Anda di halaman 1dari 5

Lingkungan Hidup: Krisis, Paradigma dan Harapan

Oleh: Gangsar Edi Laksono

Pada zaman yang modern ini, ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi
telah membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan manusia saat ini. Di sisi lain,
kemajuan ini tidak serta-merta membawa kita menuju perubahan yang lebih baik.
Bahkan, seolah-seolah kita sedang berjalan menuju jurang krisis yang semakin lama
kian terasa, dengan kita sadar ataupun tidak. Kemajuan era saat ini sedang dihadapkan
pada krisis lingkungan bahkan bencana lingkungan hidup yang semakin lama sulit
untuk dihindari. Sebuah kondisi yang oleh Fritjof Capra disebut sebagai sebuah krisis
yang mendalam dan melanda seluruh dunia. Krisis yang kompleks dan multidimensi
dengan berbagai aspeknya menyentuh aspek kehidupan kita. Krisis yang tidak hanya
terkait masalah teknis praktis dan sains, tetapi juga berkaitan dengan aspek ekonomi,
politik, hukum dan nilai atau moral.

Dalam memecahkan krisis lingkungan ini, penting saatnya untuk menggunakan


pendekatan atau cara pandang lain yang dapat mencari sebab atau akar dari krisis dan
bencana lingkungan hidup. Pendekatan filosofis, etis, menekankan pada cara berpikir
yang dapat membawa kita pada proses peninjauan kembali cara pandang manusia
tentang hakikat lingkungan hidup, alam semesta dan kehidupan sehingga dapat
memahami akar dari krisis selama ini. Menurut Arne Naess, krisis lingkungan dewasa
ini hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku
manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal.

Tiga Fase Paradigma

Berangkat dari kerangka berpikir Thomas Kuhn yang terkandung dalam buku
Sony Keraf berjudul “Filsafat Lingkungan Hidup”, kita dapat mengatakan bahwa hakekat
tentang lingkungan hidup atau alam semesta, telah mengalami tiga fase dalam dua
perubahan paradigma penting sepanjang sejarah, baik filsafat dan ilmu pengetahuan.
Fase pertama adalah zaman filsuf alam, dengan tokoh utama Aristoteles (Abad
pertengahan sampai tahun1500). Fase ini melahirkan pandangan organis bahwa
lingkungan hidup atau alam semesta dipahami sebagai satu kesatuan asasi..

Fase kedua lahir pada masa Abad Pencerahan yang mengubah sebagian besar
cara pandang manusia tentang hakikat lingkungan hidup atau alam semesta.
Paradigma organis tentang alam diganti oleh paradigma antroposentrisme dan
mekanistis yang mendominasi masyarakat modern. Paradigma telah membentuk
perilaku dan peradaban (Barat) modern yang mempunyai dampak luar biasa dalam
berbagai bidang kehidupan, termasuk lingkungan hidup. Paradigma ini juga berkaitan
erat dengan era awal revolusi industri (possibilistic) dan kemajuan dalam sains dan
teknologi. Fase ketiga muncul pada abad ke-19 dan ke-20 ketika paradigma
sebelumnya tidak mampu menjelaskan fenomena alam dan muncul paradigma baru
yang tidak lain adalah paradigma organis-sistematis yang muncul sebagai paradigma
awal. Fase ini ditandai oleh penemuan Albert Einstein tentang teori relativitas dan
kuantum.

Antroposentrisme: Akar Krisis

Kerusakan atau krisis lingkungan yang terus menerus terjadi selama ini, salah
satu penyebabnya adalah kesalahan cara pandang yang mengacu pada paradigma
antroposentrisme. Paradigma antroposentrisme memadang bahwa manusia sebagai
pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam
dan segala isinya sekedar sebagai alat pemuas yang hanya bernilai ekonomi untuk
kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Paradigma ini didasari oleh pendapat
beberapa tokoh seperti: Thomas Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel Kant yang
menyatakan bahwa manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan dengan mahluk
ciptaan lainnya, karena manusia adalah satu-satunya makluk bebas dan rasional (The
free and rational being). Manusia memiliki kuasa dan peran dominan atas alam.

Paradigma ini yang melahirkan perilaku eksploitatif, serakah dan egoistis


sehingga mendorong manusia untuk mengeksploitasi dan menguras alam demi
kepentingannya, tanpa memberi perhatian yang serius bagi kelestariannya.
Kepentingan manusia disini, sering kali diartikan sebagai kepentingan yang bersifat
jangka pendek, sehingga menjadi akar dari berbagai krisis lingkungan. Oleh karena
memiliki ciri-ciri tersebut, maka paradigma antroposentrisme dianggap sebagai sebuah
etika lingkungan yang dangkal dan sempit (Shallow Environmental Ethics).

Antroposentrisme juga diperkuat paradigma mekanistis. Paradigma mekanistis


atau Cartesian dikenalkan oleh Descartes dan Newton. Paradigma ini dilandasi oleh
kemampuan akal budi dan ilmu pengetahuan rasional manusia memungkinkan untuk
melihat alam atau lingkungan sebagai benda mati, sebagai mesin yang terdiri dari
bagian-bagian yang terpisah. dan memungkinkan manusia bersikap agresif tanpa rasa
hormat terhadap lingkungan. Dominasi, kekuasaan, kontrol menjadi pola utama
hubungan manusia dengan lingkungan. Paradigma antroposentrime-mekanistis yang
melekat dari dulu hingga era saat ini telah melahirkan berbagai kebijakan, praktik dan
pola hidup yang mengancam, merusak, dan membawa krisis hingga saat ini dan
mendatang.

Lingkungan sebagai Kesatuan Menyeluruh

Perubahan paradigma ini berawal dari penemuan Albert Enstein dan beberapa
pakar fisika yang telah mengguncangkan dunia ilmu pengetahuan abad ke-20. Einstein
meyakini bahwa alam semesta merupakan sebuah harmoni. Selanjutnya, beberapa
penemuan yang dikaitkan dengan beberapa fenomena struktur atom (sinar X dan
radioaktif) memberi pemahaman dan konsep baru mengenai ruang, waktu, materi dan
objek dan hubungan sebab akibat. Pemahaman yang berbeda sekali dengan
pemahaman fisika klasik Descartes dan Newton. Pemahaman fisika baru memandang
alam sebagai sebuah sistem organik yang menyeluruh. saling terkait dan saling
bergantung. Paradigma yang sistemis, organis, holistis dan ekologis. Paradigma yang
lebih arif dan memahami lingkungan serta alam semesta sebagai sebuah sistem yang
kompleks rumit dan menyatu satu sama lain diantara bagiannya. Yang menjadi pusat
perhatian disini adalah organisme yang hidup dipandang sebagai sebuah sistem
kehidupan, dari mulai bakteri yang terkecil, tumbuhan, hewan dan manusia. Tidak ada
dominasi dan kekuasaan.
Paradigma ini diperkuat oleh pandangan biosentrisme dan ekosentrime.
Paradigma Biosentrisme berpendapat bahwa tidak benar apabila hanya manusia yang
mempunyai nilai, akan tetapi alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri yang
terlepas dari kepentingan manusia. Paul Taylor (1986 dalam Sutoyo) berpendapat
bahwa biosentrisme didasarkan pada empat hal, yaitu keyakinan bahwa manusia
sebagai anggota komunistas di bumi, semua organisme merukan bagian dari sistem
yang saling bergantung, organisme sebagai pusat kehidupan dan terakhir bahwa
manusia dianggap tidak lebih unggul dari mahluk lain. Dengan keyakinan-keyakinan
tersebut maka mendorong manusia untuk lebih bijak dan memperhatikan kehidupan
mahluk lainnya, bahkan aspek-aspek pendukung kehidupan.

Sebagaimana paradigma biosentrisme, paradigma ekosentrisme memahami


bahwa secara ekologis, makluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait
satu sama lainnya. Kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada
makluk hidup, tetapi juga berlaku terhadap semua realitas ekologis pendukung
kehidupan (aspek abiotis). Yang menarik dari paradigma ini adalah pandangan deep
ecology dan filosofi ecosophy. Deep ecology adalah adalah suatu etika baru yang tidak
berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makluk hidup seluruhnya dalam kaitan
untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup. Pandangan ini melihat permasalahan
lingkungan dalam suatu perspektif relasional yang lebih luas dan holistik. Akar
permasalahan kerusakan dilihat secara lebih komprehensif dan holistik, untuk kemudian
diatasinya secara lebih mendalam. Deep Ecology memiliki filsafat pokok ecosophy. Eco
berarti rumah tangga dan sophy berarti kearifan. Ecosophy diartikan sebagai bentuk
kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti
luas. Ecosophy meliputi pergeseran dari sebuah ilmu (science) menjadi sebuah kearifan
(wisdom), berupa cara hidup, pola hidup yang selaras dengan alam. Hal ini berupa
gerakan seluruh penghuni alam semesta untuk menjaga secara arif lingkungannya
sebagai rumah tangga.

Refleksi

Kerusakan dan krisis lingkungan yang terjadi hingga saat ini tidak lain
merupakan konsekuensi dari cara pandang sebelumnya. Karenanya, jalan keluar dari
krisis ini adalah melalui perubahan paradigma, cara berpikir, cara pandang manusia
terhadap lingkungan. Yang menjadi pemecahan saat ini bukanlah pengelolaan
kerusakan lingkungan secara sains-teknis, penegakan pada aspek yuridis atau
kebijakan, penerapan teknologi baru hingga gaya hidup. Krisis lingkungan bisa teratasi
ketika peradaban manusia saat ini mampu menerjemahkan, mengilhami, dan
menerapakan paradigma baru ini saat ini untuk merubah sikap dan perilaku manusia,
dalam bentuk kebijkan dan politik, penegakan hukum, aspek ekonomi, teknologi praktis,
perubahan sosial hingga gaya hidup baru. Dari tingkat lokal, nasional hingga global.
Akan muncul harapan baru pada lingkungan dan kehidupan ini.

Referensi

Capra, Fritjof. 2014. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan
Kebudayaan, Cetakan ke-8. Yogyakarta: Pustaka Promothea.

Keraf, Sonny. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Seni Kehidupan.
Yogyakarta: PT Kanisius.

Sutoyo. Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup. Adil: Jurnal Hukum Vol. 4 No 1.

Anda mungkin juga menyukai