Pada zaman yang modern ini, ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi
telah membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan manusia saat ini. Di sisi lain,
kemajuan ini tidak serta-merta membawa kita menuju perubahan yang lebih baik.
Bahkan, seolah-seolah kita sedang berjalan menuju jurang krisis yang semakin lama
kian terasa, dengan kita sadar ataupun tidak. Kemajuan era saat ini sedang dihadapkan
pada krisis lingkungan bahkan bencana lingkungan hidup yang semakin lama sulit
untuk dihindari. Sebuah kondisi yang oleh Fritjof Capra disebut sebagai sebuah krisis
yang mendalam dan melanda seluruh dunia. Krisis yang kompleks dan multidimensi
dengan berbagai aspeknya menyentuh aspek kehidupan kita. Krisis yang tidak hanya
terkait masalah teknis praktis dan sains, tetapi juga berkaitan dengan aspek ekonomi,
politik, hukum dan nilai atau moral.
Berangkat dari kerangka berpikir Thomas Kuhn yang terkandung dalam buku
Sony Keraf berjudul “Filsafat Lingkungan Hidup”, kita dapat mengatakan bahwa hakekat
tentang lingkungan hidup atau alam semesta, telah mengalami tiga fase dalam dua
perubahan paradigma penting sepanjang sejarah, baik filsafat dan ilmu pengetahuan.
Fase pertama adalah zaman filsuf alam, dengan tokoh utama Aristoteles (Abad
pertengahan sampai tahun1500). Fase ini melahirkan pandangan organis bahwa
lingkungan hidup atau alam semesta dipahami sebagai satu kesatuan asasi..
Fase kedua lahir pada masa Abad Pencerahan yang mengubah sebagian besar
cara pandang manusia tentang hakikat lingkungan hidup atau alam semesta.
Paradigma organis tentang alam diganti oleh paradigma antroposentrisme dan
mekanistis yang mendominasi masyarakat modern. Paradigma telah membentuk
perilaku dan peradaban (Barat) modern yang mempunyai dampak luar biasa dalam
berbagai bidang kehidupan, termasuk lingkungan hidup. Paradigma ini juga berkaitan
erat dengan era awal revolusi industri (possibilistic) dan kemajuan dalam sains dan
teknologi. Fase ketiga muncul pada abad ke-19 dan ke-20 ketika paradigma
sebelumnya tidak mampu menjelaskan fenomena alam dan muncul paradigma baru
yang tidak lain adalah paradigma organis-sistematis yang muncul sebagai paradigma
awal. Fase ini ditandai oleh penemuan Albert Einstein tentang teori relativitas dan
kuantum.
Kerusakan atau krisis lingkungan yang terus menerus terjadi selama ini, salah
satu penyebabnya adalah kesalahan cara pandang yang mengacu pada paradigma
antroposentrisme. Paradigma antroposentrisme memadang bahwa manusia sebagai
pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam
dan segala isinya sekedar sebagai alat pemuas yang hanya bernilai ekonomi untuk
kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Paradigma ini didasari oleh pendapat
beberapa tokoh seperti: Thomas Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel Kant yang
menyatakan bahwa manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan dengan mahluk
ciptaan lainnya, karena manusia adalah satu-satunya makluk bebas dan rasional (The
free and rational being). Manusia memiliki kuasa dan peran dominan atas alam.
Perubahan paradigma ini berawal dari penemuan Albert Enstein dan beberapa
pakar fisika yang telah mengguncangkan dunia ilmu pengetahuan abad ke-20. Einstein
meyakini bahwa alam semesta merupakan sebuah harmoni. Selanjutnya, beberapa
penemuan yang dikaitkan dengan beberapa fenomena struktur atom (sinar X dan
radioaktif) memberi pemahaman dan konsep baru mengenai ruang, waktu, materi dan
objek dan hubungan sebab akibat. Pemahaman yang berbeda sekali dengan
pemahaman fisika klasik Descartes dan Newton. Pemahaman fisika baru memandang
alam sebagai sebuah sistem organik yang menyeluruh. saling terkait dan saling
bergantung. Paradigma yang sistemis, organis, holistis dan ekologis. Paradigma yang
lebih arif dan memahami lingkungan serta alam semesta sebagai sebuah sistem yang
kompleks rumit dan menyatu satu sama lain diantara bagiannya. Yang menjadi pusat
perhatian disini adalah organisme yang hidup dipandang sebagai sebuah sistem
kehidupan, dari mulai bakteri yang terkecil, tumbuhan, hewan dan manusia. Tidak ada
dominasi dan kekuasaan.
Paradigma ini diperkuat oleh pandangan biosentrisme dan ekosentrime.
Paradigma Biosentrisme berpendapat bahwa tidak benar apabila hanya manusia yang
mempunyai nilai, akan tetapi alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri yang
terlepas dari kepentingan manusia. Paul Taylor (1986 dalam Sutoyo) berpendapat
bahwa biosentrisme didasarkan pada empat hal, yaitu keyakinan bahwa manusia
sebagai anggota komunistas di bumi, semua organisme merukan bagian dari sistem
yang saling bergantung, organisme sebagai pusat kehidupan dan terakhir bahwa
manusia dianggap tidak lebih unggul dari mahluk lain. Dengan keyakinan-keyakinan
tersebut maka mendorong manusia untuk lebih bijak dan memperhatikan kehidupan
mahluk lainnya, bahkan aspek-aspek pendukung kehidupan.
Refleksi
Kerusakan dan krisis lingkungan yang terjadi hingga saat ini tidak lain
merupakan konsekuensi dari cara pandang sebelumnya. Karenanya, jalan keluar dari
krisis ini adalah melalui perubahan paradigma, cara berpikir, cara pandang manusia
terhadap lingkungan. Yang menjadi pemecahan saat ini bukanlah pengelolaan
kerusakan lingkungan secara sains-teknis, penegakan pada aspek yuridis atau
kebijakan, penerapan teknologi baru hingga gaya hidup. Krisis lingkungan bisa teratasi
ketika peradaban manusia saat ini mampu menerjemahkan, mengilhami, dan
menerapakan paradigma baru ini saat ini untuk merubah sikap dan perilaku manusia,
dalam bentuk kebijkan dan politik, penegakan hukum, aspek ekonomi, teknologi praktis,
perubahan sosial hingga gaya hidup baru. Dari tingkat lokal, nasional hingga global.
Akan muncul harapan baru pada lingkungan dan kehidupan ini.
Referensi
Capra, Fritjof. 2014. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan
Kebudayaan, Cetakan ke-8. Yogyakarta: Pustaka Promothea.
Keraf, Sonny. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Seni Kehidupan.
Yogyakarta: PT Kanisius.