologisnya


menciptakan dan mengubah daya atau energy dari lingkungannya menggunakan materi,
energi dan sistem pengetahuan yang berada dalam konteks kehidupannya sebagai mahluk
sosial. Semua berada dalam konteks keseimbangan dan keberlanjutan kedua sisi ekosistem.
Ketimpangan proses ekologis dan proses sosial akan berujung pada ketidakseimbangan,
baik dalam hubungan antarmanusia maupun manusia dengan lingkungannya. Berbagai
akibat negatif timbul dari ketidakseimbangan antara proses sosial dan ekologis itu, seperti
perubahhan iklim penurunan lapisan ozon, pengurangan keanekaragaman hayati, banjir,
kekeringan, dan berbagai macam bencana yang timbul dari ketidakseimbangan. Berbeda
dari organisme lain,mekanisme adaptasi manusia tidak bersifat biologis melalui mutase
gen, tetapi kultural melalui mutase prilaku.

Dalam ekologi manusia, konsep adaptasi memiliki arti penting. Dalam konteks
perubahan yang berkelanjutan, adaptasi merupakan suatu proses interelasi yang
mempertahankan keberlanjutan manusia. Hasilnya dari proses adaptasi tergantung pada
mekanisme kompleks yang terbangun secara historis dan melibatkan faktor-faktor biologis,
ekologis, dan sosial budaya (Laughlin dan Brady dalam Abdoellah,2017)

Faktor-Faktor yang mempengaruhi lingkungan hidup untuk mencapai SDGs

1. Faktor Teknologi

Dalam lingkungan , terdapat berbagai macam komponen, yaitu komponenbiotik dan


abiotik yang keduanya saling berhubungan, dimana dalam komponen tersebut manusia
merupakan paling dominan pengaruhnya terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan karena
manusia menguasai IPTEK yang merupakan pengembangan akal pikiran manusia yang
dikaruniakan oleh Tuhan sang Pencipta. Dominasi manusia terhadap lingkungan tidak
terjadi secara merata di

18
permukaan bumi ini, karena dipengaruhi juga oleh seberapa jauh kelompok manusia
itu mampu mengembangkan budaya dalam menguasai IPTEK dan merealisasikan sumber
daya lingkungan menjadi kekayaan yang menjamin kesejahteraan. Pemanfaatan potensi
sumber daya lingkungan sangat dipengaruhi oleh pengusaan IPTEK sehingga timbullah
ungkapan “menjadi tuan dirumah orang lain”, “Menjadi budak di negeri sendiri” dan
“menjadi tuang di negeri sendiri”. Dengan kata lain kemampuan kompetitif sumber daya
manusia lebih berarti daripada kemampuan komparatif sumber daya alam, sehingga dalam
hal ini muncullah letak kedudukan, fungsi dan peranan pendidikan dalam arti yang seluas-
luasnya untuk meningkatkan kemampuan SDM yang pada akhirnya berpengaruh pada
lingkungan hidup. Manusia dengan IPTEK-nya telah mewarnai kehidupan alam semesta

termasuk didalamnya kehidupan abiotik. Penerapan IPTEK telah mengatur suhu


udara, kelembaban, tekanan dan sirkulasi udara, baik untuk kenyamanan hidup atau untuk
kepentingan produksi, tetapi kemampuan tersebut juga dapat menimbulkan ketimpangan
dalam bentuk masalah lingkungan seperti erosi, tanah, longsor, banjir, kekeringan,
pencemaran dan sebagainya. Maka sebagai dominator dalam lingkungan manusia wajib
menyadari setiap keserakahan dengan IMTAK, dimana azas azas ekologi yang menjadi
dasar keserasian, keseimbangan, demi kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainnya.

Tidak menutup kemungkinan mencapai pembangunan keberlanjutan akan


mendapatkan berbagai macam tantangan, maka perlu peran manusia sebagai mahluknya
memiliki akal untuk mencapai tujuan tersebut dalam mengelola sumber daya yang ada.

2. Faktor Perubahan sosial budaya dan lingkunngan

Pemberdayaan diperlukan menginagat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan bisa


dikatakan masih rendah. Lngkungan belum dianggap sebagai persoalan , sementera krisis
lingkungan terjadi dimana-mana yang kemudian disusul bencana lingkungan yang sering
merenggut banyak nyawa manusia. Lingkungan tidak boleh lagi dieskploitasi demi
kemakmuran ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Jika teori lama menyatakan
perubahan lingkungan disebabkan lingkungan atau alam sendiri, kemudian diyakini bahwa

19
mampu memperbaiki keseimbangan kembali, kini teori baru menyatakan bahwa ulah
manusia diyakini sebagai penyebab perubahan lingkungan seperti iklim, itensitas air laut
karena meleleh es kutub.

Teori lama juga menyatakan bahwa kebudayaan dan teknologi mengembalikan


kerusakan alam dan lingkungan banyak yang lepas dari control manusiaa. Kebudayaan
tidak bisa sepenuhnya di andalkan untuk mendeteksi amukan alam atau memperbaiki
lingkungan. Justru terjadi hari ini adalah kerusakan lingkungan karena digunakan untuk
memanipulasi alam dan lingkungan.

Meningkatnya jumlahh penduduk yang ada di lingkungan suatu daerah mengakibatkan


semakin bertambahnya kebutuhan akan sumber daya alam yang terbatas seperti air,
makanan, dan lahan. Sementara itu sumber daya tersebut terbatas dan daya dukung
lingkungan semakin mengakhawatirkan. Akibatnya, lingkungan dikorbankan dengan
meninggalkan jejak-jejak kemiskinan dan kerenatanan.

Disebabkan bencana lingkungan, sistem sosial pada suatu wilayah berubah.


Keteraturan sosial yang sebelumnya terlembaga bertahun-tahun dipaksa beruba, bahkan
pada kondisi tertentu rusak karena adanya perubahan akibat bencana alam. Sementara itu,
jika dilahat dari pendekatan revolusi dinyatakan bahwa perubahan lingkungan merupakan
hasil pekerjaan aktor (manusia). Perubahan lingkungan merupakan hasil tindakan aktor,
baik individu maupun kelompok. Baik sector yang bergerak atas nama pribadi, organisasi
swasta, komunitas atau nama negara. Tidak sama dengan pendekatan evolusi, proses
konidisi lingkungan yang dinyatakan pendekatan ini berubah lebih cepat. Tidak dibutuhkan
waktu lama untuk mengubah lingkungan alami menjadi lingkungan buatan.

Korporasi global merupakan salah satu aktor yang melakukan eksploitasi besar-
besaran. Kemampuan perusahan transnasional lintas negara dan memiliki daya
kemampuan mengeruk sumber daya alam dimanapun. Terkait lingkungan tidak hanya
meninggalkan bekas namun kerusakan-kerusakan lingkungan yang yaris memberikan
dampak yang luar biasa terhadap alam dan mengubah tatanan sosial masyarakat.

20
Kasus legendaris yang diingat sepanjang zaman , yaitu tragedy teluk Minamata,
Jepaang dan pencemaran di Bhopal, India. Di Indonesia juga terjadi pencaplokan sumber
daya air di Sigedang, Klaten menjelaskan bagaimana petani dikalahkan oleh korporasi.
Sementara itu, hari kasus Lapindo bukan hanya menenggelamkan masa depan korban di
Porong, Sidoarjo, tetapi artefak-artefak masa lalu hanyut ditelan semburan lumpur yang
sampai kini belum berhenti.

Hubungan antara perubahan sosial dengan perubahan lingkungan sesungguhnya


dialektis, artinya terjdi Tarik-menarik antara kedua kekuatan. Pada kasus tersebut,
perubahan sosial menyebabkan perubahan-perubahan lingkungan, tetapi pada kasus lain
perubahan lingkungan menyebabkan perubahan sosial.

Komponen-komponen lingkungan sosial yyang berubah akibat perubahan lingkungan,


yaitu seperi modal sosial, lembaga sosial, mediasi sosial, dan lain-lain. Kemudian, konflik
lingkungan bisa ditimbulkan oleh perbedaan persepsi atas lingkungan.

Adapun yang menjadi dampak akumulasi individu terhadap lingkungan adalah sebagai
berikut :

a. .Berkurangnya Ketersediaan Lahan

Peningkatan populasi manusia atau meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan


tingkat kepadatan semakin tinggi .Pada sisi lain ,luas tanah atau lahan tidak
bertambah.Kepadatan penduduk dapat mengakibatkan tanah pertanian semakin berkurang
karena digunakan untuk pemukiman penduduk.

b. Kebutuhan Udara Bersih

Setiap makluk hidup membutuhkan oksigen untuk pernapasan .Demikian pula


manusia sebagai makluk hidup juga membutuhkan oksigen untuk kehidupanya.Manusia
memperoleh oksigen yang dibutuhkan melalui udara bersih .Udara bersih berati udara yang
tidak tercemar,sehingga huyakitas udara terjaga dengan baik.Dengan udara yang bersih
akan diperoleh pernapasan yang sehat.

21
c. Kerusakan Lingkungan

Setiap tahun, hutan dibuka untuk kepentingan hidup manusia seperi untuk dijadikan
lahan pertanian atau pemukiman .Para ahli lingkungan memperkirakan lebih dari 70%
hutan di dunia yang alami telah ditebang atau rusak parah .Menigkatnya jumlah penduduk
akan diiringi pula dengan meningkatnya penggunaan sumber alam hayati. Adanya
pembukaan hutan secara liar untuk dijadikan tanah pertaniaan atau untuk mencari hasil
hutan sebagai mata pencaharian penduduk akan merusak ekosistem hutan.

d. Kebutuhan Air Bersih

Air merupakan kebutuhan mutlak makhluk hidup .Akan tetapi,air yang dibutuhkan
manusia sebagai mkhluk hidup adalah air bersih. Air bersih digunakan untuk kebutuhan
penduduk atau rumah tangga sehari-hari. Bersih merupakan air yang memenuhi syarat
kualitas yang meliputi syarat fisika ,kimia ,dan biologi. Syarat kimia yaitu air yang tidak
mengandung zat-zat kimia yang membahayakan kesehatan manusia. Syarat fisika yaitu air
tetap jernih (tidak brubah warna), tidak ada rasa, dan tidak berbau. Syarat biologi yaitu air
tidak mengandung mikrooganisme atau kuman-kuman penyakit.

e. Kekurangan Makanan

Manusia sebagai mahkluk hidup membutuhan makanan. Dengan bertambahnya


jumlah populasi manusia atau penduduk, maka jumlah kebutuhan makanan yang
diperlukan juga semakin banyak. Bila hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan produksi
pangan, maka dapat terjadi kekurangan makanan .Akan tetapi,biasanya laju pertambahan
penduduk lebih cepat daripada kenaikan produksi pangan makanan. Ketidakseimbangan
antara bertambahnya penduduk dengan bertambahnya produksi pangan sangat
mempengaruhi kualitas hidup manusia. Akibatnya, penduduk dapat kekurangan gizi atau

22
pangan. Kekurangan gizi menyebabkan daya tahan tubuh seseorang terhadap suatu
penyakit rendah, sehingga mudah terjangkit penyakit.

Kesimpulan

Konsep dan pengimplementasian pembangunan berkelajutan tidak terlepas dari


peranya sosiologi lingkungan dan ekologi manusia sebagai suatu ilmu yang dapat menjadi
jawaban dari tujuan-tujuann pemabangunan berkelanjutan yang sedang di gembangkan oleh
negara-negara di seluruh dunia untuk menjaga stabilitas alam, baik manusia ataupun alam.
Dengan demikian kajian teoritis kedua perspektif tersebut berguna untuk mempercepat
tercapainya Sustainable development goals (SDGs).

23
C. DETERMINISME KARAKTERISTIK LINGKUNGAN ALAM TERHADAP
CORAK INTERAKSI KOMUNITAS

Homo Sapiens merupakan mahluk hidup yang paling canggih, paling sempurna,
karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan mahluk-mahluk hidup lainnya. Ia
memiliki bentuk fisik, fungsi tubuh serta karekteristik pertumbuhan fisiknya yang berbeda
dengan hewan – hewan lainnya. Dengan kualitas kelebihannya inilah manusia dapat
tumbuh dan berkembang menguasai alam. Istilah pertumbuhan digunakan untuk
menunjukan perubahan pada fisik. Homo sapiens menjadi bagian dari satu komunitas
ekologi yang memiliki interaksi antar mahluk hidup dengan alam lingkunannya.

Karakateristik alam dapat berpengaruh interaksi yang dilakukan komunitas. Hal ini
menekankan bahwa lingkungan fisik atau karakter lingkungan memiliki hubungan satu
sama lain sehingga terjadi dialektika dalam komunitas tersebut. Merujuk pada ekologi
manusia yang melihat hubungan timbbal bbalik antara mahluk hidup dengan alam dari
mana mahluk hidup memperoleh suatu guna memenuhi kebutuhan hidupnya serta
manangung beban, biaya atau perubahan lingkungan alam. Terjadi interaksi antar alam
dengan mahluk hidup. Pada ekologi manusia, ekologi dibuat menjadi dikotomi yang
terpisah, yaitu ekosistem dan sosiosistem yang saling berhubungan satu sama lain dalam
proses seleksi dan adaptasi ( Soerjani, 1997). Lingkungan hidup ditandai dengan adanya
ekosistem atau lingkungan hidup alam, lingkungan hidup binaan atau buatan manusia
sebagai hasil dari penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan wajah sosial dari
populasi manusia. Jadi Corak atau kualitas lingkungan hidup secara keseluruhan saling
berkaitan dengan karakteristik lingkungan alam.

24
Determinisme dan Karakteristik lingkunngan

Determinisme adalah keyakinan filosofis bahwa semua peristiwa terjadi sebagai


akibat dari adanya beberapa keharusan dan karenanya tak terelakkan. Secara khusus,
gagasan bahwa pilihan-pilihan dari para pelaku rasional tertentu pada masa lalu dapat saja
dilakukan dengan cara berbeda—atau bahkan gagasan bahwa keputusan-keputusan dari
para pelaku tersebut pada masa mendatang dapat menghasilkan sesuatu yang lain dari apa
yang mereka kehendaki—biasanya mendapat tantangan dalam pandangan ini. Dengan
demikian, "masalah" kehendak bebas—atau gagasan bahwa kehendak bebas adalah suatu
"ilusi"—sering kali timbul sebagai suatu akibat dari klaim utama yang dihasilkan oleh
determinisme, yaitu bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan diidentifikasi dengan
suatu rangkaian kondisi yang pada hakikatnya tak terputus dan tidak ada satu kondisi pun
yang dapat dihindari. Beberapa determinis sepenuhnya menolak gagasan mengenai
"kemungkinan" ataupun "keacakan", bahkan menyatakan bahwa gagasan-gagasan tersebut
hanya merupakan suatu ciptaan budi dan/atau sekadar hasil imajinasi. Pada akhirnya
merupakan suatu hasil dari ketidaktahuan dalam menghadapi segala faktor. Bagaimanapun
berbicara mengenai kehendak bebas merupakan perhatian tersendiri, dan setiap
pembahasan terkait determinisme pada prinsipnya tidak memerlukan pembahasan
mengenai kehendak bebas. Selain isu-isu ini, terdapat perdebatan-perdebatan mengenai
usaha keras dari bahasa untuk dapat benar-benar menangkap apa yang dimaksudkan secara
tepat—dengan asumsi ada suatu maksud tertentu—ataupun apa sebenarnya hakikat sejati
dari realitas terlepas dari bagaimana meyakinkannya hakikat dari konsep determinisme.

"Ada banyak determinisme, tergantung dari prakondisi apa yang dianggap sebagai
penentu dari suatu peristiwa atau tindakan." Teori-teori deterministik sepanjang sejarah
filsafat berkembang dari keragaman dan terkadang saling tumpang tindih antara berbagai
motif dan pertimbangan. Beberapa bentuk determinisme dapat diuji secara empiris dengan
ide-ide dari fisika dan filsafat fisika. Kebalikan dari determinisme adalah beberapa jenis
indeterminisme (yang lainnya disebut nondeterminisme). Determinisme sering kali
dikontraskan dengan kehendak bebas.

25
Determinisme sering diartikan sebagai determinisme kausal, yang dalam fisika
dikenal sebagai sebab-dan-akibat. Konsep ini menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa dalam
suatu paradigma yang diberikan terikat oleh kausalitas sedemikian rupa sehingga setiap
kondisi (dari suatu objek atau peristiwa) sepenuhnya ditentukan oleh kondisi-kondisi
sebelumnya. Pengertian ini dapat dibedakan dari varian-varian determinisme lainnya yang
disebutkan di bawah.

Perdebatan-perdebatan yang lain sering kali menyangkut ruang lingkup sistem-sistem


yang telah ditentukan (determined); beberapa kalangan berpendapat bahwa seluruh alam
semesta adalah suatu sistem determinat tunggal dan kalangan-kalangan lain
mengidentifikasi sistem-sistem determinat yang lebih terbatas lainnya (atau multisemesta).
Berbagai perdebatan historis melibatkan banyak posisi filosofis dan varian determinisme.
Semua itu meliputi perdebatan-perdebatan tentang determinisme dan kehendak bebas,
secara teknis dinyatakan sebagai kompatibilistik (memungkinkan koeksistensi keduanya)
dan inkompatibilistik (menyangkal kemungkinan dari koeksitensi keduanya).

Orang-orang yang dapat dipandang sebagai tokoh paham determinisme ituantara lain
Charles Darwin, Friederich Ratzel, dan Elsworth Huntington. Determenisme alam
menempatkan manusia sebagai mahluk yang tunduk pada alam, alam sebagai faktor
menentukan . Menurut Charles Darwin (1809-1882), dalam teori evolusinya, bahwa
mahluk hidup (tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia), secara berkesinambungan dari waktu
ke waktu mengalami perkembangan. Pada perkembangan tersebut, terjadi perjuangan hidup
(struggle for life, struggle for existence), seleksi alam (natural selection), dan yang kuat
akan bertahan hidup (survival of the fittest). Dalam proses perkembangan kehidupan tadi,
faktor alam sangat menentukan. Pada teori dan pahamnnya itu, kelihatan jelas paham serta
pandangan determinisme alam.

Ratzel melihat bahwa populasi manusia dengan perkembangan


kebudayannyaditentukan oleh kondisi alam. Meskipun manusia dipandang sebagai

26
makhluk yang dinamis, mobilitasnya tetap dibatasi dan ditentukan oleh kondisi alam di
permukaan bumi.Huntington berpandangan bahwa iklim sangat menentukan
perkembangankebudayaan manusia. Karena iklim di permukaan bumi ini bervariasi,
kebudayaan itu pun sangat beraneka ragam. Perkembangan seni, agama, pemerintahan, dan
segi-segi kebudayaan lain sangat sbergantung pada iklim setempat. Paham dan
pandangannya ini disebut “determinisme iklim”.

Pertanyaan tentang bagaimana linkungan saling berinteraksi sudah sejak lama


berusaha dijawab. Barrow mengatakan bahwa salah satu anasir perdebatan tentang
pengaruh lingkungan atas kehidupan manusia dan sebaliknya telah mendorong apakah
alam berada di luar kehidupan sosial atau alam. Untuk menjawab pertaanyaan tersebut
dapat dijelaskan melaluii pendekatan determinisme lingkungan. Diterminisme lingkungan
memiliki asumsi bahwa lingkungan alam fisik menentukan bentuk kehidupan sosial budaya
manusia sepenuhnya. Aliran ini bermula dari sisi lingkungan kesisi kehidupan manusia.
Lingkungan alam dianggap sebagai satu-satunya anasir pembentuk kehidupan yang hidup
di dalamnya. Secara historis gagasan tersebut sudah lam muncul. Dalam sudut pandang
Eropa. Teori tersebut sudah sejak masa para filsuf kuno dan terus bertahan hingga saaat
ini.
Dalam perkembangannya, teori determinisme lingkungan bermula dan penekanannya
bahwa iklim iklim dipermukaan bumi menentukan kebudayaan manusia. Oleh sebab itu,
teori ini disebut dengan teori geoklimatik atas keragaman kebudayaan. Bagi
pendukunganya, keragaman budaya dan bangunan sosial politik umat manusia ditentukan
oleh beragamnya kondisi geoklimatik, seperti keragaman musim, tingkat curah hujan dan
tentang kekeringan serta vegetasinya.

Dalam kerangka deterministik, hanya organisme yang bisa berdaptasi dengan


lingkungannya yang bisa bertahan hidup sama seperti konsep yang diajukan oleh Darwin
mengenai teori evoluasi. Sebaliknya, organisme yang tidak beradaptasi pada kondisi
lingkungan akan berkurang, bahkan punah. Perkembangan organisme dari waktu ke waktu

27
dilakukan melalui proses perjuangan untuk hidup dalam konsteks seleksi alam yang dan
berujung pada kelangsungan hidup bagi yang sesuai.
Penyesuaian kehidupan sosial menjadi penekanan dari konsep determinisme
lingkungan yang pada kenyataan harus bisa bertahan hidup dalam lingkungan fisik yang
selalu berubah secara dinamis. Para antropolog menemukan bahwa kebuayaan masyarakat
yang hidup di habitat yang sama bisa saj berbeda. Tidak hanya mereka yang menguasai
relung ekologis yang berbeda, tetapi kebudayaan yang dikembangkan bukan sekedar
pantulan paripurna dari keadaan lingkungan, ada proses kompleks yang usurnya saling
kelindan antara lingkungan, kesadaran interaksi dan eksternal,dan sebagainya.
Teori utama diterminisme lingkungan adalah interaksi antara budaya dan lingkungan,
pertama, keyakinan bahwa lingkungan hidup dan kehidupan bersifat tetap dan tidak
mengalami perubahan selama ribuan tahun. Premis tersebut diketahui salah karena
lingkungan hidup terus mengalam perubahan. Kedua adalah kurangnya peran budaya dan
keharusan perang lingkungan hidup . Selanjutan dalam determinisme, lingkungan dikenal
dengan konsep wilayah budaya , Namun memiliki kekurangan dalam mendefiniskan daerah
tunggal dengan keragaman lingkungan hidup dan budaya ( Sutton dan Adersorn, 2010
dalam Abdoellah,2017). Maka karakteristik fisik alam memberikan pengaruh kepada
kondisi sosial masyarakat. Seperti terjadinya tsunami yang terjadi Aceh mengubah
tatanan perilaku manusia terhadap alam sehingga masyarakat setiap tahun melakukan
peringatan zikir atau bersama untuk mengingat bahwa bencana tersebut ada sehingga
kesiagaan masyarakat terhadap alam.

Kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi sifat yang pada masyarakat, seperti
masyarkat dengan kondisi iklim sub tropis yang sering berubah-ubah dapat memberikan
stimulus pada individu untuk terus bekerja keras disebabkan karena kondisi cuaca berubah.
Ketika kondisi karakteristik alam suatu wilayah memiliki cuaca panas berdampak sikap
masyarakat identic dengan sikap yang keras sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan
demikian karakteristik mempengaruhi interaksi suatu komunitas.

28
Daftar Pustaka

Raja, M. U. A. (2018). Manusia dalam Disekuilibrium Alam. Balairung Jurnal


Multidisipliner Mahasiswa Indonesia, 1(1), 40–57.

Nurkamilah, C. (2018). Etika Lingkungan Dan Implementasinya Dalam Pemeliharaan


Lingkungan Alam Pada Masyarakat Kampung Naga. Religious: Jurnal Studi Agama-
Agama Dan Lintas Budaya, 2(2), 136–148. https://doi.org/10.15575/rjsalb.v2i2.3102

Mulasih. (2013). Etika Lingkungan pada Trilogi Dongeng Kancil Sahabat Alam Karya
Litda IR. Pbsi Fkip Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 8–20.

Lingkungan, E. D. A. N. (2007). Angkatan Ke-Vi 2007 Editor : Program Studi Ilmu


Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Riau.

Krisis Lingkungan : Perlunya Etika Lingkungan Baru ? Kerangka Diskusi : (n.d.). 1–31.

Prof.Dr.Ir.H. ADNAN KASR. (2006). Ekologi Dan Ilmu Lingkungan | Kumpulan Artikel.
Espada Blog. http://mangihot.blogspot.com/2016/11/ekologi-dan-ilmu-
lingkungan.html

Suparto. (2009). Menyakralkan Yang Profan Dan Memrofankan Yang Sakral? Proceeding
PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur, & Sipil), 3, 20–21.

Adat, H., Benawa, T., Selatan, S., & Martin, E. (2015). Resiko Antroposentrisme :
Fenomenologi Dinamika Pengelolaan.

A. Sonny Keraf. (2010). Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2010), hal. 47-48. digilib.uinsby.ac.id. 16–37.

Keraf, A. S. (2010). Etika lingkungan hidup - A. Prosiding, 2(42), 521–525.


https://books.google.co.id/books?
id=gW6qG0DQ2_cC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false

29
%0Ahttps://books.google.co.id/books?
id=gW6qG0DQ2_cC&printsec=frontcover&dq=lingkungan+hidup&hl=id&sa=X&ve
d=0ahUKEwit1PulktjmAhUCcCsKHQHNBy8Q6AEIKTAA#v=onepage&q=lingku

Soerjani, P. D. M. (2001). Ekologi Manusia dan Alam Semesta. 1–31.

Damsar.2017.Pengantar Teori Sosiologi Jakarta:Kencana

Abdoellah. 2017.Ekologi Manusia dan pembangunan berkelanjutan.PT. Gramedia: Jakarta.

Ohoiwutun,B.2020.Posisi dan peran manusia dalam alam: menurut deep ecology arne
Naess (tanggapan atas Kritik al gore). Yogyakarta: PT.Kanisius.

Teori Ekosentrisme https://catchitecture.wordpress.com/2016/04/04/teori-ekosentrisme/ di


akses 31 Mei

Haryono, S. (2020). Kontestasi Antroposentrisme-Ekosentrisme pada Masuknya Investasi


Sawit di Laman Satong, Ketapang, Kalimantan Barat. February.
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.11397.68326

Dharmika, I. B. (2018). Paradigma Ekosentrisme vs Antroposentrisme Dalam Pengelolaan


Hutan. Seminar Nasional Prodi Biologi F. Mipa UNHI, 9–17.

Susilo, Rachmad. 2012. Sosiologi Lingkungan & Sumber Daya Alam:Perspektif Teori &
Isu-Isu Mutakhir. Jogjakarta: Ar-Aruzz Media.

Bethan, Syamsuharya. 2008. Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan


Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional. Bandung: PT Alumni.

Johson, Doyle. 1990. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Nurkamilah, C. (2018). Etika Lingkungan Dan Implementasinya Dalam Pemeliharaan


Lingkungan Alam Pada Masyarakat Kampung Naga. Religious: Jurnal Studi Agama-
Agama Dan Lintas Budaya, 2(2), 136–148. https://doi.org/10.15575/rjsalb.v2i2.3102

30

Anda mungkin juga menyukai