Budhy Munawar-Rachman
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara;
Program Officer Knowledge Sector, Civil Society and Policy, The Asia Foundation
Abstract
Human life lately faces tremendous crisis. One sign that the crisis is a matter
of ecology, and the shallowness of our modern understanding of the ecology of
human life in this world. This is especially seen from a hundred years the
understanding of what is called science, and its relation to the understanding
of humans and the environment. This crisis has tarnished the trust in modern trials
for human happiness. The more alternative thinkers who suggest that recovery
must come from within man, not only through political solutions and
systemic. This paper would like to offer philosophical and ecological questions
that can explain the journey of human life. So far, the maps offered by scientism-
a-modern materialism has left unanswered many important problems of human
life, including ecological problems. Even think of it as “not a problem!”. At the
end of this paper, the authors tries to elaborate on the Islamic concept of
man and ecology.
I need a short name for what is
lacking. I call it the ecological
conscience. Ecology is the science of
communities,
and the ecological conscience is therefore the ethics of community life.
—Aldo
Leopold, “The Ecological
Conscience,” 1947
2
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
1
gerbang Surga terhadap dirinya sendiri dan mencoba dengan daya kerja dan
kecerdikan yang besar sekali, mengurung diri mereka di bumi.
1
Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
1
Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
1
daripada kenyataan, bahwa golongan terbesar umat manusia,
1
Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
1
tubuh yang cocok dengan
1
Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
1
hal-hal “tertinggi,” kepada pengetahuan yang seksama secara matematis tetapi
mengenai
1
Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya
1
Iman yang diperlukan untuk mengerti mengenai hal-hal yang lebih tinggi,
bukannya dijadikan penuntun
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
1
Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
justru karena kita tidak mengenal diri sendiri. Di sini jugalah akar kejahatan
atas lingkungan hidup (bdk. Martin Buber: Modus hidup I – It yang
dilawankan dengan modus I – Thou)
Bidang Pengetahuan Ketiga:
Seperti apakah tampaknya saya di dalam pandangan makhluk-makhluk lain?
Pada dasarnya pengenalan diri tidaklah harus terdiri dari dua hal
sekaligus, pertama adalah pengenalan diri itu sendiri seperti bidang
pengetahuan pertama, dan kedua adalah “Seperti apakah tampaknya saya
di dalam pandangan makhluk-makhluk lain” yang merupakan bidang
pengetahuan ketiga. Tanpa bidang pengetahuan kedua, pengenalan diri bisa
menjadi hal yang menyesatkan dan penuh khayalan. Jika bidang
pengetahuan ketiga ini tidak tercapai, maka hubungan-hubungan dengan
orang lain (dan alam) juga sulit akan tercapai. Bidang pengetahuan ketiga
ini mengajarkan mengenai perlunya menempatkan diri sendiri di tempat
orang lain. Tetapi bagaimana bisa melakukan ini? Filsafat, agama, dan ajaran
ekologi tradisional menekankan bahwa kita tidak bisa sampai pada bidang
pengetahuan ketiga ini tanpa penyadaran diri. Di sini kesadaran berbeda
dengan penyadaran diri. Kesadaran berangkat dari pikiran (faktor y).
Sedang kesadaran diri (z) sangat menekankan kemampuan melampaui pikiran
(yang terkait dengan ego), masuk ke dalam keadaan altruisme
(mengutamakan orang lain, alam secara sempurna). Dari egocentrism ke
ecocentrism. Ajaran seperti mencintai tetangga seperti mencintai diri sendiri,
meneguhkan tentang arti penting bidang pengetahuan ketiga ini.
Bidang ketiga ini menggambarkan arti altruisme, dan konsekuensi dari
pengetahuan pertama tanpa pengetahuan ketigaadalah kesia-siaan dan
kesombongan (kerusakan lingkungan berkaitan dengan kesombongan
ini). Tanpa bidang ketiga, seseorang mudah sekali mempelajari kesalahan-
kesalahan orang lain, ketimbang diri sendiri. “Mengapa engkau melihat
selumbar di mata mu, tapi tak melihat balok di matamu sendiri,” begitu
ungkapan Yesus dalam Injil. Maka memperhatikan, menemukan,
memperoleh pengetahuan tentang, menerima sesuatu fakta tentang,
mengetahui, mengamati, memahami orang lain dan alam, sangat penting
bagi keserasian hidup dan alam.
Bidang Pengetahuan Keempat:
Apakah yang sesungguhnya saya amati di dunia (lingkungan, ekologi) di
sekitar saya?
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
1
menekankan segi ketepatan matematis seperti ilmu-ilmu
instruksional, maka ilmu-ilmu
1
Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
Dalam Al-Quran banyak sekali gambaran tentang alam raya, baik proses
penciptaannya maupun hukum-hukum yang mengatur dan menguasainya.
Namun semuanya itu tidak dikemukakan dengan gaya “harga mati” atau
dogmatis, melainkan selalu terbuka untuk penafsiran, dan penafsiran kembali,
sesuai dengan perkembangan pemikiran dan peradaban umat manusia.
Misalnya, Al-Quran menyebutkan bahwa alam raya ini diciptakan Tuhan
dalam enam hari. Kemudian Dia bertahta di atas Singgasana dan
mengatur segala ciptaan- Nya itu. Keterangan ini antara lain ada dalam
firman, “Dan sungguh Kami telah ciptakan langit dan bumi serta segala yang ada
di antara keduanya dalam enam hari, dan Kami tidaklah mengalami kelelahan”
(Q 50:38).
Firman ini mengemukakan bahwa Tuhan menciptakan alam raya dalam
enam hari, dan Dia tidak lelah karena itu. Dalam ayat kursi yang terkenal
juga digambarkan bahwa Allah menjaga langit dan bumi tanpa terkena
kelelahan. Dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa alam raya ini diciptakan
Allah dengan benar (bi ‘l-haqq) tidak sia-sia (bâthil). Anjuran
1
memperhatikan alam raya antara
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
1
Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya
(thawâf) mengelilinginya.
Semua gambaran kosmologi Al-Quran ini, dapat disesuaikan dengan semiosis
Islam, dan Al-Quran menerima kemungkinan penafsiran yang bermacam-
macam, setaraf dengan tingkat pengetahuan manusia dan kemampuannya
menangkap lambang-lambang. Tentu masih banyak lagi keterangan dalam
Al- Quran tentang kosmologi atau masalah alam raya yang sangat
menarik untuk diungkap maknanya sebagai ayat Tuhan. Diharapkan dengan
sedikit yang telah dikemukakan ini, dapat diperoleh gambaran tentang
luas, dan terbukanya tafsiran Islam atas masalah kosmologi ini, yang
dewasa ini banyak dibahasa dalam suatu ilmu Islam yang disebut
Semiotika: yaitu ilmu mengenai perlambang yang dipergunakan dalam
Al-Quran.
Berasal dari bahasa Yunani, disebutlah segala kejadian atau jagad raya ini
sebagai “kosmos”, yang berarti “serasi, harmonis”. Dan berasal dari
bahasa Arab, disebutlah sebagai “alam” (`âlam) yang satu akar kata
dengan “ilmu” (‘ilm, pengetahuan) dan “alamat” (‘alâmah, pertanda).
Disebut demikian karena jagad raya ini adalah pertanda adanya Sang Maha
Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Maka sebagai pertanda adanya Tuhan itu, jagad raya juga disebut sebagai
ayat- ayat yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia. Salah satu
pelajaran dan ajaran yang dapat diambil dari pengamatan terhadap alam
semesta ialah keserasian, keharmonisan dan ketertiban. Termasuk makna
bahwa alam raya ini diciptakan sebagai haqq, tidak bâthil dan tidak
dengan main-main yang mengisyaratkan kemuspraan (la‘b) ialah bahwa
alam raya ini tidak dalam keadaan kacau, melainkan tertib dan indah, tanpa
cacat. Sebagai sesuatu yang serba baik dan serasi, alam raya adalah juga
berhikmah, penuh maksud dan tujuan, tidak sia-sia. Alam raya adalah
eksistensi teleologis. Hakikat alam yang penuh hikmah, harmonis dan baik
itu mencerminkan hakikat Tuhan, Maha Pencipta, Yang Maha Kasih dan
Sayang. (Q., 67:3-4)
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
sempurna. Semua yang ada ini begitu keadaannya dalam yang sesuai
baginya dan memenuhi suatu tujuan universal. Alam ini adalah benar-
benar suatu “kosmos”, kreasi yang tertib, bukan suatu “chaos”
(kekacauan).
Disebabkan sifatnya yang penuh maksud, maka studi tentang alam dan
penelitiannya akan membimbing seseorang kepada kesimpulan positif dan
sikap penuh apresiasi kepadanya. Ini dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai ciri
utama orang-orang berakal budi, yang menyadari akan makna alam raya
sebagai ayat-ayat Tuhan, dalam firman, “Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh
langit dan bumi (jagad raya) pastilah terdapat ayat-ayat bagi mereka yang berakal
budi. Yaitu mereka yang selalu ingat kepada Allah, baik pada saat berdiri, saat duduk,
maupun saat berada pada lambung-lambung mereka (berbaring), lagi pula
memikirkan kejadian seluruh langit dan bumi ini, (seraya berkata), “Ya Tuhan
kami, tidaklah Engkau menciptakan ini semua secara batil. Maha Suci Engkau.
Maka lindungilah kami dari azab neraka”. (Q., 3:190-191.)
Sebagai wujud yang benar (haqq), alam raya juga mempunyai wujud yang
nyata (hakikat, haqîqah). Oleh karena itu, alam raya bukanlah wujud yang
semu maya dan palsu, seperti dalam ungkapan mayapada (dunia yang
maya). Sebab pandangan bahwa alam raya adalah palsu atau berwujud
semu belaka, tidak nyata, akan dengan sendirinya menghasilkan
pandangan bahwa pengalaman hidup (oleh manusia) dalam alam itu adalah
juga palsu, tidak nyata. Akibatnya, pengalaman hidup yang palsu (samsara)
itu tidak mungkin memberi kebahagiaan hidup kepada manusia;
kebahagiaan hidup itu diperoleh hanya dengan melepaskan diri dari
dunia maya, yaitu menempuh hidup bertapa, sebagai bentuk hidup
kesucian dan kebebasan murni.
Sebaliknya dari yang terakhir itu, al-Qur’ân mengajarkan pandangan yang
positif- optimis tentang alam. Karena bereksistensi benar dan nyata,
semua bentuk pengalaman di dalamnya, termasuk pengalaman hidup
manusia, adalah benar dan nyata: ia bisa memberi kebahagiaan atau
kesengsaraan dalam kemungkinan yang sama, tergantung kepada si
empunya pengalaman hidup sendiri, dalam hal ini manusia, bagaimana
menangani pengalaman itu. Karena itu manusia dibenarkan untuk
berharap memperoleh kebahagiaan dalam hidup sementara di dunia ini,
selain kebahagiaan di akhirat kelak yang lebih besar, kekal dan abadi.
1
Manusia, Alam, dan Lingkungan Hidupnya
PENUTUP
1
jadi tugas reformasi
1
Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011
berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang alami dan sehat.
Kedua, larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi reformasi
atau perbaikan oleh sesama manusia. Hal ini bersangkutan dengan tugas
reformasi aktif manusia untuk berusaha menciptakan sesuatu yang baru,
yang baik (shâlih) dan membawa kebaikan (mashlahah) untuk manusia.
Tugas kedua ini, lebih berat dari tugas pertama, memerlukan pengertian
yang tepat tentang hukum- hukum Allah swt yang menguasai alam ciptaan-
Nya, diteruskan dengan kegiatan bertindak sesuai dengan hukum-hukum itu
melalui “ilmu cara” atau teknologi. Lebih dari tugas pertama, pemanfaatan
alam ini harus dilakukan dengan daya cipta yang tinggi, dan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan.
Dalam hal ini, di antara semua makhluk hanya manusia yang dapat
melakukannya, sejalan dengan makna moral kisah keunggulan Adam
dalam drama kosmis sekitar deklarasi kekhalifahannya. Dan seperti
disebutkan dalam Al-Quran, “Allah swt mengetahui al-mufsid (orang yang
membuat kerusakan) dari al-mushlih (orang yang membuat perbaikan,
reformasi).”
Ayat ini menggambarkan bahwa reformasi bumi itu bersangkutan
langsung dengan prinsip keadilan dan kejujuran, khususnya kegiatan
ekonomi yang melibatkan proses pembagian kekayaan dan
pemerataannya antara warga masyarakat, sebab bumi yang sudah
direformasi itu (reformed earth) tidak boleh mengenal terjadinya perolehan
kekayaan secara tidak sah dan tidak adil.
DAFTAR PUSTAKA
Evans, J. Claude. 2005. With Respect for Nature: Living as Part of the
Natural World. Albany: State University of New York Press.
Gottlieb, Roger S. 2006. A Greener Faith: Religious Environmentalism and Our
Planet’s Future. New York: Oxford University Press.
Munawar-Rachman, Budhy (ed.). 2006. Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Jakarta:
Mizan dan Paramadina.
Nasr, Seyyed Hossein. 1996. Religion and the Order of Nature. New York:
Oxford University Press.
Palmer, John A (ed.). 2001. Fifty Key Thinkers on the Environment. London
and New York: Routledge.
Schaefer, Jame. 2009. Theological Foundation for Environment Ethics: Reconstructing
1
Patristic and Medieval Concept. Washington DC: Georgetown
University Press.